Anda di halaman 1dari 8

Transgression Related Interpersonal Motivation Inventory (TRIM-18) :

Adaptasi Skala Pemaafan Bagi Remaja Dengan Orang Tua Bercerai

Maulida Amalia Pramesti

Magister Profesi Psikologi Universitas Ahmad Dahlan

Jalan Kapas No. 9 Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta

ABSTRAK

Variabel pemaafan adalah variabel yang masih terbilang cukup baru dan
dibutuhkan banyak pengembangan baik dari segi penelitian, penerapan, dan alat
ukur. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan adaptasi alat ukur TRIM-18 yang
diadaptasi dari McCullough, Root, dan Cohen (2006) dan disesuaikan dengan
subjek yang memiliki orang tua bercerai. TRIM-18 (McCullough, Root, & Cohen,
2006) memiliki 3 komponen yaitu avoidance, revenge, benevolence. TRIM-18
disusun menggunakan likert dengan rating 5 skala.

Kata kunci : pemaafan, alat ukur pemaafan, remaja

ABSTRACT

Forgiveness is fairly new variable and it takes a lot to developed in terms of


research, inventory, and the implementation in the daily life. This study aims to
adapt the Transgression Related Interpersonal Motivation Inventory (TRIM-18)
adapted from McCullough, Root, and Cohen (2006). Participants were adolescent
whose parents are divorced. TRIM-18 focuses in 3 components : avoidance,
revenge, and benevolence, measured by likert in 5 rating scale.
Keywords : forgiveness, forgiveness inventory, adolescents

PENDAHULUAN

Pemaafan merupakan suatu konsep yang sudah tidak asing lagi bagi semua
orang. Namun dalam psikologi, pengembangan dan penelitian terkait pemaafan
masih terbilang belum banyak berkembang dibandingkan
pengembangan-pengembangan variabel psikologi yang lainnya. Sehingga
dibutuhkan lebih banyak riset dan pengembangan pemaafan yang lebih
mendalam. Pemaafan sendiri memiliki definisi dari beberapa sudut pandang.
Menurut Worthington dan Scherer (2004) pemaafan didefinisikan dengan dua hal,
yaitu decisional forgiveness dan emotional forgiveness. Decisional forgiveness
adalah pernyataan seseorang terkait niat untuk memperbaiki hubungan dengan
transgressor, sedangkan emotional forgiveness kaitannya dengan memaafkan
dari sudut pandang mereka dalam menghadapi masalah. Pendapat lain dari
McCullough, Root, dan Cohen (2006) mengungkapkan pemaafan adalah cara
seseorang agar tidak menghindar, mengurangi motivasi membalas dendam, dan
memiliki belas kasih pada pelanggar atau yang disebut sebagai transgressor. Hal
tersebut menunjukkan pemaafan erat kaitannya dengan hubungan interpersonal
individu dan menjadi isu penting yang perlu dibahas (Agung, 2017).

Pemaafan adalah salah satu hal yang menarik untuk diteliti, karena kaitannya
dengan hubungan interpersonal individu. Ketika individu dihadapkan pada suatu
konflik atau masalah, seringkali pemaafan dijadikan sebagai salah satu religious
coping yang dapat dilakukan seseorang untuk menghadapi masalah (Jaufalaily &
Himam, 2017). Oleh karena itu, penelitian terkait pemaafan seringkali dikaitkan
dengan masalah-masalah yang dihadapi individu. Salah satu masalah menarik
adalah permasalahan terkait perceraian yang dampaknya sangat dirasakan
langsung oleh anak. Jika anak memasuki fase usia remaja, artinya anak
mengalami fase transisi menuju dewasa (Santrock, 2012). Anak yang menginjak
usia remaja dicirikan sebagai tahap dimana seseorang mengalami perubahan
yang dapat menjadikannya sebagai sarana berlatih untuk menjadi dewasa
(Hurlock, 2001). Masa remaja memberi dampak secara langsung untuk
pemenuhan kebutuhan perkembangan selanjutnya (Hurlock, 2001). Islam
mengatakan pemaafan dikenal sebagai Al-Afu (pemaafan) yang merupakan
praktik keagamaan yang didasarkan Al-Quran, untuk membantu umat Islam
sukses ketika menghadapi dan bertahan dari tantangan hidup (Husain, 1998;
Jaufalaily & Himam, 2017). Pemaafan menurut Worthington dan Scherer (2004)
dapat juga didefinisikan sebagai penyetaraan emosi positif. Penyetaraan emosi
positif ini perlu dimiliki individu ketika menghadapi permasalahan, salah satunya
adalah masalah terkait perceraian orang tua. Hal tersebut dapat dibuktikan, salah
satunya dari penelitian Azra (2017) yang menunjukkan bahwa jika remaja dalam
keluarga bercerai mampu melewati tahap pemaafan, remaja akan menunjukkan
kepuasan hidup serta emosi positif yang dominan. Penelitian lain menyebutkan
keterkaitan pemaafan dengan kondisi psikologis seseorang. Menurut penelitian
Rienneke dan Septianingrum (2018) seseorang yang mampu memaafkan dapat
membuat dirinya lebih bahagia.

Konsep pemaafan terus berkembang seiring dengan pengembangan


penelitian pemaafan. Penelitian pemaafan telah dilakukan baik di Indonesia
maupun di luar negeri. Penelitian-penelitian terkait pemaafan seringkali dikaitkan
dengan beberapa hal. Seperti pada penelitian Saputro dan Nashori (2018); Gupta
& Kumar (2015) mengaitkan antara pemaafan dengan resiliensi, McCullough
(2000) mengkaitkannya dengan wellbeing seseorang, Nancy (2013) mengkaitkan
pemaafan dengan keharmonisan keluarga. Enright et all (2003) mengatakan
konsep pemaafan dapat juga diaplikasikan dalam bentuk intervensi dalam setting
pendidikan, klinis, dan konseling.

Berdasarkan hal tersebut, pemaafan dinilai dapat dikembangkan di beberapa


setting dalam upayanya mengatasi permasalahan. Karena itu, banyak ahli
memiliki beberapa sudut pandang pendapatnya terkait pemaafan. Menurut
Hargrave dan Sells (Maddux, Lopez & Snyder, 2002) pemaafan adalah upaya
memulihkan cinta dan hubungan, sehingga pihak yang disakiti mampu berdamai
dengan pihak yang menyakiti. Enright (2003) mengatakan pemaafan dapat
dikelompokkan ke dalam 4 fase. Fase 1) uncovering phase. Pada fase ini,
defence mechanism individu mulai diindentifikasi. Pada Fase 2) decision phase,
individu akan mengidentifikasi dan memahami bahwa yang telah dilakukan
sebelumnya membuat tidak nyaman dalam hati, yang tidak akan efektif hilang bila
tidak memaafkan. Fase 3) work phase adalah fase perolehan pemahaman baru
yang lebih positif terkait hal mengecewakan. Empati dan rasa belas kasih mulai
dikembangkan. Manifestasinya dapat berupa pemberian hadiah untuk
memperbaiki hubungan dengan pihak yang menyakiti, setelah individu menerima
kesakitannya. Fase 4) deepening phase, adalah gambaran pemaafan yang
mampu mengubah kondisi individu sekarang dan setelahnya. Individu
memperoleh makna terhadap peristiwa yang telah dialami dan menemukan
tujuan hidup baru yang lepas dari emosi yang membelenggu.

Pendapat lain oleh Thompson, et all (2005) yang mengemukakan pemaafan


adalah upaya menempatkan peristiwa tidak menyenangkan hingga respon
seseorang pada perilaku ataupun peristiwa yang merupakan dampak dari hal
tidak menyenangkan tersebut dapat diubah dari perasaan negatif menjadi
perasaan netral atau positif. Mc.Cullough, et all (1998) menyatakan pemaafan
merupakan motivasi seseorang untuk tidak membalas dendam dan mengurangi
dorongan untuk menjauh dari pihak yang menyakiti, serta meningkatkan
dorongan untuk berdamai dan untuk damai dan berbuat baik terhadap pihak yang
bersalah. McCullough et all (1998) membagi 3 komponen dalam pemaafan.
Komponen tersebut adalah avoidance, revenge, dan benevolance. Avoidance
adalah penurunan keinginan untuk menghindar dalam kontak pribadi terhadap
pihak yang telah melukai. Seseorang akan menjaga jarak untuk dapat
memaafkan perilaku dan sikap orang yang telah menyakitinya. Revenge
merupakan penurunan kemauan untuk membalas dendam pihak yang telah
menyakiti. Korban akan membuang perasaan untuk menyakiti seseorang yang
dirasa menyakiti. Sedangkan benevolance merupakan motivasi untuk berbuat
baik terhadap pihak yang menyakiti. Merupakan tindakan untuk memperbaiki
hubungan antara korban dan pihak yang telah menyakiti. Benevolence adalah
upaya untuk tetap berinteraksi dengan baik dan tidak menghindar atau
berkeinginan untuk menyakiti satu sama lain serta berdamai terhadap pihak yang
telah menyakiti.

Para ahli telah memiliki beberapa alat ukur pemaafan, seperti Enright dkk
(1995) menyusun Enright Forgiveness Inventory (EFI) dengan enam subscale
yang terdiri dari 60 aitem. McCullough, dkk (1998) dengan TRIM inventory yang
terdiri dari dua subscale yaitu revenge (balas dendam) dan avoidance
(menghindar). Sementara Thompson dan Snyder (2005) melihat pemaafan
sebagai proses intrapersonal yang targetnya adalah self, orang lain dan situasi,
berdasarkan hal tersebut mereka mengembangkan pengukuran pemaafan yang
bernama Heartland Forgiveness Scale (HFS) terdiri dari 18 aitem.

Alat ukur Transgression Related Interpersonal Motivation Inventory (TRIM-18)


yang diciptakan oleh McCullough, Root, dan Cohen (2006) adalah sebuah
pengembangan dari TRIM milik McCullough dkk (1998) yang menambahkan satu
komponen baru, yaitu benevolence. Sebelumnya alat ukur TRIM-18 telah
diadaptasi dari McCullough, Root, dan Cohen (2006) ke dalam Bahasa Indonesia
oleh Agung (2017) dengan subjek mahasiswa. Peneliti tertarik untuk
mengadaptasi kembali karena ingin disesuaikan dengan subjek yang berbeda
yaitu remaja dengan orang tua bercerai, karena dinilai masih cukup jarang
penelitian alat ukur yang melibatkan subjek khusus. Pemilihan alat ukur TRIM-18
guna mengembangkan TRIM-18 dengan komponen baru yang telah ditetapkan
oleh McCullough, Root, dan Cohen (2006). Peneliti ingin melihat bagaimana
validitas konstrak pada TRIM-18 terbaru, dengan menggunakan subjek yang
berbeda.

METODE

Pada penelitian ini akan diadaptasi skala Transgression Related Interpersonal


Motivation Inventory (TRIM-18) pada konteks Bahasa Indonesia. Pengadaptasian
skala ke dalam Bahasa Indonesia ditujukan untuk pengembangan skala yang
dapat dipakai di setting budaya Indonesia pada peneliti selanjutnya. Adaptasi
dilakukan dengan menerjemahkan skala ke dalam Bahasa Indonesia yang
dilakukan oleh dua orang penerjemah, kemudian aitem yang telah diterjemahkan
akan disesuaikan dengan konteks Bahasa Indonesia. Setelah diadaptasi
selanjutnya data akan dianalisis menggunakan SPSS 22 statistical for windows
dan AMOS untuk mengetahui sejauh mana alat ukur ini valid dan layak digunakan
untuk kepentingan penelitian selanjutnya.

Partisipan

Penelitian ini akan melibatkan partisipan yang memiliki karakteristik remaja


berusia 12-17 tahun yang mengalami perceraian orang tua. Pengambilan data
pada penelitian ini akan dilakukan dengan penyebaran skala yang bersifat
langsung maupun menggunakan googleform yang disebarkan secara online
melalui media sosial.

Alat Ukur

Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah Transgression Related
Interpersonal Motivation Inventory (TRIM-18) yang diadaptasi dari McCullough,
Root, dan Cohen (2006) yang terdiri dari 3 komponen, yaitu avoidance (7 aitem),
revenge (5 aitem) dan benevolance (6 aitem). Model skala TRIM-18 ini
menggunakan likert dengan 5 rating skala, yang terdiri dari sangat tidak setuju,
tidak setuju, netral, setuju, dan sangat setuju.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, I. M. (2016). Pengembangan dan validasi pengukuran skala pemaafan


TRIM-18. Jurnal Psikologi, 11(2), 79-87.

Azra, F. N. (2017). Forgiveness dan subjective well-beong dewasa awal atas


perceraian orang tua pada masa remaja. Psikoborneo, 7(12)

Enright, R. D., Gassin, E. A., & Knutson, J. A. (2003). Waging peace through
forgiveness education in Belfast, Northern Ireland: A review and proposal for
mental health improvement of children. Journal of Research in Education,
13(1).
Gupta, N., & Kumar, S. (2015). Significant predictors for resilience among a
sample of undergraduate students: Acceptance, forgiveness and gratitude.
Indian Journal of Health and Wellbeing, 6(2), 188.

Hurlock, E. B. (2001). Developmental psychology. Tata McGraw-Hill Education.

Husain, S. A. (1998). Religion and mental health from the Muslim perspective. In
H. G. Koenig (Ed.), Handbook of religion and mental health (pp. 279-290).
California: Academic Press.

Jaufalaily, N., & Himam, F. (2017). Resilience as a Mediator of the Relationship


Between Forgiveness and Happiness Among College Students. ANIMA
Indonesian Psychological Journal, 32(3), 121-127.

Maddux, J. E., Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (2004). Toward a positive clinical
psychology: Deconstructing the illness ideology and constructing an ideology
of human strengths and potential. Positive psychology in practice, 320-334.

McCullough, M. E. (2000). Forgiveness as human strength: Theory, measurement,


and links to well-being. Journal of Social and Clinical Psychology, 19(1),
43-55.

McCullough, M. E., Rachal, K. C., Sandage, S. J., Worthington Jr, E. L., Brown, S.
W., & Hight, T. L. (1998). Interpersonal forgiving in close relationships: II.
Theoretical elaboration and measurement. Journal of personality and social
psychology, 75(6), 1586.

McCullough, M. E., Root, L. M., & Cohen, A. D. (2006). Writing about the benefits
of an interpersonal transgression facilitates forgiveness. Journal of consulting
and clinical psychology, 74(5), 887.

Nancy, M.N (2013). Hubungan Nilai Dalam Perkawinan Dan Pemaafan Dengan
Keharmonisan Keluarga. Proceeding Pesat (Psikologi, Ekonomi, Sastra,
Arsitektur & Teknik Sipil) Vol. 5, 32-39

Rienneke, T. C., & Setianingrum, M. E. (2018). Hubungan antara Forgiveness


dengan Kebahagiaan Pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan. Persona:
Jurnal Psikologi Indonesia, 7(1), 18-31.

Santrock, J. W. (2012). Life Span Development, New York: McGrow-Hill


Companies

Saputro, I., & Nashori, F. (2018). Resiliensi mahasiswa ditinjau dari pemaafan dan
sifat kepribadian agreeableness. Jurnal Psikologi Islam, 4(2), 171-180

Subkoviak, Michael J., Robert D. Enright, Ching-Ru Wu, Elizabeth A. Gassin,


Suzanne Freedman, Leanne M. Olson, and Issidoros Sarinopoulos.
"Measuring interpersonal forgiveness in late adolescence and middle
adulthood." Journal of adolescence 18, no. 6 (1995): 641-655.

Thompson, L. Y., Snyder, C. R., Hoffman, L., Michael, S. T., Rasmussen, H. N.,
Billings, L. S & Roberts, D. E. (2005). Dispositional forgiveness of self, others,
and situations. Journal of personality, 73(2), 313-360.

Thompson, L.Y, Snyder, C. R., & Hoffman, L. (2005). Heartland Forgiveness


Sclae. Faculty Publications, Department of Psychology, 452.

Worthington, E. L., & Scherer, M. (2004). Forgiveness is an emotion-focused


coping strategy that can reduce health risks and promote health resilience:
Theory, review, and hypotheses. Psychology & Health, 19(3), 385-405.

Anda mungkin juga menyukai