Anda di halaman 1dari 5

Tinjauan Pustaka Dinamika Hubungan Antarvariabel

Pada penelitian ini terdapat 1 variabel bebas yaitu efek konspirasi dan 3 variabel terikat
yaitu penerimaan terhadap kesepakatan ilmiah, perilaku pro lingkungan, dan kecenderungan
umum perilaku pro-sosial. Variabel-variabel tersebut diasumsikan memiliki keterkaitan,
sehingga dari hal tersebut, akan dapat diasumsikan pula bahwa terdapat pengaruh dari efek
konspirasi terhadap penerimaan terhadap kesepakatan ilmiah, perilaku pro lingkungan, dan
kecenderungan umum perilaku pro-sosial.
Menurut Gifford (2014) faktor yang mempengaruhi pro lingkungan adalah pengalaman
masa kecil, pengetahuan dan pendidikan, kepribadian, locus of control, nilai, pandangan politik
dan pandangan dunia, tujuan, rasa tanggung jawab, kelekatan pada suatu tempat, usia, & gender.
Menurut Sarwono & Meinarno (2009) terdapat dua faktor yang mempengaruhi perilaku
prososial, yaitu faktor situasional dan faktor dalam diri. Pengaruh Faktor Situasional yaitu
bystander, daya tarik, atribusi terhadap korban, ada model, desakan waktu, dan sifat kebutuhan
korban. Sedangkan pengaruh faktor dalam diri antara lain suasana hati, sifat, jenis kelamin,
tempat tinggal dan pola asuh perilaku.
Berdasarkan faktor-faktor mempengaruhi pro lingkungan yang telah dipaparkan, salah satu
faktor yang mempengaruhinya adalah pengetahuan dan pendidikan. Faktor eksternal
pengetahuan ini berarti perilaku pro lingkungan individu dipengaruhi oleh informasi yang
diterimanya. Jika informasi yang diterima negatif seperti teori konspirasi terkait perilaku pro
lingkungan, maka perilaku pro lingkungan individu juga cenderung akan negatif. Faktanya,
sementara 97% ilmuwan iklim telah menyimpulkan bahwa pemanasan global yang disebabkan
oleh manusia sedang terjadi (Cook dkk., 2013), lebih dari 37% orang Amerika saat ini percaya
bahwa pemanasan global adalah "tipuan" (Public Policy Polling, 2013). Hal ini bersesuaian
dengan penelitian yang dilakukan oleh Douglas, Sutton, & Cichocka (2015) bahwa teori
konspirasi tentang perubahan iklim membuat orang menjauh dari inisiatif ramah lingkungan.
Meskipun saat ini hanya sedikit yang diketahui tentang pengaruh teori konspirasi terhadap
perilaku pro-sosial dan pengambilan keputusan, beberapa penelitian telah menyinggung
konsekuensi sosial dari konspirasi. Misalnya, penelitian terbaru menunjukkan bahwa membaca
informasi tentang teori konspirasi tertentu dapat menurunkan niat orang untuk memilih dan
memvaksinasi (Jolley & Douglas, 2014). Ide konspirasi juga berulang kali dikaitkan dengan
tingkat ketidakpercayaan, permusuhan, agresi, dan otoritarianisme sayap kanan yang tinggi
(Abalakina ‐ Paap, Stephan, Craig, & Gregory, 1999; Grzesiak-Feldman, 2015). Akibatnya,
masuk akal bahwa pemikiran konspirasi dapat membuat orang menjadi kurang pro-sosial dan
kurang bersedia untuk berkontribusi pada tujuan sosial yang penting. Teori konspirasi juga
semakin dikaitkan dengan motivasi penolakan sains, termasuk teori anti-vaksinasi, penolakan
hubungan antara AIDS dan HIV serta penolakan terhadap ilmu iklim (Lewandowsky, Gignac, &
Vaughan, 2013; Lewandowsky, Oberauer, & Gignac, 2013; Lewandowsky, Gignac, & Oberauer,
2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Oleksy, Wnuk, Maison & Łyś (2020) tentang teori
konspirasi tentang COVID-19 ditemukan bahwa mereka yang mempercayai teori konspirasi
COVID-19 menunjukkan perilaku yang lebih jarang untuk melakukan metode pencegahan,
seperti menjaga jarak sosial dan mencuci tangan. Padahal, WHO (2020) dan berbagai penelitian
telah menunjukkan bahwa perilaku patuh protokol kesehatan seperti menjaga jarak sosial dan
mencuci tangan, terbukti menurunkan kemungkinan terifeksi hingga 90%.
Skeptisisme sebagai sebuah pemahaman bisa dirunut dari Yunani Kuno. Pemahaman yang
kira-kira secara gampangnya “Tidak ada yang bisa kita ketahui”, “Tidak ada yang pasti”, “Saya
ragu-ragu.” Sebuah pernyataan yang akan diprotes karena memiliki paradoks. Jika memang tidak
ada yang bisa diketahui, darimana kamu mengetahuinya. Jika memang tidak ada yang pasti,
perkataan itu sendiri sesuatu kepastian. Setidaknya dia yakin kalau dirinya ragu-ragu.
Skeptis juga bisa dianggap sebagai sifat. Kadang kita juga melakukannya tanpa kita sadari.
Ketika kita mendengar bahwa ada cerita kita diculik pocong tentu saja kita mengerutkan kening.
Kemudian kita tidak mempercayai dengan mudah, kita anggap isapan jempol, urban legend
(dongeng), palsu. Orang skeptis bisa memberikan argumen-argumen keberatan terhadap cerita
tersebut. Mereka meminta bukti, menyodorkan fakta kenapa cerita itu tak mungkin dan lain
sebagainya.
Dengan kata lain meragukan. Sifat skeptis artinya sifat meragukan sesuatu. Tidak mau
menerima dengan mudah apa adanya. Selalu meragukan sesuatu jika belum ada bukti yang
benar-benar jelas. Jika ada cerita maka tidak langsung mempercayainya. Sifat semacam ini
penting bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu kepastian yang seakurat
mungkin karena itu ilmuwan diharapkan skeptis. Ilmuwan tidak boleh langsung percaya begitu
saja terhadap berita, percobaan dan lain sebagainya. Ini karena metode dalam ilmu pengetahuan
yang ketat.
Jika seseorang menyatakan sebuah teori misalnya “Naga itu ada!” Ilmuan kemudian
bertanya. Mana buktinya? Ilmu selalu mempertanyakan bukti. Ini karena ilmu tidak boleh mudah
percaya. Ini karena di dunia banyak penipu dan pembohong, ada mereka yang menyatakan
melihat sesuatu padahal tidak ada di sana. Ada juga mereka yang merasa melihat sesuatu padahal
sebenarnya tidak. Jika komunitas ilmuwan hendak mempercayai hal semacam ini tanpa bukti dan
meminta yang lain supaya percaya, maka ilmu pengetahuan akan dipenuhi hal-hal yang tidak
bisa dipercaya kebenarannya.
Sikap skeptis adalah sebuah pendirian di dalam epistemologi (filsafat pengetahuan) yang
menyangsikan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya. Para skeptikus
sudah ada sejak zaman yunani kuno, tetapi di dalam filsafat modern, René Descartes adalah
perintis sikap ini dalam metode ilmiah. Kesangsian descartes dalam metode kesangsiannya
adalah sebuah sikap skeptis, tetapi skeptisisme macam itu bersifat metodis, karena tujuan
akhirnya adalah untuk mendapatkan kepastian yang tak tergoyangkan, yaitu: cogito atau
subjectum sebagai instansi akhir pengetahuan manusia. Di dalam filsafat D.Hume kita
menjumpai skeptisme radikal, karena ia tidak hanya menyangsikan hubungan-hubungan kausal,
melain kan juga adanya substansi atau realitas akhir yang bersifat tetap.

Dalam filsafat klasik, mempertanyakan merujuk kepada ajaran mengenai "Skeptikoi".


Dalam ilmu filsafat, dari yang dikatakan bahwa mereka "Tidak menyatakan apa-apa selain
pandangan sendiri saja." (Liddell and Scott). Dalam hal ini, keraguan filsafati, atau Pyrrhonisme
adalah posisi filsafat yang harus menangguhkan satu keputusan dalam penyelidikan. Sextus
Empiricus, Outlines Of Pyrrhonism, Terjemahan R.G. Bury, Harvard University Press,
Cambridge, Massachusetts, 1933, 21.
DAFTAR PUSTAKA
Abalakina‐Paap, M., Stephan, W. G., Craig, T., & Gregory, W. L. (1999). Beliefs in
conspiracies. Political Psychology, 20(3), 637–647
Cook, J., Nuccitelli, D., Green, S. A., Richardson, M., Winkler, B., Painting, R., et al. (2013).
Quantifying the consensus on anthropogenic global warming in the scientific literature.
Environmental Research Letters, 8(2), 024024
Douglas, K. M., Sutton, R. M., & Cichocka, A. (2017). The psychology of conspiracy theories.
Current directions in psychological science, 26(6), 538-542.
Gifford, R., & Nilsson, A. (2014). Personal and social factors that influence pro‐environmental
concern and behaviour: A review. International Journal of Psychology, 49(3), 141-157.
Grzesiak-Feldman, M. (2015). Are the high authoritarians more prone to adopt conspiracy
theories? In M. Bilewicz, A. Cichocka, & W. Soral (Eds.), The psychology of conspiracy
(pp. 99–117). New York, NY: Routledge.
Jolley, D., & Douglas, K. M. (2014). The effects of anti-vaccine conspiracy theories on
vaccination intentions. PLoS ONE, 9(2) e89177.
Lewandowsky, S., Gignac, G. E., & Oberauer, K. (2013a). The role of conspiracist ideation and
worldviews in predicting rejection of science. PLoS One, 8(10) e75637.
Lewandowsky, S., Gignac, G. E., & Vaughan, S. (2013b). The pivotal role of perceived scientific
consensus in acceptance of science. Nature Climate Change, 3(4), 399–404.
Lewandowsky, S., Oberauer, K., & Gignac, G. (2013c). NASA faked the moon landing:
Therefore, (climate) science is a hoax: An anatomy of the motivated rejection of science.
Psychological Science, 24(5), 622–633
Oleksy, T., Wnuk, A., Maison, D., & Łyś, A. (2020). Content matters. Different predictors and
social consequences of general and government-related conspiracy theories on COVID-
19. Personality and Individual Differences, 168, 110289.
Polling, Public Policy (2013). Conspiracy theory poll results. Tersedia di: http://www.
publicpolicypolling.com/main/2013/04/conspiracy-theory-poll-results-.html
Sarwono, S. W. & Meinarno, E. A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika

World Health Organization. (2020). Infection prevention and control guidance - (COVID-19).
Tersedia di: https://www.who.int/westernpacific/emergencies/covid-19/technical-
guidance/infection-prevention-control
Ishwara, Luwi (2007). Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jl. Palmerah Selatan 26-28 Jakarta
10270: Penerbit Buku Kompas. hlm. 1. ISBN 9789797092023.

Anda mungkin juga menyukai