Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Produk olah pikir manusia beraneka ragam, hal itu tercermin dari budaya yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat. Semakin maju budaya masyarakat maka
semakin banyak produk olah pikir yang dihasilkan oleh manusia di daerah tersebut.
Budaya merupakan budi dan daya manusia dalam usaha menguasai lingkungannya.
Kebudayaan adalah symbol dan fakta kompleks yang diturunkan dari generasi ke
generasi sebagai penentu tingkah laku manusia. Kebudayaan dapat bersifat tidak kentara
(non materi) dan ada pula yang bersifat kentara (materi). Simbol dan fakta yang bersifat
tidak kentara misalnya kepercayaan, sikap, pendapat, nilai-nilai, adat istiadat, dan
sebagainya. Selain itu kebudayaan yang bersifat kentara antara lain karya seni, karya
sastra, karya arsitek, dan sebagainya ( Hedi, 2013).
Produk pola pikir manusia yang berkaitan dengan budaya biasanya tidak
mendunia namun bersifat lokasional dan situasional. Lokasional berarti hanya berlaku
pada lokasi tertentu dimana masyarakat mendukung atau mempercayai secara lekat
budaya setempat. Situasional berarti berlaku hanya pada waktu tertentu dan tidak abadi,
sehingga pada saat budaya luar masuk situasi akan berbeda karena akan menggeser
budaya lokal tersebut. Namun ada juga produk pola pikir manusia yang mampu
berkembang lintas budaya sehingga berpotensi mendunia seperti halnya ilmu kealaman
dan filsafat ( Hedi, 2013).
Ilmu sebagai hasil atau produk berupa pengetahuan sistematis, ilmu dipahami
sebagai seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek (dunia obyek) yang sama dan
saling berkaitan secara logis. Ilmu, karena itu, dipandang sebagai sebuah koherensi
sistematik, dengan prosedur, aksioma, dan lambang–lambang yang dapat dilihat dengan
jelas melalui pembuktian-pembuktian ilmiah. Ilmu memuat di dalam dirinya hipotesis-
hipotesis (jawaban-jawaban sementara) dan teori-teori (hipotesis-hipotesis teruji) yang
belum mantap sepenuhnya. Ilmu sering disebut pula sebagai konsep pengetahuan ilmiah
karena ilmu harus terbuka bagi pengujian ilmiah (pengujian keilmuan) (Watloly, 2012).
Obyek pengetahuan ilmiah atau obyek keilmuan, dalam hal ini, mencakup segala
sesuatu (yang tampak secara fisik maupun non fisik berupa fenomena atau gejala
kerohanian, kejiwaan, atau sosial), yang sejauh dapat dijangkau oleh pikiran atau indera
manusia. Para filsuf, karenanya, membagi obyek keilmuan itu dalam dua golongan besar,
yaitu; obyek material dan obyek formal keilmuan. Obyek material meliputi: ide abstrak,
benda-benda fisik, jasad hidup, gejala rohani, gejala sosial, gejala kejiwaan, gejala alam,
proses tanda, dan sejenisnya. Obyek formal, meliputi; sudut pandang, minat akademis,
atau cara kerja yang digunakan untuk menggali, menggarap, menguji, menganalisis, dan
menyusun berbagai pemikiran yang tersimpan dalam khasanah kekayaan obyek material
di atas dan menyuguhkannya dalam bentuk ilmu (Watloly, 2012).
Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari
filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus.
Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang
tegas di antara masing-masing ilmu. Dengan kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang
menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu
padukan masing-masing ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan
merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang
luas (Fahrorozi, 2010).
B. Produk Olah Pikir Manusia
Banyak ragam oalh piker manusia, tetapi dalam konteks ini yang relevan dan penting
antara lain pengetahuan, mitos, filsafat, dan ilmu kealaman, yang masing-masing akan
dibahas. Di katakana relevan, bukan hanya karena ragam produk olah piker tersebut sangat
popular di masyarakat, tetapi juga memiliki kronologis dalam penjelasannya, sehingga
memudahkan dalam pengkajiannya ( Hedi, 2013).

1. Pengetahuan
Pengetahuan pada dasarnya adalah keseluruhan keterangan dan ide yang
terkandung di dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu gejala atau
peristiwa, baik yang bersifat alamiah, keorangan, atau kemasyarakat. Pengetahuan dapat
dibagi atas dua bentuk, yaitu pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan
biasa adalah bentuk pengetahuan yang biasa ditemui dalam pikiran atau pandangan umum
(common sense) dalam kehidupan harian, sementara pengetahuan ilmiah adalah jenis
pengetahuan yang telah diolah secara kritis menurut prinsip-prinsip keilmuan untuk
menjadi ilmu. Pengetahuan ilmiah (Scientific knowledge) adalah pengetahuan yang
disusun berdasarkan azas-azas yang cocok dengan pokok soal dan dapat membuktikan
kesimpulan-kesimpulannya. Pengetahuan ilmiah melukiskan suatu obyek khusus tentang
jenis pengetahuan yang khusus mengenai obyek dimaksud. (lieng gik, 85)
Dalam sejarah kehidupan, manusia selalu berusaha untuk mencari kebenaran.
Sebuah proses yang panjang dimana manusia sebelum menemukan kebenaran mereka
harus memiliki rasa ingin tahu terhadap kebenaran tersebut. Proses Rasa Ingin tahu itu
kemudian menjadi ilmu pengetahuan agar dapat dipertanggungjawabkan sebagai sebuah
kebenaran. Pengetahuan merupakan produk olah pikir manusia yang paling sederhana
yaitu sesuatu yang diketahui oleh manusia, tanpa menghiraukan apakah benar atau salah
dan juga tidak memasalahkan siapa, kapan, dan dari mana sumbernya. Sebagai contohnya
sebagian orang desa mempercayai bahwa apabila ada kupu-kupu yang masuk dirumah
malam hari maka dpercayai akan kedatangan tamu. Demikian halnya apabila ayam jantan
dan betina bertarung dihalaman rumah, maka dipercayai akan kedatangan tamu dari jau.
Hal ini sama apabila banyak burung kecil (burung prenjak) berkicau bersaut-saut disekitar
rumah. Sudah sangat popular, orang yang bermipi digigit ular, dipercayai akan segera
mendapatkan jodohnya. Demikian banyak contoh-contoh pengetahuan manusia yang
mungkin di daerah satu berbeda dengan daerah lain( Hedi, 2013).
Bagaimana olah pikir orang untuk mendapatkan pengetahuan ini? Diperkirakan,
sumber dari pengetahuan ini adalah hasil inventarisasi kejadian dalam perikehidupan
manusia. Dari hasil inventarisasi, ada yang memiliki kecocokan dengan kenyataan, tetapi
ada pula yang tidak cocok dengan kenyataan. Apabila di suatu daerah tertentu, ternyata
hasil inventarisasi tersebut memiliki tingkat kecocokan yang tinggi, misalnya contoh
diatas, ada kupu ada tamu, maka kejadian tersebut diangkat menjadi pengetahuan. Apabila
sebaliknya, maka kejadian tersebut bukan dianggap sebagai pengetahuan ( Hedi, S.2009).
Suatu pengetahuan dinyatakan ilmiah apabila dapat memenuhi kriteria sebagai berikut ;
a. Sistematis
b. Berobjek
c. Bermetoda
d. Universal
Kebenaran pengetahuan ilmiah harus bersifat sistematis yakni bertautan dan meiliki
hubungan kebenaran yang saling mendukung dengan pengetahuan lainnya (tidak berdiri
sendiri ) dan memiliki langkah yang tersusun dalam menemukannya, disamping itu kajian
ilmu harus memiliki objek yang jelas karena pada hakekatnya pengetahuan ilmiah itu
adalah bertujuan dalam justifikasi objek melalui metoda ilmiah (scientific methode) yang
operasional terarah dan terukur dan mengandung fakta kongkrit sehingga menghasilkan
kebenaran yang bersifat universal yakni berlaku secara menyuluruh
(Dianenurhayati,2014).
Sekalipun demikian, berkembangnya pengetahuan itu sangat dibatasi oleh dukungan
keanekaragaman lingkungan. Perikehidupan di kota atau didaerah tertentu misalnya, sudah
sangat jarang atau bahkan tidak ada lagi kupu-kupu ular, ayam dipelihara dan dilepas
dihalaman rumah sebagainya. Dengan demikian, pengetahuan tersebut menjadi semakin
tidak populer. Terlepas dari orang percaya atau tidak percaya, tidak akan pernah ada orang
yang bias menjelaskan apa yang menemuka pertama kali, atau sejak kapan diperlakukan
dan dari mana asal sumbernya ( Hedi, 2013).
2. Mitos
Mitos berasal dari bahasa Yunani mythos yang berarti kata yang diucapkan. Pada
awalnya, mitos selalu dilawankan dengan kata logos. Mitos adalah cerita seorang penyair
sedangkan logos adalah laporan yang dapat dipercaya sesuai dengan kenyataan. Mitos
juga diartikan sebagai cerita mengenai dewa-dewa, pahlawan-pahlawan dari zaman
lampau. Melalui tradisi lisan yang panjang mitos akhirnya mengendap dalam berbagai
macam jenis sastra. Dalam hal ini mitos dibedakan menjadi tiga yaitu (a) mitos simbolis,
(b) mitos aetologis, dan (c) diidentikan dengan sage (Hartoko dan Rahmato, 1986).
Pada perkembangan selanjutnya mitos mempunyai makna lebih luas. Mitos tidak
selalu berkaitan dengan cerita tentang usul-usul, cerita tentang dewa-dewa atau simbol-
simbol masa lalu. Pada kehidupan masyarakat modern pun mitos selalu ada. Barthes
(1981) menyatakan bahwa orang modern pun selalu dikerumuni oleh mitos-mitos, orang
modern juga produsen sekaligus konsumen mitos.
Mitos adalah suatu sistem komunikasi yang memberikan pesan berkenaan
dengan aturan masa lalu, ide, ingatan, dan kenangan atau keputusan-keputusan yang
diyakini. Dengan demikian mitos bukanlah suatu benda, konsep atau gagasan melainkan
sebauh lambang dalam bentuk wacana (discourse) (Barthes, 1981). Lambang mitos tidak
selalu tertulis, tetapi dapat berupa film, benda atau peralatan-peralatan tertentu, gambar
dan lain sebagainya. Perlu ditegaskan bahwa mitos bukanlah suatu benda tetapi dapat
dilambangkan dengan benda (Hasanudin, 1998).
Dalam kehidupan sehari-hari mitos bukanlah perkara benar atau salah.
Kebenaran dan ketidakbenaran tersebut berkaitan dengan proses terjadinya suatu mitos.
Mitos pada hakikatnya merupakan suatu generalisasi dari suatu peristiwa yang dianggap
pernah terjadi dan dianggap selalu terjadi (Junus, 1981). Proses munculnya suatu mitos
terlihat pada bagan berikut.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa mitos tidak selalu berkaitan dengan salah
benar. Demikian juga halnya dalam kegiatan generalisasi. Generalisasi pada prinsipnya
tidak dapat dikenakan pada semua orang atau semua masalah. Oleh karena itu, prosedur
generalisasi cenderung mengandung unsur kesalahan. Akan tetapi, dalam mitos kesalahan
tersebut sering terabaikan. Sebagai contoh dapat dikemukakan mitos tentang ibu tiri.
Menurut hukum mitos, ibu tiri identik dengan perilaku jahat. Dalam realitas mungkin saja
ditemui seorang ibu tiri yang tidak jahat, bahkan lebih baik daripada ibu kandung.
Kebenaran dari suatu hasil generalisasi yang diabaikan menyebabkan mitos
selalu berada pada posisi yang berlawanan atau berhadapan dengan realitas. Mitos yang
ber¬muatan generalisasi akan berhadapan dengan realitas yang berisi fakta konkret.
Selan¬jutnya mitos yang dihadapkan kepada suatu realitas akan memunculkan dua
kemungkinan reaksi. Reaksi yang dimaksud yaitu mitos semakin diperkuat sehingga
makin kukuh, dan mitos dinyatakan tidak berlaku.
Dalam perspektif Barthesian, manusia selalu dikerumuni oleh mitos. Bahkan,
dapat disimpulkan bahwa mitos tidak selalu terkait dengan manusia primitif. Manusia
modern juga merupakan produsen sekaligus konsumen mitos. Mitos-mitos yang
mengelilingi kehidupan manusia tidak hanya didengar dan dipahami dari orang-orang
tua atau buku-buku tentang cerita lama melainkan ditemukan setiap hari di televisi, radio,
pidato, percakapan dan obrolan, dan tingkah laku manusia (Sunardi, 2002).
Di atas dikemukakan bahwa kehidupan manusia dan dengan sendirinya hubungan
antarmanusia, dikuasai oleh mitos-mitos. Sikap manusia terhadap sesuatu ditentukan oleh
mitos yang ada dalam dirinya. Mitos menyebabkan seseorang menyukai atau tidak
menyukai apa yang ada di hadapannya, apa yang sedang dialaminya, dan apa yang ada
dalam pikirannya.
Pemahaman atas mitos akan menyebabkan manusia mempunyai suatu prasangka
tertentu terhadap hal yang dinyatakan dalam mitos. Hanya melalui persentuhan dengan
hal tertentu tersebut kita selanjutnya dapat mengetahui ketepatan dan kekeliruan
pemahaman terhadap mitos tersebut. Persentuhan dengan mitos yang terus menerus itulah
yang menjadi penyebab munculnya dua kemungkinan. Kemungkinan yang dimaksud
yaitu (a) persentuhan yang memperkuat mitos atau mitos pengukuhan (myth of concern)
dan (b) persentuhan yang meniadakan mitos atau mitos pembebasan (myth of freedom).
Yang pertama, berusaha mempertahankan apa yang telah terwujud, sedangkan yang
kedua menginginkan sesuatu yang baru dengan melepaskan diri dari apa yang telah ada
(Junus, 1981).
3. Ilmu Kealaman
a. Pengertian Ilmu Kealaman
Ilmu kealaman merupakan salah satu bentuk dari olah piker manusia yang telah
diuji kebenarannya. Cara atau metode untuk mengujinya pun sudah baku, yaitu metode
ilmiah sehingga kebenaran yang dicapai pun sudah tertentu, yaitu kebenaran ilmiah.
Kebenaran ilmiah meliputi kebenaran yang apabila ditinjau secara deduktif adalah benar
dan ditinjau secara induktif pun benar, dimana kebenaran-kebenaran tersebut bersifat
sinergis larena menggunakan landasan teori yang relevan. Sesuai dengan kenyataan
merupakan syarat yang sangat penting dalam mengkaji ilmu kealaman, karena memang
bidang sasaran dari ilmu kealaman terbatas pada hal-hal yang bersifat nyata atau fisik.
Hal ini yang membedakan dengan filsafat, dimana filsafat dapat menembus metafisik
(Hedi, 2013).
b. Kebenaran Ilmu Kealaman
Terdapat berbagai kebenaran yang menyertai kebenaran ilmu kealaman, yang
kehadirannya dapat menjadi rambu-rambu yang memebadakan kajian ilmu kealaman dan
yang bukan ilmu kealaman. Adapun kebenaran-kebenaran tersebut sebagai berikut:
1) Kebenaran obyektif adalah kebenaran yang sesuai dengan obyeknya, artinya sesuai
dengan kenyataan. Kebenaran ini bersifat mutlak dan tidak bergantung kepada
pendapat atau hasil pemikiran ini.
2) Kebenaran Korespondensi, yaitu teori yang menyatakan bahwa kebenaran atau
keadaan yang benar itu berupa kesesuaian (correspondence) antara arti yang
dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan obyek yang yang dituju oleh
pernyataan atau pendapat tersebut, kebenaran tersebut berhubungan dengan teori yang
digunakan. Jadi, kenyataan yang dipermasalahkan tersebut harus berhubungan
(korespondensi) dengan teori yang digunakan.
3) Kebenaran Koherensi, memandang bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara suatu
pernyataan dengan pernyataan- pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu
diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. kebenaran yang mengandung makna
bahwa dianggap benar karena teori yang digunakan dapat menjelaskan kenyataan
yang dipermasalahkan tersebut. Jadi kenyataan yang dipermasalahkan tersebut harus
didukung oleh teori yang dapat memberi penjelasan dan argumentasi secara
kronologis kebenaran dari kenyataan tersebut.
4) Kebenaran Pragmatisme, yaitu suatu kebenaran yang yang kriteria kebenarannya
adalah berguna atau tidak bergunanya suatu pertnyataan kebenaran tersebut untuk
kehidupan manusia. Menurut filsafat ini dinyatakan bahwa suatu ucapan, hukum atau
sebuah teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar
jika dianggap benar. Suatu kebenaran atau pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.
Suatu hal yang perlu diingat tentang kebenaran ilmu adalah adanya pergeseran-
pergeseran akibat dari semakin canggihnya alat peralatan yang digunakan untuk
“menambah kapasitas” jangkauan panca indera manusia yang sifatnya terbatas. Dahulu,
dengan menggunakan pancaindra yang mempunyai kemampuan mengenali hal-hal yang
sifatnya faktual atau konkrit dan dibantu dengan peralatan yang sederhana menghasilkan
sesuatu yang sudah dianggap benar, namun dengan semakin canggihnya alat peralatan
memungkinkan fakta-fakta tersebut terungkap lainnya. Dengan demikian, ada
kemungkinan sesuatu yang telah diakui kebenarannya, pada suatu ketika dapat bergeser
menjadi tidak benar. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa dalam ilmu berlaku
kebenaran tentative atau kebenaran relative, yaitu kebenaran bersifat sementara dan terus
menerus dapat diperbaiki. Dikatakan bersifat sementara karena kbenaran tersebut hanya
berlaku ketika belum ada kebenaran lain yang menumbangkannya (Hedi, 2013)
c. Bidang Telaah Ilmu Kealaman
Ilmu kealaman telah dengan tegas memposisikan dirinya untuk bidang telaah pada hal-
hal yang bersifat nyata. Adapun kebenaranyya juga sangat khas, yaitu kebenaran ilmu
kealaman, sehingga berbeda dengan kebenaran-kebenaran lain yang ada, seperti
kebenaran filosofis, dan kebenaran absolut. Sekalipun ilmu kealaman dengan filsafat
memiliki obyek yang sama, yaitu alam semesta, tetapi tetap saja berbeda dalam hal
mekanisme pencapaian kebenaran, bidang sasaran dan obyek pertanyaannya. Dalam hal
mekanisme pencapaian kebenaran, pada ilmu kealaman bertolak pada hal-hal yang nyata
atau konkrit; artinya bertolak dari pengamatan dengan organ pancaindera, yang tentunya
juga diikuti dengan pemikiran sedangkan pada filsafat bertolak dari hal-hal yang abstrak;
artinya bertolak dari pemikiran, dengan organ otak. Dalam hal bidang sasaran, pada ilmu
kealaman terbatas pada hal-hal yang fisik, tetapi menembus yang tidak fisik, sedangkan
pada filsafat tidak terbatas pada hal-hal yang fisik, tetapi menembus yang tidak fisik
(metafisik). Dalam hal obyek pertanyaannya, pada ilmu kealaman biasanya
mempertanyakan apa, bagaimana, mengapa dan dimana sedangkan pada filsafat
mempertanyakan secara mendalam apa sebenarnya, darimana asalnya dan kemana
akhirnya (Hedi, 2013).
Barthes, Roland. 1981. Mithologies. Ney York: Granada Publising
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia
Hasanuddin. 1998. Pengaruh Mitos dalam Karya Sastra Indonesia Warna Lokal Minagkabau.
Dalam Majalah Humanus. Lemlit IKIP Padang.

Sunardi. 2002. Semiotika Negativa. Yoyakarta: Penerbit Kanal

Anda mungkin juga menyukai