Pedoman Pelaksanaan
Model Intervensi
Berbasis Sensori Integrasi
Untuk Siswa Berkesulitan Belajar Usia 7 – 8 Tahun
Abdul Aziz, M. Si
Prof. Dr. Martini Jamaris, M. Sc. Ed
Dr. Tjipto Sumadi, M. Si., M. Pd
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Jakarta
2019
2
Pedoman Pelaksanaan Model Intervensi
Berbasis Sensori Integrasi
Untuk Siswa Berkesulitan Belajar Usia 7 – 8 Tahun
Penulis:
Abdul Aziz, M. Si
Prof. Dr. Martini Jamaris, M. Sc. Ed
Dr. Tjipto Sumadi, M. Si., M. Pd
Konsultan Ahli :
Prof. Dr. Siti Marliah Tambunan, Psikolog
Prof. Dr. Frieda Maryam Mangunsang Siahaan., M.Ed., Psikolog
Vonny Susanty, AMd.OT., M.Psi., Psikolog
Eri Vidiyanto, M.Psi., PSikolog
dr. Leny Evanita
dr. Dian Kusumawardhani
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan / atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta), atau
pidana penjara paling lama 7 (Tujuh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau
denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3
DISCLAIMER
4
KATA PENGANTAR
5
anak sesuai dengan profil sensori integrasi yang dimiliki oleh
siswa agar dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik.
Patut disyukuri bahwa penyusunan buku ini telah
melibatkan berbagai disiplin keilmuan baik para ahli dibidang
pendidikan, psikologi, kedokteran, okupasi terapi sehingga
berbagai pandangan dan persepsi menjadikan buku ini kaya
makna dan ilmu pengetahuan. Sungguhpun demikian buku
edisi perdana ini masih memerlukan masukan dan saran dari
pembaca untuk dapat disempurnakan lebih lanjut.
Terima kasih dan apresiasi kami sampaikan kepada para
nara sumber yang telah membantu dalam penyusunan buku ini,
semoga bermanfaat dan dapat dikembangkan lebih luas di
masa yang akan datang.
Abdul Aziz, M. Si
6
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN........................................................................................ 10
7
6. TATA LAKSANA MODEL INTERVENSI BERBASIS
SENSORI INTEGRASI UNTUK SISWA BERKESULITAN
BELAJAR USIA 7–8 TAHUN.............................................................. 57
A.Tes Inteligensi/Intelligence Quotient (IQ) ................................. 58
B. Tes Fungsi Penglihatan dan Pendengaran .............................. 58
1. Tes Fungsi Penglihatan ................................................................. 59
2. Tes Fungsi Pendengaran .............................................................. 64
C. Tes Kesulitan Belajar ........................................................................ 66
D. Tes Profil Sensori Integrasi ........................................................... 69
E. Intervensi Sensori Integrasi ........................................................... 73
1. Sensasi Penglihatan ...................................................................... 78
2. Sensasi Pendengaran .................................................................... 87
3. Sensasi Taktil (Perabaan) .............................................................. 90
4. Sensasi Vestibular ........................................................................ 101
5. Sensasi Proprioseptif ................................................................... 108
F.Evaluasi ................................................................................................... 120
8
PENDAHULUAN
1 9
1. PENDAHULUAN
S
eorang anak dikatakan normal jika mampu melakukan
aktivitas sehari-hari tanpa mendapat kesulitan yang
berarti. Aktivitas sehari-hari yang dilakukan melibatkan
pergerakan fisik. Pergerakan dalam aktivitas fisik merupakan
hal yang utama dan melibatkan organ pengindraan yang saling
bekerjasama. Anak belajar melalui mata yang berintergrasi
dengan alat indra yang lain, seperti perabaan, pendengaran,
dan gerak motorik. Mata anak bersama dengan tangannya
akan memberikan isyarat untuk mengutarakan keinginannya
dan juga melalui mata, anak belajar memahami fungsi suatu
benda dan tujuan dari suatu tindakan sebelum dapat
mengeluarkan kata-kata.
Anak akan menghadapi berbagai kegiatan yang
memerlukan keterampilan penglihatan dan pendengaran.
Sistem pendengaran bekerjasama dengan sistem penglihatan
dalam mengenali suara yang didengar dan menghubungkan
dengan apa yang dilihat, sehingga terbentuk persepsi
penglihatan-pendengaran. Anak belajar berbicara tidak melalui
instruksi dari orangtuanya tetapi dari apa yang dilihat dan juga
melalui aktivitas yang didengar (Waiman dkk., 2011).
10
Sensori integrasi merupakan proses sistem saraf yang
berhubungan dengan persepsi dan pergerakan motorik.
Sensori integrasi melibatkan kemampuan otak untuk menerima,
mengorganisir, mengartikan, dan menggunakan berbagai
informasi sensori melalui tubuh dan sistem saraf yang berasal
dari stimulus internal maupun eksternal. Proprioseptif,
vestibular (keseimbangan), dan taktil (perabaan) merupakan
stimulus internal sedangkan sistem penglihatan dan
pendengaran merupakan stimulus eksternal.
Adanya kebutuhan untuk melakukan kombinasi dari satu
organ sensori dengan organ sensori yang lain pada anak,
membuat anak memiliki dorongan kuat untuk selalu menyentuh
benda-benda di sekitarnya dan berjalan-jalan. Proses belajar
dalam mengenal suatu benda tidak hanya dibutuhkan indra
penglihatan tetapi dibutuhkan juga indra perabaan. Proses
belajar yang normal adalah melakukan kombinasi dengan
berbagai input organ sensori. Jika diperhatikan saat anak
melakukan aktivitas menulis banyak proses sensori integrasi
yang terlibat. Anak harus menggunakan matanya, duduk diam,
memegang pensil dan kertas, menggerakkan jari, tangan, dan
pergelangan tangan. Sistem penglihatan akan bekerja
menyelusuri dan melihat huruf per huruf dan kata per kata,
sementara sistem keseimbangan dan proprioseptif
mempertahankan kepala tetap tegak dan keseimbangan pada
11
saat duduk. Sistem perabaan dan proprioseptif juga harus
bekerja agar dapat memegang pensil dan kertas. Beberapa
anak membutuhkan suara agar dapat mengingat bagaimana
kata-kata itu berbunyi, walaupun sistem pendengaran tidak
terlalu banyak berperan saat menulis.
Sekolah merupakan tempat anak menghabiskan sebagian
besar waktunya selain berada di rumah. Anak mengalami
banyak hal dan permasalahan yang dapat terjadi di sekolah.
Salah satu permasalahan yang banyak dialami oleh anak di
sekolah adalah masalah belajar. Sekolah memiliki beberapa
tuntutan terhadap anak yang harus dipenuhi. Bila anak tidak
mampu memenuhinya maka anak tersebut akan mengalami
kesulitan dalam proses belajar di sekolah yang sering disebut
dengan kesulitan belajar.
Gejala kesulitan belajar baru dapat ditemukan ketika anak
menjalani pembelajaran di sekolah dasar (Pesova et al., 2014).
Di Indonesia terdapat beberapa penelitian terhadap
keberadaan anak berkesulitan belajar antara lain penelitian
yang dilakukan oleh Nafsiah Ibrahim terhadap 3.215 murid
kelas satu hingga kelas enam Sekolah Dasar di DKI Jakarta.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat 16,52%
yang oleh gurunya diperkirakan sebagai murid yang termasuk
berkesulitan belajar (Abdurrahman, 2012).
12
Pada umumnya siswa yang mengalami kesulitan belajar
biasanya akan mengalami permasalahan dalam sensori
integrasi (Bundy et al., 2002; Han et al., 2015a; and Young &
Furgal, 2016). Kesulitan belajar yang disebabkan oleh
permasalahan pada sensori integrasi mengakibatkan siswa
mengalami kesulitan dalam memproses informasi yang masuk
membuatnya sulit untuk konsentrasi dan menyerap materi
pelajaran. Kesulitan belajar yang disebabkan karena adanya
gangguan pada salah satu sistem sensori akan sangat terbantu
bila dalam proses remedialnya menggunakan sistem sensori
yang lain (Hahn et al., 2014).
Penanganan sedini mungkin dengan menggunakan sistem
sensori sangat diperlukan. Proses remedial dengan
menggunakan sistem sensori pada anak berkesulitan belajar
yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu sistem
sensori akan sangat membantu (Dokter Indonesia Online,
2012). Sehingga intervensi sensori integrasi sangat tepat dan
efektif dilakukan pada anak berkesulitan belajar yang
disebabkan karena adanya gangguan dalam proses sensori
(Bundy et al., 1991; Han et al., 2013, 2015a, 2015b; and Tsung-
Yen & Ming-Shio, 2016).
Sensori integrasi dalam hal ini berperan menemukan
jawaban dari kesulitan yang dialami siswa selama proses
belajar di sekolah berhubungan dengan masalah pada proses
13
pengolahan informasi sensori. Penanganan dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan karakteristik dan keunikan yang
dimiliki dengan masalah yang saat ini siswa hadapi dengan
menggunakan instrumen yang sudah terstandar. Setelah itu
dilakukan intervensi berbasis sensori integrasi dengan
menggunakan media pembelajaran/permainan yang memiliki
efek terapeutik sehingga masalah yang dihadapi saat di
sekolah dapat diatasi (Waiman dkk., 2011 dan Tsung-Yen &
Ming-Shio, 2016).
Keberadaan siswa dengan kesulitan belajar menjadi
sebuah tantangan dan peluang bagi guru (Abraham, 2001).
Sehingga guru harus mendapatkan pengetahuan dalam
mengenali gejala pada siswa yang mengalami kesulitan belajar
agar dapat memperbaiki proses pembelajaran dengan
melakukan identifikasi awal yang tepat dan melakukan
intervensi. Model intervensi berbasis sensori integrasi bisa
menjadi model intervensi yang efektif untuk siswa yang
mengalami kesulitan belajar (Young & Furgal, 2016). Sehingga
buku ini ditulis untuk memberikan panduan bagi para guru
dalam memberikan pengajaran yang baik dan tepat untuk siswa
yang mengalami kesulitan belajar dengan pendekatan sensori
integrasi.
14
KESULITAN
BELAJAR
2 15
2. KESULITAN BELAJAR
K
esulitan belajar memiliki banyak arti. Ketidakmampuan
belajar yang dialami oleh anak akan memengaruhi
proses pembelajaran dan bisa ditemukan pada anak
yang memiliki masalah dalam mendengar, berpikir, atau
berbicara; pada anak usia sekolah, ketidakmampuan belajar
menjadi lebih jelas saat anak mengalami kesulitan dalam
membaca, menulis, dan matematika (Essa, 2014).
Istilah "kesulitan belajar" berarti adanya kelainan pada
satu atau lebih dari proses psikologis yang terlibat dalam
pemahaman atau penggunaan bahasa, lisan atau tulisan, yang
dapat menyebabkan ketidaksempurnaan dalam kemampuan
untuk mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis,
mengeja, dan melakukan perhitungan matematika. Gangguan
tersebut dapat disebabkan oleh permasalahan dalam
kemampuan perseptual, cedera otak, gangguan otak minimal,
disleksia, dan perkembangan afasia. Kesulitan belajar tidak
disebabkan oleh permasalahan motorik, indra penglihatan,
indra pendengaran, retardasi mental, gangguan emosional,
atau permasalahan lingkungan, budaya, dan ekonomi (Smith et
al., 2008; Allen & Schwartz, 2001; Kirk et al., 2009; Harwell &
Jackson, 2008; Abdurrahman, 2012; Pesova et al., 2014;
Sidiarto, 2007, Mangunsong, 2014; & Deiner, 2013).
16
Kesulitan belajar adalah suatu kelainan yang membuat
seseorang sulit untuk melakukan kegiatan belajar secara
efektif. Faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar tidak
mudah untuk ditetapkan karena faktor tersebut bersifat
kompleks. Faktor penyebab kesulitan belajar tidak dapat
diketahui, namun memengaruhi kemampuan otak saat
menerima dan memproses informasi dan kemampuan dalam
belajar (Jamaris, 2014).
Kesulitan belajar adalah suatu kondisi yang menunjuk
pada sejumlah kelainan yang berpengaruh pada pemerolehan,
pengorganisasian, penyimpanan, pemahaman, dan
penggunaan informasi secara verbal dan non-verbal (Jamaris,
2014). Chapparo dan Lane juga mengemukakan definisi
kesulitan belajar yang serupa yaitu gangguan neurologis yang
memengaruhi kemampuan otak untuk memproses, menyimpan,
dan merespons informasi (Juntorn et al., 2017). Akhirnya, anak
akan mengalami kesulitan dalam proses pikir yang
memengaruhi fungsi intelektual (Jamaris, 2014). Sehingga
pada anak yang mengalami kesulitan belajar ditemukan adanya
perbedaan antara kemampuan intelektual dan prestasi
akademik (Klein et al., 2001).
Istilah kesulitan belajar mencakup berbagai macam
kesulitan yang disebabkan karena permasalahan neurologis
atau perbedaan otak yang memengaruhi cara anak dalam
17
memproses dan mengatur informasi penglihatan dan
pendengaran. Permasalahan neurologis ini dapat mengganggu
proses belajar membaca dan menulis.
20
B. Penyebab Kesulitan Belajar
22
1. Kesulitan Belajar Membaca (Disleksia)
Kesulitan belajar membaca sering disebut juga disleksia.
Disleksia merupakan suatu gangguan yang berpusat pada
sistem saraf yang menyebabkan anak mengalami kesulitan
dalam hal membaca, menulis, mengeja, atau dapat
dikatakan kesulitan dalam mengenali huruf-huruf (Loeziana,
2017).
Disleksia adalah kesulitan dalam mempelajari komponen-
komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-
komponen kata dan kalimat, serta mempelajari segala
sesuatu yang berkenaan dengan waktu, arah, dan masa.
Disleksia sangat bervariasi, tetapi semuanya menunjuk
pada adanya gangguan fungsi otak.
Disleksia tidak hanya mengalami kesulitan dalam belajar
membaca tapi juga menulis. Kesulitan tersebut dapat
dipahami karena ada kaitan yang erat antara membaca
dengan menulis. Anak yang mengalami kesulitan dalam
belajar membaca umumnya juga mengalami kesulitan
dalam belajar menulis (Abdurrahman, 2012).
Menurut Jamaris (2014), gejala-gejala disleksia yang dapat
diidentifikasi pada waktu anak di kelas awal sekolah dasar,
antara lain sebagai berikut:
a. sulit belajar berbicara
b. sulit mengucapkan kata yang panjang
23
c. sulit mengucapkan intonasi yang benar
d. sulit mempelajari alfabet, hari-hari dalam satu minggu,
warna, bentuk, dan angka
e. sulit mempelajari hubungan antara bentuk huruf dan
bunyi huruf
f. sulit memahami kata-kata yang sederhana
g. sulit membedakan huruf d dengan huruf b, huruf p
dengan huruf q
h. membaca dan menulis huruf atau kalimat yang tidak
benar
i. sulit dalam melakukan koordinasi motorik halus saat
menulis
29
7) Memori
a) Memori jangka pendek: mengalami kesulitan
dalam mengingat informasi yang baru disajikan
b) Memori jangka panjang: mengalami kesulitan
dalam mengingat fakta dan proses dalam waktu
lama
8) Urutan
a) Mengalami kesulitan dalam menunjukkan waktu
b) Mengalami kesulitan dalam operasi pembagian
c) Mengalami kesulitan dalam operasi penjumlahan
d) Mengalami kesulitan dalam operasi perkalian
9) Integratif Closure
a) Mengalami kesulitan dalam menghitung pola
dalam satu rangkaian urutan
b) Mengalami kesulitan dalam memahami
peminjaman dan penambahan yang disisipkan
dalam operasi pengurangan dan penjumlahan
10) Abtraksi
a) Mengalami kesulitan dalam memecahkan
masalah
b) Mengalami kesulitan dalam membandingkan
bilangan dengan simbolnya
c) Mengalami kesulitan dalam konsep desimal
30
d) Mengalami kesulitan dalam memahami pola
hitungan
Anak yang mengalami diskalkulia sulit dalam mentransfer
pengetahuan, lemah dalam berhitung, sulit dalam
kemampuan persepsi visual, dan pemahaman bahasa
matematika yang kurang.
31
PEMBELAJARAN
PADA ANAK
BERKESULITAN
BELAJAR
3
32
3. PEMBELAJARAN PADA ANAK BERKESULITAN
BELAJAR
P
embelajaran pada hakikatnya tidak hanya sekedar
menyampaikan pesan tetapi juga merupakan aktivitas
profesional yang menuntut guru dapat menggunakan
keterampilan dasar mengajar secara terpadu serta
menciptakan situasi yang efisien (Dimyati & Mudjiono, 2013).
Oleh karena itu dalam pembelajaran, guru perlu menciptakan
kondisi pembelajaran yang kondusif dan strategi belajar yang
menarik minat siswa.
Pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta
didik agar dapat belajar dengan baik. Proses pembelajaran
perlu dilakukan dengan suasana yang tenang dan
menyenangkan. Kondisi yang demikian menuntut aktivitas dan
kreativitas guru dalam menciptakan lingkungan yang kondusif
(Susanto, 2016).
Menurut Sanjaya (2013), pembelajaran harus menaruh
perhatian pada bagaimana membelajarkan siswa, dan bukan
apa yang dipelajari siswa dan dipahami siswa (student center
learning). Pada pendekatan pembelajaran SCL, guru harus
mampu melaksanakan perannya dengan baik yaitu tidak hanya
33
sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator, kreator
(Susanto, 2016), dan motivator (Sanjaya, 2013).
Proses pembelajaran pada pendekatan SCL tidak
ditentukan oleh selera guru, akan tetapi sangat ditentukan oleh
siswa itu sendiri. Siswa memiliki kesempatan untuk belajar
sesuai dengan gayanya sendiri (Sanjaya, 2013).
Pembelajaran adalah usaha mengembangkan setiap
individu (Sanjaya, 2013). Pembelajaran secara individual
tampak pada perilaku dan kegiatan guru dalam mengajar yang
menitikberatkan pada pemberian bantuan dan bimbingan
belajar kepada masing-masing siswa secara individual. Perilaku
pembelajaran individual ini, guru akan memberikan kesempatan
dan keleluasaan kepada masing-masing individu siswa untuk
dapat belajar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki siswa
(Sagala, 2013).
Salah satu bentuk pelayanan pendidikan khusus bagi anak
berkesulitan belajar yaitu dengan menggunakan pembelajaran
secara individual. Kegunaan pembelajaran secara individual
adalah untuk menjamin bahwa tiap anak berkesulitan belajar
memiliki suatu program yang diindividualkan agar
mempertemukan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki oleh siswa
berkesulitan belajar, dan mengkomunikasikannya secara
tertulis. Pembelajaran secara individual diharapkan dapat
membantu guru untuk mengadaptasi proses pembelajaran bagi
34
siswa berkesulitan belajar yang mengacu pada kekuatan,
kelemahan, dan minat siswa. Dengan adanya pembelajaran
secara individual, guru diharapkan terdorong untuk melakukan
asesmen mengenai karakteristik belajar tiap anak dan
melakukan usaha–usaha untuk mempertemukannya dengan
kebutuhan-kebutuhan individual mereka (Abdurrahman, 2012).
Pada pembelajaran secara individual, siswa memiliki
keleluasaan belajar berdasarkan kemampuan siswa secara
individu, memiliki kedudukan yang bersifat sentral, yang
menjadi pusat pelayanan dalam pembelajaran. Posisi guru
dalam model pembelajaran secara individual adalah membantu
siswa membelajarkan siswa, membantu merencanakan
kegiatan belajar siswa sesuai dengan kemampuan dan daya
dukung yang dimiliki pada masing-masing siswa. Model
pembelajaran secara individual menggunakan pendekatan
yang terbuka antara guru dan siswa, yang bertujuan untuk
menimbulkan perasaan bebas dalam belajar sehingga terjadi
hubungan yang harmonis antara guru dengan siswa dalam
belajar (Sagala, 2013). Dengan demikian akan tercapai kualitas
pembelajaran yang optimal.
Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari
motivasi pada masing-masing siswa dan kreativitas pengajar.
Pembelajaran yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan
pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi siswa dengan
35
memenuhi kebutuhan dan membangun lingkungan belajar yang
menarik akan membawa pada keberhasilan pencapaian target
belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap
dan kemampuan siswa secara individu melalui proses belajar.
Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang
memandai, ditambah dengan kreativitas guru akan membuat
peserta didik lebih mudah mencapai target belajar.
Otak yang berfungsi sebagai pusat susunan saraf
memegang peranan penting dalam menentukan apakan anak
mengalami kesulitan belajar atau tidak. Hal ini disebabkan
apabila terjadi kelainan fungsi otak, seperti terjadi akibat luka
pada otak sehingga terjadi kondisi yang disebut disfungsi otak
minimal (minimal brain dysfunction). Pada waktu manusia
dilahirkan, otak dan susunan saraf pusat manusia telah
memiliki kemampuan dasar, seperti kemampuan untuk melihat,
mendengar, merasa, bergerak, dan melakukan pengaturan
fungsi organ (Jamaris, 2014).
Perkembangan kemampuan neurologis dasar ini akan
meningkat melalui proses pengembangan kemampuan fungsi
dasar neurologis. Proses ini dilakukan melalui berbagai
stimulasi yang diselenggarakan oleh orang-orang yang berada
di lingkungan anak, seperti orangtua, guru, dan lain-lain.
Melalui stimulasi yang dilakukan oleh orang-orang yang berada
36
disekitar anak, secara perlahan, sesuai dengan perkembangan
kemampuan belajar.
Otak yang mendapatkan stimulasi secara optimal memiliki
peruntalan dendrit dan akson yang rapat sehingga
mempercepat proses berpikir dan bergerak, seperti yang
digambarkan pada gambar dibawah ini.
Gambar 2. Kondisi Dendrit & Akson yang Dilatih dan Tidak Dilatih
(Sumber: Martini Jamaris, Kesulitan Belajar: Perspektif, Asesmen, dan
Penanggulangannya Bagi Anak Usia Dini dan Usia Sekolah (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2014), h. 3)
38
SENSORI
INTEGRASI
4
39
4. SENSORI INTEGRASI
J
ean Ayres memperkenalkan teori belajar motorik yang
disebut teori sensori integrasi pada tahun 1978. Jean
Ayres telah mengaplikasikan teori dan implementasi
intervensi bagi anak berkesulitan belajar.
Sensori integrasi merupakan proses pengolahan informasi
melalui mata, telinga, kulit, otot, persendian, mulut, hidung, dan
rasa keseimbangan ke otak. Proses pengolahan informasi
berlangsung di semua sistem sensorik (Horowitz & Rost, 2007).
Sensori integrasi adalah proses pengorganisasian secara
neurologis dari pengorganisasian informasi yang didapat dari
seluruh tubuh dan lingkungan sekitar yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam proses pengorganisasian
informasi, informasi dari seluruh indra akan dikelola serta
disaring mana yang penting dan mana yang diacuhkan (Al
Hazmi dkk., 2014).
Sensori integrasi adalah dasar untuk memberikan respon
adaptif terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungan
dan pembelajaran. Sensori integrasi melibatkan dan
mengaktifkan seluruh sensori yang ada yaitu penglihatan,
pendengaran, indra peraba, dan gerakan-gerakan (Kasdanel,
2013). Sensori integrasi adalah konsep neuroplastisitas atau
40
kemampuan sistem saraf untuk beradaptasi dengan input
sensori yang lebih banyak (Waiman dkk., 2011).
Pada umumnya setiap anak menggunakan lima
pengindraannya seperti penglihatan, pendengaran, penciuman,
pengecapan, dan perabaan dalam proses sensori integrasi.
Menurut penelitian Jean Ayres yang menciptakan teori sensori
integrasi mengatakan ada sistem sensori utama yang terdiri
dari:
A. Sistem Taktil (Perabaan)
Sistem taktil merupakan sistem sensoris pertama yang
berkembang saat embrio. Taktil atau sentuhan sangat
penting bagi perkembangan anak setelah lahir dan memiliki
peranan pada ikatan ibu dan anak, kenyamanan dan rasa
aman anak serta pertumbuhan anak.
Stimulasi sensori, terutama sentuhan, sangat berperan
dalam perkembangan struktur otak dan fungsinya pada
anak. Selama 6 bulan pertama kelahiran, sentuhan
merupakan interaksi ibu dan anak yang sangat penting, dan
kemampuan berkomunikasi bayi (Yudhiatmoko, 2014).
Sensasi taktil memberikan informasi melalui permukaan
kulit, mulai dari kepala sampai kaki mengenai tekstur,
bentuk, dan ukuran benda di lingkungan. Sensasi taktil
memberitahu seseorang apakah seseorang tersebut secara
aktif menyentuh sesuatu atau secara pasif disentuh.
41
Sensasi taktil membantu seseorang dalam membedakan
antara sensasi sentuhan yang mengancam dan tidak
mengancam (Kranowitz, 2003).
Sistem taktil merupakan sistem sensori terbesar yang
dibentuk oleh reseptor di kulit, yang mengirim informasi ke
otak terhadap rangsangan sentuhan, nyeri, suhu, dan
tekanan. Hipersensitif terhadap stimulasi taktil, yang dikenal
dengan tactile defensiveness, dapat menimbulkan
mispersepsi terhadap sentuhan, berupa respons menarik
diri saat disentuh, menghindari sekelompok orang, menolak
makan makanan tertentu atau memakai baju tertentu, serta
menggunakan ujung-ujung jari untuk memegang benda
tertentu. Bentuk lain disfungsi ini adalah perilaku yang
mengisolasi diri atau menjadi iritabel. Bentuk hiposensitif
dapat berupa reaksi kurang sensitif terhadap rangsang
nyeri, suhu, atau perabaan suatu obyek. Anak akan mencari
stimulasi yang lebih dengan menabrak mainan, orang,
perabot, atau dengan mengunyah benda. Kurangnya reaksi
terhadap nyeri dapat menyebabkan anak berada dalam
bahaya (Waiman dkk., 2011).
B. Sistem Vestibular
Sistem vestibular berkembang 10-12 minggu paska
konsepsi. Namun, perkembangan tersebut membutuhkan
42
waktu dan pengalaman sensoris berupa pergerakan tubuh
untuk dapat menguasai gerakan melawan gravitasi.
Perkembangan pesat sistem vestibular terjadi selama usia
pra sekolah, kematangan fungsi vestibular baru terjadi saat
usia 10 tahun. Anak melakukan aktivitas yang melawan
gravitasi dalam perkembangan sistem ini, permainan seperti
berayun, memanjat, berlari, naik sepeda, berdiri satu kaki,
melompat, loncat tali merangsang sistem vestibular.
Sistem vestibular merupakan dasar tonus otot,
keseimbangan, dan koordinasi bilateral. Sistem vestibular
berhubungan dengan sistem penglihatan serta proprioseptif.
Ketiga sistem ini akan membentuk kerjasama untuk
mengarahkan tubuh secara baik dalam ruangan dan
melakukan bermacam gerakan aktivitas motorik. Jika sistem
ini terganggu, anak tidak dapat membentuk peta motorik
yang baik dan akan mengganggu perkembangan
sensorimotornya. Anak akan kesulitan dalam melakukan
aktivitas koordinasi motorik seperti menggunting,
menggambar lingkaran di kertas, kesulitan dalam mengayuh
sepeda.
Perencanaan motorik yang terganggu akan mengakibatkan
gangguan pada akademik anak karena mengganggu dalam
proses menulis, menggunting, membaca yang kesemuanya
membutuhkan sekuensi motorik yang kompleks. Item pada
43
bagian ini mengukur respons anak terhadap keseimbangan
dan gerakan, seperti menjadi gelisah atau stres saat kaki
tidak menginjak tanah, kesulitan dalam berjalan di tempat
yang tidak rata, mabuk kendaraan (Yudhiatmoko, 2014).
Anak yang hipersensitif terhadap stimulasi vestibular
mempunyai respons fight (menghindar) atau flight
(menghadapi) sehingga anak takut atau lari dari orang lain.
Anak dapat bereaksi takut terhadap gerakan sederhana,
peralatan bermain di tanah, atau berada di dalam mobil.
Anak dapat menolak untuk digendong atau diangkat dari
tanah, naik lift atau eskalator, dan seringkali terlihat cemas.
Anak yang hiposensitif cenderung mencari aktivitas tubuh
yang berlebihan dan disengaja, seperti bergelinding,
berputar-putar, bergantungan secara terbalik, berayun-ayun
dalam waktu lama, atau bergerak terus-menerus (Waiman
dkk., 2011).
C. Sistem Proprioseptif
Sensasi proprioseptif berasal dari reseptor di otot, tendon
dan ligamen yang mengelilingi persendian. Aktivitas yang
dapat merangsang sistem proprioseptif berperan dalam
proses memori, konsentrasi, dan motivasi (Yudhiatmoko,
2014).
44
Sensasi proprioseptif memberikan informasi melalui sendi,
otot, dan ligamen mengenai arah gerakan anggota bagian
tubuh dan apa yang dilakukannya (Kranowitz, 2003). Sistem
proprioseptif terdapat pada serabut otot, tendon, dan
ligamen, yang memungkinkan anak secara tidak sadar
mengetahui posisi dan gerakan tubuh. Pekerjaan motorik
halus, seperti menulis, menggunakan sendok, atau
mengancingkan baju bergantung pada sistem proprioseptif
yang efisien. Hipersensitif terhadap stimulasi proprioseptif
menyebabkan anak tidak dapat menginterpretasikan umpan
balik dari gerakan dan mempunyai kewaspadaan tubuh
yang rendah. Tanda disfungsi sistem proprioseptif adalah
clumsiness, kecenderungan untuk jatuh, postur tubuh yang
aneh, makan yang berantakan, dan kesulitan memanipulasi
objek kecil, seperti kancing. Hiposensitif sistem proprioseptif
menyebabkan anak suka menabrak benda, menggigit, atau
membentur-benturkan kepala (Waiman dkk., 2011).
Ketiga sistem sensorik di atas sudah berkembang sejak anak
berada di dalam rahim ibunya. Kemudian, ketiga sistem
sensorik berinteraksi dengan indra lain seperti penglihatan,
pendengaran, penciuman, dan pengecapan. Hasil dari interaksi
tersebut sering disebut sensori integrasi. Sensori integrasi
membuat kemampuan pengendalian diri, harga diri,
45
keterampilan motorik, dan fungsi kognitif anak berkembang
(Kranowitz, 2003).
Menurut Dokter Indonesia Online (2003), perkembangan
dari proses sensori integrasi pada kebanyakan anak terjadi
secara alamiah ketika anak-anak melakukan berbagai aktivitas
sehari-hari sejak masa bayi sampai siap untuk bersekolah.
Proses sensori integrasi yang berfungsi secara baik dapat
memengaruhi perkembangan otak secara optimal, sehingga
anak mampu:
1. memberikan reaksi yang baik terhadap berbagai informasi
sensorik yang biasa diterima oleh anak
2. menunjukkan tingkat perkembangan sensori-motor, kognitif,
emosi, dan sosialisasi yang sesuai dengan usia anak
3. menghadapi berbagai tuntutan akademis yang selalu
bertambah sejalan dengan bertambahnya usia anak
Anak-anak yang mengalami gangguan dalam
perkembangan sensori integrasi biasanya akan menunjukan
berbagai masalah dalam belajar dan/atau perilaku. Anak-anak
yang mengalami masalah sensori integrasi memperlihatkan
satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
1. hambatan prestasi sekolah.
2. kurang percaya diri.
3. masalah emosi dan/atau sosialisasi.
4. tampak terlalu aktif ataupun terlalu pendiam.
46
5. perhatiannya mudah teralih.
6. kurang dapat mengontrol diri.
7. terlalu peka atau kurang peka terhadap sentuhan, gerakan,
suara, dan sebagainya.
8. gerakannya tampak kikuk, tidak luwes atau tampak
serampangan.
9. hambatan pada perkembangan keterampilan motorik,
bicara, dan/atau pengertian Bahasa.
10. kadang-kadang tampak tidak peduli pada orang sekitarnya.
Anak yang menunjukan beberapa gejala gangguan sensori
integrasi seperti yang telah diuraikan di atas, sering kali
orangtua menanyakan mengenai penyebabnya. Penyebab
gangguan sensori integrasi pada seorang anak biasanya sulit
untuk ditunjukan secara pasti. Pada anak-anak tersebut,
masalah sensori integrasi ditemukan menyertai masalah
perkembangan yang utama.
Proses sensori integrasi terjadi secara bertahap,
kegagalan di satu tahap akan berpengaruh pada tahap
berikutnya. Anak yang optimal dalam proses sensori integrasi
akan memiliki kemampuan komunikasi, regulasi diri, harga diri,
kepercayaan diri, kemampuan akademik, kemampuan berpikir
abstrak dan penalaran, serta spesialisasi pada setiap sisi tubuh
dan otak. Intervensi berbasis sensori integrasi sangat efektif
dilakukan pada anak usia 3 – 8 tahun (Bundy et al., 2002).
47
KESULITAN BELAJAR
& SENSORI INTEGRASI
5 48
5. KESULITAN BELAJAR & SENSORI INTEGRASI
B
eberapa anak yang mengalami kesulitan belajar
biasanya mengalami permasalahan sensori integrasi.
Sensori integrasi melibatkan kemampuan untuk
menggunakan dua atau lebih indra secara bersamaan.
Ketidakmampuan seorang siswa untuk mendengarkan dan
mencatat selama berada di dalam kelas merupakan contoh dari
adanya gangguan sensori integrasi (sensory integration
dysfunction), karena memerlukan kombinasi kemampuan dari
persepsi pendengaran dan perabaan atau perilaku proprioseptif
(suatu kesadaran di mana tubuh memiliki hubungan dengan
ruang di sekitarnya).
Bagian terakhir yang menjadi perhatian pada komponen
sensori integrasi adalah sensitivitas yang berlebihan terhadap
input sensoris. Cahaya, suara, bau, dan rasa bisa menjadi
sesuatu yang berlebih. Bila sensitivitas yang tinggi ini
memengaruhi rasa sentuh, ini disebut tactile defensiveness,
yaitu sentuhan yang diterima anak dapat memicu
ketidaknyamanan. Bagi anak yang defensif terhadap sensasi
sentuh, sentuhan ringan atau lembut tampaknya lebih tidak
nyaman daripada sentuhan yang kasar. Hal yang bisa
dilakukan di kelas yaitu dengan melihat bagaimana seorang
49
siswa dengan sensitivitas sensori yang dialami akan mengalami
kesulitan (Kirk et al., 2009).
Anak dengan kesulitan belajar sering mengalami kesulitan
dalam regulasi pengendalian impuls dan perilaku, sulit
mempertahankan dan memusatkan perhatian, dan kesulitan
dalam perkembangan bahasa. Anak-anak dengan kesulitan
belajar sering menunjukkan keterampilan dan kinerja yang tidak
konsisten dan bervariasi. Misalnya, seseorang yang memiliki
kesulitan dalam satu bidang keahlian, tapi unggul dalam bidang
keterampilan yang lain (Klein et al., 2001).
Sensori integrasi merupakan pendekatan pengobatan
yang digunakan untuk anak-anak dengan sensory integration
dysfunction (SID), yang salah satunya ialah anak yang
mengalami kesulitan belajar. Sensory integration dysfunction
adalah ketidakmampuan untuk memproses informasi yang
diterima melalui indra. Istilah lain yang digunakan adalah
sensori processing disorder. Ketidakberfungsian sistem saraf
pusat di otak untuk menganalisis, mengatur, dan melakukan
hubungan secara terpadu terhadap pesan–pesan yang masuk
melalui indra serta melakukan respon melalui seluruh saraf
tubuh sesuai dengan stimulus yang ada.
Anak yang mengalami SID tidak mampu melakukan
respon terhadap informasi yang masuk melalui indra sehingga
mengakibatkan ketidakmampuan dalam berperilaku secara
50
konsisten dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari.
Ketidakberfungsian saraf pusat tersebut mengakibatkan
seorang anak mengalami beberapa kesulitan seperti
berperilaku adaptif, mempelajari suatu gerakan, dan
mempelajari akademik. Anak sangat memerlukan bantuan
penuh saat mengalami SID yang dapat dilakukan melalui
intervensi khusus yang berbasis sensori integrasi. Intervensi
berbasis sensori integrasi dilakukan dengan modifikasi saraf
yang tidak berfungsi melalui belajar.
Ketidakberfungsian dalam menjalani fungsinya
mengakibatkan permasalahan pada otak yang menyebabkan
otak tidak mampu untuk melakukan analisis, pengorganisasian,
dan tidak mampu dalam hubungan sensori. Anak tidak dapat
melakukan respon atau menanggapi informasi sensoris untuk
dijadikan sesuatu yang bermakna secara konsisten disebabkan
karena ketidakberfungsian sensori integrasi. Anak akan
mengalami kesulitan dalam menggunakan informasi sensoris
untuk membuat rencana atau disorganisasi dengan apa yang
semestinya dilakukan, sehingga anak tidak bisa belajar secara
mudah. Bentuk-bentuk belajar tersebut adalah adaptive
behavior, motor learning, dan academic learning (Delphie,
2009).
Sensori integrasi menjelaskan proses biologis pada otak
untuk mengolah serta menggunakan berbagai informasi secara
51
baik dan sesuai situasi. Input sensorik bermacam-macam, bisa
dirasa dengan rabaan, didengar, dilihat, dan dicium. Anak
mampu membedakan suara dan warna jika sensorik
pendengaran dan penglihatan dalam kondisi yang baik. Anak
yang mengalami masalah dengan daya sensoriknya karena
alat-alat indra, serabut saraf, dan jaringan saraf mengalami
gangguan sehingga penyampaian informasi ke otak tidak
sempurna. Kondisi ini tergantung pada keadaan yang diderita
setiap anak. Anak kurang atau tidak mampu menerima input
sensorik dengan baik jika sistem sensoriknya tidak berfungsi
secara baik. Pada akhirnya, anak dianggap mengalami
gangguan pertumbuhan sensori integrasi dan memerlukan
terapi (Widyawati dkk., 2003).
Sensori integrasi dirancang untuk memberikan
pengalaman sensorik yang dikendalikan sehingga adaptif
respon motor akan timbul. Penggunaan sensori integrasi pada
proses intervensi bertujuan untuk meningkatkan modulasi
sensorik yang berhubungan dengan perilaku, perhatian, dan
meningkatkan kemampuan untuk interaksi sosial, keterampilan
akademik, dan kemandirian. Kegiatan tersebut akan
direncanakan, dikendalikan, dan diarahkan sesuai dengan
kebutuhan anak yang ditandai dengan penekanan pada
stimulasi sensorik. Kegiatan yang diberikan pada intervensi
berbasis sensori integrasi dapat membantu memodulasi sistem
52
saraf, mengatur, dan mengintegrasikan informasi dari
lingkungan, sehingga dapat merespon dengan baik (Pfeiffe,
2011). Sensori integrasi akan melibatkan kegiatan motorik
sensorik yang kaya sensasi taktil (rabaan), vestibular, dan
proprioseptif (Schaaf & Miller, 2005). Lingkungan terapi
dirancang agar menyenangkan dalam bentuk permainan agar
tujuan tercapai. Kemudian guru mengobservasi, mengamati,
dan menafsirkan perilaku untuk kepentingan anak.
Karakteristik dalam intervensi berbasis sensori integrasi
harus menggunakan komunikasi dan dilakukan dalam kondisi
yang menyenangkan (Smith et al., 2005). Pada terapi sensori
integrasi, anak dibimbing melakukan berbagai aktivitas yang
akan memberinya berbagai input sensorik secara aktif
(Widyawati dkk., 2003). Terapi dirancang untuk memberikan
stimulasi vestibular (keseimbangan), proprioseptif (gerak,
tekan, dan posisi sendi otot), taktil (raba), auditoris
(pendengaran), visual (penglihatan), dan gustatori
(pengecapan)/olfaktori (penciuman) (Bundy, 2002). Sistem
sensori yang dirancang dalam intervensi yang berbasis sensori
integrasi akan dijelaskan di bawah ini.
Pendekatan intervensi berbasis sensori integrasi mengacu
pada asumsi bahwa otak dapat dilatih untuk merasa,
mengingat, dan mampu melakukan gerak yang lebih baik.
Penekanan terhadap sensori motor pada intervensi berbasis
53
sensori integrasi dirancang dan diterapkan sesuai dengan
sensasi gerak dalam bentuk informasi dan pesan sensoris, dari
lingkungan, kemudian diproses, dan diintegrasikan oleh otak
melalui sistem saraf pusat. Selanjutnya akan menjadi sebuah
respon berupa gerakan-gerakan yang berarti sesuai dengan
pikiran dan perasaan anak (Anggraeni, 2015). Menurut
Widyawati, Rosadi, dan Yulidar (2003), keberhasilan terapi
tergantung oleh beberapa faktor, sebagai berikut:
a. Berat-ringannya gejala dan gangguan di dalam sel otak
b. Makin muda umur anak pada saat terapi dimulai, semakin
besar kemungkinan berhasil. Umur ideal adalah 2-5 tahun,
saat sel otak masih bisa dirangsang untuk membentuk
cabang-cabang neuron baru
c. Makin cerdas anak semakin cepat menangkap hal-hal yang
diajarkan
d. Intensitas terapi dan seluruh keluarga harus ikut terlibat
melakukan komunikasi dengan baik.
Melihat penjelasan di atas mengenai konsep model
intervensi berbasis sensori integrasi untuk siswa yang
mengalami kesulitan belajar, bahwa pentingnya implementasi
model intervensi pada anak berkesulitan belajar di kelas. Siswa
yang berkesulitan belajar yang terdiri dari disleksia, diskalkulia,
dan disgrapia membutuhkan model intervensi berbasis sensori
integrasi. Model intervensi berbasis sensori integrasi
54
memperbaiki proses pengelolaan informasi sensorik seperti
indra penglihatan, pendengaran, perabaan (taktil), proprioseptif,
dan vestibular. Perbaikan proses pengelolaan informasi
sensorik bertujuan untuk memperbaiki proses belajar siswa
sehingga dapat meningkatkan kemampuan akademis pada
siswa berkesulitan belajar.
Penting untuk menentukan karakteristik proses
pembelajaran yang unik pada setiap anak. Artinya, melalui
percakapan dengan orangtua dan profesional, mencoba untuk
menentukan model pembelajaran mana yang disukai oleh anak
(misal, visual, auditoris, taktil), dan apakah ada situasi atau
pengalaman sensoris tertentu yang dialami anak tersebut
(Widyawati dkk., 2003).
55
TATA LAKSANA
MODEL INTERVENSI
6
56
6. TATA LAKSANA MODEL INTERVENSI
BERBASIS SENSORI INTEGRASI
UNTUK SISWA BERKESULITAN BELAJAR
USIA 7- 8 TAHUN
P
enatalaksanaan model intervensi berbasis sensori
integrasi sangat efektif bagi siswa berkesulitan belajar.
Penerapan model intervensi berbasis sensori integrasi
untuk siswa berkesulitan belajar usia 7–8 tahun terdapat
beberapa kegiatan yang harus dilakukan di bawah ini.
59
Sebelum melakukan pemeriksaan, berikut ini beberapa hal
yang harus diperhatikan:
a. Anak yang diperiksa berada pada posisi 6 meter dari kartu
snellen, karena pada jarak ini mata akan melihat benda
dalam keadaan istirahat;
b. Kartu snellen diletakkan sejajar dengan mata anak yang
diperiksa;
c. Pastikan ruang tempat pemeriksaan cukup cahaya (tidak
gelap dan tidak silau);
d. Orang yang diperiksa tidak buta huruf (tahu membaca huruf)
e. Orang yang diperiksa harus berumur di atas 5 tahun.
f. Tidak melakukan pemeriksaan sendiri, artinya harus ada
paling tidak 2 orang yaitu orang yang diperiksa dan
pemeriksa yang bertugas mengarahkan orang yang
diperiksa.
g. Pemeriksa berdiri di samping kartu snellen.
Setelah semua persiapan pemeriksaan siap, maka
mulailah lakukan pemeriksaan dengan cara sebagai berikut:
a. Pemeriksaan dimulai pada mata kanan terlebih dahulu. Jika
mata kanan yang akan diperiksa, maka orang yang
diperiksa harus menutup mata sebelah kiri menggunakan
tangan kiri dan memperhatikan instruksi yang diberikan oleh
pemeriksa, begitu pula sebaliknya, jika mata kiri yang
diperiksa maka mata kanan yang ditutup. Sebagai catatan,
60
ketika menutup mata usahakan mata yang ditutup jangan
ditekan agar tidak berdampak pada pemeriksaan mata yang
sebelumnya ditutup.
b. Pemeriksa menunjuk huruf-huruf yang ada pada kartu
snellen, dari atas ke bawah atau dari huruf paling besar ke
satu tingkat dibawahnya dan dari kiri ke kanan pada baris
huruf kemudian orang diperiksa menyebutkan huruf yang
ditunjuk oleh pemeriksa. Jika terjadi ketidaksesuaian antara
yang ditunjuk dengan yang di sebutkan, maka dapat
diulangi hingga 3 kali untuk memastikan.
c. Cara menilai visus dari hasil membaca kartu:
1) Bila siswa dapat membaca kartu pada baris dengan
visus 6/6, maka tidak usah membaca pada baris
berikutnya visus normal
2) Bila siswa tidak dapat membaca kartu pada baris
tertentu di atas visus normal, cek pada 1 baris tersebut.
a) Bila cuma tidak bisa membaca 1 huruf, berarti
visusnya terletak pada baris tersebut dengan
kesalahan 1.
b) Bila tidak dapat membaca 2 huruf, berarti visusnya
terletak pada baris tersebut dengan kesalahan 2.
c) Bila tidak dapat membaca lebih dari stengah jumlah
huruf yang ada, berarti visusnya berada di baris tepat
di atas baris yang tidak dapat dibaca
61
d) Bila tidak dapat membaca satu baris, berarti visusnya
terdapat pada baris di atasnya.
d. Catat pada baris ke berapa siswa mampu membaca,
tuliskan visus sesuai angka yang ada disebelah kiri pada
baris tersebut.
Setelah melakukan pemeriksaan, maka kita menafsirkan
hasil pemeriksaan atas ketajaman penglihatan orang yang
diperiksa dengan ketentuan sebagai berikut:
Penglihatan Normal
63
Tabel 2. Kategori Penglihatan Hampir Normal
64
Sebelum melakukan pemeriksaan, berikut ini beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi:
a. Tempat: ruangan sunyi dan tidak ada echo (dinding dibuat
rata atau dilapisi ”soft board”/gorden) serta ada jarak
sepanjang 6 meter
b. Siswa yang diperiksa
1) Mata ditutup atau dihalangi agar tidak membaca gerak
bibir
2) Telinga yang diperiksa dihadapkan ke arah pemeriksa
3) Telinga yang tidak diperiksa ditutup (bisa ditutupi kapas
yang dibasahi gliserin)
4) Mengulang dengan keras dan jelas kata-kata yang
dibisikkan
c. Pemeriksa
1) Kata-kata dibisikkan dengan udara cadangan paru-paru,
sesudah ekspirasi biasa
2) Kata-kata yang dibisikkan terdiri dari 1 atau 2 suku kata
yang dikenal siswa, biasanya kata-kata benda yang ada
di sekeliling kita.
Setelah semua persiapan pemeriksaan siap, maka
mulailah lakukan pemeriksaan dengan cara sebagai berikut:
a. Mula-mula siswa pada jarak 6 meter dibisikin beberapa
kata. Bila tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter
dari siswa) dan tes ini dimulai lagi. Bila masih belum
65
menyahut pemeriksa maju 1 m, demikian seterusnya
sampai siswa dapat mengulangi 8 kata-kata dari 10 kata-
kata yang dibisikkan. Jarak dimana siswa dapat menyahut 8
dari 10 kata disebut sebagai jarak pendengaran.
b. Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang
lain sampai ditemukan satu jarak pendengaran.
Hasil tes pendengaran yang diperoleh pada Model
Intervensi Berbasis Sensori Integrasi untuk Siswa Berkesulitan
Belajar Usia 7–8 tahun adalah sebagai berikut:
66
mengetahui adanya gangguan yang terjadi dalam kegiatan
belajar yang mencakup dalam penguasaan keterampilan dalam
membaca (disleksia), menulis (disgrafia), dan matematika
(diskalkulia) pada siswa. Tes kesulitan belajar dapat dilakukan
oleh guru yang terlatih.
Tes kesulitan belajar pada ketidakmampuan siswa saat
membaca (disleksia) akan mengukur tingkat kesulitan siswa
dalam melakukan tugas terkait dengan ketepatan dalam
membaca kata, kecepatan dan kefasihan membaca, serta
pemahaman dalam membaca. Tes kesulitan belajar pada
ketidakmampuan siswa saat menulis (disgrafia) akan mengukur
tingkat kesulitan siswa dalam melakukan tugas terkait dengan
ketepatan ejaan, ketepatan tata bahasa dan tanda baca, serta
kejelasan dan keteraturan dalam menulis. Tes kesulitan belajar
pada ketidakmampuan siswa saat belajar berhitung dan
matematika (diskalkulia) akan mengukur tingkat kesulitan siswa
dalam melakukan tugas terkait dengan pemahaman angka,
menghapal rumus matematika, serta ketepatan dan kefasihan
dlam operasi perhitungan.
Sebelum melakukan pemeriksaan, berikut ini beberapa
hal yang harus dipersiapkan:
1. Perlengkapan alat instrumen yang terdiri dari instrumen tes,
perangkat instrumen tes dan buku panduan administrasi
instrumen tes.
67
2. Perlengkapan alat tulis yang terdiri dari kertas kosong,
pensil, dan penghapus.
3. Ruang penyelenggaran tes yang tenang dan nyaman
Setelah semua persiapan pemeriksaan siap, maka mulailah
lakukan pemeriksaan kesulitan belajar sesuai dengan buku
panduan administrasi instrumen tes kesulitan belajar.
Hasil tes kesulitan belajar yang diperoleh pada Model
Intervensi Berbasis Sensori Integrasi untuk Siswa Berkesulitan
Belajar Usia 7–8 tahun adalah sebagai berikut:
Normal ≤1 ≤8 ≤7 ≤ 17
Ringan 2–4 9 – 10 8 18 – 21
Sedang 5–6 11 – 13 9 – 11 22 – 26
68
Tabel 5. Kategori Kesulitan Belajar pada Siswa di Atas Kelas 1
Normal 0 ≤2 ≤2 ≤5
69
Tes profil sensori integrasi mengukur kelima aspek sensori
integrasi. Kelima aspek sensori integrasi yang diukur adalah
sebagai berikut:
1. Proses penglihatan, mengukur respon anak terhadap
stimulus visual
a) Hipersensitif penglihatan, anak menghindar atau kurang
nyaman dan bereaksi secara berlebihan terhadap
stimulus visual.
b) Dalam batas normal/tipikal, anak berespon sewajarnya
terhadap stimulus visual.
c) Hiposensitif penglihatan, Anak mencari stimulus visual
secara berlebihan dan kurang berespon terhadap
stimulus visual.
71
a) Hipersensitif proprioseptif, anak menghindar terhadap
stimulus proprioseptif dan mudah merasa lelah atau
terlihat lemah.
b) Dalam batas normal/tipikal, anak berespon sewajarnya
terhadap stimulus proprioseptif.
c) Hiposensitif proprioseptif, anak mencari stimulus
proprioseptif secara berlebihan dan tidak bisa diam.
Tes profil sensori integrasi merupakan instrumen tes untuk
mendeteksi secara dini adanya permasalahan dalam proses
pengolahan dan pengorganisasian input sensori yang dapat
mengganggu proses pembelajaran siswa di kelas. Jika
ditemukan adanya permasalahan dalam proses pengolahan
dan pengorganisasian input sensori maka harus ditindaklanjuti
dengan memberikan intervensi sederhana berbasis sensori
integrasi yang dilakukan oleh guru yang terlatih. Alangkah
baiknya tindakan intervensi sensori integrasi yang dilakukan
oleh guru yang terlatih di bawah pengawasan seorang okupasi
terapis agar siswa mendapatkan intervensi yang benar dan
tepat untuk mendapatkan hasil intervensi yang lebih baik.
73
Pengembangan kondisi lingkungan kelas yang kondusif pun
butuh dilakukan dengan cara:
Berikan siswa kesempatan untuk mengembangkan citra
tubuh mereka melalui gerakan dengan menggunakan ritme,
musik, dan aktivitas motorik sensorik lainnya.
Gunakan instruksi singkat, langsung, dan sederhana.
Atur kelas dengan prosedur yang rutin dan tertib. Ketika
siswa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, mereka
merasa lebih aman.
Buat siswa merasa aman dengan menggunakan
pengalaman yang tidak mengancam dan sesuai dengan
perkembangannya.
Berikan siswa sedikit kebebasan dengan mengizinkan
mereka bermain dan istirahat sesekali.
Selalu konsisten saat membentuk perilaku siswa di dalam
kelas.
Guru harus memiliki rencana yang sama dengan profesional
lain yang terkait ketika berhadapan dengan masalah
perilaku.
Program harus berorientasi pada siswa, bukan berbasis
kurikulum.
Guru perlu mencari tahu dari orangtua apa yang paling
memotivasi siswa.
74
Kondisi lingkungan yang kondusif perlu didukung dengan
aktivitas kelas yang baik. Aktivitas kelas yang baik dapat
dicapai dengan cara:
Menawarkan pengalaman positif pada siswa.
Jangan memaksakan apa-apa pada siswa.
Menemukan pengalaman siswa dengan kurikulum.
Memberikan instruksi pada siswa baik satu per satu maupun
dalam kelompok kecil.
Mempertimbangkan kebutuhan individu saat merencanakan
suatu kegiatan pembelajaran.
Menggunakan musik untuk memberikan suasana yang
menenangkan.
Memberikan berbagai kegiatan sehingga semua siswa akan
memiliki peluang untuk merasakan kesuksesan dalam
menyelesaikan kegiatan yang diberikan.
Membuat kegiatan yang memfasilitasi siswa untuk bergerak
dan terlibat dalam mengembangkan kebugaran fisik.
Memberikan petunjuk secara terpisah saat siswa mengalami
kesulitan dalam bereaksi terhadap stimulus yang diterima.
Pertama, gunakan petunjuk visual. Selanjutnya, gunakan
petunjuk auditorik. Ketiga, berikan petunjuk berupa sentuhan
(taktil).
75
Menggunakan musik untuk menandai aktivitas yang akan
dimulai dan diakhiri.
Memberikan tahapan dalam menambah panjangnya aktivitas
berdasarkan kebutuhan anak terkait dengan rentang
perhatian siswa.
Memberikan pengulangan keterampilan yang memungkinkan
siswa untuk mengeksplorasi keterlibatan siswa dalam suatu
kegiatan dan atau keberhasilan.
Intervensi berbasis sensori integrasi biasanya memerlukan
beberapa perlengkapan seperti ayunan dan perlengkapan
lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan sensasi dan
perilaku adaptif. Biasanya kegiatan intervensi berbasis sensori
integrasi dapat dilakukan di luar kelas karena dapat
memberikan keleluasan bagi siswa untuk bergerak (Bundy et
al., 2002). Memberikan kesempatan untuk bergerak pada siswa
dapat membantu meminimalkan atau menghilangkan potensi
kesulitan belajar. Aktivitas gerakan yang tampak paling
berhubungan langsung adalah gerakan yang menggabungkan
gerakan kedua sisi tubuh yang berlawanan, seperti merangkak,
memanjat, dan bergerak di atas balok keseimbangan.
Siswa berkesulitan belajar yang memiliki banyak
kesempatan untuk mengembangkan otot bahu dan lengan atas
akan memiliki kontrol motorik yang lebih baik dalam tulisan
tangan. Karena seorang anak berkembang dari kepala sampai
76
kaki dan dari tulang belakang ke arah tangan, sehingga guru
harus memperkuat lengan atas dan bahu siswa sebelum
mengharapkan tangan dan jari-jari siswa terkoordinasi secara
baik. Memanjat, berjalan di atas roda, merangkak melewati
terowongan dan di bawah rintangan, main kuda-kudaan, dan
membuat gerakan pada lengan sampai jari-jari mengikuti lagu
yang diperdengarkan untuk membantu mengembangkan otot
yang dibutuhkan untuk menulis (Abraham, 2002).
Menurut Schaaf & Mailloux (2015), aktivitas intervensi
sensori integrasi pada siswa berbeda-beda sesuai dengan
minat, mood dan kemampuan siswa. Intervensi sensori
integrasi yang diberikan kepada siswa harus memiliki tantangan
bagi siswa namun jangan terlalu susah dan juga tidak terlalu
mudah. Aktivitas intervensi sensori integrasi yang baik didesain
oleh terapis dan siswa. Intervensi sensori yang didesain
bersama diharapkan siswa mampu melakukan aktivitas yang
akan dilakukan dengan memberi umpan balik yang positif baik
dari sisi sensorik maupun motorik. Umpan balik positif yang
diberikan oleh siswa membantu dalam mengembangkan “body
awareness”, harga diri, dan kepercayaan diri siswa. Aktivitas
intervensi sensori integrasi yang diberikan kepada siswa dalam
kondisi yang menyenangkan. Aktivitas intervensi sensori
integrasi yang menyenangkan dilakukan dalam bentuk
77
permainan dengan tujuan untuk mempertahankan motivasi
siswa.
Intervensi sensori Integrasi diberikan sesuai dengan
kebutuhan siswa. Pemenuhan kebutuhan sensasi siswa saat
diberikan intervensi sensori integrasi tergantung pada hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh guru yang terlatih dengan
menggunakan instrumen tes profil sensori integrasi. Di bawah
ini adalah aktivitas yang dapat diberikan pada siswa sesuai
dengan kebutuhan (Schaaf & Mailloux (2015) & Abraham
(2002)).
1. Sensasi penglihatan
a) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang
mengalami hipersensitif penglihatan adalah sebagai
berikut:
Bermain dengan mainan yang memancarkan sinar
secara bergradasi dimulai dari cahaya yang tidak
terlalu silau.
78
Mencari obyek pada sebuah gambar.
79
Dipaparkan sensasi penglihatan yang membuat
siswa tidak nyaman secara bergradasi dimulai dari
sensasi penglihatan yang tidak terlalu membuat
siswa merasa tidak nyaman yang dilakukan dalam
aktivitas yang menyenangkan dan menenangkan
seperti tangkap bola
.
Menyamakan gambar/angka/huruf.
80
Memasukkan bola ke sasaran (misal: keranjang atau
ember) dengan jarak yang tidak terlalu jauh diberikan
secara bergradasi (misal: dimulai dari 0,5 meter)
81
Bermain “metronome code” (misalnya siswa diminta
tepuk tangan saat guru menunjukkan huruf O, tepuk
bahu saat guru menunjukkan huruf X, tepuk paha
saat guru menunjukkan huruf V, dan lain-lain).
82
Bermain bola basket.
Bermain badminton.
83
Memukul bola yang menghampiri dengan
menggunakan tongkat atau raket.
84
Bermain dart.
Menyusun balok.
85
Menyiram tanaman dengan menggunakan selang.
86
2. Sensasi Pendengaran
a) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang
mengalami hipersensitif pendengaran adalah sebagai
berikut:
Bermain dengan mainan yang mengeluarkan suara
secara bergradasi dimulai dari suara yang tidak
terlalu keras
.
Melakukan aktivitas auditoris dengan menggunakan
peluit, meniup mainan yang mengeluarkan suara,
bermain alat musik yang dilakukan secara
bergradasi.
87
Dipaparkan sensasi pendengaran yang membuat
siswa tidak nyaman secara bergradasi dimulai dari
sensasi pendengaran yang tidak terlalu membuat
siswa merasa tidak nyaman yang dilakukan dalam
aktivitas yang menyenangkan dan menenangkan.
88
Bermain menyembur air ke sebuah huruf saat guru
menyebutkan huruf.
89
Memainkan alat musik
90
Siswa mencari mainan yang disembunyikan di dalam
kolam bola atau kolam pasir.
91
Siswa bermain “car wash” (siswa merayap melalui
tumpukan handuk atau selimut) dilakukan secara
bergradasi dalam kondisi yang menyenangkan dan
menenangkan
92
Bermain “super hero” dan siswa melakukan
pendaratan darurat di atas bantal besar atau kasur.
93
Memperkenalkan siswa aktivitas bermain “slime”, lilin
malam, busa cukur, lem, “lotion” secara bergradasi
dalam kondisi yang menyenangkan dan
menenangkan
94
Berjalan di atas permukaan yang berbeda tekstur
dilakukan secara bergradasi dalam kondisi yang
menyenangkan dan menenangkan
95
Memberikan aktivitas permainan yang mengandung
sensasi taktil yang kaya yang memfokuskan pada
anggota tubuh tertentu seperti tangan dan kaki
bermain pasir, berjalan di atas rumput atau kerikil.
96
“finger painting”, menggambar orang dengan
menggunakan busa cukur di atas permukaan
(seperti: cermin), berseluncur dan berenang di busa
cukur yang disemprotkan di atas matras.
97
Menggelindingkan bola besar di atas tubuh siswa
serta memberikan tekanan yang agak kuat posisi
siswa tengkurap.
98
Bermain mencari mainan yang disembunyikan di
dalam tumpukan kelereng, batu kerikil, biji-bijian.
99
Melakukan cetakan telapak kaki dan atau telapak
tangan di atas kertas (telapak kaki dan tangan siswa
terlebih dahulu diberikan cat).
100
4. Sensasi Vestibular
a) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang
mengalami hipersensitif vestibular adalah sebagai
berikut (Kranowitz, 2003 dan Schaaf & Roley, 2006):
Bermain ayunan dengan arah depan-belakang atau
kanan-kiri dengan hempasan ayunan yang
bergradasi diberikan dalam kondisi yang
menyenangkan dan menenangkan.
101
Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa
saat berjalan di atas palang titian.
102
Mengenalkan aktivitas dan membantu siswa dalam
bermain perosotan dengan perasaan yang
menyenangkan dan menenangkan.
103
Duduk di atas “T-Stool”
104
b) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang
mengalami hiposensitif vestibular adalah sebagai berikut
(Kranowitz, 2003 dan Schaaf & Roley, 2006):
Menyediakan aktivitas sensor motor secara aktif yang
mengandung sensasi vestibular yang kaya seperti
bermain ayunan.
.
105
Membiarkan secara bebas kepada siswa saat
bermain perosotan dengan pengawasan.
106
Berjalan di atas jungkat-jungkit.
107
Siswa bermain kuda-kudaan (posisi siswa berada di
atas pinggang guru dan posisi guru merangkak).
Berguling ke depan.
5. Sensasi Proprioseptif
a) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang
mengalami hipersensitif proprioseptif adalah sebagai
berikut (Kranowitz, 2003 dan Schaaf & Roley, 2006):
108
Memberikan tekanan baik pada sendi dan otot yang
diberikan secara halus.
109
Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa
saat menarik benda yang cukup berat sesuai dengan
kekuatan siswa.
110
Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa
saat mengangkat benda yang cukup berat sesuai
dengan kekuatan siswa.
111
Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa
saat memindahkan dan menyusun benda yang cukup
berat sesuai dengan kekuatan siswa.
112
Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa
saat bergelantung.
113
Minum jus buah yang kental atau minum “bubble
jelly” dengan menggunakan sedotan dan dan meniup
bola kapas dengan menggunakan sedotan.
114
Dilatih melompat tali.
115
Naik tangga “ladder”.
116
Ditunggangi teman sepermainan saat bermain kuda-
kudaan.
117
Menjinjing tas kresek atau plastik yang diberikan
beban.
118
Main lompat tali.
Berguling ke samping.
119
Melakukan senam.
F. Evaluasi
124
DAFTAR PUSTAKA
125
Deiner, P. L. 2013. Inclusive Early Childhood Education
Development, Resources and Practice. 6th ed.
Wadsworth Cengage Learning. USA.
126
. 2015a. Meta-analysis of Research
on Sensory Integration Therapy for Individuals with
Developmental and Learning Disabilities. Journal
Developmental Physical Disabilities 27: 183-206.
127
Kasdanel, P. 2013. Efektivitas Sensori Integrasi Untuk
Meningkatkan Kemampuan Menulis Permulaan Pada
Anak Autis Di Ti-Ji Home Schooling Padang. Jurnal Ilmiah
Pendidikan Khusus 1(2).
128
Pesova, B., Sivevska, D., and Runceva, J. 2014. Early
Intervention and Prevention of Students with Spesific
Learning Disabilities. Procedia-Social and Behavioral
Sciences 149: 701-708.
129
Sidiarto, L. D. 2007. Perkembangan Otak dan Kesulitan
Belajar Pada Anak. UI Press. Jakarta.
130
131