Anda di halaman 1dari 131

1

Pedoman Pelaksanaan
Model Intervensi
Berbasis Sensori Integrasi
Untuk Siswa Berkesulitan Belajar Usia 7 – 8 Tahun

Abdul Aziz, M. Si
Prof. Dr. Martini Jamaris, M. Sc. Ed
Dr. Tjipto Sumadi, M. Si., M. Pd

Program Pascasarjana
Universitas Negeri Jakarta
2019

2
Pedoman Pelaksanaan Model Intervensi
Berbasis Sensori Integrasi
Untuk Siswa Berkesulitan Belajar Usia 7 – 8 Tahun

Penulis:
Abdul Aziz, M. Si
Prof. Dr. Martini Jamaris, M. Sc. Ed
Dr. Tjipto Sumadi, M. Si., M. Pd

Desain Sampul: Ilustrator isi: Editor:


Kriswanto Wahyu Yaasiinta Cariens Ragil Romly
(Triac Studio)

Konsultan Ahli :
Prof. Dr. Siti Marliah Tambunan, Psikolog
Prof. Dr. Frieda Maryam Mangunsang Siahaan., M.Ed., Psikolog
Vonny Susanty, AMd.OT., M.Psi., Psikolog
Eri Vidiyanto, M.Psi., PSikolog
dr. Leny Evanita
dr. Dian Kusumawardhani

Edisi Bahasa Indonesia


Pascasarjana UNJ
Gedung M, Komplek Universitas Negeri Jakarta
Jl. Rawamangun Muka, RT.11/RW.14, Rawamangun
Pulo Gadung, Jakarta Timur, Jakarta 13220
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN: 978-602-53650-4-1
Cetakan I, Januari 2019

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan / atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta), atau
pidana penjara paling lama 7 (Tujuh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau
denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3
DISCLAIMER

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi ini adalah


karya saya sendiri dan otonom. Semua sumber dan bantuan
yang digunakan telah diindikasikan demikian. Semua teks
dikutip langsung atau Diparafrasakan telah ditunjukkan oleh
kutipan dalam teks. Detail bibliografi lengkap diberikan dalam
daftar referensi yang juga berisi sumber internet yang
mengandung URL dan akses tanggal. Karya ini belum
diserahkan kepada otoritas pemeriksaan lainnya

4
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat


dan karunia-Nya sehingga buku “Pedoman Pelaksanaan Model
Intervensi Berbasis Sensori Integrasi untuk Siswa Berkesulitan
Belajar Usia 7–8 tahun” telah dapat disusun dengan baik. Buku
yang berisi tentang gambaran pelaksanaan penanganan
kesulitan belajar pada siswa berbasis sensori integrasi
merupakan langkah yang tepat dalam penanganan kesulitan
belajar yang dialami oleh siswa di sekolah.
Buku ini memberi wawasan pada pembaca mengenai
topik-topik yang terkait dengan pelaksanaan model intervensi
berbasis sensori integrasi untuk siswa berkesulitan belajar.
Pada bagian akhir dari buku ini memberikan gambaran
pelaksanaan model intervensi secara utuh.
Buku “Pedoman Pelaksanaan Model Intervensi Berbasis
Sensori Integrasi untuk Siswa Berkesulitan Belajar Usia 7–8
tahun” menggambarkan rangkaian kegiatan yang sangat jelas
dan rinci apa yang harus dilakukan. Buku ini juga sangat
menjelaskan secara lengkap dan rinci apa yang harus
dilakukan oleh guru atau orang dewasa dalam memperlakukan

5
anak sesuai dengan profil sensori integrasi yang dimiliki oleh
siswa agar dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik.
Patut disyukuri bahwa penyusunan buku ini telah
melibatkan berbagai disiplin keilmuan baik para ahli dibidang
pendidikan, psikologi, kedokteran, okupasi terapi sehingga
berbagai pandangan dan persepsi menjadikan buku ini kaya
makna dan ilmu pengetahuan. Sungguhpun demikian buku
edisi perdana ini masih memerlukan masukan dan saran dari
pembaca untuk dapat disempurnakan lebih lanjut.
Terima kasih dan apresiasi kami sampaikan kepada para
nara sumber yang telah membantu dalam penyusunan buku ini,
semoga bermanfaat dan dapat dikembangkan lebih luas di
masa yang akan datang.

Jakarta, 23 Februari 2019

Abdul Aziz, M. Si

6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... 5

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 7

1. PENDAHULUAN........................................................................................ 10

2. KESULITAN BELAJAR ........................................................................ 16

A. Karakteristik Kesulitan Belajar .................................................... 18


B. Penyebab Kesulitan Belajar............................................................ 21
C. Klasifikasi Kesulitan Belajar ........................................................... 22
1. Kesulitan Belajar Membaca (Disleksia) ......................................... 23
2. Kesulitan Belajar Menulis (Disgrafia) ............................................ 24
3. Kesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia) .................................. 27

3. PEMBELAJARAN PADA ANAK BERKESULITAN


BELAJAR ...................................................................................................... 33

4. SENSORI INTEGRASI ............................................................................ 40

5. KESULITAN BELAJAR & SENSORI INTEGRASI................... 49

7
6. TATA LAKSANA MODEL INTERVENSI BERBASIS
SENSORI INTEGRASI UNTUK SISWA BERKESULITAN
BELAJAR USIA 7–8 TAHUN.............................................................. 57
A.Tes Inteligensi/Intelligence Quotient (IQ) ................................. 58
B. Tes Fungsi Penglihatan dan Pendengaran .............................. 58
1. Tes Fungsi Penglihatan ................................................................. 59
2. Tes Fungsi Pendengaran .............................................................. 64
C. Tes Kesulitan Belajar ........................................................................ 66
D. Tes Profil Sensori Integrasi ........................................................... 69
E. Intervensi Sensori Integrasi ........................................................... 73
1. Sensasi Penglihatan ...................................................................... 78
2. Sensasi Pendengaran .................................................................... 87
3. Sensasi Taktil (Perabaan) .............................................................. 90
4. Sensasi Vestibular ........................................................................ 101
5. Sensasi Proprioseptif ................................................................... 108
F.Evaluasi ................................................................................................... 120

PENUTUP ......................................................................................................... 121


DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 125

8
PENDAHULUAN

1 9
1. PENDAHULUAN

S
eorang anak dikatakan normal jika mampu melakukan
aktivitas sehari-hari tanpa mendapat kesulitan yang
berarti. Aktivitas sehari-hari yang dilakukan melibatkan
pergerakan fisik. Pergerakan dalam aktivitas fisik merupakan
hal yang utama dan melibatkan organ pengindraan yang saling
bekerjasama. Anak belajar melalui mata yang berintergrasi
dengan alat indra yang lain, seperti perabaan, pendengaran,
dan gerak motorik. Mata anak bersama dengan tangannya
akan memberikan isyarat untuk mengutarakan keinginannya
dan juga melalui mata, anak belajar memahami fungsi suatu
benda dan tujuan dari suatu tindakan sebelum dapat
mengeluarkan kata-kata.
Anak akan menghadapi berbagai kegiatan yang
memerlukan keterampilan penglihatan dan pendengaran.
Sistem pendengaran bekerjasama dengan sistem penglihatan
dalam mengenali suara yang didengar dan menghubungkan
dengan apa yang dilihat, sehingga terbentuk persepsi
penglihatan-pendengaran. Anak belajar berbicara tidak melalui
instruksi dari orangtuanya tetapi dari apa yang dilihat dan juga
melalui aktivitas yang didengar (Waiman dkk., 2011).

10
Sensori integrasi merupakan proses sistem saraf yang
berhubungan dengan persepsi dan pergerakan motorik.
Sensori integrasi melibatkan kemampuan otak untuk menerima,
mengorganisir, mengartikan, dan menggunakan berbagai
informasi sensori melalui tubuh dan sistem saraf yang berasal
dari stimulus internal maupun eksternal. Proprioseptif,
vestibular (keseimbangan), dan taktil (perabaan) merupakan
stimulus internal sedangkan sistem penglihatan dan
pendengaran merupakan stimulus eksternal.
Adanya kebutuhan untuk melakukan kombinasi dari satu
organ sensori dengan organ sensori yang lain pada anak,
membuat anak memiliki dorongan kuat untuk selalu menyentuh
benda-benda di sekitarnya dan berjalan-jalan. Proses belajar
dalam mengenal suatu benda tidak hanya dibutuhkan indra
penglihatan tetapi dibutuhkan juga indra perabaan. Proses
belajar yang normal adalah melakukan kombinasi dengan
berbagai input organ sensori. Jika diperhatikan saat anak
melakukan aktivitas menulis banyak proses sensori integrasi
yang terlibat. Anak harus menggunakan matanya, duduk diam,
memegang pensil dan kertas, menggerakkan jari, tangan, dan
pergelangan tangan. Sistem penglihatan akan bekerja
menyelusuri dan melihat huruf per huruf dan kata per kata,
sementara sistem keseimbangan dan proprioseptif
mempertahankan kepala tetap tegak dan keseimbangan pada
11
saat duduk. Sistem perabaan dan proprioseptif juga harus
bekerja agar dapat memegang pensil dan kertas. Beberapa
anak membutuhkan suara agar dapat mengingat bagaimana
kata-kata itu berbunyi, walaupun sistem pendengaran tidak
terlalu banyak berperan saat menulis.
Sekolah merupakan tempat anak menghabiskan sebagian
besar waktunya selain berada di rumah. Anak mengalami
banyak hal dan permasalahan yang dapat terjadi di sekolah.
Salah satu permasalahan yang banyak dialami oleh anak di
sekolah adalah masalah belajar. Sekolah memiliki beberapa
tuntutan terhadap anak yang harus dipenuhi. Bila anak tidak
mampu memenuhinya maka anak tersebut akan mengalami
kesulitan dalam proses belajar di sekolah yang sering disebut
dengan kesulitan belajar.
Gejala kesulitan belajar baru dapat ditemukan ketika anak
menjalani pembelajaran di sekolah dasar (Pesova et al., 2014).
Di Indonesia terdapat beberapa penelitian terhadap
keberadaan anak berkesulitan belajar antara lain penelitian
yang dilakukan oleh Nafsiah Ibrahim terhadap 3.215 murid
kelas satu hingga kelas enam Sekolah Dasar di DKI Jakarta.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat 16,52%
yang oleh gurunya diperkirakan sebagai murid yang termasuk
berkesulitan belajar (Abdurrahman, 2012).

12
Pada umumnya siswa yang mengalami kesulitan belajar
biasanya akan mengalami permasalahan dalam sensori
integrasi (Bundy et al., 2002; Han et al., 2015a; and Young &
Furgal, 2016). Kesulitan belajar yang disebabkan oleh
permasalahan pada sensori integrasi mengakibatkan siswa
mengalami kesulitan dalam memproses informasi yang masuk
membuatnya sulit untuk konsentrasi dan menyerap materi
pelajaran. Kesulitan belajar yang disebabkan karena adanya
gangguan pada salah satu sistem sensori akan sangat terbantu
bila dalam proses remedialnya menggunakan sistem sensori
yang lain (Hahn et al., 2014).
Penanganan sedini mungkin dengan menggunakan sistem
sensori sangat diperlukan. Proses remedial dengan
menggunakan sistem sensori pada anak berkesulitan belajar
yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu sistem
sensori akan sangat membantu (Dokter Indonesia Online,
2012). Sehingga intervensi sensori integrasi sangat tepat dan
efektif dilakukan pada anak berkesulitan belajar yang
disebabkan karena adanya gangguan dalam proses sensori
(Bundy et al., 1991; Han et al., 2013, 2015a, 2015b; and Tsung-
Yen & Ming-Shio, 2016).
Sensori integrasi dalam hal ini berperan menemukan
jawaban dari kesulitan yang dialami siswa selama proses
belajar di sekolah berhubungan dengan masalah pada proses
13
pengolahan informasi sensori. Penanganan dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan karakteristik dan keunikan yang
dimiliki dengan masalah yang saat ini siswa hadapi dengan
menggunakan instrumen yang sudah terstandar. Setelah itu
dilakukan intervensi berbasis sensori integrasi dengan
menggunakan media pembelajaran/permainan yang memiliki
efek terapeutik sehingga masalah yang dihadapi saat di
sekolah dapat diatasi (Waiman dkk., 2011 dan Tsung-Yen &
Ming-Shio, 2016).
Keberadaan siswa dengan kesulitan belajar menjadi
sebuah tantangan dan peluang bagi guru (Abraham, 2001).
Sehingga guru harus mendapatkan pengetahuan dalam
mengenali gejala pada siswa yang mengalami kesulitan belajar
agar dapat memperbaiki proses pembelajaran dengan
melakukan identifikasi awal yang tepat dan melakukan
intervensi. Model intervensi berbasis sensori integrasi bisa
menjadi model intervensi yang efektif untuk siswa yang
mengalami kesulitan belajar (Young & Furgal, 2016). Sehingga
buku ini ditulis untuk memberikan panduan bagi para guru
dalam memberikan pengajaran yang baik dan tepat untuk siswa
yang mengalami kesulitan belajar dengan pendekatan sensori
integrasi.

14
KESULITAN
BELAJAR

2 15
2. KESULITAN BELAJAR

K
esulitan belajar memiliki banyak arti. Ketidakmampuan
belajar yang dialami oleh anak akan memengaruhi
proses pembelajaran dan bisa ditemukan pada anak
yang memiliki masalah dalam mendengar, berpikir, atau
berbicara; pada anak usia sekolah, ketidakmampuan belajar
menjadi lebih jelas saat anak mengalami kesulitan dalam
membaca, menulis, dan matematika (Essa, 2014).
Istilah "kesulitan belajar" berarti adanya kelainan pada
satu atau lebih dari proses psikologis yang terlibat dalam
pemahaman atau penggunaan bahasa, lisan atau tulisan, yang
dapat menyebabkan ketidaksempurnaan dalam kemampuan
untuk mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis,
mengeja, dan melakukan perhitungan matematika. Gangguan
tersebut dapat disebabkan oleh permasalahan dalam
kemampuan perseptual, cedera otak, gangguan otak minimal,
disleksia, dan perkembangan afasia. Kesulitan belajar tidak
disebabkan oleh permasalahan motorik, indra penglihatan,
indra pendengaran, retardasi mental, gangguan emosional,
atau permasalahan lingkungan, budaya, dan ekonomi (Smith et
al., 2008; Allen & Schwartz, 2001; Kirk et al., 2009; Harwell &
Jackson, 2008; Abdurrahman, 2012; Pesova et al., 2014;
Sidiarto, 2007, Mangunsong, 2014; & Deiner, 2013).
16
Kesulitan belajar adalah suatu kelainan yang membuat
seseorang sulit untuk melakukan kegiatan belajar secara
efektif. Faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar tidak
mudah untuk ditetapkan karena faktor tersebut bersifat
kompleks. Faktor penyebab kesulitan belajar tidak dapat
diketahui, namun memengaruhi kemampuan otak saat
menerima dan memproses informasi dan kemampuan dalam
belajar (Jamaris, 2014).
Kesulitan belajar adalah suatu kondisi yang menunjuk
pada sejumlah kelainan yang berpengaruh pada pemerolehan,
pengorganisasian, penyimpanan, pemahaman, dan
penggunaan informasi secara verbal dan non-verbal (Jamaris,
2014). Chapparo dan Lane juga mengemukakan definisi
kesulitan belajar yang serupa yaitu gangguan neurologis yang
memengaruhi kemampuan otak untuk memproses, menyimpan,
dan merespons informasi (Juntorn et al., 2017). Akhirnya, anak
akan mengalami kesulitan dalam proses pikir yang
memengaruhi fungsi intelektual (Jamaris, 2014). Sehingga
pada anak yang mengalami kesulitan belajar ditemukan adanya
perbedaan antara kemampuan intelektual dan prestasi
akademik (Klein et al., 2001).
Istilah kesulitan belajar mencakup berbagai macam
kesulitan yang disebabkan karena permasalahan neurologis
atau perbedaan otak yang memengaruhi cara anak dalam
17
memproses dan mengatur informasi penglihatan dan
pendengaran. Permasalahan neurologis ini dapat mengganggu
proses belajar membaca dan menulis.

A. Karakteristik Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar merupakan isu yang berkepanjangan di


dalam dunia pendidikan karena kelainan ini sulit untuk diatasi,
namun dengan dukungan dan intervensi yang tepat, anak yang
mengalami kesulitan belajar dapat melaksanakan tugas-tugas
belajar dan sukses dalam pelajaran, serta memiliki karir yang
cemerlang setelah mereka dewasa. Sehingga dibutuhkan
identifikasi dini untuk mendeteksi anak berkesulitan belajar
dengan tujuan agar dapat diberikan intervensi yang tepat dan
dukungan yang dibutuhkan anak (Pesova et al., 2014).
Kesulitan belajar biasanya tidak dapat diidentifikasi
sampai anak mengalami kegagalan dalam menyelesaikan
tugas-tugas akademik yang harus dilakukan (Klein et al., 2001).
Gejala kesulitan belajar muncul di awal masa TK. Identifikasi
jarang dilakukan sebelum akhir TK atau sebelum kelas satu
SD. Kecurigaan terhadap kesulitan belajar dapat ditemukan
saat pembelajaran di SD. Banyak siswa yang tidak
teridentifikasi secara benar (Pesova et al., 2014). Menurut
Klein, Cook, & Richadson-Gibson (2001), anak yang
18
teridentifikasi mengalami kesulitan belajar memiliki ciri-ciri,
antara lain seperti berikut ini:
a) Memiliki tingkat inteligensi (IQ) normal, bahkan di atas
normal, atau sedikit dibawah normal berdasarkan tes IQ
b) Memiliki kesulitan dalam beberapa mata pelajaran, tetapi
menunjukkan nilai yang baik pada mata pelajaran yang lain
c) Kesulitan belajar yang dialami siswa yang berkesulitan
belajar berpengaruh terhadap keberhasilan belajar yang
dicapainya sehingga siswa tersebut dapat dikategorikan ke
dalam lower achiever (siswa dengan pencapaian hasil
belajar di bawah potensi yang dimiliki).
Anak-anak dengan kesulitan belajar memiliki beberapa
karakteristik yang sama, namun ada juga beberapa perbedaan
di antara mereka. Pada berbagai tingkat dan kombinasi yang
bervariasi, yang dikatakan kesulitan belajar mencakup: (Allen &
Schwartz, 2001)
a) gerakan dan aktivitas tanpa tujuan
b) keterampilan perseptual motorik yang buruk
c) toleransi yang rendah terhadap frustrasi
d) perubahan suasana hati yang sering berubah
e) koordinasi yang buruk, baik motorik kasar maupun motorik
halus
f) atensi mudah teralih dan rentang atensi yang pendek
g) memori pendengaran dan penglihatan yang buruk
19
h) berbagai keterbatasan dalam penggunaan bahasa
Kesulitan belajar lebih sulit untuk didiagnosis. Anak-anak
dengan kesulitan belajar memiliki kecerdasan rata-rata atau di
atas rata-rata. Permasalahan pada kesulitan belajar dapat
disebabkan karena permasalahan dalam pengolahan informasi.
Anak-anak yang mengalami kesulitan belajar sering juga
memiliki masalah dengan kontrol motorik, terutama
keseimbangan, koordinasi, citra tubuh (body image), kesadaran
akan ruang dan arah (Essa, 2014).
Ketika kesulitan belajar terjadi karena gangguan dalam
input sensori, ada masalah pada persepsi indrawi. Tidak seperti
pada permasalahan dalam ketajaman sensoris, masalah
persepsi tidak bisa dikoreksi dengan kacamata atau alat bantu
dengar. Mereka yang memiliki masalah persepsi visual dapat
mengalami permasalahan figure-ground (melihat objek dengan
latar belakang), closure (menyelesaikan figure gambar), dan
hubungan spasial. Salah satu dari permasalahan tersebut
dapat mengakibatkan anak kesulitan dalam proses belajar. Jika
anak berkesulitan belajar juga mengalami permasalahan
dengan persepsi auditoris dan figure-ground auditoris
(mendengar percakapan dengan latar belakang suara) atau
kesulitan dalam membedakan dan/atau mengenali suara, maka
pembelajaran akan menjadi semakin sulit.

20
B. Penyebab Kesulitan Belajar

Penyebab kesulitan belajar dipengaruhi oleh dua faktor,


internal dan eksternal. Faktor internal penyebab utama
kesulitan belajar adalah adanya gangguan neurologis
sedangkan faktor eksternal, yaitu berupa strategi pembelajaran
yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak
membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian penguat
(reinforcement) yang tidak tepat.
Berbagai faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan neurologis yang menyebabkan kesulitan belajar
antara lain adalah (1) faktor genetik, (2) luka pada otak karena
trauma fisik atau karena kekurangan oksigen, (3) biokimia yang
hilang (misalnya biokimia yang diperlukan untuk memfungsikan
saraf pusat), (4) biokimia yang dapat merusak otak (misalnya
zat pewarna pada makanan), (5) pencemaran lingkungan
(misalnya pencemaran timah hitam), (6) gizi yang tidak
memadai, dan (7) pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial
yang merugikan perkembangan anak (deprivasi lingkungan).
Dari berbagai penyebab tersebut dapat menimbulkan gangguan
dari taraf ringan hingga taraf berat (Abdurrahman, 2012).
Kesulitan belajar dapat disebabkan karena gangguan otak
yang terjadi secara minimal atau minimal brain dysfunction.
Oleh sebab itu, otak merupakan perangkat yang penting dan
21
berpengaruh terhadap keberhasilan manusia dalam melakukan
berbagai kegiatannya, termasuk kegiatan belajar. Secara
umum, kesulitan belajar disebabkan oleh kelainan dalam salah
satu atau lebih proses yang berkaitan dengan menerima
informasi, proses berpikir, proses mengingat, dan proses
belajar (Jamaris, 2014).

C. Klasifikasi Kesulitan Belajar

Secara garis besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan


ke dalam dua kelompok, yaitu 1) kesulitan belajar yang
berhubungan dengan perkembangan (developmental learning
disabilities) dan 2) kesulitan belajar akademik (academic
learning disabilities). Kesulitan belajar yang berhubungan
dengan perkembangan mencakup gangguan motorik dan
persepsi, bahasa dan komunikasi, penyesuaian perilaku sosial.
Kesulitan belajar akademik menunjuk pada adanya kegagalan-
kegagalan dalam pencapaian prestasi akademik yang sesuai
dengan kapasitas yang diharapkan. Kegagalan tersebut
mencakup penguasaan keterampilan dalam membaca
(disleksia), menulis (disgrafia), dan/atau matematika
(diskalkulia) (Jamaris, 2014).

22
1. Kesulitan Belajar Membaca (Disleksia)
Kesulitan belajar membaca sering disebut juga disleksia.
Disleksia merupakan suatu gangguan yang berpusat pada
sistem saraf yang menyebabkan anak mengalami kesulitan
dalam hal membaca, menulis, mengeja, atau dapat
dikatakan kesulitan dalam mengenali huruf-huruf (Loeziana,
2017).
Disleksia adalah kesulitan dalam mempelajari komponen-
komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-
komponen kata dan kalimat, serta mempelajari segala
sesuatu yang berkenaan dengan waktu, arah, dan masa.
Disleksia sangat bervariasi, tetapi semuanya menunjuk
pada adanya gangguan fungsi otak.
Disleksia tidak hanya mengalami kesulitan dalam belajar
membaca tapi juga menulis. Kesulitan tersebut dapat
dipahami karena ada kaitan yang erat antara membaca
dengan menulis. Anak yang mengalami kesulitan dalam
belajar membaca umumnya juga mengalami kesulitan
dalam belajar menulis (Abdurrahman, 2012).
Menurut Jamaris (2014), gejala-gejala disleksia yang dapat
diidentifikasi pada waktu anak di kelas awal sekolah dasar,
antara lain sebagai berikut:
a. sulit belajar berbicara
b. sulit mengucapkan kata yang panjang
23
c. sulit mengucapkan intonasi yang benar
d. sulit mempelajari alfabet, hari-hari dalam satu minggu,
warna, bentuk, dan angka
e. sulit mempelajari hubungan antara bentuk huruf dan
bunyi huruf
f. sulit memahami kata-kata yang sederhana
g. sulit membedakan huruf d dengan huruf b, huruf p
dengan huruf q
h. membaca dan menulis huruf atau kalimat yang tidak
benar
i. sulit dalam melakukan koordinasi motorik halus saat
menulis

2. Kesulitan Belajar Menulis (Disgrafia)


Kesulitan belajar menulis sering disebut juga disgrafia.
Disgrafia adalah suatu keadaan yang menunjuk pada
kesulitan untuk mengekspresikan pikiran dalam bentuk
ekspresi tertulis, yaitu kesulitan menulis dan mengarang.
Secara umum disgrafia berkaitan dengan tulisan tangan
yang sangat jelek dan selanjutnya diidentifikasi kesulitan
dalam melakukan ekspresi tertulis (Jamaris, 2014).
Disgrafia pada umumnya baru dapat diketahui setelah anak
masuk sekolah (Jamaris, 2014). Disgrafia umumnya
diketahui pada saat anak-anak belajar di SD, yaitu ketika
24
awal belajar membaca dan menulis permulaan. Anak yang
mengalami disgrafia ditandai dengan kesulitan dalam
membuat huruf (menulis) dan simbol matematis (Suhartono,
2016).
Disgrafia sangat berkaitan dengan persepsi penglihatan dan
kelemahan dalam melakukan proses persepsi. Berbagai
bukti empirik menunjukkan bahwa anak yang mengalami
kesulitan dalam menulis dapat dilihat dari kesalahan-
kesalahan yang dilakukan dalam menulis, seperti menulis
huruf secara terbalik, menuliskan kata secara terbailk,
menulis huruf yang tidak sesuai dengan aturannya, tulisan
tangan yang sangat jelek. Hal ini sangat erat hubungannya
dengan kesulitan dalam mengurutkan simbol-simbol grafis,
yaitu tulisan dan mengurutkan simbol-simbol grafis sesuai
dengan urutannya dan mengatur simbol-simbol grafis ke
dalam tulisan yang mengandung arti. Sebagai akibat dari
kesulitan belajar tersebut, anak lambat dalam menulis dan
mengalami kesulitan lain, yaitu kesulitan dalam
menempatkan tanda baca. Berbagai kesulitan yang dialami
anak dalam menulis menyebabkan proses pikir anak
terhambat sehingga anak lupa terhadap apa yang harus
ditulisnya.
Penyebab lain dari disgrafia adalah kesulitan dalam
memproses informasi yang disampaikan melalui bahasa
25
lisan yang diterima indra pendengaran atau disebut dengan
kesulitan dalam memproses bahasa. Akibat dari kesulitan
ini, anak akan mengalami kesulitan dalam melakukan
ekspresi secara verbal. Selanjutnya, kesulitan ini
menyebabkan kesulitan dalam melakukan ekspresi tertulis.
Penyebab terakhir adalah anak sulit dalam memusatkan
perhatian. Masalah pemusatan perhatian akan
menyebabkan anak tidak mampu mengurutkan dan
mengatur informasi secara mendetail. Anak yang
mengalami permasalahan dalam memusatkan perhatian
biasanya memproses informasi secara cepat dan tidak
dapat mengkoordinasi gerakan motorik halus dengan
kegiatan otak dalam memproses informasi, sehingga anak
mengalami kesulitan dalam ekspresi tertulis (Jamaris, 2014).
Disgrafia menunjuk pada adanya ketidakmampuan
mengingat cara membuat huruf atau simbol-simbol
matematika. Disgrafia sering dikaitkan dengan kesulitan
belajar membaca atau disleksia karena kedua jenis
kesulitan tersebut sesungguhnya saling terkait.
Disgrafia sering terkait dengan cara memegang pensil. Ada
empat macam cara anak memegang pensil yang dapat
dijadikan sebagai penunjuk bahwa anak mengalami
disgrafia, yaitu a) sudut pensil terlalu besar, b) sudut pensil
terlalu kecil, c) menggenggam pensil (seperti mau meninju),
26
dan d) menyangkutkan pensil di tangan atau menyeret.
Keempat macam cara memegang pensil yang khas bagi
anak berkesulitan belajar menulis dapat dilihat pada gambar
di bawah ini (Abdurrahman, 2012).

Gambar 1. Cara Anak Memegang Pensil

3. Kesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia)


Bagi sebagian orang, matematika dianggap sebagai
kegiatan yang dilakukan dalam menjumlah, mengurang,
mengkali, dan membagi atau kegiatan yang berkaitan dalam
27
penyelesaian masalah hitungan yang disajikan dalam
bentuk soal. Pada hakikatnya, matematika meliputi bidang
yang lebih luas dari aplikasi angka, matematika juga
mencakup hal-hal yang berkaitan dengan pengukuran,
uang, pola, geometri dan statistik, serta pemecahan
masalah. Sebagian anak di sekolah dasar mengalami
kesulitan belajar matematika, sementara anak yang lainnya
belajar matematika dengan mudah tanpa mengalami
kesulitan (Jamaris, 2014).
Kesulitan belajar matematika disebut juga diskalkulia. Istilah
diskalkulia memiliki konotasi medis, yang memandang
adanya keterkaitan dengan gangguan sistem saraf pusat
(Abdurrahman, 2012). Diskalkulia adalah kesulitan belajar
yang menyebabkan anak menjadi tidak bisa berhitung.
Diskalkulia terjadi ketika anak tidak mampu memahami
konsep-konsep hitung atau mengenali simbol-simbol
aritmatika (tambah, kurang, bagi, kali, dan akar) (Arisandi,
2014).
Menurut Jamaris (2014), karakteristik anak yang mengalami
diskalkulia ditandai oleh ketidakmampuan dalam
memecahkan masalah yang berkaitan dengan aspek-aspek
berikut ini:
a. Mengalami kesulitan dalam pemahaman terhadap
proses pengelompokan (grouping process)
28
b. Mengalami kesulitan dalam menempatkan satuan,
puluhan, ratusan atau ribuan dalam operasi hitung
(menambah dan mengurang)
c. Kesulitan dalam persepsi penglihatan dan pendengaran,
seperti berikut:
1) Figure ground
2) Tidak dapat memahami adanya proses pengurangan
dalam operasi pembagian
3) Mengalami kesulitan dalam memahami angka
multidigit
4) Diskriminasi
a) Sukar membedakan angka 8 dan angka 3
b) Sukar membedakan angka 2 dan angka 5
c) Sukar membedakan simbol-simbol operasi hitung
5) Reversal
a) Menukar atau memutar balik tempat digit angka:
213 menjadi 231
b) Mengalami kesulitan dalam regrouping
6) Spasial
a) Mengalami kesulitan dalam menulis desimal
b) Mengalami kesulitan dengan bilangan ordinal
c) Mengalami kesulitan dalam pecahan
d) Mengalami kesulitan dalam membedakan bentuk

29
7) Memori
a) Memori jangka pendek: mengalami kesulitan
dalam mengingat informasi yang baru disajikan
b) Memori jangka panjang: mengalami kesulitan
dalam mengingat fakta dan proses dalam waktu
lama
8) Urutan
a) Mengalami kesulitan dalam menunjukkan waktu
b) Mengalami kesulitan dalam operasi pembagian
c) Mengalami kesulitan dalam operasi penjumlahan
d) Mengalami kesulitan dalam operasi perkalian
9) Integratif Closure
a) Mengalami kesulitan dalam menghitung pola
dalam satu rangkaian urutan
b) Mengalami kesulitan dalam memahami
peminjaman dan penambahan yang disisipkan
dalam operasi pengurangan dan penjumlahan
10) Abtraksi
a) Mengalami kesulitan dalam memecahkan
masalah
b) Mengalami kesulitan dalam membandingkan
bilangan dengan simbolnya
c) Mengalami kesulitan dalam konsep desimal

30
d) Mengalami kesulitan dalam memahami pola
hitungan
Anak yang mengalami diskalkulia sulit dalam mentransfer
pengetahuan, lemah dalam berhitung, sulit dalam
kemampuan persepsi visual, dan pemahaman bahasa
matematika yang kurang.

31
PEMBELAJARAN
PADA ANAK
BERKESULITAN
BELAJAR

3
32
3. PEMBELAJARAN PADA ANAK BERKESULITAN
BELAJAR

P
embelajaran pada hakikatnya tidak hanya sekedar
menyampaikan pesan tetapi juga merupakan aktivitas
profesional yang menuntut guru dapat menggunakan
keterampilan dasar mengajar secara terpadu serta
menciptakan situasi yang efisien (Dimyati & Mudjiono, 2013).
Oleh karena itu dalam pembelajaran, guru perlu menciptakan
kondisi pembelajaran yang kondusif dan strategi belajar yang
menarik minat siswa.
Pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta
didik agar dapat belajar dengan baik. Proses pembelajaran
perlu dilakukan dengan suasana yang tenang dan
menyenangkan. Kondisi yang demikian menuntut aktivitas dan
kreativitas guru dalam menciptakan lingkungan yang kondusif
(Susanto, 2016).
Menurut Sanjaya (2013), pembelajaran harus menaruh
perhatian pada bagaimana membelajarkan siswa, dan bukan
apa yang dipelajari siswa dan dipahami siswa (student center
learning). Pada pendekatan pembelajaran SCL, guru harus
mampu melaksanakan perannya dengan baik yaitu tidak hanya

33
sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator, kreator
(Susanto, 2016), dan motivator (Sanjaya, 2013).
Proses pembelajaran pada pendekatan SCL tidak
ditentukan oleh selera guru, akan tetapi sangat ditentukan oleh
siswa itu sendiri. Siswa memiliki kesempatan untuk belajar
sesuai dengan gayanya sendiri (Sanjaya, 2013).
Pembelajaran adalah usaha mengembangkan setiap
individu (Sanjaya, 2013). Pembelajaran secara individual
tampak pada perilaku dan kegiatan guru dalam mengajar yang
menitikberatkan pada pemberian bantuan dan bimbingan
belajar kepada masing-masing siswa secara individual. Perilaku
pembelajaran individual ini, guru akan memberikan kesempatan
dan keleluasaan kepada masing-masing individu siswa untuk
dapat belajar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki siswa
(Sagala, 2013).
Salah satu bentuk pelayanan pendidikan khusus bagi anak
berkesulitan belajar yaitu dengan menggunakan pembelajaran
secara individual. Kegunaan pembelajaran secara individual
adalah untuk menjamin bahwa tiap anak berkesulitan belajar
memiliki suatu program yang diindividualkan agar
mempertemukan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki oleh siswa
berkesulitan belajar, dan mengkomunikasikannya secara
tertulis. Pembelajaran secara individual diharapkan dapat
membantu guru untuk mengadaptasi proses pembelajaran bagi
34
siswa berkesulitan belajar yang mengacu pada kekuatan,
kelemahan, dan minat siswa. Dengan adanya pembelajaran
secara individual, guru diharapkan terdorong untuk melakukan
asesmen mengenai karakteristik belajar tiap anak dan
melakukan usaha–usaha untuk mempertemukannya dengan
kebutuhan-kebutuhan individual mereka (Abdurrahman, 2012).
Pada pembelajaran secara individual, siswa memiliki
keleluasaan belajar berdasarkan kemampuan siswa secara
individu, memiliki kedudukan yang bersifat sentral, yang
menjadi pusat pelayanan dalam pembelajaran. Posisi guru
dalam model pembelajaran secara individual adalah membantu
siswa membelajarkan siswa, membantu merencanakan
kegiatan belajar siswa sesuai dengan kemampuan dan daya
dukung yang dimiliki pada masing-masing siswa. Model
pembelajaran secara individual menggunakan pendekatan
yang terbuka antara guru dan siswa, yang bertujuan untuk
menimbulkan perasaan bebas dalam belajar sehingga terjadi
hubungan yang harmonis antara guru dengan siswa dalam
belajar (Sagala, 2013). Dengan demikian akan tercapai kualitas
pembelajaran yang optimal.
Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari
motivasi pada masing-masing siswa dan kreativitas pengajar.
Pembelajaran yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan
pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi siswa dengan
35
memenuhi kebutuhan dan membangun lingkungan belajar yang
menarik akan membawa pada keberhasilan pencapaian target
belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap
dan kemampuan siswa secara individu melalui proses belajar.
Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang
memandai, ditambah dengan kreativitas guru akan membuat
peserta didik lebih mudah mencapai target belajar.
Otak yang berfungsi sebagai pusat susunan saraf
memegang peranan penting dalam menentukan apakan anak
mengalami kesulitan belajar atau tidak. Hal ini disebabkan
apabila terjadi kelainan fungsi otak, seperti terjadi akibat luka
pada otak sehingga terjadi kondisi yang disebut disfungsi otak
minimal (minimal brain dysfunction). Pada waktu manusia
dilahirkan, otak dan susunan saraf pusat manusia telah
memiliki kemampuan dasar, seperti kemampuan untuk melihat,
mendengar, merasa, bergerak, dan melakukan pengaturan
fungsi organ (Jamaris, 2014).
Perkembangan kemampuan neurologis dasar ini akan
meningkat melalui proses pengembangan kemampuan fungsi
dasar neurologis. Proses ini dilakukan melalui berbagai
stimulasi yang diselenggarakan oleh orang-orang yang berada
di lingkungan anak, seperti orangtua, guru, dan lain-lain.
Melalui stimulasi yang dilakukan oleh orang-orang yang berada

36
disekitar anak, secara perlahan, sesuai dengan perkembangan
kemampuan belajar.
Otak yang mendapatkan stimulasi secara optimal memiliki
peruntalan dendrit dan akson yang rapat sehingga
mempercepat proses berpikir dan bergerak, seperti yang
digambarkan pada gambar dibawah ini.

Gambar 2. Kondisi Dendrit & Akson yang Dilatih dan Tidak Dilatih
(Sumber: Martini Jamaris, Kesulitan Belajar: Perspektif, Asesmen, dan
Penanggulangannya Bagi Anak Usia Dini dan Usia Sekolah (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2014), h. 3)

Dalam menumbuhkembangkan kemampuan otak anak


dilakukan sesuai dengan proses belajar yang sesuai dengan
fungsi otak salah satunya adalah proses multineurosensori
yang merupakan proses belajar yang melibatkan fungsi otak
yang terintegrasi secara komplek, misalnya proses belajar yang
menggabungkan proses persepsi penglihatan, pendengaran,
37
dan motorik (Jamaris, 2014). Menurut Jean Ayres, proses
belajar yang melibatkan fungsi otak yang terintegrasi disebut
sensori integrasi. Sensori integrasi dapat membantu anak
dalam proses belajar (Kranowitz, 2003).

38
SENSORI
INTEGRASI

4
39
4. SENSORI INTEGRASI

J
ean Ayres memperkenalkan teori belajar motorik yang
disebut teori sensori integrasi pada tahun 1978. Jean
Ayres telah mengaplikasikan teori dan implementasi
intervensi bagi anak berkesulitan belajar.
Sensori integrasi merupakan proses pengolahan informasi
melalui mata, telinga, kulit, otot, persendian, mulut, hidung, dan
rasa keseimbangan ke otak. Proses pengolahan informasi
berlangsung di semua sistem sensorik (Horowitz & Rost, 2007).
Sensori integrasi adalah proses pengorganisasian secara
neurologis dari pengorganisasian informasi yang didapat dari
seluruh tubuh dan lingkungan sekitar yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam proses pengorganisasian
informasi, informasi dari seluruh indra akan dikelola serta
disaring mana yang penting dan mana yang diacuhkan (Al
Hazmi dkk., 2014).
Sensori integrasi adalah dasar untuk memberikan respon
adaptif terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungan
dan pembelajaran. Sensori integrasi melibatkan dan
mengaktifkan seluruh sensori yang ada yaitu penglihatan,
pendengaran, indra peraba, dan gerakan-gerakan (Kasdanel,
2013). Sensori integrasi adalah konsep neuroplastisitas atau

40
kemampuan sistem saraf untuk beradaptasi dengan input
sensori yang lebih banyak (Waiman dkk., 2011).
Pada umumnya setiap anak menggunakan lima
pengindraannya seperti penglihatan, pendengaran, penciuman,
pengecapan, dan perabaan dalam proses sensori integrasi.
Menurut penelitian Jean Ayres yang menciptakan teori sensori
integrasi mengatakan ada sistem sensori utama yang terdiri
dari:
A. Sistem Taktil (Perabaan)
Sistem taktil merupakan sistem sensoris pertama yang
berkembang saat embrio. Taktil atau sentuhan sangat
penting bagi perkembangan anak setelah lahir dan memiliki
peranan pada ikatan ibu dan anak, kenyamanan dan rasa
aman anak serta pertumbuhan anak.
Stimulasi sensori, terutama sentuhan, sangat berperan
dalam perkembangan struktur otak dan fungsinya pada
anak. Selama 6 bulan pertama kelahiran, sentuhan
merupakan interaksi ibu dan anak yang sangat penting, dan
kemampuan berkomunikasi bayi (Yudhiatmoko, 2014).
Sensasi taktil memberikan informasi melalui permukaan
kulit, mulai dari kepala sampai kaki mengenai tekstur,
bentuk, dan ukuran benda di lingkungan. Sensasi taktil
memberitahu seseorang apakah seseorang tersebut secara
aktif menyentuh sesuatu atau secara pasif disentuh.
41
Sensasi taktil membantu seseorang dalam membedakan
antara sensasi sentuhan yang mengancam dan tidak
mengancam (Kranowitz, 2003).
Sistem taktil merupakan sistem sensori terbesar yang
dibentuk oleh reseptor di kulit, yang mengirim informasi ke
otak terhadap rangsangan sentuhan, nyeri, suhu, dan
tekanan. Hipersensitif terhadap stimulasi taktil, yang dikenal
dengan tactile defensiveness, dapat menimbulkan
mispersepsi terhadap sentuhan, berupa respons menarik
diri saat disentuh, menghindari sekelompok orang, menolak
makan makanan tertentu atau memakai baju tertentu, serta
menggunakan ujung-ujung jari untuk memegang benda
tertentu. Bentuk lain disfungsi ini adalah perilaku yang
mengisolasi diri atau menjadi iritabel. Bentuk hiposensitif
dapat berupa reaksi kurang sensitif terhadap rangsang
nyeri, suhu, atau perabaan suatu obyek. Anak akan mencari
stimulasi yang lebih dengan menabrak mainan, orang,
perabot, atau dengan mengunyah benda. Kurangnya reaksi
terhadap nyeri dapat menyebabkan anak berada dalam
bahaya (Waiman dkk., 2011).

B. Sistem Vestibular
Sistem vestibular berkembang 10-12 minggu paska
konsepsi. Namun, perkembangan tersebut membutuhkan
42
waktu dan pengalaman sensoris berupa pergerakan tubuh
untuk dapat menguasai gerakan melawan gravitasi.
Perkembangan pesat sistem vestibular terjadi selama usia
pra sekolah, kematangan fungsi vestibular baru terjadi saat
usia 10 tahun. Anak melakukan aktivitas yang melawan
gravitasi dalam perkembangan sistem ini, permainan seperti
berayun, memanjat, berlari, naik sepeda, berdiri satu kaki,
melompat, loncat tali merangsang sistem vestibular.
Sistem vestibular merupakan dasar tonus otot,
keseimbangan, dan koordinasi bilateral. Sistem vestibular
berhubungan dengan sistem penglihatan serta proprioseptif.
Ketiga sistem ini akan membentuk kerjasama untuk
mengarahkan tubuh secara baik dalam ruangan dan
melakukan bermacam gerakan aktivitas motorik. Jika sistem
ini terganggu, anak tidak dapat membentuk peta motorik
yang baik dan akan mengganggu perkembangan
sensorimotornya. Anak akan kesulitan dalam melakukan
aktivitas koordinasi motorik seperti menggunting,
menggambar lingkaran di kertas, kesulitan dalam mengayuh
sepeda.
Perencanaan motorik yang terganggu akan mengakibatkan
gangguan pada akademik anak karena mengganggu dalam
proses menulis, menggunting, membaca yang kesemuanya
membutuhkan sekuensi motorik yang kompleks. Item pada
43
bagian ini mengukur respons anak terhadap keseimbangan
dan gerakan, seperti menjadi gelisah atau stres saat kaki
tidak menginjak tanah, kesulitan dalam berjalan di tempat
yang tidak rata, mabuk kendaraan (Yudhiatmoko, 2014).
Anak yang hipersensitif terhadap stimulasi vestibular
mempunyai respons fight (menghindar) atau flight
(menghadapi) sehingga anak takut atau lari dari orang lain.
Anak dapat bereaksi takut terhadap gerakan sederhana,
peralatan bermain di tanah, atau berada di dalam mobil.
Anak dapat menolak untuk digendong atau diangkat dari
tanah, naik lift atau eskalator, dan seringkali terlihat cemas.
Anak yang hiposensitif cenderung mencari aktivitas tubuh
yang berlebihan dan disengaja, seperti bergelinding,
berputar-putar, bergantungan secara terbalik, berayun-ayun
dalam waktu lama, atau bergerak terus-menerus (Waiman
dkk., 2011).

C. Sistem Proprioseptif
Sensasi proprioseptif berasal dari reseptor di otot, tendon
dan ligamen yang mengelilingi persendian. Aktivitas yang
dapat merangsang sistem proprioseptif berperan dalam
proses memori, konsentrasi, dan motivasi (Yudhiatmoko,
2014).

44
Sensasi proprioseptif memberikan informasi melalui sendi,
otot, dan ligamen mengenai arah gerakan anggota bagian
tubuh dan apa yang dilakukannya (Kranowitz, 2003). Sistem
proprioseptif terdapat pada serabut otot, tendon, dan
ligamen, yang memungkinkan anak secara tidak sadar
mengetahui posisi dan gerakan tubuh. Pekerjaan motorik
halus, seperti menulis, menggunakan sendok, atau
mengancingkan baju bergantung pada sistem proprioseptif
yang efisien. Hipersensitif terhadap stimulasi proprioseptif
menyebabkan anak tidak dapat menginterpretasikan umpan
balik dari gerakan dan mempunyai kewaspadaan tubuh
yang rendah. Tanda disfungsi sistem proprioseptif adalah
clumsiness, kecenderungan untuk jatuh, postur tubuh yang
aneh, makan yang berantakan, dan kesulitan memanipulasi
objek kecil, seperti kancing. Hiposensitif sistem proprioseptif
menyebabkan anak suka menabrak benda, menggigit, atau
membentur-benturkan kepala (Waiman dkk., 2011).
Ketiga sistem sensorik di atas sudah berkembang sejak anak
berada di dalam rahim ibunya. Kemudian, ketiga sistem
sensorik berinteraksi dengan indra lain seperti penglihatan,
pendengaran, penciuman, dan pengecapan. Hasil dari interaksi
tersebut sering disebut sensori integrasi. Sensori integrasi
membuat kemampuan pengendalian diri, harga diri,

45
keterampilan motorik, dan fungsi kognitif anak berkembang
(Kranowitz, 2003).
Menurut Dokter Indonesia Online (2003), perkembangan
dari proses sensori integrasi pada kebanyakan anak terjadi
secara alamiah ketika anak-anak melakukan berbagai aktivitas
sehari-hari sejak masa bayi sampai siap untuk bersekolah.
Proses sensori integrasi yang berfungsi secara baik dapat
memengaruhi perkembangan otak secara optimal, sehingga
anak mampu:
1. memberikan reaksi yang baik terhadap berbagai informasi
sensorik yang biasa diterima oleh anak
2. menunjukkan tingkat perkembangan sensori-motor, kognitif,
emosi, dan sosialisasi yang sesuai dengan usia anak
3. menghadapi berbagai tuntutan akademis yang selalu
bertambah sejalan dengan bertambahnya usia anak
Anak-anak yang mengalami gangguan dalam
perkembangan sensori integrasi biasanya akan menunjukan
berbagai masalah dalam belajar dan/atau perilaku. Anak-anak
yang mengalami masalah sensori integrasi memperlihatkan
satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
1. hambatan prestasi sekolah.
2. kurang percaya diri.
3. masalah emosi dan/atau sosialisasi.
4. tampak terlalu aktif ataupun terlalu pendiam.
46
5. perhatiannya mudah teralih.
6. kurang dapat mengontrol diri.
7. terlalu peka atau kurang peka terhadap sentuhan, gerakan,
suara, dan sebagainya.
8. gerakannya tampak kikuk, tidak luwes atau tampak
serampangan.
9. hambatan pada perkembangan keterampilan motorik,
bicara, dan/atau pengertian Bahasa.
10. kadang-kadang tampak tidak peduli pada orang sekitarnya.
Anak yang menunjukan beberapa gejala gangguan sensori
integrasi seperti yang telah diuraikan di atas, sering kali
orangtua menanyakan mengenai penyebabnya. Penyebab
gangguan sensori integrasi pada seorang anak biasanya sulit
untuk ditunjukan secara pasti. Pada anak-anak tersebut,
masalah sensori integrasi ditemukan menyertai masalah
perkembangan yang utama.
Proses sensori integrasi terjadi secara bertahap,
kegagalan di satu tahap akan berpengaruh pada tahap
berikutnya. Anak yang optimal dalam proses sensori integrasi
akan memiliki kemampuan komunikasi, regulasi diri, harga diri,
kepercayaan diri, kemampuan akademik, kemampuan berpikir
abstrak dan penalaran, serta spesialisasi pada setiap sisi tubuh
dan otak. Intervensi berbasis sensori integrasi sangat efektif
dilakukan pada anak usia 3 – 8 tahun (Bundy et al., 2002).
47
KESULITAN BELAJAR
& SENSORI INTEGRASI

5 48
5. KESULITAN BELAJAR & SENSORI INTEGRASI

B
eberapa anak yang mengalami kesulitan belajar
biasanya mengalami permasalahan sensori integrasi.
Sensori integrasi melibatkan kemampuan untuk
menggunakan dua atau lebih indra secara bersamaan.
Ketidakmampuan seorang siswa untuk mendengarkan dan
mencatat selama berada di dalam kelas merupakan contoh dari
adanya gangguan sensori integrasi (sensory integration
dysfunction), karena memerlukan kombinasi kemampuan dari
persepsi pendengaran dan perabaan atau perilaku proprioseptif
(suatu kesadaran di mana tubuh memiliki hubungan dengan
ruang di sekitarnya).
Bagian terakhir yang menjadi perhatian pada komponen
sensori integrasi adalah sensitivitas yang berlebihan terhadap
input sensoris. Cahaya, suara, bau, dan rasa bisa menjadi
sesuatu yang berlebih. Bila sensitivitas yang tinggi ini
memengaruhi rasa sentuh, ini disebut tactile defensiveness,
yaitu sentuhan yang diterima anak dapat memicu
ketidaknyamanan. Bagi anak yang defensif terhadap sensasi
sentuh, sentuhan ringan atau lembut tampaknya lebih tidak
nyaman daripada sentuhan yang kasar. Hal yang bisa
dilakukan di kelas yaitu dengan melihat bagaimana seorang

49
siswa dengan sensitivitas sensori yang dialami akan mengalami
kesulitan (Kirk et al., 2009).
Anak dengan kesulitan belajar sering mengalami kesulitan
dalam regulasi pengendalian impuls dan perilaku, sulit
mempertahankan dan memusatkan perhatian, dan kesulitan
dalam perkembangan bahasa. Anak-anak dengan kesulitan
belajar sering menunjukkan keterampilan dan kinerja yang tidak
konsisten dan bervariasi. Misalnya, seseorang yang memiliki
kesulitan dalam satu bidang keahlian, tapi unggul dalam bidang
keterampilan yang lain (Klein et al., 2001).
Sensori integrasi merupakan pendekatan pengobatan
yang digunakan untuk anak-anak dengan sensory integration
dysfunction (SID), yang salah satunya ialah anak yang
mengalami kesulitan belajar. Sensory integration dysfunction
adalah ketidakmampuan untuk memproses informasi yang
diterima melalui indra. Istilah lain yang digunakan adalah
sensori processing disorder. Ketidakberfungsian sistem saraf
pusat di otak untuk menganalisis, mengatur, dan melakukan
hubungan secara terpadu terhadap pesan–pesan yang masuk
melalui indra serta melakukan respon melalui seluruh saraf
tubuh sesuai dengan stimulus yang ada.
Anak yang mengalami SID tidak mampu melakukan
respon terhadap informasi yang masuk melalui indra sehingga
mengakibatkan ketidakmampuan dalam berperilaku secara
50
konsisten dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari.
Ketidakberfungsian saraf pusat tersebut mengakibatkan
seorang anak mengalami beberapa kesulitan seperti
berperilaku adaptif, mempelajari suatu gerakan, dan
mempelajari akademik. Anak sangat memerlukan bantuan
penuh saat mengalami SID yang dapat dilakukan melalui
intervensi khusus yang berbasis sensori integrasi. Intervensi
berbasis sensori integrasi dilakukan dengan modifikasi saraf
yang tidak berfungsi melalui belajar.
Ketidakberfungsian dalam menjalani fungsinya
mengakibatkan permasalahan pada otak yang menyebabkan
otak tidak mampu untuk melakukan analisis, pengorganisasian,
dan tidak mampu dalam hubungan sensori. Anak tidak dapat
melakukan respon atau menanggapi informasi sensoris untuk
dijadikan sesuatu yang bermakna secara konsisten disebabkan
karena ketidakberfungsian sensori integrasi. Anak akan
mengalami kesulitan dalam menggunakan informasi sensoris
untuk membuat rencana atau disorganisasi dengan apa yang
semestinya dilakukan, sehingga anak tidak bisa belajar secara
mudah. Bentuk-bentuk belajar tersebut adalah adaptive
behavior, motor learning, dan academic learning (Delphie,
2009).
Sensori integrasi menjelaskan proses biologis pada otak
untuk mengolah serta menggunakan berbagai informasi secara
51
baik dan sesuai situasi. Input sensorik bermacam-macam, bisa
dirasa dengan rabaan, didengar, dilihat, dan dicium. Anak
mampu membedakan suara dan warna jika sensorik
pendengaran dan penglihatan dalam kondisi yang baik. Anak
yang mengalami masalah dengan daya sensoriknya karena
alat-alat indra, serabut saraf, dan jaringan saraf mengalami
gangguan sehingga penyampaian informasi ke otak tidak
sempurna. Kondisi ini tergantung pada keadaan yang diderita
setiap anak. Anak kurang atau tidak mampu menerima input
sensorik dengan baik jika sistem sensoriknya tidak berfungsi
secara baik. Pada akhirnya, anak dianggap mengalami
gangguan pertumbuhan sensori integrasi dan memerlukan
terapi (Widyawati dkk., 2003).
Sensori integrasi dirancang untuk memberikan
pengalaman sensorik yang dikendalikan sehingga adaptif
respon motor akan timbul. Penggunaan sensori integrasi pada
proses intervensi bertujuan untuk meningkatkan modulasi
sensorik yang berhubungan dengan perilaku, perhatian, dan
meningkatkan kemampuan untuk interaksi sosial, keterampilan
akademik, dan kemandirian. Kegiatan tersebut akan
direncanakan, dikendalikan, dan diarahkan sesuai dengan
kebutuhan anak yang ditandai dengan penekanan pada
stimulasi sensorik. Kegiatan yang diberikan pada intervensi
berbasis sensori integrasi dapat membantu memodulasi sistem
52
saraf, mengatur, dan mengintegrasikan informasi dari
lingkungan, sehingga dapat merespon dengan baik (Pfeiffe,
2011). Sensori integrasi akan melibatkan kegiatan motorik
sensorik yang kaya sensasi taktil (rabaan), vestibular, dan
proprioseptif (Schaaf & Miller, 2005). Lingkungan terapi
dirancang agar menyenangkan dalam bentuk permainan agar
tujuan tercapai. Kemudian guru mengobservasi, mengamati,
dan menafsirkan perilaku untuk kepentingan anak.
Karakteristik dalam intervensi berbasis sensori integrasi
harus menggunakan komunikasi dan dilakukan dalam kondisi
yang menyenangkan (Smith et al., 2005). Pada terapi sensori
integrasi, anak dibimbing melakukan berbagai aktivitas yang
akan memberinya berbagai input sensorik secara aktif
(Widyawati dkk., 2003). Terapi dirancang untuk memberikan
stimulasi vestibular (keseimbangan), proprioseptif (gerak,
tekan, dan posisi sendi otot), taktil (raba), auditoris
(pendengaran), visual (penglihatan), dan gustatori
(pengecapan)/olfaktori (penciuman) (Bundy, 2002). Sistem
sensori yang dirancang dalam intervensi yang berbasis sensori
integrasi akan dijelaskan di bawah ini.
Pendekatan intervensi berbasis sensori integrasi mengacu
pada asumsi bahwa otak dapat dilatih untuk merasa,
mengingat, dan mampu melakukan gerak yang lebih baik.
Penekanan terhadap sensori motor pada intervensi berbasis
53
sensori integrasi dirancang dan diterapkan sesuai dengan
sensasi gerak dalam bentuk informasi dan pesan sensoris, dari
lingkungan, kemudian diproses, dan diintegrasikan oleh otak
melalui sistem saraf pusat. Selanjutnya akan menjadi sebuah
respon berupa gerakan-gerakan yang berarti sesuai dengan
pikiran dan perasaan anak (Anggraeni, 2015). Menurut
Widyawati, Rosadi, dan Yulidar (2003), keberhasilan terapi
tergantung oleh beberapa faktor, sebagai berikut:
a. Berat-ringannya gejala dan gangguan di dalam sel otak
b. Makin muda umur anak pada saat terapi dimulai, semakin
besar kemungkinan berhasil. Umur ideal adalah 2-5 tahun,
saat sel otak masih bisa dirangsang untuk membentuk
cabang-cabang neuron baru
c. Makin cerdas anak semakin cepat menangkap hal-hal yang
diajarkan
d. Intensitas terapi dan seluruh keluarga harus ikut terlibat
melakukan komunikasi dengan baik.
Melihat penjelasan di atas mengenai konsep model
intervensi berbasis sensori integrasi untuk siswa yang
mengalami kesulitan belajar, bahwa pentingnya implementasi
model intervensi pada anak berkesulitan belajar di kelas. Siswa
yang berkesulitan belajar yang terdiri dari disleksia, diskalkulia,
dan disgrapia membutuhkan model intervensi berbasis sensori
integrasi. Model intervensi berbasis sensori integrasi
54
memperbaiki proses pengelolaan informasi sensorik seperti
indra penglihatan, pendengaran, perabaan (taktil), proprioseptif,
dan vestibular. Perbaikan proses pengelolaan informasi
sensorik bertujuan untuk memperbaiki proses belajar siswa
sehingga dapat meningkatkan kemampuan akademis pada
siswa berkesulitan belajar.
Penting untuk menentukan karakteristik proses
pembelajaran yang unik pada setiap anak. Artinya, melalui
percakapan dengan orangtua dan profesional, mencoba untuk
menentukan model pembelajaran mana yang disukai oleh anak
(misal, visual, auditoris, taktil), dan apakah ada situasi atau
pengalaman sensoris tertentu yang dialami anak tersebut
(Widyawati dkk., 2003).

55
TATA LAKSANA
MODEL INTERVENSI

6
56
6. TATA LAKSANA MODEL INTERVENSI
BERBASIS SENSORI INTEGRASI
UNTUK SISWA BERKESULITAN BELAJAR
USIA 7- 8 TAHUN

P
enatalaksanaan model intervensi berbasis sensori
integrasi sangat efektif bagi siswa berkesulitan belajar.
Penerapan model intervensi berbasis sensori integrasi
untuk siswa berkesulitan belajar usia 7–8 tahun terdapat
beberapa kegiatan yang harus dilakukan di bawah ini.

Gambar 3. Kegiata pada Tata Laksana Model Intervensi Berbasis


Sensori Integrasi untuk Siswa Berkesulitan Belajar Usia 7–8 Tahun
57
A. Tes Inteligensi/Intelligence Quotient (IQ)

Tes inteligensi/intelligence quotient (IQ) dilakukan


bertujuan untuk menegakkan diagnosis kesulitan belajar yang
dialami oleh siswa. Siswa yang mengalami kesulitan belajar
harus memiliki IQ minimal normal. Tes inteligensi/intelligence
quotient (IQ) dilakukan oleh seorang psikolog. Tes
inteligensi/intelligence quotient (IQ) biasanya menggunakan
The Wechsler Intelligence Scale for Children-IV (WISC-IV).
WISC-IV digunakan untuk anak berusia dari 6 tahun – 16 tahun
11 bulan (Deiner, 2013).
Pada saat pelaksanaan model intervensi berbasis sensori
integrasi untuk siswa berkesulitan belajar usia 7–8 tahun, tes
inteligensi dapat menggunakan Coloured Progressive Matrices
(CPM). Coloured Progressive Matrices merupakan salah satu
alat tes terbaik untuk mengukur intelegensi umum. Coloured
Progressive Matrices dipergunakan mengukur taraf kecerdasan
bagi anak-anak yang berusia 5 sampai 11 tahun. Dimana tes ini
dapat disajikan secara individual atau klasikal (Nur’aeni, 2012)

B. Tes Fungsi Penglihatan dan Pendengaran

Tes fungsi penglihatan dan pendengaran dilakukan untuk


mengetahui kondisi kemampuan penglihatan dan pendengaran
58
siswa. Tes fungsi penglihatan dan pendengaran dilakukan
untuk menegakkan diagnosis kesulitan belajar yang dialami
oleh siswa. Siswa yang mengalami kesulitan belajar harus
memiliki kemampuan penglihatan dan pendengaran yang
normal. Permasalahan indera yang dimiliki oleh siswa yang
mengalami kesulitan belajar disebabkan karena
ketidakmampuan dalam mengolah dan mengorganisasikan
input sensori yang diterima saat siswa menjalani proses
pembelajaran.
Tes fungsi penglihatan dan pendengaran bisa dilakukan
oleh guru yang sudah terlatih. Tes fungsi penglihatan
menggunakan tes sederhana yang dinamakan pemeriksaan
visus. Tes fungsi pendengaran menggunakan tes sederhana
yang dinamakan tes bisik (Kementerian Kesehatan, 2015).
Kedua tes tersebut akan dijelaskan di bawah ini.
1. Tes Fungsi Penglihatan
Pemeriksaan kesehatan indra penglihatan dilakukan
melalui pemeriksaan ketajaman penglihatan. Pemeriksaan
fungsi penglihatan dilakukan untuk mendeteksi adanya
gangguan penglihatan seperti gangguan ketajaman dalam
penglihatan serta ditindaklanjuti hasil pemeriksaan (bila
terdapat adanya gangguan). Pemeriksaan fungsi penglihatan
pada siswa menggunakan kartu Snellen/E chart.

59
Sebelum melakukan pemeriksaan, berikut ini beberapa hal
yang harus diperhatikan:
a. Anak yang diperiksa berada pada posisi 6 meter dari kartu
snellen, karena pada jarak ini mata akan melihat benda
dalam keadaan istirahat;
b. Kartu snellen diletakkan sejajar dengan mata anak yang
diperiksa;
c. Pastikan ruang tempat pemeriksaan cukup cahaya (tidak
gelap dan tidak silau);
d. Orang yang diperiksa tidak buta huruf (tahu membaca huruf)
e. Orang yang diperiksa harus berumur di atas 5 tahun.
f. Tidak melakukan pemeriksaan sendiri, artinya harus ada
paling tidak 2 orang yaitu orang yang diperiksa dan
pemeriksa yang bertugas mengarahkan orang yang
diperiksa.
g. Pemeriksa berdiri di samping kartu snellen.
Setelah semua persiapan pemeriksaan siap, maka
mulailah lakukan pemeriksaan dengan cara sebagai berikut:
a. Pemeriksaan dimulai pada mata kanan terlebih dahulu. Jika
mata kanan yang akan diperiksa, maka orang yang
diperiksa harus menutup mata sebelah kiri menggunakan
tangan kiri dan memperhatikan instruksi yang diberikan oleh
pemeriksa, begitu pula sebaliknya, jika mata kiri yang
diperiksa maka mata kanan yang ditutup. Sebagai catatan,
60
ketika menutup mata usahakan mata yang ditutup jangan
ditekan agar tidak berdampak pada pemeriksaan mata yang
sebelumnya ditutup.
b. Pemeriksa menunjuk huruf-huruf yang ada pada kartu
snellen, dari atas ke bawah atau dari huruf paling besar ke
satu tingkat dibawahnya dan dari kiri ke kanan pada baris
huruf kemudian orang diperiksa menyebutkan huruf yang
ditunjuk oleh pemeriksa. Jika terjadi ketidaksesuaian antara
yang ditunjuk dengan yang di sebutkan, maka dapat
diulangi hingga 3 kali untuk memastikan.
c. Cara menilai visus dari hasil membaca kartu:
1) Bila siswa dapat membaca kartu pada baris dengan
visus 6/6, maka tidak usah membaca pada baris
berikutnya  visus normal
2) Bila siswa tidak dapat membaca kartu pada baris
tertentu di atas visus normal, cek pada 1 baris tersebut.
a) Bila cuma tidak bisa membaca 1 huruf, berarti
visusnya terletak pada baris tersebut dengan
kesalahan 1.
b) Bila tidak dapat membaca 2 huruf, berarti visusnya
terletak pada baris tersebut dengan kesalahan 2.
c) Bila tidak dapat membaca lebih dari stengah jumlah
huruf yang ada, berarti visusnya berada di baris tepat
di atas baris yang tidak dapat dibaca
61
d) Bila tidak dapat membaca satu baris, berarti visusnya
terdapat pada baris di atasnya.
d. Catat pada baris ke berapa siswa mampu membaca,
tuliskan visus sesuai angka yang ada disebelah kiri pada
baris tersebut.
Setelah melakukan pemeriksaan, maka kita menafsirkan
hasil pemeriksaan atas ketajaman penglihatan orang yang
diperiksa dengan ketentuan sebagai berikut:

Gambar 4. Kartu Snellen


(Sumber: Amrin Modolan. 2016. Pemeriksaan Visus Menggunakan
Kartu Snellen, Mitra Kesmas. www.mitra kesmas.com. 10 Mei 2018)
62
Kategori Visus
Penggolongan kategori visus yang digunakan pada Model
Intervensi Berbasis Sensori Integrasi untuk Siswa Berkesulitan
Belajar Usia 7–8 tahun adalah sebagai berikut:

Penglihatan Normal

Kategori penglihatan normal jika hasil pemeriksaan berada


pada kisaran seperti pada tabel berikut:

Tabel 1. Kategori Penglihatan Normal

Sistem Snellen Jarak Snellen Jarak Efesiensi


Desimal 6 Meter 20 Kaki Penglihatan
2.0 6/3 20/10
1.33 6/5 20/15 100%
1.0 6/6 20/20 100%
0.8 6/7.5 20/25 95%

Penglihatan Hampir Normal

Dikatakan penglihatan hampir normal jika hasil pemeriksaan


berada pada kisaran seperti pada tabel berikut:

63
Tabel 2. Kategori Penglihatan Hampir Normal

Sistem Snellen Jarak Snellen Jarak Efesiensi


Desimal 6 Meter 20 Kaki Penglihatan
0.7 6/9 20/30 90%
0.6 5/9 20/35
0.5 6/12 20/40 85%
0.4 6/15 20/50 75%
0.33 6/18 20/60
0.285 6/21 20/70

Melihat tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa skor snellen


6/6 sampai 6/21 dapat dikatakan normal. Jika ditemukan skor
snellen di bawah 6/21, maka lakukan rujukan ke Puskesmas
atau rumah sakit terdekat karena dicurigai siswa mengalami
permasalahan visus agar mendapatkan intervensi yang tepat

2. Tes Fungsi Pendengaran


Pemeriksaan kesehatan indra pendengaran dilakukan
melalui pemeriksaan telinga luar dan fungsi pendengaran
dengan tes berbisik. Pemeriksaan fungsi pendengaran
dilakukan untuk mendeteksi adanya gangguan fungsi
pendengaran pada siswa serta ditindaklanjuti hasil
pemeriksaan (bila terdapat adanya kelainan). Pemeriksaan
fungsi pendengaran pada siswa menggunakan uji berbisik.

64
Sebelum melakukan pemeriksaan, berikut ini beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi:
a. Tempat: ruangan sunyi dan tidak ada echo (dinding dibuat
rata atau dilapisi ”soft board”/gorden) serta ada jarak
sepanjang 6 meter
b. Siswa yang diperiksa
1) Mata ditutup atau dihalangi agar tidak membaca gerak
bibir
2) Telinga yang diperiksa dihadapkan ke arah pemeriksa
3) Telinga yang tidak diperiksa ditutup (bisa ditutupi kapas
yang dibasahi gliserin)
4) Mengulang dengan keras dan jelas kata-kata yang
dibisikkan
c. Pemeriksa
1) Kata-kata dibisikkan dengan udara cadangan paru-paru,
sesudah ekspirasi biasa
2) Kata-kata yang dibisikkan terdiri dari 1 atau 2 suku kata
yang dikenal siswa, biasanya kata-kata benda yang ada
di sekeliling kita.
Setelah semua persiapan pemeriksaan siap, maka
mulailah lakukan pemeriksaan dengan cara sebagai berikut:
a. Mula-mula siswa pada jarak 6 meter dibisikin beberapa
kata. Bila tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter
dari siswa) dan tes ini dimulai lagi. Bila masih belum
65
menyahut pemeriksa maju 1 m, demikian seterusnya
sampai siswa dapat mengulangi 8 kata-kata dari 10 kata-
kata yang dibisikkan. Jarak dimana siswa dapat menyahut 8
dari 10 kata disebut sebagai jarak pendengaran.
b. Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang
lain sampai ditemukan satu jarak pendengaran.
Hasil tes pendengaran yang diperoleh pada Model
Intervensi Berbasis Sensori Integrasi untuk Siswa Berkesulitan
Belajar Usia 7–8 tahun adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Kategori Fungsi Pendengaran

Fungsi Pendengaran Suara Bisik

Normal 4-6 meter

Tuli Ringan 2–4 meter

Tuli Sedang 1–2 meter

Tuli Berat < 1 meter

C. Tes Kesulitan Belajar

Tes kesulitan belajar dilakukan bertujuan untuk


menegakkan diagnosis kesulitan belajar yang dialami oleh
siswa. Tes kesulitan belajar yang dilakukan juga ingin

66
mengetahui adanya gangguan yang terjadi dalam kegiatan
belajar yang mencakup dalam penguasaan keterampilan dalam
membaca (disleksia), menulis (disgrafia), dan matematika
(diskalkulia) pada siswa. Tes kesulitan belajar dapat dilakukan
oleh guru yang terlatih.
Tes kesulitan belajar pada ketidakmampuan siswa saat
membaca (disleksia) akan mengukur tingkat kesulitan siswa
dalam melakukan tugas terkait dengan ketepatan dalam
membaca kata, kecepatan dan kefasihan membaca, serta
pemahaman dalam membaca. Tes kesulitan belajar pada
ketidakmampuan siswa saat menulis (disgrafia) akan mengukur
tingkat kesulitan siswa dalam melakukan tugas terkait dengan
ketepatan ejaan, ketepatan tata bahasa dan tanda baca, serta
kejelasan dan keteraturan dalam menulis. Tes kesulitan belajar
pada ketidakmampuan siswa saat belajar berhitung dan
matematika (diskalkulia) akan mengukur tingkat kesulitan siswa
dalam melakukan tugas terkait dengan pemahaman angka,
menghapal rumus matematika, serta ketepatan dan kefasihan
dlam operasi perhitungan.
Sebelum melakukan pemeriksaan, berikut ini beberapa
hal yang harus dipersiapkan:
1. Perlengkapan alat instrumen yang terdiri dari instrumen tes,
perangkat instrumen tes dan buku panduan administrasi
instrumen tes.
67
2. Perlengkapan alat tulis yang terdiri dari kertas kosong,
pensil, dan penghapus.
3. Ruang penyelenggaran tes yang tenang dan nyaman
Setelah semua persiapan pemeriksaan siap, maka mulailah
lakukan pemeriksaan kesulitan belajar sesuai dengan buku
panduan administrasi instrumen tes kesulitan belajar.
Hasil tes kesulitan belajar yang diperoleh pada Model
Intervensi Berbasis Sensori Integrasi untuk Siswa Berkesulitan
Belajar Usia 7–8 tahun adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Kategori Kesulitan Belajar pada Siswa Kelas 1

Kategori Disleksia Disgrafia Diskalkulia Kesulitan Belajar

Normal ≤1 ≤8 ≤7 ≤ 17

Ringan 2–4 9 – 10 8 18 – 21

Sedang 5–6 11 – 13 9 – 11 22 – 26

Berat >6 > 13 > 11 > 26

Kategori kesulitan belajar pada siswa di atas kelas 1 memiliki


norma tersendiri seperti yang diperlihatkan pada table 5.

68
Tabel 5. Kategori Kesulitan Belajar pada Siswa di Atas Kelas 1

Kategori Disleksia Disgrafia Diskalkulia Kesulitan Belajar

Normal 0 ≤2 ≤2 ≤5

Ringan 1 3–6 3–4 6 – 12

Sedang 2–4 7 – 10 5–7 13 – 18

Berat >4 > 10 >7 > 18

D. Tes Profil Sensori Integrasi

Tes profil sensori integrasi dilakukan bertujuan untuk


mengetahui profil sensori siswa yang memengaruhi proses
pembelajaran. Profil sensori yang diukur adalah sensasi visual,
auditori, taktil (perabaan), vestibular, dan proprioseptif. Tes
profil sensori integrasi dapat dilakukan melalui orangtua siswa
atau siswa yang bersangkutan atau melihat kondisi proses
sensori yang terjadi pada siswa secara langsung. Orangtua
siswa diminta mengisi atau mengerjakan instrumen tes profil
sensori integrasi dengan panduan yang diberikan oleh guru
yang terlatih atau guru menanyakan langsung kepada siswa
jika siswa sudah mengerti terhadap pernyataan yang terdapat
pada instrumen tes.

69
Tes profil sensori integrasi mengukur kelima aspek sensori
integrasi. Kelima aspek sensori integrasi yang diukur adalah
sebagai berikut:
1. Proses penglihatan, mengukur respon anak terhadap
stimulus visual
a) Hipersensitif penglihatan, anak menghindar atau kurang
nyaman dan bereaksi secara berlebihan terhadap
stimulus visual.
b) Dalam batas normal/tipikal, anak berespon sewajarnya
terhadap stimulus visual.
c) Hiposensitif penglihatan, Anak mencari stimulus visual
secara berlebihan dan kurang berespon terhadap
stimulus visual.

2. Proses pendengaran, mengukur respon anak terhadap


stimulus auditoris.
a) Hipersensitif pendengaran, Anak menghindar atau
kurang nyaman dan bereaksi secara berlebihan
terhadap stimulus auditoris.
b) Dalam batas normal/tipikal, anak berespon sewajarnya
terhadap stimulus auditoris.
c) Hiposensitif pendengaran, anak mencari stimulus
auditoris secara berlebihan dan kurang berespon
terhadap stimulus auditoris.
70
3. Proses perabaan (taktil), mengukur respon anak terhadap
stimulus perabaan (taktil).
a) Hipersensitif perabaan (taktil), anak menghindar atau
kurang nyaman dan bereaksi secara berlebihan
terhadap stimulus taktil.
b) Dalam batas normal/tipikal, anak berespon sewajarnya
terhadap stimulus taktil.
c) Hiposensitif perabaan (taktil), anak mencari stimulus
taktil secara berlebihan dan kurang berespon terhadap
stimulus taktil.

4. Proses vestibular, mengukur respon anak terhadap stimulus


vestibular
a) Hipersensitif vestibular, anak menghindar atau kurang
nyaman atau takut terhadap stimulus vestibular dan
mudah terjatuh.
b) Dalam batas normal/tipikal, anak berespon sewajarnya
terhadap stimulus vestibular.
c) Hiposensitif vestibular, anak mencari stimulus vestibular
secara berlebihan dan tidak bisa diam.

5. Proses proprioseptif, mengukur respon anak terhadap


stimulus proprioseptif

71
a) Hipersensitif proprioseptif, anak menghindar terhadap
stimulus proprioseptif dan mudah merasa lelah atau
terlihat lemah.
b) Dalam batas normal/tipikal, anak berespon sewajarnya
terhadap stimulus proprioseptif.
c) Hiposensitif proprioseptif, anak mencari stimulus
proprioseptif secara berlebihan dan tidak bisa diam.
Tes profil sensori integrasi merupakan instrumen tes untuk
mendeteksi secara dini adanya permasalahan dalam proses
pengolahan dan pengorganisasian input sensori yang dapat
mengganggu proses pembelajaran siswa di kelas. Jika
ditemukan adanya permasalahan dalam proses pengolahan
dan pengorganisasian input sensori maka harus ditindaklanjuti
dengan memberikan intervensi sederhana berbasis sensori
integrasi yang dilakukan oleh guru yang terlatih. Alangkah
baiknya tindakan intervensi sensori integrasi yang dilakukan
oleh guru yang terlatih di bawah pengawasan seorang okupasi
terapis agar siswa mendapatkan intervensi yang benar dan
tepat untuk mendapatkan hasil intervensi yang lebih baik.

E. Intervensi Sensori Integrasi

Intervensi berbasis sensori integrasi dapat dilakukan di


sekolah. Intervensi dapat diterapkan di dalam dan di luar ruang
72
kelas (Bundy et al., 2002). Intervensi yang diberikan di dalam
kelas sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kelas yang
kondusif. Menurut Abraham (2002), menciptakan kondisi
lingkungan kelas yang kondusif butuh beberapa hal yang harus
dilakukan yaitu:
 Ciptakan lingkungan kelas yang sedikit mungkin akan
stimulasi sensorik dengan mengurangi jumlah kertas yang
dipasang di dinding, mengurangi/menghilangkan proyek
kelas yang menggantung, mengurangi tingkat kebisingan,
mengurangi cahaya lampu atau sinar matahari yang terlalu
silau, dan lain-lain.
 Ciptakan suasana ruang kelas yang tenang.
 Hindari benda-benda yang dapat mengganggu perhatian
siswa seperti perlengkapan alat tulis.
 Perlengkapan menulis (penghapus, rautan, penggaris, dan
lain-lain) tidak boleh disajikan sampai siswa siap untuk
menggunakannya. Siswa akan terganggu oleh perlengkapan
menulis dan tidak akan memperhatikan apa yang guru
katakan.
 Minta siswa untuk merapihkan perlengkapan dan atau alat
tulis yang telah digunakan saat melakukan aktivitas
kelompok untuk mengembangkan perilaku yang bertanggung
jawab.

73
Pengembangan kondisi lingkungan kelas yang kondusif pun
butuh dilakukan dengan cara:
 Berikan siswa kesempatan untuk mengembangkan citra
tubuh mereka melalui gerakan dengan menggunakan ritme,
musik, dan aktivitas motorik sensorik lainnya.
 Gunakan instruksi singkat, langsung, dan sederhana.
 Atur kelas dengan prosedur yang rutin dan tertib. Ketika
siswa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, mereka
merasa lebih aman.
 Buat siswa merasa aman dengan menggunakan
pengalaman yang tidak mengancam dan sesuai dengan
perkembangannya.
 Berikan siswa sedikit kebebasan dengan mengizinkan
mereka bermain dan istirahat sesekali.
 Selalu konsisten saat membentuk perilaku siswa di dalam
kelas.
 Guru harus memiliki rencana yang sama dengan profesional
lain yang terkait ketika berhadapan dengan masalah
perilaku.
 Program harus berorientasi pada siswa, bukan berbasis
kurikulum.
 Guru perlu mencari tahu dari orangtua apa yang paling
memotivasi siswa.

74
Kondisi lingkungan yang kondusif perlu didukung dengan
aktivitas kelas yang baik. Aktivitas kelas yang baik dapat
dicapai dengan cara:
 Menawarkan pengalaman positif pada siswa.
 Jangan memaksakan apa-apa pada siswa.
 Menemukan pengalaman siswa dengan kurikulum.
 Memberikan instruksi pada siswa baik satu per satu maupun
dalam kelompok kecil.
 Mempertimbangkan kebutuhan individu saat merencanakan
suatu kegiatan pembelajaran.
 Menggunakan musik untuk memberikan suasana yang
menenangkan.
 Memberikan berbagai kegiatan sehingga semua siswa akan
memiliki peluang untuk merasakan kesuksesan dalam
menyelesaikan kegiatan yang diberikan.
 Membuat kegiatan yang memfasilitasi siswa untuk bergerak
dan terlibat dalam mengembangkan kebugaran fisik.
 Memberikan petunjuk secara terpisah saat siswa mengalami
kesulitan dalam bereaksi terhadap stimulus yang diterima.
Pertama, gunakan petunjuk visual. Selanjutnya, gunakan
petunjuk auditorik. Ketiga, berikan petunjuk berupa sentuhan
(taktil).

75
 Menggunakan musik untuk menandai aktivitas yang akan
dimulai dan diakhiri.
 Memberikan tahapan dalam menambah panjangnya aktivitas
berdasarkan kebutuhan anak terkait dengan rentang
perhatian siswa.
 Memberikan pengulangan keterampilan yang memungkinkan
siswa untuk mengeksplorasi keterlibatan siswa dalam suatu
kegiatan dan atau keberhasilan.
Intervensi berbasis sensori integrasi biasanya memerlukan
beberapa perlengkapan seperti ayunan dan perlengkapan
lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan sensasi dan
perilaku adaptif. Biasanya kegiatan intervensi berbasis sensori
integrasi dapat dilakukan di luar kelas karena dapat
memberikan keleluasan bagi siswa untuk bergerak (Bundy et
al., 2002). Memberikan kesempatan untuk bergerak pada siswa
dapat membantu meminimalkan atau menghilangkan potensi
kesulitan belajar. Aktivitas gerakan yang tampak paling
berhubungan langsung adalah gerakan yang menggabungkan
gerakan kedua sisi tubuh yang berlawanan, seperti merangkak,
memanjat, dan bergerak di atas balok keseimbangan.
Siswa berkesulitan belajar yang memiliki banyak
kesempatan untuk mengembangkan otot bahu dan lengan atas
akan memiliki kontrol motorik yang lebih baik dalam tulisan
tangan. Karena seorang anak berkembang dari kepala sampai
76
kaki dan dari tulang belakang ke arah tangan, sehingga guru
harus memperkuat lengan atas dan bahu siswa sebelum
mengharapkan tangan dan jari-jari siswa terkoordinasi secara
baik. Memanjat, berjalan di atas roda, merangkak melewati
terowongan dan di bawah rintangan, main kuda-kudaan, dan
membuat gerakan pada lengan sampai jari-jari mengikuti lagu
yang diperdengarkan untuk membantu mengembangkan otot
yang dibutuhkan untuk menulis (Abraham, 2002).
Menurut Schaaf & Mailloux (2015), aktivitas intervensi
sensori integrasi pada siswa berbeda-beda sesuai dengan
minat, mood dan kemampuan siswa. Intervensi sensori
integrasi yang diberikan kepada siswa harus memiliki tantangan
bagi siswa namun jangan terlalu susah dan juga tidak terlalu
mudah. Aktivitas intervensi sensori integrasi yang baik didesain
oleh terapis dan siswa. Intervensi sensori yang didesain
bersama diharapkan siswa mampu melakukan aktivitas yang
akan dilakukan dengan memberi umpan balik yang positif baik
dari sisi sensorik maupun motorik. Umpan balik positif yang
diberikan oleh siswa membantu dalam mengembangkan “body
awareness”, harga diri, dan kepercayaan diri siswa. Aktivitas
intervensi sensori integrasi yang diberikan kepada siswa dalam
kondisi yang menyenangkan. Aktivitas intervensi sensori
integrasi yang menyenangkan dilakukan dalam bentuk

77
permainan dengan tujuan untuk mempertahankan motivasi
siswa.
Intervensi sensori Integrasi diberikan sesuai dengan
kebutuhan siswa. Pemenuhan kebutuhan sensasi siswa saat
diberikan intervensi sensori integrasi tergantung pada hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh guru yang terlatih dengan
menggunakan instrumen tes profil sensori integrasi. Di bawah
ini adalah aktivitas yang dapat diberikan pada siswa sesuai
dengan kebutuhan (Schaaf & Mailloux (2015) & Abraham
(2002)).
1. Sensasi penglihatan
a) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang
mengalami hipersensitif penglihatan adalah sebagai
berikut:
 Bermain dengan mainan yang memancarkan sinar
secara bergradasi dimulai dari cahaya yang tidak
terlalu silau.

78
 Mencari obyek pada sebuah gambar.

 Mencoret salah satu huruf yang disepakati (misal: O)


dengan menggunakan spidol/stabilo/pulpen/pensil
yang ada di koran atau majalah.

79
 Dipaparkan sensasi penglihatan yang membuat
siswa tidak nyaman secara bergradasi dimulai dari
sensasi penglihatan yang tidak terlalu membuat
siswa merasa tidak nyaman yang dilakukan dalam
aktivitas yang menyenangkan dan menenangkan
seperti tangkap bola

.
 Menyamakan gambar/angka/huruf.

80
 Memasukkan bola ke sasaran (misal: keranjang atau
ember) dengan jarak yang tidak terlalu jauh diberikan
secara bergradasi (misal: dimulai dari 0,5 meter)

 Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa


saat bermain nyusun balok.

81
 Bermain “metronome code” (misalnya siswa diminta
tepuk tangan saat guru menunjukkan huruf O, tepuk
bahu saat guru menunjukkan huruf X, tepuk paha
saat guru menunjukkan huruf V, dan lain-lain).

b) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang


mengalami hiposensitif penglihatan adalah sebagai
berikut:
 Bermain lempar tangkap bola.

82
 Bermain bola basket.

 Menendang bola ke sasaran.

 Bermain badminton.

83
 Memukul bola yang menghampiri dengan
menggunakan tongkat atau raket.

 Bermain dengan pancingan dan ikan-ikanan.

 Mengumpulkan bola kecil, kelereng, atau biji-bijian


yang berserakan di lantai.

84
 Bermain dart.

 Menyusun balok.

 Bermain “gutter track” (bermain bola atau mobil-


mobilan atau pasir/air yang dimasukkan ke lintasan
dengan menggunakan bambu atau pipa yang dibelah
melintang menjadi dua).

85
 Menyiram tanaman dengan menggunakan selang.

 Bermain dengan senter (ruangan dibuat redup


kemudian guru menyenter tembok kemudian siswa
diminta untuk menepuknya).

86
2. Sensasi Pendengaran
a) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang
mengalami hipersensitif pendengaran adalah sebagai
berikut:
 Bermain dengan mainan yang mengeluarkan suara
secara bergradasi dimulai dari suara yang tidak
terlalu keras

.
 Melakukan aktivitas auditoris dengan menggunakan
peluit, meniup mainan yang mengeluarkan suara,
bermain alat musik yang dilakukan secara
bergradasi.

87
 Dipaparkan sensasi pendengaran yang membuat
siswa tidak nyaman secara bergradasi dimulai dari
sensasi pendengaran yang tidak terlalu membuat
siswa merasa tidak nyaman yang dilakukan dalam
aktivitas yang menyenangkan dan menenangkan.

 Bermain “musikal hoop” (siswa berjalan melalui hula


hoop atau kursi selama musik dimainkan, namun
setelah musik dihentikan anak harus berada di hula
hoop atau kursi yang diperebutkan.

88
 Bermain menyembur air ke sebuah huruf saat guru
menyebutkan huruf.

b) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang


mengalami hiposensitif pendengaran adalah sebagai
berikut:
 Mendengarkan musik sesuai selera siswa

89
 Memainkan alat musik

 Menirukan suara hewan atau alat transportasi

3. Sensasi Taktil (Perabaan)


a) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang
mengalami hipersensitif taktil adalah sebagai berikut:

90
 Siswa mencari mainan yang disembunyikan di dalam
kolam bola atau kolam pasir.

 Siswa bermain dengan dua bantal besar seperti roti


“sandwich” (siswa berada di antara dua bantal besar)
dilakukan secara bergradasi dalam kondisi yang
menyenangkan dan menenangkan.

91
 Siswa bermain “car wash” (siswa merayap melalui
tumpukan handuk atau selimut) dilakukan secara
bergradasi dalam kondisi yang menyenangkan dan
menenangkan

 Menggelindingkan bola besar di atas tubuh siswa 


posisi siswa tengkurap

92
 Bermain “super hero” dan siswa melakukan
pendaratan darurat di atas bantal besar atau kasur.

 Menarik siswa dengan menggunakan tali atau


tongkat melalui tumpukan bantal besar atau
permukaan yang bertekstur.

93
 Memperkenalkan siswa aktivitas bermain “slime”, lilin
malam, busa cukur, lem, “lotion” secara bergradasi
dalam kondisi yang menyenangkan dan
menenangkan

 Mencari koin yang disembunyikan di dalam tumpukan


kelereng, batu kerikil, biji-bijian yang diberikan dalam
kondisi yang menyenangkan dan menenangkan.

94
 Berjalan di atas permukaan yang berbeda tekstur
dilakukan secara bergradasi dalam kondisi yang
menyenangkan dan menenangkan

b) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang


mengalami hiposensitif taktil adalah sebagai berikut:
 Menyediakan atau memfasilitasi aktivitas yang
memberikan sensasi taktil ke seluruh tubuh seperti
berenang di kolam bola atau bermain di kolam pasir.

95
 Memberikan aktivitas permainan yang mengandung
sensasi taktil yang kaya yang memfokuskan pada
anggota tubuh tertentu seperti tangan dan kaki 
bermain pasir, berjalan di atas rumput atau kerikil.

 Bermain di kolam bola.

96
 “finger painting”, menggambar orang dengan
menggunakan busa cukur di atas permukaan
(seperti: cermin), berseluncur dan berenang di busa
cukur yang disemprotkan di atas matras.

 Siswa bermain dengan dua bantal besar seperti roti


“sandwich” (siswa berada di antara dua bantal besar)
sambil ditekan-tekan dengan kuat bantal yang berada
paling atas seluas anggota tubuh siswa.

97
 Menggelindingkan bola besar di atas tubuh siswa
serta memberikan tekanan yang agak kuat  posisi
siswa tengkurap.

 Beri kebebasan siswa saat bermain “slime”, lilin


malam, busa cukur, lem, “lotion”.

98
 Bermain mencari mainan yang disembunyikan di
dalam tumpukan kelereng, batu kerikil, biji-bijian.

 Membuat bentuk obyek dengan cetakan


menggunakan media pasir atau tanah liat.

99
 Melakukan cetakan telapak kaki dan atau telapak
tangan di atas kertas (telapak kaki dan tangan siswa
terlebih dahulu diberikan cat).

 Seluruh badan siswa dililit dengan selimut tebal.

 Merayap di atas rumput.

100
4. Sensasi Vestibular
a) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang
mengalami hipersensitif vestibular adalah sebagai
berikut (Kranowitz, 2003 dan Schaaf & Roley, 2006):
 Bermain ayunan dengan arah depan-belakang atau
kanan-kiri dengan hempasan ayunan yang
bergradasi diberikan dalam kondisi yang
menyenangkan dan menenangkan.

 Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa


saat berjalan di atas ban mobil.

101
 Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa
saat berjalan di atas palang titian.

 Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa


saat naik tangga bambu atau kayu atau besi.

102
 Mengenalkan aktivitas dan membantu siswa dalam
bermain perosotan dengan perasaan yang
menyenangkan dan menenangkan.

 Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa


saat melompat/melangkah dari satu dingklik ke
dingklik yang lain.

103
 Duduk di atas “T-Stool”

 Siswa duduk di atas tong yang diposisikan tidur yang


dilakukan dalam kondisi yang menyenangkan dan
menenangkan.

104
b) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang
mengalami hiposensitif vestibular adalah sebagai berikut
(Kranowitz, 2003 dan Schaaf & Roley, 2006):
 Menyediakan aktivitas sensor motor secara aktif yang
mengandung sensasi vestibular yang kaya seperti
bermain ayunan.

 Siswa berbaring di “hammock swing” kemudian siswa


diminta untuk menggoyangkan ayunan dan
menghentikan ayunan.

.
105
 Membiarkan secara bebas kepada siswa saat
bermain perosotan dengan pengawasan.

 Menaiki permainan yang dapat berputar seperti


helikopter

 Bermain “super hero” dengan melakukan aktivitas


terbang yang dibantu oleh guru.

106
 Berjalan di atas jungkat-jungkit.

 Siswa berdiri kemudian berjalan di atas tong yang


diposisikan tidur.

 Siswa bermain pesawat-pesawatan.

107
 Siswa bermain kuda-kudaan (posisi siswa berada di
atas pinggang guru dan posisi guru merangkak).

 Berguling ke depan.

5. Sensasi Proprioseptif
a) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang
mengalami hipersensitif proprioseptif adalah sebagai
berikut (Kranowitz, 2003 dan Schaaf & Roley, 2006):

108
 Memberikan tekanan baik pada sendi dan otot yang
diberikan secara halus.

 Memberikan tahanan yang ringan pada setiap arah


gerakan saat anak bergerak.

 Siswa merayap/merangkak sekaligus membawa tas


ranselnya yang diisi dengan beban yang ringan.

109
 Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa
saat menarik benda yang cukup berat sesuai dengan
kekuatan siswa.

 Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa


saat mendorong benda yang cukup berat sesuai
dengan kekuatan siswa.

110
 Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa
saat mengangkat benda yang cukup berat sesuai
dengan kekuatan siswa.

 Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa


saat memanjat sesuai dengan kekuatan siswa.

111
 Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa
saat memindahkan dan menyusun benda yang cukup
berat sesuai dengan kekuatan siswa.

 Bermain gerobak tangan.

112
 Memberikan dukungan dan bimbingan pada siswa
saat bergelantung.

 Siswa diajarkan meniup balon atau mengunyah


permen karet dan diberikan dorongan agar siswa
mau melakukannya.

113
 Minum jus buah yang kental atau minum “bubble
jelly” dengan menggunakan sedotan dan dan meniup
bola kapas dengan menggunakan sedotan.

 Menirukan gerakan senam yang diberikan dengan


gerakan yang sederhana.

114
 Dilatih melompat tali.

 Merangkak di dalam kolong meja.

b) Aktivitas intervensi sensori integrasi pada siswa yang


mengalami hiposensitif proprioseptif adalah sebagai
berikut (Kranowitz, 2003 dan Schaaf & Roley, 2006):
 Menyediakan aktivitas yang mengandung sensasi
proprioseptif yang kaya seperti bergelantung.

115
 Naik tangga “ladder”.

 Mengenakan jaket pemberat.

 Menarik tali atau tongkat atau karet gymnastik.

116
 Ditunggangi teman sepermainan saat bermain kuda-
kudaan.

 Membawa ransel yang diberi beban berat saat


bermain gerobak tangan.

 Mendorong dan menarik teman sepermainannya


yang berada di atas “skate board”.

117
 Menjinjing tas kresek atau plastik yang diberikan
beban.

 Merangkak dan diberi beban.

 Melompat ke tumpukan bantal atau bantal besar atau


matras yang tebal.

118
 Main lompat tali.

 Main layangan dengan menggunakan kantong


plastik.

 Berguling ke samping.

119
 Melakukan senam.

F. Evaluasi

Evaluasi dalam tata laksana model intervensi berbasis


sensori integrasi untuk siswa berkesulitan belajar usia 7–8
tahun dilakukan di setiap langkah. Namun evaluasi yang paling
inti dalam kegiatan tata laksana model intervensi berbasis
sensori integrasi untuk siswa berkesulitan belajar usia 7–8
tahun adalah untuk mengetahui adanya perubahan profil
sensori setelah mendapatkan intervensi sederhana berbasis
sensori integrasi yang memengaruhi proses pembelajaran
siswa di kelas. Proses pembelajaran siswa di kelas pun akan
dilihat saat evaluasi. Apakah ada perubahan kemampuan siswa
dalam membaca, menulis, dan berhitung/matematika. Evaluasi
dari tata laksana model intervensi berbasis sensori integrasi
untuk siswa berkesulitan belajar usia 7–8 tahun yang dilakukan
tetap menggunakan instrumen tes kesulitan belajar dan tes
profil sensori integrasi.
120
PENUTUP

Aktivitas fisik merupakan hal yang paling penting dalam


mengintegrasikan kerja sistem senso-motorik siswa. Sensasi
inderawi dapat diperoleh oleh siswa secara terintegratif dan
saling bekerjasama. Semua proses indrawi dapat berlangsung
saat siswa mempelajari dan memahami apa yang dipelajari
mengenai dunia dan lingkungannya. Kerjasama yang terjadi
pada sistem sensasi indrawi dapat membantu proses
pembelajaran siswa di kelas. Proses pembelajaran akan
menjadi masalah jika terjadi gangguan dalam pemrosesan dan
pengolahan informasi dari sensasi yang siswa terima. Kondisi
tersebut dikenal sebagai sensori processing disorder yang juga
disebut sensory integration dysfunction. Sensory integration
dysfunction dapat terjadi pada siswa yang mengalami kesulitan
belajar.
Seorang anak yang mengalami kesulitan belajar baru
dapat ditemukan ketika anak menjalani pembelajaran di
sekolah dasar. Siswa yang mengalami kesulitan belajar
biasanya mengalami permasalahan dalam sensori integrasi.
Kesulitan belajar yang disebabkan karena adanya
permasalahan pada sensori integrasi akan mengakibatkan
siswa mengalami kesulitan dalam memproses informasi yang
masuk sehingga sulit untuk konsentrasi dan mengikuti proses
121
belajar. Kesulitan belajar yang disebabkan karena adanya
gangguan pada salah satu sistem sensori akan sangat terbantu
bila dalam proses remedialnya menggunakan sistem sensori
yang lain.
Penanganan sedini mungkin dengan menggunakan sistem
sensori sangat diperlukan. Proses remedial dengan
menggunakan sistem sensori pada anak berkesulitan belajar
yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu sistem
sensori akan sangat membantu. Sehingga intervensi sensori
integrasi sangat tepat dan efektif dilakukan pada anak
berkesulitan belajar yang disebabkan karena adanya gangguan
dalam proses sensori.
Sensori integrasi merupakan proses sistem saraf yang
terkait dengan persepsi dan pergerakan motorik. Sensori
integrasi dirancang untuk memberikan pengalaman sensorik
yang dikendalikan sehingga respon motorik yang diharapkan
akan muncul. Penggunaan sensori integrasi pada proses
intervensi bertujuan untuk memperbaiki perilaku, perhatian,
interaksi sosial, keterampilan akademik, dan kemandirian.
Kegiatan sensori integrasi akan direncanakan, dikendalikan,
dan diarahkan sesuai dengan kebutuhan siswa. Kegiatan yang
diberikan pada intervensi berbasis sensori integrasi dapat
mengatur dan mengintegrasikan informasi dari lingkungan,
sehingga dapat merespon dengan baik. Sensori integrasi akan
122
melibatkan kegiatan motorik sensorik yang kaya sensasi taktil
(rabaan), vestibular, dan proprioseptif. Lingkungan terapi
dirancang agar menyenangkan dalam bentuk permainan.
Kemudian guru mengobservasi, mengamati, dan menafsirkan
perilaku untuk kepentingan siswa.
Sensori integrasi juga menjelaskan proses biologis pada
otak untuk mengolah serta menggunakan berbagai informasi
secara baik dan sesuai situasi. Kemampuan otak terlibat dalam
proses sensori integrasi untuk menerima, mengorganisir,
mengartikan, dan menggunakan berbagai informasi sensori
melalui tubuh dan sistem saraf yang berasal dari stimulus.
Stimulus yang diterima oleh siswa melalui sensasi penglihatan,
pendengaran, taktil, vestibular, dan proprioseptif. Kerjasama
dari kelima sensasi ini sangat berpengaruh dalam proses
belajar.
Sensori integrasi dalam hal ini berperan menemukan
jawaban dari kesulitan yang dialami siswa selama proses
belajar di sekolah berhubungan dengan masalah pada proses
pengolahan informasi sensori. Sehingga model intervensi
berbasis sensori integrasi bisa menjadi model intervensi yang
efektif untuk siswa yang mengalami kesulitan belajar (Young &
Furgal, 2016). Model intervensi berbasis sensori integrasi untuk
siswa berkesulitan belajar 7–8 tahun dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan karakteristik dan keunikan yang
123
dimiliki dengan masalah yang saat ini siswa hadapi dengan
menggunakan instrumen yang sudah terstandar. Setelah itu
dilakukan intervensi berbasis sensori integrasi dengan
menggunakan media pembelajaran/permainan yang memiliki
efek terapeutik sehingga masalah yang dihadapi saat di
sekolah dapat diatasi.

124
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. 2012. Anak Berkesulitan Belajar: Teori,


Diagnosis, dan Remediasinya. Rineka Cipta. Jakarta.

Abraham, M. C. 2002. Addresing Learning Differences


Sensory Integration Practical Strategies and Sensory
Motor Activities for Use in the Classroom. McGraw-Hill
Children’s Publishing. Michigan.

Allen, K. E and Schwartz, I. S. 2001.The Exceptional Child


Inclusion in Early Childhood Education. 4th ed. Delmar.
New York.

Arisandi, E. 2014. Meningkatkan Kemampuan Operasi


Perkalian Untuk Anak Diskalkulia Melalui Metode
Garismatika. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus 3(3): 478-
488.

Bundy, A. C., Fisher, A. G., and Murray, E. A. 1991. Sensory


Integration Approach: Teori and Practice. 1nd ed. F.A.
Davis Company. Philadelphia.

Bundy, A. C., Lane, S. J., and Murray, E. A. 2002. Sensory


Integration Approach: Teori and Practice. 2nd ed. F.A.
Davis Company. Philadelphia.

Chuang, Tsung-Yen and Kuo, Ming-Shio. 2016. A Motion-


Sensing Gamed Based Therapy to Foster the Learning of
Children with Sensory Integration Dysfunction. Journal
Educational Technology & Society 19(1): 4-16.

125
Deiner, P. L. 2013. Inclusive Early Childhood Education
Development, Resources and Practice. 6th ed.
Wadsworth Cengage Learning. USA.

Delphie, B. 2009. Pendidikan Anak Autisme. PT. Intan Sejati


Klaten. Sleman.

Al Hazmi, D. F. D. I., Tirtayasa, K., dan Irfan, M. 2014.


Kombinasi Neuro Developmental Treatment dan Sensory
Integration Lebih Baik Daripada Hanya Neuro
Developmental Treatment Untuk Meningkatkan
Keseimbangan Berdiri Anak Down Syndrome. Sport and
Fitness Journal 2(1): 56-71.

Dimyati dan Mudjiono. 2013. Belajar dan Pembelajaran.


Cetakan Kelima. PT Rineka Cipta. Jakarta.

Dokter Indonesia Online. Terapi Sensory Integration Untuk


Anak Normal Tapi Bermasalah.
http://dokterindonesiaonline. 28 September 2017.

Essa, E. L. 2014. Introduction to Early Childhood Education.


7th ed. Thomson Learning Inc. Canada.

Hahn, N., Foxe, J. J., and Molholm, S. 2014. Impairment of


Multisensory Integration and Cross-sensory Learning as
Pathways to Dyslexia. Neuroscience and Biobehavioral
47: 384-392.

Han, M. L, Mark, C., and Jennifer R. S. 2013. Sensory


Integration Therapy in Malaysia and Singapore: Sources of
Information and Reason for Use in Early Intervention.
Journal of Education and Training in Autism and
Developmental Disabilities 48(3): 421-435.

126
. 2015a. Meta-analysis of Research
on Sensory Integration Therapy for Individuals with
Developmental and Learning Disabilities. Journal
Developmental Physical Disabilities 27: 183-206.

. 2015b Systematic Review of


Sensory Integration Therapy for Individuals with
Disabilities: Single Case Design Studies. Research
Developmental Disabilities 47: 334-351.

Harwell, J. M and Jackson, R. W. 2008. The Complete


Learning Disabilities Handbook: Ready-to Use
Strategies and Activities for Teaching Students with
Learning Disabilities. 3rd ed. Jossey-Bass. San
Francisco.

Horowitz, L. J and Rost, C. 2007. Helping Hyperactive Kids-A


Sensory Integration Approach: Techniques and Tip for
Parent and Professionals. Hunter House Publishers.
California.

Iqlima, A. 2015. Efektivitas Terapi Sensori Integrasi Terhadap


Perkembangan Motorik Kasar Anak Autis di Mutiara
Bangsa. Skripsi. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Ampel. Surabaya.

Juntorn, S., Sriphetcharawut, S., and Munkhetvit, P. 2017.


Effectiveness of Information Processing Strategy Training
on Academic Task Performance in Children with Learning
Disabilities: A Pilot Study Hindawi Occupational Therapy
International.

Jamaris, M. 2014. Kesulitan Belajar: Perspektif, Asesmen,


dan Penanggulangannya Bagi Anak Usia Dini dan Usia
Sekolah. Ghalia Indonesia. Jakarta.

127
Kasdanel, P. 2013. Efektivitas Sensori Integrasi Untuk
Meningkatkan Kemampuan Menulis Permulaan Pada
Anak Autis Di Ti-Ji Home Schooling Padang. Jurnal Ilmiah
Pendidikan Khusus 1(2).

Kementerian Kesehatan RI. 2015. Petunjuk Teknis


Penjaringan Kesehatan dan Pemeriksaan Berkala di
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat
Jenderal Bina Gizi dan KIA. Direktorat Bina Kesehatan
Anak. Jakarta

Kirk, S., Gallagher, J. J., Coleman, M. R., and Anastasiow, N.


2009. Educating Exceptional Children. 12th ed.
Houghton Mifflin Harcourt Publishing Company. Boston.

Klein, M. D., Cook, R. E., and Richardson-Gibson, A. M. 2001.


Strategies for Including Children with Special Needs in
Early Childhood Settings. Delmar. New York.

Kranowitz, C. S. 2003. The Out-of-Sync Child Has Fun. The


Berkley Publishing Group. New York

Loeziana. 2017. Urgensi Mengenal Ciri Disleksia. Jurnal Ilmiah


Islam Futura III(2): 42-58.

Mangunsong, F. 2014. Psikologi dan Pendidikan Anak


Berkebutuhan Khusus. Jilid Kesatu. LPSP3 UI. Depok.

Modolan, A. 2016. Pemeriksaan Visus Menggunakan Kartu


Snellen, Mitra Kesmas. www.mitra kesmas.com. 10 Mei
2018
Nur’aeni. 2012. Tes Psikologi: Tes Inteligensi dan Tes
Bakat. Cetakan Pertama. Universitas Muhammadiyah
(UM) Purwokerto Press. Purwokwerto.

128
Pesova, B., Sivevska, D., and Runceva, J. 2014. Early
Intervention and Prevention of Students with Spesific
Learning Disabilities. Procedia-Social and Behavioral
Sciences 149: 701-708.

Pfeiffe, B. A., Koenig, K., Kinnealey, M., Sheppard, M., and


Henderson, L. 2011. Effectiveness of Sensory Integration
Interventions in Children with Autism Spectrum Disorders:
A Pilot Study. The American Journal of Occupational
Therapy 65(1).

Schaaf, R. C and Miller, L. J. 2005. Occupational Therapy


Using a Sensory Integrative Approach for Children with
Developmental Disabilities. Mental Retardation and
Developmental Disabilities Research Reviews 11: 143-
148.

Schaaf, R. C and Roley, S. S. 2006. Sensory Integration:


Applying Clinical Reasoning to practice With Diverse
Population. Pro-ed. Texas.

Schaaf, R. C and Mailloux, Z. 2015. Clinician Guide for


Implementing Ayres Sensory Integration: Promoting
Participation for Children with Autism. AOTA Press.
Bethesda.

Sagala, S. Konsep dan Makna Pembelajaran Untuk Membantu


Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar, Cet Ke-
11. Bandung: Alfabeta, 2013.

Sanjaya, W. 2013. Strategi Pembelajaran Berorientasi


Standar Proses Pendidikan. Cetakan Kesepuluh.
Prenadamedia Group. Jakarta:

129
Sidiarto, L. D. 2007. Perkembangan Otak dan Kesulitan
Belajar Pada Anak. UI Press. Jakarta.

Smith, S. A., Press, B., Koenig, K., and Kinnealey, M. 2005.


Effects of Sensory Integration Intervention on Self-
Stimulating and Self-Injurious Behaviors. The American
Journal of Occupational Therapy 59(4): 418 – 425.

Smith, T. E. C., Polloway, E. A., Patton, J. R. P., and Dowdy, C.


A. 2008. Teaching Students with Special Needs in
Inclusive Settings. 5th ed. Pearson Education Inc. New
York.

Suhartono. 2016. Pembelajaran Menulis Untuk Anak Disgrafia


di sekolah Dasar. Transformatika 12(1): 107-119.

Susanto, A. 2016. Teori Belajar dan Pembelajaran di


Sekolah Dasar. Prenadamedia Group. Jakarta.

Waiman, Elina., Soedjatmiko., Gunardi, Hartono., Sekartini,


Rini., dan Endyarni, Bernie. 2011. Sensori Integrasi: Dasar
dan Efektivitas Terapi. Sari Pediatri 13(2): 129-136.

Widyawati, I., Rosadi, E. D., dan Yulidar. 2003. Terapi Anak


Autis di Rumah. Puspa Swara. Bogor.

Young, S. N. and Furgal, K. 2016. Effectiveness and Implication


of Sensory Integration Therapy on School Performance of
Children with Learning Disabilities. International Journal of
Neurorehabilitation 3: 198. 2016.

Yudhiatmoko, A. Uji Validasi dan reliabilitas Instrumen Profil


Sensori Singkat Untuk Anak Usia 3–10 Tahun. Jakarta:
Tesis FKUI, 2014.

130
131

Anda mungkin juga menyukai