Anda di halaman 1dari 10

Rethinking

Rethinking Pesantren
Pesantren

Rethinking
radikalisme yang -baik disengaja atau tidak- mengatasnamakan islam, telah banyak
mencemarkan nama baik islam di mata dunia, khusunya di bumi nusantara. Bahkan peristiwa
tersebut menjadi penyebab utama terhadap munculnya kelompok-kelompok islam phobia

Pesantren
yang anti islam.
Hal ini secara otomatis memiliki efek domino terhadap stigma negatif -khusunya dalam
persfektif Barat- terhadap apa pun yang berkaitan erat dengan islam termasuk di antaranya
dunia pendidikan islam. Pesantren sebagai basis utama pendidikan islam di indonesia yang
telah berdiri semenjak ratusan abad yang lalu, -setelah terungkapnya beberapa teroris yang
alumni pesantren-, pesantren seringkali menjadi target bullying kedengkian media Barat.
Pesantren seringkali dianggap sebagai sarang teroris yang mengajarkan kebencian bukan
cinta kasih, kegalakan dan bukan kelembutan.
Ditambah lagi, media massa Barat yang seolah berlomba-lomba menggambarkan islam
Prof.
rof. Dr. H. NasaruDDiN umar, ma.
rof
sebagai sarang teroris, pusara kedengkian, anti-Barat, dan anti demokrasi, pada akhirnya
masyarakat islam dunia pun (pesantren khususnya) lenyap ditelan citra negatif itu.
Buku yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Nasaruddin umar, ma ini mencoba memotret wajah

Prof. Dr. H. NasaruDDiN umar, ma.


pesantren mulai dari sejarahnya yang paling awal, bahkan sebelum kata santri, atau
pesantren itu muncul, untuk mengulang kembali citra islam yang sesungguhnya. Buku ini
juga sebagai jawaban atas kegundahannya terhadap stigma negatif sebagian besar media
Barat terhadap dunia pesantren yang seringkali mengemas informasi timpang dan kurang
objektif. selamat membaca.

@quantabooks Quanta Emk


MOTIVASI ISLAMI
ISBN 978-602-02-3761-9

Quanta adalah imprint dari


Penerbit PT Elex media Komputindo
Kompas Gramedia Building
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. (021) 53650110-53650111, Ext 3201, 3202 998140846
Webpage: http://www.elexmedia.co.id

Rethinking Pesantren.indd 1 3/25/2014 10:29:08 AM


RETHINKING
PESANTREN
Sanksi Pelanggaran Pasal 72:
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan


perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal
49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng-


edarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang
hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada
Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
RETHINKING
PESANTREN

Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA.

Penerbit PT Elex Media Komputindo


RETHINKING PESANTREN
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA.
2014, PT Elex Media Komputindo, Jakarta
Hak cipta dilindungi undangundang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kompas - Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta 2014

998140846
ISBN: 978.602.02.3761.9

Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian


atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab percetakan
Pengantar Penulis

KETIKA ORANG AMERIKA BERTANYA


TENTANG PESANTREN, APA JAWABAN SAYA?

Ketika saya berkali-kali berkunjung ke Amerika untuk meng-


ikuti sebuah seminar atau mengisi sebuah ceramah pengajian
di masjid sana, betapa kagetnya saya, ketika mendengar banyak
sekali pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut di benak peserta
seminar maupun jemaah pengajian, apa sebenarnya pesantren
itu? Bagaimana pola pengajarannya? Apa yang diajarkan? Sistem
kaderisasinya bagaimana?
Bagi mereka, pesantren di Indonesia hanya dilihat dari wajah
Pesantren Ngruki di Surakarta, dan Pesantren Al-Islam di Teng-
gulun, Solokuro, Lamongan. Dari pesantren-pesantren tersebut,
maka yang ada di benak mereka adalah pesantren yang identik
dengan Abu Bakar Baasyir, Amrozi, dan sederet nama-nama lain
yang katanya teroris, radikal, dan tidak pernah mengenal kom-
promi. Atau bahwa kaderisasi pesantren yang ada di Indonesia,
di benak mereka, tak ada bedanya dengan pola kaderisasi yang
dilakukan oleh pasukan-pasukan Taliban, Afghanistan, dan lain-
lain. Semua pertanyaan-pertanyaan itu, meluncur begitu saja dari
mulut mereka tanpa ada perspektif lain.

v
Rethinking Pesantren

Padahal, pesantren-pesantren tersebut mewakili hanya sebagian


kecil dari ribuan pesantren yang tumbuh dan berkembang di
Indonesia. Mereka lupa bahwa pesantren memunculkan nama-
nama seperti Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Yusuf Al-Makas-
sari, Kiai Sholeh Darat, Kiai Hasyim Asyari, termasuk KH. Abdur-
rahman Wahid. Karena andai mereka mengimbanginya dengan
tokoh-tokoh tersebut, niscaya wajah pesantren di mata mereka
akan tampak menyejukkan bagi siapa saja yang memandang, me-
ngomentari dan meneliti sepak terjang perjalanannya hingga kini.
Dalam perjalanan kembali ke Indonesia, saya sebagai pengasuh
pesantren, begitu tertegun dan merenung sendiri saat berada
di pesawat. Ada sebuah kegundahan yang tiada habis-habisnya
dalam benak saya ketika melihat stigma seperti itu. Pesantren,
yang selama ini dikenal sebagai lembaga yang begitu mulia,
ternyata di mata mereka, tampak begitu tak bergunanya dan
menjadi cibiran yang begitu menyakitkan di telinga saya. Tak ayal
lagi, saya harus mampu dengan sekuat tenaga untuk menetralisir
dengan mengimbangi anggapan-anggapan mereka yang seakan
begitu antipati terhadap pesantren. Karenanya, saya ingin meng-
hadirkan pesantren dari sisi yang lain. Benak saya ketika itu.
Bisa jadi, mereka tidak dan belum tahu tentang pesantren yang
sesungguhnya, bukan berarti mereka tak mau tahu, tetapi karena
memang informasi-informasi yang datang tentang pesantren saat
inilah yang acap kali terdengar oleh mereka. Kemudian, informasi
itu begitu saja meresap secara perlahan, tapi pasti, ke dalam benak
mereka. Akhirnya, informasi itulah yang menjadi kaca benggala
bagi mereka untuk memaknai seluk-beluk pesantren dari awal
berdirinya hingga kini.
Ditambah lagi, saya sangat sedih dengan media massa Barat
yang berlomba-lomba menggambarkan Islam sebagai sarang
teroris, pusara kedengkian, anti-Barat, dan anti demokrasi, pada
akhirnya masyarakat Islam dunia pun (pesantren khususnya)
lenyap ditelan citra negatif itu.

vi
Pengantar Penulis

Melihat fenomena-fenomena seperti inilah, mendorong ghirah


saya, memberanikan diri untuk ikut larut menggoreskan tinta
mengenai pesantren dan guratan-guratan sejarah yang telah di-
torehkannya. Dari dulu hingga kini. Namun tentu saja, goresan-
goresan ini belum bisa secara holistik memotret dan merekam
semua perjalanan pesantren yang telah dilewatinya.

Membincang Wacana Syariat Islam


Masalah semantik Syariah Islam menjadi salah satu faktor yang
sering menimbulkan perdebatan konseptual antara kelompok
mainstream Islam dengan kelompok Islam Radikal. Kalangan
Islam mainstream memahami pengertian Syariah sebagai tata
nilai yang bersifat substansial yang diturunkan Allah Swt. melalui
kitab suci yang dibawa oleh Rasul-Nya.
Syariah berbeda dengan Fiqh yang merupakan interpretasi
kultural terhadap Syariah yang diformulasikan dalam bentuk
norma-norma hukum terperinci, untuk digunakan sebagai hu-
kum positif di suatu tempat tertentu, dalam kurun waktu tertentu
pula.
Norma-norma hukum tersebut dibukukan ulama, baik secara
individu maupun lewat tim. Syariah bersifat universal, monu-
mental, sakral dan bersifat absolut, sedangkan Fiqh bersifat lokal,
kontemporer, profan, dan bersifat relatif.
Penggunaan kata Syariah dalam Al-Quran tidak pernah ber-
arti hukum perundang-undangan, tetapi lebih banyak berarti
cara (thariqah), metode (manhaj), dan jalan (sabil). Syariah
berasal dari kata sya-ra-a yang berarti menemukan, hadir
(warada). Syariah secara etimologi juga berarti sumber air
(mawrid al-ma).
Di samping istilah Syariah dan Fiqh, masih ada istilah hukum
Islam, yang sering dipahami secara rancu di dalam masyarakat.
Kelompok mainstream memahami hukum Islam sebagai istilah

vii
Rethinking Pesantren

lain dari Fiqh, yang menuntut prakondisi dalam penerapannya.


Sedangkan kalangan Islam Radikal memahami hukum Islam se-
bagai istilah lain dari Syariah, yakni hukum Tuhan yang tidak
boleh ditawar.
Kalangan Islam mainstream memahami dan menyadari pe-
nerapan syariah tidak mesti harus dimulai dengan formalisasi
dan institusionalisasi hukum Islam dan dalam sebuah negara
(berdasarkan) Islam. Mempertahankan kemaslahatan umum
dan keutuhan bangsa lebih penting ketimbang mempertahankan
simbol-simbol formalitas agama. Seperti yang diungkap Ali Haidar
dalam disertasinya bahwa NU sebagai organisasi Islam terbesar di
Indonesia mempertahankan prinsip ini dengan dua alasan logika;
pertama, mereka merujuk pada prinsip penetapan syariah (tasyri)
dalam Al-Quran yang menempuh tiga prinsip, yaitu penerapan
hukum secara berangsur-angsur (al-tadrij fi al-tasyri) seperti
kita tahu, Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur selama
23 tahun, penyederhanaan beban (taqlil al-taklif), dan eliminasi
kesulitan (adam al-haraj). Kedua, mereka menggunakan kaidah
Ushul Fiqh di dalam memecahkan beberapa kasus, seperti:

Jika terjadi benturan dua hal yang sama buruknya, diper-


hitungkan yang lebih besar bahayanya dan dipilih yang lebih kecil
efeknya.

Menghindarkan bahaya lebih diutamakan daripada melak-


sanakan kebaikan.

viii

Anda mungkin juga menyukai