Anda di halaman 1dari 22

REFRAT

BODY DYSMORPHIC DISORDER

Disusun oleh: Charina Situmorang Fatna Andika Wati Frieska Dyanneza Galuh Martin Trida Ermawati Yunita G0007051 G0007069 G0007074 G0007077 G0007167 G0007176

Pembimbing : dr. Adriesti Herdaetha, Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RS JIWA DAERAH SURAKARTA SURAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk visual dengan berbagai penghargaan diri dan upaya dalam mengubah penampilan untuk bersosialisasi, tampil di depan umum atau secara sederhana tampak bagus di depan orang lain. Hanya sebagian dari masyarakat yang tidak menganggap tingkatan kesempurnaan dengan penampilan fisik. Sedangkan sebagian lagi, ketidakpuasan terhadap penampilan fisik dapat mencapai intensitas sehingga dikatakan patologik bila hal itu menyebabkan distress yang signifikan atau gangguan fungsi sosial. Gangguan kejiwaan ini pada awalnya dikenal oleh Morselli dan disebut sebagai dysmorphophobia dan sekarang oleh DSM-III R disebut sebagai Body Dysmorphic Disorder (Phillips, 1991). Body Dysmorphic Disorder merupakan salah satu gangguan somatoform yang ditandai oleh kepercayaan yang salah atau persepsi yang berlebihan bahwa suatu bagian tubuh mereka mengalami ketidaksempurnaan atau kecacatan. Orang dengan gangguan ini terpaku pada ketidaksempurnaan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka. Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin dan mengambil tindakan yang ekstrim untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang dipersepsikan, seperti menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan, menarik diri secara sosial atau bahkan diam di rumah saja, sampai pada pikiran-pikiran untuk bunuh diri (Haas, 2008). Gangguan ini muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia sosial, serta gangguan kepribadian (Kaplan, 2010). Data menunjukkan bahwa kualitas hidup dan fungsi psikososial pasien dengan Body Dysmorphic Disorder lebih buruk dari mereka yang dengan Obsessif-Compulsive Disorder (Didie ER, et al, 2007). Body Dysmorphic Disorder juga didapati memiliki tingkat rawat inap yang cukup tinggi (48%) dan tingkat keinginan serta percobaan bunuh diri yang tinggi (Phillips, et al,

2006). Data juga menunjukan keinginan bunuh diri terutama disebabkan Body Dysmorphic Disorder dilaporkan dalam 45-70% dari total pasien, dan usaha bunuh diri terakhir yang dilaporkan dalam 22-24% (Phillips, et al, 2006). Body Dysmorphic Disorder juga mempengaruhi 1-2% dari populasi umum (Rief W, et al, 2006), sehingga lebih umum daripada skizofrenia dan gangguan bipolar, dan prevalensi telah dilaporkan setinggi 7-15% pada mereka yang menjalani bedah kosmetik (Otto, et al, 2001). Pasien dengan Body Dysmorphic Disorder yang memilih untuk menjalani operasi plastik umumnya tidak puas dengan hasil operasi, dan kemudian seringkali menjadi cemas dengan bagian tubuh lainnya. Mereka seringkali terobsesi oleh berbagai situs pemberi informasi mengenai hasil pasca operasi (Haas, 2008). Dokter bedah dan dokter kulit terkadang menjadi korban kekerasan, bahkan pembunuhan, oleh pasien dengan Body Dysmorphic Disorder yang putus asa atas hasil operasi atau pengobatan mereka (Phillips, 1991). Pasien dengan gejala khusus berfokus pada obsesi mereka terhadap berat badan dan bentuk badan atau melihat ketidaksesuaian karakteristik gender sering kali tidak terdiagnosis dengan Body Dysmorphic Disorder dan sering kali dianggap hanya memenuhi kriteria untuk gangguan lainnya seperti Anoreksia Nervosa atau gangguan identitas gender (APA, 1994). Untuk itu mendiagnosis pasien dengan Body Dysmorphic Disorder diperlukan anamnesis dan pemeriksaan yang tajam dan menyeluruh, sehingga pengobatan dapat diberikan secara maksimal dan tepat, yang nantinya memberikan efek postif atau kesembuhan yang diharapkan. B. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan refrat ini adalah :
1. Mengetahui

definisi, epidemiologi, etiologi

dan patogenesa

Body

Dysmorphic Disorder.
2. Mengetahui penegakkan diagnosis Body Dysmorphic Disorder dengan

tepat.
3. Mengetahui perjalanan penyakit dan prognosis Body Dysmorphic Disorder.

4. Mengetahui penatalaksanaan Body Dysmorphic Disorder.

C. Manfaat Penulisan Refrat ini disusun dengan harapan dapat bermanfaat bagi setiap pembaca khususnya kalangan medis, agar dapat lebih mengetahui bagaimana ciri-ciri Body Dysmorphic Disorder, sehingga dapat mudah untuk mendiagnosa secara pasti, serta pengobatan dapat diberikan secara maksimal dan tepat, yang dapat memberikan efek positif atau kesembuhan yang diharapkan.

BAB II STUDI PUSTAKA

A. DEFINISI Body Dysmorphic Disorder adalah suatu kondisi yang ditandai oleh preokupasi yang berlebihan dari defek minor atau imajinasi pada bentuk wajah maupun bagian tubuh tertentu. Gangguan tersebut dapat menyebabkan penurunan fungsi sosial, pekerjaan dan pendidikan individu. Body Dysmorphic Disorder dikarakteristikan oleh derajat kekhawatiran dan perhatian yang tidak biasa tentang bagian spesifik dari wajah atau tubuh (Kirchner et al, 2008). Body Dysmorphic Disorder adalah gangguan psikiatrik yang cukup sering yang biasanya jarang dikenali dan dilaporkan. Gangguan ini diklasifikasikan sebagai gangguan somatoform dalam DSM-IV-TR namun beberapa penulis berpendapat bahwa gangguan ini dipertimbangkan sebagai bagian dari Obsessif-Compulsive atau spectrum gangguan psikotik (Ahmed, 2011). B. EPIDEMIOLOGI Body Dysmorphic Disorder mengenai 1-2% populasi Amerika Serikat. Namun karena gangguan ini sering tidak terdiagnosis maka kemungkinan jumlah ini pun belum seluruhnya. Biasanya pasien tidak melaporkan gangguan ini kepada dokter karena merasa sangat malu. Prevalensi pasien yang melakukan bedah plastik rata-rata 7-15%. Prevalensi dan insidensi gangguan ini di dunia belum diketahui secara tepat. Kebanyakan pasien yang mengalami gangguan ini memiliki kondisi komorbid seperti Obsessif-Compulsive Disorder, depresi mayor, delusi/waham, atau social phobia. 60% pasien dengan Body Dysmorphic Disorder mengalami depresi mayor. Pasien-pasien ini juga memiliki risiko yang lebih besar untuk percobaan bunuh diri. 45-70% pasien dengan Body Dysmorphic Disorder memiliki pikiran untuk bunuh diri, sedangkan percobaan bunuh diri dilaporkan pada 22-24% pasien. Dalam suatu studi dengan 110 pasien Body Dysmorphic Disorder, 51% tidak mengungkapkan gejala mereka pada dokter. Rasio antara wanita dan pria untuk terkena gangguan ini hampir sama, yaitu antara 1:1 hingga 3:2. Onset

Body Dysmorphic Disorder adalah saat remaja atau dewasa muda, rata-rata berumur 16-17 tahun (Ahmed, 2011). C. FAKTOR RISIKO Body Dysmorphic Disorder biasanya berkembang pada remaja, saat dimana individu sangat memperhatikan cara mereka melihat orang lain. Namun, banyak pasien menderita selama bertahun-tahun sebelum mencari bantuan. Tidak ada penyebab tunggal dari Body Dysmorphic Disorder, penelitian menunjukkan bahwa sejumlah faktor mungkin terlibat dan bahwa mereka dapat terjadi dalam kombinasi. Body Dysmorphic Disorder dapat dikaitkan dengan gangguan makan, seperti makan berlebihan kompulsif, anoreksia nervosa atau bulimia, atau dapat lebih dari fobia (Phillips, 2005).
1. Obsessif-Compulsive

Body Dysmorphic Disorder sering dapat terjadi dengan ObsessifCompulsive Disorder, di mana pasien memiliki kebiasaan perilaku yang secara harfiah tidak terkendali yang dapat mengambil alih hidup mereka. Sebuah sejarah, atau kecenderungan genetik untuk Obsessif-Compulsive Disorder dapat membuat orang lebih rentan terhadap Body Dysmorphic Disorder. Fobia lain seperti fobia sosial atau gangguan kecemasan sosial juga dapat mendukung terjadinya Body Dysmorphic Disorder (Phillips, 2005).
2. Psikologis a. Sindiran atau kritikan :

Telah dikemukakan bahwa sindiran atau kritikan tentang penampilan penderita Body Dysmorphic Disorder dapat memainkan peran kontribusi dalam timbulnya Body Dysmorphic Disorder. Meskipun tidak mungkin sindiran menyebabkan Body Dysmorphic Disorder, demikian halnya, tingkat ekstrim pelecehan masa kanak-kanak, intimidasi, dan penyiksaan psikologis sering dirasionalisasikan dan disalahartikan sebagai sindiran, kadang-kadang menyebabkan stres traumatis pada orang yang rentan. Sekitar 60% orang dengan Body Dysmorphic Disorder

dilaporkan sering atau secara kronis mengalami sindiran pada masa kanak-kanak (Phillips, 2005).
b. Pola asuh orangtua :

Sama halnya dengan sindiran, pola asuh orangtua dapat menyebabkan timbulnya Body Dysmorphic Disorder, misalnya, orang tua yang menempatkan penekanan berlebihan pada penampilan estetika, atau mengabaikan sama sekali, dapat berperan sebagai pemicu bagi seseorang yang memiliki predisposisi genetik (Phillips, 2005).
c. Pengalaman hidup lainnya:

Banyak pengalaman hidup lainnya juga dapat bertindak sebagai pemicu onset Body Dysmorphic Disorder, misalnya, kelalaian, trauma fisik dan/ atau seksual, rasa tidak aman dan penolakan (Phillips, 2005).
3. Lingkungan Media

Terdapat teori bahwa tekanan media dapat berkontribusi untuk terjadinya Body Dysmorphic Disorder, misalnya, model glamor dan kebutuhan tersirat mengenai keindahan estetika. Namun, Body Dysmorphic Disorder terjadi di semua bagian dunia, termasuk daerah terpencil di mana akses ke media terbatas atau (praktis) tidak ada. Oleh karena itu tidak mungkin tekanan media merupakan penyebab Body Dysmorphic Disorder, meskipun mungkin bertindak sebagai pemicu dalam mereka yang cenderung sudah genetik atau bisa memperburuk gejala Body Dysmorphic Disorder yang ada (Phillips, 2005).
4. Kepribadian

Ciri kepribadian tertentu dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap berkembangnya Body Dysmorphic Disorder. Ciri-ciri kepribadian yang telah diusulkan sebagai faktor yang berkontribusi meliputi:
a. Perfeksionisme b. Introversi/rasa malu c. Neurotisisme d. Sensitivitas terhadap penolakan atau kritik

e. Kepribadian avoidant (menghindar) f. Kepribadian skizoid g. Fobia sosial/gangguan kecemasan sosial

Karena ciri-ciri kepribadian di antara orang dengan Body Dysmorphic Disorder sangat bervariasi, tidak mungkin bahwa hal ini adalah penyebab langsung dari Body Dysmorphic Disorder. Namun, seperti faktor psikologis dan lingkungan tersebut, mereka dapat bertindak sebagai pemicu pada individu (Phillips, 2005). D. PATOFISIOLOGI Mekanisme penyebab dari Body Dysmorphic Disorder masih sedikit yang diketahui. Terdapat bukti yang menyebutkan terdapat hubungan dengan keluarga yang tinggal satu rumah dan hubungan genetik dari penderita yang Obsessif-Compulsive Disorder. Hubungan lain dari Obsessif-Compulsive Disorder disebutkan dalam studi neuropsychologic dan neuroimaging, walaupun literaturnya masih terbatas dan tidak konsisten (Castle et al, 2006). Penelitian terbaru menyoroti berbagai mekanisme etiologi masuk akal, termasuk hipotesis seperti pemrosesan visual abnormal dan hipo-NMDAR transduksi sinyal. Berdasarkan pola heritabilitas, faktor genetik diduga memainkan peran kausal dalam pengembangan Body Dysmorphic Disorder. Anggota keluarga pasien yang didiagnosis dengan Body Dysmorphic Disorder menunjukkan tingkat prevalensi Body Dysmorphic Disorder 4-8 kali yang ditemukan pada populasi umum. Ada juga asosiasi diwariskan dari Body Dysmorphic Disorder pada pasien dengan Obsessif-Compulsive Disorder. Sayangnya, sampai saat ini ada kelangkaan studi yang bisa lebih lengkap menerangkan etiologi genetik molekul Body Dysmorphic Disorder (Ahmed, 2011). Pada tahun 2000, Deckersbach et al menemukan bahwa pasien dengan Body Dysmorphic Disorder memiliki gangguan memori encoding strategi verbal dan nonverbal. Temuan ini menunjukkan keterlibatan defisit memori eksekutif dengan lesi dari koneksi frontostriatal. Studi neuropyschological dan pencitraan otak juga menyatakan bahwa mungkin ada gangguan dari sirkuit

frontal-striatal dan temporo-parietal-occipital yang memproses gambar wajah dan informasi emosional (Grant & Phillips, 2006). Sebuah kelainan yang sama dalam pengkodean memori juga terjadi pada pasien dengan ObsessifCompulsive Disorder. Selain itu, peningkatan volume subtansia alba dan asimetri nukleus kaudatus, yang mendukung sisi kiri, telah diamati pada pasien dengan Body Dysmorphic Disorder (Ahmed, 2011). Pada tahun 2003, Rauch et al melakukan sebuah studi penelitian pertama dengan menggunakan metode morfometrik Magnetik Resonansi Imaging untuk menguji hipotesis spesifik tentang perbedaan volume otak regional antara subyek dengan Body Dysmorphic Disorder dan subyek sehat. Studi tersebut menunjukkan adanya pergeseran ke kiri dalam asimetri nukleus kaudatus serta peningkatan volume total substansia alba. Pentingnya peningkatan volume substansia alba dan pergeseran ke kiri asimetri kaudatus tidak jelas. Peningkatan jumlah volume substansia alba, dengan tidak adanya peningkatan volume substansia grisea, mungkin mencerminkan peningkatan volume mielin per serat atau peningkatan proporsi glia, dalam kedua kasus, kelainan ini bisa disebabkan oleh proses-proses perkembangan utama. Demikian juga, kelainan pada asimetri kaudatus mungkin mencerminkan proses perkembangan abnormal, degenerasi asimetris atau anomali asimetris dalam pertumbuhan, plastisitas sinaptik. Menariknya, pada penelitian sebelumnya telah menunjukkan pada Obsessif-Compulsive Disorder terjadi penurunan volume substansia alba, sedangkan penelitian ini menemukan sebaliknya pada Body Dysmorphic Disorder yaitu terjadi peningkatan volume total substansi alba (Rauch et al, 2003). Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2007 oleh Dr Jamie Feusner telah menyatakan bahwa pada Body Dysmorphic Disorder, perbedaan mendasar terjadi dalam pemrosesan visual dari wajah. Studi ini juga menemukan bahwa subyek dengan Body Dysmorphic Disorder memiliki aktivasi lebih besar pada hemisfer kiri, khususnya di korteks prefrontal lateral dan daerah lobus lateral yang temporal untuk semua tugas wajah (dan aktivitas cingulate dorsal anterior untuk tugas spasial frekuensi rendah), dan mungkin memiliki gaya kognitif yang bergantung lebih berat pada ekstraksi dan pengolahan rincian. Sedangkan

pada kelompok kontrol merekrut aktivitas cingulate prefrontal sisi kiri dan dorsal anterior hanya untuk tugas spasial frekuensi tinggi. Feusner dan rekan menjelaskan implikasi dari temuan neuroimaging ini bahwa pasien Body Dysmorphic Disorder dapat memproses wajah secara sedikit demi sedikit, sementara kontrol persepsi wajah yang sehat mungkin lebih konfigural dan holistik. Subyek dengan Body Dysmorphic Disorder menunjukkan perbedaan mendasar dari kontrol dalam pengolahan visual wajah orang lain. Dominasi aktivitas sisi kiri untuk spasial frekuensi rendah dan wajah yang normal menunjukkan pengkodean detail dan analisis daripada proses holistik, sebuah pola yang jelas dalam kontrol hanya untuk spasial wajah frekuensi tinggi. Kelainan ini mungkin berhubungan dengan distorsi perseptual jelas pada pasien dengan Body Dysmorphic Disorder. Fakta bahwa temuan ini terjadi saat subjek melihat wajah orang lain menunjukkan perbedaan dalam pemrosesan visual selain distorsi penampilan mereka sendiri. Lateralitas pola ini pada pasien Body Dysmorphic Disorder menunjukkan bias untuk lokal, atau berorientasi detail dalam pengolahan wajah selama pengolahan global (Feusner et al, 2007; Ahmed, 2011). Sebuah penelitian terbaru tahun 2010 telah dilakukan kembali oleh Dr Jamie Feusner et al untuk menentukan apakah pasien dengan Body Dysmorphic Disorder memiliki pola abnormal dari aktivasi otak ketika memproses visual wajah mereka sendiri dengan resolusi spasial tinggi, rendah, atau normal. Didapatkan hasil bahwa subyek dengan Body Dysmorphic Disorder menunjukkan hiperaktif relatif di korteks orbitofrontal kiri dan bilateral kepala dari kaudatus untuk kondisi own-face yang tidak berubah dibandingkan dengan familiar-face. Hal ini menunjukkan adanya hipoaktivitas relatif dalam korteks oksipital kiri untuk wajah frekuensi spasial rendah. Terdapat perbedaan aktivitas dalam sistem frontostriatal tetapi tidak dalam kovariat korteks visual dengan peringkat aversiveness dari wajah. Keparahan gejala Body Dysmorphic Disorder berkorelasi dengan aktivitas dalam sistem frontostriatal dan korteks visual. Hasil ini menunjukkan adanya gangguan dalam pengolahan visual dan sistem frontostriatal pada subyek dengan Body Dysmorphic Disorder. Hipoaktivasi korteks oksipital untuk wajah frekuensi spasial rendah dapat

10

menunjukkan gangguan pada sistem visual primer untuk konfigurasi elemen wajah atau modulasi top-down pemrosesan visual. Hiperaktifitas frontostriatal dapat berhubungan baik dengan keengganan dan dengan gejala pikiran obsesif dan perilaku kompulsif (Feusner et al, 2010). Beberapa studi lainnya telah meneliti peran kausal untuk gangguan dalam transmisi serotonergik. Hal ini didasarkan pada bukti yang menggambarkan efektivitas SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) dalam pengobatan Body Dysmorphic Disorder (Ahmed, 2011; Castle, 2006). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Grant dan Phillips (2006), pemberian escitalopram (30mg/hari) pada pasien Body Dysmorphic Disorder menunjukkan perbaikan gejala. Setelah pemberian obat tersebut dihentikan, gejala-gejala Body Dysmorphic Disorder pada pasien muncul kembali. Hal ini mendukung bahwa disregulasi serotonin terkait dengan Body Dysmorphic Disorder. Gejala Body Dysmorphic Disorder mengalami perburukan setelah deplesi triptofan dan memiliki onset setelah penyalahgunaan ciproheptadine, antagonis serotonin (Grant & Phillips, 2006). Sebuah studi menunjukkan bahwa SSRI mengurangi halusinasi, dan bahwa halusinasi kembali setelah SSRI dosis dikurangi. Sistem visual otak dimodulasi oleh serotonin dan defisit dapat menyebabkan halusinasi visual dan somatik. Rangsang somatosensori dilaporkan sebagai pemicu perilaku BDD. Telah dilaporkan bahwa pasien BDD merasakan sensasi taktil wajah seperti rasa tertarik dan kesemutan. Sensasi ini tampaknya memicu dorongan seperti berulang memeriksa cermin, menyentuh bagian tubuh, dan mencubiti kulit (Yaryura et al. 2002). Secara keseluruhan, peran yang tepat untuk transmisi serotonergik dalam penyebab Body Dysmorphic Disorder tetap terus menjadi subyek penelitian. Selain neuroanatomi, neurokimia, dan model genetik kausalitas dalam Body Dysmorphic Disorder, beberapa model perilaku kognitif telah dikembangkan untuk menjelaskan Body Dysmorphic Disorder. Meskipun diakui bahwa kebanyakan orang menemukan setidaknya satu aspek dari penampilan mereka di mana mereka tidak puas, orang-orang dengan Body Dysmorphic Disorder terobsesi pada cacat yang dirasakan. Individu-individu ini diyakini menggunakan proses kognitif maladaptif yang terlalu menekankan

11

pentingnya daya tarik yang dirasakan. Mengikuti logika ini, individu dengan Body Dysmorphic Disorder, menempatkan penekanan yang tidak seimbang terhadap daya tarik fisik, memandang diri mereka secara negatif, mengalami rendah diri, kecemasan, rasa malu, dan kesedihan. Orang-orang ini menggunakan metode koping maladaptif seperti menatap atau menghindari cermin (Ahmed, 2011). E. GEJALA KLINIS Manifestasi atau gejala yang muncul tergantung dari persepsi tiap penderita Body Dysmorphic Disorder. Penderita Body Dysmorphic Disorder memiliki anggapan bahwa mereka dapat mengubah atau memperbaiki beberapa aspek dari penampilan fisik mereka meskipun mereka umumnya mungkin berpenampilan normal atau bahkan sangat menarik. Body Dysmorphic Disorder menyebabkan mereka percaya bahwa mereka tidak dapat berinteraksi dengan orang lain karena takut ejekan dan penghinaan tentang penampilan mereka. Hal ini dapat menyebabkan orang-orang dengan gangguan ini untuk mulai mengasingkan diri atau mengalami kesulitan dalam situasi sosial. Mereka bisa menjadi introvert dan enggan untuk mencari bantuan karena mereka takut bahwa mencari bantuan akan memaksa mereka untuk menghadapi ketidakamanan mereka. Mereka merasa terlalu malu dan tidak mau menerima bahwa orang lain akan mengatakan bahwa mereka menderita gangguan. Penderita percaya bahwa memperbaiki cacat merupakan satu-satunya tujuan hidup mereka (Phillips, 2005; Veale, 2001). Penderita Body Dysmorphic Disorder tidak percaya diri untuk menjadi lebih tampan daripada yang lain, tetapi merasa bahwa mereka dianggap cacat, jelek atau tidak cukup baik. Orang-orang dengan Body Dysmorphic Disorder kompulsif dapat melihat diri mereka sendiri di cermin atau, sebaliknya, menutupi dan menghindari cermin (Castle et al, 2006). Mereka biasanya berpikir tentang penampilan mereka selama setidaknya satu jam sehari (dan biasanya lebih) dan, pada kasus yang berat, semua kontak sosial dan tanggung jawab bisa drop seolah mereka menjadi pertapa. Rendah diri kronis adalah karakteristik dari penderita

12

Body Dysmorphic Disorder, karena penilaian diri ini sangat terkait erat dengan persepsi penampilan seseorang (Phillips, 2005; Veale, 2001). Ada banyak gejala umum dan perilaku terkait dengan Body Dysmorphic Disorder. Seringkali gejala-gejala dan perilaku ditentukan oleh sifat cacat yang dirasakan oleh penderita Body Dysmorphic Disorder, misalnya, penggunaan kosmetik yang paling umum pada mereka yang merasakan cacat kulit. Karena tergantung persepsi yang ada maka banyak penderita Body Dysmorphic Disorder hanya akan menunjukkan beberapa gejala umum dan perilaku. Gejala umum Body Dysmorphic Disorder meliputi :

Pikiran obsesif tentang cacat penampilan yang dirasakan. Perilaku obsesif dan kompulsif terkait dengan cacat penampilan yang dirasakan. Gejala gangguan depresi mayor. Delusi pikiran dan keyakinan terkait dengan cacat penampilan yang dirasakan. Penarikan sosial dan keluarga, fobia sosial, kesepian dan isolasi sosial. Keinginan bunuh diri. Kecemasan, mungkin serangan panik. Rendah diri kronis. Merasa sadar diri dalam lingkungan sosial, berpikir bahwa orang lain memperhatikan dan mengejek cacat mereka. Perasaan malu yang kuat. Kepribadian avoidant : menghindari meninggalkan rumah, atau hanya meninggalkan rumah pada waktu tertentu, misalnya, pada malam hari. Kepribadian dependent : ketergantungan pada orang lain, seperti teman, pasangan atau keluarga. Ketidakmampuan untuk bekerja atau ketidakmampuan untuk fokus pada bekerja karena keasyikan dengan penampilan. Bermasalah dalam memulai dan mempertahankan hubungan (baik hubungan intim dan persahabatan).

13

Alkohol dan/ atau penyalahgunaan obat (seringkali merupakan upaya untuk mengobati diri). Perilaku berulang (seperti terus-menerus (dan berat) menggunakan makeup, teratur memeriksa penampilan di cermin, lihat bagian di bawah ini untuk perilaku yang lebih terkait). Melihat gambar yang sedikit berbeda pada diri dan mengamati cermin atau permukaan reflektif. Perfeksionisme (menjalani operasi kosmetik dan berperilaku seperti menggunakan pelembab yang berlebihan dan berolahraga dengan tujuan untuk mencapai tipe tubuh ideal dan mengurangi kecemasan). Catatan: setiap jenis modifikasi tubuh dapat mengubah penampilan seseorang. Ada banyak jenis modifikasi tubuh yang tidak termasuk operasi / bedah kosmetik. Modifikasi tubuh (atau perilaku terkait) mungkin tampak kompulsif, berulang, atau terfokus pada satu atau lebih area atau fitur yang dipandang individu sebagai cacat. (Phillips, 2005; Castle et al, 2006; Veale, 2001)

Perilaku kompulsif Penderitaan yang disebabkan oleh adanya kekhawatiran berlebihan dengan bagian tubuh tertentu atau aspek dari penampilan pada penderita Body Dysmorphic Disorder ini dapat menyebabkan perilaku kompulsif (Gorbis, 2011). Perilaku kompulsif umum yang terkait dengan Body Dysmorphic Disorder meliputi :

Memeriksa cermin secara kompulsif, melirik pintu reflektif, jendela Ketidakmampuan untuk melihat refleksi sendiri atau foto-foto diri Mencoba untuk menutupi imajinasi cacat, misalnya, menggunakan

dan permukaan reflektif lainnya. sendiri, juga, penghapusan cermin dari rumah. kamuflase kosmetik, mengenakan pakaian longgar, menjaga postur tubuh tertentu atau memakai topi.

Penggunaan teknik distraksi : upaya untuk mengalihkan perhatian

dari orang cacat yang dirasakan, misalnya mengenakan pakaian yang berlebihan atau perhiasan yang berlebihan.

14

Perilaku perawatan berlebihan : menguliti kulit, menyisir rambut, Kompulsif menyentuh kulit, terutama untuk mengukur atau Menjadi memusuhi orang tanpa alasan yang diketahui, terutama dari Mencari kepastian dari orang yang dicintai. Berlebihan diet atau berolahraga, bekerja pada penampilan luar. Menyakiti diri sendiri. Membandingkan penampilan/ bagian tubuh dengan orang lain, atau

mencabut alis, cukur, dll. merasakan cacat yang dirasakan. lawan jenis, atau jenis kelamin yang sama jika homoseksual.

melihat secara obsesif dari selebriti favorit atau model yang ingin diserupai oleh penderita Body Dysmorphic Disorder.

Kompulsif mencari informasi, membaca buku, artikel koran dan

situs yang berhubungan dengan cacat yang dirasakan seseorang, misalnya rambut rontok atau kelebihan berat badan.

Obsesi dengan operasi plastik atau prosedur dermatologis, seringkali Dalam kasus ekstrim, pasien harus berusaha untuk melakukan

dengan hasil yang sedikit memuaskan (dalam persepsi pasien). operasi plastik pada diri mereka sendiri, termasuk liposuction dan berbagai implan dengan hasil malapetaka.

Menggunakan

enema

(suntikan

urus-urus)

berlebihan

(jika

kegemukan adalah kekhawatirannya). (Phillips, 2005; Gorbis, 2011; Castle et al, 2006)

Lokasi cacat umum yang dirasakan Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dr Katharine Philips, melibatkan lebih dari 500 pasien, persentase pasien yang bersangkutan dengan lokasi yang paling umum adalah sebagai berikut (Phillips et al, 2005):

15

Kulit (80%) Rambut (57,5%) Hidung (39%) Perut (32%) Berat badan (29%) Payudara / dada / puting (26%) Mata (21,5%) Paha (20%) Gigi (29,5%) Kaki (keseluruhan) (18%) Pembentuk tubuh / tulang

Tampilan wajah

Betis (8%) Tinggi badan (7%) Ukuran /bentuk kepala

keseluruhan (19%)
Ukuran / bentuk wajah

(16%)
Bibir (14,5%) Bokong (21,5%) Dagu (11%) Alis (14,5%) Pinggul (12,5%) Telinga (10,5%) Lengan / pergelangan

(6%)
Dahi (6%) Tangan (6%) Rahang (6%) Mulut (6%) Punggung (6%) Jemari tangan (5%) Leher (5%) Bahu (3%) Lutut (3%) Pergelangan kaki (2%)

struktur (1,5%)
Otot wajah (1%) Pipi / tulang pipi (10,5%)

tangan (13,5%)
Pinggang (9%) Alat kelamin (8%)

F.

DIAGNOSIS Klasifikasi dari Body Dysmorphic Ddisorder menurut DSM-IV

(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition) merujuk pada preokupasi seorang individu mengenai ketidaksempurnaan fisik yang dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka. Preokupasi bagian tubuh yang umum dikeluhkan adalah hidung, kulit, rambut, bibir, rahang dan dagu. Preokupasi umumnya mengarah pada bagian tubuh tertentu. Keluhan yang sering disampaikan antara lain jerawat di wajah, ukuran tubuh (terlalu besar atau terlalu kecil), rambut tipis, keriput, luka, tanda lahir, warna kulit terlalu pucat atau asimetri wajah. Anggapan seorang pasien mengenai penampilan fisiknya (misalnya bahwa hidung seseorang terlalu besar) dapat juga disertai tilikan yang jelek atau bahkan tanpa tilikan diri (sedang berhalusinasi). Bila terdapat gejala tersebut, dalam klasifikasi DSM-IV, gangguan halusinasi dapat ditambahkan sebagai diagnosis tambahan. Phillips mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosis Body Dysmorphic Disorder, preokupasi terhadap ketidaksempurnaan fisik berlangsung setidaknya 1 jam per hari. Berikut adalah kriteria yang harus

16

terpenuhi untuk menegakkan diagnosis BDD pada seorang pasien, menurut DSM-IV: Preokupasi terhadap ketidaksempurnaan fisik, bahkan cela fisik yang kecil/ sedikit/ samar, yang tidak disadari orang lain. Pasien menilai kekurangan fisik mereka dengan ketakutan/ kekhawatiran yang berlebihan.
Preokupasi

atau obsesi pasien terhadap ketidaksempurnaan fisiknya

menyebabkan suatu penderitaan (distress) dan hendaya (disability) dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan fungsi pekerjaan. Kriteria ini dapat dipakai untuk membedakan Body Dysmorphic Disorder dengan pasien yang mengalami kekhawatiran biasa mengenai kekurangan fisiknya (khususnya pada periode usia dewasa).
Preokupasi tidak disebabkan oleh gangguan mental lain seperti anorexia

nervosa. (American Psychiatric Association, 1994). Pengetahuan masyarakat mengenai penyakit Body Dysmorphic Disorder pada umumnya kurang. Pasien Body Dysmorphic Disorder biasanya tidak menyadari bahwa dirinya mengalami gangguan jiwa somatoform. Awalnya pasien akan datang ke dokter kulit atau bedah plastik, yang mungkin akan dilakukan pasien berulang kali. Pada akhirnya, pasien yang tidak merasa puas dengan kondisi fisiknya walaupun sudah diperbaiki akan datang ke psikiater untuk konsultasi (Veale, 2001). G. DIAGNOSIS BANDING Kualitas hidup pasien Body Dysmorphic Disorder menurut derajat distress adalah lebih buruk dibandingkan pasien depresi (Phillips, 2000). Pasien Body Dysmorphic Disorder memiliki risiko tinggi untuk melakukan bunuh diri dan penyiksaan diri (Veale, 1996). Faktor penyulit lain antara lain adanya depresi, fobia social, Obsessif-Compulsive Disorder atau gangguan kepribadian (Philip, et al, 2001). Terkadang malah pasien Body Dysmorphic Disorder salah didiagnosa karena gejala mirip dengan gejala yang terjadi pada pasien major depressive disorder atau social phobia (Phillips, 1996).

17

H.

PENATALAKSANAAN Tidak diketahui secara pasti apakah Body Dysmorphic Disorder dapat

dicegah (pencegahan primer). Pengembangan diri tentang citra diri terhadap tubuh/ fisik merupakan salah satu pencegahan primer yang dapat dilakukan. Terapi awal dan diagnosis dini (pencegahan sekunder) diperlukan sesegera mungkin setelah onset untuk mencegah perburukan gejala. Penatalaksanaan Body Dysmorphic Disorder merupakan kombinasi dari beberapa terapi, yang dijabarkan sebagai berikut:
Psikoterapi: merupakan konseling pribadi yang bertujuan untuk mengubah

pola pikir (terapi kognitif) pasien dan tingkah laku (terapi tingkah laku) penderita Body Dysmorphic Disorder. Tujuannya adalah untuk mengoreksi anggapan yang salah mengenai ketidaksempurnaan fisik dan mengurangi tindakan kompulsif.
Obat-obatan: pemberian antidepresan seperti SSRI menunjukkan perbaikan

gejala bagi pasien Body Dysmorphic Disorder.


Dukungan keluarga dan orang-orang di lingkungan sekitar. Dukungan

keluarga ditunjukkan dengan menemani pasien di masa-masa sulit, menyemangati serta turut mengerti dan memahami gejala dan tanda dari Body Dysmorphic Disorder (Cleveland Clinic, 2009).

BAB III SIMPULAN

18

1. Body Dysmorphic Disorder merupakan salah satu gangguan somatoform

yang ditandai oleh kepercayaan yang salah atau persepsi yang berlebihan bahwa suatu bagian tubuh mereka mengalami ketidaksempurnaan atau kecacatan.
2. Klasifikasi dari Body Dysmorphic Disorder menurut DSM-IV (Diagnostic

and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition) merujuk pada preokupasi seorang individu mengenai ketidaksempurnaan fisik yang dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka.
3. Body Dysmorphic Disorder muncul kebanyakan pada wanita, biasanya

dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia sosial, serta gangguan kepribadian.
4. Penatalaksanaan Body Dysmorphic Disorder merupakan kombinasi dari

beberapa terapi yaitu psikoterapi, obat-obatan, dan dukungan keluarga dan orang-orang di lingkungan sekitar.

DAFTAR PUSTAKA

19

Ahmed, I., Bienenfeld D. 2011. Psychiatric Manifestations of Body Dysmorphic Disorder. http://emedicine.medscape.com/article/291182-overview#a0104 (diakses 28 Januari 2012) APA. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. Washington, DC: American Psychiatric Association Castle, D.J., Rossell S., Kyrios M. 2006. Body dysmorphic disorder. Psychiatr Clin N Am 29 (2006), 521538 Cleveland Clinic, 2009. Body Dysmorphic Disorder. http://my.clevelandclinic.org/disorders/body_dysmorphic_disorder_bdd/hic_bo dy_dysmorphic_disorder.aspx (diakses tanggal 27 Januari 2012) Didie ER, Walters MM, Pinto A, Menard W, Eisen JL, Mancebo M, et al. 2007. A Comparison of Quality of Life and Psychosocial Functioning in ObsessiveCompulsive Disorder and Body Dysmorphic Disorder. Ann Clin Psychiatry. 2007;19(3):181-6 Feusner, J.D., Townsend J., Bystritsky, A., Bookheimer S. 2007. Visual information processing of faces in body dysmorphic disorder. Arch Gen Psychiatry. 2007;64(12):1417-1425 Feusner, J.D., Moody T., Hembacher E., Townsend J., McKinley M., Moller H., Bookheimer S. 2010. Abnormalities of visual processing and frontostriatal systems in body dysmorphic disorder. Arch Gen Psychiatry. 2010;67(2):197205 Gorbis, E. 2011. Understanding Body Dysmorphic Disorder (BDD). http://www.brainphysics. com/bdd_ gorbis.php (diakses 28 Januari 2012)
Grant, J.E., Phillips, K.A. 2006. Recognizing and treating body dysmorphic Disorder. Ann Clin Psychiatry. 2005; 17(4): 205210

Haas CF. Champion A. 2008. Secor D. Motivating factors for seeking cosmetic surgery: a synthesis of the literature. Plastic Surgical Nursing. 2008;28(4):177-82. Kaplan H, Sadock B, Grebb J. 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Tangerang : Binarupa Aksara Publisher.

20

Kirchner et al. 2008. Body Dysmorphic Disorder. http://medicaldictionary.thefreedictionary.com/body+dysmorphic+disorder. (diakses 30 Januari 2012) Otto MW, Wilhelm S, Cohen LS, Harlow BL. 2001. Prevalence of body dysmorphic disorder in a community sample of women. Am J Psychiatry. Dec 2001;158(12):2061-3. [Medline]. Phillips KA. 1991. Body dysmorphic disorder: the distress of imagined ugliness. Am J Psychiatry. 1991;148(9):1138-49 Phillips, K. 1996. The Broken Mirror Understanding and Treating Body Dysmorphic Disorder. New York: Oxford University Press. Phillips, K. A. 2005. The Broken Mirror: Understanding and Treating Body Dysmorphic Disorder. New York: Oxford University Press Phillips, K.A., Menard, W., Fay C., Weisberg R. 2005. Demographic characteristics, phenomenology, comorbidity, and family history in 200 individuals with body dysmorphic disorder. Psychosomatics. 2005; 46(4): 317325 Phillips KA, Menard W, Fay C. 2006. Gender similarities and differences in 200 individuals with body dysmorphic disorder. Compr Psychiatry. Mar-Apr 2006;47(2):77-87 Phillips KA, Menard W. 2006. Suicidality in body dysmorphic disorder: a Prospective Study. Am J Psychiatry. 2006;163(7):1280-2 Phillips, K.A., Wilhe S., Koran I.M., Didie E.R., Fallon B.A., Feusner J., Stein D.J. 2010. Body dysmorphic disorder: some key issues for DSM-V. Ref Depression and Anxiety. 2010; 46: 573591 Rauch, S.L., Phillips K.A., Segal E., Makris N., Shin L.M., Whalen P.J., Jenike M.A., Caviness V.S., Kennedy D.N. 2003. A preliminary morphometric magnetic resonance imaging study of regional brain volumes in body dysmorphic disorder. Psychiatry Research: Neuroimaging, Volume 122, Issue 1, Pages 13-19 Rief W, Buhlmann U, Wilhelm S, Borkenhagen A, Brhler E. 2006. The prevalence of body dysmorphic disorder: a population-based survey. Psychol Med. 2006;36(6):877-85

21

Veale, D. 2001. Cognitivebehavioural therapy for body dysmorphic disorder. Advances in Psychiatric Treatment. 2001. vol. 7, pp. 125132 Veale D. and Riley S. 2001. Mirror, mirror on the wall, who is the ugliest of them all? The psychopathogy of mirror gazing in body dysmorphic disorder. Behav Res and Therapy Yaryura, JA, Tobias JA, Neziroglu F, Torres M, Gallegos M. 2002. Neuroanatomical correlates and somatosensorial disturbances in body dysmorphic disorder. CNS Spectr. 2002;7(6):432-434

22

Anda mungkin juga menyukai