Penatalaksanaan OCR bervariasi sesuai keparahan refleks yang terjadi. Jika refleks
bermanifestasi sebagai bradikardi atau denyut ektopik infrekuen dan tekanan darah tetap
stabil, tidak ada tatalaksana yang perlu dilakukan. Jika disritmia menjadi signifikan, perlu
penghentian sementara. OCR akan lelah dengan sendirinya dan biasanya hanya sedikit
bahkan tidak ada OCR ulangan yang terjadi setelah penghentian sementara dari stimulus. Jika
OCR yang terjadi berat, diindikasikan terapi dengan antikolinergik (glikopirolat atau atropin).
Dalam terapi dengan atropin dosis besar, harus diperhatikan kemungkinan timbulnya efek
yang lebih berat seperti takidisritmia yang memanjang. (Anesthesiology, Longnecker).
3. Berikan atropin intravena (10 mcg/kg) jika terdapat bradikardia yang persisten;
dan;
4. Dalam episode yang tidak bisa ditangani, lakukan infiltrasi pada otot rektus
dengan anestesi lokal. Refleks ini dapat lelah sendiri (memusnahkan dirinya
okulokardial. Atropin meningkatkan rangsangan nodus sinoatrial (SA) dan konduksi melalui
nodus atrioventrikular (AV), melawan aksi nervus vagus, memblokir reseptor asetilkolin.
Kedua teknik IV dan IM atropin efektif dalam mengurangi kejadian refleks okulokardial pada
anak yang menjalani operasi koreksi strabismus. Namun, atropin tidak bisa sepenuhnya
mencegah baik bradikardia atau hipotensi tetapi juga dapat menyebabkan bigemini dan
meningkatkan denyut ektopik, dimana aritmia tersebut lebih persisten dibanding refleks
okulokardial. Hal lain yang harus menjadi perhatian adalah pemberian antikolinergik pada
pasien yang mempunyai penyakit arteri koroner karena potensinya untuk meningkatkan
denyut jantung bisa menginduksi iskemia miokardium. Takikardi ventrikel dan fibrilasi
Blok retrobulbar atau anestesi inhalasi yang dalam juga dapat dipertimbangkan, tetapi
prosedur ini mempunyai resiko karena blok retrobulbar sendiri kenyataannya dapat
kontroversi.
Berdasarkan penelitian didapatkan kejadian OCR adalah 43% pada kelompok atropin
dan 20% pada kelompok ketamin. Pada pasien yang diberikan propofol, ketamin, halotan
atau sevofluran digunakan sebagai anestesi utama, kejadian terendah adalah pada ketamin,
simpatoneuronal melepas norepinefrin, yang dapat dideteksi dalam darah vena. Ketamin
menghambat jalur eferen-vagal-jantung dengan aksi sentral. Vagolisis sentral ini mungkin
adalah penyebab efek kronotropik positif. Dari hal ini diyakini bahwa ketamin dapat
menyebabkan peningkatan denyut jantung dengan menahan efek penghambatan pada reseptor
preganglionik jantung dari nukleus ambigus dari batang otak. Hipotesisnya adalah ketamin
akan menghambat pelepasan bahan kimia yang dihasilkan oleh stimulasi vagal sepanjang
sistem parasimpatis. Penelitian menemukan bahwa ketamin menimbulkan insiden yang lebih
rendah dan mungkin menjadi pilihan yang lebih baik sebagai obat induksi untuk operasi
Penelitian mendapatkan OCR terdiri dari 3 fase, dimana denyut jantung menurun
traksi maksimal (fase 2); dan meningkat setelah pelepasan mendadak (fase 3) dari otot
aktivitas sistem saraf simpatik dengan peningkatan pelepasan norepinefrin, yang dapat
menghalangi fase 1 dari OCR. Bahkan, banyak ahli anestesi telah melaporkan bahwa ketamin
dibandingkan dengan obat bius lainnya adalah efektif untuk mengurangi OCR.
regimen obat anestesi. Remifentanil dilaporkan mengaktifkan jalur parasimpatis dan memiliki
lebih banyak pada denyut jantung daripada sevofluran. Sevofluran dilaporkan menekan
aktivitas vagal lebih baik dari halotan. Bradikardia lebih jarang terjadi pada pasien yang
menerima sevofluran, pada kejadian OCR. Desfluran adalah satusatunya diantera agen yang
mudah menguap yang meningkatkan aktivitas simpatis, dan tidak meningkatkan kejadian
vagolitiknya lebih kuat daripada aktivasi simpatis dalam meningkatkan denyut jantung.
Pada penelitian lain yang dengan menggunakan 4 rejimen obat bius, kelompok
propofol dan alfentanil, kelompok sevofluran, kelompok ketamin dan midazolam, dan
volatil berguna untuk mencegah OCR (Oh et al., 2013).
Secara umum profilaksis dengan farmakologis dan mengurangi faktor resiko seperti
hiperkarbia dan hipoksia sebelum operasi merupakan cara yang paling direkomendasikan
untuk mengurangi kejadian OCR yang merupakan bagian dari refleks trigeminal. Faktor lain
yang cukup berperan adalah kemampuan ahli bedah dalam pembedahan terutama ketika
melakukan traksi harus secara halus dan lambat disekitar saraf trigeminal dan cabang
cabangnya (Meuwly et al., 2015).
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Refleks okulokardial dideskripsikan dengan terangsangnya muskulus extraokular oleh
suatu traksi atau tekanan pada bola mata. Stimulasi akibat peregangan tersebut dibawa
sepanjang ganglion siliar dan saraf oftalmikus sebagai serabut aferen, dengan ujung di
trigeminal dan nukleus motorik viseral nervus vagus dan memberikan efek
kronotropik negatif pada denyut jantng dan cardiac output.
OCR dikatakan positif jika terjadi perlambatan denyut jantung sebesar 20% dari
jantung.
Resiko OCR meningkat pada usia muda, hiperkarbia, hipoksemia, anestesi ringan,
kraniomaksilofasial), dan pada beberapa penyakit (seperti strabismus, fraktur lantai
orbita, trauma maksilofasial).
dexmetadomidine.
Faktor yang meringankan OCR diantaranya penggunaan zat anestetik (seperti
penggunaan teknik anestesi lokal, dan blok retrobulbar.
anestesi, pemberian atropin intravena (10 mcg/kg), dan infiltrasi pada otot rektus
dengan anestesi lokal, atau dengan menunggu refleks ini lelah sendiri (memusnahkan
3.2 Saran
a. Pengkajian mengenai refleks okulakardial penting untuk selalu diperbarui mengingat
insidennya yang cukup tinggi.
okulokardial yang lebih komprehensif.
Daftar Pustaka
Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM. Anesthesia for Ophtalmic Surgery
Morgan GE, Mikhail MS, Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Anesthesia for
McGrawHill;2013. p:759772.
2015(18);1-8.
Oh JN, Lee SY, Lee JH, Choi SR, Chin YJ. Effect of Ketamine and Midazolam on
Vol64. 2013(6);500-504.