Anda di halaman 1dari 7

Tatalaksana Refleks Okulokardial

Penatalaksanaan OCR bervariasi sesuai keparahan refleks yang terjadi. Jika refleks

bermanifestasi   sebagai   bradikardi   atau   denyut   ektopik   infrekuen   dan   tekanan   darah   tetap

stabil, tidak ada tatalaksana yang perlu dilakukan. Jika disritmia menjadi signifikan, perlu

dilakukan   penghentian   rangsangan   bedah.   Seringkali   prosedur   dapat   dilanjutkan   setelah

penghentian   sementara.   OCR   akan   lelah   dengan   sendirinya   dan   biasanya   hanya   sedikit

bahkan tidak ada OCR ulangan yang terjadi setelah penghentian sementara dari stimulus. Jika

OCR yang terjadi berat, diindikasikan terapi dengan antikolinergik (glikopirolat atau atropin).

Dalam terapi dengan atropin dosis besar, harus diperhatikan kemungkinan timbulnya efek

yang lebih berat seperti takidisritmia yang memanjang. (Anesthesiology, Longnecker).

Penanganan refleks okulokardial terdiri dari prosedur berikut :

1. Segera laporkan ke ahli bedah dan menghentikan secara temporer stimulasi

pembedahan sampai nadi meningkat;

2. Konfirmasi adekuatnya ventilasi, oksigen dan kedalaman anestesi;

3. Berikan atropin intravena (10 mcg/kg) jika terdapat bradikardia yang persisten;

dan;

4. Dalam episode yang tidak bisa ditangani, lakukan infiltrasi pada otot rektus

dengan anestesi lokal. Refleks ini dapat lelah sendiri (memusnahkan dirinya

sendiri) dengan traksi berulang dari otot-otot ekstraokuler. (Morgan. E G, Mikhail.

M S (editor), Clinical Anesthesiology, fifth edition. a Lange medical book.

Appleton & Lange 2013, P. 761-762)

Terapi dengan antikolinergik cukup membantu mencegah terjadinya reflek

okulokardial. Atropin meningkatkan rangsangan nodus sinoatrial (SA) dan konduksi melalui
nodus atrioventrikular (AV), melawan aksi nervus vagus, memblokir reseptor asetilkolin.

Kedua teknik IV dan IM atropin efektif dalam mengurangi kejadian refleks okulokardial pada

anak yang menjalani operasi koreksi strabismus. Namun, atropin tidak bisa sepenuhnya

mencegah baik bradikardia atau hipotensi tetapi juga dapat menyebabkan bigemini dan

meningkatkan denyut ektopik, dimana aritmia tersebut lebih persisten dibanding refleks

okulokardial. Hal lain yang harus menjadi perhatian adalah pemberian antikolinergik pada

pasien yang mempunyai penyakit arteri koroner karena potensinya untuk meningkatkan

denyut jantung bisa menginduksi iskemia miokardium. Takikardi ventrikel dan fibrilasi

ventrikel juga dilaporkan pernah terjadi setelah pemberian antikolinergik.

Blok retrobulbar atau anestesi inhalasi yang dalam juga dapat dipertimbangkan, tetapi

prosedur ini mempunyai resiko karena blok retrobulbar sendiri kenyataannya dapat

menimbulkan refleks okulokardial. Kebutuhan profilaksis secara rutin masih merupakan

kontroversi.

Berdasarkan penelitian didapatkan kejadian OCR adalah 43% pada kelompok atropin

dan 20% pada kelompok ketamin. Pada pasien yang diberikan propofol, ketamin, halotan

atau sevofluran digunakan sebagai anestesi utama, kejadian terendah adalah pada ketamin,

diikuti oleh sevofluran, halotan dan propofol.

Bagaimana mekanisme ketamin merangsang sistem peredaran darah masih belum

diketahui. Ketamin menghambat sinyal muskarinik. Ketamin juga menyebabkan sistem

simpatoneuronal melepas norepinefrin, yang dapat dideteksi dalam darah vena. Ketamin

menghambat jalur eferen-vagal-jantung dengan aksi sentral. Vagolisis sentral ini mungkin

adalah penyebab efek kronotropik positif. Dari hal ini diyakini bahwa ketamin dapat

menyebabkan peningkatan denyut jantung dengan menahan efek penghambatan pada reseptor

parasimpatis. Ketamin menghambat eksitasi kolinergik nikotinat di neuron parasimpatis

preganglionik jantung dari nukleus ambigus dari batang otak. Hipotesisnya adalah ketamin
akan menghambat pelepasan bahan kimia yang dihasilkan oleh stimulasi vagal sepanjang

sistem parasimpatis. Penelitian menemukan bahwa ketamin menimbulkan insiden yang lebih

rendah dan mungkin menjadi pilihan yang lebih baik sebagai obat induksi untuk operasi

mata. (Espahbodi, et al).

Penelitian   mendapatkan  OCR   terdiri   dari   3  fase,  dimana   denyut   jantung   menurun

secara pasif setelah traksi dari  otot ekstraokular  di fase 1; denyut jantung kembali setelah

traksi   maksimal   (fase  2);   dan  meningkat  setelah  pelepasan  mendadak   (fase   3)   dari  otot

ekstraokular  secara  spontan. Ketamin memiliki efek  kardiostimulator  dengan meningkatkan

aktivitas   sistem   saraf   simpatik   dengan  peningkatan  pelepasan   norepinefrin,  yang   dapat

menghalangi fase 1 dari OCR. Bahkan, banyak ahli anestesi telah melaporkan bahwa ketamin

dibandingkan dengan obat bius lainnya adalah efektif untuk mengurangi OCR. 

Saat   ini,  berbagai  penelitian  dilakukan  untuk   mengurangi   OCR,   menggunakan

regimen obat anestesi. Remifentanil dilaporkan mengaktifkan jalur parasimpatis dan memiliki

efek  kronotropik  negatif langsung. Infus kontinu remifentanil  menginduksi perubahan yang

lebih  banyak   pada  denyut   jantung   daripada   sevofluran.  Sevofluran   dilaporkan   menekan

aktivitas  vagal  lebih  baik  dari  halotan.  Bradikardia  lebih  jarang  terjadi  pada pasien  yang

menerima sevofluran, pada kejadian OCR. Desfluran adalah satu­satunya diantera agen yang

mudah   menguap   yang  meningkatkan   aktivitas  simpatis,  dan  tidak  meningkatkan  kejadian

OCR dibandingkan dengan sevofluran. Hal ini karena  pada anestesi dengan desfluran  efek

vagolitiknya lebih kuat daripada aktivasi simpatis dalam meningkatkan denyut jantung. 

Pada   penelitian   lain   yang  dengan   menggunakan   4   rejimen   obat   bius,   kelompok
propofol   dan   alfentanil,   kelompok   sevofluran,   kelompok   ketamin   dan   midazolam,   dan

kelompok halotan  menunjukkan  bahwa kombinasi ketamin sebagai analgesik dan anestesi

volatil berguna untuk mencegah OCR (Oh et al., 2013).

Secara umum profilaksis dengan farmakologis dan mengurangi faktor resiko seperti

hiperkarbia   dan  hipoksia   sebelum  operasi   merupakan   cara   yang  paling   direkomendasikan

untuk mengurangi kejadian OCR yang merupakan bagian dari refleks trigeminal. Faktor lain

yang   cukup   berperan   adalah   kemampuan   ahli   bedah   dalam   pembedahan   terutama   ketika

melakukan   traksi   harus   secara   halus   dan   lambat   disekitar   saraf   trigeminal   dan   cabang­

cabangnya (Meuwly et al., 2015).
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Refleks okulokardial dideskripsikan dengan terangsangnya muskulus extraokular oleh

suatu traksi atau tekanan pada bola mata. Stimulasi akibat peregangan tersebut dibawa

sepanjang ganglion siliar dan saraf oftalmikus sebagai serabut aferen, dengan ujung di

nukleus   saraf   trigeminal.   Kemudian   komunikasi   terjadi   antara   nukleus   saraf

trigeminal   dan   nukleus   motorik   viseral   nervus   vagus   dan   memberikan   efek

kronotropik negatif pada denyut jantng dan cardiac output. 

 OCR   dikatakan   positif   jika   terjadi   perlambatan   denyut   jantung   sebesar   20%   dari

baseline.  OCR   berkaitan   dengan   adanya   sinus   bradikardia   sebagai   manifestasi

tersering,  aritmia,  penurunan tekanan  arterial,  fibrilasi  ventrikel,  asistol, atau henti

jantung.

 Resiko OCR meningkat  pada usia muda, hiperkarbia, hipoksemia, anestesi ringan,

penggunaan   narkotik   poten,   prosedur   dan   manipulasi   klinik)   seperti   intubasi,

laringoskopi,   pembedahan   katarak,   pembedahan   orbital,   dan   pembedahan

kraniomaksilofasial), dan pada beberapa penyakit (seperti strabismus, fraktur lantai

orbita, trauma maksilofasial).

 Faktor   yang   memperberat   terjadinya   OCR   adalah   penggunaan   remifentanil   dan

dexmetadomidine.
 Faktor   yang   meringankan   OCR   diantaranya   penggunaan   zat   anestetik   (seperti

ketamine,   atropine,   bupivacaine   0,25%,   sevoflurane,   lidokain   dan   hyoscine   IV),

penggunaan teknik anestesi lokal, dan blok retrobulbar.

 Tatalaksana   untuk   OCR   adalah   dengan  menghentikan secara temporer stimulasi

pembedahan sampai nadi meningkat, memonitor ventilasi, oksigen dan kedalaman

anestesi, pemberian atropin intravena (10 mcg/kg), dan infiltrasi pada otot rektus

dengan anestesi lokal, atau dengan menunggu refleks ini lelah sendiri (memusnahkan

dirinya sendiri) dengan traksi berulang dari otot-otot ekstraokuler.

3.2 Saran

a. Pengkajian mengenai refleks okulakardial penting untuk selalu diperbarui mengingat

insidennya yang cukup tinggi.

b. Perlu   pengkajian   lebih   banyak   mengenai   manajemen   penatalaksanaan   refleks

okulokardial yang lebih komprehensif.
Daftar Pustaka

Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM.  Anesthesia for Ophtalmic Surgery

dalam: Anesthesiology. The McGraw-Hill Companies;2008. p:1558-1581.

Morgan   GE,   Mikhail   MS,   Butterworth   JF,   Mackey   DC,   Wasnick   JD.  Anesthesia   for

Ophtalmic Surgery  dalam:  Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th  ed.  The

McGraw­Hill;2013. p:759­772.

Meuwly C, Chowdhury T, Sandu N, Reck M, Erne P, Schaller B. Anesthetic Influence on

Occurrence and Treatment of the Trigemino-Cardiac Reflex. Medicine Journal, Vol94.

2015(18);1-8.

Oh JN, Lee SY, Lee JH, Choi SR, Chin YJ. Effect of Ketamine and Midazolam on

Oculocardiac reflex in Pediatric Strabismus Surgery. Korean Journal Anesthesiology,

Vol64. 2013(6);500-504.

Espahbodi E, Sanatkar M, Sadrossadat H, Vafsi ME, Azarshahin M,

Shoroughi M. Ketamine or Atropine: Which One Better Prevents

Oculocardiac Reflex during Eye Surgery? a Prospective Randomized

Clinical Trial. Acta Medica Iranica, Vol. 53, 2015(3); 158-161.

Anda mungkin juga menyukai