Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Strabismus berasal dari bahasa yunani yaitu ‘strabismos’ berarti
pandangan juling , melihat dengan miring atau pandangan kesamping. Strabismus
merupakan keadaan ocular misalignment yang disebabkan adanya anomali pada
control neuromuskular pergerakan bola mata. Ocular misalignment ini
menimbulkan suatu deviasi pada aksis penglihatan.Bayangan yang terbentuk pada
kedua mata tidak jatuh dilokasi yang sama diretina. Hal ini menyebabkan pasien
tersebut memiliki penglihatan binokular yang tidak baik atau sama sekali tidak
memiliki penglihatan binokular.1,2
2. Epidemiologi
Hafizah (2004) menunjukkan bahwa penderita baru strabismus periode 1
juni 1996 hingga 31 mei 2001 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
sebesar 371 kasus dan 41,24% diantaranya merupakan strabismus
horizontal.Berdasarkan studi epidemiologi yang dilakukan oleh Graham (1974)
menemukan prevalensi esotropia lebih sering muncul daripada eksotropia pada
anak usia 6 sampai 7 tahun.3,4

3. Etiologi dan Faktor Resiko


Strabismus ditimbulkan oleh cacat motorik, sensorik atau sentral. Cacat
sensorik disebabkan oleh penglihatan yang buruk, tempat ptosis, palpebra, Parut
Kornea Katarak Kongenital Cacat Sentral akibat kerusakan otak. Cacat Sensorik
dan Sentral menimbulkan Strabismus Konkomitan atau non paralitik. Cacat
motorik seperti paresis otot mata akan menyebabkan gerakan abnormal mata yang
menimbulkan strabismus paralitik.1,4
Gangguan fungsi mata seperti pada kasus kesalahan refraksi berat atau
pandangan yang lemah karena penyakit bisa berakhir pada strabismus. Ambliopia
(berkurangnya ketajaman penglihatan) dapat terjadi pada strabismus, biasanya
terjadi pada penekanan kortikal dari bayangan mata yang menyimpang.1,5
Banyak faktor resiko yang telah diidentifikasi pada anak dengan
strabismus.Diantaranya ibu hamil yang perokok, kelainan neurologis, herediter,
gangguan refraksi, Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), dan faktor anatomis
(anomali craniofasial).4

III. Klasifikasi Strabismus


Klasifikasi strabismus :5
A.Esotropia
1.Nonparetik
a.Non akomodatif
i.Infantil
ii.didapat
b.Akomodatif
c.Akomodatif parsial
2.Paretik
B.Eksotropia
1.Intermittent
2.Konstan
C.Pola “A” dan “V”
D.Hipertropia
1.Non paretik
2. Paretik

Seringkali heteroforia bertambah secara progresif, sehingga kelainan deviasi ini


tidak dapat lagi diatasi, sehingga menjadi = strabismus.

I. STRABISMUS PARALITIKA (NONCOMITANT, INCOMITANT)


Tanda-tanda :
1. Gerak mata terbatas, pada daerah dimana otot yang lumpuh bekerja. Hal
ini menjadi nyata pada kelumpuhan total dan kurang nampak pada parese.
Ini dapat dilihat, bila penderita diminta supaya matanya mengikuti suatu
obyek yang digerakkan ke 6 arah kardinal, tanpa menggerakkan kepalanya
(excurtion test). Keterbatasan gerak kadang-kadang hanya ringan saja,
sehingga diagnosa berdasarkan pada adanya diplopia saja.1
2. Deviasi
Kalau mata digerakkan kearah lapangan dimana otot yang lumpuh bekerja,
mata yang sehat akan menjurus kearah ini dengan baik, sedangkan mata
yang sakit tertinggal. Deviasi ini akan tampak lebih jelas, bila kedua mata
digerakkan kearah dimana otot yang lumpuh bekerja. Tetapi bila mata
digerakkan kearah dimana otot yang lumpuh ini tidak berpengaruh,
deviasinya tak tampak.
Mata melihat lurus kedepan, esotropia mata kanan nyata. Mata melihat
kekiri tak tampak esotropia. Mata melihat kekanan esotropia nyata sekali.
Parese m.rektus lateral mata kanan Mata kiri fiksasi (mata sehat) mata
kanan ditutup (mata sakit) deviasi mata kanan=deviasi mata primer Mata
kiri yang sehat ditutup, mata kanan yang sakit fiksasi, deviasi mata kiri =
deviasi sekunder, yang lebih besar dari pada deviasi primer.
3. Diplopia : terjadi pada lapangan kerja otot yang lumpuh dan menjadi lebih
nyata bila mata digerakkan kearah ini.
4. Ocular torticollis (head tilting)
Penderita biasanya memutar kearah kerja dari otot yang lumpuh.
Kedudukan kepala yang miring, menolong diagnosa strabismus
paralitikus. Dengan memiringkan kepalanya, diplopianya terasa
berkurang.
5. Proyeksi yang salah
Mata yang lumpuh tidak melihat obyek pada lokalisasi yang benar. Bila
mata yang sehat ditutup, penderita disuruh menunjukkan suatu obyek yang
ada didepannya dengan tepat, maka jarinya akan menunjukkan daerah
disamping obyek tersebut yang sesuai dengan daerah lapangan kekuatan
otot yang lumpuh. Hal ini disebabkan, rangsangan yang nyata lebih besar
dibutuhkan oleh otot yang lumpuh, untuk mengerjakan pekerjaan itu dan
hal ini menyebabkan tanggapan yang salah pada penderita.1,4
6. Vertigo, mual-mual, disebabkan oleh diplopia dan proyeksi yang salah.
Keadaan ini dapat diredakan dengan menutup mata yang sakit.
Diagnosa berdasarkan :
1. Keterbatasan gerak
2. Deviasi
3. Diplopia.
Ketiga tanda ini menjadi nyata, bila mata digerakkan kearah lapangan kerja
dari otot yang sakit. Pada keadaan parese, dimana keterbatasan gerak mata tak
begitu nyata adanya diplopi merupakan tanda yang penting. Cara
pemeriksaannya dengan tes diplopi.Dengan cara ini dapat diketahui:
1. Pada arah mana didapat diplopia
2. Apakah diplopianya bertambah kesatu arah
3. Mata mana yang menderita.
Dengan demikian dapat diketahui mata mana dan otot mana pada mata itu
yang salah. Caranya : Penderita disuruh mengikuti gerak korek api, dengan
matanya, tanpa menggerakkan kepalanya, yang digerakkan keatas, kebawah,
kekanan dan kekiri, secara maksimal. Diperhatikan apakah timbul diplopia
pada salah satu arah.
Pengukuran derajat deviasinya dengan tes Hirschberg, tes Krimski, tes
Maddox cross.
Kelumpuhan otot dapat mengenai satu otot, biasanya m.rektus lateralis,
m.obliqus superior atau salah satu otot yang diurus oleh N.III. Dapat juga
mengenai beberapa otot yang diurus oleh N.III.

ESOTROPIA PARALITIKUS = ABDUSEN PALCY = NONCOMITANT


ESOTROPIA
Sering terdapat pada orang dewasa yang mendapat trauma dikepala, tumor
atau peradangan dari susunan saraf serebral. Jarang ditemukan pada anak-
anak, yang biasanya disebabkan trauma pada waktu lahir, kelainan kongenital
dari m.rektus lateralis atau persarafannya.
Tanda-tandanya :
 gangguan pergerakan mata kearah luar
 diplopi homonim, yang menjadi lebih hebat, bila mata digerakkan kearah
luar
 kepala dimiringkan kearah otot yang lumpuh
 deviasinya menghilang, bila mata digerakkan kearah yang berlawanan
dengan otot yang lumpuh
 pada anak dibawah 6 tahun, dimana pola sensorisnya belum tetap, timbul
supresi, sehingga tidak timbul diplopia
 pada orang dewasa, dimana esotropianya terjadi sekonyong-konyong,
penderita mengeluh ada diplopia, karena pola sensorisnya sudah tetap dan
bayangan dari obyek yang dilihatnya jatuh pada daerah-daerah retina
dikedua mata yang tidak bersesuaian (corresponderend).1,2

Pengobatan :
Penderita diobati dahulu secara nonoperatif selama 6 bulan, menurut
kausanya, kalau dapat dengan kerjasama beserta seorang ahli saraf. Bila
terdapat diplopia, mata yang sakit ditutup untuk menghilangkan diplopia dan
segala akibatnya. Adapula yang menutup mata yang sehat untuk
menghilangkan diplopianya.
Baik pada anak ataupun dewasa, bila setelah 6 bulan pengobatan belum ada
perbaikan, baru dilakukan operasi, yaitu reseksi dari m.rektus lateralis atau
reseksi dari m.rektus medialis, sebab bila dibiarkan terlalu lama dapat terjadi
atrofi dari otot.

KELUMPUHAN DARI N.III (N. OKULOMOTORIUS)


Pada kelumpuhan total dari saraf ini didapatkan :
 ptosis.
 bola mata hampir tak dapat bergerak. Keterbatasan bergerak kearah atas,
kenasal dan sedikit kearah bawah.
 mata berdeviasi ketemporal, sedikit kebawah. Kepala berputar kearah
bahu pada sisi otot yang lumpuh.
 sedikit eksoftalmus, akibat paralise dari 3 mm rekti yang dalam keadaan
normal mendorong mata kebelakang.
 pupil midriasis, reaksi cahaya negatif, akomodasi lumpuh.
 ada crossed diplopia.
Hal tersebut terjadi oleh karena N.III mengurusi :
M.rektus superior, m.rektus medialis, m.rektus lateralis, m.obliqus inferior, m.
sfingter pupil, mm.siliaris. bila ini semua lumpuh tinggal m.rektus lateralis,
m.obliqus superior yang bekerja, karena itu mata berdeviasi kearah temporal
sedikit kearah bawah dan intorsi (berputar kearah nasal). Pupil lebar tak ada
akomodasi.
Kelumpuhan N.III sering tak sempurna hanya mengenai 2-3 otot saja. Dapat
disertai dengan kelumpuhan dari otot-otot lain. Bila terdapat kelumpuhan dari
semua otot-otot, termasuk otot iris dan badan siliar, disebut oftalmoplegia
totalis. Kalau hanya terdapat kelumpuhan dari otot-otot mata luar, disebut
oftalmoplegia eksterna, yang ini lebih sering terjadi. Kelumpuhan yang
terbatas pada m.sfingter pupil dan badan siliar, disebut oftalmoplegia interna.
Hal ini sering dijumpai misalnya pada :
 pemakaian midriatika, sikloplegia, waktu mengadakan
pemeriksaan fundus atau refraksi
 kontusio bulbi
 akibat lues, difteri, diabetes, penyakit serebral.
Dalam hal ini kita dapatkan pupil lebar, tak ada akomodasi. Pada
oftalmoplegia interna, diobati menurut penyebabnya dan lokal diberikan
pilokarpin atau eserin. Kalau akomodasinya tetap hilang, beri pula kacamata
sferis (+) 3 D untuk pekerjaan dekat. Penyebabnya :
Kelainannya dapat terjadi pada setiap tempat dari korteks serebri keotot.
Macam kelainan dapat eksudat, perdarahan, periostitis, tumor, trauma,
perubahan pembuluh darah yang menyebabkan penekanan atau peradangan
pada saraf. Jarang-jarang disebabkan peradangan atau degenerasi primer. Pada
umumnya disebabkan oleh lues yang dapat menyebabkan tabes, ensefalitis.
Infeksi akut (difteri, influenza), keracunan (alkohol), diabetes mellitus,
penyakit-penyakit sinus, trauma, sebagai penyebab yang lainnya. Terjadinya
bisa sekonyong-konyong ataupun perlahan-lahan, tetapi perjalanan
penyakitnya selalu menahun. Kekambuhan sering terjadi. Kalau telah terjadi
lama, prognosis tidak menguntungkan lagi, karena kemungkinan terjadinya
atrofi dari otot-otot yang lumpuh dan kontraksi dari otot lawannya.1
Pengobatan :
Untuk menghindari diplopia, mata yang sakit ditutup. Ada pula yang menutup
mata yang sehat.
Kalau setelah pengobatan kira-kira 6 bulan tetap lumpuh, dilakukan operasi
reseksi dari otot yang lumpuh disertai resesi dari otot lawannya. Supaya tidak
terjadi atrofi dari otot yang lumpuh. Hasil dari operasi ini sering
mengecewakan, tetapi perbaikan kosmetis mungkin dapat memuaskan.
Kelumpuhan m.rektus medialis :
Menyebabkan strabismus divergens, gangguan gerak kearah nasal, cross
diplopi. Kelainan ini bertambah bila mata digerakkan kearah nasal (aduksi).
Kepala dimiringkan kearah otot yang sakit.
Kelumpuhan m.rektus superior :
Terdapat keterbatasan gerak keatas, hipotropia, diplopia campuran (diplopi
vertikal dan crossed diplopia). Bayangan dari mata yang sakit terdapat diatas
bayangan mata yang sehat. Kelainan bertambah pada gerakan mata keatas.

Kelumpuhan m.rektus inferior :


Terdapat keterbatasan gerak mata kebawah, hipertropia, diplopi campuran,
crossed, yang bertambah hebat bila mata digerakkan kebawah. Bayangan dari
mata yang sakit terletak lebih rendah.
Kelumpuhan m.obliqus superior :
Terdapat keterbatasan gerak kearah bawah terutama nasal inferior, strabismus
yang vertikal, diplopia campuran, terutama vertikal dan homonim yang
bertambah hebat bila mata digerakkan kearah nasal inferior. Bayangan dari
mata yang sakit terletak lebih rendah.1,2
Kelumpuhan m.obliqus inferior :
Terdapat keterbatasan gerak keatas, terutama atas nasal, strabismus vertikal,
diplopia campuran, homonim. Kelainan ini bertambah bila mata digerakkan
kearah temporal atas. Bayangan dari mata yang sakit terletak lebih tinggi.

II. STRABISMUS NONPARALITIK


Disini kekuatan duksi dari semua otot normal dan mata yang berdeviasi
mengikuti gerak mata yang sebelahnya pada semua arah dan selalu berdeviasi
dengan kekuatan yang sama. Deviasi primer (deviasi pada mata yang sakit)
sama dengan deviasi sekunder (deviasi pada mata yang sehat). Mata yang
ditujukan pada obyek disebut fixing eye, sedang mata yang berdeviasi disebut
squinting eye.
Dibedakan strabismus nonparalitika – nonakomodatif - akomodatif –
berhubungan dengan kelainan refraksi.

STRABISMUS NONPARALITIK NONAKOMODATIF :


Deviasinya telah timbul pada waktu lahir atau pada tahun-tahun pertama.
Deviasinya sama kesemua arah dan tidak dipengaruhi oleh akomodasi. Karena
itu penyebabnya tak ada hubungannya dengan kelainan refraksi atau
kelumpuhan otot-otot. Mungkin disebabkan oleh :1
Insersi yang salah dari otot-otot yang bekerja horizontal
Gangguan keseimbangan gerak bola mata, dapat terjadi karena gangguan yang
bersifat sentral, berupa kelainan kwantitas rangsangan pada otot. Hal ini
disebabkan kesalahan persarafan terutama dari perjalanan supranuklear, yang
mengelola konvergensi dan divergensi. Kelainan ini dapat menimbulkan
proporsi yang tidak baik antara kekuatan konvergensi dan divergensi. Untuk
melakukan konvergensi dari kedua mata, harus ada kontraksi yang sama dan
serentak dari kedua m.rektus internus, sehingga terjadi gerakan yang sama dan
simultan dari mata ke nasal. Divergensi dan konvergensi adalah bertentangan,
overaction dari yang satu menyebabkan kelemahan dari yang lain dan
sebaliknya. Rangsangan sentral yang berlebihan untuk konvergensi,
menyebabkan kedudukan bola mata yang normal untuk penglihatan jauh
(divergensi) sedang menjadi strabismus konvergens untuk penglihatan dekat
(konvergensi).
Dibedakan :
1. Kelebihan konvergensi : (convergence excess) pada penglihatan jauh
normal, pada penglihatan dekat timbul strabismus konvergens.
2. Kelebihan divergensi (divergence exess) : pada penglihatan dekat normal.
pada penglihatan jauh timbul strabismus divergens.
3. Kelemahan konvergensi : (convergence insufficiency) : pada penglihatan
jauh normal, pada penglihatan dekat timbul strabismus divergens.
4. Kelemahan divergensi (divergence insufficiency) : pada penglihatan dekat
normal, pada penglihatan jauh timbul strabismus konvergens.
Kekurangan daya fusi : Kelainan daya fusi kongenital sering didapatkan. Daya
fusi ini berkembang sejak kecil dan selesai pada umur 6 tahun. Ini penting
untukk penglihatan binokuler tunggal yang menyebabkan mata melihat lurus.
Tetapi bila daya fusi ini terganggu secara kongenital atau terjadi gangguan
koordinasi motorisnya, maka akan menyebabkan strabismus. Pada kasus yang
idiopatis, kesalahan mungkin terletak pada dasar genetik. Eksotropik dan
esotropia sering merupakan keturunan autosomal dominan. Kadang-kadang
pada anak dengan esotropia, didapatkan orang tuanya dengan esoforia yang
hebat. Tidak jarang strabismus nonakomodatif tertutup oleh faktor akomodatif,
sehingga bila kelainan refraksinya dikoreksi, strabismusnya hanya diperbaiki
sebagian saja.
Tanda-tanda :
1. Kelainan kosmetik, sehingga pada anak-anak yang lebih besar merupakan
beban mental.
2. Tak terdapat tanda-tanda astenopia.
3. Tak ada hubungan dengan kelainan refraksi.
4. Tak ada diplopia, karena terdapat supresi dari bayangan pada mata yang
berdeviasi.
Pada strabismus yang monokuler, karena supresi dapat terjadi ambliopia ex
anopsia. Bila deviasinya mulai pada umur muda dan sudut deviasinya besar, maka
bayangan dimakula yang terdapat pada mata yang fiksasi (fixing eye) terdapat
didaerah diluar makula pada mata yang berdeviasi (squiting eye). Jadi terdapat
abnormal retinal correspondence (binocular fals projection). Pengukuran derajat
deviasinya dilakukan dengan : tes Hisrchberg, tes Krimsky, tes Maddox cross.
Pemeriksaan kekuatan duksi untuk mengukur kekuatan otot. 1,2,5
Pengobatan :
1. Preoperatif
2. Operatif
Ad. 1. Preoperatif :
Pengobatan yang paling ideal pada setiap strabismus adalah bila tercapai hasil
fungsionil yang baik, yaitu penglihatan binokuler yang normal dengan stereopsis,
disamping perbaikan kosmetik. Hal ini sukar dicapai karena tergantung dari pada :
1. lamanya strabismus.
2. umur anak pada waktu diperiksa.
3. sikap orang tuanya.
4. kelainan refraksi.
Pada strabismus yang sudah berlangsung lama dan anak berumur 6 tahun atau
lebih pada waktu diperiksa pertama, maka hasil pengobatannya hanya kosmetis
saja.
Sedapat mungkin ambliopia pada mata yang berdeviasi harus dihilangkan dengan:
1. Menutup mata yang normal (terapi oklusi = patching).
Dengan demikian penderita dipaksa untuk memakai matanya yang berdeviasi.
Biasanya ketajaman penglihatannya menunjukkan perbaikan dalam 4-10 minggu.
Penutupan ini mempunyai pengaruh baik pada pola sensorisnya retina, tetapi tidak
mempengaruhi deviasi. Sebaiknya terapi penutupan sudah dimulai sejak usia 6
bulan, untuk hindarkan timbulnya ambliopia. Pada anak berumur dibawah 5 tahun
dapat diteteskan sulfas atropin 1 tetes satu bulan, sehingga mata ini tak dipakai
kira-kira 2 minggu. Ada pula yang menetesinya setiap hari dengan homatropin
sehingga mata ini beberapa jam sehari tak dipakai. Sedang pada anak-anak yang
lebih besar, dilakukan penutupan matanya 2-4 jam sehari. Penetesan atau
penutupan jangan dilakukan terlalu lama, karena takut menyebabkan ambliopia
pada mata yang sehat ini.
2. Pengobatan dengan cara penutupan, pada anak yang sudah mengerti (3 tahun),
harus dikombinasikan dengan latihan ortoptik untuk mendapatkan penglihatan
binokuler yang baik. Kalau pengobatan preoperatif sudah cukup lama dilakukan,
kira-kira 1 tahun, tetapi tak berhasil, maka dilakukan operasi.
Tindakan operatif sebaiknya dilakukan pada umur 4-5 tahun, supaya bila masih
ada strabismusnya yang belum terkoreksi dapat dibantu dengan latihan.
Prinsip operasinya :
 reseksi dari otot yang terlalu kuat
 reseksi dari otot yang terlalu lemah. 4

ESOTROPIA NONAKOMODATIVA,
Meliputi lebih dari setengahnya strabismus nonparalitika. Deviasinya sudah
timbul pada waktu lahir atau pada tahun-tahun pertama. Deviasinya sama
kesemua arah dan tak terpengaruhi oleh akomodasi, tak ada hubungan dengan
kelainan refraksi atau kelumpuhan otot.
Penyebabnya mungkin insersi yang salah dari otot bekerja horizontal, kelainan
persarafan supranuklear atau kelainan genetis.1,2
Pengobatan :
Terapi penutupan secepat mungkin, disamping latihan ortoptik, sebelum dilakukan
tindakan operatif ;
a. resesi dari m.rektus medialis
b. reseksi dari m.rektus lateralis.

STRABISMUS NONPARALITIKA AKOMODATIVA :


Gangguan keseimbangan konvergensi dan divergensi dapat juga berdasarkan
akomodasi, jadi berhubungan dengan kelainan refraksi.

Dapat berupa :
 strabismus konvergens (esotropia)
 strabismus divergens (eksotropia).
Pemeriksaan yang dilakukan :
Pemeriksaan refraksi harus dilakukan dengan sikloplegia, untuk menghilangkan
pengaruh dari akomodasi.
Caranya :
 Pada anak-anak dengan pemberian sulfas atropin 1 tetes sehari,
tiga hari berturut-turut, diperiksa pada hari keempat.
 Pada orang dewasa diteteskan homatropin 1 tetes setiap 15
menit, tiga kali berturut-turut, diperiksa 1 jam setelah tetes terakhir.
Pengukuran derajat deviasi dengan tes Hirschberg, tes Krismky, tes Maddox cross.
1,4,5

Pemeriksaan kekuatan duksi, untuk mengukur kekuatan otot yang bergerak pada
arah horizontal (adduksi = m.rektus medialis; abduksi = m.rektus lateralis).

Pengobatan :
1. koreksi dari kelainan refraksi, dengan sikloplegia.
2. hindari ambliopia dengan penetesan atropin atau penutupan pada mata yang
sehat.
3. meluruskan aksis visualis dengan operasi (mata menjadi ortofori).
4. memperbaiki penglihatan binokuler dengan latihan ortoptik.

STRABISMUS KONVERGENS NONPARALITIK AKOMODATIF


(KONKOMITAN AKOMODATIF)
Dinamakan juga esotropia, dimana mata berdeviasi kearah nasal. Kelainan ini
berhubungan dengan hipermetropia atau hipermetropia yang disertai astigmat.
Tampak pada umur muda, antara 1-4 tahun, dimana anak mulai mempergunakan
akomodasinya untuk melihat benda-benda dekat seperti mainan atau gambar-
gambar. Mula-mula timbul periodik, pada waktu penglihatan dekat atau bila
keadaan umumnya terganggu, kemudian menjadi tetap, baik pada penglihatan
jauh ataupun dekat.
Kadang-kadang dapat menghilang pada usia pubertas. Anak yang hipermetrop,
mempergunakan akomodasi pada waktu penglihatan jauh, pada penglihatan dekat
akomodasi yang dibutuhkan lebih banyak lagi. Akomodasi dan konvergensi erat
hubungannya, dengan penambahan akomodasi konvergensinyapun bertambah
pula. Pada anak dengan hipermetrop ini, mulai terlihat esoforia periodik pada
penglihatan dekat, disebabkan rangsangan berlebihan untuk konvergensi. Lambat
laun kelainan deviasi ini bertambah sampai fiksasi binokuler untuk penglihatan
dekat tak dapat dipertahankan lagi, dan terjadilah strabismus konvergens untuk
dekat. Kemudian terjadi pula esotropia pada penglihatan jauh.
Pengobatan :
1. Koreksi refraksi dengan sikloplegia. Harus diberikan koreksi dari
hipermetropia totalis, dan kacamata dipakai terus-menerus. Karena terdapat
akomodasi yang berlebihan, juga dapat diberikan kacamata untuk dekat
meskipun belum usia presbiopia, untuk mengurangi akomodasinya. Jadi
diberikan kacamata bifokal.
2. Mata yang sehat ditutup atau ditetesi atropin untuk memperbaiki visus pada
mata yang sakit, 1 tetes 1 bulan 1 kali dapat juga dengan homatropin setiap
hari atau penutupan mata yang sehat. Kacamata harus diperiksa berulang kali,
karena mungkin terdapat perubahan, sampai kelainan refraksinya tetap.
3. Latihan ortoptik harus dilakukan bersamaan dengan perbaikan koreksi untuk
memperbaiki pola sensorik dari retina, sehingga memperbesar kemungkinan
untuk dapat melihat binokuler.
4. Kalau setelah tindakan diatas esotropianya masih ada, dan kelainan deviasinya
tidak begitu besar, dapat diberikan koreksi dengan prisma, basis temporal.
5. Bila semua tindakan tidak menghilangkan kelainan deviasinya, maka
dilakukan operasi, untuk meluruskan matanya.
6. Setelah operasi, diteruskan latihan ortoptik untuk memperbaiki penglihatan
binokuler. Pada esotropia untuk jarak jauh, dilakukan reseksi m.rektus
eksternus, (otot yang lemah). Pada esotropi jarak dekat, perlu resesi m.rektus
internus (otot yang kuat). Untuk esotropi yang hebat, lebih dari 30 derajat,
terjadi jauh dekat, dilakukan operasi kombinasi. 1

STRABISMUS DIVERGENS NONPARALITIK AKOMODATIF (EKSOTROPI


KONKOMITAN AKOMODATIF)
Mata berdeviasi kearah temporal. Hubungannya dengan miopia. Sering juga
didapat, bila satu mata kehilangan penglihatannya sedang mata yang lain
penglihatannya tetap baik, sehingga rangsangan untuk konvergensi tak ada, maka
mata yang sakit berdeviasi keluar.
Strabismus divergens biasanya mulai timbul pada waktu masa remaja atau dewasa
muda. Lebih jarang terjadi.
Dapat dimulai dengan :
1. Kelebihan divergensi
2. Kelemahan konvergensi.
Pada miopia mulai dengan kelemahan akomodasi pada jarak dekat, orang miop
hanya sedikit atau tidak memerlukan akomodasi, sehingga menimbulkan
kelemahan konvergensi dan timbullah kelainan eksotropia untuk penglihatan
dekat sedang untuk penglihatan jauhnya normal. tetapi pada keadaan yang lebih
lanjut, timbul juga eksotropia pada jarak jauh. Bila penyebabnya divergens yang
berlebihan, yang biasanya merupakan kelainan primer, mulai tampak sebagai
eksotropia untuk jarak jauh. Tetapi lama kelamaan kekuatan konvergensi
melemah, sehingga menjadi kelainan yang menetap, baik untuk jauh maupun
dekat.
Pengobatan :
1. Koreksi penuh dari miopinya, ditambah overkoreksi 0,5-0,75 dioptri untuk
memaksa mata itu berakomodasi, kacamata ini harus dipakai terus-
menerus.
2. Latihan ortoptik, untuk memperbaiki penglihatan binokuler, disamping
terapi oklusi.
3. Operasi, bila cara yang terdahulu tak memberikan pengobatan yang
memuaskan.
Pada eksotropia hanya untuk jarak jauh, dilakukan dari m.rektus lateralis,
sedang pada kelemahan dari daya konvergensi, yang timbulkan eksotropia
pada jarak dekat dilakukan reseksi dari m.rektus medialis. Untuk
eksotropia yang menetap untuk jauh dan dekat, dilakukan operasi
kombinasi. Bila kelainan deviasinya tak begitu besar, dapat dicoba dulu
dengan kacamata prisma basis nasal.
Pada bayi dan anak kecil ada kecenderungan konvergensi yang berlebihan,
yang dipengaruhi oleh persarafan supranuklear. Kecenderungan untuk
berdivergensi menjadi lebih besar dengan bertambahnya umur. Karena itu,
bila tidak ada daya untuk berfusi, seperti pada mata yang buta atau mata
dengan visus yang sangat menurun, maka mata ini akan berdeviasi kenasal
pada anak-anak sampai umur 6 tahun dan pada orang-orang yang lebih
dari 6 tahun usianya akan berdeviasi kearah temporal. 1

ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien anak laki-laki umur 8 tahun datang ke IGD RS Dr. M.


Djamil Padang pada tanggal 14 Agustus 2008 rujukan dari RSAM Bukittinggi
dengan diagnosis Ruptur kornea OD, post hecting kornea dengan prolaps vitreus
+ suspek luxatio lensa posterior.
Keluhan Utama
mata kanan terkena lenting paku sejak 16 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
- Mata kanan terkena lenting paku sejak 16 hari sebelum masuk rumah
sakit, setelah itu mata memerah.
- pasien mengeluhkan adanya bayangan hitam ditengah lapang pandang
mata kanan.
- Pasien kemudian berobat ke RSAM dilakukan jahitan kornea.
- Pasien dirawat ± 10 hari, kemudian dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil
dengan diagnosis susp luxatio lensa posterior post op.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada yang penting.
Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
- Kedaaan Umum : Sakit sedang
- Kesadaran : Compos mentis cooperatif
- Frekuensi Nadi : 84x / menit
- Frekuensi Nafas : 20x / menit
- Suhu : Afebris
Status Generalisata : Dalam batas normal
Status Opthalmikus
OD OS
Visus tanpa koreksi 1/300 5/5
Visus dengan koreksi
Reflek Fundus _ +
Supersilia/silia Madarosis(-), trikiasis(-) Madarosis(-), trikiasis(-)
Palpebra superior Edem (-) Edem (-)
Palpebra inferior
Aparat lakrimalis Normal Normal
Konjungtiva tarsalis Papil (-), edem (-) Papil (-), edem (-)

Konjungtiva forniks Hiperemis (-) Hiperemis (-)


Konjungtiva bulbi Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Sklera Putih Putih
Kornea Hecting(+) sentral,tenang Bening
COA Cukup dalam, vitreus (+) Cukup dalam
Iris Tidak beraturan Coklat, rugae (+)
Pupil Lonjong, refleks (+) Bulat, refleks (+)
Lensa Afakia, luksasi post (+) Bening
Fundus
- media Sukar dinilai Bening
- papil Bulat, batas tegas
- pembuluh darah Aa : Vv = 2 : 3
- retina Perdarahan (-), eksudat(-)
- makula Refleks fovea (+)
Tekanan Bulbus Okuli Normal (P) Normal (P)
Gerakan Bulbus Okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Posisi Bulbul Okuli Ortho Ortho

Diagnosis Kerja
Post Heacting Kornea OD dengan prolaps vitreus + luksasi lensa ke
posterior.
Terapi
C. Tropin 2x1 OD
Floxa 6x1 OD
Noncort 4x1 OD
Prednison 5 tablet
Mata ditutup dengan verban

DISKUSI

Seorang pasien laki – laki berumur 8 tahun dirawat di bangsal mata RSUP
Dr. M Djamil Padang dengan diagnosis Post Heacting Kornea OD dengan Prolaps
Vitreus + Luxatio Lensa Posterior. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan mata kanan terkena lenting
paku, kemudian mata memerah, terdapat bayangan hitam ditengah lapang
pandang mata kanan, kemudian berobat ke RSAM dilakukan jahitan pada mata,
pasien dirawat ± 10 hari setelah itu dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil dengan
diagnosis susp luxatio lensa posterior post op. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
visus yang menurun, konjungtiva bulbi hiperemis, bekas heacting kornea, iris
tidak beraturan, pupil lonjong, dan lensa terdapat pada korpus vitreus.
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu mata diistirahatkan dengan cara
menutupnya dengan kasa steril, diberikan floxa untuk mencegah infeksi pada
mata. Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi reaksi inflamasi pada mata
kanan. Tindakan pembedahan berupa pengangkatan lensa perlu dilakukan bila
telah terdapat komplikasi pada mata. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk mendeteksi adanya komplikasi pada pasien ini, komplikasi
dapat berupa glaukoma dan uveitis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wijana. N, 1993, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal,


Jakarta, 282-311.
2. Voughan D, Asbury T, 1996, Strabismus, dalam Oftalmologi Umum, edisi
II, Jilid 1, Widya Medika, Jakarta, 237-263.
3. Glasspool. MG, 1994, Strabismus, dalam Atlas Berwarna Oftalmologi,
Widya Medika, Jakarta, 91-96.
4. Ilyas S, 1998, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 233-265.
5. Ilyas S, 2000, Strabismus, dalam Sari Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, 181-194.

Anda mungkin juga menyukai