Anda di halaman 1dari 11

http://jurnal.fk.unand.ac.

id1

Clinical Science Section

Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring


Nurul Husna Muchtar, Shafrina Irza

Abstrak
Karsinoma nasofaring merupakan karsinoma sel skuamosa epitel permukaan nasofaring dan merupakan
urutan pertama dari seluruh kanker di bagian THT-KL Indonesia. Tinjauan pustaka : Etiologi karsinoma nasofaring
masih belum diketahui pasti, namun diduga berhubungan dengan virus Epstein Barr dan faktor lain seperti ras,
genetik, gaya hidup, pekerjaan, dan sosial-ekonomi. Diagnosis karsinoma nasofaring didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti endoskopi, radiologi, dan histopatologi. Penatalaksanaan
karsinoma nasofaring disesuaikan dengan klasifikasi dan stadium karsinoma nasofaring. Beberapa modalitas yang
dapat dipilih adalah radioterapi, kemoterapi, kombinasi radioterapi dan kemoterapi, simptomatik, dan pembedahan.
Kata kunci: karsinoma nasofaring, diagnosis, tatalaksana

Abstract
Nasopharyngeal carcinoma is squamous cell carcinomas derived from epithelial surface of the nasopharynx
and it is the most frequent carcinoma in ORL-HNS in Indonesia. Literature review: Etiology is still unclear, but research
lead to Epstein Barr Virus infection and another factor such as race, genetic, lifestyle, occupation, and social-economic
condition were related to nasopharyngeal carcinoma incidence. Diagnosis is obtained by history, physical examination,
and ancillary tests including endoscopy, radiology, and histopathology. Management of nasopharyngeal carcinoma
based on its classification and stadium. There are some therapy modalities such as radiotherapy, chemotherapy,
combination, simptomatic, and surgery.
Keywords: nasopharyngeal carcinoma, diagnosis, treatment

PENDAHULUAN sudah mengganggu dan tumor telah mengadakan


1.1 Latar Belakang infiltrasi serta metastase pada pembuluh limfe
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor servikal. Hal ini merupakan keadaan lanjut dan
ganas kepala dan leher yang berasal dari sel biasanya prognosis jelek.1
skuamosa epitel permukaan nasofaring yang 1.2 Batasan Penulisan
berkembang di sekitar ostium tuba Eustachius di Penulisan referat ini terbatas pada anatomi,
dinding lateral nasofaring dengan predileksi di fossa definisi, epidemiologi, etiologi dan faktor risiko,
1,2
Rossenmuller. patogenesis, manifestasi kllinis, diagnosis, stadium,
Berdasarkan data International Agency for penatalaksanaan dan prognosis karsinoma nasofaring.
Reaserch on Cancer (IARC) terdapat sekitar 86.691 1.3 Tujuan Penulisan
kasus baru yang terdiagnosis di seluruh dunia pada Tujuan penulisan referat ini antara lain sebagai
tahun 2012. Berdasarkan laporan WHO tahun 2014, berikut:
angka kejadian KNF mencapai 0,7% dari semua 1. Salah satu syarat dalam menjalkani kepaniteraan
keganasan dan telah dilaporkan 80.000 kasus baru klinik bagian THT-KL Fakultas Kedokteran
3
pertahun. Berdasarkan GLOBOCAN 2012, angka Universitas Andalas.
kematian akibat KNF mencapai 51.000 (36.000 pada 2. Menambah pengetahuan mengenai definisi,
laki-laki dan 15.000 pada perempuan).3 Di Indonesia, epidemiologi, etiologi dan faktor risiko,
KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
kanker payudara, kanker leher rahim dan kanker paru stadium, penatalaksanaan dan prognosis
serta merupakan tumor ganas terbanyak ditemukan karsinoma nasofaring.
pada daerah kepala – leher.4 1.4 Metode Penulisan
Karsinoma nasofaring sangat sulit didiagnosa, Penulisan referat ini menggunakan metode
disebabkan letaknya sangat tersembunyi sehingga tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai
sedikit pasien yang datang berobat pada keadaan dini. literatur dan makalah ilmiah.
Biasanya pasien baru datang berobat bila gejala
TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 1(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id2

2.1 Anatomi Tiap dinding lateral nasofaring terdapat muara


Faring dibagi atas tiga regio: nasofaring, dari tuba faringotimpanik (tuba eustachius). Muara
orofaring, dan hipofaring. Nasofaring merupakan tuba (torus tubarius) ini terletak sekitar 1 cm
suatu ruang atau rongga yang terletak di belakang dibelakang ujung posterior dari konka inferior, sedikit
5
hidung di atas tepi bebas palatum. Rongga ini di bawah dari palatum durum. Ujung medial dari
sangat sulit untuk dilihat, sehingga dahulu disebut kartilago tuba membuka, terbentuk seperti koma. Di
6,7
“rongga buntu atau rongga tersembunyi”. Nasofaring belakang dan atas dari kartilago tuba terdapat
merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, faringeal reses atau fossa Rosenmuller yang
8
belakang dan lateral. Ukuran rata-rata dimensi berbentuk suatu lekuk kecil yang terletak di
nasofaring pada orang dewasa adalah dengan tinggi sebelah belakang torus tubarius. Lekuk kecil ini
9
4 cm, lebar 4 cm dan jarak anteroposteriornya 3 cm. diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang
disebut sulkus salfingofaring. Fossa Rosenmuller
merupakan tempat perubahan atau pergantian epitel
dari epitel kolumnar/kuboid menjadi epitel pipih.
Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel
yang bermacam-macam, yaitu epitel kolumnar
simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis, epitel
kolumnar berlapis bersilia, dan epitel kolumnar
berlapis semu bersilia. Tempat peralihan atau celah-
celah epitel yang masuk ke jaringan limfe merupakan
predileksi awal terjadinya keganasan nasofaring di
bawahnya asal tumor ganas.10,7
Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring Tampak Samping 7 Jaringan lunak pembentuk rongga nasofaring
a. Selaput lendir (mukosa) nasofaring
Mukosa nasofaring permukaannya tidak rata
berupa tonjolan dan lekukan. Pada orang dewasa
luasnya lebih kurang 50 cm persegi. Kira-kira 60% dari
total permukaan epitel dilapisi oleh epitel berlapis
gepeng. Disekitar koana dan atap nasofaring diliputi
oleh epitel bersilia. Dinding lateral dan sebagian atap
nasofaring terdiri dari kumpulan epitel skuamosa dan
epitel bersilia, bercampur dengan kumpulan-kumpulan
epitel kecil transisional. Dinding belakang sebagian
besar terdiri dari epitel skuamosa.9
Selaput lendir ini terdiri dari lapisan epitel,
jaringan limfoid dan kelenjar saliva. Jaringan kelenjar
Gambar 2.2 Anatomi Nasofaring Tampak Belakang 7 limfoid terletak di dalam dan di bawah mukosa yang
Batas-batas nasofaring merupakan kumpulan sel limfoid tipe B dan sedikit tipe
Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas
T yang membentuk folikel-folikel dan pusat germinal
posterior dari septum nasi. Dinding bawahnya
tanpa kapsul. Aliran limfe dari nasofaring bersifat
dibentuk oleh permukaan atas dari palatum mole yang
bilateral dan langsung ke bagian lateral kelenjar limfe
membentuk dua pertiga depan nasofaring dan oleh
retrofaringeal dari Rouviere, kelenjar limfe
itsmus nasofaringeal. Atap dan dinding posterior
jugulodigastrik, dan rantai kelenjar limfe spinalis.
membentuk permukaan yang miring dibentuk oleh
Jaringan epitel mukosa nasofaring bentuknya sangat
tulang sfenoid, basal oksiput dan dua tulang servikal
bervariasi dan terdiri dari epitel skuamosa bertingkat,
yang paling atas setinggi palatum mole. Bagian paling
pseudoepitel bertingkat bersilia dan epitel tak
atas dari dinding posterior, tepat di depan dari tulang
beraturan. Selama masa kehidupan janin terdapat
atlas terdapat jaringan limfoid yang melekat pada
perubahan secara bertahap dari epitel saluran nafas
mukosa (tonsil faringeal atau adenoid).9

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 1(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id3

bersilia sampai epitel skuamosa di bagian bawah dan


belakang nasofaring.9
b. Jaringan submukosa nasofaring
Dinding posterior dibentuk oleh 4 lapisan yaitu (1)
mukosa faring, (2) aponeurosis faring, (3) otot
konstriktor faringeus superior, (4) fasia bukofaringeal.
Otot dinding nasofaring tidaklah lengkap, pada bagian
atas dinding lateral hanya terdiri atas 2 lapisan yaitu,
mukosa dan aponeurosis faring. Daerah dengan
struktur otot 2 lapis ini disebut sinus morgagni. Fasia
faring dinding posterior dan lateral melekat pada
tuberculin faring yang merupakan tonjolan tulang dari
basis oksiput dan berada tepat di depan foramen Gambar 2.3. Perdarahan nasofaring
magnum. Ke arah lateral dari masing-masing sisi,
fasia ini berada pada permukaan bawah pyramid
petrosus dan terdapat di depan kanalis karotikus dan
anterior terdapat pada apeks dari pars petrosus os
temporal dan merupakan batas posterior dari lamina
pterigoid interna. Fasia ini melanjutkan diri sebagai
jaringan fibrosa dan mengisi foramen laserum yang
hanya dipisahkan dari fossa kranii media oleh jaringan
fibrokartilago.11,12
Perdarahan dan persarafan
Perdarahan nasofaring berasal dari cabang-
cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri faringeal
ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden,
dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Pleksus
vena terletak di bawah selaput lendir nasofaring dan Gambar 2.4 Persarafan nasofaring
berhubungan dengan pleksus pterigoid di atas dan
Sistem limfatik nasofaring
vena jugularis interna di bawah. Daerah nasofaring Nasofaring mempunyai anyaman limfatik
dipersarafi oleh pleksus faringeal di atas otot submukosa yang banyak. Bagian aliran limfe yang
konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri pertama adalah pada kelenjar di retrofaringeal yang
atas serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), terdapat diantara dinding posterior nasofaring, fascia
serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf faringobasilar dan fascia prevertebra.9 Pada
ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang
sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus terutama mengalir ke lateral, bermuara di kelenjar
hanya daerah superior nasofaring dan anterior retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).8 Kumpulan
orifisium tuba yang mendapat persarafan sensoris dari jaringan limfe, disebut tonsil faringeal, dijumpai pada
cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal membran mukosa yang melapisi basis sfenoid.10
dari cabang maksila saraf trigeminus (V1). 11,12 Dibandingkan dengan mukosa saluran napas
lainnya, mukosa nasofaring mengandung banyak
jaringan limfoid. Struktur limfoid ini banyak terdapat di
dinding lateral terutama disekitar muara tuba
eustakius, dinding posterior dan bagian nasofaring di
palatum mole. Struktur limfoid ini merupakan lengkung
bagian atas dari cincin Waldeyer.9

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 1(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id4

penderita KNF saat munculnya tumor lebih kurang 50


tahun.13
Frekuensi pasien KNF di Indonesia hampir merata
di tiap daerah. RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo
Jakarta saja mencatat lebih dari 100 kasus
setahun dan RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60
kasus, Ujung Pandang 25 kasus dan Palembang 25
kasus.1 Di RSUP Dr. M Djamil Padang tercatat 44
kasus dalam rentang Juni 2010 – Juli 2013 dengan
sebaran umur 17 sampai 75 tahun dengan insiden
tertinggi pada umur 41 sampai 65 tahun.14
Gambar 2.5 Kelenjar getah bening daerah kepala 2.4 Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi KNF masih belum pasti, namun diduga
dan leher
2.2 Definisi kuat berhubungan dengan infeksi virus Eptein Barr
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer
ganas kepala dan leher yang berasal dari sel antivirus EBV yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi
skuamosa epitel permukaan nasofaring yang dari titer orang sehat, pasien tumor ganas kepala leher
berkembang di sekitar ostium tuba Eustachius di lainnnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada
dinding lateral nasofaring dengan predileksi di fossa kelainan nasofaring sekalipun. Namun virus ini bukan
Rossenmuller.1,2 satu-satunya penyebab terjadinya KNF. Banyak faktor
2.3 Epidemiologi
lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan
Berdasarkan laporan WHO tahun 2014, angka
timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis
kejadian KNF mencapai 0,7% dari semua keganasan
kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan
dan telah dilaporkan 80.000 kasus baru pertahun.
hidup, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit.1
Insiden KNF di Amerika Utara dan Eropa dilaporkan Beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring
kurang dari 1 kasus per 100.000 penduduk per tahun, antara lain virus Epstein Barr, ikan asin, kurang
tetapi pada daerah endemik seperti Cina Selatan konsumsi buah dan sayuran segar, tembakau, asap
(Hong Kong) dan Asia Tenggara insiden KNF 20 lain, alkohol, obat herbal, paparan pekerjaan, paparan
hingga 30 kasus per 100.000 penduduk pada laki- laki lain, familial clustering, Human Leukocyte Antigen
dan 8 hingga 15 kasus per 100.000 penduduk pada Genes, dan variasi genetik lain.15
perempuan.3 Berdasarkan GLOBOCAN 2012, angka Virus Epstein Barr
EBV merupakan faktor risiko mayor KNF.
kematian akibat KNF mencapai 51.000 (36.000
Sebagian besar infeksi EBV tidak menimbulkan
pada laki-laki dan 15.000 pada perempuan).3
gejala. EBV menginfeksi dan menetap secara
Di Indonesia, KNF merupakan keganasan
laten pada 90% populasi dunia. Di Hong Kong,
terbanyak ke-4 setelah kanker payudara, kanker leher
80% anak terinfeksi pada umur 6 tahun, hampir
rahim dan kanker paru serta merupakan tumor ganas
100% mengalami serokonversi pada umur 10
terbanyak ditemukan pada daerah kepala – leher,
tahun. Infeksi EBV primer biasanya subklinis.
hampir 60% tumor ganas kepala dan leher
Transmisi utama melalui saliva, biasanya pada negara
merupakan KNF, kemudian diikuti tumor ganas
berkembang yang kehidupannya padat dan kurang
hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%),
bersih. Limfosit B adalah target utama EBV, jalur
dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring
masuk EBV ke sel epitel masih belum jelas, replikasi
dalam presentase rendah.4,1 KNF terutama ditemukan
EBV dapat terjadi di sel epitel orofaring. Virus Epstein-
pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria
Barr dapat memasuki sel-sel epitel orofaring, bersifat
dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia
menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan
antara 25 hingga 60 tahun.4 Secara umum pasien KNF
sepanjang masa (long-life). Antibodi Anti-EBV
lebih muda dibandingkan pasien yang menderita
ditemukan lebih tinggi pada pasien KNF. Peningkatan
tumor kepala dan leher lainnya. Rata- rata umur
antibodi IgG dan IgA juga terjadi pada pasien KNF, hal

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 1(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id5

ini dijadikan pedoman tes skrining KNF pada populasi dan mempunyai riwayat terkena asap hasil bakaran
dengan risiko tinggi. kayu bakar. Pajanan asap hasil kayu bakar lebih dari
Konsumsi Ikan Asin
10 tahun meningkatkan 6 kali lipat terkena karsinoma
Paparan non-viral yang paling konsisten dan
nasofaring.
berhubungan kuat dengan risiko KNF adalah
Obat Herbal
konsumsi ikan asin. Konsumsi ikan asin Pada populasi Asia, beberapa penelitian
meningkatkan risiko 1,7 sampai 7,5 kali lebih tinggi melaporkan 2 sampai 4 kali lipat peningkatan risiko
dibanding yang tidak mengkonsumsi. Diet konsumsi karsinoma nasofaring karena penggunaan obat herbal
ikan asin lebih dari tiga kali sebulan meningkatkan tradisional, tetapi tiga penelitian di Cina Selatan tidak
risiko KNF. Potensi karsinogenik ikan asin didukung menemukan hubungan obat herbal dengan karsinoma
dengan penelitian pada tikus disebabkan proses nasofaring. Di Filipina, penggunaan obat herbal
pengawetan dengan garam tidak efisien sehingga tradisional meningkatkan risiko karsinoma nasofaring,
terjadi akumulasi nitrosamin yang dikenal karsinogen terutama pada orang yang mempunyai titer antibodi
pada hewan. 62% pasien KNF mengonsumsi secara anti-HBV tinggi.
Pajanan Pekerjaan
rutin makanan fermentasi yang diawetkan. Tingginya
Pajanan pekerjaan terhadap asap, debu atau
konsumsi nitrosamin dan nitrit dari daging, ikan dan
bahan kimia lain meningkatkan risiko karsinoma
sayuran yang berpengawet selama masa kecil
nasofaring 2 sampai 6 kali lipat. Peningkatan risiko
meningkatkan risiko KNF. 88% penderita KNF
karsinoma nasofaring karena pajanan kerja terhadap
mempunyai riwayat konsumsi daging asap secara
formaldehid sekitar 2 sampai 4 kali lipat. Stimulasi
rutin.
dan inflamasi jalan nafas kronik, berkurangnya
Buah dan Sayuran Segar
Konsumsi buah dan sayuran segar seperti pembersihan mukosiliar, dan perubahan sel epitel
wortel, kubis, sayuran berdaun segar, produk kedelai mengikuti tertumpuknya debu kayu di nasofaring
segar, jeruk, vitamin E atau C, dan karoten terutama memicu karsinoma nasofaring, paparan ke pelarut dan
pada saat anak-anak, menurunkan risiko KNF. Efek pengawet kayu, seperti klorofenol juga memicu
protektif ini berhubungan dengan efek antioksidan dan karsinoma nasofaring. Paparan debu katun yang
pencegahan pembentukan nitrosamin. hebat meningkatkan risiko karsinoma nasofaring
Tembakau
karena iritasi dan infl amasi nasofaring langsung
Sejak tahun 1950 sudah dinyatakan bahwa
atau melalui endotoksin bakteri. Paparan tempat
merokok menyebabkan kanker. Merokok
kerja yang panas atau produk bakaran meningkatkan
menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta per
dua kali lipat risiko terkena karsinoma nasofaring.
tahunnya dan diperkirakan menjadi 10 juta per
Paparan debu kayu di tempat kerja lebih dari 10 tahun
tahunnya pada 2030. Rokok mempunyai lebih dari
meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring.
4000 bahan karsinogenik, termasuk nitrosamin yang
Pajanan Lain
meningkatkan risiko menderita KNF. Kebanyakan Riwayat infeksi kronik telinga, hidung, tenggorok
penelitian menunjukkan merokok meningkatkan dan saluran napas bawah meningkatkan risiko
risiko KNF sebanyak 2 hingga 6 kali. Merokok lebih karsinoma nasofaring sebanyak dua kali lipat. Bakteri
dari 30 bungkus per tahun mempunyai risiko tinggi yang menginfeksi saluran nafas dapat mengurai nitrat
menjadi nitrit, kemudian dapat membentuk bahan
terkena KNF. Kebanyakan penderita KNF merokok
nitroso yang karsinogenik. Di Taiwan, kebiasaan
selama minimal 15 tahun (51%) dan mengonsumsi
mengunyah betel nut (Areca catechu) selama lebih
tembakau dalam bentuk lain (47%). Merokok lebih dari
dari 20 tahun berhubungan dengan peningkatan
40 tahun meningkatkan 2 kali lipat risiko KNF.
70% risiko karsinoma nasofaring. Sebuah penelitian
Asap lain
ekologi di Cina Selatan menemukan 2 sampai 3 kali
Beberapa peneliti menyatakan bahwa insidens
lipat kadar nikel di nasi, air minum, dan rambut
karsinoma nasofaring yang tinggi di Cina Selatan
penduduk yang tinggal di wilayah dengan insiden
dan Afrika Utara disebabkan karena asap dari
karsinoma nasofaring yang tinggi. Penelitian lain
pembakaran kayu bakar. 93% penderita karsinoma
menyatakan bahwa kandungan nikel, zinc dan
nasofaring tinggal di rumah dengan ventilasi buruk
cadmium pada air minum lebih tinggi di wilayah yang

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 1(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id6

tinggi insiden karsinoma nasofaring. Kadar nikel pada dari EBV serta pengaruh gangguan kromosom
air minum, kadar elemen alkali seperti magnesium, berkembang menjadi kanker invasif. Metastasis dari
kalsium, strontium yang rendah pada tanah, dan tumor ini dipengaruhi oleh adanya mutasi p53 dan
tingginya kadar radioaktif seperti thorium dan ekspresi berlebihan dari kaderin.16
uranium pada tanah berperan pada mortalitas
karsinoma nasofaring. Risiko karsinoma nasofaring
juga meningkat berhubungan dengan makanan
berpengawet.
Familial Clustering
Kerabat pertama, kedua, ketiga pasien
karsinoma nasofaring lebih berisiko terkena karsinoma
nasofaring. Orang yang mempunyai keluarga tingkat
pertama menderita karsinoma nasofaring mempunyai Gambar 2.6 Alur Karsinogenesis Karsinoma
risiko empat sampai sepuluh kali dibanding yang tidak. Nasofaring16
Risiko kanker kelenjar air liur dan serviks uterus
2.6 Manifestasi Klinis 13,7
juga meningkat pada keluarga dengan kasus Gejala KNF berhubungan dengan lokasi
karsinoma nasofaring. Kasus familial biasanya pada anatomi tumor primer dan metastasis. Gejala yang
tipe II dan III, sedangkan tipe I non familial. sering timbul dapat dibagi menjadi empat kelompok:
Human Leukocyte Antigen Genes Gangguan pendengaran
Di Cina Selatan dan populasi Asia lain, Human Dapat berupa otalgia, otore dan tinitus. Gejala
Leukocyte Antigen A2-B46 dan B-17 berhubungan ini muncul karena gangguan fungsi tuba eustachius
dengan peningkatan dua sampai tiga kali lipat akibat tumor yang menutupi muara tuba atau
risiko karsinoma nasofaring. Sebaliknya Human perluasan tumor ke lateroposterior sehingga
Leukocyte Antigen A11 menurunkan 30%-50% risiko mengganggu kerja otot untuk membuka tuba. Jenis
terkena karsinoma nasofaring pada ras kulit putih dan gangguan pendengaran yang timbul biasanya
Cina, B13 pada ras Cina, dan A2 pada ras kulit putih. konduktif akibat timbulnya otitis media efusi.
Gangguan hidung
Sebuah meta analisis pada populasi di Cina
Pada hidung didapatkan gejala sumbatan
Selatan menunjukkan peningkatan karsinoma
hidung yang progresif (pilek lama lebih dari 1 bulan),
nasofaring pada HLAA2, B14 dan B46, dan
post nasal drip bercampur darah tanpa kelainan di
penurunan karsinoma nasofaring pada HLAA11,
hidung atau sinus paranasal, epistaksis tekanan darah
B13 dan B22.
normal dan pemeriksaan hidung tidak ada kelainan.
Variasi Genetik Lain
Gejala mata dan saraf
Polimorfi di sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) dan Kejadian keterlibatan saraf kranial pada KNF
CYP2A6 dan ketiadaan Glutation Stransferase M1 sekitar 20%. Apabila tumor meluas ke superior akan
(GSTM1) dan atau GSTT1 berhubungan dengan melibatkan saraf III sampai VI. Penderita akan
peningkatan risiko dua sampai lima kali lipat terkena mengeluh penglihatannya berkurang, namun bila
karsinoma nasofaring. Di Thailand dan Cina, polimorfi ditanyakan secara teliti, penderita akan menerangkan
pada polymeric immunoglobulin receptor (PIGR), bahwa ia melihat sesuatu menjadi dua atau dobel
sebuah reseptor permukaan sel memudahkan (diplopia). Hal ini terjadi karena kelumpuhan N.VI
masuknya EBV masuk ke epitel hidung dan yang letaknya di atas foramen laserum yang
mengalami lesi akibat perluasan tumor. Jika mengenai
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.
N.III dan N.IV akan menyebabkan kelumpuhan mata
2.5 Patogenesis (oftalmoplegia), dan bila perluasan tumor mengenai
EBV berperan dalam patogenesis dari karsinoma
kiasma optikus dan N.II maka penderita dapat
nasofaring, dimana pada awalnya infeksi dari virus ini
mengalami kebutaan.
menyebabkan perubahan sel displasia grade rendah Perluasan ke lateral dapat melibatkan saraf
pada nasofaring. Sel displasia grade rendah ini sudah kranial IX sampai XII. Sebelum terjadi kelumpuhan
terjadi akibat faktor predisposisi seperti diet, saraf kranialis biasanya didahului oleh beberapa
suceptibilitas genetic dan lain-lain. Dengan infeksi gejala subyektif yang dirasakan sangat menganggu

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 1(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id7

oleh penderita seperti nyeri kepala atau kepala 2.7 Diagnosis


Diagnosis KNF didapatkan dari kecurigaan
terasa berputar, hipoestesia pada daerah pipi dan
klinis, pemeriksaan yang teliti, pemeriksaan
hidung, dan kadang mengeluh sulit menelan
endoskopi dan biopsi, CT scan dan MRI. Titer
(disfagia). Tidak jarang ditemukan gejala neuralgia
antibodi terhadap EBV dan deteksi adanya DNA
trigeminal oleh ahli saraf saat belum ada keluhan
EBV dalam darah juga penting.13
yang berarti. Proses karsinoma yang lebih lanjut
Anamnesis
akan mengenai N. IX, X, XI, dan XII jika perjalanan Gejala yang muncul dapat berupa telinga terasa
melalui foramen jugulare. Gangguan ini disebut penuh, tinitus, otalgia, hidung tersumbat, lendir
dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai bercampur darah. Pada stadium lanjut dapat
seluruh saraf kranial disebut dengan sindrom ditemukan benjolan pada leher, gangguan saraf,
unilateral. Saraf kranial yang paling sering terlibat diplopa dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI).
Gejala yang dapat timbul akibat massa di
adalah III, V, VI dan XII.
Tumor primer nasofaring dapat meninfiltrasi basis nasofaring yaitu obstruksi nasal dan hidung berair.
kranii yang menimbulkan nyeri kepala. Nyeri dan rasa Saat tumor kecil, ditemukan obstruksi unilateral namun
baal pada wajah dapat timbul bila terjadi ekstensi ke seiring pertumbuhan tumor akan mejadi bilateral.
17
foramen ovale dan mengenai saraf kranial V. Epistaksis muncul bila tumor memiliki ulkus. Jumlah
Benjolan di leher
perdarahan bisanya tidak banyak dan sering terjadi
Lebih dari 50% pasien karsinoma nasofaring
post-nasal drip. KNF sering dikaitkan dengan disfungsi
datang dengan keluhan benjolan di leher. Benjolan
tuba Eustachius, sehingga muncul gejala seperti tuli
biasanya tidak nyeri. Pembesaran kelenjer getah
konduktif unilateral, otalgia dan tinitus. 18
bening ini biasanya pada bagian atas leher, sesuai
Pemeriksaan Fisik
dengan lokasi tumor (ipsilateral), namun tidak jarang  Pemeriksaan status generalis dan status lokalis.
bilateral. Lokasi tipikal metastase adalah limfe leher  Pemeriksaan nasofaring
o Rinoskopi posterior menilai koana, mukosa,
kelompok profunda superior koli, tetapi karena
muara tuba eustaschius, massa dan post-nasal
kelompok tersebut tertutup otot sterno-
drip. Tumor yang eksofitik dan sudah agak
kleidomastoideus dan benjolan tidak nyeri, maka
besar akan tampak pada rinoskopi posterior.
pada mulanya sulit diketahui. Ada beberapa pasien o Nasofaringoskop ( fiber / rigid )
yang metastasis kelenjar limfenya pertama kali muncul o Laringoskopi
 Pemeriksaan nasoendoskopi
di regio untaian nervi aksesorius di segitiga posterior. Nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band
Imaging) digunakan untuk skrining, melihat
mukosa dengan kecurigaan kanker nasofaring,
panduan lokasi biopsi, dan follow up terapi pada
kasus-kasus dengan dugaan residu dan residif.4
Pemeriksaan nasoendoskopi akan memberikan
informasi tentang keterlibatan mukosa dan
perluasan tumor serta membantu saat biopsi.
Namun pemeriksaan endoskopi tidak dapat
menetukan peluasan tumor ke arah dalam dan
keterlibatan dasar tengkorak. Pemeriksaan
endoskopi dapat dilakukan dengan anestesi lokal
baik dengan endoskop kaku atau serat optik.13
Gambar 2.7 Kelenjer Getah Bening Leher
Pemeriksaan Laboratorium4
 Hematologik : darah perifer lengkap, LED,
Gejala lain dapat berupa gejala umum adanya
hitung jenis.
keganasan seperti penurunan berat badan dan
 Alkali fosfatase, LDH
anoreksia. Gejala dini KNF sering tidak spesifik
 SGPT – SGOT
dan luput dari perhatian, pasien sebagian besar
Pemeriksaan Radiologik13, 4
datang ketika sudah ada benjolan di leher dan
umumnya stadium lanjut.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 1(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id8

Pemeriksaan klinis termasuk endoskopi tidak biopsi dimasukkan melalui rongga hidung
dapat memberikan gambaran perluasan tumor ke menelusuri konka media ke nasofaring kemudian
arah dalam dan dasar tengkorak. Pemeriksaan cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan
radiologi berguna untuk menentukan stadium kanker. biopsi.
 CT Scan  Biopsi melalui mulut memakai bantuan
CT scan penting untuk mengevaluasi adanya erosi
kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung
tulang oleh tumor, disamping juga dapat menilai
dan ujung kateter dalam mulut ditarik keluar dan
perluasan tumor ke parafaring, perluasan perineural
diklem bersama ujung kateter di hidung. Demikian
melalui foramen ovale. Pemeriksaan radiologik
juga kateter dari hidung disebelahnya, sehingga
berupa CT scan nasofaring mulai setinggi sinus
palatum mole tertarik ke atas kemudian dengan
frontalis sampai dengan klavikula, potongan
kaca laring dilihat nasofaring. Biopsi dilakukan
koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
kontras. Teknik pemberian kontras dengan injector
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan
1-2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT berguna untuk
melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih
melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan
jelas. Bila masih belum didapatkan hasil yang
sekitarnya serta penyebaran kelenjar getah bening
memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan
regional.
kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI lebih baik dibandingkan CT Scan dalam Tabel 2.1 Klasifikasi Karsinoma Nasofaring
(Histopatologis)4
memperlihatkan baik bagian superfisial maupun
dalam jaringan lunak nasofaring, serta membedakan
antara massa tumor dengan jaringan normal. MRI
dapat memperlihatkan infiltrasi tumor ke otot-otot
dan sinus cavernosus. Pemeriksaan ini penting dalam
menentukan perluasan ke parafaring dan pembesaran
KGB. Namun MRI mempunyai keterbatasan dalam
menilai perluasan yang melibatkan tulang.
 USG abdomen Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan
Untuk menilai metastasis organ-organ intra anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
abdomen. Apabila dapat keraguan pada kelainan penunjang seperti nasofaringoskopi, radiologi, dan
yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT scan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi
abdomen dengan kontras. biopsi nasofaring sampai saat ini masih diakui sebagai
 Foto Thoraks
Untuk melihat adanya nodul di paru atau standar baku emas untuk diagnosis KNF.17

apabila dicurigai adanya kelainan maka dilanjutkan


dengan CT scan thoraks dengan kontras.
 Bone Scan
Untuk melihat metastasis tulang.
 Positron Emission Tomography (PET Scan)
MRI dan CT scan tidak sensitif dalam mendeteksi
tumor residu dan rekuren setelah radiasi atau
kemoterapi sehingga digunakan PET scan yang lebih
sensitif untuk mendeteksi pada keadaan ini.
Pemeriksaan Histopatologi
Diagnosis pasti ditegakkan melalui pemeriksaan
histopatologi yaitu dengan melakukan biopsi
Gambar 2.8 Algoritma Diagnosis Karsinoma
nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, Nasofaring4
yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor 2.8 Penetapan Stadium
nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesi Secara umum stadium tumor saat didiagnosis

topikal dengan xylocain 10%. merupakan faktor utama penentu prognosis dan
 Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa sangat penting dalam menetukan terapi. Penetapan
melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 1(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id9

stadium secara akurat juga penting untuk apakah TB dan kanker bersama-sama, atau apakah
mengevaluasi hasil dari pengobatan. Penetapan reaksi tuberkuloid akibat nasofaring.19
 Granuloma nekrotik nasofaring.
stadium KNF berdasarkan sistem TNM UICC/AJCC
Lesi utama di kavum nasal dan terjadi nekrosis
edisi ke-8 tahun 2016.
Tabel 2.2 Klasifikasi TNM (UICC, Edisi 8, 2016)5 lokal, terdapat benjolan jaringan granulasi dan
perforasi septum. Penyakit ini memiliki bau yang
Tumor Primer (T)
19
khas, terdapat reaksi radang.
TX Tidak dapat dinilai
 Angiofibroma nasofaring
T0 Tidak terdapat tumor primer Prevalensi ditemukan pada laki-laki muda.
Tis Karsinoma in situ
Pemeriksaan tampak massa licin, mukosa serupa
T1 Tumor terbatas pada nasofaring, atau
jaringan normal dan konsistensi kenyal padat.19
meluas ke orofaring dan/atau rongga hidung
 Bengkak di leher (limfoma malignum,
tanpa perluasan ke parafaring
T2 Tumor ekstensi ke parafaring dan/atau metastasis,TB kelenjar, dan lainnya).4
2.10 Tatalaksana
infiltrasi pterigoid medial dan lateral, dan/atau
Penatalaksanaan karsinoma nasofaring dapat
otot prevertebra
mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya,
T3 Tumor invasi ke tulang basis kranii vertebra
servikal, pterigoid, dan/atau sinus paranasal pembedahan dan didukung dengan terapi simptomatik
T4 Tumor dengan ekstensi intrakranial dan/atau sesuai dengan gejala.4
keterlibatan saraf kranial, hipofaring, mata, Tabel 2.4 Pedoman Modalitas Terapi KNF4
kelenjar parotis dan/atau infiltrasi melewati
Pedoman Modalitas Terapi KNF
permukaan lateral dari otot pterigoid lateral
KGB Regional (N ) Stadium Stadium I Rekomen
Radiasi saja
dini (T1N0M0) dasi II, A
NX Tidak dapat dinilai
N0 Tidak terdapat metastasis KGB regional Stadium Stadium II Kemoradiasi Rekomen
intermediet (T1-2,N1-2,M0) konkuren dasi I, B
N1 Metastasis unilateral KGB servikal, dan/atau
metastasis unilateral atau bilateral KGB Kemoradiasi
Stadium III, IVA,
retrofaring, ≤6cm, diatas pinggir kaudal Stadium konkuren +/- Rekomen
IVB
lokal lanjut kemoterapi dasi I, A
kartilago krikoid (T3-4,N0-3,M0)
adjuvan
N2 Metastasis bilateral KGB servikal, ≤6cm,
diatas pinggir kaudal kartilago krikoid Radiasi
problematik Kemoterapi
N3 Metastasis KGB servikal >6cm dan/atau Stadium IVA,
(tumor induksi diikuti Rekomen
ekstensi ke bawah pinggir kaudal kartilago IVB
berbatasan kemoradiasi dasi II, B
(T4 atau N3)
krikoid organ at konkuren
Metastasis (M ) risk)
MX Tidak dapat dinilai
Radioterapi
M0 Tidak terdapat metastasis jauh Radioterapi merupakan modalitas utama pada
M1 Terdapat metastasis jauh
penatalaksanaan KNF yang masih terbatas
Tabel 2.3 Pengelompokan Stadium KNF (UICC, lokoregional, karena tumor ini bersifat radiosensitif.
Edisi 8, 2016)5 Kemajuan yang sangat penting pada radioterapi

Stadium I T1 N0 M0 adalah IMRT (Intensity-Modulated Radiation Therapy).


Stadium II T1 N1 M0 Teknologi ini memungkinkan pemberian dosis radiasi
T2 N0, N1 M0 konformal terhadap target melalui optimalisasi
Stadium III T1, T2 N2 M0
intensitas beberapa beam. Kelebihan dari IMRT ini
T3 N0, N1, N2 M0
Stadium IVA T4 N0, N1,N2 M0 diantaranya memiliki kemampuan untuk memberikan
Semua T N3 M0 radioterapi conformal pada target yang tidak beraturan
Stadium IVB Semua T Semua N M1 (irregular). Ini sangat bermanfaat pada tumor yang
2.9 Diagnosis Banding berada disekitar struktur vital seperti batang otak dan
 TB Nasofaring medula spinalis. Teknik ini dapat meningkatkan kontrol
Umumnya pada orang muda, dapat timbul erosi,
tumor dan juga menurunkan risiko komplikasi.13
ulserasi dangkal atau benjolan granulomatoid, eksudat Kombinasi Kemoradiasi
Kemoradiasi konkuren saat ini menjadi terapi
permukaan banyak dan kotor, bahkan mengenai
pilihan pada KNF lokoregional yang advanced.
seluruh nasofaring. Khususnya perlu ditegaskan
Sebagian besar penelitian kemoterapi pada KNF

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 1(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id10

menggunakan Cisplatin-based. Berdasarkan waktu


pemberian kemoterapi terhadap radioterapi dibedkan
menjadi Induction/ Neoadjuvan (sebelum), concurrent
(selama radiasi) dan adjuvan (setelah radioterapi).13
Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer
terutama diberikan pada pasien dengan T2-T4 dan
N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan
preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6
kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum
dilakukan radiasi. Kemoterapi kombinasi/dosis penuh Gambar 2.9 Algoritma Penatalaksanaan Kanker
dapat diberikan pada N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan Nasofaring4,20
dan adjuvan setiap 3 minggu sekali, dan dapat juga 2.11 Prognosis
Prognosis pada pasien keganasan paling
diberikan pada kasus rekuren/metastatik.
Terapi sistemik pada KNF adalah dengan sering dinyatakan dengan angka ketahanan hidup 5
kemoradiasi dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvant, tahun. Menurut AJCC tahun 2010, angka harapan
yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan Cisplatin/5-FU atau hidup relatif 5 tahun pada pasien dengan KNF stadium
Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30- I hingga IV secara berurutan sebesar 72%, 64%, 62%,
40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali. dan 38%.4
Terapi sistemik pada KNF kasus rekuren/
metastatik adalah terapi kombinasi, cisplatin or DAFTAR PUSTAKA
carboplatin + docetaxel or paclitaxel, cisplatin/5-FU, 1. Roezin A dan Adham M. Karsinoma Nasofaring.
carboplatin, cisplatin/gemcitabine, gemcitabine, taxans Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
+ patinum + 5fu, terapi tunggal.4 Tenggorok Kepala Leher. Edisi 7. Jakarta: FKUI.
Brakiterapi 2012.
Brakiterapi efektif dan digunakan hanya pada 2. Wijaya FO dan Soeseno B. Deteksi Dini dan
tumor yang dangkal di nasofaring dan tanpa invasi ke Diagnosis Karsinoma Nasofaring. Bandung:
tulang.13 Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan
Nasofaringektomi
Nasofaringektomi diindikasikan pada tumor tenggorok Bedah Kepala Leher, Universitas
persisten atau rekuren yang terlalu besar untuk Padjajaran. 2017. Diakses pada tanggal 14
brakiterapi dan terdapat perluasan ke parafaring. 13 November 2017.
Terapi Target 3. WHO. Nasopharingeal Carcinoma. Review of
Cetuximab merupakan terapi target yang Cancer Medicines. Union for International Cancer
diberikan pada KNF yang mengalami rekuren atau Control. 2014.
persisten dengan metastasis jauh.13 4. Adham M et al. Panduan Penatalaksanaan Kanker
Obat-obatan Simptomatik Nasofaring. Jakarta: Komite Penanggulangan
 Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa
Kanker Nasional Kemenkes RI. 2016.
nyeri untuk mengunyah dan menelan obat 5. UICC. TNM Classification of Malignant Tumor.
kumur yang mengandung antiseptik dan Geneva: Union for International Cancer Control.
astringent, (diberikan 3 – 4 sehari) 8th Edition. 2016.
 Tanda-tanda moniliasis  antimikotik. 6. Firdaus, M.A & Prijadi, J. Kemoterapi
 Nyeri menelan  anestesi lokal
 Nausea, anoreksia  terapi simptomatik (anti Neoadjuvan pada Karsinoma Nasofaring. 2013.

emetik) Diakses dari www.repository.unand.ac.id pada


tanggal 14 November 2017.
7. Maulana A.S dkk. Kasus Karsinoma Nasofaring
di RSD dr. Soebandi Jember Periode 2009-
2010. Jember: Fakultas Kedokteran Universitas
Jember.
8. Ballenger JJ, Anatomi Bedah Faring dan Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher,
Binarupa Aksara. 1994. Edisi 13, Jilid 1, pp. 318-27

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 1(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id11

9. Chew CT. Nasopharynx (the Postnasal Space),


Scott-Brown’s Otolaryngology. 1997. 6th edition,
Butterworth-Heinemann, Great Britain, vol 5, pp.
5/13/1-30
10. Beasley P. Anatomy of the Pharynx and
Oesophagus, Scott-Brown’s Otolaryngology 6th
ed., Butterworth-Heinemann, Great Britain, vol.1
pp.1/10/1-40. 1997.
11. Ackerman, LV & Del Regato, JA. Cancer Diagnosis
and Treatment and Prognosis, 4th ed, The CV
Mosby Company, St. Louis. 1970. pp. 254-76
12. Cottrill CP & Nutting CM. Tumours of the
Nasopharynx, Evans PHR, Montgomery PQ,
Gullane PJ, ed. Principle and Practice of Head and
Neck Oncology, London, Martin Dunitz, pp. 193-
218. 2003.
13. Rahman S. Update Diagnosis dan Tatalaksana
Karsinoma Nasofaring. Padang: Universitas
Andalas. 2014.
14. Faiza S, Rahman S, Asri A. Karakteristik Klinis dan
Patologis Karsinoma Nasofaring di bagian THT-KL
RSUP Dr. M. Djamil Padang. Padang: Jurnal
Kesehatan Andalas; 5(1). 2016. Diakses pada
tanggal 13 November 2017 dari
http://jurnal.fk.unand.ac.id
15. Ariwibowo, H. Faktor Resiko Karsinoma
Nasofaring. Kalimantan: CDK-204/ vol. 40 no. 5.
2013.
16. Taheri-Kadkhoda Z. Nasopharyngeal carcinoma:
past, present and future directions. Sweden:
Department of Oncology Institute of Clinical
Sciences Göteborg University. 2007.
17. Wei Wi, Chua DT. Head and neck surgery –
otolaryngology. 5th ed. Bailey BJ HG, Johnson JT,
Rosen CA, editors. Philadelphia: Lippincott William
& Wilkins; 2014.
18. Lee KJ. Essential otolaryngology head and neck
surgery. USA: The Mc Graw-Hill Companies; 2012.
19. Wan Desen. Tumor di Kepala dan Leher. Dalam:
Wan Desen editor. Buku ajar onkologi klinis.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011.
hlm.263-271
20. Forastiere AA. NCCN Clinical pratice guidelines in
oncology in head and neck cancer. National
Comprehensive Cancer Network. 2017; Version 1
(NCCN.org).

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 1(1)

Anda mungkin juga menyukai