T Kallenbach
Departemen Anestesi, Charlotte Maxeke Johannesburg Academic Hospital, Johannesburg, Afrika Selatan
Meskipun talasemia beta bukan kelainan umum dengan sekitar 100.000 orang
yang mengalami dampak yang berat di seluruh dunia, harapan hidup yang lebih baik
dan peningkatan migrasi global meningkatkan jumlah pasien dengan kondisi tersebut
untuk menjalani berbagai operasi. Aspek yang berbeda dari gangguan ini memiliki
implikasi luas untuk anestesi. Sehingga, untuk perawatan anestesi yang aman, seorang
ahli anestesi perlu memahami talasemia beta dengan baik. Laporan ini memuat kasus
seorang pria berusia 32 tahun dengan talasemia beta mayor yang menjalani
kolesistektomi dan splenektomi dengan laparoskopi elektif, dilanjutkan dengan diskusi
tentang literatur.
Kata kunci: anemia, anestesi, talasemia beta, kelebihan besi, kolesistektomi
laparoskopi, splenektomi
Laporan kasus
Pada bulan Agustus 2014 Tuan C, diketahui memiliki talasemia beta mayor,
dan akan menjalani kolesistektomi dan splenektomi laparoskopi. Tuan C memiliki
riwayat gejala batu empedu selama delapan bulan yang berlanjut kepada dua serangan
kolesistitis, anemia dan ikterus yang memburuk.
Anamnesis lebih lanjut tentang riwayat keluarga mengungkapkan bahwa kedua
orang tuanya dan tiga dari empat saudara kandungnya menderita talasemia beta minor.
Tuan C diTuan Cgnosis menderita talasemia beta saat berusia sekitar empat bulan,
setelah diketahui dengan pucat oleh dokter keluarga. Tuan C membutuhkan transfusi
darah rutin seumur hidup, menerima empat kantung sel darah merah yang telah
dibersihkan setiap tiga minggu. Tuan C juga menjalani terapi khelasi darah,
desferrioxamine dan deferiprone. Tuan C tidak mengalami komplikasi jantung atau
pernafasan, dan tidak ada riwayat kelainan endokrin atau ginjal akibat kelebihan zat
besi. Sebelum Desember 2013, ia tidak memiliki gejala disfungsi hati. Sebuah MRI
yang dilakukan pada bulan Desember 2013 menunjukkan hati yang normal, namun
terdapat deposisi besi moderat di hati. Tuan C hanya pernah mengalami efek samping
terhadap transfusi darah sebanyak satu kali, dan tidak memiliki riwayat infeksi yang
ditularkan melalui darah dan tidak ada catatan lain mengenai kondisi medisnya.
Tuan C kurus dan bertubuh pendek (berat badan 49 kg dan tinggi 153 cm),
kemungkinan karena insufisiensi pertumbuhan dari kelainan itu sendiri. Tidak ada
kelainan skeletal lainnya yang tampak jelas. Pada pemeriksaan umum, Tuan C terlihat
pucat dan ikterik. Penilaian jantungnya mengungkapkan sirkulasi hiperdinamik dengan
frekuensi denyut jantung yang tinggi, namun tidak ada kelainan lainnya. Pemeriksaan
pernafasannya tidak dapat dinilai. Pemeriksaan abdomennya menunjukkan
hepatomegali dan splenomegali. Penilaian jalan napas menunjukkan tidak adanya
kelainan bentuk wajah, dengan Mallampati grade 2 dan rentang pergerakan normal
pada tulang belakang servikal dan sendi temporomandibular.
Pemeriksaan darah sebelum operasi menunjukkan adanya anemia dengan
hemoglobin 10,1 g/dl, dan peningkatan AST dan ALT. Radiografi dada,
elektrokardiografi dan tes fungsi paru tidak memberikan informasi tambahan. Tuan C
sudah divaksinasi sebagai antisipasi untuk splenektomi.
Di kamar operasi, persetujuan diperiksa, monitor ASA standar ditempatkan,
dan kanula intravena 16-G dimasukkan. Induksi urutan elektif dilakukan dengan
fentanil, propofol dan rocuronium. Intubasi dengan mudah dilakukan. Anestesi
dipertahankan dengan campuran oksigen, udara dan isofluran yang seimbang. Untuk
persiapan kemungkinan perdarahan yang signifikan, jalur intravena 16-G kedua dan
jalur arteri dimasukkan. Teknik aseptik dilakukan, dan profilaksis antibiotik diberikan.
Titik-titik tekanan terlindungi, dan pemantauan dan pengelolaan suhu dilakukan.
Sampel darah arterial pertama sebelum operasi dimulai berada dalam batas normal,
kecuali hemoglobin yang rendah 7,6 g/dl. Darah dikirimkan ke kamar operasi; Namun,
hanya kantung PRC (Packed Red Cell) yang diterima. Dalam diskusi dengan bank
darah dan ahli hematologi pasien, diputuskan untuk menggunakan kantung ini. Stoking
kompresi berthap ditempatkan di kaki pasien, Tuan C dibersihkan dan dibungkus, dan
operasi dimulai. Ventilasi disesuaikan selama insuflasi peritoneal untuk menjaga
ETCO2 dalam batas normal, dan tekanan saluran napas dipantau. Tanda vital secara
konsisten stabil, dan pada sampel darah arterial serial hemoglobin tetap di atas 7,5 g/dl.
Karena risiko alloimunisasi, transfusi satu kantung darah dimulai hanya pada
akhir prosedur, dititrasi dengan kehilangan darah yang diamati. Analgesia yang
dilakukan pada saat operasi multimodal, termasuk opioid intravena dan blok lokal yang
dilakukan dengan penglihatan langsung oleh ahli bedah. Pada akhir prosedur dengan
durasi empat jam, blokade neuromuskular dikembalikan setelah memeriksa hitungan
train-of-four. Pasien berhasil diekstubasi, dan dipindahkan ke unit dengan
ketergantungan tinggi dengan kondisi terbangun dan bebas dari rasa sakit. Pasca
operasi, diberikan heparin profilaksis dengan berat molekul rendah dengan mobilisasi
dini. Tuan C menerima kantung sel darah merah standar yang dibersihkan dan
perawatan selanjutnya pasca operasi tidak rumit.
Diskusi
Patofisiologi
Hemoglobin mengandung dua rantai globin alfa, dan dua rantai globin non-alfa
yang melekat pada empat kompleks heme yang mengandung besi.1 Talasemia beta
adalah defek rantai beta globin dari molekul hemoglobin A. Presentasi klinis biasanya
bermanifestasi pada usia sekitar empat sampai enam bulan, karena selama periode ini
hemoglobin F turun secara signifikan untuk digantikan oleh hemoglobin A.2 Kelainan
genetik ini ditransmisikan oleh pewarisan autosom resesif.3 Defek pada satu alel globin
beta akan berakibat pada thalassemia beta minor. Kondisi ini disebut sebagai pembawa,
dan individu tersebut biasanya asimtomatik atau mengalami anemia. Cacat pada kedua
alel menghasilkan talasemia beta mayor, yang menghasilkan gambaran klinis berat
yang memerlukan transfusi darah seumur hidup. Fenotip yang lebih moderat disertai
dengan ketergantungan transfusi darah yang lebih rendah disebut talasemia beta
intermedia.1 Penyebab di balik keparahan penyakit yang berbeda dari genotipe yang
sama tidak diketahui. Namun, jenis mutasi dan interaksi gen dianggap memainkan
peran penting.
Epidemiologi
Menurut sebuah tinjauan WHO pada tahun 2008, kelainan ini paling umum
terjadi di wilayah Asia dan Mediteranian.5 Teori untuk menjelaskan jumlah yang lebih
tinggi di area ini mencakup perlindungan terhadap malaria dan pertalian darah.6 Karena
migrasi manusia secara global, talasemia beta terlihat lebih sering di negara-negara lain
di dunia.6 Sekitar 1,5% populasi dunia adalah pembawa talasemia beta, dengan sekitar
100.000 orang yang bergantung pada transfusi yang tinggal di seluruh dunia.5,6
Presentasi dan manajemen
Karena kelainan genetik ini, kelebihan rantai alfa diproduksi di molekul
hemoglobin. Hal ini menciptakan profil yang tidak stabil, dengan pengendapan globin
alfa dan hemolisis resultan dari sel darah merah. Akibatnya, terjadi peningkatan
eritropoiesis namun tidak efektif.4 Hal ini menyebabkan beberapa manifestasi sistemik
sebagaimana diuraikan pada Tabel 1.
Anestesi
Sistem kardiovaskular harus dievaluasi secara hati-hati dengan perhatian
khusus pada riwayat toleransi latihan yang buruk dan dispnea.9 Evaluasi sebelum
operasi akan memandu penyelidikan seperti elektrokardiogram, ekokardiografi dan
kateterisasi jantung.2,10 Jika keterlibatan jantung dicurigai, kehati-hatian diperlukan
untuk agen penekan kerja jantung secara intraoperatif dan penggunaan teknik
neuroaksial untuk menghindari depresi pada keadaan curah jantung tinggi.11
Bergantung pada operasi, pemantauan hemodinamik ketat harus dipertimbangkan
dengan modalitas seperti jalur arteri, monitor output jantung minimal invasif, dan
ekokardiografi transesofagus.10
Pasien mungkin menderita penyakit paru restriktif tanpa gejala, walaupun
kadang-kadang gambar pernafasan obstruktif dapat terlihat.12 Tes fungsi paru berguna
untuk diagnosis kondisi ini, dan untuk kuantifikasi keparahan. Juga harus diingat
bahwa pasien ini dapat hadir dengan hipertensi pulmonal.13 Oleh karena itu, secara
hati-hati intraoperatif untuk menghindari kondisi yang akan memperburuk hipertensi
pulmonal seperti asidosis, hipoksia dan hiperkarbia. Strategi ventilasi perlu disesuaikan
dengan patologi pernafasan pasien.
Cek darah lengkap harus dilakukan sebelum operasi. Tidak ada hemoglobin
standar untuk operasi, namun batas dasar 10 g/dl direkomendasikan. Pasien dengan
hemoglobin yang rendah sebaiknya diberikan transfusi sebelum operasi.11 Darah
dengan pengurangan leukosit umumnya digunakan untuk mengurangi risiko
alloimunisasi.8,11 Strategi konservasi darah harus dipertimbangkan dalam prosedur
berisiko tinggi, karena toleransi rendah terhadap perdarahan.14 Penyelamatan darah
kontroversial karena meningkatnya risiko hemolisis, namun telah digunakan dengan
aman menggunakan tekanan hisap rendah dan filter pengurangan leukosit.1,14 Tidak
ada pedoman anestesi standar untuk transfusi darah intraoperatif. Namun, dengan
mempertimbangkan batas awal yang direkomendasikan dari 10 g/dl, masuk akal untuk
melanjutkan rekomendasi ini secara intraoperatif. Karena meningkatnya kejadian
infeksi yang ditularkan melalui darah pada pasien ini, kehati-hatian harus dilakukan
oleh staf dalam paparan terhadap darah pasien.11
Terapi khelasi besi harus dioptimalkan dengan dokter yang merawat pasien.2
Baik komplikasi kelebihan besi dan efek samping terapi kelasi besi perlu diingat.3,7
Pengamatan kadar besi biasanya dipantau secara rutin pada pasien ini, walaupun studi
MRI cenderung berikan refleksi kerusakan organ target yang lebih akurat.7
Profil koagulasi perlu diperiksa karena keadaan hiperkoagulasi. Namun, hasil
normal tidak mengecualikan potensi terjadinya trombosis. Dengan demikian, tindakan-
tindakan masih perlu dilakukan secara perioperatif untuk mengurangi risiko ini,
misalnya: stoking kompresi; heparin molekul rendah; mobilisasi.13 Risiko
tromboemboli meningkat pada: beta thalassemia intermedia; post-splenektomi; usia
lanjut; kebebasan transfusi; riwayat kejadian tromboemboli pribadi atau keluarga.13
Karena kemungkinan kerusakan ginjal, elektrolit harus diperiksa sebelum
operasi dan dikoreksi sesuai kebutuhan, fungsi ginjal sebelum operasi dinilai, dan
tindakan perlindungan ginjal dilakukan sesuai kebutuhan.15 Tes fungsi hati juga harus
dinilai sebelum operasi.Untuk meminimalkan cedera lebih lanjut, obat hepatotoksik
harus dihindari.3 Kelainan endokrin harus dicari sebelum operasi dan dioptimalkan
sesuai dengan itu.3 Tes toleransi glukosa atau tes fungsi tiroid dapat dilakukan, dipandu
oleh penilaian klinis.2
Pasien dengan kondisi ini diberi imunosupresan, sehingga kewaspadaan aseptik
harus dijaga setiap saat. Sebelum splenektomi, direkomendasikan imunisasi
pneumokokus, meningokokus dan H influenza tipe B.16 Profilaksis antibiotik yang
tepat harus diberikan.6 Pada pasien ini, ada peningkatan risiko penyembuhan luka yang
buruk pascaoperasi.10
Baik anestesi umum maupun teknik neuroaksial telah dilaporkan aman
digunakan.9 Teknik yang digunakan harus disesuaikan sesuai dengan pasien dan
operasi yang terlibat. Osteopenia dan fraktur mikro memerlukan transfer dan penentuan
posisi yang hati-hati.9 Ulserasi pada kulit jika ditemukan harus diperhatikan, dan
persiapan yang hati-hati diperlukan.9 Faktor tambahan yang perlu diperhatikan adalah
akses intravena yang sulit dilakukan, pengawasan tambahan karena perawakannya
kecil, dan efek anemia berat pada pembacaan oksimetri nadi.17 Tidak ada agen anestesi
spesifik yang dianjurkan, namun pilihan agen yang digunakan akan diputuskan oleh
kondisi klinis pasien dan operasi yang direncanakan. Pasien-pasien ini beresiko tinggi
terhadap penanganan jalan napas yang sulit karena adanya kelainan bentuk wajah.1,11
Jika teknik neuroaksial dilakukan, kelainan bentuk kerangka, defisit neurologis yang
sudah ada sebelumnya dan profil hiperkoagulasi harus dimasukan dalam
pertimbangan.9