Abstrak
Thalassemia merupakan penyakit genetik pembentukan rantai globin pada hemoglobin. Operasi spelenektomi
pada pasien hipersplenism dengan thalassemia mayor dan trombositopenia merupakan hal yang menantang bagi
seorang ahli anestesi dikarenakan manifestasi sistemik yang timbul karena thalassemia, penumpukan kadar besi,
dan komplikasi agen kelasi besi. Kasus ini mempresentasikan tentang seorang anak perempuan usia 6 tahun
dengan thalasemia mayor dan trombositopenia yang menjalani operasi splenektomi dalam anestesi umum. Operasi
berlangsung selama 6 jam dengan perdarahan 2.700 mL dengan transfusi 700 mL PRC, 300 mL FFP, dan 200 mL
trombosit. Hemodinamik intraoperatif pernah mengalami penurunan dikarenakan perdarahan akibat terpotongnya
arteri gastric brevis. Setelah operasi pasien diekstubasi dan dirawat di HCU.
Abstract
Splenectomy surgery in hypersplenism patient with thalassemia major and thrombocitopenia may be challenging to
anaesthesiologist because of systemic manifestations of thalassemia, iron overload, and complications of chelation
therapy. This case presenting a 6-year-old girl with thalassemia and thrombocitopenia undergo splenectomy
surgery in general anaesthesia. The surgery took 6 hours with 2,700 mL blood loss and was transfused with 700
mL PRC, 300 mL FFP, and 200 mL thrombocytes. Haemodynamic intra operative decreased because of bleeding
cut brevis gastric artery. After surgery patient was extubated then was treated in high care unit.
Korespondensi: Doddy Tavianto, dr., SpAn, Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, Jl. Ligar Wangi No. 37 Awiligar Bandung, Mobile 0811229636,
Email doddytaviant@yahoo.com
109
110
partial thromboplastin time (APTT) 32,3 detik, edukasi kepada pasien dan keluarga maka
bleeding time (BT) 2 menit 32 detik, clotting disetujui dilakukan tindakan anestesi umum
time (CT) 2 menit 14 detik, hemoglobin (Hb) dengan kategori status fisik ASA III dengan
11,2 gram/dL, hematokrit (Ht) 34%, leukosit (L) ruang pascaoperasi high care unit (HCU). Pasien
10.600/mm3, Trombosit (Tr) 22.000/mm3, gula dipuasakan 6 jam sebelum operasi, dilakukan
darah sewaktu (GDS) 108, ureum (Ur) 27 mg/ pemasangan infus di ruang rawat dengan ukuran
dL, ureatinin (Cr) 0,3 mg/dL, serum glutamic 22G di punggung tangan kiri dengan maintenance
oxaloacetic (SGOT) 32, serum glutamic pruvic cairan, lalu diberikan premedikasi midazolam 1
transaminase (SGPT) 28, natrium (Na) 135 Persiapan anestesi dilakukan sebelum pasien
mEq/L, kalium (K) 4,5 mEq/L, chlorida (Cl) 98 masuk ke kamar operasi, yaitu obat-obatan
mEq/L, calcium (Ca) 5.10 mEq/L, magnesium anestesi dan peralatan airway serta mesin anestesi,
(Mg) 1,9 mEq/L. penghangat cairan dan kasur penghangat. Cairan
Setelah dilakukan informed consent dan yang akan digunakan dimasukkan ke dalam lemari
Dehydration Infection
hypothermia hypotension
overtransfusion hypothermia
Increased
viscosity
and statis
Acidosis
hypoxia
cooling
Tissue/organ Vascular
damaage occlusion Sikling of RBC
Figure 45.1 Pathogenesis of Sickle Cell Crises. RBC, Red Blood Cell
Gambar 1 Patogenesis sickle cell crisis, RBC, Red Blood Cell
Tata Laksana Anestesi pada Pasien Anak dengan Hipersplenism, Thalassemia Mayor, dan Trombositopenia yang Menjalani
Splenektomi
penghangat, 200 mL PRC sudah dipersiapkan di Dari gambaran elektrokardiografi tampak adanya
lemari penghangat. Dilakukan pemasangan alat disritmia.
monitoring tekanan darah, elektrokardiogram, Setelah 2 jam operasi berlangsung, perdarahan
dan pulse oksimetri. Pasien dipindahkan ke meja mencapai 300 mL, lalu dimasukkan 200 mL
operasi lalu diposisikan supine dengan posisi packed red cell (PRC). Satu jam kemudian terjadi
kepala 45o diberikan oksigen nasal kanul 2 liter perdarahan masif dikarenakan terpotongnya
per menit. Keadaan pasien sebelum induksi, arteri gastrica brevis, sehingga hemodinamik
kesadaran komposmentis, dengan tekanan darah pasien turun hingga 72/44 mmHg, dilakukan
101/67 mmHg, laju nadi 104 kali per menit, laju pemasangan jalur intravena tambahan di vena
napas 18 kali per menit, suhu tubuh 36,5 derajat jugularis eksterna kiri dengan abbocath no.18 G.
Celcius, dan saturasi oksigen terbaca 97% posisi Perdarahan total 2.700 mL, dilakukan pemberian
berbaring dengan kepala 45 derajat. Setelah cairan kristaloid total 500 mL, koloid 1.000 mL,
dilakukan preoksigenisasi dengan oksigen 100%, serta total transfusi 700 mL PRC dan 200 mL
saturasi oksigen meningkat menjadi 99%–100%. trombosit. Jumlah urin yang keluar selama 6 jam
Lalu diberikan fentanil 50 mcg secara perlahan operasi sebanyak 120 mL. Setelah perdarahan
sehingga dipertahankan pasien dalam kondisi teratasi, dipasang drain di perut kiri. Pasien
napas spontan kemudian diberikan propofol 60 diberikan infiltrasi bupivakain 0,25% sebanyak
mg, setelah pasien tertidur, volatile sevoflurane 12 mL di tempat insisi, diberikan antiemetik
dibuka 2 vol% dengan O2 dan N2O dengan FiO2 ondansentron 2 mg, analgetik intravena
50%, setelah jalan napas dikuasai, atracurium paracetamol 3x500 mg dan fentanil 12 mcg
diberikan 10 mg, pasien diposisikan berbaring per jam. Setelah operasi selesai dan kondisi
lurus lalu dilakukan intubasi dengan endotracheal hemodinamik stabil, obat pelumpuh otot di
tube (ETT) no.5,5 dengan balon kedalaman 15 reverse dengan prostigmin dengan dosis 0,04 mg/
sentimeter dalam waktu 5 detik, rumatan anestesi kgBB dan sulfas tropine, lalu dilakukan awake
dengan sevoflurane 1,0–2,0 vol% dengan O2 2L/ ekstubasi. Dilakukan transfusi 300 mL fresh
menit dan N2O 2L/menit, fentanil intermiten 10 frozen plasma (FFP) di ruang pemulihan. Selama
mcg dan atracurium 10 mg setiap 30 menit. Selain 4 jam observasi di ruang pemulihan, kondisi
itu diberikan dexametason sebanyak 5 mg dengan pasien relatif stabil dengan kondisi komposmentis
dosis 0,2 mg/kgBB. Setelah induksi dilakukan tekanan darah 99/69 mmHg, laju jantung 99 kali
pemasangan kateter urin dan didapatkan urin per menit, laju napas 18 kali per menit, suhu
inisial 50 mL yang selanjutnya dikosongkan. 36,5 oC, saturasi oksigen terbaca 98% dengan
Dilakukan pemasangan akses intravena yang nasal kanul 2 L/menit, drain serosanguin terukur
besar dengan ukuran 18 G di kaki kiri, diberikan 20 mL. Hasil laboratorium pascaoperasi Hb 9,8
tranfusi trombosit 200 mL selama operasi. gram/dL, Ht 26%, L 9.900/mm3, Tr 23.000/mm3.
Selama operasi, napas pasien dikontrol dengan Pasien dipindahkan ke HCU dan dirawat selama
ventilator mode pressure control volume (PCV) 4 hari. Setelah itu, pasien dipindahkan ke ruang
dengan volume tidal tercapai 150 mL, frekuensi perawatan biasa selama 3 hari lalu diperbolehkan
16 kali per menit, FiO2 50%. Untuk mengontrol pulang.
perdarahan, MAP dijaga antara 60–65 mmHg.
Selama operasi pasien dijaga agar tidak hipotermi Pembahasan
dengan kasur penghangat dan cairan infus yang
dihangatkan. Thalassemia berasal dari kata talassa dalam bahasa
Operasi berlangsung selama 6 jam dengan Yunani yang berarti laut. Penyakit ini ditemukan
keadaan hemodinamik stabil dengan tekanan pertama kali oleh Thomas B.Cooley. Thalassemia
darah sistol antara 87–99 mmHg dan tekanan merupakan kelainan genetik autosomal resesif
darah diastol antara 53–61 mmHg, laju nadi 104– herediter. Hemoglobin normal memiliki 2
108 kali per menit, suhu tubuh antara 36,5–36,9 rantai alpha dan 2 rantai beta, dimana globin
derajat celcius, serta saturasi oksigen tercapai mengikat 4 rantai besi sehingga membentuk
antara 97%–99% dengan fraksi oksigen 50%. heme complex. Beta thalassemia merupakan
kekurangan dua rantai globin beta dari molekul pasien maka operasi tetap dijalankan. Fungsi
hemoglobin. Manifestasi klinis dari thalassemia trombosit baik ditandai dengan nilai bleeding
muncul saat usia 4–6 bulan setelah kelahiran. time dan clotting time secara laboratorium dalam
Kekurangan satu rantai beta globin menghasilkan batas normal.6
thalassemia minor. Kekurangan kedua rantai beta Sel darah merah pada pasien dengan
globin menghasilkan thalasemia mayor dimana thalassemia mayor mudah rapuh sehingga
merupakan suatu keadaan dimana membutuhkan menimbulkan anemia kronis. Pasien dengan
transfusi darah seumur hidup.3 thalassemia mayor membutuhkan transfusi darah
Dikarenakan kelainan genetik dimana rutin seumur hidup. Protokol transfusi digunakan
kekurangan rantai globin beta pada hemoglobin untuk menjaga kadar hemoglobin antara 9,0
maka bermanifestasi dengan mudah rapuhnya sampai 10,5 gram/dL, dengan pemberian transfusi
sel darah merah sehingga menimbulkan anemia PRC 10–15 mL/kgBB. Kadar hemoglobin
kronik pada pasien dan membutuhkan transfusi setelah transfusi berkurang 1 gram setiap
darah rutin. Kondisi anemia kronik ini memicu minggusehingga diperlukan transfusi darah
proses eritropoiesis menjadi tidak efektif. Dalam setiap 2–5 minggu. Efek samping dari transfusi
pemeriksaan fisik akan ditemukan facies cooley darah rutin diantaranya dapat timbul reaksi
yang merupakan ciri khas dari pasien dengan tranfusi, transmisi infeksi, serta penumpukan
thalassemia mayor dimana batang hidung akan kadar feritin dalam tubuh karena pecahnya sel
masuk ke dalam, penonjolan tulang pipi, tulang darah merah, yang disebut juga hemosiderosis.
kepala lebih besar dikarenakan sumsum tulang Penumpukan feritin dalam tubuh ini bisa timbul
yang bekerja sangat keras untuk mengatasi di berbagai organ mulai dari sistem saraf pusat,
kekurangan haemoglobin. Pada pasien dengan kardiovaskular, ginjal, maupun hepar.7,8
facies cooley akan menimbulkan potensi masalah Apabila hemosiderosis terjadi di otak, gejala
saat dilakukan ventilasi. Pada kasus ini, pasien klinis yang timbul diantaranya penurunan
ditemukan dengan kondisi tulang pipi yang lebih kesadaran dan kejang. Pada pasien ini tidak
besar dari anak sebaya namun tidak ditemukan didapatkan adanya penurunan kesadaran dan
kesulitan dalam melakukan ventilasi.4 riwayat kejang. Apabila hemosiderosis terjadi
Anemia kronik akan memicu jantung untuk pada otot jantung maka gejala klinis yang
bekerja lebih besar sehingga detak jantung akan timbul diantaranya adanya perubahan ritme pada
lebih cepat dan kardiomegali. Pada kasus ini rekaman elektrokardiografi akibat gangguan
saat dilakukan pemeriksaan fisik preoperatif kontraktilitas dari otot jantung. Pada pasien ini
ditemukan adanya takikardia 104 kali per menit terjadi disritmia otot jantung yang ditunjukkan
dan pelebaran ictus cordis. Hasil pemeriksaan dengan gambaran elektrokardiografi yang
fisik ini ditunjang dengan hasil pemeriksaan disritmia. Sedangkan apabila hemosiderosis
radiologis adanya kardiomegali dan pemeriksaan terjadi pada organ ginjal maka akan ditemukan
elektrokardiografi ditemukan adanya takikardia.5 adanya tanda-tanda acute kidney injury, adanya
Trombositopenia terjadi pada pasien thalassemia peningkatan kadar ureum dan kretinin dalam
mayor dengan splenomegali dikarenakan darah. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya
terjadi peningkatan sekuestrasi dari trombosit gangguan dalam ekskresi saluran kemih dan
di limpa. Pemberian transfusi trombosit pada dari pemeriksaan laboratorium biomarker fungsi
pasien thalassemia mayor dengan splenomegali ginjal dalam batas normal. Hemosiderosis terlihat
tidak akan memberikan peningkatan hasil yang jelas pada ujung keempat ekstremitas di lapisan
signifikan. Pada kasus ini, pasien telah mendapat di bawah kuku yang terlihat kehitaman.7,8
transfusi trombosit sebanyak 300 mL di ruangan Penumpukan zat besi di dalam tubuh dapat
satu hari sebelum operasi namun terjadi dikurangi dengan pemberian terapi kelasi besi
penurunan jumlah trombosit setelah transf yaitu deferoxamine, deferiprone, dan deferasirox.
usi. Trombosit pasien awalnya 34.000/mm3 Terapi kelasi dimulai apabila kadar serum feritin
menjadi 22.000/mm3 setelah transfusi. Secara lebih dari 1.000 mg/dL. Deferoxamine merupakan
klinis, tidak ada riwayat perdarahan spontan dari obat untuk terapi kelasi yang paling banyak
digunakan tetapi memiliki beberapa keterbatasan adanya gangguan aktivitas berat seperti berlari
seperti pemberiannya secara parenteral, efek atau berjalan jauh. Dari hasil pemeriksaan
samping yang besar, dan harga yang mahal. elektrokardiografi ditemukan adanya disritmia dan
Deferiprone merupakan obat kelasi dalam bentuk gambaran gelombang Q patologis. Pemeriksaan
per oral yang cukup aman dan efektif. Deferasirox echocardiografi preoperatif diperlukan untuk
merupakan terapi kelasi oral yang efektivitasnya menilai kondisi kontraktilitas otot jantung, ruang
hampir sama dengan deferoxamine tetapi jantung, dan katup jantung. Namun pada pasien
memiliki efek samping yang lebih sedikit. Efek ini tidak dilakukan pemeriksaan echocardiografi
samping dari pemberian terapi kelasi antara lain pre-operatif.10
penurunan pendengaran sensorineural, gangguan Selama operasi perlu diperhatikan terjadinya
penglihatan, dan perubahan kondisi mental. Pada sickle cell crisis dimana terjadi sickling sel
kasus ini pasien telah 3 tahun mengkonsumsi darah merah di mikrosirkulasi. Hal tersebut
tablet ferriprox 3x500 mg per oral, namun tidak terjadi karena stress respon perioperatif,
ditemukan efek samping dari terapi kelasi.7–9 ischemia-reperfusion injury, dehidrasi, hipoksia,
Pada pasien dengan splenomegali maka hipotermia, dan asidosis.11,12
fungsi paru akan berkurang. Fungsi paru Kondisi sickle cell crisis bisa terjadi pada
menjadi restriktif dikarenakan massa yang semua organ di dalam tubuh. Apabila terjadi
besar di abdomen yang menekan diafragma ke pada sistem saraf pusat dapat terjadi kejang
arah thorax sehingga mengurangi kemampuan atau infark, pada system kardiovascular dapat
pengembangan paru. Pada saat dilakukan intubasi terjadi infark myocardium, dan pada ginjal
maka akan mudah terjadi desaturasi dikarenakan dapat terjadi acute kidney injury. Selama operasi
functional residual capacity berkurang. Pada kondisi hemodinamik pasien stabil namun
pasien ini tidak dilakukan tes fungsi paru pre- mengalami penurunan saat terpotongnya arteri
operatif namun secara klinis terjadi penurunan gastric brevis sehingga timbul perdarahan yang
fungsi paru saat berbaring terlentang tanpa bantal masif. Perdarahan masif terutama terjadi saat
ditandai dengan penurunan saturasi oksigen 94% pengangkatan di daerah hilus spleen. Setelah
dengan udara bebas serta tes tahan napas pada perdarahan teratasi, resusitasi cairan dilakukan,
pasien hanya 8 detik. Pada saat sebelum induksi, hemodinamik kembali stabil. Kondisi sickle cell
pasien diposisikan kepala 45 derajat untuk crisis tidak terjadi selama durante operasi.12
mengurangi tekanan massa ke arah thorax. Pada Selain sickle cell crisis, selama operasi yang
saat intubasi, pasien tidak mengalami de saturasi perlu menjadi perhatian lainnya adalah trauma
dikarenakan intubasi dilakukan secara cepat di daerah diafragma dan organ pencernaan
dalam waktu 5 detik.9 seperti usus dikarenakan letak anatomis dari lien
Indikasi dilakukan splenektomi pada yang dekat dengan diagragma dan organ-organ
pasien thalassemia mayor adalah apabila pencernaan. Pasca operasi pasien dipuasakan
terjadi hipersplenism, kebutuhan transfusi selama 24 jam dikarenakan untuk pemulihan
darah meningkat dua kali lipat yang menetap perdarahan di sekitar arteri gastric brevis dengan
selama lebih dari 6 bulan, kebutuhan transfusi mengurangi regangan dari dinding lambung.13
darah lebih dari 200 mL/kgBB/tahun, terdapat
leukopenia berat dan trombositopenia berat. Pada Simpulan
pasien ini indikasi dilakukan splenektomi adalah
telah terjadi hipersplenism dan trombositopenia Thalassemia mayor merupakan kelompok
berat. Splenektomi dapat mengurangi kebutuhan penyakit genetik yang memiliki berbagai
transfusi darah 25% sampai 60%.10 manifestasi sistemik. Pasien thalassemia sering
Selama operasi, cairan diberikan secara disertai dengan splenomegali dikarenakan terjadi
restriktif dikarenakan kardiomegali. Kondisi haematopoeisis ekstramedular dan peningkatan
kardiomegali akan menurunkan kontraktilitas otot destruksi sel darah merah. Pasien dengan
jantung. Manifestasi klinis yang menunjukkan thalassemia memiliki kebutuhan transfusi darah
adanya penurunan kontraktilitas jantung adalah yang berulang dan dalam jangka waktu yang
lama sehingga dapat terjadi komplikasi berupa 5. Giannakikou I, Karra A. Anaesthesia for a
penumpukan zat besi dalam tubuh. patient with B-thalassemia. Southern African
Splenektomi diindikasikan apabila terjadi J Anaesth. 2015;21(3):85–7.
peningkatan kebutuhan transfusi darah, 6. Oprea A. Haematologic disorders. Dalam:
splenomegali yang menimbulkan hipersplenism, Hines L, penyunting. Stoelting’s anesthesia
leukopenia dan trombositopenia berat, serta and co-existing disease. Edisi ke-6.
adanya penekanan pada organ sekitar. Pasien Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. hlm.
dengan hipersplenism dan riwayat transfusi 413–4.
darah rutin memiliki konsiderasi anestesi 7. Galanello R, Origa R. Beta-thalassemia
tersendiri apabila dilakukan operasi splenektomi. [diunduh 21 Mei 2010]. Tersedia dari : http://
Konsiderasi anestesi berhubungan dengan pubmed.gov.
perubahan fisiologis pasien dengan thalassemia, 8. Shander A, Berth U. Iron overloaded and
komplikasi transfusi darah berulang dan jangka toxicity: implications for anaesthesiologists.
waktu lama serta komplikasi terapi kelasi. Clin J Anaesth. 2012;24:419–25.
9. Saliba A, Harb A. Iron chelation therapy in
Daftar Pustaka transfusion-dependent thalassemia patients:
current strategies and future directions. Blood
1. Staikov C, Stavroulakis E, Karmaniolou Med J. 2015;6:197–209.
I. A narrative review of peri-operative 10. Weinreb N, Rosenbloom B. Splenomegaly,
management of patients with thalassemia. hypersplenism, and hereditary disorders with
Great Britain and Ireland J Anaesth. splenomegaly. Genetic J. 2013;3:24–43.
2014;69:494–510. 11. Yaish HM. Paediatric thalassemia [diunduh
2. Bolt D, Schoneboom B. Operative 11 Oktober 2015]. Tersedia dari: http://www.
splenectomy for treatment of homozygous emedicine.medscape.com.
thalassemia major in Afghan children at a US 12. Edmonds C. Sickle cell disease. Dalam: Yao F,
military hospital. Am Assoc Nurse Anaesth J. penyunting. Yao & Artusio’s anesthesiology
2010;78(2):129–33. problem-oriented patient management. Edisi
3. Singh A, Veena K. Anesthetic management ke-6. Philadelphia: Lippincot Williams &
of a patient with beta thalassemia and Wilkins, a Wolter Kluwers; 2008. Hlm. 980–
superimposed pneumonia. Ain-Shams J 93.
Anaesth. 2014;7:554–6. 13. Taher A, Musallam K. Splenectomy
4. Kallenbach T. Anaesthesia for a patient with and thrombosis: the case of thalassemia
beta thalassemia major. Southern African J intermedia. Thrombosis and Haemostasis J.
Anaesth. 2015;21(5):140–3. 2010;8:2152–8.