Bidang Anestesi
1. Farmakologi Obat Anestesi
2. Persiapan praanestesi :
a. Pemeriksaan praoperatif
b. Pemilihan obat premedikasi
c. Pemilihan obat anestesi
d. Pemilihan cara anestesi
3. Monitoring selama anestesi dan pasca bedah dini dan tahapan anestesi
4. Penyulit selama anestesi dan pasca bedah dini :
a. Penyulit pernafasan
b. Penyulit sirkulasi
c. Penyulit lain : hipertermi
5. Alat anestesi inhalasi
6. Anestesi pada kebidanan :
a. Anestesi pada operasi caesar
b. Anestesi pada post partum sterilisasi
7. Anestesi pada gawat darurat
8. Anestesi pada anak
9. Anestesi pada operasi jalan nafas
10. Anestesi pada penderita resiko tinggi
11. Anestesi pada penderita rawat jalan
12. Anestesi pada lokal
Bidang Kedokteran Gawat Darurat
1. Dasar penanganan penderita gawat
2. Penanganan gawat nafas :
a. Gangguan oksigenasi
b. Terapi oksigen
c. Fisioterapi nafas
3. Penanganan gawat sirkulasi :
a. Terapi cairan
b. Transfusi komponen darah pada penderita gawat
4. Resusitasi kardiopulmoner :
a. Resusitasi kardiopulmoner pada orang dewasa
b. Resusitasi kardiopulmoner pada bayi
5. Penanganan gangguan keseimbangan asam, basa dan elektrolit
6. Penanganan penderita dengan gangguan kesadaran
7. Rujukan dan komunikasi dengan penderita gawat
Pengelolaan nyeri akut dan kronis
1
FARMAKOLOGI OBAT ANESTESI UMUM
PENDAHULUAN
Untuk melakukan anestesi yang aman salah satu persyaratannya adalah mengetahui
khasiat, efek samping, dan cara kerja obat anestesi. Obat anestesi dapat dibagi dalam dua
kelompok besar yaitu obat anestesi umum dan obat anestesi regional. Obat anestesi
umum masih dibagi lagi menurut cara pemberiannya yaitu obat anestesi inhalasi dan obat
anestesi parenteral. Obat anestesi yang diberikan per-rektal, cara kerjanya seperti obat
anestesi parenteral. Obat yang dipakai untuk anestesi per-rektal adalah golongan
barbiturat yang sangat singkat. Untuk obat anestesi regional akan dibicarakan pada
farmakologi obat anestesi regional.
1. Anestesi Inhalasi
Untuk dapat memilih obat anestesi yang sesuai ada beberapa hal perlu dipahami yaitu
farmakologi dan farmakokinetik obat-obat anestesi umum dan dasar-dasar teori anestesi
inhalasi. Obat anestesi inhalasi dapat berbentuk cair yang mudah menguap atau berbentuk
gas. Untuk terjadinya anestesi maka obat tersebut masuk melalui inhalasi dari paru yang
diteruskan keseluruh jaringan melalui darah.
Agar dapat dihasilkan suatu efek farmakologi dari obat-obat anestesi yang digunakan,
diperlukan penggunaan dosis yang tepat dan cara yang benar. Untuk anestesi inhalasi,
jalan nafas digunakan sebagai jalan masuknya obat kedalam tubuh. Untuk mengetahui
cara kerja obat anestesi inhalasi, perlu dimengerti masalah uptake dan distribusi dari obat
inhalasi tersebut. Secara klinis tujuan pemberian anestesi ialah untuk mencapai tekanan
partial yang adekuat dari obat anestesi tersebut didalam otak, sehingga didapatkan efek
yang diinginkan. Efek ini bervariasi tergantung dari kadar yang ada di otak. Kadar obat
anestesi dalam jaringan merupakan hasil dari daya kelarutan dan tekanan partial obat
anestesi tersebut dalam jaringan, sedangkan daya kelarutan untuk obat anestesi tertentu
dianggap konstan. Tekanan partial dapat berubah dan diatur dengan perubahan kadar obat
anestesi. Tekanan partial obat anestesi dalam otak langsung dikendalikan dengan
merubah komposisi campuran obat yang dihisap.
2
Kadar gas didalam suatu campuran sebanding dengan tekanan partialnya. Untuk
menentukan dosis obat anestesi inhalasi, maka dipakai istilah tekanan partial (dalam torr)
dan kadar (vol.persen). Dengan mengatur komposisi campuran gas inspirasi maka
didapatkan perbedaan tekanan antara udara yang dihisap dan darah yang mengalir ke otak
sehingga terjadi aliran obat anestesi kedalam atau keluar dari otak dengan sistem respirasi
dan sirkulasi sebagai penghantarnya. Perbedaan tekanan partial ini merupakan kekuatan
pendorong yang menyebabkan obat anestesi menuju ke perbedaan kadar. Selama induksi
kadar tertentu dari suatu obat anestesi ditambahkan kedalam udara yang dihisap, sehingga
terjadi penurunan perbedaan kadar secara bertahap antara campuran gas yang dihisap dan
gas dalam alveoli, kemudian terhadap darah arterial dan otak. Selama pulih sadar, maka
terjadi hal yang sebaliknya.
Otak dan jaringan tubuh lainnya akan mengadakan keseimbangan dengan tekanan partial
obat anestesi yang digunakan melaui darah arteri, sedangkan darah akan mengadakan
keseimbangan dengan tekanan partial obat anestesi dalam alveoli. Tekanan partial obat
anestesi dalam alveoli ini sangat penting karena akan menentukan tekanan partial obat
anestesi dalam darah yang akan menuju ke otak dan jaringan tubuh lainnya.
Meningkatnya kadar inspirasi dan bertambahnya volume semenit akan menambah jumlah
obat anestesi yang masuk sehingga menyebabkan naiknya tekanan partial alveolar.
Sebaliknya turunnya tekanan partial gas inspirasi atau menurunnya volume semenit akan
mengurangi tekanan partial alveoler. Perbedaan tekanan yang besar antara gas alveoli dan
darah vena akan meningkatkan pembuangan obat anestesi dan akhirnya menurunkan
tekanan alveoler. Kenaikan curah jantung atau bertambahnya daya kelarutan obat anestesi
menyebabkan bertambahnya pengambilan dari gas alveoler dan mengurangi tekanan
partial obat anestesi dalam alveolus.
Setelah waktu tertentu maka pengambilan (uptake) obat anestesi dari paru-paru akan
mencapai keseimbangan dengan pengambilan total oleh berbagai jaringan tubuh. Obat
anestesi yang mempunyai daya kelarutan tinggi dengan cepat akan diambil dari paru oleh
darah, dan dari darah oleh jaringan. Hal ini akan menghambat atau membatasi kenaikan
tekanan partial obat anestesi dalam otak sehingga induksi menjadi lambat. Sebaliknya
dengan obat anestesi yang daya kelarutannya rendah, maka tekanan alveolaer obat
anestesi akan meningkat dengan cepat karena tidak banyak obat yang diambil oleh darah
3
dari paru. Dengan demikian maka keseimbangan antara gas alveoler, darah dan otak
cepat tercapai, sehingga menghasilkan induksi yang cepat. Daya kelarutan ini dinyatakan
dengan blood : gas atau tissue : blood partition coefficient.
Hubungan antara gas inspirasi dan tekanan partial alveoler dapat diringkas sebagai
berikut, selama penggunaan obat anestesi inhalasi, tekanan partial alveoler mula-mula
naik dengan cepat kearah tekanan gas inspirasi, kemudian lebih lambat. Tekanan partial
arteri mengikuti tekanan alveoler sampai terjadi keseimbangan antara darah paru dengan
gas alveoler. Kemudian terjadilah kenaikan tekanan partial jaringan, mencapai level
arteri. Jaringan yang kaya pembuluh darah termasuk otak akan mencapai keseimbangan
lebih cepat, sedangkan jaringan yang lain lebih lambat. Sebagai patokan, pemberian
anestesi sudah lengkap sebelum tekanan gas alveolar mencapai tekanan gas inspirasi.
(Gambar 1)
Gambar 1. Scematic diagram of uptake distribution of inhalation anaesthetics
Inspired concentration, FI or fraction inspired, of anesthetic is under direct control of the anesthetist. FI is
delivered to the alveoli by minute volume of ventilation (MVV). The alveolar concentration, FA or fraction
of alveoli, regulates tension (partial pressure) of anesthetic agent in arterial blood. The four tissue groups or
compartment (COMP), the vessel rich group (VRG), the muscle group (MG), and the vessel poor group
(VPG) tend toward equilibration with anesthetic tension in arterial blood but reach that equilibrium at retes
4
determined by the volume of blood flow to each tissue. The brain is the side of action. C.O. = cardiac
output and B.W. = body weight, both expressed in percent. SPLANC = splanchnic circulation.
2. Pengukuran potensi obat anestesi
Hubungan antara dosis yang digunakan dengan efek yang dihasilkan disebut potensi dari
obat tersebut. Dalam bidang anestesi dikenal istilah minimum alveolar concentration
(MAC) yang digunakan untuk menunjukkan potensi dari obat anestesi tersebut.
MAC ialah konsentrasi obat anestesi pada tekanan 1 atm yang menghasilkan immobilitas
dari 50% subyek yang dihadapkan pada rangsangan noxius.
Pengukuran ini memungkinkan diadakannya evaluasi secara kuantitatif respons pasien
terhadap kombinasi obat-obat yang menyebabkan depresi serebral.
Penggunaan opiat dan sedatif sebagai obat premedikasi akan menurunkan MAC sesuai
dengan dosis. Tiap kenaikan dosis disertai dengan penurunan jumlah obat inhalasi secara
proporsional untuk mencapai level anestesi yang diinginkan. Efek penambahan obat
anestesi inhalasi lain akan menurunkan kebutuhan obat tersebut. Kebutuhan bayi dan
orang tua menurun, tetapi meningkat pada masa pubertas.
Beberapa contoh MAC dibanding kadar obat anestesi.
Obat MAC Kadar induksi (vol%) Kadar rumatan (vol%)
Halothane O,76 2 4 0,5 2
Enflurane 1,68 2 5 1,5 3
Ether 1,92 10 30 4 15
N2O 105 Sampai 80 Sampai 80
N2O (Dinitrogen oksida, nitrous oxide)
Gas hampir tidak berbau, tidak mudah terbakar, tetapi dapat memudahkan terbakar dan
meledaknya obat anestesia yang mudah terbakar. N2O disimpan dalam botol logam,
sebagian dalam bentuk cair, hingga harus digunakan dengan botol berdiri tegak. Khasiat
anestesianya lemah sehingga hanya dapat dipakai pada operasi kecil atau membantu
mempercepat induksi.
Penggunaan N2O dilakukan dengan campuran oksigen dalam perbandingan kadar
N2O/O2 50%/50% atau maksimal 70%/30%. Khasiat analgesinya digunakan sebagai
kombinasi dengan obat anestesia lain yang tidak memiliki khasiat analgesia misalnya :
5
halothane, enflurane, isoflurane. N2O tidak memiliki khasiat relaksasi. Setelah anestesia
selesai, N2O dihentikan dan diteruskan O2 100% selama 5 10 menit lagi untuk
mencegah diffusion hypoxia.
Ether (diethyl-ether, di-etil-eter, eter)
Cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, mudah terbakar dan mudah meledak,
lebih-lebih jika digunakan bersama O2. mudah teroksidasi menjadi peroksid dan dengan
alcohol membentuk asetaldehid, sehingga ether yang telah terbuka beberapa haru
seharusnya dibuang. Ether mempunyai bau yang merangsang. Induksi dengan ether sukar
dicapai dengan baik karena pasien sering menahan nafas akibat bau yang kurang
menyenangkan. Sekresi bronkhus dan ludah meningkat. Hipersekresi dan hipersalivasi ini
dapat dicegah dengan premedikasi atropin 0,5 mg 1 jam sebelumnya. Ether menyebabkan
mual dan muntah, baik pada waktu induksi maupun pulih sadar melalui mekanisme
rangsangan lambung dan efek sentral. Ether mempunyai khasiat narkosis yang baik,
analgesia sangat kuat dan relaksasi otot bergaris sangat baik. Selain itu ether mempunyai
batas keselamatan sangat lebar. Dosis untuk tahap pemeliharaan (maintenance) adalah 2
4%. Dosis maksimal yang diberikan waktu induksi adalah 15-20%. Sampai pada tahapan
yang dalam, pasien tetap dapat bernafas spontan, meskipun reaksi pusat pernafasan
terhadap CO2 menurun. Ether menyebabkan bronkhodilatasi. Sampai stadium III bidang
2, efek depresi otot jantung tak tampak jelas karena ether merangsang syaraf simpatis
serta sekresi adrenalin-noradrenalin. Pada stadium dalam, terjadi depresi nafas dan
depresi otot jantung. Ether tidak membuat otot jantung lebih peka terhadap rangsang
katekholamin.
Selain ekskresi melalui paru, sebagian kecil melalui urine, keringat, air susu dan berdifusi
secara utuh melalui kulit. Untuk memudahkan induksi ethyl choride dengan tetes terbuka
(open-drop) atau ketamine iv/im.
Pembedahan dilakukan pada tahap (stadium) III :
1. Bidang 1 untuk pembedahan ditangan, kaki dan permukaan tubuh.
6
2. Bidang 2 untuk pembedahan rongga perut bagian bawah, Sectio Caesaria, hernia,
usus buntu dan sebagainya.
3. Bidang 3 untuk pembedahan rongga perut bagian atas dan lainnya yang
memerlukan relaksasi otot yang sebaik-baiknya. Pada bidang 3 ini telah terjadi
depresi nafas dan sirkulasi sehingga pasien mudah mengalami hipoventilasi yang
dapat membahayakan pasien. Cara yang lebih aman untuk mencapai relaksasi
yang baik adalah dengan diberikan obat pelumpuh otot.
Gambar skema dari Tahap anestesia dengan ether lihat pada judul tahap anestesia.
Ether menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan aliran darah organ viscera sehingga
filtrasi glomeruler dan jumlah air seni menurun. Sebaliknya pembuluh darah otak
menjadi vasodilatasi sehingga aliran darah dan tekanan intra kranial meningkat. Ether
jangan digunakan pada pasien dengan rudapaksa kepala, contusio cerebri dan tekanan
intra kranial yang meningkat. Pengaruh pada kadar gula darah dapat meningkatkan
sampai 2 kali lipat dan berlangsung sampai beberapa jam sesudah anestesia. Sedapat
mungkin ether dihindari penggunaannya pada pasien Diabetes Millitus.
Halothane (halotan)
Cairan tidak berwarna, berbau enak, tak mudah terbakar atau meledak. Induksinya cepat,
dengan kadar 2-4% dapat dilakukan dengan inhalasi langsung (terutama pada anak-anak)
atau dimulai dengan thiopental 3-5 mg/kg iv pelan-pelan. Kadar pemeliharaan 0,5-2%.
Khasiat analgesianya kurang baik sehingga diperlukan tambahan obat yang mempunyai
sifat analgesia misalnya N2O atau narkotik. Obat narkotik pethidin diberikan 1 mg/kg BB
atau morfin 0,1 mg/kg BB im sebagai premedikasi atau diberikan tambahan selama
anestesia, seperti pethidin dengan dosis 0,2 mg/kg BB iv. Halothane tidak melemaskan
otot bergaris kecuali otot masseter (rahang).
Depresi pernafasan terjadi pada stadium pembedahan sehingga perlu diberikan nafas
buatan berkala untuk menghindarkan hiperkarbia. Halothane menyebabkan
bronkhodilatasi dan tidak merangsang sekresi kelenjar bronkhus maupun hipersalivasi.
Terhadap sistem sirkulasi menyebabkan depresi sirkulasi. Tekanan darah menurun karena
kontraktilitas otot jantung yang menurun dan adanya vasodilatasi perifer. Pada over dosis
halothane aktifitas syaraf simpatis menurun sehingga dapat mudah terjadi cardiac arrest,
7
dan aktifitas syaraf vagus yang relatif meningkat menyebabkan terjadinya bradikardia.
Halothane juga membuat miokard lebih peka terhadap katekholamine sehingga mudah
terjadi extra-sistol dan aritmia ventrikuler yang berbahaya yang tampak bila dilakukan
dengan monitor EKG. Suntikan adrenalin untuk infiltrasi selama anestesia harus sangat
dibatasi. Dosis orang dewasa tidak boleh melampaui 10 ml larutan 1 : 100.000 dalam 10
menit atau 30 ml per jam.
Hipoventilasi menyebabkan kenaikan CO2 darah sehingga memudahkan terjadinya
aritmia ventrikuler. Penggunaan pada pasien syok atau hipotensi akan memperberat
keadaan. Untuk mengatasi hipotensi diberikan ephedrine dalam larutan 10 mg/cc
diberikan 10-15 mg iv pelan-pelan jika tekanan sistolik turun lebih dari 25% awal kalau
perlu dosis dapat diulang setelah 5-10 menit.
Aliran darah ke organ viscera menurun, GFR dan produksi air seni juga menurun.
Sebaliknya vasodilatasi perifer menyebabkan sirkulasi ke otak meningkat dan tekanan
intra kranial naik. Kenaikan tekanan intra kranial ini akan menjadi lebih tinggi jika
disertai depresi nafas yang mengakibatkan kadar CO2 yang meningkat.
Halothane pada kadar rendah (pasien masih sadar), sudah menghambat kontraksi otot
rahim serta mengurangi efektifitas ergotamine dan oksitosin hingga mudah menyebabkan
perdarahan pasca persalinan (post partum) yang sangat berbahaya. Penggunaan pada
Sectio Caesaria harus sangat hati-hati dengan perdarahan yang terjadi.
Penggunaan berulang harus dihindari sebelum jarak waktu 12 minggu karena dapat
menyebabkan kerusakan hepar (nekrosis sentrilobuler) melalui mekanisme sensitisasi.
Enflurane
Enflurane (CHF2OCF2CHFCl) adalah hidro karbon halogen yang kuat (MAC enflurane
1,68% didalam oksigen). Ia kelompok senyawa sentetik yang lebih baru, yang dibuat
untuk mengkombinasi ikatan ether stabil (untuk efek anestesi) dan molekul halogen.
Induksi cepat dan gangguan pernafasan dan sistem kardiovaskular timbul seperti pada
pemberian halothane. Enflurane tidak memiliki efek sensitisasi myocardium terhadap
obat blok neuromuskular. Beberapa kasus hepatotoksisitas seperti halothane juga
ditemukan. Hal ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa persentase enflurane yang
mengalami biotransformasi hanya kecil bila dibanding dengan halothane. Walau
8
demikian, enflurane tampak cukup kuat untuk menimbulkan disfungsi ginjal yang
mungkin berhubungan dengan kenaikan kadar plasma fluorida anorganik. Walaupun
belum ada cukup data untuk membuktikan bahwa tingkat plasma fluorida anorganik
bersifat nefrotoksik, namun lebih baik menghindari atau membatasi penggunaan
enflurane pada pasien penyakit ginjal atau yang mengalami transplantasi ginjal. Dalam
jumlah persentase yang kecil pada pasien normal, penggunaan enflurane tampak adanya
pembentukan pola elektroensefalografi (EEG) yang menyerupai tanda epilepsi. Bukti
klinik perubahan EEG yang abnormal tampaknya meragukan, terutama karena lebih
jarang dibanding dengan pasien epilepsi. Karena itu, lebih baik menghindari penggunaan
enflurane pada pasien epilepsi.
3. Anestesi Parenteral
Obat anestesia parenteral setelah penyuntikan, kadar obat anestesia dalam darah
meningkat, lalu diikuti kenaikan kadar dalam jaringan otak sehingga pasien menjadi tidak
sadar. Untuk mempertahankan tahapan anestesia, kadar dalam darah harus dipertahankan
dengan penyuntikan berkala atau memberikan tetesan secara kontinyu sebab obat tersebut
mengalami metabolisme di hati dan dikeluarkan lewat ginjal. Jika pemberian obat
anestesia dihentikan, kadar dalam darah menurun, terjadi difusi balik dari jaringan otak
kedalam darah dan pasien sadar kembali. Makin lama anestesia berlangsung, makin lama
juga proses sadar kembalinya karena jaringan tubuh selain otak juga menjadi jenuh
dengan obat anestesia.
Thiopental (Penthotal, Thiopentone sodium)
Yang termasuk obat anestesia parentaral adalah golongan barbiturat yang waktu
bekerjanya sangat singkat dikenal sebagai thiopental. Induksi intravena berjalan cepat,
dalam 30-60 detik pasien sudah tidak sadar. Pemberian intravena harus dilakukan secara
perlahan, 3-5 mg/kg BB, sambil melihat respon pasien, sampai mata tertutup dan reflex
bulu mata hilang. Hilangnya kesadaran disebabkan depresi kortex dan Reticular
Activating System. Pada dosis yang lebih banyak terjadi depresi pusat pernafasan di
medulla oblongata. Pasien cepat kembali sadar dalam 3-5 menit akibat adanya
redistribusi obat dari otak ke jaringan lain, bukan karena cepatnya metabolisme di hati
atau ekskresi di ginjal. Thiopental sesuai untuk tindakan singkat seperti reposisi patah
9
tulang yang tertutup, reposisi dislokasi sendi dan insisi abses. Thiopental sebagai obat
induksi yang dilanjutkan dengan halothane akan berjalan lancar, tapi sebaliknya bila
dilanjutkan dengan ether akan mengalami banyak kendala sebab thiopental menaikan
kepekaan reflex jalan nafas sedang disisi lain ether merangsang jalan nafas. Khasiat
analgesia dan relaksasi otot bergaris kurang. Tidak menyebabkan mual atau muntah.
Ketamine (ketalar)
Ketamine adalah obat anestesia yang dapat diberikan intramuskuler, intravena (bolus)
atau drip (per-infus). Dapat diberikan secara intramuskuler ketamine mempunyai
keuntungan tersendiri, sehingga dapat diberikan pada anak-anak yang tidak kooperatif
dan tidak mungkin untuk dipasang infus sebelumnya, atau pada anak yang menolak
penggunaan masker untuk inhalasi anestesi pada waktu induksi. Dosis intramuskuler
untuk permulaan 8-10 mg/kg BB, degan dosis ulang setengahnya. Dengan pemberian
intrvena digunakan dosis permulaan 1-2 mg/kg BB dan dosis ulang 1 mg/kg BB. Dosis
dapat diperkecil dengan pemberian secara drip (dalam infus), yaitu 2-4 mg/kg BB/jam.
Ketalar dilarutkan dalam NaCl 0,9% atau RL, dibuat larutan 0,1% (1mg/cc). Apabila
digunakan atas indikasi yang benar, ketamine memberikan beberapa keuntungan antara
lain, penyimpanannya mudah, tidak memerlukan peralatan yang mahal, penggunaannya
mudah, dapat digunakan untuk induksi maupun rumatan anestesi, efek analgesia kuat,
dengan onset yang cepat, stimulasi ringan kardiovaskuler, sehingga baik untuk pasien
shock. Kerugiannya meningkatkan tekanan intrakranial, sehingga tidak boleh digunakan
pada pasien dengan trauma kepala atau yang dicurigai adanya proses di otak dan
menyebabkan nystagmus, sehingga tidak boleh digunakan untuk operasi mata.
Propofol (Diprivan)
Propofol merupakan obat induksi anestesia cepat. Obat ini didistribusi secara cepat dan
eliminasi yang cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung
dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai sifat analgesik.
Dibandinghkan dengan thiopental, waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terjadi mual
dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol mempunyai efek anti emetik. Propofol
menekan korteks adrenal dan menurunkan kadar kortisol plasma, tetapi supresi adrenal
cepat kembali dan memberikan respons terhadap stimulasi ACTH. Propofol mengurangi
aliran darah otak dan tekanan prefusi ke otak. Propofol memberikan efek potensiasi
10
depresi SSP dan sirkulasi dengan obat golongan narkotik, sedatif, obat anestesia inhalasi.
Potensiasi terjadi pada efek blokade neuromuskuler dari golongan obat pelumpuh otot
non-depolarisasi. Untuk mengurangi efek yang kurang menguntungkan pada manula,
operasi yang beresiko tinggi, pemberian sedatif dan narkotik dosisnya harus dikurangi.
Pemberian intravena dilakukan kedalam vena besar dengan menambah lidokain iv (0,1
mg/kg) pada propofol untuk induksi yang bertujuan mengurangi rasa nyeri. Karena efek
propofol terhadap tekanan perfusi otak, maka tidak disarankan pada pasien dengan
peningkatan tekanan intrakranial. Pada pasien riwayat epilepsi atau gangguan kejang
harus diberikan dengan hati-hati. Pada operasi Caesar dosis induksi propofol
mengakibatkan konsentrasi pada vena umbilikalis tinggi, sehingga bayi yang lahir
mengalami hipotonus otot, dan skor Apgar 1 dan 5 menit yang rendah. Pada pasien yang
alergi terhadap telur atau minyak kedelai merupakan kontra indikasi pemakaian propofol.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adalah depresi pernafasan, apnea,
bronkospasme dan leringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia,
takikardia, bradikardia dan hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala,
pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual, muntah.
Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga pada saat pemberian dapat
dicampurkan lidokain.
Rangkuman
Obat anestesia inhalasi dan parenteral mempunyai cara kerja yang berbeda. Obat
anestesia inhalasi yang dikeluarkan tubuh melalui paruakan lebih mudah untuk mengatur
kedalaman anestesinya, tetapi pada obat anestesia intravena pengeluaran dari tubuh
tergantung dari metabolisme obat tersebut, sehingga terjadinya kelebihan dosis harus
dapat diantisipasi.
Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.,
11
Introduction to Anesthesia.
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
Halaman : 103 132, 141 - 155
2. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail
Clinical Anesthesiology
Second edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 109 127, 128 148
{@w
Pemeriksaan Preoperatif
12
Pendahuluan
Komponen psikologis merupakan hal penting pada tindakan pembedahan sehingga
kunjungan prabedah merupakan hal sangat penting. Selain komponen psikologis
kunjungan prabedah menentukan keadaan pasien apakah layak untuk dilakukan tindakan
anestesia dan operasi dan masih banyak lagi manfaatnya, diantaranya pemilihan obat
anestesia, obat premedikasi, tehnik anestesia, meramalkan penyulit yang mungkin terjadi
sehingga dapat menyiapkan hal-hal yang dapat mengatasi penyulit.
Kunjungan Prabedah dan Anamnesis
Setiap pasien yang akan mengalami anestesia harus dilihat dan diperiksa dahulu oleh
dokter yang akan melakukan pemberian anestesia, setidak-tidaknya 1 hari sebelum hari
operasi apabila tindakan pembedahan terencana atau pada waktu dikonsulkan oleh ahli
bedah untuk pembedahan darurat.
Semua catatan dalam dokumen medik yang baru maupun yang terdahulu (bila pasien
pernah MRS) harus dipelajari secara teliti. Harus diperhatikan hal-hal yang menyangkut
pengalaman operasi dan anestesia yang pernah dijalani (bila ada) dan perubahan-
perubahan fisiologik yang ditimbulkan oleh penyakit yang direncanakan akan dibedah,
maupun penyakit lain yang menyertainya.
Kemampuan toleransi terhadap efek obat anestesia sangat tergantung keadaan fungsi
respirasi dan sirkulasi, fungsi homeostatik di hepar, endokrin dan saraf pusat. Keadaan ini
dapat diketahui apabila dilakukan kunjungan prabedah. Kunjungan prabedah dan
melakukan dialog dengan pasien tidak dapat diganti dengan cara lain, misalnya dengan
pemberian obat penenang. Kunjungan prabedah ini merupakan proses belajar baik bagi
pasien maupun dokternya. Oleh karana itu pada waktu malakukan anamnesis tidak boleh
tergesa-gesa. Masalah obat-obat yang digunakan oleh pasien dicatat dengan baik. Hal-hal
lain yang harus diperhatikan ialah masalah emosi/keadaan psikis pasien.
Dengan kunjungan prabedah ini maka dokter dapat memberi pengertian pada pasien apa
yang akan dialami sebelum anestesia (misalnya mengapa harus puasa 6 jam, diberi obat
pencahar, mendapat suntikan/obat premedikasi, dipasang infus dll) dan setelah
pembedahan (akan berada disuatu diruangan yang belum dikenal yaitu ruang pulih sadar,
timbul rasa sakit, mungkin terasa pusing atau mual dll). Kepada pasien dapat dilatihkan
13
bagaimana cara mengambil nafas panjang dan batuk yang efektif agar tidak terjadi
penyulit paru (atelektasis) pasca bedah. Dapat dijelaskan pula masalah nyeri pasca bedah,
dan bagaimana perjalanan hilangnya nyeri tersebut.
Dari kontak pertama dengan pasien, dapat dilihat kemungkinan masalah yang dapat
timbul selama anestesia misalnya, pasien dengan leher pendek kemungkinan dapat terjadi
penyulit jalan nafas (obstruksi), anak atau bayi yang gemuk, kemungkinan akan
menimbulkan kesulitan pada waktu memasang infus.
Pemeriksaan Fisik
Setelah anamnesis dilakukan secara lengkap dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, sesuai
dengan urutan pemeriksaan sistem secara legeartis. Besarnya cadangan sistem
kardiovaskuler dapat diperkirakan dengan menanyakan toleransi pasien terhadap latihan
fisik. Pasien juga dapat diminta untuk berjalan dilorong atau naik tangga, untuk
mendeteksi terjadinya nafas pendek atau nyeri di tungkai (claudicatio). Apabila ada
riwayat infark myokard, maka tidak adanya keluhan angina tidak dapat dipakai sebagai
patokan tentang baiknya aliran darah koroner.
Sementara itu hasil pemeriksaan laboratorium diteliti. Bila ada hal-hal yang perlu untuk
diperiksa, maka dapat diminta pemeriksaan laboratorium tambahan. Apabila pemeriksaan
telah selesai, diberikan penerangan tentang cara anestesia yang akan dilakukan, tentang
apa yang akan dialami pasien selama waktu pasca anestesia/bedah. Penjelasan dilakukan
dengan bahasa awam, sehingga pasien dapat mengerti. Pasien berhak untuk mengetahui
apa yang akan dilakukan oleh dokter.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium yang ada, dapat
ditentukan status fisik pasien serta dinilai resiko pasien terhadap anestesia.
Status Fisik (Physical Status = PS)
Pasien yang akan mengalami anestesia dan pembedahan dapat dikategorikan dalam
beberapa kelas status fisik, yang semula diusulkan dan digunakan oleh American Society
of Anesthesiologist (ASA), karena itu status fisik diberi nama ASA.
Status fisik diklasifikasikan menjadi 5 kelas, yaitu ASA 1 sampai ASA 5, dengan uraian
sebagai berikut :
14
Klas 1
Pasien tanpa gangguan organik, fisiologik, biokemik maupun psikiatrik. Proses patologik
yang akan dilakukan operasi terbatas lokalisasinya dan tidak akan menyebabkan
gangguan sistemik.
Contoh :
a. Seorang dewasa muda sehat akan menjalani operasi hernia inguinalis.
b. Seorang wanita muda sehat dengan myoma uteri akan dilakukan myomektomi.
Klas 2
Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang, yang disebabkan baik oleh
keadaan yang harus diobati dengan jalan pembedahan maupun oleh proses-proses
patofisiologis.
Contoh :
a. Pasien dengan penyakit jantung organik tanpa pembatasan aktifitas atau dengan
pembatasan ringan, direncanakan untuk operasi hernia.
b. Pasien dengan DM ringan direncanakan untuk operasi appendektomi.
c. Pasien dengan anemia atau dengan hipertensi essensial.
d. Dalam klas ini juga dimasukkan pasien dengan umur ekstrim (neonatus atau
geriatri) tanpa penyakit sistemik, atau pasien dengan obesitas, brochitis kronis.
Klas 3
Pasien dengan gangguan sistemik berat, apapun penyebabnya.
Contoh :
a. Pasien dengan DM berat dengan komplikasi vaskuler yang memerlukan tindakan
pembedahan.
b. Pasien dengan insufisiensi paru sedang sampai berat, perlu pembedahan misalnya
hernia.
c. Pasien dengan angina pectoris atau infark myokard lama.
Klas 4
15
Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, yang tidak selalu dapat
dikoreksi dengan pembedahan.
Contoh : pasien dengan dekompensasi jantung, angina pectoris yang terus-menerus,
insufisiensi berat dari faal paru, hepar, ginjal atau endokrin.
Klas 5
Moribound : pasien yang hanya mempunyai kemungkinan kecil untuk hidup.
Contoh : pasien shock karena perdarahan, trauma kepala hebat dengan tekanan
intrakranial yang meningkat. Pada umumnya pasien-pasien ini memerlukan operasi untuk
rersusitasi dan umumnya hanya perlu anestesia sedikit atau bahkan tanpa obat anestesia.
Operasi Darurat (D)
Setiap pasien dari masing-masing klas tersebut diatas yang mengalami pembedahan
darurat dipertimbangkan menjadi dalam kondisi fisik yang lebih jelek. Dibelakang angka
yang menunjukkan kelasnya, ditulis huruf D yang berarti darurat (dalam buku berbahasa
Inggris ditulis E = emergency).
Dengan menggunakan klasifikasi ini seseorang dapat berbicara dengan bahasa yang sama
diforum nasional maupun internasional.
Rangkuman
Untuk melakukan pemilihan obat anestesia, obat premedikasi dan tehnik anestesia harus
dilakukan evaluasi praoperatif. Dengan dilakukan pemeriksaan praoperatif pasien dapat
dipersiapkan dengan baik untuk menghindari penyulit selama anestesia/operasi dan pasca
bedah dini. Apabila terjadi penyulit, obat dan alat sudah disediakan sehingga dapat
diatasi.
Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.,
Introduction ti Anesthesia.
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
Halaman : 13 - 21
2. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail
16
Clinical Anesthesiology
Second edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 5 7
{@w
Premedikasi
17
Tujuan utama dari pemberian obat premedikasi adalah untuk memberikan sedasi psikis,
mengurangi rasa cemas dan melindungi dari stres mental atau faktor-faktor lain yang
berkaitan dengan tindakan anestesia yang spesifik. Hasil akhir yang diharapkan dari
pemberian premedikasi adalah terjadinya sedasi dari pasien tanpa disertai depresi dari
pernafasan dan sirkulasi. Kebutuhan premedikasi bagi masing-masing pasien yang untuk
setiap pasien dapat berbeda. Rasa takut dan nyeri ini harus diperhatikan betul pada
prabedah.
Reaksi fisiologis terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atas 2 bagian yaitu reaksi somatik
(voluntary) dan reaksi simpatetik (involuntary). Efek somatik ini timbul didalam
kecerdasan dan menumbuhkan dorongan untuk bertahan atau menghindari kejadian
tersebut. Kebanyakan pasien akan melakukan modifikasi terhadap manifestasi efek
somatik tersebut dan menerima keadaan yaitu dengan tampak tenang. Reaksi syaraf
simpatis terhadap rasa takut atau nyeri tidak dapat disembunyikan oleh pasien. Rasa takut
dan nyeri mengaktifkan syaraf simpatis untuk menimbulkan perubahan sistem sirkulasi
dalam tubuh. Perubahan ini disebabkan oleh stimulasi efferen simpatis yang ke pembuluh
darah, dan sebagian karena naiknya katekolamin dalam sirkulasi. Impuls adrenergik dari
rasa takut timbul di korteks cerebri dan dapat ditekan dengan tidur atau dengan sedativa
yang mencegah kemampuan untuk menjadi takut. Reaksi kardiovaskuler terhadap nyeri
secara neurologis berbeda dengan rasa takut, karena arkus reflex yang tersangkut
seluruhnya ada di batang otak dibawah level sensoris thalamus. Ini berarti bahwa
pendekatan klinis untuk menghilangkan kedua hal tersebut harus berbeda. Tanda akhir
dari reaksi adrenergik terhadap rasa takut ialah meningkatnya detak jantung dan tekanan
darah. Maka umumnya tujuan pemberian obat premedikasi adalah menghilangkan
kecemasan, mendapatkan sedasi, mendapatkan analgesia, mendapatkan amnesia, dan
mendapatkan efek antisialogoque. Disamping itu pada keadaan tertentu juga menaikkan
pH cairan lambung, mengurangi volume cairan lambung, dan mencegah terjadinya reaksi
allergi.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan
setelah kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang
akan digunakan harus selalu memperhitungkan umur pasien, berat badan, status fisik,
18
derajad kecemasan, riwayat hospitalisasi sebelumnya (terutama pada anak), riwayat
reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya (bila pasien pernah diberi anestesi
sebelumnya), riwayat penggunaan obat-obat tertentu yang kemungkinan dapat
berpengaruh pada jalannya anestesi (misalnya MAO inhibitor, kortikosteroid, antibiotik
tertentu), perkiraan lamanya operasi, macam operasi (misalnya terencana, darurat, pasien
rawat inap atau rawat jalan) dan rencana obat anestesia yang akan digunakan.
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat premedikasi
dapat digolongkan seperti dibawah ini beberapa contoh yang terdapat di Indonesia).
Golongan Obat Contoh
Barbiturat Luminal
Narkotik Petidin, Morfin
Benzodiazepin Diazepam, Midazolam
Butyrophenon Dehydrobenparidol
Antihiatamin Prometazine
Antasida Gelusil
Anticholinergik Atropin
H
2
receptor antagonis Cimetidine
Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam praktek sehari-hari
dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapat hasil yang diinginkan, misalnya :
Kombinasi narkotik, benzodiazepin dan anticholinergik
Kombinasi narkotik, butyrophenon dan anticholinergik
Kombinasi narkotik, antihistamin dan anticholinergik
Pada keadaan tertentu perlu diberikan antasida (baca anestesia pada ibu hamil)
Barbiturat
Kebanyakan pasien yang telah direncanakan untuk menjalani operasi akan lebih baik bila
diberikan hipnotik malam sebelum hari operasi, karena rasa cemas, hospitalisasi atau
keadaan sekitar yang tidak biasa dapat menyebabkan insomnia. Untuk itu dapat
digunakan golongan barbiturat per oral sebelum waktu tidur. Selain itu barbiturat juga
digunakan untuk obat premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini ialah dapat
menimbulkan sedasi, efek terhadap depresi respirasi minimal (ini dibuktikan dengan tidak
19
berubahnya respon ventilasi terhadap CO
2
), depresi sirkulasi minimal dan tidak
menimbulkan efek mual dan muntah. Obat ini efektif bila diberikan per oral. Premedikasi
per oral belum dapat dibudayakan di Indonesia belum dilakukan (terutama bagi golongan
menengah/bawah), karena masih ditakutkan bila disamping minum obat, pasien tidak
dapat menahan diri untuk tidak minum lebih banyak.
Kerugian penggunaan barbiturat termasuk tidak adanya efek analgesi, terjadinya
disorientasi terutama pada pasien yang kesakitan, serta tidak ada antagonisnya. Barbiturat
merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan akut intermitten porphyria.
Narkotik
Morfin dan Petidin merupakan narkotik yang paling sering digunakan untuk premedikasi.
Keuntungan penggunaan obat ini ialah memudahkan induksi, mengurangi kebutuhan obat
anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah, memudahkan melakukan
pemberian nafas buatan, dapat diantagonisir dengan naloxon.
Narkotik ini dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebabkan
hipotensi ortostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien dengan
hipovolemia. Berlawanan dengan barbiturat, narkotik ini dapat menyebabkan depresi
pusat pernafasan di medulla yang dapat ditunjukkan dengan turunnya respons terhadap
CO
2
. Mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah di
medulla. Bila pasien dalam posisi tidur akan mengurangi efek tersebut.
Morfin diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg BB, sedangkan Petidin dengan dosis 1-2
mg/kg BB. Pada orang tua dan anak-anak dosis diberikan lebih kecil.
Benzodiazepin
Golongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas. Diazepam bekerja pada
reseptor otak yang spesifik, menghasilkan efek anti-anxiety yang selektif pada dosis yang
tidak menimbulkan sedasi yang berlebihan, depresi nafas, mual atau muntah. Kerugian
penggunaan diazepam untuk premedikasi ini ialah kadang-kadang pada orang tertentu
dapat menyebabkan sedasi yang berkepanjangan. Selain itu juga rasa sakit pada
penyuntikan intramuskuler, serta absorbsi sistemik yang jelek setelah pemberian
intramuskuler.
20
Benzodiazepin yang larut dalam air dan cepat diabsorbsi setelah pemberian
intramuskuler, yaitu Midazolam. Keuntungan obat ini tidak menimbulkan rasa nyeri pada
penyuntikan baik secara intramuskuler maupun intravena.
Diazepam dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 10 mg, sedang pada anak
kecil 0,2-0,5 mg/kg BB. Midazolam dapat diberikan dengan dosis 0,1 mg/kg BB.
Penggunaan Midazolam ini harus dengan pengawasan yang ketat, karena kemungkinan
terjadi depresi respirasi.
Butyrophenon
Dari golongan ini droperidol dengan dosis 2,5-5 mg intramuskuler digunakan sebagai
obat premedikasi dengan kombinasi narkotik. Keuntungan yang sangat besar dari
penggunaan obat ini ialah efek antiemetik yang sangat kuat, dan bekerja secara sentral
pada pusat muntah di medulla. Obat ini ideal untuk digunakan pada pasien-pasien dengan
resiko tinggi, misalnya pada operasi mata, pasien dengan riwayat sering muntah dan
obesitas. Dapat juga diberikan secara intravena dengan dosis 1-1,25 mg.
Kadang-kadang pada pasien tertentu droperidol ini dapat menimbulkan dysphoria (pasien
merasa takut mati). Droperidol juga mempunyai efek blokade terhadap dopaminergik
reseptor sehingga dapat menimbulkan gejala extrapyramidal pada pasien yang normal.
Selain itu juga mempunyai efek alpha adrenergik antagonis yang ringan, sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Efek ini dapat digunakan pada pasien
hipertermia sebelum diberikan kompres basah seluruh tubuh. Namun perlu diingat akan
terjadinya relatif hipovolemia. Pada pasien dengan riwayat alergi/rhinitis vasomotorika
sebaiknya penggunaan obat ini dihindari.
Antihistamin
Dari golongan ini yang sering digunakan sebagai oabt premedikasi ialah promethazin
(phenergan) dengan dosis 12,5-25 mg intramuskuler pada orang dewasa. Digunakan pada
pasien dengan riwayat asma bronchiale.
21
Anticholinergik
Atropin mempunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek muskarinik dari acetylcholin.
Atropin ini dapat menembus barier lemak misalnya blood-brain barrier, placenta barrier
dan traktus gastrointestinal.
Reaksi tersering dari pemakaian obat ini ialah menghasilkan efek antisialagog,
mengurangi sekresi ion H asam lambung, menghambat reflex bradikardia dan efek
sedativa dan amnesik (terutama scopolamin). Efek lain yang merugikan adalah nadi yang
meningkat, midriasis, cycloplegia, kenaikan suhu, mengeringnya sekret jalan nafas dan
CNS toxycity terjadi gelisah, dan agitasi.
Antasida
Pemberian antasida 15-30 menit pra induksi hampir 100% efektif untuk menaikkan pH
asam lambung diatas 2,5. Seperti diketahui, aspirasi cairan asam lambung dengan pH
yang rendah dapat menimbulkan apa yang dinamakan acid aspiration syndrome atau
disebut juga Mendelsons syndrome. Yang dianjurkan adalah preparat yang mengandung
Mg-trisilikat.
H
2
-reseptor antagonis
Obat ini akan melawan kemampuan histamin meningkatkan sekresi cairan lambung yang
mengandung ion H tinggi. Dari kepustakaan disebutkan bahwa pemberian cimetidin oral
300 mg 1-1,5 jam pra induksi dapat menaikkan pH cairan lambung diatas 2,5 sebanyak
lebih dari 80% pasien. Dapat pula diberikan secara intravena dengan dosis yang sama 2
jam sebelum induksi dimulai.
Rangkuman
Kunjungan pra anestesia dan pembedahan merupakan rangkaian untuk menentukan
premedikasi apa yang akan diberikan. Tanpa melihat pasien akan menyebabkan
22
kesalahan dosis obat premedikasi yang dapat merugikan pasien. Perhatian khusus pada
bayi dibawah 2 tahun dan orang tua diatas 60 tahun.
Menentukan dosis obat premedikasi yang tepat merupakan permulaan dari keamanan
tindakan anestesia.
Bahan Bacaan
1. Drips R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.
Introduction to Anesthesia
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
Halaman : 37 45
{@w
Pemi lihan Obat Anestesi, Premedikasi dan Tehnik Anestesi
Pendahuluan
23
Pada pemilihan obat anestesia, premedikasi dan tehnik anestesia pada dasarnya
dipertimbangkan dua hal, yaitu bahwa cara atau obat itu harus :
1. Baik (tidak berbahaya) untuk pasien yang bersangkutan.
2. Baik untuk macam operasi yang akan dikerjakan.
Pasien sakit jantung dengan dekompensasi akan menjalani operasi untuk hemorrhoid,
pemilihan obat anestesi, obat premedikasi dan tehnik anestesinya disesuaikan dengan
penyakit yang diderita diluar pembedahan dan tindakan operasinya.pembedahan
hemorrhoid membutuhkan relaksasi dari anus dan apsein dengan dekompensasi ringan
tidak boleh diberikan lagi terhadap kerja jantung. Bila dipilih ether relaksasi dapat dicapai
hanya pada stadium yang dalam. Anestesi yang dalam tidak baik untuk pasien dengan
dekompensasi ringan. Subarachnoid block menghasilkan relaksasi yang baik. Bila
dilakukan block rendah (saddle block), pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler tidak
ada sehingga bahaya bagi pasien sangat minimum.
Pemilihan obat anestesia
Tujuan dari memberikan anestesi adalah untuk mendapatkan 3 hal, yaitu :
narcose/hipnosis menyebabkan tidur, analgesi yang menyebabkan tidak merasakan nyeri
dan relaksasi yang menyebabkan otot-otot jadi lemas. Akan tetapi tidak semua obat
anestesi mempunyai daya yang kuat dalam bidang tersebut. Sebagai contoh : thiopental,
hanya mempunyai efek narcosis yang baik, tetapi tidak mempunyai efek analgesi dan
relaksasi. Ketamine mempunyai efek narcosis yang baik, analgesi somatik juga baik,
tetapi tidak mempunyai daya relaksasi. Halothane mempunyai efek narcosis yang baik
dan mempunyai efek analgesi dan relaksasi yang cukup. Ether mempunyai efek narcosis,
analgesi dan relaksasi yang baik.
Sebaliknya tidak semua operasi memerlukan analgesi dan relaksasi yang sama.
Laparotomy memerlukan relaksasi sedangkan menjahit luka pada tungkai tidak
memerlukan relaksasi. Pemilihan obat anestesi disesuaikan dengan kebutuhan operasi.
Dalam hal laparotomy misalnya digunakan ether, menjahit luka pada tungkai dapat
digunakan ketamine.
Pada anestesi modern sering digunakan beberapa obat bersama-sama dengan maksud
untuk mencapai hasil anestesi sebaik-baiknya dengan menimbulkan gangguan faal pada
24
pasien sesedikit mungkin. Misalnya pasien akan dilakukan pembedahan thorax dilakukan
induksi dengan thiopental intra vena, merupakan hal yang menyenangkan untuk pasien
karena dimasukkan lewat saluran infus sehingga tidak merasakan sakit atau membau
yang tidak enak. Induksi berjalan sangat cepat dan dilanjutkan dengan rumatan dengan
obat anestesi inhalasi halothane yang mempunyai daya narcosis dan untuk analgesinya
diberikan gas gelak (N
2
O) dan untuk relaksasinya diberikan pancuronium.
Pada anestesi tanpa pelumpuh otot jika narcosis atau analgesinya tidak cukup akan
menimbulkan tanda-tanda somatik (tanda-tanda yang timbul karena refleks-refleks yang
melewati saraf somatis) seperti pasien bergerak atau bersuara. Disamping itu akan timbul
juga tanda-tanda visceral (tanda-tanda yang timbul karena refleks-refleks yang melewati
saraf visceral atai otonom) seperti berkeringat, keluar air mata, nadi cepat, tensi naik. Jika
dipakai obat pelumpuh otot, otot-otot bergaris akan menjadi lumpuh dengan demikian
maka tanda-tanda somatic tidak dapat timbul. Cukup tidaknya narcosis atau analgesi
dinilai dengan hanya memperhatikan tanda-tanda visceral yang timbul. Perlu diperhatikan
bahwa pemakaian pelumpuh otot hanya boleh jika pasien dilakukan pernafasan buatan.
Pemilihan obat premedikasi
Pemilihan obat premedikasi sangat dipengaruhi oleh derajat kecemasan, riwayat penyakit
dan hospitalisasi sebelumnya. Pasien dengan kecemasan yang tinggi maka pemberian
sedatif sangat diperlukan.
Status fisik (ASA) merupaka pemeriksaan yang berdasar resiko anestesi dan pembedahan
ikut pula menentukan macam obat premedikasi yang dipakai. Pasien dengan status fisik
yang tinggi dan darurat kemungkinan pemberian premedikasi dapat ditangguhkan hingga
menjelang tindakan pembedahan.
Penggunaan obat-obat yang potensial terjadi potensiasi dengan dengan obat premedikasi
harus diperhitungkan dosisnya sehingga tidak terjadi depresi nafas ataupun sirkulasi.
Berat badan, umur dan obat anestesi yang akan dipakai juga ikut mempengaruhi
pemilihan obat premedikasinya. Pasien dengan umur tua (geriatric) pemberian sedatif dan
narkotik harus dikurangi. Pasien dibawah umur 6 bulan premedikasi yang diberikan
hanya atropin saja dengan dosis 0,01 mg/kg BB. Pemberian premedikasi pada anak atau
bayi dapat diberikan per-rektal, misalnya midazolam dengan dosis 0,5 mg/kg BB.
25
Efek premedikasi yang diinginkan adalah adalah adanya sedasi tanpa depresi fungsi vital.
Efek premedikasi yang diinginkan tersebut dapat diperoleh dengan pemberian :
1. Gabungan obat narkotik, benzodiazepin dan anti kholinergik
2. gabungan obat narkotik, butyrophenon dan anti kholinergik
3. gabungan obat narkotik, anti histamin dan anti kholinergik
Pemilihan ini dilakukan setelah melihat efek psikis pasien dalam menghadapi
pembedahan dan hospitalisasi, pemeriksaan pra bedah dan obat anestesi maupun tehnik
anestesi yang akan dipilih.
Untuk pasien rawat jalan pemberian premedikasi harus diperhitungkan bahwa pasien
akan pulang pada hari tersebut, sehingga pemilihannya adalah obat yang lama kerjanya
cepat dan afeknya cepat.
Pemilihan tehnik anestesi
Pemilihan tehnik anestesi dipengaruhi oleh macam pembedahan, lama pembedahan dan
pemeriksaan pra bedah. Pasien dengan kecemasan tinggi dan tidak kooperatif tidak
memungkinkan untuk dilakukan anestesia regional. Anestesia regional membutuhkan
kerjasama antara anestesis dan pasien dan pembedah. Tanpa kerjasama yang baik
pembedahan tidak mungkin dilakukan. Memberikan anestesia yang aman pada pasien
merupakan prioritas pertama untuk berhasilnya pembedahan.
Anetesi pada anak yang tidak dapat dilepas dari ibunya memerlukan tehnik khusus yang
tidak menimbulkan trauma pad anak dan ibunya. Induksi insuflasi dan ketamine
intramuskuler merupakan salah satu cara yang dapat dipakai. Trauma ini akan
berlangsung lama bagi anak yang mengalami pembedahan.
Pemberian anestesia dapat dilakukan regional atau umum (inhalasi atau intravena).
Anestesia umum dapat dilakukan gabungan antara anestesia intravena dan anestesia
inhalasi, misalnya ketamine intravena dilanjutkan dengan ether inhalasi, thiopental
intravena dilanjutkan dengan halothane inhalasi. Dapat juga anestesi inhalasi secara
keseluruhan misalnya pada anak dengan halothane insuflasi dilanjutkan dengan halothane
juga.
Rangkuman
26
Pemilihan obat anestesi, obat premedikasi dan tehnik anestesi dilakukan setelah
pemeriksaan pra bedah sehingga pemilihan ini merupakan pilihan yang paling aman
untuk pasien dan baik untuk pembedahannya dan disesuaikan dengan sarana yang ada.
Bahan bacaan
1. Snow J.S.,
Manual of Anesthesia
1th edition Little Brown Company 1977.
Halaman : 11 12
{@w
Pemantauan Selama Anestesia dan Pasca Bedah Dini
Pendahuluan
27
Pemantauan fungsi vital atau monitoring merupakan proses pengamatan yang dilakukan
untuk mengetahui adanya penyimpangan dari fungsi yang normal sedini mungkin agar
dapat diambil tindakan yang cepat dan tepat. Selama anestesia, anestesia yang terlalu
dalam, gangguan pernafasan, gangguan sirkulasi dan fungsi alat anestesia yang tidak
sempurna dapat menyebabkan kematian dalam waktu pendek. Ada 4 fungsi vital tubuh
yang harus diamati selama anestesia dan pasca bedah dini karena gangguan berat pada
fungsi ini dengan cepat dapat menyebabkan kematian, yaitu pernafasan, sirkulasi darah,
fungsi ginjal dan kesadaran. Pengamatan bersifat terus-menerus tanpa henti dan
dilakukan berkala, selang waktu hendaknya sesingkat mungkin (untuk pernafasan dan
sirkulasi tiap 3 5 menit), akan dapat menghindari dari kematian dan kesakitan
(mortality dan morbidity).
Pernafasan
Udara nafas diperiksa secara meraba dengan telapak tangan atau mendengarkan dengan
telinga yang didekatkan kemulut dan hidung pasien. Pasien yang bernafas spontan dapat
diperiksa suara nafasnya melalui pipa alat anestesia (corrugated tubing). Suara nafas yang
baik adalah bersih tanpa suara tambahan seperti berkumur atau mendengkur (tanda ada
obstruksi lendir atau pangkal lidah). Jika digunakan kantong reservoir, kembang kempis
kantong ini menggambarkan besar pernafasan pasien.
Gas ekshalasi harus keluar dengan teratur dari katub ekshalasi dan katub bekerja dengan
bebas. Pasien yang mendapat nafas buatan dipantau dengan melihat gerak dada yang naik
setiap kali udara/gas masuk dipompakan masuk. Respirometer (spirometer) dapat
memantau nafas demi nafas terus-menerus. Alat ini harus ditempatkan pada sisi ekshalasi
dari pipa alat anestesia.
Aliran oksigen dari alat anestesia atau flowmeter perlu selalu diamati dengan teliti, lebih-
lebih jika digunakan bersama N
2
O. Perbandingan aliran O
2
: N
2
O yang aman adalah 1 : 1.
Hanya bagi pemberi anestesia yang berpengalaman dapat dibenarkan penggunaan
perbandingan 1 : 2 karena N
2
O yang berlebih sangat mudah menyebabkan hipoksia.
Kaidah dalam memantau pasien yang mendapat anestesia umum adalah memastikan
bahwa : jalan nafas bebas pasien bernafas cukup kadar obat anestesia rendah kadar
O
2
tinggi.
28
Sirkulasi
Denyut nadi radialis mudah diraba dan diikuti. Nadi yang lain juga mudah diraba adalah
arteria temporalis superficialis yang berada tepat didepan anak telinga (tragus) dan arteria
dorsalis pedis dipunggung dipunggung kaki. Denyut nadi yang baik adalah yang teratur
dan memberikan desakan yang kuat jika ditekan dengan jari telunjuk pemeriksa. Nadi
yang teraba lemah dan mudah hilang jika ditekan jari telunjuk menggambarkan tekanan
darah yang tidak normal.
Jika denyut nadi radialis tidak teraba atau tekanan darah tidak dapat diukur, cobalah
segera meraba arteria carotis di leher. Nadi carotis yang tidak teraba menandakan henti
jantung. Tekanan darah perlu diukur 5 menit pada waktu induksi dan waktu terjadi
kesulitan atau perdarahan selama pembedahan. Jika semua berjalan lancar dan tekanan
darah stabil, pengukuran dapat dikurangi menjadi tiap 10 menit. Tensimeter air raksa atau
anaeroid cukup baik untuk digunakan. Jika menggunakan tensimeter elektronik
hendaknya diingat bahwa alat listrik tersebut tidak boleh digunakan selama anestesia
ether.
Perfusi (aliran darah) ke telapak tangan dan jari-jari tangan memberikan gambaran baik
tidaknya sirkulasi darah dan curah jantung. Pada perabaan, perfusi yang baik ditandai
dengan rasa hangat, kering dan warna kemerahan. Warna merah dibawah kuku dan
telapak tangan yang memucat jika ditekan, harus kembali merah dalam waktu kurang 2
detik.
Kedalaman/tahapan anestesia
Dari waktu ke waktu harus selalu diketahui tahapan anestesia yang dialami pasien.
Sekalipun kadar inspirasi obat anestesia yang diberikan tidak berubah, efek pada pasien
dapat berubah jika pasien mengalami syok, hipoventilasi atau hipoksia.
Tanda-tanda anestesia (sign of anestesia) yang diikuti adalah perubahan-perubahan
pernafasan, gerak bola mata, lebar pupil dan refleks cahaya serta ada atau tidaknya
refleks jalan nafas. Gerak nafas yang diamati adalah teraturnya irama, besarnya
amplitudo nafas, sifat nafas perut atau dada dan sinkronisasi fase nafas parut dan dada
tersebut.
29
Gerak bola mata berhenti pada tahap III bidang 2 atau lebih. Pupil yang lebar
menandakan tahap III bidang 3 atau lebih dalam. Tetapi lebar pupil dipengaruhi oleh obat
premedikasi dan umur. Atropin cenderung menyebabkan pupil melebar (midriasis)
sedang morfin menyebabkan pupil menyempit (miosis). Usia tua menyebabkan pupil
kaku, sukar melebar. Refleks pharynx hilang pada akhir tahap III bidang 1 dan refleks
larynx pada akhir bidang 2. Menjelang tahap IV pernafasan perut lebih menonjol dan
nafas dada mengecil serta melambat (gasping), bola mata tidak bergerak, refleks cahaya
dari pupil hilang, nadi kecil, tekanan darah turun, kulit menjadi pucat, dingin dan
berkeringat. Tahap IV adalah tahap kelumpuhan medulla oblongata. Nafas berhenti
(respiratory arrest, apnea), pupil midriasis total (lebar sekali). Keadaan gawat ini perlu
dibadakan dengan tahap II (eksitasi) dimana kadang-kadang pasien juga berhenti nafas
kerena menahan nafas (breath holding), pupil juga mungkin lebar tetapi bola mata
bergerak-gerak.
Bila terjadi keraguan tentang kedalaman anestesia, pemberian obat dihentikan, anestesia
didangkalkan. Jika nafas berhenti, apapun sebabnya, bebaskan jalan nafas dan lakukan
pernafasan buatan.
Peralatan Pemantauan
1. Pernafasan
Alat yang paling sederhana adalah telapak tangan yang diletakkan dimuka hidung dan
mulut untuk meraba udara nefas yang hangat. Stetoskop sangat besar nilainya dan
seharusnya dilekatkan pada daerah prekordial, dada depan kiri sedemikian sehingga suara
nafas dan detik jantung terdengar jelas.
Respirometer adalah alat pengukurvolume udara nafas yang dapat dipasangkan pada jalur
ekspirasi. Pada buatan Wright, udara yang mengalir keluar menggerakkan baling-baling
yang kemudian memutar jarum penunjuk volume. Tidal volume dan minute volume dapat
diukur dengan mudah. Respirometer elektrik jangan digunakan pada waktu anestesia
dengan ether.
Pulse oxymeter adalah pengukur saturasi oksigen di pembuluh darah kapiler. Alat ini
bekerja dengan mengukur perubahan spektrum infra merah yang terjadi jika aliran kapiler
berdenyut. Gangguan pada kandungan oksigen darah kaoiler baik yang disebabkan
30
karena perubahan jumlah oksigen di paru (desaturasi) ataupun gangguan sirkulasi darah
dapat cepat diketahui.
2. Sirkulasi (Peredaran Darah)
Denyut jantung dipantau terus-menerus dengan stetoskop precordial. Nadi radialis diraba
dari waktu ke waktu. Tensimeter air raksa atau aneroid dipasang dengan stetoskop yang
dilekatkan pada arteria brachialis. Tekanan darah dapat diukur tiap 5 10 menit. Untuk
pembedahan besar dengan perdarahan banyak atau pembedahan yang berlangsung sangat
lama, telah dikembangkan tehnik pengukuran tekanan darah langsung kedalam arteria
radialis`menggunakan jarum plastik dan pressure transducer.
Elektrokardiogram dapat dipantau dengan alat monitor yang menggunakan tabung katode
(cathode ray tube = CRT) atau Liquid Crystal Display (LCD) untuk menayangkan denyut
demi denyut aktifitas elektrik otot jantung. Alat ini sangat cepat membantu mengenali
aritmia, ischemia myocard dan infarct akut.
3. Kesadaran
Selama pasien dalam anestesia umum kedalaman anestesia dinilai dari tanda-tanda
tahapan (stadium) anestesia. Setelah anestesia selesai, proses pulih sadara diikuti dengan
melihat respons terhadap rangsang nyeri. Dari tidak bereaksi sama sekali terhadap nyeri,
berangsur-angsur bereaksi terhadap nyeri dengan bergerak atau membuka mata dan
merintih, kemudian dapat diperintah untuk membuka mata atau mengangkat tangan
sampai akhirnya sadar dapat berbicara sendiri tanpa disorientasi. Reaksi pupil terhadap
cahaya serta besarnya pupil deperiksa dengan lampu senter.
4. Fungsi Ginjal
Dari kateter buli-buli dapat dilihat produksi air seni tiap jam, perubahan kepekatan warna
dan berat jenisnya untuk mendapatkan gambaran cukup tidaknya cairan tubuh serta
apakah perfusi ginjal berjalan baik. Kateter hendaknya dipasang jika pembedahan akan
berlangsung lebih dari 2 jam, pembedahan dalam rongga perut, rongga dada, rongga
kepala atau posisi pembedahan menelungkup.
31
5. Suhu
Suhu badan terutama pada anak-anak sangat perlu dimonitor karena hipotermia dapat
menyebabkan adanya aritmia jantung dan kembalinya kesadaran yang lama.
Rangkuman
Pemantauan pernafasan, sirkulasi dan kedalaman anestesia merupakan salah satu cara
menghindari kematian dalam jangka pendek. Penyimpangan yang diketahui secara dini
dan dilakukan tindakan yang tepat dan cepat akan berhasil baik. Pemantauan harus
dilakukan secara berkala dan terus menerus. Alat yang dipakai untuk memantau harus
diketahui dengan jelas cara kerjanya sehingga adanya penyimpangan dapat diinterpretasi
secara benar dan dilakukan tindakan penanganan secara tepat dan benar.
Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhoft J.E., Vandam L.D.
Introduction to Anesthesia
7th edition. W.B. Sauders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
Halaman : 70 100
2. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail
Clinical Anesthesiology
2nd edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 73 108
{@w
Penyulit Selama Anestesia dan Pasca Bedah Dini
Pendahuluan
32
Penyulit yang terjadi selama anestesia dan pasca bedah dini yang paling berbahaya adalah
adanya gangguan pada jalan nafas, proses pernafasan dan sirkulasi. Bagi kebanyakan
pasien yang mulai siuman dari proses anestesia untuk suatu pembedahan yang berjalan
tanpa penyulit, maka recovery (pulih sadar) ini berjalan lancar dan tanpa gangguan atau
penyulit. Namun pada keadaan tertentu (meskipun tidak banyak), maka recovery ini dapat
merupakan suatu proses yang mengancam jiwa, sehingga harus ditangani dengan hati-
hati.
1. Penyulit Respirasi
Obstruksi merupakan hal yang tersering pada selama anestesia dan pasca bedah dini.
Yang dapat berakibat terjadinya mortalitas dan morbiditas. Untuk hal ini sudah
dibicarakan pada bab tentang airway dan ventilation. Pemberian oksigen dianjurkan pada
semua pasien yang berada di ruang pulih sadar yang telah mendapat anestesia umum,
kecuali bila ahli anestesia menentukan lain. Apabila terjadi obstruksi jalan nafas, harus
segera dilakukan usaha untuk membuka jalan nafas atas, dengan menarik angulus
mandibula kedepan atas. Tidak jarang selama anestesia berlangsung diperlukan
pemasangan jalan nafas orofaring. Pasca bedah dini bila pasien mulai sadar, seringkali
pasien sudah tidak dapat menerima adanya jalan nafas orofaring tersebut, karena refleks
batuk sudah mulai kembali. Bila sangat perlu dapat dipasang jalan nafas nasofaring
sebagai penggantinya, karena dapat diterima oleh pasien yang mulai timbul
kesadarannya.
Mortalitas oleh karena aspirasi cairan asam lambung ini cukup tinggi, yaitu 30% (3
70%). Perbedaan mortalitas ini disebabkan oleh perbedaan bahan yang teraspirasi dan
pengobatan yang dilakukan. Morbiditas sulit untuk didefinisikan, tetapi bervariasi dari
pneumonitis dan abses paru sampai infark miokard dan kegagalan ginjal. Dengan
terjadinya penyulit ini maka masa hospitalisasi menjadi panjang, pasien harus dirawat di
ICU dan biaya perawatan menjadi sangat mahal. Oleh karena itu aspirasi ini harus
dipandang sebagai penyulit yang serius. Aspirasi selalu menjadi ancaman bagi
pembedahan darurat, adanya obstruksi usus atau pylorus, obesitas. Demikian pula pada
operasi rawat jalan, dimana persiapan puasa diserahkan pada pasien sendiri atau
33
keluarganya. Resiko tertinggi pada pasien dengan kehamilan dimana lamanya
pengosongan lambung tidak dapat diramalkan.
Akibat dari aspirasi ini tergantung pada jumlah dan macam bahan yang terhisap, pada
jumlah yang banyak menyebabkan peru tenggelam, benda padat akan menyebabkan
obstruksi tergantung besar kecilnya partikel bahkan dapat menyebabkan asfiksia. Akibat
yang paling berat ialah yang disebabkan oleh aspirasi cairan lambung yang pH nya < 2,5 ,
karena akan segera menyebabkan bronchokonstriksi dan kerusakan mukosa trakhea.
Dalam beberapa jam dapat terjadi penyebaran yang sempurna dari suatu pneumonitis,
yang di x-foto paru tampak putih. Gejala full blown dari aspirasi asam lambung adalah
adanya wheezing, batuk, cyanosis, edema paru (pink frothy sputum), distres nafas, shock
dan hipoksemia.
Kadang-kadang gejala ini tidak tampak, sampai pasien berada di ruang pulih sadar.
Apabila dicurigai terjadi aspirasi sedang pasien tidak dalam intubasi endotrakheal, maka
harus segera dilakukan pemasangan pipa endotrakheal, kemudian dilakukan penghisapan
intra trakheal. Diberikan antibiotik intravena bila ada dugaan kontaminasi atau untuk
propilaksis. Bronkhodilator (aminophyllin) diberikan unuk mengatasi bronkhospasme
yang terjadi. Apabila terjadi edema paru atau kegagalan jantung, maka pengaturan
keseimbangan cairan sangat penting. Dalam hal aspirasi ini maka prevensi sangat penting
artinya. Banyak macam obat yang digunakan, semua ada untung ruginya.(lihat anestesia
untuk obstetri, anestesia untuk pembedahan darurat dan premedikasi).
Akibat aspirasi yang disebut dengan acid aspiration pneumonitis dilakukan terapi dan
tindakan, membantu faal nafas : dengan terapi oksigen 100% dengan humidifikasi yang
baik, bila tidak berhasil berikan nafas buatan dengan PEEP. Pemberian bronkhodilator
untuk mengatasi bronkhospasme dan kortikosteroid untuk mengurangi edema mukosa
jalan nafas dan bronkhospasme. Untuk menghilangkan kausa, jalan nafas dibersihkan dari
aspirat dengan menghisapnya. Melakukan lavage tidak dianjurkan pada pasien tersebut.
Apabila terdapat sekret yang kental, maka perlu dilakukan fisioterapi nafas. Penyulit dari
segi kardiovaskuler biasanya ada 2 macam yaitu terjadinya shock, takikardia, edema paru
(baik klinis maupun dari x-foto paru). Pasien ini mungkin tidak mengalami dekompensasi
jantung, tetapi hipovolemia yang perlu pemberian cairan. Kelompok yang lain shock,
takikardia dan dekompensasi jantung. Gambaran edema paru mungkin disebabkan oleh
34
kegagalan jantung kiri, ditambah pembesaran hepar karena kegagalam jantung kanan
yang disebabkan oleh spasme arteriole diparu karena hipoksia. Untuk membedakan kedua
hal ini perlu dipasang kateter CVP. Bila hasil pengukuran CVP rendah perlu diberi
cairan. Bila tinggi harus dilakukan digitalisasi atau obat inotropik lainnya.
Hipoventilasi akibat anestesia yang terlalu dalam dan obstruksi yang tidak segera
ditangani dapat terjadi selama anestesia. Keadaan ini bila tidak ditangani dengan segera
dapat berakibat terjadinya morbiditas dan mortaalitas. Dengan melakukan pemantauan
kedalaman dan jalan nafas selama anestesia dapat menghindari terjadinya hipoventilasi.
Pemberian pelumpuh otot yang tidak disertai dengan pemberian nafas buatan yang
adekuat juga akan menimbulkan hipoventilasi. Sebagai reaksi tubuh mengatasi
hipoventilasi ini dengan menambah frekwensi nafas semenit dan meningkatkan nadi.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kenaikkan kadar CO
2
dalam darah. Pasca
bedah rasa nyeri yang mempengaruhi proses pernafasan akan berakibat terjadinya
hipoventilasi. Dengan memberikan O
2
tanpa menghilangkan penyebabnya hipoventilasi
tidak akan hilang.
2. Penyulit Sirkulasi
Penyulit sirkulasi yang tersering adalah hipotensi. Hipotensi yang terjadi selama anestesia
dapat disebabkan oleh khasiat obat anestesia, tehnik anestesia atau perdarahan. Depresi
otot jantung akibat pemberian anestesia dapat dihindari dengan kombinasi obat anestesia
yang lain. Apabila terjadi hipotensi akibat pengaruh obat anestesia maka tindakan yang
dilakukan adalah mendangkalkan anestesia. Tehnik anestesia yang dapat menimbulkan
hipotensi adalah blok regional. Cara mengatasi hal tersebut adalah memberikan cairan
sebelum tindakan dan memberikan obat vasopressor. Perdarahan yang terjadi pada saat
operasi dapat dilakukan terapi cairan yang tepat asalkan pasien diobservasi dengan baik.
Terapi cairan yang tidak adekwat menyebabkan terjadinya hipotensi pasca bedah. Pada
waktu pasien dibawa dari kamar bedah ke ruang pulih sadar, untuk sementara waktu
tekanan darah tidak diukur (selama transportasi). Hipotensi yang terjadi akan terlambat
didiagnosis. Seringkali penyebabnya merupakan kalanjutan dari penyebab hipotensi
selama anestesia.
35
Nyeri sering kali berakibat kenaikan tekanan darah baik selama anestesia maupun pasca
bedah. Pada saat anestesia kenaikan tekanan darah harus dicari sebabnya dengan baik.
Penyulit sirkulasi sering berkaitan dengan penyulit respirasi, sehingga bila terjadi
penyulit sirkulasi perbaiki dulu respirasinya.
Obstruksi jalan nafas dapat berakibat kenaikan tekanan darah, gangguan irama jantung
terutama pada pasien yang sudah mempunyai penyakit jantung koroner. Hipotensi akibat
anestesia yang terlalu dalam dapat juga berakibat gangguan irama jantung.
3. Gangguan Kesadaran dan Kenaikan Tekanan Intrakranial
Gangguan kesadaran sebagai penyulit pasca anestesia/bedah dapat terjadi karena
pemanjangan masa pulih sadar dan penurunan kesadaran yang diikuti oleh kenaikaan
tekanan intrakranial.
Memanjangnya masa pulih sadar diakibatkan oleh penggunaan obat-obat selama
anestesia dengan dosis yang berlebih (overdosis), misalnya narkotik analgetik, pentothal,
derivat phenothiazine atau obat anestesia inhalasi sendiri. Pemberian obat premedikasi
yang terlalu berat (dosis maksimal), pemberian obat anestesia inhalasi dengan dosis yang
besar, atau pada operasi yang lama dapat menimbulkan masalah tersebut. Berkurangnya
protein binding, misalnya hipoproteinemia dapat memperpanjang kerja obat barbiturat,
hal ini disebabkan karena berkurangnya penghantaran barbiturat ke hepar. Pada
penggunaan obat anestesia yang mudah larut dalam lemak dengan kadar yang tinggi
(misalnya anestesia dengan ether yang dalam) pada operasi yang lama, menyebabkan
bangunnya sangat lambat. Hal ini disebabkan ekskresi obat anestesia yang lambat
sehingga turunnya kadar obat anestesia dalam otak lambat, yang secara klinis
menyebabkan pasien lama bangun kembali. Ekskresi yang lambat ini juga dipengaruhi
oleh uptake dan distribusinya. Menurunnya metabolisme hepar pada usia yang sangat tua,
malnutrisi, hipotermia dan penggunaan berbagai obat secara simultan yang
detoksifikasinya dengan sistem mikrosomal hepar, perupakan faktor yang ada
hubungannya dengan menurunnya metabolisme hepar dan memanjangnya masa pulih
sadar.
Memanjangnya masa pulih sadar juga dipengaruhi oleh adanya metabolik encephalopati.
Beberapa gangguan metabolik sistemik yang menimbulkan depresi susunan syaraf pusat,
36
dapat terjadi pasca anestesia dan harus dibedakan dari efek sisa obat anestesia. Gangguan
metabolik sistemik akibat gangguan fisiologi selama anestesia, misalnya hiperkapnia,
terjadinya episode hipoksia selama anestesia, gangguan keseimbangan asam-basa dan
hipotermia (terutama pada bayi), hipertermia, perdarahan yang menimbulkan syok dapat
menyebabkan lamanya waktu pulih sadar.
Kenaikan tekanan intrakranial dapat terjadi karena hiponatremia yang disebabkan oleh
masuknya cairan yang tidak mengandung elektrolit kedalam sirkulasi lewat luka operasi.
Keadaan ini dapat terjadi sebagai penyulit pada pembedahan reseksi transurethral (TUR),
dimana sinus terbuka dan dilakukan irigasi dengan cairan yang tidak mengandung
elektrolit dalam jumlah yang banyak. Hal ini dapat juga terjadi pada operasi batu buli-
buli (troicar litotripsi). Pemberian cairan intravena dengan cairan yang tidak mengandung
elektrolit dapat terjadi intoksikasi air. Hiponatremia didefinisikan sebagai keadaan
dimana kadar natrium < 135 mEq/L, keadaan ini sering terjadi karena infus cairan yang
tidak mengandung natrium dalam jumlah yang besar tersebut. Hiponatremia ringan tidak
selalu diikuti dengan tanda dan gejala klinis yang dapat dilihat. Tetapi bila kadar natrium
mencapai < 125 mEq/L, maka terjadilah apa yang dinamakan intoksikasi air.
Hipervolemia dengan hiponatremia ini menyebabkan masuknya air kedalam sel,
termasuk sel otak, sehingga terjadi gangguan kesadaran karena edema otak yang
berakibat naiknya tekanan intrakranial. Pada pasien dengan anestesi regional yang
mengalami keadaan ini, tanda-tanda pertama berupa keluhan sakit kepala, pasien menjadi
gelisah dan disorientasi, kemudian akan kehilangan kesadaran. Secara obyektif tanda-
tanda dini ini berupa kenaikan tekanan darah dan penurunan nadi.
Kegagalan kembalinya kesadaran setelah anestesia umum, dapat disebabkan karena
terjadi kerusakan neurologis, misalnya ischemia otak, perdarahan otak, emboli dan akibat
terjadinya henti jantung.
Apabila terjadi kegagalan kembalinya kesadaran dalam waktu yang seharusnya, harus
dicari penyebabnya. Bila disebabkan oleh overdosis obat-obat anestesia, maka perlu
diobservasi ketat. Pada pasien dengan depresi pernafasan, maka untuk sementara perlu
diberikan pernafasan buatan sampai obat anestesia dieliminir secara lengkap. Overdosis
narkotik, dapat diberikan antidotumnya. Pada pasien dengan kelainan yang dapat
37
menimbulkan penyulit tersebut sebaiknya sebaiknya ditangani terlebih dahulu (misalnya
koreksi gangguan elektrolit dan keseimbangan asam-basa, koreksi hipoalbuminemia).
Monitoring yang baik selama anestesia dan pasca bedah dini sangat membantu dalam
mendeteksi terjadinya penyulit dengan kemungkinan penyebabnya.
4. Gelisah Pasca Bedah
Seringkali yang menjadi penyebab gelisah ialah nyeri. Tetapi faktor lain harus
diperhitungkan sebagai penyebab gelisah misalnya hipoksia, hiperkapnia, distensi
lambung dan retensi urin.
5. Oliguria
Terapi cairan yang tidak adekwat dapat mempengaruhi perfusi ke ginjal sehingga
menghasilkan produksi urine yang berkurang. Oliguria ialah keadaan dimana produksi
urine < dari 400 cc/24 jam atau < dari 15 20 cc/jam. Keadaan ini merupakan gambaran
yang paling umum dari kegagalan ginjal pasca bedah. Gagal ginjal pasca bedah
merupakan salah satu penyebab kematian yang penting selama selama pasca bedah dalam
jangka panjang. Apabila dijumpai pasien dengan produksi urine kurang, maka harus
diperiksa sistem drainage urine yang terpasang, apakah tidak ada pembuntuan.
Kemungkinan yang harus dipikirkan adalah adanya penyebab prerenal, renal dan
postrenal.
Penyebab prerenal yang paling sering adalah akibat perdarahan yang mengakibatkan
perfusi ginjal turun. Ciri khas dari oliguria prerenal adalah urine yang pekat. Tindakan
yang dilakukan adalah koreksi terhadap hipovolemia, yang akan mengembalikan urine
output menjadi normal dengan cara diberikan tes 250 500 cc RL atau NS. Oliguria ini
terjadi apabila ada pengurangan 25% atau lebih cairan ekstraseluler. Sementara cairan
diteruskan ditambah dengan dilakukan monitoring CVP (yang bila mungkin bukan secara
klinis tetapi dengan pemasangan kateter ke vena sentral). Bila oliguria ini ternyata bukan
disebabkan oleh hipovolemia, maka kemungkinannya disebabkan oleh karena circulatory
overload atau gagal jantung. Dalam keadaan ini maka pemberian furosemide dapat
berguna untuk mengembalikan urine. Furosemide akan menimbulkan bahaya bila
38
diberikan pada pasien dengan hipovolemia. Dalam keadaan ini pemberian dopamine (2
10 g/kg/menit) dapat meningkatkan aliran darah ginjal (renal blood flow).
Apabila terjadi pembuntuan pada sistem penampungan urine (distal dari ginjal) maka
penyebab oliguria adalah terbendungnya produksi urine. Terjadi pada 5% dari kasus
oliguria pasca bedah dan umumnya dapat diterapi dengan pembedahan, misalnya
penggantian kateter nefrostomi atau kateter urethra. Penyebab postrenal adalah obstruksi
saluran kencing karena adanya batu, debris atau striktura, atau karena saluran kencing
terikat pada waktu operasi dan terputusnya saluran kencing.
Hipotensi atau hipovolemia yang tidak segera diatasi sehingga menyebabkan ischemia
ginjal dan dapat berakibat kerusakan parenchym ginjal (Acute Tubular Necrosis).
Keadaan ini dapat merupakan penyulit penyulit dan penyebab utama dari oliguria pasca
bedah. Hemoglobin yang pecah pada reaksi transfusi hemolitik akan menyumbat
glomeruli atau tubuli renalis sehingga dapat menyebabkan kerusakan parenchym ginjal.
Apabila diagnosis tubular nekrosis telah ditegakkan, maka harus segera dilakukan
pengaturan cairan (restriksi) untuk mempertahankan ventricular filling pressure. Dalam
24 jam pertama tidak perlu dilakukan dialisis. Umumnya kadar K
+
dalam darah akan naik
0.3 0.5 mEq/L/hari, tetapi selama pasca bedah dapat naik 1- 2 mEq/L/hari.
Untuk membedakan apakah oliguria karena gangguan fisiologis, kegagalan prerenal atau
renal dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel. Komposisi Urine Pada Oliguria
Hasil Laboratorium Oliguria Fisiologis Prerenal Renal
Na urine < 10 mEq/L < 25 mEq/L > 25 mEq/L
BJ urine > 1,024 >1,015 1,010 1,015
U/P osmolality > 25 : 1 > 1,8 : 1 < 1,1 :1
U/P urea > 100 : 1 > 20 : 1 3 : 1 jarang > 10 :1
U/P creatine > 60 : 1 > 30 : 1 < 10 : 1, jarang > 10 : 1
Yang paling berarti ialah pemeriksaan ratio osmolalitas urine : plasma. Bila U/P ratio <
1,1 : 1, biasanya disebabkan oleh tubular nekrosis. Perlu dicatat bahwa tes ini hanya
berlaku bila 6 12 jam sebelumnya pasien tidak menggunakan diuretik.
Penyulit selama anestesia dan pasca bedah dini harus dapat dideteksi secara dini untuk
menghindari terjadinya morbiditas dan mortalitas. Penyulit tersebut seharusnya
39
preventable (dapat dicegah), dengan memahami patofisiologi dan melakukan pemantauan
yang teliti.
Rangkuman
Penyulit yang terjadi selama anestesia dan pasca bedah dini dari segi pernafasan,
sirkulasi, muntah dan gangguan kesadaran harus dihindari. Penyulit pernafasan yang
sering terjadi adalah jatuhnya pangkal lidah kebelakang yang apabila dapat ditangani
dengan baik maka penyulit lain tidak akan timbul. Gangguan pernafasan yang tidak
segera ditangani akan dapat berakibat gangguan dari irama jantungnya yang pada
akhirnya dapat mengakibatkan gangguan dari sirkulasinya. Untuk memberikan terapi
oksigen pada pasien dengan penyulit pernafasan harus dipilihkan yang sesuai. Gangguan
sirkulasi yang paling sering adalah terapi cairan yang tidak adekwat. Apabila tidak
diterapi dengan baik akan berakibat tubuh mengorbankan organ ginjal sehingga dapat
terjadi gagal ginjal. Muntah harus diatasi dengan segera karena akibat muntah dapat
berpengaruh pada pernafasan ataupun pada peningkatan tekanan intrakranial. Penyebab
gangguan kesadaran harus dihilangkan terlebih dahulu satu persatu dan dilakukan
tindakan yang benar karena kesadaran yang menurun akan dapat menyebabkan penyulit
pernafasan dan ini akan menyebabkan lingkaran setan.
Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhof J.E., Vandam L.D.
Introduction to Anesthesia
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
@~~|~@ w +_
{@w
Tahap Anestesia
(Tanda-tanda dan Tahap-tahap Anestesia)
40
Pendahuluan
Kematian karena anestesia dapat terjadi dalam waktu yang sangat pendek (akut), atau
dalam waktu yang agak panjang. Kematian dalam waktu pendek terjadi karena :
1. Anestesia terlalu dalam (overdose, ke;ebihan dosis). Karena itu setiap saat harus
diketahui dalamnya anestesia.
2. Gangguan pernafasan. Karena itu setiap saat faal nafas pasien harus diawasi
(dimonitor).
3. Gangguan sirkulasi. Karena itu setiap saat faal sirkulasi pasien harus diawasi.
Kematian dalam waktu yang agak panjang terjadi karena kegagalan faal hati dan
kegagalan faal ginjal.
Untuk mencegah terjadinya overdose (anestesia terlalu dalam) perlu diketahui dengan
baik tanda-tanda anestesia. Tanda-tanda anestesia itu tidak sama untuk berbagai obat
anestesia. Karena itu tiap obat anestesia harus diketahui tanda-tanda dalamnya anestesia
yang khusus untuk obat itu.
Secara umum dapat dikatakan bahwa ada 3 tahap anestesia :
1. Tahap induksi (stadium induksi) yaitu sejak anestesia dimulai sampai tahap
pembedahan.
2. Tahap pembedahan (stadium pembedahan) yaitu tahap dimana pembedahan dapat
dilakukan.
3. Tahap keracunan (overdose, anestesia terlalu dalam). Pada tahap keracunan
biasanya terjadi kegagalan pernafasan (arrest nafas) dan kegagalan sirkulasi
(arrest jantung).
Pada dasarnya anestesia diberikan sedemikian rupa, tidak terlalu dangkal sehingga
pembedahan dapat dilakukan, akan tetapi juga tidak terlalu dalam sehingga terjadi
gangguan pernafasan atau sirkulasi.
Berapa banyak obat anestesia harus diberikan supaya pembedahan dapat dilakukan
tergantung antara lain pada keadaan pasien. Bayi, pasien yang tua, pasien yang lemah,
pasien yang sakit keras membutuhkan jauh lebih sedikit obat anestesia daripada orang
yang muda dan sehat. Memberikan anestesia adalah semacam titrasi. Pada golongan
41
tersebut diatas anestesia harus dilakukan dengan hati-hati karena bahaya overdose lebih
mudah terjadi.
Tanda-tanda dan Tahap-tahap Anestesia Ether
Dengan ether tahap-tahap anestesia yang disebut dibawah ini dilewati dengan pelan
sehingga tiap tahap akan dapat dilihat dengan jelas. Dengan obat anestesia lain, tahap-
tahap itu dilewati lebih cepat sehingga masing-masing tahap tidak nampak jelas. Tanda
dan yang dijelaskan dibawah ini hanya berlaku semata-mata untuk anestesia dengan ether
cara tetes terbuka (open drop).
Tahap anestesia
Ada 4 tahap (stadium, stage) anestesia :
1. Tahap (stadium) I, tahap analgesia. Mulai anestesia diberikan sampai hilangnya
kesadaran.
2. Tahap II, tahap eksitasi (delirium). Mulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan tahap bedah. Tahap I dan II bersama-sama disebut tahap induksi.
3. Tahap III, tahap bedah (surgical stage). Mulai dari berakhirnya tahap II sampai
berhentinya nafas spontan (arrest nafas). Pada tahap ini pembedahan dapat
dilakukan. Tahap ini dibagi menjadi 4 bidang (plane).
4. Tahap IV, tahap kelumpuhan medulla (medullary paralysis). Mulai dari
berhentinya nafas spontan sampai gagalnya sirkulasi (arrest jantung). Tahap ini
disebabkan oleh kelebihan dosis (overdose, terlalu dalam, keracunan) sehingga
terjadi kelumpuhan pada pusat pernafasan dan sirkulasi yang letaknya di medulla
oblongata.
Tanda-tanda anestesia (sign of anesthesia)
42
Tahap-tahap tersebut dikenal dengan memperhatikan tanda-tanda :
a. Nafas
b. Gerak bola mata
c. Lebar pupil
d. Ada atau tidaknya beberapa refleks
Tanda nafas
Tanda nafas adalah tanda yang paling penting karena :
a. Baik buruknya nafas langsung mempengaruhi hidup matinya pasien.
b. Dengan selalu mengawasi tanda nafas sekaligus akan dapat diawasi ada tidaknya
gangguan nafas.
c. Pada operasi dikepala tanda-tanda mata tidak dapat dilihat karena tertutup kain
bedah. Satu-satunya tanda yang dapat dilihat adalah tanda nafas.
d. Jika tanda lain tidak cocok dengan tanda nafas, maka yang dipakai adalah tanda
nafas.
Hal yang perlu diperhatikan dalam menilai tanda nafas adalah :
1. Irama, teratur atau tidak teratur.
2. Amplitudo, besar (dalam) atau kecil (dangkal).
3. Sifat, nafas dada atau nafas perut.
4. Fase, gerak dada serentak atau tidak dengan gerak perut.
Gerak bola mata
Tanda ini paling mudah ditetapkan. Bila bola mata diam tak bergerak (fixed) berarti
bidang (plane) 2 atau lebih dalam. Bila bola mata masih bergerak berarti bidang 1 atau
lebih dangkal.
Lebar pupil
Banyak hal mempengaruhi lebar pupil karena itu harus dinilai dengan hati-hati. Morphine
mengecilkan pupil sebaliknya atropin melebarkan pupil. Pada pasien diatas 50 tahun,
lebar pupil tidak dapat dipercaya kerena pada beberapa pasien pupilnya menjadi kaku dan
tidak dapat melebar meskipun anestesia telah dalam. Dengan singkat dapat dikatakan bila
43
pupil terdapat lebar anggaplah anestesia terlalu dalam kecuali jika ada tanda-tanda lain
yang menyangkal. Akan tetapi sekali lagi perlu diingat bahwa pada pasien yang pupilnya
kaku, pupilnya tetap kecil walaupun anestesia sudah sangat dalam.
Refleks-refleks
Dalam praktek ada 3 refleks yang perlu diperhatikan :
1. Refleks bulu mata (eyelash reflex), yaitu pasien berkedip bila bulu mata
disinggung. Refleks ini jadi negatip pada tahap III
2. Refleks pharynx, yaitu pasien muntah jika dinding belakang pharynx disinggung.
Refleks ini jadi negatip pada akhir bidang 1. Jalan nafas oropharynx baru dapat
dipasang jika refleks ini sudah negatip.
3. Refleks larynx, yaitu pasien batuk jika ada benda asing di larynx. Refleks ini
hilang pada bidang 2. Endotracheal tube baru dapat dipasang jika refleks ini sudah
hilang.
Tahap dan tanda anestesia
Tahap I (stadium I, tahap analgesia)
Mulai anestesia diberikan sampai hilangnya kesadaran. Pada tahap ini pasien masih sadar,
karena itu tidak ada pola tertentu dari pernafasan, gerak bola mata maupun lebar pupil.
Tahap II (stadium II, tahap eksitasi)
Mulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan tahap bedah. Tahap I dan II bersama-
sama disebut tahap induksi. Pada tahap ini pasien mulai tidak sadar.
Nafas : Tidak teratur baik irama maupun amplitudonya. Nafas kadang-kadang
cepat, pelan atau berhenti sebentar. Amplitudo sesaat besar sesaat lagi kecil. Perlu
dibedakan disini antara nafas yang berhenti sebentar karena tahan nafas (breath
holding) pada tahap II dan arrest nafas (respiratory arrest) karena kelumpuhan
medulla pada tahap IV. Tahan nafas dapat diketahui karena adanya tanda-tanda
yang lain misalnya pasien bergerak-gerak disamping itu anestesi baru sebentar
dimulai.
Bola mata : Masih bergerak
44
Pupil : Lebar
Reflex-reflex : Reflex jalan nafas meninggi
Pasien dapat batuk-batuk atau mengalami kejang tenggorok (laryngospasmus). Terjadi
juga hipersalivasi. Muntah terjadi pada akhir tahap II pada waktu induksi juga pada
waktu akan siuman (emergence). Bahaya dari muntah adalah terjadinya aspirasi. Pasien
sering memberontak menunjukkan gerakan-gerakan berusaha lepas dari meja operasi.
Pasien sakit jantung dapat mengalami dekompensasi karena gerakan-gerakan yang
berlebihan ini. Karena gangguan yang sering timbul pada tahap II ini (hipersalivasi,
batuk, kejang tenggorok, muntah dan eksitasi yang berlebihan) tehnik pemberian
anestesia ditujukan untuk melewati tahap ini secepat mungkin. Kalau perlu diberikan obat
lain untuk induksinya yang tidak menimbulkan eksitasi baru kemudian untuk
maintenance (lanjutan) digunakan ether.
Tahap III (stadium III, tahap pembedahan)
Mulai dari berakhirnya tahap II sampai berhentinya nafas spontan (arrest nafas). Tahap
ini dibagi menjadi 4 bidang (plane).
Ciri-ciri umum tahap ini ialah : Nafas jadi teratur (ini dapat dinilai dari gerak dan suara
nafas) seperti orang yang tidur nyenyak. Reflex bulu mata negatif, otot-otot jadi lemas
sehingga misalnya kepala mudah digerakan kekeri dan kekanan.
Bidang 1 (plane 1)
Nafas : teratur, dalam (amplitudo besar), gerak dada dan perut serentak (waktu
dada naik perut juga naik). Amaplitudo gerak dada dan perut sama atau hampir
sama. Pernafasan dada sangat nyata.
Bola mata : Bergerak
Pupil : Kecil
Bidang 2 (plane 2)
Nafas : Sama seperti pada bidang 1 hanya besarnya (amplitudo) berkurang.
Bola mata :Tidak bergerak (fixed)
Pupil : Kecil
Bidang 3 (plane 3)
45
Nafas : Nafas perut mulai lebih besar dari nafas dada. Gerak dada ketinggalan
(perut naik lebih dahulu baru disusul dada).
Bola mata : Tidak bergerak
Pupil : Mulai melebar (lebar sedang). Reflex cahaya positif.
Bidang 4 (plane 4)
Nafas : Otot-otot interkostal telah lumpuh sama sekali. Nafas hanya semata-mata
nafas perut. Ciri-ciri lain : inspirasi sangat cepat (jerky, gasping) seperti orang
yang terisak (tersedu) waktu menangis. Pause (waktu mengaso) setelah ekspirasi
adalah lama. Akhirnya nafas berhenti sama sekali pada waktu pasien masuk tahap
IV.
Bola mata : Tidak bergerak
Pupil : Melebar hampir maksimum, reflex cahaya negatif.
Tanda peringatan sebelum pasien masuk tahap IV (preparalytic stage) ialah :
Nafas hanya semata-mata nafas perut (abdominal). Dekat sebelum arrest nafas
biasanya pasien megap-megap (gasping).
Pupil lebar hampir maksimum, reflex cahaya negatif.
Nadi kecil, tensi rendah.
Kulit pucat dingin dan basah keringat.
Tahap IV (stadium IV, tahap kelumpuhan medulla)
Mulai arrest nafas sampai gagalnya sirkulasi (arrest jantung).
46
Rangkuman
Pada anestesia tetes terbuka (open drop) dengan ether, usahakan untuk tidak lebih dalam
dari bidang 2 sebab lebih dari bidang 2 ventilasi (minute volume) dan output jantung
mulai menurun.
Apabila pada suatu saat dalam anestesia tidak dapat diketahui dengan pasti, lebih aman
untuk menganggap anestesia terlalu dalam dan diusahakan untuk mendangkalkan dengan
menghentikan anestesia.
Apabila arrest nafas diketahui dini (cepat setelah terjadi), pemberian ether dihentikan dan
segera diberikan pernafasan buatan, pasien masih dapat ditolong. Pemberian oksigen saja
pada arrest nafas tidak menolong karena tanpa pernafasan oksigen tidak akan dapat
masuk ke paru-paru.
Muntah terjadi pada waktu induksi dan pada waktu pasien akan siuman. Pada waktu
anestesia dimulai dan pasien mulai dibangunkan, persiapan untuk mencegah aspirasi
harus dilakukan seperti : meletakkan kepala lebih rendah (posisi Trendelenberg), dan
menyiapkan alat penghisap.
Ralaksasi pada bidang 2 cukup baik untuk semua operasi kecuali operasi perut bagian
atas. Dalam hal itu kalau masih perlu relaksasi terpaksa digunakan pelemas otot (muscle
relaxant) yang harus diikuti pemberian pernafasan buatan. Sering kali terjadi kurangnya
relaksasi bukan disebabkan oleh kurang dalamnya anestesia, akan tetapi disebabkan oleh
hal-hal lain misalnya : obstruksi jalan nafas, incisi yang terlalu kecil, atau usus kembung
(distended bowel), memperdalam anestesia tidak akan menambah relaksasi bahkan
membahayakan pasien.
Pemakaian endotrakheal tube pada operasi perut bagian atas dapat membantu dalam arti
mengurangi ketegangan otot yang terjadi oleh karena obstruksi jalan nafas. Akan tetapi
cara yang terbaik adalah dengan pelemas otot.
Bahan Bacaan
1. Drips RD., Ekkenhoff JE., Vandam LD
Introduction to Anesthesia
7th edition W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
Halaman : 205 210
{@w
47
Anestesia Pada Ibu Hamil
Pendahuluan
Anestesia kebidanan berbeda dengan anestesia pada wanita biasa karena kehamilan
menyebabkan banyak perubahan fisiologi bagi ibu. Selain itu juga harus dihadapi janin
yang akan segera dilahirkan. Sebagian obat yang akan diberikan kepada ibu akan
menerobos melalui placenta masuk kedalam peredaran darah janin yang kemudian dapat
menyebabkan depresi pernafasan setelah bayi lahir. Obat dan tehnik anestesia kebidanan
yang dipilih harus baik untuk ibu, baik untuk janinnya dan tidak mempengaruhi kontraksi
placenta.
Perubahan fisiologi ibu hamil
Perubahan fisiologi ibu hamil yang berpengaruh pada anestesia adalah :
1. Pernafasan
a. Minute ventilation (volume nafas satu menit) meningkat sampai 50% sehingga
anestesia inhalasi berjalan lebih cepat mencapai tahap anestesia yang dalam.
b. Functional Residual Capacity menurun, menyebabkan cadangan oksigen dalam
paru menurun sedang disisi lain kebutuhan oksigen ibu hamil meningkat.
Tindakan pe-oksigenasi sebelum anestesia adalah sangat penting untuk
mengurangi bahaya hipoksia.
2. Sirkulasi
Terjadi kenaikan volume darah sampai rata-rata 50%, yang disebut protective
hypervolemia ini memberikan cadangan volume darah yang berguna untuk mengatasi
kehilangan darah pada waktu persalinan. Pada waktu tidak hamil dengan berat badan 50
kg, volume darahnya adalah 70 ml/kg BB seluruhnya 50 x 70 = 3500 ml. Pada wanita
yang hamil, volume darah efektif bertambah dengan 50% menjadi 5.250 ml. Seorang
normal dapat kehilangan darah sampai 10% volume darahnya tanpa akibat yang
berbahaya. Kehilangan 15% volume menyebabkan kenaikan nadi, vasokonstriksi dan
penurunan tekanan darah yang perlu diatasi dengan infus cairan. Perdarahan lebih dari
48
30% volume darah akan menyebabkan syok yang harus diatasi dengan cairan dan
transfusi.
Perdarahan rata-rata pada persalinan normal pervaginam adalah 500 ml. Bagi wanita
tidak hamil ini adalah 15% volume darah, tetapi bagi wanita hamil ini hanya 10% saja
sehingga akibat yang ditimbulkannya jauh lebih ringan dari wanita tidak hamil.
Perdarahan rata-rata pada pembedahan Caecar adalah 1000 ml. Bagi wanita tidak hamil
ini setara dengan 30% volume darahnya, sehingga memerlukan penggantian cairan dan
transfusi. Bagi wanita hamil jumlah ini setara dengan 20% volume darah, sehingga cukup
diberikan cairan elektrolit saja (belum tentu perlu transfusi). 15% - 20% ibu yang hamil
aterm trimester III pada posisi terlentang mengalami supine hypotension syndrome akibat
penekanan vena cava inferior, sehingga darah ke jantung menurun dan curah jantuing
juga menurun. Gejala meliputi hipotensi, mual atau muntah, sesak nafas dan gelisah.
Untuk mengatasi sirkulasi darah placenta harus segera dibaringkan miring kekiri atau
pantat kanan diganjal agar tubuh miring 45 derajat, sehingga uterus tergeser lebih kekiri
dan penekanan vena cava berkurang.
3. Aspirasi
Pada kehamilan terjadi peningkatan produksi asam lambung, proses pencernakan yang
memanjang. Limapuluh persen (50%) kematian pada anestesia disebabkan oleh
masuknya cairan lambung kedalam trachea dan paru yang menyebabkan acid aspiration
pneumonitis atau disebut sindroma dari Mendelson. Dengan tingginya angka kematian
akibat aspirasi maka perlu diketahui faktor-faktor yang memudahkan terjadinya aspirasi,
yaitu :
a. Pendorongan lambung oleh pembesaran rahim mengakibatkan pengosongan
lambung yang lebih lambat.
b. Produksi asam lambung meningkat.
c. pH cairan lambung lebih asam. pH kurang dari 2,5 sangat merusak parenchym
paru dan menyebabkan sindroma Mendelson.
Puasa saja tidak menjamin pengosongan lambung yang baik. Perlu dilakukan
penghisapan aktif berulang-ulang melalui pipa lambung ukuran besar (Fr. 18/20). Untuk
menetralisir asam lambung yang tersisa setelah penghisapan , perlu diberikan antasida
49
Magnesium Trisilikat atau Natrium Sitrat 30 menit sebelum anestesia dimulai. Selain itu
pemberian H
2
blocker (cimetidine dan ranitidine) dapat membantu mengurangi produksi
cairan lambung dan menaikkan pHnya. Tetapi obat ini memerlukan waktu 1 jam setelah
pemberian secara intravena untuk mencapai puncak aktifitas kerjanya.
4. Pembesaran Rahim
Pengosongan rahim pada tindakan pembedahan berjalan lebih cepat daripada persalinan
pervaginam yang normal. Kontraksi otot rahim harus dibantu dengan obat-obat oxytocin
agar tidak terjadi perdarahan post partum yang berlebihan. Anestesia dengan ether tahap
III bidang 2 dan anestesia dengan halothane yang ringan sekalipun (1%) sudah
menyebabkan gangguan kontraksi otot rahim.
Pengeluaran bayi yang dipercepat biasanya akibat gawat janin. Janin dapat mengalami
kegawatan karena proses persalinan sendiri seperti terjadinya perdarahan akibat placenta
terlepas dini, lilitan tali pusat dan putar paksi yang keliru. Faktor-faktor ini menyebabkan
hipoksia janin didalam rahim. Obat anestesia narkotik dan sedatif yang melewati placenta
dan masuk kedalam sirkulasi janin dapat menyebabkan depresi setelah bayi lahir. Adanya
janin yang hipoksia, maka obat anestesia yang dipilih adalah obat yang sesedikit mungkin
melewati placenta sehingga tidak menambah depresi pernafasan pada bayi.
Dosis obat anestesia yang diberikan pada ibu diusahakan yang minimal dan anestesia
yang terjadi seringan mungkin karena 5 10% bayi yang lahir dengan Sectio Caesaria
mengalami depresi berat. Persiapan peralatan resusitasi dan tenaga terampil resusitasi
merupakan kebutuhan yang mutlak untuk mengatasi depresi bayi lahir.
Persiapan Anestesia Pada Ibu Hamil
Persiapan ibu :
1. Untuk mencegah aspirasi dan mengurangi akibat aspirasi :
a. Pengosongan lambung.
b. Netralisasi asam lambung.
c. Mengurangi produksi asam lambung.
50
2. Untuk menghindari terjadinya hipovolemia dilakukan :
a. Pemasangan infus, cairan Ringer Laktat atau NaCl 0,9% 500 ml untuk cadangan
seandainya terjadi perdarahan berlebihan selama pembedahan.
b. Menyediakan darah.
c. Untuk menghindari perdarahan setelah bayi lahir disiapkan obat untuk
merangsang kontraksi otot rahim. Obat perangsang kontraksi otot rahim tidak
dapat masuk ke uterus bila terjadi asfiksia, hipoksia atau kerusakan dari jaringan
uterus.
Persiapan janin :
1. Alat resusitasi bayi.
Bayi lahir dengan operasi Caesar 5 - 10% lahir mengalami depresi nafas berat.
2. Tempat menghangatkan bayi.
Pelaksanaan Anestesia
Anestesia persalinan dapat dilakukan pada persalinan normal pervaginam atau pada
pembedahan Caesar.
Partus Normal
Tujuam dari pemberian anestesia pada partus normal pervaginam adalah untuk
menghilangkan rasa sakit.
Anestesia pada partus normal dapat dilakukan dengan :
a. Regional blok misalnya lumbal/caudal peridural
b. Anestesia inhalasi misalnya campuran N
2
O dan O
2
atau dengan trichloretylene
c. Obat-obatan diberikan peroral atau parenteral. Obat tersebut dapat menghilangkan
depresi dari janin.
Operasi Caesar
Premedikasi yang diberikan hanya diberikan anti cholinergik tanpa narkotik dan sedatif.
Sulfas atropin diberikan dengan dosis 0,5 mg. Tehnik anestesia yang ideal adalah blok
regional atau cara inhalasi dengan intubasi trakhea, karena dengan ini resiko aspirasi
dapat ditekan serendah mungkin. Tetapi jika peralatan dan ketrampilan tidak
memungkinkan untuk kedua cara diatas, cara lain tanpa intubasi dapat digunakan asal
51
posisi pasien selama anestesia dipertahankan head down (kepala lebih rendah) dan
disiapkan alat penghisap yang baik.
Pilihan anestesianya :
1. Regional blok : blok subarachnoid dan blok peridural
2. Inhalasi
a. Ketamine dengan dosis 0,5 1 mg/kg BB dilanjutkan dengan ether inhalasi
dengan masker setelah bayi lahir. Dosis ulangan 0,5 mg/kg BB.
b. Ketamine dengan dosis 0,5 1 mg/kg BB dan ditambahkan suksinil kholin 1
mg/kg BB dan dilakukan intubasi, dan setelah bayi lahir ether baru dilakukan.
c. Pentothal dengan dosis 3 5 mg/kg BB ditambah suksinil kholin 1 mg/kg BB
dilanjutkan dengan N
2
O/O
2
, setelah bayi lahir dilanjutkan dengan ether atau
halothane.
d. Chloretyl dan ether. Pembedahan dimulai setelah pasien tidak sadar. Pada saat
kaki/kepala bayi sudah terpegang, ether dihentikan sementara sampai bayi keluar
dan tali pusat dijepit. Selanjutnya ether diteruskan sampai selesai.
Cara apapun yang dipilih, alat penghisap muntah harus selalu siap. Selama anestesia
posisi kepala pasien selalu libih rendah.
Penilaian Bayi Lahir dan Penanganannya
Evaluasi tingkat depresi bayi yang baru lahir dilakukan dengan Apgar Score. Nilai Apgar
pada menit pertama menentukan jenis tindakan pertolongan apa yang harus diberikan.
Nilai Apgar pada menit ke lima menentukan prognose selanjutnya bayi tersebut.
Tabel Nilai Apgar
Gejala
Nilai
0 1 2
Detik jantung Negatif Kurang dari 100 Lebih dari 100
Nafas Negatif Tangis lemah Tangis keras
Tonus otot (fleksi) Negatif + +++
Reflex response Negatif + +++
Warna kulit Biru pucat Tubuh merah ujung ektrimitas biru Merah
Setelah dilakukan penilaian saat bayi lahir, ditentukan tindakan yang dilakukan. Bayi
dengan nilai Apgar 10 7, tidak mengalami depresi atau hanya depresi ringan. Tindakan
yang dilakukan hanya pembersihan jalan nafas dan penghangatan tubuh disertai
52
rangsangan taktil pada telapak kaki. Bayi dengan depresi sedang (AS 6 4) memerlukan
tindakan pembersihan jalan nafas dan penghangatan tubuh disertai rangsangan taktil pada
telapak kaki dan tambahan oksigen. Bayi dengan depresi berat memerlukan tambahan
tindakan resusitasi nafas buatan dengan intubasi trakhea dan pijat jantung.
Rangkuman
Anestesia persalinan mempunyai perbedaan dengan anestesia pada umumnya yaitu
adanya ibu dan janin. Obat yang dimasukan pada ibu akan juga masuk ke janin.
Perubahan fisiologis ibu hamil dan adanya janin berpengaruh pada pilihan obat anestesia,
premedikasi dan cara anestesia. Selesai operasi diusahakan obat anestesia yang masih
tersisa sudah tidak berpengaruh pada kontraksi otot rahim. Bayi lahir dinilai dengan
Apgar Score dan dilakukan tindakan sesuai dengan hasil penilaian tersebut.
Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.,
Introduction to Anesthesia.
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
Halaman : 293 - 314
2. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail
Clinical Anesthesiology
Second edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 692 704, 705 725
{@w
Anestesia Pada Anak
Pendahuluan
53
Tindakan anestesia pada anak-anak memerlukan pertimbangan khusus karena faktor-
faktor anatomi dan fisiologi yang berbeda dengan orang dewasa. Pada bayi pertumbuhan
organ yang belum sempurna dan adanya kecenderungan untuk menyesuaikan dengan
suhu sekitar mengakibatkan pemilihan obat dan perlakuan yang berbeda dengan orang
dewasa.
Perbedaan anatomi dan fisiologi pada anak
1. Sistem Pernafasan
Anak-anak lebih mudah mengalami sumbatan jalan nafas, karena secara proporsional jika
dibandingkan dengan orang dewasa, lubang hidung (nares) sempit, lidah relatif besar
mengisi rongga mulut, rahang kecil, leher pendek dan lingkar kepala besar (menyebabkan
posisi kepala mudah menunduk) disamping adanya banyak limfoid. Sedikit tekanan pada
jaringan lunak di leher sudah dapat mengakibatkan obstruksi. Bagian jalan nafas yang
paling sempit bukanlah pita suara, tetapi pada lingkar cricoid (subglotic). Karena
penampang trakhea sempit, sedikit edema saja menyebabkan penyempitan hebat dan
sumbatan aliran udara nafas yang serius. Luas permukaan alveoli anak 1/3 dari orang
dewasa, sedangkan metabolisme dan kebutuhan oksigen dua kali lipat orang dewasa.
Ketidak seimbangan ini dicoba diatasi dengan meningkatkan ventilasi alveolar hingga
menjadi 2 kali orang dewasa (per Kg BB) melalui peningkatan frekuensi nafas semenit.
Namun demikian darah arterial anak biasanya masih menunjukkan suatu asidosis
metabolik ringan dan alkalosis resporatorik. Akibatnya anak-anak lebih mudah dan labih
cepat jatuh dalam hipoksia berat jika terjadi gangguan sumbatan jalan nafas atau episode
apnea.
2. Sistem Sirkulasi
Nadi normal bayi berkisar antara 120 140 x/menit dan tekanan darah sistolik antara 60
80 mmHg. Pada umur 6 th tekanan darah meningkat menjadi 100 mmHg dan nadi turun
menjadi 100 x/menit. Nadi bayi sangat labil dan tekanan darah sering sukar diukur
dengan cara Korotkoff. Steteskop yang diletakkan di dada diatas apex cordis (precordia)
atau di esophagus dapat membantu mendengarkan suara jantung dan suara nafas dengan
tepat. Suara jantung yang melemah menandakan anestesia yang terlalu dalam, defisit
54
cairan intravaskuler atau syok yang mengancam. Jumalah darah bayi dengan berat 3 kg
kurang dari 300 ml. Perdarahan 50 ml saja sudah menyebabkan syok yang berat.
3. Pengaruh Suhu
Suhu bayi sangat dipengaruhi oleh suhu udara disekitarnya. Selama anestesia, tubuh
menjadi poikilothermia, menyesuaikan diri dengan suhu disekitarnya karena mekanisme
pemanasan tubuh ikut tertekan. Suhu udara kurang dari 27
0
C menyebabkan bayi harus
berkompensasi untuk menjaga suhu tubuhnya. Keadaan ini akan meningkatkan
kebutuhan oksigen serta menyebabkan asidosis metabolik. Konsumsi O
2
paling sedikit
jika suhu anak dipertahankan normal.
Hipotermia menyebabkan depresi sirkulasi yang lebih berat. Pada suhu tubuh 28
0
C,
jantung sewaktu-waktu dapat berhenti. Kenaikkan suhu diatas 39
0
C juga berbahaya.
Hipertermia mudah terjadi bila ada dehidrasi, suhu udara disekitar yang tinggi, ada
radang yang menyebabkan demam, digunakan atropin (yang menghambat keluarnya
keringat), karena pengaruh obat tertentu (ketamine, barbiturat dan phenothiazine)
terhadap pesat pengatur suhu, dan digunakannya kain penutup pembedahan yang
berlebihan.
Selain meningkatkan kebutuhan O
2
, demam juga dapat mengakibatkan konvulsi,
kerusakan otak karena hipoksia, hipotensi dan henti jantung.
4. Keseimbangan Cairan dan Metabolisme
Karena luas permukaan tubuh per kg BB lebih besar dari pada orang dewasa, anak
memiliki turn over rate cairan yang cepat dan mereka sukar menerima kekurangan cairan.
Puasa harus dibatasi dan dipertimbangkan penggunaan cairan infus yang lebih bebas
untuk mencegah dehidrasi.
Metabolisme bayi sangat tergantung pada masukan gula atau karbohidrat. Kadar gula
darah bayi labil, akan berpengaruh pada pemberian karbohidrat yang terlambat untuk
anak yang mengalami stress trauma pembedahan dan sepsis. Hipoglikemia berpengaruh
buruk pada otak bayi.
5. Pilihan Untuk Pelaksanaan Anestesia Pada Anak
55
Anak memerlukan ketenangan dan kontak fisik yang lembut saat induksi. Ibu sebaiknya
ikut mendampingi pada waktu anestesia dimulai. Induksi dilakukan secara insuflasi
pelan-pelan dengan mendekatkan sungkup (masker) dari sistem Jackson Reese yang
mengalirkan N
2
O O
2
50% 10 lpm bersama halothane 3 4% kearah mulut dan hidung
pasien. Bila anak mulai tidak sadar, sungkup didekatkan ke wajah dan aliran gas
disesuaikan. Sungkup hendaknya dipegang tepat tanpa kebocoran tetapi juga tanpa
tekanan pada jaringan-jaringan lunak dasar mulut agar tidak menyebabkan sumbatan
jalan nafas.
Untuk anak diatas umur 7 th dapat diberikan induksi intravena dengan ketamine 0,5 1
mg/kg BB atau intramuskuler dengan dosis 3 5 mg/kg BB, cara cukup aman dan efektif.
Selanjutnya nafas diamati, jika perlu diberikan nafas buatan bergantian diselingi nafas
anak itu sendiri agar ventilasi alveolar terjaga dengan baik. Intubasi trakhea sebaiknya
tidak dikerjakan dengan ketamine sebab refleks jalan nafas masih aktif. Akan lebih
mudah dan tidak traumatik jika dekerjakan dalam anestesia ether yang didalamkan,
apabila dilakukan dengan halothane dalam, bahaya akan terjedi depresi nafas dan
sirkulasi yang dapat menimbulkan kematian. Infus harus selalu dipasang untuk
memudahkan pemberian obat dan untuk mengganti kehilangan cairan karena puasa.
Selama pembedahan suhu badan diamati dan dijaga agar tidak menurun sampai kurang
dari 36
0
C.
Rangkuman
Anak mempunyai perbedaan anatomi dan fisiologi dengan orang dewasa, pemilihan obat,
premedikasi dan tehnik anestesia harus disesuaikan dengan anak tersebut. Perbedaan
anatomi dan fisiologi tersebut mengakibatkan perbedaan penanganan pada waktu
pemberian anestesinya.
Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.,
Introduction to Anesthesia.
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
56
Halaman : 315 - 334
2. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail
Clinical Anesthesiology
Second edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 726 - 742
{@w
Anestesi pada gawat darurat
MASALAH
57
Indikasi pembedahan darurat, adalah hal-hal yang memerlukan penyelesaian cepat seperti
Menghentikan perdarahan
Menghilangkan sumber infeksi
Mengeluarkan janin
Mengambil benda asing
Menurunkan tekanan intra kranial
Waktu yang tersedia membatasi kesempatan untuk melakukan evaluasi, memberbaiki
kondisi pasien dan melakukan pencegahan aspirasi. Sukar untuk menyiapkan pasien
sampai maksimal baik. Titik komprominya adalah keadaan optimal dimana
pembedahan dapat segera dilakukan, agar penyebab penyakit dapat dihilangkan. Dalam
memberikan anestesia berlaku dalil : there is no such thing as minor anesthesia.
Anestesia betapun singkatnya, menyangkut fungsi-fungsi vital tubuh. Persiapan dan
pelaksanaan yang kurang cermat membahayakan hidup penderita.
PERSIAPAN
1. Tentukan prioritas dalam melakukan evaluasi dan terapi dengan quick diagnosis dan
quick treatment. Urutan prioritas tersebut adalah :
1. B-1 : breath pernafasan
2. B-2 : bleed peradaran darah
3. B-3 : brain kesadaran/SSP
4. B-4 : bladder urogenital
5. B-5 : bowel gastrointestinal
6. B-6 : bone tulang
Kita tidak boleh terpukau oleh kalainan yang sudah langsung nampak tetapi berasal dari
urutan prioritas terakhir.
Contoh :
Menghadapi pasien patah tulang paha terbuka dan berdarah. Penanganannya harus
berdasarkan urutan prioritas :
58
B-1 : apakah jalan nafas bebas, apakah nafasnya normal ?
B-2 : berapa tensi, nadi, bagaimana perfusi perifer, apakah ada perdarahan aktif ?
B-3 : bagaimana kesadarannya ?
Dan seterusnya
Sambil melakukan bebat tekan menghentikan perdarahan, pasanglah infus RL, atasi
kehilangan volume, baru membuat foto paha dan seterusnya. Evaluasi secermat mungkin
tetapi sesingkat mungkin. Setiap menit sangat berharga. time saving is life saving
2. Perbaiki kondisi sampai optimal (bukan maksimal).
a) Stabilisasi hemodinamik pada perdarahan
Banyak pasien meninggal sebelum sempat menjalani pembedahan karena
terlambatnya stabilisasi hemodinamik. Cara lama transfusi dulu sampai tensi normal,
baru operasi sudah ditinggalkan. Penderita shock berat tensi tidak terukur dianggap
sudah kehilangan > 1/3 volume darahnya (1/3 x 70 ml x BB). Hipovolemia diatasi
dengan infus RL atau NaCl 0,9%, digrojog cepat, sebanyak 2-4 x volume darah yang
diperkirakan hilang. Jika hemodinamik membaik, perfusi perifer membaik acral
kering, hangat, merah, nadi < 100 x/menit, tensi > 100 mmHg, tilt test negatif dan
urine 1 ml/kg/jam maka dianggap kondisi sudah optimal.
Tilt test : merubah posisi pasien dari berbaring datar, jadi head up/anti tredelenburg
sampai semiring 30 derajat. Kemudian tunggu 15 menit. Disebut negatif jika MAP
tidak turun > 10 mmHG (berarti volume sirkulasi sudah normal). Transfusi darah
baru diberikan jika :
Dengan jumlah cairan tersebut sirkulasi masih buruk
Dengan jumlah cairan tersebut Hb < 8 gr%
Sumber perdarahan telah dikuasai
Perlu diketahui bahwa pada waktu perdarahan akut Hb tidak turun. Setelah proses
hemodilusi dan volume intra vaskuler normal kembali baru akan tampak adanya
anemia.
b) Stabilisasi hemodinamik pada kehilangan gastrointestinal
59
Penyebab kehilangan cairan disini adalah :
Intake kurang : puasa, sakit lama
Output berlebihan : muntah, diarrhea, transudasi cairan ke lumen usus (ileus)
atau rongga peritoneum (peritonitis).
Rehidrasi harus mengembalikan defisit IVF dalam waktu sependek mungkin agar
pembedahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan berat jenis plasma dapat
emnilai besarnya kehilangan cairan disini. Test ini tidak dapat digunakan pada
perdarahan.
c) Menurunkan demam
Demam menambah bahaya hipoksia selama anestesia. Selain injeksi antipiretika,
dehidrasi harus dikoreksi. Jika suhu tidak turun, diberikan vasodilator seperti
dehidrobenzperidol 2,5 5 mg im. agar dengan vasodilatasi panas terbawa keluar.
Dengan dibantu kompres selimut yang dibasahi air kran (bukan es) dan kipas angin,
suhu akan lebih cepat menurun. Kompres es atau basuh alkohol tidak dianjurkan
sebab rapid cooling yang terjadi justru menyebabkan menggigil sehingga suhu
meningkat lagi. Suhu ruangan diusahakan rendah (20 -24 C).
d) Mencegah aspirasi
Tergantung dari waktu yang tersedia, diusahakan :
Puasa selama persiapan prabedah. Pengosongan lambung normalnya dalam 6
jam. Tetapi nyeri, infeksi dan persalian memperlambat.
Pasang nasogastric tube besar diameter 18/20 Fr. Dihisap berkala agar
almbung kosong.
Pada pasien obstetrik/hamil, diberikan antasida setelah lambung kosong (Mg
trisilikat) 15 cc) minimal 30 menit sebelum dianestesi. Dosis diulantiap 2 jam.
e) Menghilangkan nyeri
Narkotik adalah analgetik terbaik, namun pada penderita gawat darurat
penggunaannya harus dipertimbangkan baik-baik sebab :
Menyebabkan depresi nafas, lebih pada penderita trauma thorax, trauma
kepala dan shock.
Depresi nafas pada trauma kepala menyebabkan kenaikan tekanan intra
kranial dan dapat menyebabkan herniasi.
60
Mengacaukan diagnostik yang berdasarkan evaluasi nyeri.
Menyebabkan vasodilatasi awas shock.
f) Anestesia : the best anesthesia is the minimum anesthesia
Kalau operasi dapat dikerjakan dengan anestesia infiltrasi lokal atau regional, jangan
dikerjakan dengan anestesia umum. Selalu lebih aman jika pasien tetap sadar selama
operasi. Premedikasi : atropin saja, 0,25 0,5 mg iv sudah cukup. Hati-hati memberi
sedatif dan narkotik. Diazepam 2,5 5 mg iv (dewasa) dapat diberikan jika pasien
sangat gelisah.
Narkotik hanya diberikan atas 2 indikasi :
1. ada nyeri fraktur, dislokasi dan sebagainya.
2. untuk suplement anestesia halothane, diberikan waktu operasi, pethidin 5 10
mg iv, diulang sesuai kebutuhan.
Sifat-sifat negatif dan positif dari obat anestesia harus dipertimbangkan terhadap
kondisi pasien, contoh :
halothane hipotensi tidak untuk pasien shock.
ketamine menaikkan tekanan intrakranial tidak untuk pasien
trauma kepala.
halothane untuk operasi thorax, operasi kepala/muka karena tidak
mudah terbakar/meledak.
ketamine untuk pasien shock karena tidak menurunkan tensi atau
untuk sectio caesaria karena tidak mendepresi janin.
PELAKSANAAN ANESTESIA
Sebelum induksi, nasogastric tube dihisap sekali lagi lalu dicabut. Mulai oksigenasi 8 -10
lpm, minimal selama 5 menit. Kemudian induksi dapat dimulai dengan posisi head down,
agar jika terjadi muntah, muntahan mengalir keluar mulut menjauhi trakhea karena
gaya berat. Alat suction yang baik dan kuat harus siap tersedia.
Anestesi umum dengan masker, posisi head down sudah cukup memadai aman. Lebih
baik jika dipasang endotrakheal tube dengan cuff. Tetapi pemasangannya perlu
ketrampilan khusus. Intubasi lebih mengamankan jalan nafas dari bahaya aspirasi dan
61
memudahkan penafasan buatan. Tetapi jika ahli tidak ada, jangan memaksakan intubasi
ini.
Intubasi cara non apnea dapat dilakukan dalam ether stadium III plane 2-3. setelah
intubasi, stadium didangkalkan lagi. Cara apnea memakai pelumpuh otot dan harus
dilakukan tenaga ahli. Usahakan pasien cepat sadar lagi segera setelah operasi selesai.
Endotrakheal tube dilepas setelah pasien sadar benar. Jika masih diperlukan, nasogastric
tube dipasang kembali setelah intubasi atau setelah pasien sadar kembali.
PASCA BEDAH
Sebelum pasien sadar kembali, pengawasan ketat masih tetap harus dilakukan seperti
selama anestesi. Gangguan nafas pada masa pasca bedah :
1. Hipoventilasi karena sisa anestesi, narkotik, nyeri operasi, bebat terlalu erat pada
dada atau perut. Berikan oksigen nasal 2-3 lpm untuk memperbaiki oksigenasi
selama masih hipoventilasi sisa anestesi. Oksigen tidak dapat masuk paru jika
hipoventilasinya berat. Dalam hal demikian, diberikan nafas buatan/bantuan
dengan Ambu bag. Jika pasien sudah agak sadar, teriakkan ditelinganya supaya
bernafas dalam.
2. Obstruksi jalan nafas karena pangkal lidah, benda asing (lendir, darah, muntah).
Obstruksi dapat diatasi dengan posisi tengadah, dagu jauhkan dari dada. Kadang-
kadang perlu dibantu ganjal bantal diwah bahu.
3. Aspirasi. Posisi kepala selalu diusahakan lebih rendah agar apabila terjadi muntah
tidak terjadi aspirasi. Jika resiko muntah besar, baringkan miring. Alat suction
harus selalu siap. Posisi head down tidak boleh dilakukan pada pasien dengan
trauma kepala atau operasi intra cranial.
Rangkuman
Operasi darurat adalah operasi yang dilakukan dalam waktu terbatas dengan persiapan
yang cepat untuk mengoptimalkan pasien, sehingga harus diatasi jalan nafas, ventilasi,
sirkulasinya. Dan untuk selanjutnya perbaiki suhunya, dikosongkan lambungnya untuk
menghindari penyulitnya. Pemilihan obat anestesi, premedikasi dan tehnik anestesi
62
disesuaikan dengan tindakan pembedahan dan resikonya. Aspirasi dan perdarahan
merupakan penyulit yang sering terjadi pada anestesia pembedahan darurat.
Bahan Bacaan
1. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail.
Clinical Anesthesiology
2nd edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 683 691
{@w
63
Anestesi untuk tindakan rawat jalan
Pengertian
Anestesi rawat jalan yaitu suatu tindakan anestesi yang dilakukan pada pasien yang
menjalani prosedur tertentu (pembedahan, diagnostic radiology), dimana pasien
dimasukkan dan dipulangkan dari rumah sakit pada hari yang sama.
Tindakan bedah rawat jalan ini mempunyai beberapa keuntungan :
Biaya jauh lebih murah daripada rawat jalan
Berkurangnya resiko infeksi nosokomial
Pada anak-anak juga menurunkan gangguan emosional yang disebabkan oleh
hospitalisasi
Umumnya tindakan ini dilakukan untuk tindakan pembedahan yang ringan atau
pembedahan kecil, yang dapat dilakukan tidak lebih dari 60 menit.
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan secara rawat jalan :
a. Pediatri :
Circumcisi
Irigasi ductus nasolacrimalis
Polip recti
Kista dermoid
b. Gynecology :
Dilatasi dan kuretage
Abortus
Cauter cervix
Kista Bartholini
c. Orthopaedi :
Reposisi
Eksisi ganglion
Dekompresi carpal tunnel
Trigger finger
Angkat pen/plate
64
d. Bedah Umum :
Eksisi lipoma/naevus
Fibroadenoma mammae
Eksisi tumor kelenjar keringat
Pemilihan pasien :
Untuk dapat mencapai tujuan agar pasien dapat dipulangkan pada hari yang sama, perlu
dipilih pasien yang tepat yang memenuhi persyaratan tertentu.
a. Pasien termasuk dalam Status Fisik ASA 1 2.
b. Telah dilakukan pemeriksaan oleh dokter, serta mendapat penerangn sejelasnya
tentang apa yang akan dilakukan oleh dokter, baik segi pembedahan maupun
anestesinya.
c. Pasien yang mau dan mampu mengikuti petunjuk-petunjuk yang diterima, baik
lisan maupun tertulis.
d. Pasien harus mempunyai motivasi untuk pulang pada hari yang sama.
e. Pasien harus mempunyai pengantar yang dapat dipertanggung jawabkan
(misalnya seorang ibu/bapak tidak boleh diantarkan oleh anaknya / cucunya yang
belum dewasa).
f. Pasien harus datang dengan membawa petunjuk tertulis yang berisi pesanan pra
anestesi yang telah didapat sebelumnya.
Pesanan pada pasien :
a. Malam sebelum hari operasi, masih boleh intake pe oral terakhir jam 22.00 untuk
orang dewasa, sedangkan untuk anak-anak dipuasakan, dengan minum air terakhir
6 jam sebelum perkiraan tindakan anestesi, sedangkan untuk makan terakhir
sebaiknya 8 jam sebelumnya. Untuk anak dibawah 2 th, puasa minum air 4 jam
dan puasa minum susu 6 jam.
b. Pasien harus datang pada pagi hari yang ditentukan, dengan pengantar seperti
yang telah disebutkan diatas.
65
Apa yang harus dilakukan pada hari pembedahan :
a. Pasien yang datang harus dicek ulang terakhir, meliputi : anamnesis tentang
adanya infeksi saluran nafas yang mungkin baru didapat setelah pemeriksaan dan
penentuan hari operasi. Anamnesis tentang persiapan puasa, apakah pasien
menjalankan pesanan untuk puasa sesuai dengan yang telah diterangkan secara
lisan maupun tertulis.
b. Setelah semua beres, pasien dipasang infus.
c. Untuk pasien-pasien rawat jalan ini tidak diberikan premedikasi berat. Pada orang
dewasa semua medikasi dapat diberikan secara intravena. Untuk bayi dan anak
yang masih rewel, premedikasi tentu saja dapat diberikan secara intramuskuler.
d. Pada umumnya untuk orang dewasa hanya diberikan sulfas atropin 0,25 mg dan
midazolam 2,5 5 mg IV, sebelum pasien dibawa masuk ke kamar operasi.
e. Anestesi :
Dipilih obat anestesi yang tidak menyebabkan pasien bangun terlalu lama.
Contoh : halothane, enflurane, isoflurane, sevoflurane atau propofol.
Obat induksi dengan pentothal atau propofol dengan dosis secukupnya
(dosis minimal yang masih efektif).
Sedapat mungkin tidak menggunakan tehnik intubasi endotrakheal, karena
ada kemungkinan penyulit edema larynx pasca anestesi.
Monitoring : selama anestesi monitoring sama seperti pasien rawat inap.
Analgetik : mengingat bahwa pada tindakan anestesi rawat jalan ini
dilakukan tanpa premedikasi dan digunakan obat anestesi yang kurang
kuat daya analgesinya, maka perlu diberikan tambahan analgetika selama
anestesi, misalnya morphine atau pethidin diberikan iv dengan dosis 1/3
dari dosis im. Pemberian harus dengan memperhitungkan waktu untuk
mencapai efek, sehingga pada waktu pembedahan dimulai pasien tidak
mengalami raasa sakit. Apabila tidak ada kontra indikasi, maka morphine
lebih merupakan pilihan dibanding dengan pethidin, karena efek mual dan
muntah lebih sedikit dan efek analgesi lebih lama.
f. Pulih sadar dan pemulangan : selama masa pasca bedah pasien perlu mendapat
pengawasan di ruang pulih sadar. Sebaiknya pasien ini jangan ditidurkan dekat
66
pasien yang mengalami operasi besar, yang menggunakan beberapa infus, yang
sedang diberi transfusi darah, atau pasien yang menggunakan manyak drain dan
berdarah. Hal ini untuk mencegah agar pasien tidak merasa takut pada waktu
bangun. Masalah pulih sadar pada anestesi rawat jalan tidak hanya dinilai asal
pasien telah sadar, tetapi ada hal-hal yang penting dan perlu diperhatikan,
mengingat bahwa pasien ini akan lepas dari pengawasan dokter/perawat/rumah
sakit. Sementara itu efek dari obat anestesi tidak semuanya telah hilang. Untuk
menilai masa pulih sadar ini Steward membagi dalam 3 tahap :
Immediate recovery
Kembalinya kesadaran, kembalinya reflek protektif jalan nafas dam aktifitas
motor yang singkat. Tahap ini singkat dan dapat dengan tepat diikuti dengan
menggunakan scoring system.
Intermediate recovery
Kembalinya fungsi koordinasi, hilangnya perasaan pusing subyektif. Tahap ini
kira-kira 1 jam setelah anestesi yang tidak terlalu lama. Dalam tahap ini mungkin
pasien sudah dapat dipulangkan asal ada pendamping yang dapat dipertanggung
jawabkan.
Longterm recovery
Tahap ini dapat berlangsung berjam-jam bahkan berhari-hari tergantung dari
lamanya anestesi. Untuk pengukurannya perlu tes psikomotor, sehingga tidak
praktis untuk dilakukan di klinik.
Kriteria pemulangan (kriteria klinis) :
a. Apabila pasien sudah sadar dan mengenal lingkungan, dicoba untuk
setengah duduk (kepala diganjal dengan beberapa bantal). Bila pasien
merasa pusing, ditidurkan kembali. Prosedur ini dapat diulangi, bila pasien
sudah merasa enak kembali.
b. Bila selama 15 menit pasien tidak mengeluh apa-apa, dapat dicoba untuk
duduk. Bila ada keluhan (pusing, mual atau muntah) dikembalikan
keposisi semula, atau kalau perlu posisi tidur lagi. Kemudian prosedur
dapat diulangi lagi.
67
c. Bila setelah 15 menit dalam posisi duduk tidak ada keluhan, dicoba untuk
duduk dengan kaki menjuntai. Ini dilakukan pula selama 15 menit.
Sementara itu pasien dicoba untuk minum air putih.
d. Bila pasien dapat tahan dalam posisi ini, maka dicoba untuk turun dari
tempat tidur, dan diminta untuk memakai pakainnya sendiri. Maka pasien
siap untuk dipulangkan. Dapat pula ditambahkan sebagai kriteria
pemulangan :
Pasien diminta berjalan mengikuti garis lurus.
Test Romberg dengan mata terbuka.
Kriteria pemulangan pada bayi dan anak-anak :
Tes klinis tersebut diatas tidak dapat diterapkan pada bayi dan anak kecil. Untuk
bayi dan anak kecil dapat dilakukan sebagai berikut : bila bayi atau anak tersebut
sudah menangis keras dan tidak muntah, dicoba minum air sedikit demi
sedikitdengan menggunakan sendok. Perlu diingat, sering kali anak yang sudah
menangis keras ini kemudian tertidur lagi, oleh kerena itu jangan tergesa-gesa
memulangkan atas dasar menangis keras. Bila sudah dapat minum agak banyak
dan tidak muntah, infus dilepas dan pasien dapat dipulangkan.
Kriteria pemulangan berdasar atas observasi klinis ini merupakan kriteria yang
paling sederhana dan mudah untuk dilakukan.
Beberapa kriteria lain dapat dilihat pada beberapa tabel yaitu Steward Scoring
System (tabel 1), Robertson Scoring System (tabel 2) dan Aldrete Scoring System
(tabel 3).
68
Tabel 1. Steward Scoring System
Kriteria Skor
Kesadaran
Bangun 2
Respon terhadap stimuli 1
Tidak ada respon 0
Jalan nafas
Batuk atas perintah atau menangis 2
Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
Perlu bantuan untuk mempertahankan 0
Gerakan
Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
Gerakan tanpa maksud 1
Tidak bergerak 0
Tabel 2. Robertson Scoring System
Kriteria Skor
Kesadaran
Sadar penuh, mata terbuka, berbicara 4
Tertidur ringan, sekali-kali mata terbuka 3
Mata terbuka atas perintah atau bila dipanggil 2
Respon terhadap cubitan telinga 1
Tidak ada respon 0
Jalan
nafas
Membuka mulut dan atau batuk atas perintah 3
Tak ada batuk volunter, jalan nafas bebas tanpa bantuan 2
Obstruksi jalan nafas bila leher fleksi tetapi tanpa bantuan bila
ekstensi
1
Tanpa bantuan terjadi obstruksi 0
Aktivitas
Mengangkat tangan dengan perintah 2
Gerakan tak berarti 1
Tidak bergerak 0
Tabel 3. Aldrete Scoring System
Recovery score I
n
15 30 45 60 Out
Aktivitas
Dapat bergerak
volunter
4 anggota gerak 2 2 2 2 2 2
2 anggota gerak 1 1 1 1 1 1
0 anggota gerak 0 0 0 0 0 0
69
atau atas perintah
Respirasi
Mampu bernafas dalam dan batuk
secara bebas
2 2 2 2 2 2
Dyspnea, nafas dangkal atau
terbatas
1 1 1 1 1 1
Apnea 0 0 0 0 0 0
Sirkulasi
Tensi +/- 20 mmHg preop 2 2 2 2 2 2
Tensi 20 50 mmHg preop 1 1 1 1 1 1
Tensi +/- 50 mmHg preop 0 0 0 0 0 0
Kesadaran
Sadar penuh 2 2 2 2 2 2
Bangun waktu dipanggil 1 1 1 1 1 1
Tidak ada respon 0 0 0 0 0 0
Warna kulit
Normal 2 2 2 2 2 2
Pucat, kelabu dll 1 1 1 1 1 1
sianotik 0 0 0 0 0 0
Dari tebel skoring sistem diatas, bila dilihat dengan teliti, jelas bahwa scoring menurut
Robertson dan Steward dengan mudah dapat dilakukan. Sebelum pasien pulang, pada
keluarganya harus diterangkan (lisan dan tertulis) pesanan obat-obat yang harus diminum,
dan kapan harus kembali ke RS segera bila ada penyulit. Didalam pesanan perlu
diterangkan bahwa selama 24 jam pertama pasien harus istirahat. Makan dan minum
seperti biasa. Selama 48 jam jangan mengendarai kendaraan sendiri.
Beberapa test yang dapat digunakan untuk menilai pasien-pasien yang pulih sadar dari
pemberian sedativa secara intravena :
a. Tes klinis :
Dapat berdiri sendiri tanpa bantuan
Berjalan mengikuti garis lurus
Mempertahankan keseimbangan dengan mata tertutup (tes Romberg)
Orientasi terhadap waktu dan tempat
Menyebut nama dan alamat dengan benar
Tensi dan nadi stabil selama 30 menit
b. Pencil and paper test
70
c. Psychomotor test
Perlu diingat bahwa tidak semua scoring system tersebut dapat diterapkan, mengingat
terbatasnya tenaga perawat yang ada di ruang pulih sadar.
g. Penundaan pemulangan
Apabila terjadi penyulit dari segi operasinya (perdarahan, operasi
berkepanjangan)
Apabila terjadi penyulit dari segi anestesinya
Mual dan muntah yang berkepanjangan
Pusing yang berkepanjangan
Adanya penyulit selama anestesinya (hipotensi yang berat)
Terjadinya edema larynx pasca intubasi (karena anestesinya terpaksa harus
dilakukan dengan tehnik intubasi endotrakhel)
h. Lain-lain
Mengingat bahwa penundaan pemulangan dapat terjadi, maka kemungkinan ini,
sudah harus dijelaskan pada pasien maupun keluarganya pada saat konsultasi
prabedah. Informed consent harus dijelaskan dan ditanda tangani pada waktu
penentuan kapan pasien akan dilakukan operasi.
i. Penyulit pasca bedah setelah pemulangan
Sequellae ringan pasca anestesi rawat jalan tidak jarang ditemukan.ual atau mual dan
muntah lebih sering didapati pada anak-anak dibanding orang dewasa.
Insidens hilangnya nafsu makan pada hari operasi didapatkan pada 40%, pada
keesokan harinya 17%.
Sakit tenggorokan pasca intubasi 59%, setelah pemasangan orotracheal 24% dan
tanpa penggunaan kedua alat tersebut dapat terjadi pada 8,5%. Insidens sakit kepala
sebesar 13% dapat terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa.
Mengingat hal tersebut diatas, maka pengertian orang tua sangat diperlukan, agar
dapat mengatasi keadaan tersebut bila terjadi di rumah.
Rangkuman
71
Anestesi untuk tindakan rawat jalan memerlukan persyaratan khusus. Dengan mengingat
bahwa pasien akan menjalani perawatan pasca anestesi/bedah dilingkungan keluarga
tanpa tenaga paramedik, maka kesiapan dan pengertian pasien (bila pasien dewasa) dan
keluarga terhadap kemungkinan penyulit yang timbulnya lambat misalnya perdarahan,
muntah yang berlebihan. Dalam keadaan demikian keluarga harus melakukan tindakan
pertolongan dan segera membawa kembali ke rumah sakit.
Persyaratan tersebut mengharuskan pelaksanaan tindakan rawat jalan dilakukan oleh
tenaga yang terampil, untuk menghindari terjadinya penyulit. Pemantauan proses pulih
sadar dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun pemulangan pasien harus dilakukan
bila syarat tertentu sudah dipenuhi.
Bahan Bacaan
1. Drips R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.,
Introduction to Anesthesia
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London-Toronto, 1998
Halaman : 362 367
2. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail
Clinical Anesthesiology
2nd edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 749 754
{@w
ANESTESI REGIONAL
Farmakologi Obat Anestesi Regional
Pendahuluan
Obat anestesia regional bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada
daerah tertentu dari tubuh. Cara bekerjanya dengan mem-blok proses konduksi pada saraf
perifer jaringan tubuh, yang sifatnya sementara (reversible). Obat anesthesia regional
dikatakan baik, jika bekerja reversible sempurna, bebas dari iritasi lokal, mempunyai
72
potensi yang tinggi, bila diberikan secara topical effeknya regional. Mempunyai toksisitas
sistemik minimal, mudah dimetabolisme dan stabil selama penyimpanan dan sterilisasi.
Sifat-sifat suatu obat anestesi regional
Sifat obat anestesi regional tergantung pada, kelarutannya dalam lemak, ikatan dengan
protein, pKa, diffusi pada jaringan, dan efek vasodilatasi.
Kelarutan dalam lemak
Potensi dari obat anestesia regional ditentukan oleh kelarutannya dalam lemak. Kelarutan
suatu zat dalam lemak, ditandai dengan partition coefficient. Makin tinggi partition
coefficient obat anestesia regional, makin tinggi daya hambat konduksi akibatnya
konsentrasi yang rendah, sudah mampu menghambat konduksi saraf. Procain mempunyai
partition coefficient kurang dari satu, sedangkan Bupivacaine, Etidocain dan Tetracain
partition coefficientnya antara 30-40.
Ikatan dengan protein
Ikatan dengan protein obat anestesi regional berhubungan dengan lama kerjanya, semakin
tinggi kemampuan ikatan proteinnya, makin lama kerjanya, atau sebaliknya. Procain
mempunyai ikatan protein yang lemah, sedangkan Bupivacain mempunyai ikatan protein
yang kuat. Hubungan antara ikatan protein dan lama kerja obat anestesia regional
disebabkan oleh karena dinding sel saraf mengandung kurang lebih 10% protein.
pKa
pKa suatu kimia dapat diartikan sebagai pH, dimana jumlah zat yang berionisasi dan
yang tidak berionisasi dalam keadaan seimbang. Bentuk basa yang tidak bermuatan dari
obat anestesia regional berperan aktif dalam menghambat konduksi saraf. Bentuk basalah
yang dapat menembus dinding sel masuk kedalam sel saraf. Dimulainya efek analgesia
obat anestesi regional tergantung dan banyaknya bentuk basa yang terbentuk dalam suatu
larutan, pada saat obat tersebut disuntikkan ke dalam jaringan tubuh yang pHnya sekitar
7,4. Pada dasarnya jumlah bentuk basa yang akan terbentuk berbanding terbalik dengan
pKa suatu obat anestesia regional. Lidocain yang memiliki pKa 7,74, bila disuntikkan ke
dalam tubuh yang pH nya 7,4, maka 35% zat tersebut dalarn bentuk basa.Semakin tinggi
73
pKa nya, semakin lambat onset analgesinya. Jadi obat anestesi regional yang mempunyai
pKa mendekati pH tubuh, dimulainya efek analgesi akan lebih cepat.
Diffusi pada jaringan
Obat lokal anestesi sebelum mencapai saraf harus berdiffusi melalui jaringan ikat
disekitarnya. Lidocain dan Prilocain mempunyai pKa yang sama, tetapi pada keadaan
sebetulnya dimulainya efek analgesia Lidocain lebih cepat dan pada Prilocain.
Efek vasodilatasi
Potensi serta lama kerja obat lokal anestesi tergantung dan banyaknya obat tersebut yang
berdiffusi ke dalam reseptor nyeri yang ada pada dinding saraf setelah penyuntikan,
sebagian obat akan berdiffusi ke dalam saraf dan sebagian lagi absorbsi pembuluh darah.
Kecepatan absorbsi ini tergantung dari vaskularisasi daerah yang disuntik. Semua obat
lokal anestesi bersifat vasodilator, kecuali cocain. Potensi analgesia Mepivacain sama
dengan Lidocain, tetapi lama kerja Mepivacain lebih panjang, hal ini menunjukkan effek
vasodilator Lidocain lebih besar dan pada Mepivacain, sehingga absorbsinya lebih cepat
dan hanya sebagian kecil saja menetap pada saraf.
Absorbsi
Konsentrasi obat anestesi regional dalam darah ditentukan oleh kecepatan absorbsi dari
tempat dimana disuntikkan, distribusi ke dalam jaringan dan metabolisme dan ekskresi.
Faktor umur, status kardiovaskuler dan fungsi hati juga ikut berperan dalam menentukan
konsentrasi obat lokal anestesi dalam darah. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi
dan potensi suatu obat anestesia regional adalah tempat penyuntikan, dosis, penambahan
obat vasokonstriktor dan sifat-sifat obat itu sendiri.
Tempat penyuntikan
Absorpsi daerah interkostal paling mudah, diikuti ruang epidural di lumbal, pleksus
brakhialis dan jaringan subkutis. Pemberian topikal intra-trakheal efeknya jauh lebih
mudah di banding dengan pemberian nasal, urethra atau buli-buli. Oleh karena itu
pembenian intra-trakheal lebih mudah menimbulkan intoksikasi. Untuk prosedur intubasi,
pemberian Lidocain intra-trakheal sampai 100-200 mg masih dianggap aman.
Dosis
74
Pada dasarnya, konsentrasi dalam darah berbanding lurus dengan dosis total. Lidocain
200 mg disuntikkan ke dalam ruang epidural lumbal, maka konsentrasi dalam darah rata-
rata 1.5 Ug/ml dan jika dinaikkan menjadi 600mg, konsentrasinya akan naik pula menjadi
4 Ug/ml. Gejala intoksikasi akan timbul bila konsentrasi Lidocain dalam darah lebih dari
7 Ug/ml
Penambahan obat vaskonstriktor
Adrenalin sebagai obat vasokonstriktor, akan memperpanjang lama kerja obat anestesi
regional. Penambahan adrenalin dengan perbandingan 1 : 200.000 akan mengurangi
kecepatan absorbsi, sehingga kemungkinan terjadinya intoksikasi berkurang.
Sifat-sifat obat anestesi regional
Meskipun obat anestesi regional mempunyai potensi analgesia yang sama, namun derajat
absorbsinya beda. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan aktivitas
vasodilatornya dan kelarutannya dalam lemak dari masing-masing obat.
Distribusi
Obat anestesi regional mengalami distribusi ke seluruh jaringan tubuh, namun
konsentrasinya tidak sama untuk jaringan tertentu. Secara umum konsentrasinya akan
lebih tinggi pada organ yang vaskularisasinya banyak.
Metabolisme dan ekskresi
Metabolisme obat lokal anestesi tergantung dari struktur kimianya . Obat-obat dari
golongan ester akan mengalami hidrolisa dalam plasma oleh enzim pseudokholin-
esterase, sedangkan obat dari golongan amide akan mengalami metabolisme di hati.
Kecepatan metabolisme dapat berbeda, meskipun memiliki struktur kimia yang sama.
Procain akan lebih cepat dihidrolisa dan pada tetracain (keduanya dan golongan ester),
sehingga procain kurang toksis dibanding tetracain. Ekskresi procain, kurang dari 2%
ditemukan dalam urine dalam bentuk utuh, 90% dalam bentuk PABA dan sisanya dalam
bentuk dietile-ethanol. Metabolisme dan golongan amide jauh lebih kompleks.
75
Toksisitas Obat Anestesi Regional
Obat anestesi regional, bila diberikan dengan dosis dan tempat lokasi yang tepat,
merupakan obat yang cukup aman. Intoksikasi akan terjadi bila secara tidak sengaja
masuk ke dalam intra vaskuler atau melebihi dosis maksimal. Gejala intoksikasi berupa
adanya gejala sistemik yaitu eksitasi, depresi susunan syaraf pusat, hipertensi, hipotensi
sampai dengan henti jantung dan pada gejala lokal adanya kerusakan syaraf dan otot.
Pada pemberian prilokain dapat tejadi methaemoglobine atau adiksi pada pemberian
kokain, Reaksi alergi juga dapat terjadi pada pemberian obat anestesi regional. Apabila
obat tersebut masuk ke dalam intra-vaskuler, gejala intoksikasi akan timbul kurang lebih
dari 5 menit, sedangkan pada pemberian infiltrasi atau epidural, gejala akan timbul
setelah 20 menit.
Pengelolaan Intoksikasi
Bila terjadi intoksikasi obat anestesi regional dapat menimbulkan kematian yang
mendadak, oleh karena itu pengelolaannya harus cepat dan tepat. Obat-obat darurat dan
sarana resusitasi barus tersedia dan siap pakal. Penguasaan resusitasi kardio-pulmoner
mutlak diperlukan. Tindakan yang harus segera dilakukan pada intoksikasi adalah :
menhentikan konvulsi dengan obat anti konvulsan, misalnya tiopental atau dengan
suksinil kholin 50-100mg i.v. Tindakan tersebut diatas akan diikuti dengan terjadinya
apnea, sehingga mutlak perlu dilakukan pernafasan buatan.
Apabila terjadi hipotensi, diberikan vasopressor, misalnya aphedrin 5-15 mg i.v. dan bila
henti jantung, lakukan resusitasi kardio-pulmoner.
Untuk menghindari tejadinya intosikasi, gunakan dosis yang dianjurkan, sebelum obat
disuntikkan lakukan aspirasi dulu, untuk meyakinkan bahwa jarum tidak berada dalam
pembuluh darah, lakukan test-dose, sebelum obat disuntikkan, bila diperlukan jumlah
obat yang banyak, pilihlah obat yang paling kurang toksis, penambahan vasokonstriktor
adrenalin, pengukuran harus dengan semprit, tidak boleh dengan tetesan dan penyuntikan
dosis penuh, harus tetap perlahan lahan. Pasien tetap diawasi dengan ketat selama
76
beberapa waktu, setelah selesai penyuntikan untuk mengetahui timbulnya komplikasi
yang lambat.
Dosis, Hubungannya Dengan Lokasi Pemberian
Dibawah ini dicantumkan dosis maksimal, sesuai penggunaannya.
Tabel 1. Untuk penggunaan inflitrasi dan epidural
Jenis obat Konsentrasi Lama kerja Dosis maks
Procain 2 4 % 0,5 jam 1000 mg
Lidocain 1 4 % 1 2 jam 500 mg
Mepivacain 1 2 % 1 2 jam 500 mg
Tetracain 0,1 0,25 % 2 3 jam 75 mg
Bupivacain 0,5 0,75 % 5 7 jam 200 mg
Etidocain 0,5 1 % 4 6 jam 300 mg
Tabel 2. Untuk penggunaan topical/spray
Jenis obat Konsenttrasi Lama kerja Dosis maks
Cocain 4 % 30 menit 250 mg
Lidocain 2 4 % 15 menit 200 mg
Tetracain 0,5 % 45 manit 50 mg
Pembagian Obat Anestesi Regional
Ada dua golongan besar obat anestesia regional, yaitu golongan ESTER dan golongan
AMIDE. Disebut ester bila terjadi hubungan Amino-ester antara gugusan aromatik
dengan rantai intermediate. Disebut amide bila terjadi hubungan Amino-amide antara
gugusan aromatik dengan rantai intermediate.
Gambar
77
Perbedaan antara bentuk ester dan amide terletak pada, tempat dimana ia dimetabolisme
dan potensi allerginya. Golongan ester akan dihidrolisa dalam plasma oleh enzim pseudo-
choline-esterase, sedangkan golongan amide dimetabolisir dalam hati. PABA (Para
Amino Benzoic Acid) merupakan salah satu hasil hidrolisa dari golongan ester. PABA
inilah yang sering menimbulkan reaksi allergi. Sedangkan metabolisme golongan amide
tidak menghasilkan PABA, sehingga jarang menimbulkan reaksi allergi.
Yang termasuk golongan ester adalah : Cocaine, Procaine, Chioroprocaine, Tetracaine.
Golongan amide meliputi : Dibucaine, Lidocaine, Mepivacaine, Prilocaine, Bupivacaine,
Etidocaine
Procaine
Setelah bertahun-tahun mencoba sintesa bermacam-macam ester, Einhorn pada tahun
1904 menemukan Procaine, sebuah ester di-ethyl amino ethanol dan p-amino benzoic
acid. Procaine-HCI secara topical aktifitasnya kurang, tetapi telah digunakan secara luas,
oleh karena toksisitas sistemik minimal, iritasi local sedikit, sterilisasinya mudah, lama
kerjanya pendek dan murah. Kurangnya toksisitas sistemik dan lama kerjanya yang
pendek tersebut akibat dihidrolisa dengan cepat oleh pseudochline-esterase. Procaine
kurang banyak digunakan oleh karena kalah bersaing dengan golongan amide.
Lidocaine
Lidocain-HCl (Xylocaine), derivat acetanilide, diperkenalkan oleh Lofgren pada tahun
1948. Keuntungan utama Lidocaine adalah mulainya cepat, bebas iritasi lokal. Sebagian
obat dimetabolisir dimikrosome hepar dan sebagian lagi dikeluarkan melalui urine dalam
bentuk yang tidak berubah Obat ini dua kali lebih toksis dan pada procaine. Untuk
injeksi, digunakan konsentrasi 0,5-2,0%, sedangkan untuk topical anestesi digunakan
konsentrasi 4%. Dosis maksimal yang diberikan tanpa obat vasokonstriktor (adrenalin)
adalah 3 mg/kg berat badan dan 7 mg/kg berat badan bila dengan adrenalin. Lidocaine
dikatakan bebas dari reaksi allergi, sehingga dipakai sebagai pengganti golongan ester
bila allergi terhadap golongan ester.
Mepivacaine
78
Mepivacaine-HCI (Carbocaine) bekerjanya sama cepat seperti Lidocaine, tetapi lama
kerjanya lebih lama 20%. Atas dasar ini tidak diperlukan penambahan adrenalin pada
blok saraf. Konsentrasi yang dianjurkan adalab 1 - 4% untuk injeksi dan anestesi topical,
dengan dosis maksimal 500 mg. Meskipun iritasi jaringan minimal, obat ini tidak
digunakan untuk anestesi spinal.
Bupivacaine
Bupivacaine-HCI (Marcaine) disintesa tahun 1975 oleh Ekenstam, merupakan derivat
anilide. Obat ini lebih kuat dan lebih lama kerjanya dibandingkan dengan Lidocaine atau
Mepivacaine. Digunakan dalam konsentrasi 0,25 - 0,75%. Jumlah total untuk satu kali
pemberian maksimal 200-500 mg. Pada konsentrasi rendah, blok motorik kurang
adekwat. Untuk operasi abdominal, dipenlukan konsentrasi 0,75%. Onset anestesi lebih
lambat dan pada Lidocaine atau Mepivacaine, tetapi lama kerjanya 2-3 kali lebih lama.
Rangkuman
Obat anestesi regional merupakan obat yang bila sudah masuk didalam tubuh harus
ditunggu sampai dilakukan metabolisme, sehingga pilihan obat harus disesuaikan dengan
macam tindakan operasi dan lamanya. Dosis dengan vasokonstriktor atau tanpa
vasokonstriktor yang diberikan harus dperhitungkan dengan berat badan pasien untuk
menghindari intoksikasi
Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., EkkenhoffJ.E., Vandam L.D., Introduction to Anestesia.
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia- London Toronto, 1988
Halaman : 211 - 222,
2. C. Edward Morgan,Jr., Maged S. Mikhail
79
Clinical Anesthesiology
Second edition a Lange Medical Book. 1996
Halaman: 193 - 200
{@w
Terapi Cairan Pengganti Perdarahan
Pendahuluan
Perdarahan dan hemorrhagic shock merupakan salah satu penyulit selama anestesi dan
pasca bedah dini. Perdarahan dapat ditolong dengan memberikan larutan Ringer Laktat
atau Normal Saline dalam jumlah besar. Lahir istilah Hemodilusi karena selama darah
yang hilang diganti cairan, terjadilah pengenceran darah dan unsur-unsurnya. Hemodilusi
bukan keadaan fisiologik, tetapi sesuatu yang berguna untuk menyelamatkan penderita
dengan perdarahan hebat. Darah diberikan pada saat yang tepat sehingga tidak terjadi hal-
hal yang tidak diinginkan.
Dasar-dasar pemikiran
Pasien yang berdarah, menghadapi dua masalah yaitu berapa sisa darah yang beredar dan
berapa sisa eritrosit untuk mengangkut oksigen ke jaringan.
80
Volume darah
Bila volume darah hilang 1/3, pasien akan meninggal dalam beberapa jam. Penyebab
kematian adalah shock progresif yang menyebabkan hipoksia jaringan.
Hipovolemia menyebabkan beberapa perubahan :
a. Vasokonstriksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan organ
primer (otak, jantung) dengan aliran darah yang tersisa.
b. Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme anaerobbic
dengan produksi asam laktat yang menyebabkan lactic acidosis.
c. Lactic acidosis menyebabkan perubahan-perubahan sekunder sehingga terjadi
kerusakan merata.
d. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskuler sampai 10%
EBV tidak mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan lebih dari
25% atau bila terjadi shock/hipotensi maka sekaligus kompartemen interstitial dan
intrasel ikut terganggu. Bila dalam terapi hanya diberikan sejumlah kehilangan
plasma volume (intravaskuler), pasien masih mengalami defisit yang
menyebabkan shocknya irreversible dan berakhir kematian.
Eritrosit untuk transportasi oksigen
Dalam keadaan normal, jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan adalah :
Cardiac output x Saturasi O
2
x Hb x 1,34 + CO pO
2
x 0,003
Kalau unsur CO x pO
2
x 0,003 karena kecil diabaikan, maka tampak bahwa persediaan
oksigen untuk jaringan tergantung pada cardiac output, saturasi dan kadar Hb. Karena
kebutuhan oksigen tubuh tidak dapat dikurangi kecuali dengan hipotermia dan anestesia
dalam, maka jika eritrosit hilang, total Hb berkurang, cardiac output harus naik agar
penyediaan oksigen jaringan tidak terganggu. Orang normal dapat menaikkan cardiac
output tiga kali normal dengan cepat, asalkan volume sirkulasi cukup (normovolemia).
Faktor Hb dan Saturasi jelas tidak dapat naik. Hipovolemia akan mematahkan
kompensasi cardiac output. Dengan mengembalikan volume darah yang telah hilang yang
telah hilang dengan apa saja asal segera normovolemia, CO akan mampu berkompensasi.
Jika Hb turun sampai tinggal 1/3. tetapi CO dapat naik sampai tiga kali, maka penyediaan
81
oksigen ke jaringan masih tetap normal. Pengembalian volume, mutlak diprioritaskan
daripada pengembalian eritrosit.
Cara mengatasi perdarahan
82
Pada Kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada kasus B,
jika Hb < 8 gr% atau hematokrit < 25%, transfusi sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya
akan dilakukan pembedahan untuk menghentikan suatu perdarahan, transfusi dapat
ditunda sebentar sampai sumber perdarahan dapat dikuasai. Pada kasus C, transfusi harus
segera diberikan. Ada tiga kemungkinan penyebab yaitu perdarahan masih berlangsung
terus (continuing loss), shock terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama dan anemia
terlau berat.
Pada 1 2 jam pertama, kalau diukur Hb atau hematokrit, hasil yang diperoleh mungkin
masih normal. Harga Hb yang benar adalah yang diukur setelah pasien kembali
normovolemik dengan pemberian cairan. Pasien didalam keadaan anestesi, dengan nafas
buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir hematokrit 10 15%. Tetapi pada
pasien biasa yang sadar, nafas sendiri, memerlukan Hb 8gr% atau lebih agar cadangan
kompensasinya tidak terkuras habis.
Jumlah cairan
A B
83
Pasien datang dengan perdarahan
Pasang infus jarum besar
Ambil sample darah
Catat tekanan darah, nadi
Perfusi, (produksi urine)
Ringer laktat atau NaCl 0,9%
20 ml/kg BB cepat ulangi
1000 2000 ml dalam 1 jam
Hemodinamik baik
Tekanan sistolik > 100 mmHg,
nadi >100, perfusi hangat, kering
Urine > ml/kg/jam
Hemodinamik buruk
Teruskan cairan
2 -4 x EBV
Hemodinamik buruk Hemodinamik baik
C
Lebih dahulu dihitung Estimated Blood Volume pasien, yaitu 65 70 ml/kg BB.
Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30% EBV
memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan 30% - 50% EBV masih
dapat ditunjang untuk sementara dengan cairan saja sampai darah transfusi tersedia. Total
volume cairan yang dibutuhkan pada kehilangan > 10% EBV berkisar antara 2 4 kali
volume yang hilang.
Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Trauma Status dari
Giesecke. Dalam waktu 30 60 menit setelah pemberian, cairan Ringer laktat akan
meresap keluar vaskuler menuju interstitial. Demikian sampai terjadi keseimbangan baru
antara plasma volume (IVF) dan ISF. Ekspansi ISF ini merupakan interstitial edema
yang tidak berbahaya. Bahaya edema paru-paru dan edema otak dapat terjadi jika semula
organ-organ tersebut telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan terjadi diuresis
spontan. Jika keadaan terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan furosemide
setelah transfusi diberikan.
Trauma Status dari Giesecke
TANDA TS I TS II TS III
Sesak nafas - Ringan Berat
Takanan darah N Turun Tak terukur
Nadi Cepat Sangat cepat Tak teraba
Urine N Oliguria Anuria
Kesadaran N Disorientasi /coma
Gas darah N pO
2
/pCO
2
pO
2
/pCO
2