Anda di halaman 1dari 33

TUGAS KMB

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN NY. S


DENGAN CHRONIC KIDNEY DISEASES (CKD) STADE 5
DI RUANG RATNA
20-23 APRIL 2021

Oleh:
NI KETUT PADMAYANTI
NIM. 209012574

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2021
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN CHRONIC KIDNEY DISEASES (CKD)

A. CHRONIC KIDNEY DISEASES (CKD)


1.1 Definisi
Definisi Penyakit Ginjal Kronis adalah penurunan fungsi ginjal secara
kronis yang memerlukan waktu bulanan hingga tahunan yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal (Glomerulus Filtration Rate) 30mg/g tidak terikat
pada umur, tekanan darah, dan apakah teradapat diabetes atau tidak pada
pasien. Penyakit ginjal kronis juga tidak hanya didefinisikan sebagai penyakit
ginjal stase akhir atau End Stage Renal Disease (ESRD), namun juga
diasosiasikan dengan komplikasi-komplikasi penyakit ginjal kronis seperti:
anemia, hiperparatiroid, hiperphospatemia, penyakit jantung, infeksi, dan
fraktur yang khusus terdapat pada CKD-MBD (Chronic Kidney Disease –
Mineral Bone Disorder). Namun penurunan GFR dan albuminuria tidak
merupakan pengukuran yang simptomatis simtomatis namun merupakan
pengukuran langsung dari fungsi ginjal dan kerusakan ginjal (Chores, 2013).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan irreversible dimana ginjal gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). CKD ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible pada suatu derajat atau
tingkatan yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis
atau transplantasi ginjal (Smeltzer, 2010).

1.2 Epidemiologi
Angka prevalensi penyakit ginjal kronis di Indonesia pada tahun 2018
cukup tinggi yaitu mencapai 3.8 permil populasi Indonesia menderita
penyakit ginjal kronis yang terdiagnosis dokter. Angka ini lebih tinggi
dibandingkan prevalensi penyakit ginjal kronis pada tahun 2013 yaitu 2
permil di seluruh Indonesia. Prevalensi tertinggi terdapat pada provinsi
Kalimantan utara yaitu sebanyak 6.4 permil sedangkan prevalensi terendah di
Indonesia terdapat pada provinsi Sulaswesi Barat pada angka 1.8 permil.
Penderita penyakit ginjal kronis tersering berada pada umur 65-74 tahun,
lebih banyak terjadi pada laki-laki. Persentase penderita penyakit ginjal
kronis yang sedang menjalani hemodialisa di Indonesia juga cukup rendah
dimana hanya 19.3% penderita penyakit ginjal kronis menjalani terapi
hemodialisa (Bikbov, 2018).
Di dunia, sebanyak 1 dari 10 orang mempunyai penyakit ginjal kronis.
Daerah-daerah seperti Afrika, Amerika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara
merupakan daerah yang paling sering ditemukannya penyakit ginjal kronis.
Penyakit ginjal kronis merupakan penyebab dari 956.000 kematian di seluruh
dunia pada tahun 2013. Pada tahun 2016, Penyakit ginjal kronis terdapat pada
sekitar 753 juta orang di seluruh dunia yang meliputi 336 juta pada pasien
laki-laki dan 417 juta pada pasien perempuan. Di seluruh dunia terdapat 1,2
juta kematian per tahun akibat penyakit ginjal kronis, Penyebab tersering
penyakit ginjal kronis adalah Hipertensi pada 550 ribu pasien, diabetes
melitus pada 418 ribu pasien, dan glomerulonephritis pada 238 ribu pasien
(Bikbov, 2018).

1.3 Etiologi
Penyebab tersering penyakit ginjal kronis yang diketahui adalah
diabetes melitus, selanjutnya diikuti oleh tekanan darah tinggi dan
glomerulonephritis. Penyebab lainnya dapat berupa idiopatik. Namun
penyebab-penyebab dari penyakit ginjal kronis dapat diklasifikasikan
berdasarkan anatomi ginjal yang terlibat (Global Burden of Disease, 2018).

1. Penyakit vaskular, yang dapat melibatkan pembuluh darah besar


seperti bilateral artery stenosis, dan pembuluh darah kecil seperti
nefropati iskemik, hemolytic-uremic syndrome, dan vasculitis.

2. Kelainan pada glomerulus yang dapat berupa:

a. Penyakit glomerulus primer seperti nefritis dan focal segmental


glomerulosclerosis.
b. Penyakit glomerulus sekunder seperti nefropati diabetic dan
lupus nefritis.

3. Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik.

4. Nefropati obstruktif yang dapat berupa batu ginjal bilateral dan


hyperplasia prostate.

5. Infeksi parasite (yang sering berupa enterobiasis) dapat


menginfeksi ginjal dan menyebabkan nefropati

Penyakit ginjal kronis juga dapat idiopatik yang mempunyai gejala


yang berupa penuruhnan aliran darah ke ginjal yang menyebabkan sel ginjal
menjadi nekrosis (Global Burden of Disease, 2018).

1.4 Manifestasi klinis


Penyakit ginjal kronis secara umum pada stadium awal tidak terdapat
gejala yang khas, namun penyakit ginjal kronis stadium awal hanyak dapat
dideteksi dengan peningkatan serum kreatinin dan proteinuria. Namun jika
fungsi ginjal terus menerus mengalami penurunan akan menimbulkan gejala-
gejala sebagai berikut (Kidney Disease: Improving Global Outcome, 2012).
1. Peningkatan tekanan darah akibat kelebihan cairan dan produksi
dari hormone vasoaktif yang diekskresikan oleh ginjal melalui
sistam Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS),
menyebabkan resiko penderita penyakit ginjal kronis menderita
hipertensi atau penyakit jantung kongestif.
2. Akumulasi urea pada darah yang menyebabkan uremia, gejala
uremia dapat berupa pericarditis, ensefalopati, gastropati. Akibat
jumlah urea yang tinggi dalam darah, urea dapat diekskresikan
melalui kelenjar keringat dalam konsentrasi tinggi dan mengkristal
pada kulit yang disebut dengan “uremic frost”.
3. Kalium terakumulasi dalam darah sehingga menyebabkan
hiperkalemi yang mempunyai gejala-gejala seperti malaise, hingga
aritmia jantung. Hiperkalemi dapat terjadi jika GFR dari ginjal
mencapai <25 ml/min/1.73mm3 dimana kemampuan ginjal
mengekskresikan kalium melalui berkurang.
4. Penurunan produksi eritropoietin yang dapat menyebabkan
penurunan produksi sel darah merah yang dapat menyebabkan
anemia, eritropoietin diproduksi di jaringan interstitial ginjal, dalam
penyakit ginjal kronis, jaringan ini mengalami nekrosis sehingga
produksi eritropoietin berkurang.
5. Overload volume cairan yang disebabkan oleh retensi natrium dan
cairan pada ginjal sehingga dapat menyebabkan edema ringan
hingga edema yang mengancam nyawa misalnya pada edema paru.
6. Hyperphosphatemia yang disebabkan oleh berkurangnya ekskresi
phosphate oleh ginjal. Hiperphospatemia meningkatkan resiko dari
penyakit kardiovaskular, dimana phosphate merupakan stimulus
dari kalsifikasi vascular.
7. Hipokalsemia yang disebabkan oleh stimulasi pembentukan FGF-23
oleh osteosit dibarengi dengan penurunan masa ginjal. FGF-23
merupakan inhibitor dari enzim pembentukan vitamin D yang
secara kronis akan menyebabkan hipertropi kelenjar paratiroid,
kelainan tulang akibat panyakit ginjal, dan kalsifikasi vaskular.
8. Asidosis metabolic yang disebabkan oleh akumulasi dari fosfat dan
urea. Asidosis juga dapat disebabkan oleh penuruan kemampuan
produksi ammonia pada sel-sel ginjal.
9. Anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh beberapa factor yaitu:
peningkatan inflamasi yang disebabkan oleh akumulasi urea,
penurunan eritropoietin dan penurunan fungsi sumsum tulang.

1.5 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronis menurut KDIGO pada tahun
2012 meliputi kriteria penurunan GFR dan peningkatan rasio albuminuria dan
serum kreatinin. Klasifikasi penyakit ginjal kronis menurut KDIGO bertujuan
untuk menentukan penanganan pasien, dan urgensi penanganan dari penyakit
ginjal kronis tersebut.
Kriteria pertama yang digunakan KDIGO untuk menentukan
urgensi penyakit ginjal kronis adalah GFR, GFR (Glomerulus Filtration Rate)
merupakan kemampuan glomerulus ginjal untuk memfiltrasi darah. GFR
dapat dihitung dengan menggunakan jumlah serum creatinine dengan rumus
menggunakan formula GFR MDRD sebagai berikut

GFR = 186 x Scr -0.830 x age0.230 x 1 (male) / 0.742 (female)

Sedangkan untuk grading penyakit ginjal kronis itu sendiri hanya


menggunakan GFR dengan beberapa kriteria tambahan yang dapat dilihat
pada tabel di bawah.

Grade GFR Kategori Keterangan


1 ≥90 Normal atau sedikit Disertai dengan albuminuria
berkurang yang persisten
2 60-89 Penurunan ringan Disertai dengan peningkatan
serum kreatinin dan
albuminuria
3 30-59 Penurunan sedang
4 15-29 Penurunan berat Persiapan untuk terapi ginjal
5 <15 Gagal Ginjal / End Terapi ginjal permanen
Stage Renal Disease (hemodialisa) / transplantasi
ginjal
(Sumber: Fault, et.al, 2011)

1.6 Patofisiologi
Secara umum penyebab dari penyakit ginjal kronis adalah penurunan
aliran darah ke ginjal yang umumnya disebabkan oleh Hipertensi, kerusakan
sel mesangial oleh Diabetes Melitus
1. Hipertensi
Mekanisme kerusakan ginjal oleh hipertensi disebabkan oleh
penebalan sel-sel tunica intima pada glomerulus ginjal, penebalan sel
tunica intima menyebabkan mengecilnya vaskular yang berujung pada
mengecilnya aliran pembuluh darah ke bagian glomerulus,
berkurangnya aliran pembuluh darah ke glomerulus menyebabkan
aktifnya system Renin-Angiotensin-Aldosteron yang menyebabkan
kenaikan tekanan darah lebih lanjut sehingga terjadi kerusakan ginjal
yang permanen. Awalnya mekanisme aktifasi system Renin-
Angiotensin-Aldosterone dapat mengkompensasi kurangnya aliran
darah ke ginjal, namun seiring waktu akan menyebabkan nekrosis pada
sel ginjal. Kerusakan glomerulus ginjal dapat menyebabkan Global
sclerosis dimana terjadi kerusakan yang permanen dari glomerulus atau
Focal segmental necrosis yang merupakan system kompensasi ginjal
dimana terjadi pembesaran glomerulus pada suatu area karena
kerusakan nefron pada area lain pada ginjal. Secara kronik perubahan-
perubahan pada glomerulus ginjal akan menyebabkan kematian nefron
yang akan menyebabkan penurunan GFR secara perlahan.
2. Diabetes Melitus
Patofisiologi penyakit ginjal kronis untuk diabetes melitus
melibatkan hiperglikemia yang memicu pembentukan Reactive Oxygen
Species (ROS) dan Advanced Glycosylation End Products (AGE).
Pembentukan AGE dan ROS menyebabkan terjadi stress oxidative pada
jaringan nefron ginjal. Peningkatan stress oxidative pada nefron ginjal
menyebabkan kenaikan permeabilitas ginjal lalu terjadinya proteinuria,
efek lain kenaikan permeabilitas glomerulus juga mengaktifkan sistem
RAAS yang menyebabkan kenaikan tekanan darah dan lebih jauh
meningkatkan permeabilitas ginjal dan memperparah kerusakan ginjal.
Mekanisme lain dari kerusakan ginjal dimana AGE dan ROS
menstimulasi pembentukan growth factor, growth factor yang terbentuk
berupa TGF, VEGF, dan PDGF. Pembentukan growth factor tersebut
dapat menyebabkan terjadinya fibrosis pada ginjal dan menurunkan
GFR (Kidney Disease: Improving Global Outcome, 2012).
1.7 Pathway

Nyeri Akut

Defisit nutrisi

Ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer

Defisit nutrisi

Ketidakseimbangan
vol cairan
dikonfirmasi dengan penggunakan penanda filtrasi alternative yaitu
Cystatin C.
2. Kerusakan Ginjal
Kerusakan ginjal bisa terjadi di dalam parenkim, pembuluh darah
besar atau tubulus collecting duct yang paling sering dipakai
sebagai penanda dari jaringan ginjal. Penanda ini dapat
memberikan petunjuk tentang kemungkinan kerusakan dalam ginjal
dan temuan klinis penyebab penyakit ginjal.
a. Proteinuria
Merupakan istilah yang ditandai dengan adanya peningkatan
jumlah protein dalam urin. Proteinuria menyebabkan hilangnya
protein plasma akibat dari peningkatan permeabilitas glomerulus
terhadap protein, reabsorpsi protein pada tubular tidak adekuat
dan peningkatan konsentrasi plasma protein. Proteinuria dapat
menunjukan adanya protein hilang pada ginjal dan saluran
kencing bagian bawah.
b. Albuminuria
Albumin merupakan salah satu jenis protein plasma yang
ditemukan dalam urin dengan jumlah sedikit dan jumlah sangat
besar pada pasien dengan penyakit ginjal. Albuminuria mengacu
pada peningkatan albumin secara abnormal dalam urin.
Beberapa alasan untuk lebih fokus pada albuminuria dibanding
proteinuria yaitu albumin adalah komponen utama protein urin
pada sebagian besar penyakit ginjal, lalu data epidemiologi
penelitian di seluruh dunia menunjukan bahwa hubungan adanya
hubugnan kuat dari jumlah albumi urin dengan resiko penyakit
ginjal dan CVD, dan klasifikasi penyakit ginjal berdasarkan dari
tingkat albuminuria.
Albuminuria merupakan temuan umum namun tidak semuanya
mengarah ke CKD. Adanya albuminuria ini menandakan adanya
penyakit glomerular dimana umumnya muncul sebelum terjadi
pengurangan GFR. Albuminuria dapat dikaitkan dengan
hipertensi, obesitas dan penyakit pembuluh darah dimana
penyakit ginjal yang mendasari tidak diketahui. Tingkat
kehilangan albumin dan protein umumnya disebut AER
(Albumin Excretion Rate) dan PER (Protein Excretion Rate).
Batas AER ≥30mg/24 jam yang bertahan selama >3 bulan untuk
menunjukkan CKD. Batas ini kira-kira setara dengan ACR
dalam sample urin acak ≥30mg/g atau ≥3mg/mmol.
c. Sedimen Urin Abnormal
Temuan seperti sel, Kristal dan mikroorganisme dapat muncul
dalam endapan urin dalam berbagai gangguan ginjal dan saluran
kemih, tetapi temuan sel tubular ginjal, sel darah merah (RBC),
sel darah putih (WBC), granular kasar, wide cast, dan banyak sel
dismorfik sel darah merah adalah patognomic kerusakan ginjal.
d. Elektrolit dan kelainan lain akibat gangguan tubular
Abnormalitas elektrolit dapat terjadi akibat kelainan reabsopsi
dan sekresi tubulus ginjal. Seringkali penyakit yang bersifat
genetik tanpa kelainan patologis yang mendasari. Penyakit lain
didapat seperti karena obat atau racun dan biasanya dengan lesi
patologis tubular yang menonjol.
e. Kelainan Imaging
Tes imaging dapat memungkinkan diagnosis penyakit pada
struktur ginjal, pembuluh darah atau tubulus collecting. Pasien
dengan kelainan struktural yang signifikan dianggap memiliki
CKD jika kelainan tersebut dapat bertahan > 3 bulan.
f. Riwayat transplatasi ginjal
Penerima transplantasi ginjal didefinisikan CKD terlepas dari
tingkat GFR atau adanya penanda kerusakan ginjal. Penerima
transplantasi ginjal memiliki peningkatan risiko kematian dan
hasil ginjal dibanding dengan populasi umum dan mereka
memerlukan pengobatan medis khusus.

1.9 Penanganan
1. Hipertensi
Pasien dengan hipertensi diperlukan terapi antihipertensi yang
mencakup ACE inhibitor atau angiotensin receptor blocker. untuk
tekanan darah ditargetkan systolik kurang dari 130 mm Hg dan diastolic
kurang dari 80mm Hg.
2. Diabetes
Target kontrol glikemik haru dicapai dengan aman dan mengikuti
Canadian Diabetes Association Guidelines dengan hemoglobin A1c <
7.0%, glukosa plasma puasa 4–7 mmol/L. Kontrol glikemik menjadi
strategi intervensi multifaktoral yang membahas kontrol tekanan darah,
resiko kardiovaskular dan dukung pemakaian ACE Inhibitor,
angiotensin-receptor blocker, statins, dan acetylsalicylic acid.
Metformin direkomendasikan untuk pasien dengan diabetes melitus
tipe tipe 2 dengan stage 1 atau 2 penyakit ginjal kronis dengan fungsi
ginjal yang stabil dan tidak berubah selama 3 bulan terakhir. Metfomin
dapat dilanjutkan pada pasien penyakit ginjal kronis stabil stage 3.
Metformin diberhentikan jika terjadi perubahan akut dalam fungsi
ginjal atau selama periode penyakit yang dapat memicu perubahan
tersebut (gangguan gastrointertinal atau dehidrasi) atau menyebabkan
hipoksia (gagal jantung atau pernapasan). Pasien ini juga menggunakan
ACE Inhibitor, angiotensin receptor blocker, NSAID atau setelah
pemberian kontras intravena karena risiko gagal ginjal akut.
Menyesuaikan pilihan agen penurun glukosa lainnya (termasuk insulin)
untuk masing-masing pasien, tingkat fungsi ginjal dan komorbiditas.
Risiko hipoglikemia harus dinilai secara teratur untuk pasien yang
menggunakan insulin atau insulin secretagogues. Pasien juga harus
mengetahui cara mengenaili, mendeteksi dan mengobati hipoglikemia.
Short acting sulfonylureas (gliclazide) lebih dipilih daripada long
acting agents untuk pasien dengan penyakit ginjal kronis.
3. Proteinuria
Monitoring proteinuria dilakukan pada semua pasien dengan resiko
tinggi penyakit ginjal (pasien dengan diabetes, hipertensi, penyakit
vascular, penyakit autoimmune, eGFR 100mg/mmol atau ratio albumin
terhadap creatinine >60 mg/mmol dianggap sebagai batas untuk
menunjukkan adanya risiko peningkatan yang tinggi. Pasien dewasa
dengan diabetes dan albuminuria persistent harus mendapatkan ACE
Inhibitor atau angiotensin-receptor blocker untuk memperlambat
perkembangan penyakit ginjal kronis. ACE Inhibitor dan angiotension
reseptor blocker adalah obat pilihan untuk menurunkan proteinuria.
Pada beberapa pasien, aldosterone-receptor antagonist dapat
menurutkan proteinuria. diet kontrol protein serta penurunan berat
badan dapat memerikan manfaat dalam mengurani proteinuria.
4. Anemia
Anemia ditandai dengan tinggi Hemoglobin < 135g/L untuk pria
dewasa dan >120g/L untuk wanita dewasa. Pertimbangan untuk
menguji kadar-kadar yang lain pada pasien dengan hemoglobin
100ng/mL dan saturasi transferrin >20%. Pasien dengan target serum
ferritin dan saturasi trasnferrin yang tidak mencukupi atau keduanya
saat mengambil besi oral atau tidak mentoleransi bentuk oral harus
mendapatkan besi intravena.
5. Gastritis
Antacid merupakan pengobatan umum untuk gastritis ringan ke
sedang. Ketika antacid tidak dapat mengatasi gastritis, penambahan
pengobatan seperti H-2 blockcer dan proton-pump inhibitor dapat
membantu untuk mengurangi asam pada lambung. Terapi gastritis dapat
ditambahkan cytoprotective agent seperti sucralfat, misoprostol, dan
bismuth subsalicylate yang dapat membantu melindungi jaringan yang
ada di lambung dan usus halus. Untuk infeksi H.pylori digunakan
kombinasi dari 2 antibiotik dan 1 proton-pump inhibitor.
6. Abnormalitas metabolisme mineral
Tingkat serum kalsium, fosfat dan hormone paratiroid harus diukur
pada orang dewasa dengan penyakti ginjal kronis stage 4 dan 5. Serum
fosfat dan kalsium harus dipertahankan pada batas normal. Kadar
hormone paratiroid dapat meningkat diatas nilai normal. Target kadar
serum hormon paratiroid tidak diketahui. Pembatasan diet fosfat
digunakan terus menerus untuk mengobati hiperfosfatemia. Terapi
menggunakan calcium-containing phosphate binders harus dimulai jika
pembatasan diet gagal untuk mengendalikan hiperfofatemia dan jika
tidak ada hyperkalemia. Jika terdapat hypercalcemia, dosis calcium-
containing phosphate binders atau analog Vitamin D harus dikurangi.
Pertimbangan untuk pemberian analog Vitamin D jika kadar serum
hormone paratiroid >53 pmol/L. terapi harus dihentikan jika
hiperkalsemia atau hiperfosfatemia berkembang atau jika kadar
hormone paratiroid 30,0kg/m2) dan kelebihan berat badan (BMI >25,0 –
29,0 kg/m2) harus didorong untuk mengurangi BMI karena untuk
menurunkan resiko penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal stadium
akhir. Pemeliharaan berat badan yang sehat (18,5-24,9 kg/m2; lingkat
pinggang < 102 cm untuk pria.

1.10 Komplikasi

Secara umum komplikasi pada penyakit ginjal kronis disebabkan oleh


berkurangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan zat-zat berlebihan
dalam tubuh. Zat-zat ini dapat berupa: urea, kalium, fosfat. Penyebab
komplikasi pada ginjal lain adalah berkurangnya produksi darah akibat
kematian jaringan ginjal yang ireversibel yang menyebabkan produksi
eritropoietin yang berkurang. Penyakit-penyakit yang dapat timbul akibat
penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut:
1. Sindrom Uremia: sindrom uremia disebabkan oleh akumulasi urea
dalam darah. Akumulasi ini disebabkan oleh berkurangnya
kemampuan ginjal untuk mengekskresikan urea sehingga urea
diabsorbsi kembali ke peredaran darah dan terakumulasi di darah.
Penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan oleh uremia antara lain:
a. Sistem Saraf Pusat: kelelahan, gangguan memori, insomnia,
nyeri kepala, kebingungan, ensefalopati (infeksi pada system
saraf pusat).
b. System saraf perifer: keram, neuropati perifer
c. Gastrointestinal: anorexia, mual/muntah, gastroparesis, ulkus
gastrointestinal
d. Hematologi: anemia, gangguan hemostasis.
e. Kardiovaskular: hipertensi, atherosclerosis, penyakit arteri
coroner, pericarditis, edema pulmonal.
f. Kulit: gatal-gatal, kulit kering, uremic frost (sekresi urea yang
berlebihan melalui kelenjar keringat).
g. Nutrisi: malnutrisi, berat badan menurun, katabolisme otot.
2. Hypoalbuminemia: hipoalbumin pada darah disebabkan oleh
ekskresi albumin yang berlebihan oleh ginjal yang ditandai dengan
proteinuria pada urinalisis. Secara umum gejala albuminuria
ditandai dengan edema pada wajah atau tungkai, dapat terjadi juga
edema yang mengancam nyawa misalnya seperti edema paru.
3. Gagal Jantung Kongestif: penyakit ini juga disebut “high-output
heart failure” penyakit ini pada penyakit ginjal kronis disebabkan
oleh tingginya volume darah akibat retensi cairan dan natrium pada
ginjal. Peningkatan volume darah menyebabkan jantung tidak dapat
memompa secara adekuat dan menyebabkan gagal jantung.
4. Anemia: Anemia pada penyakit ginjal kronis secara umumnya
disebabkan oleh penurunan produksi eritropoietin dalam ginjal
dimana eritropoietin berfungsi sebagai hormone untuk maturasi sel
darah merah. Mekanisme lain anemia adalah berkurangnya
absorpsi besi dan asam folat dari pencernaan sehingga terjadi
defisiensi besi dan asam folat.
5. CKD-MBD (Chronic Kidney Disease-Mineral Bone Disorder):
merupakan kelainan tulang yang disebebkan oleh penyakit ginjal
kronis yang disebabkan oleh bebebrapa hal:
a. Kelainan pada mineral seperti kalsium, fosfat, dan kelainan pada
hormone paratiroid serta vitamin D.
b. Kelainan pada pembentukan tulang.
c. Kalsifikasi sel-11 sel vascular.
B. Asuhan Keperawatan pada Pasien CKD
1. Pengkajian
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita
gagal ginjal kronik menurut Prabowo (2014) dan Le Mone & Burke
(2016):
a. Anamnesa
1) Biodata
Tidak ada spesifik khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun laki-
laki sering memiliki resiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan
dan pola hidup sehat.
2) Keluhan utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder
yang menyertai. Keluhan bisa berupa urin output yang menurun
dari oliguria sampai anuria, penurunan kesadaran karena
komplikasi pada sistem sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual dan
muntah, diaforesis, fatigue, napas berbau urea, dan pruritus.
3) Riwayat kesehatan
Keluhan anoreksia, mual, kenaikan berat badan, atau edema,
penurunan output urin, perubahan pola napas, perubahan fisiologis
kulit dan bau urea pada napas.
4) Riwayat penyakit dahulu
Kaji riwayat penyakit terdahulu seperti penyakit ISK, payah
jantung, penggunaan obat-obat berlebihan, diabetes melitus,
hipertensi atau batu saluran kemih.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular dan menurun, sehingga
silsilah keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun
pencetus sekunder seperti DM dan hipertensi memiliki pengaruh
terhadap kejadian penyakit gagal ginjal kronis, karena penyakit
tersebut bersifat herediter.
6) Riwayat psikososial
Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika klien memiliki koping
adaptif yang baik. Pada klien gagal ginjal kronis, biasanya
perubahan psikososial terjadi pada waktu klien mengalami
perubahan struktur fungsi tubuh dan menjalani proses dialisa.
7) Keadaan umum dan tanda-tanda vital
Kondisi klien gagal ginjal kronis biasanya lemah (fatigue), tingkat
kesadaran bergantung pada tingkat toksisitas. Pada pemeriksaan
TTV sering didapatkan RR meningkat (Tachypneu),
hipertensi/hipotensi sesuai dengan kondisi.
8) Sistem pernafasan
Adanya bau urea pada bau napas. Jika terjadi komplikasi
asidosis/alkalosis respiratorik maka kondisi pernapasan akan
mengalami patalogis gangguan. Pola napas akan semakin cepat dan
dalam sebagai bentuk kompensasi tubuh mempertahankan ventilasi
(Kusmaul).
9) Sistem hematologi
Ditemukan adanya friction rub pada kondisi uremia berat. Selain
itu, biasanya terjadi TD meningkat, akral dingin, CRT >3 detik,
palpitasi jantung, chest pain, dyspnue, gangguan irama jantung dan
gangguan sirkulasi lainnya. Kondisi ini akan semakin parah jika zat
sisa metabolisme semakin tinggi dalam tubuh karena tidak efektif
dalam eksresinya. Selain itu, pada fisiologi darah sendiri sering ada
gangguan anemia karena penurunan eritropoetin.
10) Sistem neuromuskuler
Penurunan kesadaran terjadi jika telah mengalami hiperkarbic dan
sirkulasi cerebral terganggu. Oleh karena itu, penurunan kognitif
dan terjadinya disorientasi akan dialami klien gagal ginjal kronis.
11) Sistemkardiovaskuler
Penyakit yang berhubungan langsung dengan kejadian gagal ginjal
kronis salah satunya adalah hipertensi. Tekanan darah yang tinggi
diatas ambang kewajaran akan mempengaruhi volume vaskuler.
Stagnansi ini akan memicu retensi natrium dan air sehingga akan
meningkatkan beban jantung.
12) Sistem endokrin
Berhubungan dengan pola seksualitas, klien dengan gagal ginjal
kronis akan mengalami disfungsi seksualitas karena penurunan
hormon reproduksi. Selain itu, jika kondisi gagal ginjal kronis
berhubungan dengan penyakit diabetes militus, makan akan ada
gangguan dalam sekresi insulin yang berdampak pada proses
metabolisme.
13) Sistem perkemihan
Dengan gangguan/ kegagalan fungsi ginjal secara kompleks
(filtrasi, sekresi, reabsorbsi dan ekskresi), maka manifestasi yang
paling menonjol adalah penurunan urin output < 400 mL/hr bahkan
sampai padaanuria
14) Sistem pencernaan
Gangguan sistem pencernaan lebih dikarenakan efek dari penyakit
(stress effect). Sering ditemukan anoreksia, mual, muntah dan
diare.
15) Sistem muskuloskeletal
Dengan penurunan/kegagalan fungsi sekresi pada ginjal maka
berdampak pada proses demineralisasi tulang, sehingga risiko
terjadinya osteoporosis tinggi.
16) Pemeriksaanfisik
a) Tanda vital: tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi
lemah, disritmia, pernapasan kusmaul, tidakteratur.
b) Kepala
(1) Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan
kabur, edemaperiorbital.
(2) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dankasar.
(3) Hidung: pernapasan cupinghidung
(4) Mulut: ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia,
mual, muntah serta cegukan, peradangangusi.
c) Leher: pembesaran vena leher.
d) Dada (toraks): penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan
dangkal dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal,
pneumonitis, edema pulmoner, friction rubpericardial.
e) Abdomen: nyeri area pinggang, asites.
f) Genital: atropi testikuler, amenore.
g) Ekstremitas: capirally refill time > 3 detik,kuku rapuh dan
kusam serta tipis, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada
telapak kaki, foot drop, kekuatanotot.
h) Kulit: ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu,
mengkilat atau hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan
rapuh, memar (purpura), edema.
Derajat edema:
 Derajat I: Kedalamannya 1-3 mm dengan waktu kembali
detik.
 Derajat II: Kedalamannya 3-5 mm dengan waktu kembali
5detik.
 Derajat III: Kedalamannya 5-7 mm dengan waktu kembali
7detik.
 Derajat IV: Kedalamannya 7 mm dengan waktu kembali
7detik.

2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronis menurut SDKI
(2017) yaitu:
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi,
b. Risiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan gangguan
mekanisme regulasi,
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
hipertensi, diabetes melitus,
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis,
e. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurang asupan makanan,
f. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan perubahan
status cairan,
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen, tirah baring.
3. Intervensi

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1 2 3
Gangguan pertukaran Gas (D.0003) Setelah diberikan asuhan Terapi Oksigen
Penyebab keperawatan selama .....x ...... 1. Observasi
1. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi - Monitor kecepatan aliran oksigen
diharapkan pertukaran gas
2. Perubahan membran alveolus-kapiler - Monitor posisi alat terapi oksigen
meningkat dengan kriteria hasil : - Monitor aliran oksigen secara periodik dan pastika
Gejala dan tanda mayor
Subjektif 1. Tingkat kesadaran fraksi yang diberikan cukup
1. Dyspnea - Monitor efektifitas terapi oksigen (oksimetri, AGD, jika
meningkat
Objektif perlu)
2. PCO2 meningkat/menurun 2. Dispnea menurun - Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan
3. PO2 Menurun - Monitor tanda-tanda hipoventilasi
3. Bunyi naas tambahan
4. Takikardia - Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan
5. pH arteri meningkat/menurun menurun atelektasis
6. Bunyi nafas tambahan 4. Pusing menurun - Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
Gejala dan tanda minor - Monitor integrtas mukosa hidung akibat pemasangan
Subjektif 5. Penglihatan kabur menurun
oksigen.
1. Pusing 6. Diaforesis menurun 2. Terapeutik
2. Penglihatan kabur - Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan trachea, jika
Objektif 7. Gelisah menurun
perlu
1. Sianosis 8. Nafas cuping hidung - Pertahankan kepatenan jalan nafas
2. Diaforesis
menurun - Siapkan dan atur paralatan pemberian oksigen
3. Gelisah
- Berikan oksigen tambahan jika perlu
4. Nafas cuping hidung 9. PCO2 membaik
- Tetap berikan oksigen pada saar pasien ditransportasi
5. Pola nafas abnormal (cepat/lambat,
reguler/irreguler, dalam/dangkal) 10. PO2 membaik - Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan
6. Warna kulit abnormal (mis. pucat, tingkat mobilits pasien.
11. Takhikardia membaik
kebiruan) 3. Edukasi
7. Kesadaran menurun 12. pH arteri membaik - Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan
13. Sianosis membaik oksigen di rumah
4. Kolaborasi
14. Pola nafas membaik - Kolaborasi penentuan dosis oksigen
15. Warna kulit membaik - Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan/atau
tidur

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1 2 3
Risiko Setelah diberikan asuhan Manajemen Cairan
Ketidakseimbangan keperawatan selama .....x ...... 1. Observasi
Cairan (D.0036) diharapkan keseimbangan cairan - Monitor status hidrasi (mis. frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral,
Faktor risiko meningkat dengan kriteria hasil : pngisian kapiler, kelembaban mukosa, turgor kulit, tekanan darah)
a. Prosedur pembedahan 1. Asupan cairan meningkat - Monitor berat badan harian
mayor 2. Keluaran cairan meningkat - Monitor hasil pemeriksaan laboratoriu (mis. hematokrit, Na, K, Cl,
b. Trauma/perdarahan 3. Kelembaban membran mukosa berat jenis urine, BUN)
c. Luka bakar meningkat - Monitor status hemodinamik (mis. MAP, CVP, PAP, PCWP jika
d. Aferesis 4. Asupan makanan meningkat tersedia)
e. Asites 5. Dehidrasi menurun 2. Terapeutik
f. Obstruksi intestinal 6. Tekanan darah membaik - Catat intake-output dan hitung balance cairan 24 jam
g. Peradangan pankreas 7. Denyut nadi radial membaik - Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
h. Penyakit ginjal dan 8. Tekanan arteri rata-rata - Berikan cairan intravena, jika perlu
kelenjar membaik 3. Kolaborasi
i. Disfungsi intestinal 9. Turgor kulit mrmbaik - Kolaborasi pemberian diuretik, jika perlu
10. Berat badan membaik

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1 2 3
Gangguan Integritas Kulit/Jaringan Setelah diberikan asuhan Perawatan Integritas Kulit
(D.0129) keperawatan selama .....x ...... 1. Observasi
Penyabab diharapkan integritas kulit dan - Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
a. Perubahan sirkulasi jaringan meningkat dengan (mis. perubahan sirkulasi, perubahan status
b. Perubahan status utrisi (kelebihan atau kriteria hasil : nutrisi, penurunan kelembaban, suhu lingkungan
kekurangan) 1. Elastisitas meningkat ekstrem, penurunan mobilitas)
c. Kekurangan/kelebihan volume cairan 2. Hidrasi meningkat 2. Terapeutik
d. Penurunan mobilitas 3. Perfusi jaringan - Ubah posisi 2 jam jika tirah baring
e. Bahan kimia iritatif meningkat - Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang,
f. Suhu lingkungan yang ekstreem 4. Kerusakan jaringan jika perlu
g. Faktor mekanis (mmis. Penekanan pada menurun - Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama
tonjolan tulang, gesekan) atau faktor 5. Kerusakan lapisan kulit selama periode diare
elektif (elektrodoatermi, energi listri menurun - Gunakan produk berbahan petrolium atau minyak
bertekanan tinggi) 6. Nyeri menurun pada kulit kering
h. Efek sampping terapi radiasi 7. Perdarahan menurun - Gunakan produk berbahan ringan/alami dan
i. Kelembaban 8. Kemerahan menurun hipoalergik pada kulit sensitif
j. Proses penuaan 9. Hematoma menurun - Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit
k. Neuropati perifer 10. Pigmentasi abnormal kering
l. Perubahan pigmentasi menurun 3. Edukasi
m. Perubahan hormonal 11. Jaringan parut menurun - Anjurkan menggunakan pelembab (mis. lotion,
n. Kurang terpapar informasi tentang 12. Nekrosis menurun serum)
upaya mempertahankan/melindungi 13. Abrasi kornea menurun - Anjurkan minum air yang cukup
integritas jaringan 14. Suhu kulit membaik - Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Gejala dan tanda mayor 15. Sensasi membaik - Anjurkan meningkatkan asupan sayur dan buah
Objektif 16. Tekstur membaik - Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
1. Kerusakan kulit dan/atau lapisan kulit 17. Pertumbuhan rambut - Anjurkan menggunakan tabis surya SPF minimal
Gejala dan tanda minor membaik 30 saat berada di luar ruangan/rumah
Objektif - Anjurkan mandi dan menggunakan sabun
1. Nyeri secukupnya.
2. Perdarahan
3. Kemerahan
4. Hematoma
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 2 3
Nyeri Akut (D.0078) Setelah diberikan asuhan Manajemen Nyeri
Penyebab keperawatan selama .....x ...... 1. Observasi
a. Agen pencedera fisiologis (is. diharapkan tingkat nyeri - Idntifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Inflamasi iskemia, neoplasma) menurun dengan kriteria hasil : kualitas, intensitas nyeri
b. Agen pencedera kimiawi (mis. 1. Kemampuan menuntaskan - Identifikasi skala nyeri
Terbakar, bahan kimia iritan) aaktivitas meningkat - Identifikasi respon nyeri non verbal
c. Agen pencedera fisik (mis. Abses, 2. Keluhan nyeri menurun - Identifikasi faktor yang memperberat dan
amputasi, terbakar, terpotong, 3. Meringis menurun memperingan nyeri
mengangkat berat, prosedur 4. Sikap protektif menurun - Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
operasi, trauma, latihan fisik 5. Gelisah menurun - Identifikasi pengaruh budaya terhadap respo nyeri
berlebih) 6. Kesulitan tidur menurun - Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
Gejala dan tanda mayor 7. Menarik diri mmenurun - Monitor kebersihan terapi komplementer yang sudah
Subjektif 8. Berfokus pada diri sendiri diberikan
1. Mengeluh nyeri menurun - Monitor efek samping penggunaan analgetik
Objektif 9. Diaforesis meurun 2. Terapeutik
1. Tampak meringis 10. Perasaan depresi menurun - Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
2. Bersifat protektif (misalnya 11. Perasaan takut mrasa rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis, akupresure, terapi
waspada, posisi menghindari nyeri) cedera berulang mneurun musik, biofeedback, terapi pijat, aromaterai, teknik
3. Gelisah 12. Anoreksia menurun imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
4. Frekuensi nadi meningkat 13. Frekuensi nadi membaik bermain
5. Sulit tidur 14. Pola nafas membaik - Kontrol lingkingan yang memperberat rasa nyeri
Gejala dan tanda minor 15. Tekanan darah membaik (mis. suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
Objektif 16. Proses berfikir membaik - Fasilitasi istirahat dan tidur
1. Tekanan darah meningkat 17. Fokus membaik - Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
2. Pola nafas berubah 18. Fungsi berkemih membaik pemilihan strategi meredakan nyeri
3. Nafsu makan berubah 19. Periaku membaik 3. Edukasi
4. Proses berfikir terganggu 20. Nafsu makan membaik - Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
5. Menarik diri 21. Pola tidur membaik - Jelaskan strategi meredakan nyeri
6. Berfokus pada diri sendiri - Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
7. Diaforesis - Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
4. Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1 2 3
Defisit Nutrisi (D.0019) Setelah diberikan asuhan keperawatan Manajemen Nutrisi
Penyebab selama .....x ...... diharapkan status nutrisi 1. Observasi
a. Ketidakmampuan menelan membaik dengan kriteria hasil : - Identifikasi status nutrisi
makanan 1. Porsi makan yang dihabiskan - Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
b. Ketidakmampuan meningkat - Identifikasi makanan yang disukai
mencerna makanan 2. Kekuatan otot mengunyah meningkat - Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
c. Ketidakmampuan 3. Kekuatan otot menelan meningkat - Identifikasi perlunya penggunaan selang
mengabsorbsi nutrien 4. Serum albumin meningkat nasogastrik
d. Peningkatan kebutuhan 5. Verbalisasi keinginan untuk - Monitor asupan makanan
metabolisme meningkatkan nutrisi meningkat - Monitor berat badan
e. Faktor ekonomi (mis. 6. Pengetahuan tentang pilihan makanan - Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Finansial tidak mencukupi) yang sehat meningkat 2. Terapeutik
f. Faktor psikologis (mis. 7. pengetahuan tentang pilihan minuman - Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
Stres, keengganan untuk yang sehat meningkat - Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. piramida
mekan) 8. pengetahuan tentang standar asupan makanan)
Gejala dan tanda mayor nutrisi yang tepat meningkat -
Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang
Objektif 9. penyiapan dan penyimpanan makanan sesuai
1. Berat badan menurun yang aman meningkat - Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
minimal 10% di bawah 10. penyiapan dan penyimpanan minuan konstipasi
rentang normal yang aman meningkat - Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
Gejala dan tanda minor 11. sikap terhadap makanan/minuman - Berikan suplemen makanan, jika perlu
Subjektif sesuai dengan tujuan kesehatan - Hentikan pemberian makanan melalui selang
1. Cepat kenyang setelah meningkat nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
makan 12. Perasaan cepat kenyang menurun 3. Edukasi
2. Kram/nyeri abdomen 13. Nyeri abdomen menurun - Anjurkan posisi duduk, jika mampu
3. Nafsu makan menurun 14. Sariawan menurun - Ajarkan diet yang diprogramkan
Objektif 15. Rambut rontok menurun 4. Kolaborasi
1. Bising usus hiperaktif 16. Diare menurun - Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
2. Otot mengunyah lemah 17. Berat badan membaik (mis. pereda nyeri, antiemetik) jika perlu
3. Otot menelan lemah 18. IMT membaik - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
4. Membran mukosa pucat 19. Frekuensi makan membaik jumlah kalori dan jenis nutriien yang dibuuhkan,
5. Sariawan 20. Nafsu makan membaik jika perlu
6. Serum albumin turun 21. Bising usus membaik
7. Rambut rontok berlebihan 22. Tebal lipatan kulit trisep membaik
8. Diare 23. Membran mukosa membaik

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1 2 3
Intoleransi Aktivitas (D.0056) Setelah diberikan asuhan keperawatan Terapi Aktivitas
Penyebab selama .....x ...... diharapkan Toleransi 1. Observasi
a. Ketidakseimbangan anara suplai dan aktivitas meningkat dengan kriteria hasil - Identifikasi deisit tingkat aktivitas
kebutuhan oksigen : - Identifikasi kemampuan berpartisipasi
b. Tirah baring 1. Saturasi oksigen meningkat dalam aktivitas tertentu
c. Kelemahan 2. Kemudahan dlaam melakukan - Identifiksi sumber daya untuk aktivitas
d. Immobilisasi aktivitas sehari-hari meningkat yang diinginkan
e. Gaya hidup monoton 3. Kecepatan berjalan meningkat - Identifikasi strategi meningkatkan
Gejala dan tanda minor 4. Jarak berjalan meningkat partisipasi dalam aktivitas
Subjektif 5. Kekuatan tubuh bagian atas - Identifikasi makna aktivitas rutin (mis.
1. Mengeluh lelah menigkat bekerja) dan waktu luang
Objektif 6. Kekuaan tubuh bagian bawah - Monitor respons emosional, fisik, sosial,
1. Frekuensi jantung menigkat meningkat dan spiritual teradap aktivitas\
>20%dari kondisi istirahat 7. Toleransi dalam menaiki tangga 2. Terapeutik
Gejala dan tanda minor meningkat - Fasilitasi fokus pada kemampuan, bukan
Subjektif 8. Keluhan lelah menurun defisit yang dialami
1. Dispnea saat/setelah aktiitas 9. Dispnea saat aktivitas menurun - Sepakati komitmen untuk meningkatkan
2. Merasa tidak nyaman setelah 10. Dispnea setalah beraktivitas frekuensi dan rentang aktivitas
beraktivitas menurun - Fasilitasi memilih aktivitas dan tetapkan
3. Merasa lemah 11. Perasaan lemah menurun tujuan aktivitas yang konsiisten sesuai
Objektif 12. Aritmia saat aktivitas menurun kemampuan fisik, psikologis, dan sosial
1. Tekanan darah berubah > 20% dari 13. Aritmia setelah beraktivitas - Koordinasikan pemilihan aktivitas sesuai
kondisi istirahat menurun usia
2. Gambaran EKG ennjukkan aritmia 14. Sianosis menurun - Fasilitasi makna aktivitas yang dipilih
saat/setelah aktivitas 15. Warna kulit membaik - Fasilitasi transportasi untuk menghadiri
3. Gambara EKG menunjukkan 16. Tekanan darah membaik aktivitas, jika perlu
iskemia 17. Frekueni nafas membaik - Fasilitasi pasien dan keluarga dalam
4. Sianosis 18. EKG iskemia membaik menyesuaikan lingkungan untuk
19. Frekuensi nadi membaik mengakomodasi aktivitas yang dipilih
- Fasilitasi aktivitas fisik rutin (mis.
ambulasi, mobilisasi, dan perawatan diri),
sesuai kebutuhan
- Fasilitasi aktivitas pengganti saat
mengalami keterbatasan waktu, energi dan
gerak
- Fasilitasi aktivitas motorik kasar untuk
pasien hiperaktif
- Tingkatkan aktivitas fisik untuk
memelihara berat badan, jika sesuai
- Fasilitasi aktivitas motorik untuk
merelaksasi otot
- Fasilitasi aktivitas dengan komponen
memori implisit dan emosional (mis.
kegiatan keagamaan khusus) untuk pasien
demensia, jika sesuai
- Libatkan dalam permainan kelompok yang
tidak kompettitif, terstruktur, dan aktif
- Tingkatkan keterlibatan dalam aktivitas
rekreasi dan diverifikasi untuk menurunkan
kecemasan (mis. vocal group, bola voli,
tenis meja, jogging, berenang, tugas
sederhana, permainan sederhana, tugas
rutin, tugas rumah tangga, perawatam diri,
dan teka teki dan kartu)
- Libatkan keluarga dalam aktivitas, jika
perlu
- Fasilitasi mengembangkan motivitas dan
penguatan diri
- Fasilitasi pasien dan keluarga memantau
kemajuannya sendiri untuk mencapai
tujuan
- Jadwalkan aktivitas dalam rutinitas sehari-
hari
- Berikan penguatan positif atas partisipasi
dalam aktivitas
3. Edukasi
- Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari,
jika perlu
- Ajarkan cara melakukan aktivitas yang
dipilih
- Anjurkan melakukan aktivitas fisik, sosial,
spiritual, dan kognitif dalam menjaga
fungsi kesehatan
- Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok
atau terapi, jika sesuai
- Anjurkan keluarga untuk memberi
penguatan posotof atas partisipasi dalam
aktivitas
4. Kolaborasi
- Kolaborasi dengan terapis okupasi dalam
merencanakan dan memonitor program
aktivitas, jika sesuai
- Rujuk pada pusat atau program aktivitas
komunitas, jika perlu.
(Sumber: SDKI, SIKI, SLKI, 2017)
4. Implementasi
Implementasi merupakan langkah keempat dalam tahap proses
keperawatan, dengan melaksanakan berbagai strategi kesehatan (tindakan
keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan
keperawatan.
5. Evaluasi

Hasil yang diharapkan setelah pasien gagal ginjal kronis mendapatkan


intervensi adalah sebagai berikut:
a. Pertukaran gas kembali efektif
b. Tidak terjadi kelebihan volume cairan
c. Perfusi jaringan perifer kembali efektif
d. Nyeri menurun
e. Integritas kulit mambaik
f. Intoleransi aktivitas membaik
Daftar Pustaka

Ganong (2016). "Renal Function & Micturition". Review of Medical Physiology,


25th ed. McGraw-Hill Education. p. 677. ISBN 978-0-07-
184897-8.

GBD 2015. "Global, regional, and national incidence, prevalence, and years
lived with disability for 310 diseases and injuries, 1990-2015: a
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study
2015". Lancet. 388 (10053): 1545–1602

Faul C, et. Al. 2011. "FGF23 induces left ventricular hypertrophy". J Clin Invest.
121 (11): 4393–408. doi:10.1172/JCI46122

KDIGO: Kidney Disease Improving Global Outcomes (August 2009). "KDIGO


Clinical Practice Guideline for the Diagnosis, Evaluation,
Prevention, and Treatment of Chronic Kidney Disease-Mineral
and Bone Disorder (CKD-MBD)"’

Levin, A., Hemmelgarn, B. and Culleton, B. 2008. “Guidelines for the


management of chronic kidney disease. Canadian Medical
Association, 179(11), pp.1154 – 1162”.

Manski-Nankervis, J., Thuraisingam, S., Lau, P., Blackberry, I., Sluggett, J.,
Ilomaki, J., Bell, J. and Furler, J. 2018. “Screening and diagnosis
of chronic kidney disease in people with type 2 diabetes attending
Australian general practice. Australian Journal of Primary
Health, 24(3), p.280”.

PPNI. 2018. “Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Edisi 1”. Jakarta: DPP
PPNI”

PPNI. 2018. “Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan Edisi 1”. Jakarta: DPP PPNI”

PPNI. 2018. “Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria


Hasil Edisi 1”. Jakarta: DPP PPNI”

Wong E. “Chronic Kidney Disease”. Lancet. 2012;379(8911):80-165.

Anda mungkin juga menyukai