Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Chronic kidney disease (CKD) atau gagal ginjal kronik (GGK)
merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible dimana
kemampuan tubuh gagal mempertahankan metabolisme, keseimbangan
cairan dan elektrolit (Saputra et al., 2020).
Chronic kidney disease (CKD) merupakan suatu patofisiologis
dengan etiologi yang beragam, yang dapat mengakibatkan penurunan
fungi ginjal yang irreversible dan progresif dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, dimana ditandai dengan keadaan klinis yaitu terjadinya uremia
(Nurudin & Sulistyaningsih, 2018).
2. Etiologi
Beberapa penyakit dapat menjadi dasar kelainan terjadinya gagal
ginjal kronis, antara lain riwayat keluarga dengan penyakit ginjal,
hipertensi, diabetes, penyakit autoimun, usia lanjut, stadium akhir, acute
kidney disease, dan kerusakan struktur ginjal baik ada LFG yang normal
atau meningkat (Melinah Hidayat, 2018).
Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesia Renal Registry (IRR)
pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak gagal ginjal
kronis adalah glomerulonetritis (25%), diabetes mellitus (23%), hipertensi
(20%), dan ginjal polikistik (10%) (Mailani & Andriani, 2017).
a. Glomerulonelritis berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis
primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
glomerulonelritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik ldain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES), mieloma multiple atau amiloidosis.
b. Diabetes melitius merupakan gangguan proses metabolisme gula
darah yang berlangsung kronik ditandai dengan tingginya kadar gula
darah yang diakibatkan oleh gangguan pengeluaraan insulin,
resistensi insulun atau keduanya (Karota & Sitepu, 2020)

1
c. Hipertensi, hipertensi adalah tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik > 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat
antihipertensi. Peningkatan tekanan darah akibat kelebihan cairan dan
produksi dari hormone vasoaktif yang diekskresikan oleh ginjal
melalui sistam Renin-Angiotensin-Aldosterone-System (RAAS),
menyebabkan resiko penderita penyakit ginjal kronis menderita
hipertensi atau penyakit jantung kongestif (Hasetidyatami &
Wikananda)
d. Ginjal polikistik, pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang
tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain
oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan
genetik yang paling sering didapatkan
3. Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya chronic kidney disease,
faktor tersebut yaitu diabetes, hipertensi, riwayat keluarga dengan
penyakit ginjal, penyakit kardiovaskular, riwayat batu ginjal, usia, aktifitas
fisik rendah, merokok, dan obesitas.
- Diabetes
Diabetes dapat menyebabkan nefropati sebagai komplikasi
Mikrovaskular. Diabetes nefropati merupakan glomerulopati yang
paling banyak terjadi, dan merupakan penyebab pertama dari end
stage renal disease, hal ini menunjukkan bahwa diabetes berhubungan
secara signifikan meningkatkan resiko CKD.
- Hipertensi
Hipertensi merupakan penyebab kedua dari end stage renal disease
atau gagal ginjal tahap akhir, sekitar 51 sampai 63% dari seluruh
pasien dengan CKD mempunyai hipertensi. Orang dengan hipertensi
mempunyai resiko yang lebih besar untuk berkembang menjadi CKD
dibandingkan orang dengan normotensi. Hipertensi menyebabkan
glomerulo nefropati dengan menurunkan aliran darah karena hal yang
menjadikan arteriolar vaskulopati, obstruksi vaskular dan penurunan
densitas vaskular. Kejadian ini akan dikompensasi sehingga tidak
lama akan terjadi penurunan GFR
- Riwayat Keluarga dengan Penyakit Ginjal
Riwayat penyakit keluarga dengan CKD tingkat akhir dilaporkan oleh
20% orang dengan CKD tingkat akhir.

2
- Penyakit Kardiovaskular
Orang dengan penyakit kardiovakular telah menunjukkan
peningkatan resiko secara signifikan pada penurunan fungsi ginjal
dibanding dengan orang tanpa penyakit kardiovaskular. Penyakit
kardiovaskular menyebabkan menurunnya aliran darah ke ginjal.
Penurunan perfusi renal mengaktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron yang menyebabkan vasokonstriksi alteriol dan
meningkatkan tekanan glomerulus sehingga dapat menjadikan nefron
rusak. Kerusakan nefron ini berdampak pada penurunan laju filtrasi
glomerulus.
- Infeksi HIV
Disfungsi ginjal merupakan komplikasi yang umum dari pasien yang
terinfeksi HIV baik akibat kerusakan dari virus itu sendiri maupun dari
keracunan obat. HIV infeksi yang berjalan dalam jangka waktu yang
lama merupakan waktu untuk berkembangnya kerusakan ginjal.
Kerusakan yang terjadi melalui terpajanan langsung virus
menyebabkan berkembangnya HIV Associated Nephropathy
(HIVAN). Selain itu, kerusakan bisa terjadi akibat lamanya terpajan
dengan obat yang berpotensial bersifat nefrotoksik seperti IDV dan
TDF, juga obat yang digunakan dalam penanganan profilaksis infeksi
oportunistik.
- Riwayat Batu Ginjal
Riwayat batu ginjal dapat menurunkan fungsi ginjal pada orang
dengan berat badan berlebih (overweight). Hubungan antara gagal
ginjal dan batu ginjal tanpa memperhatikan lokasi batu ginjal tersebut.
- Usia
Lansia (usia di atas 65 tahun) memiliki resiko lebih besar eGFR
<60ml/menit/1,73m2 dibandingkan usia muda.
- Aktivitas Fisik
Orang dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai resiko lebih
tinggi gagal ginjal tingkat akhir dibandingkan orang dengan aktivitas
fisik yang tinggi. Orang dengan aktivitas fisik sedang tidak signifikan
mempunyai resiko gagal ginjal dibandingkan dengan orang dengan
aktivitas fisik yang tinggi.
- Merokok
Efek merokok pada penurunan fungsi ginjal, perokok mengalami
penurunan fungsi ginjal sebanyak 20% setelah 5 tahun dibandingkan

3
dengan bukan perokok. Perokok secara signifikan mempunyai resiko
lebih tinggi untuk mendapatkan penyakit gagal ginjal.
- Obesitas
Orang dengan Body Mass Index (BMI) > 25 merupakan independen
faktor untuk terjadinya gagal ginjal. Sedangkan retrospective study di
Norway menemukan bahwa resiko terjadinya CKD meningkat bagi
pasien prehipertensi dengan BMI > 30. Resiko CKD meningkat
seiring peningkatan BMI ditunjukkan pada kelompok laki-laki dengan
peningkatan BMI >10% daripada laki-laki dengan BMI normal.
4. Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal kronis digolongkan
menjadi 5 stadium yang ditentukan berdasarkan nilai Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) atau 10 Glomerulo Filtration Rate (GFR). Penderita
dengan GFR lebih dari 60 cc/mnt tergolong GGK stadium 1 dan 2,
menandakan kerusakan ginjal masih ringan dan belum ada komplikasi.
Namun apabila penyakit dasar yang menjadi penyebabnya tidak dikelola
dengan baik maka dalam waktu sekitar 5 tahun akan berkembang menjadi
GGK stadium 3 dan 4 atau GFR antara 15-59 cc/m2 . Selanjutnya jika
GGK stadium 4 ini tidak dikelola dengan baik, dalam waktu sekitar 10
tahun kemudian, akan berkembang menjadi gagal ginjal terminal. Kadar
GFR kurang dari 15 cc/m2 tergolong GGK stadium 5, dalam waktu kurang
dari 5 tahun diperkirakan selanjutnya akan membutuhkan dialisis (Melinah
Hidayat, 2018).
5. Komplikasi
Menurut (Hasetidyatami & Wikananda, 2018) penyakit-penyakit
yang dapat timbul akibat penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut:
1) Uremia : uremia disebabkan oleh akumulasi urea dalam darah.
Akumulasi ini disebabkan oleh berkurangnya kemampuan ginjal
untuk 10 mengekskresikan urea sehingga urea diabsorbsi kembali
ke peredaran darah dan terakumulasi di darah. Penyakit-penyakit
yang dapat ditimbulkan oleh uremia antara lain:
a. Sistem Saraf Pusat: kelelahan, gangguan memori,
insomnia, nyeri kepala, kebingungan, ensefalopati (infeksi
pada system saraf pusat)
b. System saraf perifer: keram, neuropati perifer
c. Gastrointestinal: anorexia, mual/muntah, gastroparesis,
ulkus gastrointestinal

4
d. Hematologi: anemia, gangguan hemostasis
e. Kardiovaskular: hipertensi, atherosclerosis, penyakit arteri
coroner, pericarditis, edema pulmonal
f. Kulit: gatal-gatal, kulit kering, uremic frost (sekresi urea
yang berlebihan melalui kelenjar keringat)
g. Nutrisi: malnutrisi, berat badan menurun, katabolisme otot
2) Hypoalbuminemia : hipoalbumin pada darah disebabkan oleh
ekskresi albumin yang berlebihan oleh ginjal yang ditandai dengan
proteinuria pada urinalisis. Secara umum gejala albuminuria
ditandai dengan edema pada wajah atau tungkai, dapat terjadi juga
edema yang mengancam nyawa misalnya seperti edema paru
3) Gagal Jantung Kongestif : penyakit ini juga disebut “high-output
heart failure” penyakit ini pada penyakit ginjal kronis disebabkan
oleh tingginya volume darah akibat retensi cairan dan natrium pada
ginjal. Peningkatan volume darah menyebabkan jantung tidak
dapat memompa secara adekuat dan menyebabkan gagal jantung.
4) CKD-MBD (Chronic Kidney Disease-Mineral Bone Disorder) :
merupakan kelainan tulang yang disebebkan oleh penyakit ginjal
kronis yang disebabkan oleh beberapa hal yakni adanya kelainan
pada mineral seperti kalsium, fosfat, dan kelainan pada hormone
paratiroid serta vitamin D dan kelainan pada pembentukan tulang.
6. Patofisiologi
Secara umum penyebab dari penyakit ginjal kronis adalah
penurunan aliran darah ke ginjal yang umumnya disebabkan oleh
hipertensi, dan kerusakan sel mesangial oleh diabetes melitus. Mekanisme
kerusakan ginjal oleh hipertensi disebabkan oleh penebalan sel-sel tunica
intima pada glomerulus ginjal, penebalan sel tunica intima menyebabkan
mengecilnya vaskular yang berujung pada mengecilnya aliran pembuluh
darah ke bagian glomerulus, berkurangnya aliran pembuluh darah ke
glomerulus menyebabkan aktifnya system Renin- 8 Angiotensin-
Aldosteron yang menyebabkan kenaikan tekanan darah lebih lanjut
sehingga terjadi kerusakan ginjal yang permanen (Darmawan, 2019).
Awalnya mekanisme aktifasi system Renin-Angiotensin-
Aldosterone dapat mengkompensasi kurangnya aliran darah ke ginjal,
namun seiring waktu akan menyebabkan nekrosis pada sel ginjal.
Kerusakan glomerulus ginjal dapat menyebabkan Global sclerosis dimana
terjadi kerusakan yang permanen dari glomerulus atau Focal segmental

5
necrosis yang merupakan system kompensasi ginjal dimana terjadi
pembesaran glomerulus pada suatu area karena kerusakan nefron pada area
lain pada ginjal. Secara kronik perubahan-perubahan pada glomerulus
ginjal akan menyebabkan kematian nefron yang akan menyebabkan
penurunan GFR secara perlahan (Darmawan, 2019).
Diabetes melitus melibatkan hiperglikemia yang memicu
pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan Advanced Glycosylation
End Products (AGE). Pembentukan AGE dan ROS menyebabkan terjadi
stress oxidative pada jaringan nefron ginjal. Peningkatan stress oxidative
pada nefron ginjal menyebabkan kenaikan permeabilitas ginjal lalu
terjadinya proteinuria, efek lain kenaikan permeabilitas glomerulus juga
mengaktifkan system RAAS yang menyebabkan kenaikan tekanan darah
dan lebih jauh meningkatkan permeabilitas ginjal dan memperparah
kerusakan ginjal. Mekanisme lain dari kerusakan ginjal dimana AGE dan
ROS menstimulasi pembentukan growth factor, growth factor yang
terbentuk berupa TGF, VEGF, dan PDGF. Pembentukan growth factor
tersebut dapat menyebabkan terjadinya fibrosis pada ginjal dan
menurunkan GFR (Darmawan, 2019).

6
PATHWAY

Glomerulonefritis Diabetes Melitus Hipertensi Ginjal polikistik


C
Ukuran ginjal, Viskositas darah Volume darah ke ginjal Terbentuknya
terbentuk jaringan kista pada
perut Ginjal tidak mampu menyaring parenkim ginjal
Perfusi ke ginjal
darah yang terlalu banyak

Kerusakan ginjal

GFR

Gangguan fungsi ginjal berlangsung kronik

CKD

Kerusakan glomerulus BUN, Creatinin fungsi eritropoesis

Pruritus Dalam saluran GI Fungsi sumsum tulang


Permeabilitas GFR
kapiler belakang
Lesi pada kulit Mual, Muntah
Retensi Na dan
Loss protein Produksi sel darah
H2O
GANGGUAN RISK. DEFISIT merah
Proteinuria masif INTEGRITAS NUTRISI
Edema Hemoglobin
KULIT Anemia
Hipoalbumin
Preload Suplai oksogen ke jaringan
Tekanan onkotik menurun Suplai oksogen dan nutrisi ke
jaringan menurun
Transudasi cairan Beban jantung
intravaskular ke Fatigue / malaise
Mekanisme kompensasi tubuh
interstitial Hipertrofi merangsang pusat pernafasan
ventrikel kiri
Aktivasi RAA INTOLERANSI
AKTIVITAS Hiperventilasi
Retensi Na & air PENURUNAN
CURAH JANTUNG
Edema POLA NAPAS
TIDAK EFEKTIF
HIPERVOLEMIA

7
7. Pemeriksaan Diagnostik
Berikut dibawah ini pemeriksaan diganostik CKD menurut
(Romagnani et al., 2017) antara lain :
1) Mengukur GFR (Glomeruler Filtration Rate)
Penilaian pertama kali dimulai dengan pengukuran konsentrasi
kreatinin serum dalam kondisi stabil dan menggunakan rumus
untuk memperkirakan GFR (beberapa di antaranya tersedia seperti
persamaan kreatinin (CKDEPI). Hasil tes berbasis kreatinin ini
dapat dipengaruhi oleh perubahan massa otot, asupan makanan
daging merah yang dimasak, dan perubahan sekresi kreatinin
dalam tubular karena adanya paparan obat-obatan (seperti
trimethoprim/sulfametoksazol). Pemeriksaan ini dapat digunakan
untuk mengoreksi perbedaan dalam generasi kreatinin, serta
komplikasi yang tidak diinginkan dalam menentukan implikasi
prognostik dari eGFR.
2) Mengukur Proteinuria Ekskresi
Albumin atau total protein urin yang abnormal penting untuk
mendeteksi CKD ketika GFR normal dan berkontribusi pada
penilaian prognosis. Proteinuria (atau albuminuria) dapat
ditentukan dengan beberapa cara, termasuk metode kualitatif
dipstik sederhana, tes konsentrasi albumin urin pointofcare, sampel
urin acak untuk menghitung protein urin terhadap rasio kreatinin
(UPCR) atau rasio albumin urin ke kreatinin (UACR) atau
waktunya. Pengumpulan urin 24 jam untuk mengukur ekskresi
protein atau albumin absolut masingmasing memiliki kelebihan
dan kekurangan. Meskipun ada beberapa keterbatasan, UACR dan
UPCR secara luas digunakan untuk menilai proteinuria dalam
sampel urin spot, meskipun nilai dipstick kualitatif dapat
diperkirakan dengan konsentrasi protein yang sesuai dan
mendominasi di rangkaian perawatan primer dan LMIC. Metode
UPCR dan UACR dapat dipengaruhi oleh tingkat ekskresi
kreatinin urin yang berlaku, artinya ekskresi kreatinin yang rendah
dapat meningkatkan nilai UPCR atau UACR bahkan pada tingkat
ekskresi protein atau albumin absolut normal. Oleh karena itu,
menyesuaikan efek ekskresi kreatinin urin dapat meningkatkan
akurasi pengukuran UPCR dan UACR.
3) Biopsi dan Patologi Biopsi

8
Ginjal perkutan adalah alat yang penting dalam menilai penyebab
CKD. Hal ini diperlukan untuk menegakkan diagnosis, memandu
terapi, dan mengidentifikasi derajat perubahan aktif dan kronis.
Indikasi biopsi pada pasien PGK bergantung pada manfaat
potensial (diagnosis yang tepat), prognostikasi atau penentuan
terapi yang tepat) serta risiko komplikasi terkait biopsi. Biopsi
ginjal biasanya direkomendasikan untuk orang dewasa dengan
sindrom nefrotik tetapi juga dapat diindikasikan pada mereka yang
kehilangan fungsi ginjal, hematuria persisten dan proteinuria
derajat rendah (0,5–3,0 g per hari) atau proteinuria terisolasi (1,0–
3,0 g per hari).
4) Tes Pencitraan Ginjal (Ultrasonografi, CT dan MRI)
Tes ini sangat bermanfaat untuk memberikan informasi tentang
ukuran ginjal, kontur, lokasi dan kepadatan serta informasi tentang
anatomi sistem drainase urin (pelvis ginjal, ureter, dan kandung
kemih). Ultrasonografi juga membedakan antara penyebab
intrinsic penyakit ginjal dan penyakit obstruktif yang
menyebabkan hidronefrosis. Teknik ini juga dapat
mengidentifikasi penyakit ginjal bawaan atau keturunan seperti
penyakit ginjal kistik. Selain itu, dupleks dapat berguna untuk
menilai aliran darah dan stenosis arteri ginjal. Teknik pencitraan
lain, seperti pemindaian isotop, CT, dan MRI, dapat menjadi
informatif dalam situasi tertentu, tetapi tidak secara rutin
digunakan dalam mendiagnosis CKD.
5) Pemeriksaan Sedimen Urin, Tes Biokimia dan Serologis Khusus
Tujuannya yaitu untuk mendeteksi kelainan spesifik penyebab
PGK. Pemeriksaan sedimen urin penting untuk mendeteksi dan
mengukur hematuria, leukosituria, dan gips (yang terbentuk di
tubulus distal dengan menggabungkan komponen yang ada di
lumen tubulus seperti sel tubular dan kotoran, sel darah putih, sel
darah merah, protein dan/atau lipidke dalam matriks glikoprotein
yang diekskresikan ke dalam urin). Selain menilai GFR dan
proteinuria untuk mengidentifikasi tingkat kerusakan ginjal kronis,
pemeriksaan mikroskopis otomatis atau manual dari sedimen urin
memainkan peran sentral dalam mengidentifikasi penyebab yang
mendasari.

9
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Diagnosa Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya napas
b. Gangguan integritas kulit b.d disfungsi ginjal
c. Risiko defisit nutrisi d.d ketidakmampuan mencerna makanan
2. Rencana Intervensi
a. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif
Luaran : Setelah dilakukan tindakan keperawatan .... x 24 jam
diharapkan pola nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil:
Pola napas :
• Frekuensi napas (5 : membaik)
• Kedalaman napas (5 : membaik)
• Dispnea (5 : menurun)
• Penggunaan otot bantu napas (5 : menurun)
Intervensi :
Manajemen Pola Napas :
O : Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas) dan
monitor bunyi napas
N : Posisikan semi fowler / fowler, dan berikan oksigenasi sesuai
kebutuhan
E : Ajarkan melakukan teknik relaksasi nafas dalam
C : Kolaborasi pemberian bronkodilator, jika perlu
b. Diagnosa : Gangguan Integritas Kulit
Luaran : Setelah dilakukan tindakan keperawatan ... x 24 jam
diharapkan gangguan integritas kulit dapat teratasi dengan kriteria
hasil:
Integritas Kulit dan Jaringan
• Kemerahan (5: menurun)
• Hematoma (5: menurun)
Intervensi :
Perawatan Integritas Kulit
O : identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
N : lakukan perawatan pada kulit seperti pemberian salep
E : anjurkan minum air yang cukup dan meningkatkan asupan nutrisi
c. Diagnosa : Risiko Defisit Nutrisi
Luaran : Setelah dilakukan tindakan keperawatan ... x 24 jam
diharapakan Status Nutrisi dapat teratasi dengan kriteria hasil:

10
Status Nutrisi :
• Frekuensi makan (5: meningkat)
• Porsi makan yang dihabiskan (5: meningkat)
• Nafsu makan (5: meningkat)
• Mual (5 : menurun)
• Muntah (5: menurun)
Intervensi :
Manajemen Nutrisi
O : Monitor asupan dan keluarnya makanan dan cairan serta
kebutuhan kalori
N : Sajikan makanan secara menarik dan suhu ruang yang sesuai, dan
berikan suplemen makanan, jika perlu
E:-
C : Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
makanan

11
DAFTAR PUSTAKA

Ayu, A. A. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Klien Chronic Kidney Disease


(CKD) Dengan Berlebihan Volume Cairan di Ruang Mawar II RSUD dr.
Soekardjo Kota Tasikmalaya [STIKes Bhakti Kencana Bandung].
http://repository.bku.ac.id/xmlui/handle/123456789/1141
Darmawan, D. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Ny. A Dengan Chronic Kidney
Disease Dengan Pemberian Inovasi Intervensi Terapi Musik di Ambun Suri
Lantai IV Achmad Mochtar Bukit Tinggi 2019. STIKes Perintis Padang.
Dinarti, & Mulyanti, Y. (2017). Dokumentasi Keperawatan. In Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Hasetidyatami, V., & Wikananda, I. M. (2018). Chronic Kidney Disease
[Universitas Udayana]. http://repo.stikesperintis.ac.id/939/1/42
DARMAWAN.pdf
Nurudin, A., & Sulistyaningsih, D. R. (2018). Hubungan antara Lama Menjalani
Terapi Hemodialisis dengan Kepatuhan Asupan Cairan pada Pasien Penyakit
Ginjal Kronik. Jurnal Ilmu Keperawatan Medikal Bedah, 1(1), 1–43.
https://doi.org/10.32584/jikmb.v1i1.74
Romagnani, P., Remuzzi, G., Glassock, R., Levin, A., Jager, K. J., Tonelli, M.,
Anders, H., & J. (2017). Chronic Kidney Disease. Nature Reviews Disease
Primers, 3(1), 1–24.
Saputra, B. danang, Sodikin, S., & Annisa, S. M. (2020). Karakteristik Pasien
Chronic Kidney Disease (Ckd) Yang Menjalani Program Hemodialisis Rutin
Di Rsi Fatimah Cilacap. Tens : Trends of Nursing Science, 1(1), 19–28.
https://doi.org/10.36760/tens.v1i1.102
Vaidya, S. R., Aeddula, N. R., & Doerr, C. (2021). Chronic Renal Failure (Nursing).
StatPearls. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/33760537

12
13

Anda mungkin juga menyukai