Anda di halaman 1dari 9

Gagal Ginjal Kronis dan Hemodialisis

A. Gagal Ginjal Kronis


a) Pengertian
Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan penurunan
fungsi ginjal secara bertahap yang mengakibatkan kerusakan
pada jaringan ginjal yang tidak dapat dipulihkan dan bersifat
progresif. Sementara itu, Gagal Ginjal Terminal (GGT)
merujuk pada tahap akhir dari Gagal Ginjal Kronik (GGK) di
mana fungsi ginjal telah mencapai tingkat yang sangat buruk.
Perbedaan antara keduanya dapat diidentifikasi melalui
pengujian klirens kreatinin. (Irwan, 2016)
b) Prevalansi
Penyakit ginjal kronis menjadi masalah kesehatan
serius secara global. Menurut penelitian Global Burden of
Disease tahun 2010, penyakit ini menempati peringkat ke-27
sebagai penyebab kematian di dunia pada tahun 1990, namun
meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Lebih dari
2 juta orang di seluruh dunia menerima perawatan dialisis
atau transplantasi ginjal, dengan hanya sekitar 10% yang
dapat mengakses perawatan tersebut. Sepuluh persen dari
populasi dunia mengalami penyakit ginjal kronis, dan jutaan
orang meninggal setiap tahun karena keterbatasan akses
terhadap pengobatan (Kemenkes RI, 2017)
Prevalensi penyakit ginjal kronik di Australia,
Jepang, dan Eropa berkisar antara 6-11%, dengan
peningkatan sekitar 5-8% setiap tahunnya. Di Indonesia, data
Riskesdas tahun 2013 mencatat bahwa 0,2% dari penduduk
menderita gagal ginjal kronik, dan hanya 60% dari pasien
tersebut yang menjalani terapi dialisis. (Ida Ayu Ari Utami,
2020)
Pada tahun 2011, sekitar 113.136 pasien di Amerika
Serikat mengalami End Stage Renal Disease (ESRD), dengan
diabetes dan hipertensi sebagai penyebab utama, terutama
pada mereka yang berusia di atas 70 tahun. Penelitian di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa risiko terkena penyakit
ginjal kronik meningkat 2,3 kali lipat bagi orang yang
mengonsumsi dua gelas atau lebih cola setiap hari.
(Kemenkes RI, 2017)
Pada tahun 2013, sekitar 2 per 1000 penduduk
Indonesia atau 499.800 orang menderita penyakit gagal
ginjal, sementara 6 per 1000 penduduk atau 1.499.400 orang
menderita batu ginjal. Prevalensi gagal ginjal pada pria
(0,3%) lebih tinggi daripada pada wanita (0,2%), dan tingkat
prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia di atas 75
tahun (0,6%), dengan peningkatan yang signifikan mulai dari
usia 35 tahun ke atas. (Kemenkes RI, 2017)
c) Etiologi
Beberapa kondisi dapat menjadi dasar terjadinya
gagal ginjal kronis, seperti penyakit ginjal akibat diabetes
(diabetic kidney disease), penyakit ginjal polikistik (cystic
kidney disease), dan gangguan tubulointerstitial
(tubulointerstitial disease). Faktor risiko terjadinya gagal
ginjal kronis melibatkan riwayat keluarga dengan penyakit
ginjal, hipertensi, diabetes, penyakit autoimun, usia lanjut,
stadium akhir, acute kidney disease, serta kerusakan struktur
ginjal, baik dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang
normal atau meningkat (M.Kes., 2018)
Menurut data yang dikumpulkan oleh Indonesia
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008, urutan
penyebab terbanyak gagal ginjal kronis adalah
glomerulonefritis (25%), diabetes mellitus (23%), hipertensi
(20%), dan ginjal polikistik (10%) (Mailani, 2017)
I. Glomerulonefritis dapat dibedakan menjadi primer
dan sekunder berdasarkan sumber terjadinya
kelainan. Glomerulonefritis dikategorikan sebagai
primer jika penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri, sedangkan jika kelainan ginjal disebabkan
oleh penyakit sistemik seperti diabetes melitus, lupus
eritematosus sistemik (LES), mieloma multiple, atau
amiloidosis, maka disebut sebagai glomerulonefritis
sekunder.
II. Diabetes melitus adalah gangguan metabolik kronis
yang ditandai oleh tingginya kadar gula darah yang
disebabkan oleh gangguan pengeluaran insulin,
resistensi insulin, atau keduanya (Karota, 2020)
III. Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah
sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah diastolik >
90 mmHg, atau jika pasien menggunakan obat
antihipertensi.
IV. Ginjal polikistik ditandai dengan adanya kista yang
tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain karena faktor genetik, kista dapat
muncul akibat berbagai kondisi atau penyakit. Oleh
karena itu, ginjal polikistik seringkali merupakan
kelainan genetik yang paling umum dijumpai.

d) Manifestasi Klinis
Menurut Kemenkes RI (2019) tanda dan gejala
penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut :

- Tekanan darah tinggi


- Perubahan frekuensi dan jumlah buang air kecil dalam
sehari
- Adanya darah dalam urin
- Lemah serta sulit tidur
- Kehilangan nafsu makan
- Sakit kepala
- Tidak dapat berkonsentrasi
- Gatal
- Sesak
- Mual & muntah
- Bengkak, terutama pada kaki dan pergelangan kaki, serta
pada kelopak mata waktu pagi hari

Adapun tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis berasal dari
gangguan yang bersifat sistemik. Tanda dan gejala yang umumnya terjadi
pada gagal ginjal kronis, seperti yang diuraikan oleh (Bruce M Robinson,
2014) pada (Eka, 2018) mencakup berbagai aspek:

a) Kardiovaskuler: Umumnya menyertai hipertensi, aritmia,


kardiomiopati, uremic pericarditis, efusi pericardial, gagal jantung,
edema periorbital, dan edema perifer.
b) Pulmoner: Seringkali ditandai oleh edema pulmonal, nyeri pleura,
gesekan pada pleura, ronki, sputum kental, uremic pleuritis, dan
uremic lung, serta kesulitan bernapas.
c) Gastrointestinal: Gejala ini melibatkan anoreksia, mual, muntah,
inflamasi, dan ulserasi pada mukosa gastrointestinal, yang dapat
menyebabkan stomatitis, ulserasi, dan perdarahan pada gusi
d) Muskuloskeletal: Termasuk nyeri pada sendi dan tulang,
demineralisasi tulang, fraktur patologis, dan kalsifikasi pada
berbagai organ seperti otak, mata, gusi, sendi, dan miokard.
e) Integumen: Perubahan pada kulit seperti pucat, kekuning-kuningan,
kecoklatan, dan kekeringan. Terdapat juga purpura, ekimosis,
petechiae, serta akumulasi urea pada kulit.
f) Neurologis: Melibatkan neuropati perifer, nyeri dan gatal pada
lengan dan kaki, kram otot, refleks kedutan, penurunan daya ingat,
apatis, peningkatan kantuk, iritabilitas, pusing, hingga kondisi koma
dan kejang. Perubahan pada EEG menunjukkan adanya
encephalopathy metabolic.
g) Endokrin: Potensial menyebabkan infertilitas, penurunan libido,
amenore pada wanita, gangguan siklus menstruasi, impotensi,
penurunan sekresi sperma, peningkatan sekresi aldosteron, dan
gangguan metabolisme karbohidrat.
h) Hematopoietic: Termasuk anemia, penurunan masa hidup sel darah
merah, trombositopenia (akibat dialisis), dan kerusakan platelet.
Masalah serius pada sistem hematologi dapat menunjukkan adanya
perdarahan seperti purpura, ekimosis, dan petechiae.
-
-
e) Bagan Patofisiologi

2.1.5 Pathway Gagal Ginjal Kronik

Berbagai kondisi yang menyebabkan terjadinya penurunan


fungsi nefron
3

Mekanisme Kompensasi dan adaptasi dari nefron menyebabkan kematian


nefron meningkat

Destruksi struktur ginjal secara progresif

GFR menurun menyebabkan kegagalan mempertahankan metabolisme dan


keseimbangan cairan dan elektrolit

Penumpukan toksik uremik di dalam darah


Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

4
Volume cairan meningkat Aktivasi Sistem Renin Angiotensin Sindrom Uremik
Hipertermia Aldosteron
5 Hiperkalemia Asidosis Metabolik

pH turun
6 Hiperpospatermiadan
hipokalemia Respon asidosis metabolik dan
Hipertensi sistemik sindrom uremia pada sistem saraf
dan pernapasan,
Respon hiperkalemia Kelebihan Beban kerja - Pernapasan Kussmaul
kerusakan impuls saraf volume - Letargi, kesadaran
7 jantung
gangguan konduksi cairan - Edema sel otak
elektikeal otot ventrikel - Disfungsi serebral
- Neuropati perifer
Aritmia Curah jantung turun
risiko tinggi kejang

Penurunan perfusi
serebral
8
Gangguan pola nafas

Penurunan curah jantung


penurunan perfusi jaringan
perubahan proses pikir
9 Defisit neurologik
Osteodistrofi ginjal

Gambar 2.1 Patofisiologi GGK (Muttaqin & Sari, 2011)


Patofisiologi GGK ke masalah keperawatan pada sistem pernafasan, sistem kardiovaskuler, dan sistem syaraf

Sindro uremik

Respons hematologi : produksi Respons muskuloskeletal Repons gastrointestinal


Eritrooietin turun trombositopenia Ureum pada jaringan otot - Ureum pada saluran
cerna (fetor uremik)
- Peradangan mukosa
Masa hidup sel darah Restless leg sindrom. saluran cerna
merah pendek Burning feet sindrom.
Kehilangan sel darah Miopati Nafas bau amonia
merah Kram otot Stomatitis, ulkus lambung
Pembekuan darah Kelemahan fisik

Anemia normositik
Mual, muntah
Normokromik Nyeri otot
Anoreksia

Intoleransi aktivitas
Pemenuhan nutrisi
Risiko cedera kurang dari kebutuhan

Respons sistem perkemihan Respon endokrin Respon intergumen


Kerusakan nefron Gangguan metabolisme Ureum pada jaringan kulit
Kehilangan libido glukosa dan lemak

Pucat
Hiperglikemia Hiperpigmentai
Gangguan Perubahan rambut dan
Hipertrigeliseridemia
pemenuhan seksual kuku
Pruritus
Kristal uremik
Kulit kering dan pecah,
Respon psikologis berlilin
Prognosis penyakit Memar
Tindakan maladaptif
Gangguan intergitas
kulit
Gangguan konsep diri (gambaran
diri)
Kecemasan
Pemenuhan informasi

Gambar 2.2 Patofisiologi GGK (Muttaqin & Sari, 2011)


Patofisiologi GGK ke masalah keperawatan pada sistem hematologi, sistem muskuloskeletal, sistem
pencernaan, sistem urogenital, endokrin, intergumen dan psikologis.

f) Diagnosa
Menurut Kemenkes RI (2017) Penurunan fungsi ginjal dapat
diketahui melalui pemeriksaan darah dan urin.

Pemeriksaan darah mencakup pengukuran kadar kreatinin,


ureum, dan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Pemeriksaan
urin melibatkan penilaian kadar albumin atau protein. Semua
langkah ini merupakan bagian dari usaha untuk
mengklasifikasikan Penyakit Ginjal Kronik.

g) Penatalaksanaan
Manajemen kegagalan ginjal kronis dapat
diclasifikasikan ke dalam dua tahap, yakni melalui
pendekatan konservatif serta melalui opsi dialisis atau
transplantasi ginjal (Suharyanto T & Madjid A, 2013)

a. Pendekatan konservatif
Pada tahap ini, tujuan terapi adalah untuk mengurangi atau
memperlambat progresivitas disfungsi ginjal. Langkah-
langkah yang diambil dalam pendekatan konservatif
melibatkan pengaturan asupan protein, kalium, natrium, serta
cairan dalam diet. Selain itu, upaya dilakukan untuk
mencegah dan mengobati komplikasi seperti hipertensi,
hiperkalemia, anemia, asidosis, dengan menerapkan diet
rendah fosfat dan mengatasi hiperurisemia.

b. Dialisis dan Transplantasi


Penanganan pada tahap akhir kegagalan ginjal melibatkan
opsi dialisis dan transplantasi ginjal. Dialisis dapat digunakan
untuk menjaga kondisi klinis optimal pasien hingga donor
ginjal tersedia. Dialisis dilaksanakan apabila kadar kreatinin
serum melebihi 6 mg/100 ml pada pria atau 4 ml/100 ml pada
wanita, dan tingkat GFR kurang dari 4 ml/menit.

References
Bruce M Robinson, J. Z. (2014). Worldwide, mortality risk is high soon
after initiation of hemodialysis. United States: National Library of
Medicine.

Eka, M. N. (2018). Hubungan Adekuasi Hemodialisis dan Status Gizi


dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani
Hemodialisa di RSUP Sanglah Denpasar. Poltekkes Denpasar
Repository Diploma Thesis.

Ida Ayu Ari Utami, D. G. (2020). Prevalensi dan komplikasi pada penderita
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar tahun 2018. Intisari Sains Medis,
Volume 11, Number 3: 1216-1221.

Institute for Health Metrics and Evaluation. (2010). The Global Burden of
Disease : Generating Evidence, Guiding Policy. Washington DC:
University of Washington.

Irwan. (2016). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Yogyakarta: Ed. 1,


Cet. 1. Yogyakarta Deepublish.
Karota, E. &. (2020). Panduan Konseling Kesehatan Dalam Upaya
Pencegahan Diabetes Melitus. Deepublish.: Retrieved from
https://books.google.co.id/books?id=fXHXDwAAQBAJ (diakses
pada tanggal 17/10/2023.

Kemenkes RI. (2017). Diagnosis, Klasifikasi, Pencegahan, Terapi Penyakit


Ginjal Kronis. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. (2017). Ginjal Kronis. Jakarta: Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia.

Kemenkes RI. (2019). Apa saja Tanda dan Gejala Penyakit Ginjal Kronis
(PGK)? Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

M.Kes., D. d. (2018). Monograf Hidrolisat Protein dari Kacang polong


(Pisium sativum.L) untuk Terapi Penyakit Ginjal Kronis. Bandung:
ALFABETA.

Mailani, F. &. (2017). HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN


KEPATUHAN DIET,. 2(October), 416–423.

Sari, M. d. (2005). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.


Jakarta: Salemba Medika.

Suharyanto T & Madjid A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien


Dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta CV. Trans Info
Medika.

Anda mungkin juga menyukai