Anda di halaman 1dari 5

Laporan Pendahuluan

Chronic Kidney Disease (CKD)

A. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik adalah suatu gangguan pada ginjal
ditandai dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan, yang
ditandai dengan satu atau lebih tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas sedimen urin,
elektrolit, histologi, struktur ginjal, ataupun adanya riwayat transplantasi ginjal, juga disertai
penurunan laju filtrasi glomerulus (Hemodialisis & Padang, 2019)
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible
(lambat) artinya jika ginjal mengalami satu kerusakan maka akan ada kemungkinan terjadi kerusakan
yang lebih banyak dan tidak dapat kembali normal. CKD terjadi setelah berbagai macam penyakit
yang merusak massa nefron ginjal. Sebagian besar penyakit ini merupakan penyakit parenkim ginjal
difus dan bilateral, meskipun lesi obstruktif pada traktus urinarius ditandai 10 oleh uremia yang sudah
lama juga dapat menyebabkan CKD. Keadaan ini merupakan konsekuensi akhir dari semua penyakit
CKD (Ofori et al., 2020)

B. Etiologi
Gagal ginjal kronik sering kali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit lainnya, sehingga
merupakan penyakit sekunder (secondary illness).
Penyebab yang sering adalah diabetes mellitus dan hipertensi. Selain itu ada beberapa penyebab
lainnya dari gagal ginjal kronik, yaitu:
1. Gangguan pembuluh darah ginjal. Berbagai jenis lesi vaskular dapat menyebabkan iskemik
ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling sering adalah aterosklerosis pada arteri
renalis yang besar, dengan konstriksi skleratik progresif pada pembuluh darah. Hiperplapsia
fibromuskular pada satu atau lebih arteri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh
darah. Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak
diobati, dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya elastisitas sistem, perubahan darah ginjal
mengakibatkan penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.
2. Infeksi, dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E. Coli yang berasal dari
kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini mencapai ginjal melalui aliran
darah atau yang lebih sering secara ascenden dari traktus urinarius bagi. Bawah lewat ureter ke
ginjal sehingga dapat menimbulkan kerusakan irrevesibel ginjal yang disebut plenlonefritis.
3. Obtruktus traktus urinarius, oleh batu ginjal, hipertrofiprostat dan kontriksi uretra.
4. Gangguan tubulus primer, terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau logam berat.
5. Kelainan kongenital dan herediter, kondisi keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya
kista/kantong yang berisi cairan didalam ginjal dan organ lain, serta tidak ada jaringan ginjal
yang bersifat kongenital adanya asidosis (K. More & Prasetyo, 2018)

C. Manifestasi klinis
Menurut (Fabiana Meijon Fadul, 2019) manifestasi klinis pasien CKD antara lain : hipertensi,
(akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin – angiotensin aldosteron), gagal jantung
kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan
perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, perubahan tingkat kesadaran,
tidak mampu berkonsentrasi).
Menurut (Wijayanti, 2021) manifestasi klinik tentang CKD (Chronic kidney disease) adalah
sebagai berikut :
1. Gangguan kardiovaskuler. Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi
perikardiak dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
2. Gangguan pulmoner. Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak.
3. Gangguan gastrointestinal. Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan
metabolisme protein dalam usus, perdarahan saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan
mulut, nafas bau amonia
4. Gangguan muskuloskeletal. Resiles leg syndrom (pegal pada kaki sehingga selalu digerakan),
Burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama di telapak kaki), tremor, miopati
(kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas)
5. Gangguan integumen. Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
6. Gangguan endokrin. Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolik glukosa, gangguan metabolik lemak dan
vitamin D.
7. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa. Biasanya terjadi retensi garam dan
air, tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium; dan
8. Sistem hematologi. Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin,
sehingga rangsangan eritopoesis pada sum–sum tulang berkurang, dapat juga terjadi gangguan
fungsi trombosis dan trombositipenia

D. Tanda & Gejala


Pada tahap awal penyakit ginjal (stage 1 dan 2), kemungkinan besar penderita belum merasakan
tanda dan gejala apapun sehingga tidak mudah untuk mendeteksi adanya kelainan ginjal secara
kasatmata. CKD baru menimbulkan tanda dan gejala jika telah mencapai tahap yang cukup lanjut.
Tanda dan gejalanya juga dapat sangat bervariasi karena CKD sendiri dapat disebabkan oleh berbagai
faktor. Namun secara umum, tanda dan gejala dari CKD adalah sebagai berikut:
1. Mual dan muntah
2. Penurunan nafsu makan
3. Badan terasa lemas
4. Gangguan tidur
5. Perubahan jumlah urine
6. Perubahan status mental
7. Pembengkakan pada kaki
8. Gatal yang permanen
9. Nyeri dada (jika ada penimbunan cairan)
10.Sesak napas
11.Peningkatan tekanan darah
Tanda dan Gejala Menurut Aisara, Azmi, dan Yanni (2018) terdapat beberapa manifestasi klinis
yang dapat terjadi pada pasien dengan CKD yaitu sebagai berikut:
a. Gangguan Kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effuse perikardiak dan gagal jantung
akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema (Martin & González, 2017).
b. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak suara krekels (Aisara et al.,
2018).
c. Gangguan Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus,
perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia
(Rendy & Margareth, 2012).
d. Gangguan Muskuloskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan), burning feet syndrom (rasa
kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi
otot–otot ekstremitas) (Rendy & Margareth, 2012).
e. Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan urokrom,
gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh (Martin & González, 2017).
f. Gangguan Endokrin
Gangguan seksual seperti libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan
aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolik lemak dan vitamin D (Aisara et al.,
2018).
g. Gangguan Cairan
Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga
terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia,
hipokalsemia (Aisara et al., 2018).
h. Gangguan Sistem Hematologi
Dapat terjadi anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga
rangsangan eritopoesis pada sum–sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa
hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan
trombositopeni (Rendy dan Margareth, 2012).

E. Patofisiologi
Gagal ginjal kronis sering berlangsung progresif melalui 4 stadium penurunan cadangan ginjal
memperlihatkan laju filtrasi glomerulus sebesar 35% hingga 50% laju filtrasi normal. Insufisiensi
renal memiliki laju filtrasi glomerulus sebesar 20% hingga 35% laju filtrasi normal. Gagal ginjal
mempunyai laju filtrasi glomerulus sebesar 20% hingga 25% laju filtrasi normal. Sementara penyakit
ginjal stadium terminal (end-stage renal disease) mamiliki laju filtrasi glomerulus kurang dari 20%,
laju filtrasi normal. Kerusakan nefron berlangsung progresif, nefron yang sudah rusak tidak dapat
berfungsi dan tidak bias pulih kembali, Ginjal dapat memperlihatkan fungsi yang relative normal
sampai terdapat sekitar 75%, nefron yang tidak berfungsi.
Nefron yang masih hidup akan mengalami hipertrofi serta meningkatkan kecepatan filtrasi,
reabsorbsi, serta sekresi, eksresi kompensasi terus berlanjut ketika laju filtrasi glomerulus semakin
menurun. Urine dapat mengandung protein,sel darah merah dan sel darah putih atau sedimen
(endapan) dalam jumlah abnormal. Produk akhir eksresi yang utama pada dasarnya masih normal dan
kehilangan nefon menjadi segnifikasi. Ketika terjadi penurunan laju glomerulus, kadar kreatinin
plasma meninggi secara proposional jika tidak dilakukan penyesuaian untuk mengatur ketika
pengakutan natrium dalam nefron meningkat maka lebih sedikit natrium yang di reabsorbsi sehingga
terjadi kekurangan natrium dan deplesi volume ginjal tidak mampu lagi memekatkan dan
mengencerkan urine.
Jika penyebab gagal ginjal kronis sebagai permasalahan yang ditemukan pada asidosis tubulus
renal yaitu deplsi garam dan gangguan pengenceran serta pemekatan urine. Jika penyebab primernya
merupakan kerusakan veskuler dan glomerulus gejala proteinuria, hematuria serta sindrom netrotik
lebih menonjol pada ensufisiensi ginjal yang dini terjadi peningkatan eksresi asam dan reabsorbsi
fosfat untuk mempertahan kan PH pada nilai normal. Ketika laju filtrasi glomerulus menurun hingga
30% sampai 40% maka terjadi pada asidosis metabolik yang progresif dan sekresi kalium dalam
tubulus renal meningkat (Kadir, 2018).

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) menurut (Annisa, 2018)
meliputi:
1. Urine
a) Volume < 400 ml/24 jam (oliguria) atau anuria
b) Warna : urin keruh
c) Berat jenis < 1,105
d) Klirens kreatinin : turun
e) Na⁺⁺ > 40 mEq/lt f) Protein : proteinuria (3 – 4 +)
2. Darah
a) BUN/kreatinin : ↑
b) Hitung darah lengkap : Ht ↓, Hb < 7-8 gr%
c) Eritrosit : waktu hidup ↓
d) GDA, pH ↓ : asidosis metabolik
e) Na⁺⁺ serum : ↓
f) K⁺ : ↑
g) Mg⁺⁺ / fosfat : ↑
h) Protein (khusus albumin) : ↓
3. KUB foto : ukuran ginjal/ureter/KK dan obstruksi (batas)
4. Pielogram retrograd : identifikasi ekstravaskular, massa
5. Sistouretrogram berkemih : ukuran KK, refluks kedalam ureter, retensi
6. Ultrasono ginjal : sel jaringan untuk diagnosis histologist
7. Endoskopi ginjal, nefroskopi : batu, hematuria, tumor
8. EKG : ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
9. Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan : demineralisasi

G. Penatalaksanaan
1. Proses Hemodialisis
Perpindahan zat melalui membran dialisis ditentukan oleh dua faktor utama yaitu difusi dan
konveksi. Difusi berarti perpindahan zat terlarut (solut) oleh tenaga yang ditimbulkan oleh
perbedaan kosentrasi zat terlarut di kedua sisi membran dialisis. Kecepatan dan arah perpindahan
ini ditentukan luas permukaan membran, kecepatan aliran darah dan cairan dialisat, perbedaan
kosentrasi, koefisien difusi membran (permeabilitas), selain juga oleh faktor konveksi. Faktor-
faktor ini menentukan kliriens ginjal buatan terutama perbedaan konsentrasi dan aliran darah
(Stephen, 2004).
Sistem HD terdiri dari tiga unsur penting yaitu sirkuit cairan diasilat, sirkuit darah dan
membran ginjal buatan. Ketiga faktor ini dapat dibentuk dalam berbagai konfigurasi, yang
tentunya dilengkapi sejumlah alat monitor, supaya prosedur berjalan aman dan lancar. Prosedur ini
bertujuan mengalirkan darah dan cairan diasilat di kedua sisi yang bersebelahan dari membran
semipermeabel sehingga proses hemodialisis dapat terjadi (Stephen, 2004).
1. Sirkuit Cairan Diasilat Komposisi air tergantung lokasi geografis, sumber air, musim dan
pengelolaan air PAM. Air yang digunakan untuk hemodialisis harus bersih dari elektrolit,
mikroorganisme atau bahan asing lain, sehingga harus diolah dulu dengan cara filtrasi,
softening, deionisasi dan paling baik dengan reverse osmosis. Air yang sudah diolah dan
konsentrat diasilat dicampur dalam sebuah tangki dan selama 500-600 ml/menit cairan
diasilat dipompa ke mebran dialisis, kemudian dikembalikan lagi ke tangki yang selanjutnya
digunakan lagi secara berkesinambungan. Air yang sudah diolah dan konsentrat disilat
dicampur secara konstan oleh pompa proportioning dengan perbandingan 34 bagian air dan
1 bagian konsentrat. Campuran ini dipompa ke membran sekali saja. Sirkuit cairan diasilat
dilengkapi tiga jenis monitor yaitu, monitor dan pengatur suhu, monitor konduktivitas,
detektor terhadap kebocoran darah (Stephen, 2004).
2. Sirkuit Darah Sirkuit darah mengalirkan darah dari jarum atau kanul arteri dengan pompa
darah biasanya 200-250ml/menit ke kompartemen darah ginjal buatan, kemudian
mengembalikan darah melalui jarum atau kanul vena yang letaknya proksimal terhadap
jarum arteri. Sirkuit ini mempunyai tiga monitor yaitu monitor tekanan arteri, monitor
tekanan vena, detektor gelembung udara (Stephen, 2004).
3. Membran Ginjal Buatan Ginjal buatan mempunyai struktur penunjang yang memungkinkan
darah dan cairan diasilat mengalir secara optimal di kedua sisi yang bersebelahan daripada
membran. Ada tiga jenis konfigurasi ginjal buatan yang saat ini lazim dipakai yaitu Coil
dialyzer, Flat plate dialyzer, Hollow fiber diayzer (Stephen, 2004). Membran dari selulosa
permeabel terhadap molekul dengan berat molekul kecil dengan sifat ultrafisasi yang wajar
seperti cuprophane, cellulose acetat dan regenerated celluluse. membran baru seperti
polycarylonitrille lebih permeabel terhadap zat dengan berat molekul yang lebih tinggi
(middle molecules) tetapi sifat ultrafiltrasinya sangat besar dan mahal harganya (Stephen,
2004)

Anda mungkin juga menyukai