Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

OLEH

KANA SAYELIN

21101046

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS dr. SOEBANDI JEMBER

2021/2022

1.1 Pengertian
Gagal ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan
penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan menurunnya Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) < 60 mL/menit/1,73 m2 yang terjadi selama 3 bulan atau
lebih dengan adanya penanda kerusakan pada ginjal yang dapat dilihat
melalui konsentrasi albuminuria (Webster et al., 2017). Penurunan fungsi
ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73 m2 termasuk ke dalam kategori
penyakit ginjal stadium akhir (CKD stase 5) yang menandakan bahwa ginjal
tidak dapat berfungsi dengan baik dalam waktu jangka panjang (Webster et
al., 2017). Pasien dengan CKD/PGK mengalami penurunan fungsi ginjal
yang dilanjutkan dengan penumpukan produk sisa metabolisme dan cairan
dalam tubuh. CKD/PGK bersifat progresif dan irreversible (American Kidney
Fund, 2021).

Gagal Ginjal Kronik merupakan suatu kondisi dimana organ ginjal sudah
tidak mampu mengangkut sampah sisa metabolik tubuh berupa bahan yang
biasanya dieliminasi melalui urin dan menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan
metabolik, cairan, elektrolit, serta asam basa (Abdul, 2015).

1.2 Klasifikasi dan Etiologi

Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu berdasarkan derajat


penyakit dan berdasarkan etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit
didasarkan pada LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus
KockroftGault sebagai berikut :

LFG (ml/menit/1,73m2 ) = (140 – umur) x berat badan (kg)

72 x kreatinin plasma (mg/dl)

Kockroft-Gault tidak berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di atas 80


tahun, berat badan di bawah 40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil, pasien
penderita Acute Kidney Injury (AKI), kerusakan otot yang luas (crush syndrome,
tetraparesis), atau ada anggota tubuh yang tidak lengkap (amputasi).

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dapat dilihat di tabel berikut:

Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dilihat di tabel berikut:

Berdasarkan etiologinya, CKD juga dapat diklasifikasikan atas dasar ada


atau tidaknya penyakit sistemik yang mendasarinya dan lokasi dari kelainan
anatomis atau patologis dari ginjal. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan


laju filtrasi glomerulus atau yang disebut juga penurunan glomerulu filtration
rate (GFR). Penyebab gagal ginjal kronik menurut Andra & Yessie, 2013):
a. Gangguan pembuluh darah : berbagai jenis lesi vaskuler dapat
menyebabkan iskemik ginjal dan kematian jaringan ginjal.
b. Gangguan imunologis : seperti glomerulonephritis
c. Infeksi : dapat dijelaskan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang
berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri.
d. Gangguan metabolic : seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak
meningkat sehingga terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan
berlanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati amyloidosis
yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada dinding
pembuluh darah secara serius merusak membrane glomerulus.
e. Gangguan tubulus primer : terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau
logam berat.
f. Obstruksi traktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan
kontstriksi uretra.
g. Kelainan kongenital dan herediter : penyakit polikistik sama dengan
kondisi keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya kista atau kantong
berisi cairan didalam ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jaringan
ginjal yang bersifat konginetal (hypoplasia renalis) serta adanya asidosis.

1.3 Manifestasi Klinis

Menurut Aisara, Azmi, dan Yanni (2018) terdapat beberapa manifestasi


klinis yang dapat terjadi pada pasien dengan CKD yaitu sebagai berikut:

1. Gangguan Kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effuse
perikardiak dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama
jantung dan edema (Martin & González, 2017).
2. Gangguan Pulmone
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak suara
krekels (Aisara et al., 2018).
3. Gangguan Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan
perdarahan mulut, nafas bau ammonia (Rendy & Margareth, 2012).
4. Gangguan Muskuloskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan),
burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak
kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot–otot ekstremitas)
(Rendy & Margareth, 2012).

5. Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh
(Martin & González, 2017).
6. Gangguan Endokrin
Gangguan seksual seperti libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan
metabolik lemak dan vitamin D (Aisara et al., 2018).
7. Gangguan Cairan Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan
natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia,
hipokalsemia (Aisara et al., 2018).
8. Gangguan Sistem Hematologi
Dapat terjadi anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum–sum tulang
berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan
trombositopeni (Rendy dan Margareth, 2012)

1.4 Patofisiologi

Terlampir

1.5 Pathway

Terlampir

1.6 Pemeriksaan Penunjang


Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk
memperkuat diagnosa medis, antara lain :

a. Laboratorium Menurut Muttaqin & Sari (2011) dan Rendy & Margareth (2012)
hasil pemeriksaan laboratoium pada pasien gagal ginjal kronik adalah :

1. Urine, biasanya kurang dari 400ml / 24 jam (oliguria) atau urine tidak ada
(anuria). Warna secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan pus,
bakteri, lemak fosfat, dan urat sedimen kotor. Kecoklatan menunjukkan
adanya darah. Berat jenis urine kurang dari 0,015 (metap pada 1,010
menunjukkan kerusakan ginjal berat). Protein, derajat tinggi proteinuria
(3-4) secara kuat menunjukkan kerusakan glomerulus.
2. Laju endap darah meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan
hipoalbuminemia. Anemia normoster normokrom dan jumlah retikulosit
yang rendah.
3. Ureum dan kreatinin meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20:1. Perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid dan
obstruksi saluran kemih. Perbadingan ini berkurang ketika ureum lebih
kecil dari kreatinin, pada diet rendah protein dan tes Klirens Kreatinin
yang menurun.
4. Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia: biasanya
terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya diuresis.
5. Hipoklasemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis
vitamin D3 pada pasien CKD.
6. Alkalin fosfat meninggi akibat gangguan metabolisme tulang, terutama
isoenzim fosfatase lindin tulang.
7. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia, umumnya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein.
8. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada
gagal ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
9. Hipertrigleserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan
peninggian hormon insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
10. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang
menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semua disebabkan
retensi asam-asam organik pada gagal ginjal

b. Pemeriksaan Diagnostik Lain Pemeriksaan radiologis menurut Sudoyo, dkk


(2011) dan Rendy & Margareth (2012) meliputi :

1. Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu
atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal,
bisa tampak batu radio – opak, oleh sebab itu penderita diharapkan tidak
puasa.
2. Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan
tertentu, misalnya usia lanjut, diabetes mellitus, dan nefropati asam urat.
Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
3. Ultrasonografi (USG) untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal
parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises,
ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
4. Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vaskuler, parenkim, eksresi) serta sisa fungsi ginjal.
5. Elektrokardiografi (EKG) untuk melihat kemungkinan: hipertropi ventrikel
kiri, tanda-tanda pericarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).

1.7 Diagnosa Medis

Acute Kidney Injury (Gagal ginjal akut).

1.8 Komplikasi
Menurut Prabowo (2014) komplikasi yang dapat timbul dari
penyakit gagal ginjal kronik adalah :
a. Penyakit tulang : Penyakit tulang dapat terjadi karena retensi fosfat,
kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan
peningkatan kadar alumunium
b. Penyakit kardiovaskuler : Ginjal yang rusak akan gagal mengatur tekanan
darah. Ini karena aldosteron (hormon pengatur tekanan darah) jadi bekerja
terlalu keras menyuplai darah ke ginjal. Jantung terbebani karena
memompa semakin banyak darah, tekanan darah tinggi membuat arteri
tersumbat dan akhirnya berhenti berfungsi, tekanan darah tinggi dapat
menimbulkan masalah jantung serius
c. Anemia : Anemia muncul akibat tubuh kekurangan entrokosit sehingga
sumsum tulang yang mempunyai kemampuan untuk membentuk darah
lama kelamaan juga akan semakin berkurang
d. Disfungsi seksual : Pada klien gagal ginjal kronik terutama kaum pria
kadang merasa cepat lelah sehingga minat dalam melakukan hubungan
seksual menjadi kurang

1.9 Penatalaksanaan

Menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan mencegah komplikasi


merupakan tujuan dari penatalaksanaan pasien CKD (Muttaqin & Sari, 2011).
Menurut Suharyanto dan Madjid (2013) pengobatan pasien CKD dapat
dilakukan dengan tindakan konservatif dan dialisis atau transplatansi ginjal.

a. Tindakan konservatif Tindakan konservatif merupakan tindakan yang bertujuan


untuk meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif.

1) Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan.

Intervensi diet perlu pada gangguan fungsi renal dan mencakup


pengaturan yang cermat terhadap masukan protein, masukan cairan untuk
mengganti cairan yang hilang, masukan natrium untuk mengganti natrium yang
hilang dan pembatasan kalium (Smeltzer & Bare, 2015).
 Pembatasan protein Pembatasan protein tidak hanya mengurangi
kadar BUN, tetapi juga mengurangi asupan kalium dan fosfat, serta
mengurangi produksi ion hydrogen yang berasal dari protein. Protein
yang diperbolehkan harus mengandung nilai biologis yang tinggi
(produk susu, keju, telur, daging)
 Diet rendah kalium Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada
gagal ginjal lanjut. Asupan kalium dikurangi. Diet yang dianjurkan
adalah 40-80 mEq/hari. Penggunanaan makanan dan obat-obatan yang
tinggi kadar kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia.
 Diet rendah natrium Diet natrium yang dianjurkan adalah 40-90
mEq/hari (1-2 g Na). Asupan natrium yang terlalu longgar dapat
mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi
dan gagal jantung kongestif.
 Pengaturan cairan Cairan yang diminimum penderita gagal ginjal
tahap lanjut harus di awasi dengan seksama. Parameter yang terdapat
untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat
dengan tepat adalah pengukuran Berat badan harian. Aturan yang
dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah Jumlah
urine yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL).
Misalnya : Jika jumlah urin yang dikeluarkan dalam waktu 24 jam
adalah 400 ml, maka asupan cairan total dalam sehari adalah 400 +
500 ml = 900 ml.

2) Pencegahan dan pengobatan komplikasi

 Hipertensi Hipertensi dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan


cairan. Pemberian obat antihipertensi seperti metildopa (aldomet),
propranolol, klonidin. Apabila penderita sedang mengalami terapi
hemodialisa, pemberian antihipertensi dihentikan karena dapat
mengakibatkan hipotensi dan syok yang diakibatkan oleh keluarnya
cairan intravaskuler melalui ultrafiltrasi. Pemberian diuretik seperti
furosemid (Lasix).
 Hiperkalemia Hiperkalemia merupakan komplikasi yang paling serius,
karena bila K+ serum mencapai sekitar 7 mEq/L, dapat
mengakibatkan aritmia dan juga henti jantung. Hiperkalemia dapat
diobati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena, yang akan
memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan pemberian kalsium
glukonat 10%.
 Anemia Anemia pada pasien CKD diakibatkan penurunan sekresi
eritropoeitin oleh ginjal. Pengobatannya adalah pemberian hormon
eritropoeitin selain dengan pemberian vitamin dan asam folat, besi dan
tranfusi darah.
 Asidosis Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO3 -
plasma dibawah angka 15 mEq/L. Bila asidosis beratakan dikoreksi
dengan pemberian Na HCO3 - (Natrium Bikarbonat) parenteral.
Koreksi pH darah yang berlebihan dapat mempercepat timbulnya
tetani, maka harus dimonitor dengan seksama.
 Diet rendah fosfat Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang
dapat mengikat fosfat didalam usus. Gel yang dapat mengikat fosfat
harus dimakan bersama makanan.
 Pengobatan hiperurisemia Obat pilihan untuk mengobati
hiperurisemia pada penyakit ginjal lanjut adalah pemberian alopurinol.
Obat ini menggurangi kadar asam urat dengan menghambat
biosintesis sebagian asam urat total yang dihasilkan tubuh.

b. Dialisis dan transplatansi

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit CKD stadium 5, yaitu


pada LGR kurang dari 15ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa
dialisis atau transplantasi ginjal (Sudoyo, dkk. 2011). Dialisis dapat digunakan
untuk mempertahankan penderita dalam keadaan klinis yang optimal sampai
tersedia donor ginjal (Suharyanto & Madjid, 2013). Menurut Smeltzer dan
Bare (2015) Penatalaksanaan keperawatan pada pasien CKD yaitu :

 Mengkaji status cairan dan mengidentifikasi sumber potensi


ketidakseimbangan cairan pada pasien.
 Menetap program diet untuk menjamin asupan nutrisi yang
memadai dan sesuai dengan batasan regimen terapi.
 Mendukung perasan positif dengan mendorong pasien untuk
meningkatkan kemampuan perawatan diri dan lebih mandiri.
 Memberikan penjelasan dan informasi kepada pasien dan keluarga
terkait penyakit CKD, termasuk pilihan pengobatan dan
kemungkinan komplikasi.
 Memberi dukungan emosional.
Penatalaksanaan dialisis yang sering digunakan oleh pasien
CKD stase V adalah hemodialisis. Hemodialisis selain memberikan
efek terapeutik, dapat menimbulkan berbagai komplikasi salah
satunya yaitu kram otot. Kram otot adalah keadaan otot mengalami
kontraksi tidak sadar secara berlebihan karena ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit yang dapat menimbulkan rasa sakit
(Ulianingrum & Purdani, 2017).
Kram otot yang terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa
disebut sebagai kram intradialisis (Ulianingrum & Purdani, 2017).
Penyebab kram intradialisis tidak diketahui dengan pasti, namun
terdapat beberapa faktor resiko diantaranya rendahnya volume
darah akibat penarikan cairan dalam jumlah banyak selama dialisis,
perubahan osmolaritas, ultrafiltrasi tinggi dan perubahan
keseimbangan kalium dan kalsium intra atau ekstrasel
(Ulianingrum & Purdani, 2017). Kram dapat diatasi secara
farmakologi yaitu dengan pemberian terapi kina sulfat sebelum
hemodialisis berlangsung (Nurfitriani, dkk. 2020).
Terapi kina sulfat memiliki efek toksisitas pada hematologi,
ginjal, neurologis, jantung serta sistem endokrin jika digunakan
dalam jangka waktu panjang (Ulu & Ahsen, 2015). Tindakan
nonfarmakologi menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi
kram yaitu dengan dilakukan masase intradialisis (Nurfitriani, dkk.
2020). Masase intradialisis terbukti efektif dalam mengatasi
penurunan nyeri kram otot pada pasien hemodialisis (Nurfitriani,
dkk. 2020).

1.10 Konsep Keperawatan

1.10.1 Pengkajian

a. Identitas pasien Meliputi nama lengkat, tempat tinggal,


umur, tempat lahir, asal suku bangsa, nama orang tua, pekerjaan
orang tua.
b. Keluhan utama Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram
otot, gangguan istirahat dan tidur, takikardi/takipnea pada
waktu melakukan aktivitas dan koma.
c. Riwayat kesehatan pasien dan pengobatan sebelumnya Berapa
lama pasien sakit, bagaimana penanganannya, mendapat
terapi apa, bagaimana cara minum obatnya apakan teratur
atau tidak, apasaja yang dilakukan pasien untuk
menaggulangi penyakitnya.
d. Aktifitas/istirahat : Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise,
gangguan tidur (insomnia/gelisah atau samnolen), kelemahan
otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak
e. Sirkulasi Adanya riwayat hipertensi lama atau berat,
palpatasi, nyeri dada (angina), hipertensi, nadi kuat, edema
jaringan umum dan pitting pada kaki, telapak tangan, nadi lemah,
hipotensi ortostatik menunjukkan hipovolemia, yang jarang pada
penyakit tahap akhir, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning,
kecenderungan perdarahan.
f. Integritas ego Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada
harapan, tak ada kekuatan, menolak, ansietas, takut, marah,
mudah terangsang, perubahan kepribadian.
g. Eliminasi Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (pada gagal
ginjal tahap lanjut), abdomen kembung, diare, atau
konstipasi, perubahan warna urine, contoh kuning pekat,
merah, coklat, oliguria.
h. Makanan/Cairan Peningkatan berat badan cepat (oedema),
penurunan berat badan (malnutrisi), anoreksia, nyeriulu hati,
mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut
(pernapasan ammonia), penggunaan diuretic, distensi
abdomen/asietes, pembesaran hati (tahap akhir), perubahan
turgor kulit/kelembaban, ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah
i. Neurosensori Sakit kepala, penglihatan kabur, kram
otot/kejang, syndrome “kaki gelisah”, rasa terbakar pada telapak
kaki, kesemutan dan kelemahan, khususnya ekstremitas
bawah, gangguan status mental, contoh penurunan lapang
perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori,
kacau, penurunan tingkat kesadaran, stupor, kejang, fasikulasi
otot, aktivitas kejang, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis
j. Nyeri/kenyamanan Nyeri panggul, sakit kepala, kram
otot/nyeri kaki dan perilaku berhatihati/distraksi, gelisah.
k. Pernapasan Napas pendek, dyspnea, batuk dengan/tanpa sputum
kental dan banyak, takipnea, dyspnea, peningkatan
frekuensi/kedalaman dan batuk dengan sputum encer (edema
paru).
l. Keamanan Kulit gatal, ada/berulangnya infeksi, pruritus,
demam (sepsis, dehidrasi), normotermia dapat secara actual
terjadi peningkatan pada pasien yang mengalami suhu tubuh
lebih rendah dari normal, petekie, area ekimosis pada kulit,
fraktur tulang, keterbatasan gerak sendi
m. Seksualitas Penurunan libido, amenorea, infertilitas
n. Interaksi social Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak
mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran biasanya dalam
keluarga
o. Penyuluhan/Pembelajaran Riwayat Diabetes Melitus (resiko
tinggi untuk gagal ginjal), penyakit polikistik, nefritis
herediter, kalkulus urenaria, maliganansi, riwayat terpejan
pada toksin, contoh obat, racun lingkungan, penggunaan
antibiotic nefrotoksik saat ini/berulang

1.10.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan ditegakkan atas dasar data pasien. Kemungkinan


diagnose keperawatan dari orang dengan kegagalan ginjal kronis adalah
sebagai berikut (Brunner&Sudart, 2013 dan SDKI, 2016):
a. Hipervolemia
b. Defisit nutrisi
c. Nausea
d. Gangguan integritas kulit/jaringan
e. Gangguan pertukaran gas
f. Intoleransi aktivitas
g. Resiko penurunan curah jantung
h. Perfusi perifer tidak efektif
i. Nyeri akut
1.10.3 Perencanaan

Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI


1 Hipervolemia Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 8 jam maka
Manajemen Hipervolemia I.03114
hypervolemia teratasi dengan kriteria hasil : Observasi :
Keseimbangan cairan L.03020 1. Periksa tanda dan gejala hypervolemia
1. Asupan cairan meningkat (edema, dispnea, suara napas tambahan)
2. Haluaran urin meningkat 2. Monitor intake dan output cairan
3. Edema menurun 3. Monitor jumlah dan warna urin
4. Tekanan darah membaik Terapeutik :
5. Turgor kulit membaik 1. Batasi asupan cairan dan garam
2. Tinggikan kepala tempat tidur
Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasai pemberian diuretic
2. Kolaborasi penggantian kehilangan
kalium akibat deuretik
3. Kolaborasi pemberian
continuous renal replacement
therapy (CRRT), jika perlu
2 Defisit nutrisi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8 jam diharapkan
Manajemen Nutrisi I.03119
pemenuhan kebutuhan nutrisi pasien tercukupi dengan Observasi :
kriteria hasil : 1. Identifikasi status nutrisi
Status nutrisi L.03030 2. Identifikasi makanan yang disukai
3. Monitor asupan makanan
1. Intake nutrisi tercukupi 4. Monitor berat badan
2. Asupan makanan dan cairan tercukupi Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
2. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
3. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
jenis nutrisi yang dibutuhkan, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
3 Nausea Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8 jam maka
Manajemen
nausea Mual I.03117
membaik dengan kriteria hasil: Observasi :
Tingkat Nausea L.08065 1. Identifikasi pengalaman mual
1. Nafsu makan membaik 2. Monitor mual (mis. Frekuensi, durasi,
2. Keluhan mual menurun dan tingkat keparahan)
3. Pucat membaik Terapeutik
4. Takikardia membaik (60-100 kali/menit) 1. Kendalikan factor lingkungan penyebab
(mis. Bau tak sedap, suara, dan rangsangan visual yang
tidak menyenangkan)
2. Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab mual (mis.
Kecemasan, ketakutan, kelelahan)
Edukasi
1. Anjurkan istirahat dan tidur cukup
2. Anjurkan sering membersihkan mulut,
kecuali jika merangsang mual
3. Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengatasi mual
(mis. Relaksasi, terapi musik, akupresur)
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antiemetik, jika perlu
4 Gangguan integritas kulit Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8 jam diharapkan
Perawatan integritas kulit I.11353
/jaringan
integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil : Obsevasi
Integritas kulit L.14125 Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis.
1. Integritas kulit yang baik bias dipertahankan sirkulasi, perubahan status nutrisi)
2. Perfusi jaringan baik Terapeutik
3. Mampu melindungi kulit dan 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
mempertahankan kelembaban kulit 2. Lakukan pemijataan pada area tulang, jika perlu
3. Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering
4. Bersihkan perineal dengan air hangat
Edukasi
1. Anjurkan menggunakan pelembab
(mis. Lotion atau serum)
2. Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya
3. Anjurkan minum air yang cukup
4. Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
5 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8 jam diharapkan
Pemantauan respirasi I.01014
pertukaran gas tidak terganggu dengan kriteria hasil : Observasi
Pertukaran gas L.001003 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
2. Monitor pola napas
1. Tanda-tanda vital dalam rentang normal 3. Monitor saturasi oksigen
2. Tidak terdapat otot bantu napas 4. Auskultasi bunyi napas
3. Memlihara kebersihan paru dan bebas Terapeutik
dari tanda-tanda distress pernapasan 1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
2. Bersihkan secret pada mulut dan hidung, jika perlu
3. Berikan oksigen tambahan, jika perlu
4. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan
Kolaborasi
Kolaborasi penentuan dosis oksigen
6 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8 Manajemen Energi I.05178
jam toleransi aktivitas meningkat dengan kriteria hasil : Observasi
Toleransi Aktivitas L.05047 1. Monitor kelelahan fisik
1. Keluhan lelah menurun 2. Monitor pola dan jam tidur
2. Saturasi oksigen dalam rentang normal (95%-100%) Terapeutik
3. Frekuensi nadi dalam rentang normal 1. Lakukan latihan rentang gerak pasif/aktif
(60-100 kali/menit) 2. Libatkan keluarga dalam melakukan aktivitas, jika perlu
4. Dispnea saat beraktifitas dan setelah Edukasi
beraktifitas menurun (16-20 kali/menit) 1. Anjurkan melakukan aktifitas secara bertahap
2. Anjurkan keluarga untuk memberikan penguatan positif
Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan
7 Resiko penurunan curah Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x8 jam diharapkan
Perawatan Jantung I.02075
jantung
penurunan curah jantung meningkat dengan kriteria hasil : Observasi :
Curah jantung L.02008 1. Identifikasi tanda dan gejala primer
1. Kekuatan nadi perifer meningkat penurunan curah jantung (mis. Dispnea, kelelahan)
2. Tekanan darah membaik 100-130/60-90 mmHg 2. Monitor tekanan darah
3. Lelah menurun 3. Monitor saturasi oksigen
4. Dispnea menurun dengan frekuensi 16-24 x/menit Terapeutik :
1. Posisikan semi-fowler atau fowler
2. Berikan terapi oksigen
Edukasi
1. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam
2. Anjurkan beraktifitas fisik sesuai toleransi
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
8 Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3x8 jam Perawatan sirkulasi I.02079
efektif
maka perfusi perifer meningkat dengan kriteria hasil: Observasi
Perfusi perifer L.02011 1. Periksa sirkulasi perifer (mis. Nadi perifer, edema,
1. Denyut nadi perifer meningkat kapiler, warna, suhu)
2. Warna kulit pucat menurun 2. Monitor perubahan kulit
3. Kelemahan otot menurun 3. Monitor panas, kemerahan, nyeri atau bengkak
4. Pengisian kapiler membaik 4. Identifikasi factor risiko gangguan sirkulasi
5. Akral membaik Terapeutik
6. Turgor kulit membaik 1. Hindari pemasangan infus atau pengambilan
darah di area keterbatasan perfusi
2. Hindari pengukuran tekanan darah pada
ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
3. Lakukan pencegahan infeksi
4. Lakukan perawatan kaki dan kuku
Edukasi
1. Anjurkan berhenti merokok
2. Anjurkan berolahraga rutin
3. Anjurkan mengecek air mandi untun menghindari
kulit terbakar
4. Anjurkan meminum obat pengontrol tekanan
darah secara teratur
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu
9 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8 jam Manajemen Nyeri I.08238
maka tautan nyeri meningkat dengan kriteria hasil : Observasi
kontrol nyeri L.08063 1. Identifikasi factor pencetus dan pereda nyeri
1. Melaporkan nyeri terkontrol meningkat 2. Monitor kualitas nyeri
2. Kemampuan mengenali onset nyeri meningkat 3. Monitor lokasi dan penyebaran nyeri
3. Kemampuan menggunakan teknik nonfarmakologis 4. Monitor intensitas nyeri dengan menggunakan skala
meningkat 5. Monitor durasi dan frekuensi nyeri
4. Keluhan nyeri penggunaan analgesic menurun Teraupetik
5. Meringis menurun 1. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
6. Frekuensi nadi membaik mengurangi rasa nyeri
7. Pola nafas membaik 2. Fasilitasi istirahat dan tidur
8. Tekanan darah membaik Edukasi
1. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
2. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat analgetik
DAFTAR PUSTAKA

Aisara, S., Azmi, S., & Yanni, M. (2018). Gambaran Klinis Penderita Penyakit
Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(1), 42.
https://doi.org/10.25077/jka.v7i1.778

America Kidney Fund. (2021). Kidney Disease Statistic. AKF: America. Dalam
http://www.kidneyfund.org/assets/pdf/kidney-disease-statistics.pdf.

Andi Eka Pranata, Eko Prabowo, S.Kep,M.Kes. (2014). Asuhan Keperawatan


Sistem Perkemihan Edisi 1 Buku Ajar, Nuha Medika : Yogyakarta

Andra, S. W., & Yessie, M. P. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah


Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha
Medika.

Martin, K. J., & González, E. A. (2017). Metabolic bone disease in chronic kidney
disease. Journal of the American Society of Nephrology, 18(3), 875–885.
https://doi.org/10.1681/ASN.2006070771

Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi


Asuhan Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : Salemba medika.

Rendy dan Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit
Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: Dewan
PengurusPPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta:
Dewan Pengurus PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: Dewan
Pengurus PPNI.

Webster, A. C., Nagler, E. V., Morton, R. L., & Masson, P. (2017). Chronic
Kidney Disease. The Lancet, 389(10075), 1238–1252.
https://doi.org/10.1016/S0140- 6736(16)32064-5.

Anda mungkin juga menyukai