Anda di halaman 1dari 10

A.

Tinjauan Teori Kasus


1. Definisi
Gagal Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah keadaan
kerusakan ginjal dimana ginjal mengalami kehilangan fungsi yang progresif dan
irreversible. Penyakit Ginjal Kronis merupakan penyakit ginjal dimana terdapat
penurunan fungsi ginjal yang selama periode bulanan hingga tahunan yang ditandai
dengan penurunan glomerulus filtration rate (GFR) secara perlahan dalam periode
yang lama.
Penyakit Ginjal Kronis ini merupakan masalah kesehatan global dengan
prevelens dan insidensi gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan biaya
yang tinggi. Prevelensi Penyakit Gagal Ginjal meningkat seiring meningkatnya
jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi.
Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami Penyakit Gagal Ginjal pada stadium
tertentu.
2. Etiologi
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas
penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan displidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sclerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubointerstitial.
Diabetes Melitus dan Hipertensi adalah penyebab utama Penyakit Ginjal Kronis
(PGK) di banyak negara berkembang, tetapi glomerulonefrtis dan penyebab lain yang
tidak diketahui lebih umum di negara-negara Asia dan Sub-Sahara Afrika.
Pencemaran lingkungan, pestisida, penyalahgunaan analgesic, pengobatan herbal, dan
penggunaan bahan aditif makanan yang tidak diatur kadarnya juga berkontribusi pada
bebam penyakit ginjal kronis di negara berkembang. Penyebab lainnya dapat berupa
idiopatik. Namun penyebab-penyebab dari penyakit ginjal kronis dapat
diklasifikasikan berdasarkan anatomi ginjal yang terlibat.
a. Penyakit vascular, yang melibatkan pembuluh darah besar seperti bilateral artery
stenosis, dan pembuluh darah kecil seperti nefropati iskemik, hemolytic-uremic
syndrome, dan vasculitis.
b. Kelainan pada glomerulus yang dapat berupa:
1) Penyakit glomerulus primer seperti nefritis dan focal segmental
glomerulosclerosis.
2) Penyakit glomerulus sekunder seperti nefropati diabetic dan lupus nefritic.
c. Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik.
d. Nefropati obstruktif yang dapat berupa batu ginjal bilateral dan hyperplasia
prostate.
e. Infeksi parasite (yang sering berupa enterobiasis) dapat menginfeksi ginjal dan
menyebabkan nefropati.
3. Tanda dan Gejala
Penyakit ginjal kronis biasanya diidentifikasi melalui skrining rutin dengan serum
profil kimia dan Analisa pada urine atau sebagai temuan insidential. Pasien juga dapat
memiliki gejala seperti gross hematuria, “urine berbusa” tanda albuminuria, nocturia,
nyeri pinggang, atau penurunan produksi urine. Jika PGK sudah lanjut, pasien dapat
melaporkan kelelahan, nafsu makan yang buruk, mual, muntah, rasa logam,
penurunan berat badan yang tidak disengaja, pruritus, perubahan status mental,
dispnea, atau edema perifer.
Penyakit ginjal stadium awal secara umum tidak terdapat gejala yang khas,
namun penyakit ginjal kronis stadium awal banyak dapat dideteksi dengan
peningkatan serum kreatinin dan proteinuria. Namun jika fungsi ginjal terus-menerus
mengalami penurunan akan menimbulkan gejala-gejala sebagai berikut:
a. Peningkatan tekanan darah akibat kelebihan cairan dan produksi dari hormone
vasoaktif yang diekskresikan oleh ginjal melalui sistem Renin-Angiostenin-
Aldosterone-System (RAAS), menyebabkan anemia, eritroprotein diproduksi di
jaringan interstitial ginjal, dalam penyakit ginnjal kronis, jaringan ini mengalami
nekrosis sehingga produksi eritroprotein berkurang.
b. Overload volume cairan yang disebabkan oleh retensi natrium dan cairan pada
ginjal sehingga dapat menyebabkan edema ringan hingga edema yang
mengancam nyawa misalnya pada edema paru.
c. Hyperphosphatemia yang disebabkan oleh berkurangnya ekskresi phosphate oleh
ginjal. Hiperphospatemia meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, dimana
phosphate merupakan stimulus dari klasifikasi vascular.
d. Hipoklasemia yang disebabkan oleh stimulasi pembentukan FGF-23 oleh osteosit
bersamaan dengan penurunan masa ginjal. FGF-23 merupakan inhibitor dari
enzim pembentukan vitamin D yang secara kronis akan menyebabkan hipertopi
kelenjar paratiroid, kelainan tulang akibat penyakit ginjal, dan klasifikasi
vascular.
e. Asidosis metabolic yang disebabkan oleh penurunan kemampuan produksi
ammonia pada sel-sel ginjal.
f. Anemia difisiensi besi yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, peningkatan
inflamasi yang dibabkan oleh akumulasi urea, penurunan eritroprotein dan
penurunan fungsi sum-sum tulang belakang.
4. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronis pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertropi structural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin growth factor. Hal ini
mengakibatkan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Secara umum penyebab dari penyakit ginjal kronis adalah penurunan aliran darah
ke ginjal yang umunya disebabkan oleh hipertensi dan kerusakan sel meangial oleh
diabetes melitus.
a. Hipertensi
Mekanisme kerusakan ginjal oleh hipertensi disebabkan oleh penebalan sel-sel
tunica intimia pada glomerulus ginjal, penebalan sel tunica intimia menyebabkan
megecilnya vascular yang berujung pada mengecilnya aliran pembuluh darah ke
bagian glomerulus menyebabkan aktifnya sistem Renin-Angiostenin-Aldosteron
yang menyebabkan kenaikan tekanan darah lebih lanjut sehingga terjadi
kerusakan ginjal yang permanen. Awalnya mekanisme aktifasi sistem Renin-
Angiostenin-Aldosteron dapat mengkompensasi kurangnya aliran darah ke ginjal,
namun seiring waktu akan menyebabkan nekrosis pada ginjal. Kerusakan
glomerulus ginjal dapat menyebabkan global sclerosis dimana terjadi kerusakan
yang permanen dari glomerulus atau fokal segmental necrosis yang merupakan
sistem kompensas ginjal dimana terjadi pembesaran glomerulus pada suatu area
karena nefron pada area lain pada ginjal. Secara kronik perubahan-perubahan pada
glomerulus ginjal akan menyebabkan kematian nefron yang akan menyebabkan
penurunan GFR secara perlahan.
b. Diabetes Melitus
Patofisiologis penyakit ginjal kronis untuk diabetes melitus melibatkan
hiperglikemia yang memicu pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan
Advanced Glycosylation End Products (AGE). Pembentukan AGE dan ROS
menyebabkan terjadi stress oxidatif pada jaringan nefron ginjal. Peningkatan
stress oxidative pada nefron ginjal menyebabkan kenaikan permeabilitas ginjal
lalu terjadinya proteinuria, efek lain kenaikan permeabilitass glomerulus juga
mengaktifkan sistem RAAS yang menyebabkan kenaikan tekanan darah dan lebih
jauh meningkatkan permeabilitas ginjal dan memperparah kerusakan ginjal.
Mekanisme lain dari kerusakan ginjal dimana AGE dan ROS menstrimulasi
pembentukan growth factor, growth factor yang terbentuk berupa TGF, VEGF,
dan PDGF. Pembentukan growth factor tersebut dapat menyebabkan terjadinya
fibrosis pada ginjal dan menurunkan GFR.
5. Komplikasi
a. Sindrom Uremia: Sindrom ini disebabkan oleh akumulasi urea dalam darah.
Akumulasi ini disebabkan oleh berkurangnya kemampuan ginjal untuk
mengekskresikan urea sehingga urea diabsorbsi kembali ke peredaran darah dan
terakumulasi di darah. Penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan oleh uremia
antara lain:
1) Sistem saraf pusat: Kelelahan, gangguan memori, insomnia, nyeri kepala,
kebingungan, ensefalopati (infeksi pada sistem saraf pusat)
2) Sistem saraf perifer: Keram dan neuropati perifer
3) Gastrointestinal: Anoreksia, mual, muntah, gastoparesis, ulkus
gastrointestinal.
4) Kardiovakular: Hipertensi, atherosclerosis, penyakit arteri coroner,
pericarditis, edema pulmonal.
5) Kulit: Gatal-gatal, kulit kering, urine frost (sekresi urea berlebihan melalui
kelenjar keringat).
6) Nutrisi: Malnutrisi, berat badan menurun, dan katabolisme otot.
b. Hypoalbuminemia: Hipoalbumin pada darah disebabkan oleh ekskresi albumin
yang berlebihan oleh ginjal yang ditandai dengan proteinuria pada urinalisis.
Secara umum gejala albuminuria ditandai dengan edema pada wajah atau tungkai,
dapat terjadi juga edema yang menngancam nyawa misalnya seperti edema paru.
c. Gagal Jantung Kongestif: Pentakit ini juga disebut “high-output heart failure”.
Penyakit ini pada penyakit ginjal kronis disebabkan oleh tingginya volume darah
akibat retensi cairan dan natrium pada ginjal. Peningkatan volume darah
menyebabkan jantung tidak dapat memompa secara adekuat dan menyebabkan
gagal jantung.
d. Anemia: Anemia pada penyakit ginjal kronis secara umunya disebabkan oleh
penurunan produksi eritroprotein dalam ginjal dimana eritroprotein berfungsu
sevagai hormon untuk maturase sel darah merah.
e. CKD-MBD (Chronic Kidney Disease-Mineral Bone Disorder): merupakan
kelainan tulang yang disebabkan oleh penyakit ginjal kronis yang disebabkan
oleh beberapa hal:
1) Kelainan pada mineral seperti kalsium, fosfat, dan kelainan pada hormone
paratiroid serta vitamin D
2) Kelainan pada tulang
3) Klasifikasi sel-sel vaskular.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronis menurut Doengoes (2000) dalam
penelitian Kardiyudiani & Susianti (2019) adalah sebagai berikut:
a. Urine: Volume, biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak
ada (anuria). Warna secara abnormal urine keruh disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, partikel koloid, fosfat atau urat. Berat jenis urine: kurang dari 1,015,
kreatinin menurun. Protein: derajat tinggi proteinuria, terdapat oedema 3-4+,
secara kuat menunjukkan kerusakan glomerulus.
b. Darah: BUN dan serum kreatinin digunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal
dan menilai perkembangan kerusakan ginjal. Nilai BUN 20-50 mg/dl
menandakan azotemia ringan; level lebih besar dari 100 mg/dl mengindikasikan
kerusakan ginjal berat; level BUN berkisar ≥200 mg/dl menjadi gejala uremia.
Nilai serum kreatinin ≥ 4 mg/dl mengindikasi bahwa terjadi kerusakan ginjal
serius (Najikhah dan Warsono, 2020).
c. Pemeriksaan Radiologi: Pemeriksaan penunjang radiologis yang umumnya
dilakukan pada pasien gagal ginjal kronis ialah pemeriksaan ultrasonografi
(USG). Ultrasonografi saat ini digunakan untuk memperoleh informasi tentang
parenkim, sistem collecting dan pembuluh darah ginjal. Pemeriksaan USG pada
ginjal untuk mengetahui adanya pembesaran ginjal, kristal, batu ginjal, dan
mengkaji aliran urin dalam ginjal.
7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Price dan Watson (2015) dalam penelitian Siregar (2020) menyatakan
penatalaksanaan pada pasien penyakit ginjal kronis tergantung pada stadium yang
dialaminya, dengan tujuan untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostatisnya
penatalaksanaan PGK dibagi menjadi 2 tahapan.
Tahap pertama adalah untuk mencegah progresivitas penyakit ginjal kronis bisa
dilakukan dengan cara, antara lain pengaturan diit (protein, fosfat, kalium, dan
glukosa), penyesuaian dosis obat yang diberikan dan juga pemberian edukasi. Tahap
selanjutnya dilakukan ketika tahapan pengobatan yang pertama sudah tidak mampu
untuk mengatasinya berupa terapi pengganti ginjal. Pasien telah mengalami penyakit
stadium akhir biasanya ditandai dengan uremia, pada stadium ini harus dilakukan
terapi pengganti ginjal. Teradapat dua terapi pengganti ginjal yang pertama adalah
dyalisis (hemodialisis dan peritoneal dialysis) dan yang kedua adalah transplantasi
ginjal.
Dialisa adalah suatu proses solute air mengalami difusi atau perbaruan secara
pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen
lainnya. Hemodialisa adalah pergerakan atau pemindahan larutan dan air dari darah
melewati membran dializer ke dalam dialisat. Pemindahan ini dilakukan melalui
ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik mengakibatkan aliran yang besar dari air
plasma melalui membran. Hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam
pengobatan gagal ginjal kronis di Amerika Serikat. Hemodialisa memerlukan sebuah
mesin dialisa dan filter khusus yang disebut dializer atau suatu membrane
semipermiabel yang digunakan untuk membersihkan darah lalu dikeluarkan dari
tubuh dan beredar dalam sebuah mesin di luar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan
masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena
yang disebut Fistula Arterivenosa melalui pembedahan (Nuari dan Widayanti, 2017).
B. Tinjauan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata
b. Keluhan Utama
Keluhan utama biasanya sangat bervariasi. Keluhan bisa berupa urine output yang
menurun (oliguria) sampai pada anuria, penurunan kesadaran karena komplikasi
pada sistem sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual, muntah, dan napas berbau urea.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Gagal ginjal kronik dimulai dengan periode gagal ginjal akut dengan berbagai
penyebab. Oleh karena itu, informasi penyakit infeksi saluran kemih, payah
jantung, penggunaan obat berlebihan khususnya obat yang bersifat nefrotoksik.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular dan menurun, sehingga silsilah
keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini.
f. Keadaan Umum dan TTV
Kondisi pasien dengan gagal ginjal kronis biasanya lemah, tingkat kesadaran
bergantung pada tingkat toksinitas. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital sering
didapatkan respiration rate meningkat, hipertensi/hipotensi sesuai dengan konsis
fluktuatif.
g. Sistem Pernapasan
Pola napas semakin cepat dan dalam sebagai bentuk kompensasi tubuh
mempertahankan ventilasi.
h. Sistem Hematologi
Ditemukan adanya friction rub pada kondisi uremia berat. Selain itu, biasanya
terjadi tekanan darah meningkat, akral dingin, capirlarry reffil time ˃3 detik,
palpitasi jantung, nyeri dada, dyspnea, gangguan irama jantung dan gangguan
sirkulasi lainnya.
i. Sistem Perkemihan
Dengan gangguan atau kegagalan fungsi ginjal secara komples (filtrasi, sekresi,
reabsorbsi, dan sekresi), maka manifestasi yang paling menonjol adalah
penurunan urine output ˂400 ml/hari bahkan sampai pada anuria (tidak adanya
urine output).
j. Sistem Pencernaan
Gangguan sistem pencernaan lebih dikarenakan efek dari penyakit. Sering
ditemukan anoreksia, nausea, vomit, dan diare.
2. Diagnosa Keperawatan
Hypervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi dibuktikan
dengan dyspnea, oliguria, oedema perifer, berat badan meningkat, terdengar suara
napas tambahan, kadar haemoglobin dan hematokrit turun, dan kongesti paru (PPNI,
2017).
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Hipervolemia Setelah melakukan tindakan Observasi
keperawatan selama 3 x 24 jam o Periksa tanda dan gejala
diharapkan keseimbangan cairan hypervolemia
pasien meningkat dengan kriteria o Identifikasi penyebab
hasil: hypervolemia
 Asupan cairan pasien o Monitor status hemodinamik
meningkat o Monitor intake dan output
 Haluaran urine pasien cairan
meningkat o Monitor tanda
 Kelembaban membrane hemokonsentrasi
mukosa pasien meningkat o Monitor tanda peningkatan
 Edema pasien menurun tekanan onkotik plasma
 Dehidrasi pasien menurun o Monitor kecepatan infus
 Tekanan darah pasien secara ketat
membaik o Monitor efek samping diuretic
 Denyut nadi radial pasien Terapeutik
membaik o Timbang berat badan setiap
 Turgor kulit pasien membaik hari pada waktu yang sama
o Batasi asupan cairan dan
garam
o Tinggikan kepala tempat tidur
30-40o
Edukasi
o Anjurkan melapor jika
haluaran urine kurang dari 0,5
ml/kg/jam dalam 6 jam
o Anjurkan melapor jika BB
bertambah lebih dari 1 kg
dalam sehari
o Anjurkan cara mengukur dan
mencatat asupan dan haluaran
cairan
o Ajarkan cara membatasi
cairan
Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian diuretic
o Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat
diuretic
o Kolaborasi pemberian
continuous renal replacement
therapy (CCRT), jika perlu.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan, yang dihadapi ke
status kesehatan yang baik dan menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Proses
pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor lain
yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan
kegiatan komunikasi.
5. Evaluasi Keperawatan
Dokumentasi evaluasi keperawatan adalah membandingkan secara sistematik dan
terencana, tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan dengan
kenyataan yang ada pada pasien. Hal ini dilakukan dengan cara berkesinambungan
dengan melibatkan pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi keperawatan
merupakan tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan yang berguna, apakah
tujuan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau perlu pendekatan
lain.
C. Daftar Pustaka
Upik Rahmi, S.Kep., M.Kep..2019. Dokumentasi Keperawatan, Cet.1. Jakarta Timur:
Bumi Medika
PPNI.2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1.Jakarta: DPP PPNI.
PPNI.2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1.Jakarta: DPP PPNI.
PPNI.2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawtan, Edisi 1.Jakarta: DPP PPNI.
Bejo Danang Saputra et.al.2020.Karakteristik Pasien Chronic Kidney Disease (CKD)
Yang Menjalani Program Hemodialisis Rutin Di RSI Fatimah Cilacap.
Artikel kesehatan Vo. 1 No. 1 (2020).
Vika kyneissia Gliselda.2021.Diagnosis dan Manajemen Penyakit Ginjal Kronis
(PGK). Jurnal Medika Hutama Vol. 2 No. 04, Juli 2021.

Anda mungkin juga menyukai