Anda di halaman 1dari 16

Gagal Ginjal Kronik

Nama : Nurhikma Masturatul Islami


Nim : 70100117024
DEFENISI
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif
yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang
beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi
ginjal. Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan
fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah).
Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi menjadi tiga
Stadium, yaitu :

a. Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal


Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan penderita asimptomatik.
Gangguan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dengan tes pemekatan kemih dan tes GFR yang
teliti.
b. Stadium II, dinamakan insufisiensi ginjal
Pada stadium ini dimana lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. GFR
besarnya 25 % dari normal. Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat dari normal.
Gejala-gejala nokturia atau pengaturan berkemih di malam hari sampai 700 ml dan poliuria
(akibat dari kegagalan pemekatan) mulai timbul.
c. Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia
Sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya sekitar 200.000
nefron saja yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10 % dari keadaan normal. Kreatinin serum dan
BUN akan meningkat dengan mencolok. Gejala-gejala yang timbul karena ginjal tidak sanggup
lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh, yaitu : oliguri karena
kegagalan glomerulus, sindrom uremik.
PATOFISIOLOGI
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan
penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang
sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal
ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil
alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkat kecepatan filtrasi,
reabsorpsi, dan sekresinya serta mengalami hipertrofi. Seiring dengan makin
banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi tugas yang
semkain berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati.
Sebagaian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada
nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Seiring dengan
penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran
darah ginjal mungkin berkurang.
PATOFISIOLO
GIMeskipun penyakit ginjal terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus
diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah berubah, kendati jumlah
nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara progresif. Dua adaptasi
penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja
ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron
meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal. Mekanisme
adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi
ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi
dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus
(keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus tidak dapat lagi dipertahankan.
Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit
perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR (yang
berarti maikn sedikit nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per nefron. Hilangnya
kemampuan memekatkan atau mengencerkan urine menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285
mOsm (yaitu sama dengan plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.
MANIFESTASI KLINIS
a. Gastrointestinal : Ulserasi saluran pencernaan dan perdarahan.
b. Kardiovaskuler : Hipertensi, perubahan EKG, perikarditis, efusi pericardium,
tamponade perikardium.
c. Respirasi : Edema paru, efusi pleura, pleuritis.
d. Neuromuskular : Lemah, gangguan tidur, sakit kepala, letargi, gangguan muskular,
neuropati perifer, bingung dan koma.
e. Metabolik/ endokrin : Inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan hormon seks menyebabkan
penurunan libido, impoten dan ammenore.
f. Dermatologi : Pucat, hiperpigmentasi, pluritis, eksimosis, uremia frost.
g. Abnormal skeletal : Osteodistrofi ginjal menyebabkan osteomalaisia.
h. Cairan-elektrolit : Gangguan asam basa menyebabkan kehilangan sodium sehingga terjadi
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipermagnesemia, hipokelemia.
i. Hematologi : Anemia, defek kualitas flatelat, perdarahan meningkat.
j. Fungsi psikososial : Perubahan kepribadian dan perilaku serta gangguan proses kognitif
ETIOLO
GI1.Penyakit infeksi tubulointerstitial : Pielonefritis kronik atau refluks nefropati
Pielonefritis kronik adalah infeksi pada ginjal itu sendiri, dapat terjadi akibat infeksi
berulang, dan biasanya dijumpai pada penderita batu. Gejala–gejala umum seperti demam,
menggigil, nyeri pinggang, dan disuria. Atau memperlihatkan gambaran mirip dengan
pielonefritis akut, tetapi juga menimbulkan hipertensi dan gagal ginjal.

2.Penyakit peradangan : Glomerulonefritis


Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak. Peradangan akut glomerulus
terjadi akibat peradangan komplek antigen dan antibodi di kapiler – kapiler glomerulus. Komplek biasanya
terbentuk 7 – 10 hari setelah infeksi faring atau kulit oleh Streptococcus (glomerulonefritis pascastreptococcus
) tetapi dapat timbul setelah infeksi lain.
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel – sel glomerulus. Kelainan ini dapat
terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik
sering timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus sub klinis yang disertai oleh hematuria
(darah dalam urin) dan proteinuria ( protein dalam urin ) ringan, yang sering menjadi penyebab adalah
diabetes mellitus dan hipertensi kronik. Hasil akhir dari peradangan adalah pembentukan jaringan parut dan
menurunnya fungsi glomerulus. Pada pengidap diabetes yang mengalami hipertensi ringan,
memiliki prognosis fungsi ginjal jangka panjang yang kurang baik.
3. Penyakit vaskuler hipertensif : Nefrosklerosis benigna,
Nefrosklerosis maligna, Stenosis arteria renalis
Nefrosklerosis Benigna merupakan istilah untuk menyatakan
berubah ginjal yang berkaitan dengan skerosis pada arteriol ginjal dan arteri kecil.
Nefrosklerosis Maligna suatu keadaan yang berhubungan dengan tekanan darah tinggi
(hipertensi maligna), dimana arteri-arteri yang terkecil (arteriola) di dalam ginjal mengalami
kerusakan dan dengan segera terjadi gagal ginjal.
Stenosis arteri renalis (RAS) adalah penyempitan dari satu atau kedua pembuluh darah
(arteri ginjal) yang membawa darah ke ginjal. Ginjal membantu untuk mengontrol tekanan darah.
Renalis menyempit menyulitkan ginjal untuk bekerja. RAS dapat menjadi lebih buruk dari waktu ke
waktu. Sering menyebabkan tekanan darah tinggi dan kerusakan ginjal.

4. Gangguan jaringan ikat : Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang
atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun.
5. Gangguan congenital dan herediter : Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal
6. Penyakit metabolic : Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
7. Nefropati toksik : Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah
8. Nefropati obstruktif : Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi, neoplasma, fibrosis, retroperitineal),
traktus urinarius bawah (hipertropi prostat, striktur uretra, anomaly congenital leher vesika urinaria
dan uretra).
KOMPLIKASI
1. Komplikasi hematologis
2. Penyakit fascular dan hipertensi
3. Dehidrasi
4. Kulit
5. Gastrointestinal
6. Endokrin
7. Naurologis dan psikiatrik
8. Imunologis
9. Lipid/hiperlipidemia
10. Penyakit Jantung
PENATALAKSANAAN
A. Terapi Farmakologi

1. Obat hipertensi, Tekanan darah tinggi dapat menurunkan fungsi ginjal dan mengubah
komposisi elektrolit dalam tubuh. Bagi penderita GGK yang juga disertai hipertensi, dokter
dapat memberikan obat ACE inhibitor atau ARB.

2. Suplemen untuk anemia, Untuk mengatasi anemia pada penderita GGK adalah suntikan
hormon eritropoietin yang terkadang ditambah suplemen besi.

3. Obat diuretik, Obat ini dapat mengurangi penumpukan cairan pada bagian tubuh, seperti
tungkai. Contoh obat ini adalah furosemide. Efek samping yang mungkin ditimbulkan adalah
dehidrasi serta penurunan kadar kalium dan natrium dalam darah.

4. Suplemen kalsium dan vitamin D, Kedua suplemen ini diberikan untuk mencegah kondisi
tulang yang melemah dan berisiko mengalami patah tulang.

5. Obat kortikosteroid, Obat ini diberikan untuk penderita GGK karena penyakit
glomerulonefritis atau peradangan unit penyaringan dalam ginjal.
PENATALAKSANAAN
B. Terapi Non Farmakologi

1. Menjalankan diet khusus, yaitu dengan mengurangi konsumsi garam, serta


membatasi asupan protein dan kalium dari makanan untuk meringankan kerja ginjal.
Makanan dengan kadar kalium tinggi, di antaranya adalah pisang, jeruk, kentang, bayam,
dan tomat. Sedangkan makanan dengan kadar kalium rendah, antara lain adalah apel, kol,
wortel, buncis, anggur, dan stroberi. Selain itu, batasi juga konsumsi minuman beralkohol.
2. Berolahraga secara teratur, setidaknya 150 menit dalam seminggu.
3. Menurunkan berat badan jika berat badan berlebih atau obesitas.
4. Tidak mengonsumsi obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) yang dapat
menyebabkan gangguan pada ginjal.
5. Menerima vaksinasi karena GGK membuat tubuh rentan terserang infeksi. Contohnya
adalah vaksinasi flu dan dan pneumonia.
6. Berkonsultasi dan senantiasa mengamati kondisi kesehatan dengan memeriksakan diri
ke dokter secara teratur.
CONTOH KASUS
Pasien laki-laki, usia 64 tahun, datang dengan keluhan badan lemah, lesu, mual, berkeringat dingin.
Badan lemah ini dirasakan sejak 2 hari terakhir disertai dengan mual, muntah, dan buang air besar (BAB)
mencret sebanyak 5 kali. Pasien juga mengeluhkan mudah merasa lelah dan tidak sanggup lagi beraktivitas
berat. Pasien mengaku mempunyai riwayat darah tinggi dan meminum obat-obat darah tinggi jika ada
keluhan saja, setelah keluhannya menghilang ia tidak meminumnya lagi. Pasien mengaku telah menjalani
hemodialisis rutin selama 1 tahun terakhir. Pasien menyangkal mempunyai kencing manis, muntah berdarah,
BAB berdarah, riwayat kecelakaan. Pasien sudah sering mendapat transfusi sebelum hemodialisis, terdapat
hipertensi namun tekanan darah terkontrol. Kedua orangtua memiliki riwayat hipertensi.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70
mmHg, nadi 70 x/menit (regular, isi cukup), pernafasan 16 x/menit (regular), suhu 37,5˚C, berat badan 50 kg, tinggi badan 158
cm, status gizi cukup. Pada mata didapatkan konjungtiva anemis. Bising usus meningkat, turgor kulit baik. Pemeriksaan
laboratorium didapatkan b hemoglobin 7,8 gr/dl, hematokrit 22,3 L%, eritrosit 2,48x106/uL, leukosit 21,8x103/uL, mean
corpuscular volume 90 fl, mean corpuscular hemoglobin 31,4 pg, ureum 276 mg/dl, kreatinin 10,5 mg/dl.

Pasien didiagnosis dengan gagal ginjal kronis et causa glomerulonefritis kronis yang disertai gastroenteritis. Pemeriksaan
lain yang dapat dianjurkan untuk menunjang diagnosis yaitu gula darah puasa dan gula darah 2 jam setelah makan, elektrolit, liver
function test (LFT), elektrokardiografi, foto thorax, feses rutin, analisa gas darah.

Rencana pengelolaan pada pasien yaitu non-medikamentosa dengan bed rest dan diet ginjal berupa protein 0,6-
0,8/kgBB/hari, kalori: 30-35 kkal/kgBB. Penatalaksanaan medikamentosa dengan: O2 2-4 L/menit (bila sesak), infus ringer laktat
tetesan V/mnt, hemodialisis, transfusi packed red cell (PRC) 2 kolf, eritropoetin alfa 1x3000 IU/ml intravena (IV), Ondansetron
2x8 mg IV, Ranitidin 2x50 mg IV, Ceftriaxon 1x1 gr IV.
PEMBAHASAN KASUS
Pasien datang ke rumah sakit umum daerah (RSUD) Jendral Ahmad Yani Metro dengan
keluhan badan lemah, lesu, mual, berkeringat dingin. Badan lemah ini dirasakan sejak 2 hari
terakhir disertai dengan mual, muntah dan BAB mencret sebanyak 5 kali. Pasien juga
mengeluhkan mudah merasa lelah dan tidak sanggup lagi beraktivitas berat. Gejala lemah,
lethargi, anoreksia, mual, muntah, neuropati perifer merupakan sindroma uremik, yang
merupakan kumpulan gejala atau sindroma klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua
organ akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Pasien mengaku mempunyai riwayat darah tinggi dan meminum obat-obat darah tinggi jika ada
keluhan saja setelah keluhannya menghilang ia tidak meminumnya lagi. Pasien mengaku telah menjalani
hemodialisis rutin selama 1 tahun terakhir. Pasien mengaku pernah dirawat di 3 rumah sakit sebelumnya
untuk transfusi darah. Pasien menyangkal mempunyai kencing manis, muntah berdarah, BAB berdarah,
riwayat kecelakaan.
Penegakan diagnosis GGK pada pasien ini didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
dari hasil laboratorium. Berdasarkan anamnesis diperoleh sindrom uremik, gejala anemia, dan riwayat
hemodialisis sejak satu tahun yang lalu. Kondisi ini didukung oleh pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
umum tampak sakit sedang dan konjungtiva anemis. Dari hasil laboratorium didapatkan nilai hemoglobin,
hematokrit, dan jumlah sel darah merah di bawah normal, serta terdapat peningkatan nilai ureum dan
kreatinin di atas nilai normal.
PEMBAHASAN KASUS
Terapi hemodialisis yang dilakukan juga sudah tepat karena nilai laju filtrasi
glomerulus (LFG) pasien rendah yang didapat dari perhitungan:
LFG = (140-umur) x (BB) / 72 x kreatinin serum
= (140-64) x 50 / 72 x 10,5
= 5,02 ml/mnt/1,73m2

Nilai LFG tersebut kurang dari 15 ml/mnt/1,73m2 yang berarti kriteria penyakit ginjal
kronik berada pada derajat 5 atau terminal, sehingga membutuhkan hemodialisis. Pasien
direncanakan untuk diberikan eritropoietin alfa untuk memperbaiki hemopoiesis.

Penegakan diagnosis gastroenteriris tanpa dehidrasi berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Gejala klinis pasien berupa mual, muntah, dan BAB mencret setelah mengkonsumsi
makanan tertentu dan pada pemeriksaan fisik terdapat peningkatan bising usus, turgor kulit baik, nadi normal,
napas normal, tidak ada penurunan kesadaran sehingga masih tergolong dehidrasi ringan. Pemeriksaan
laboratorium didapatkan peningkatan leukosit.
PEMBAHASAN KASUS
Pada pasien ini disarankan untuk melakukan pemeriksaan elektrokardiografi untuk
mengetahui keadaan jantung, foto thorax untuk mengetahui apakah ada pembesaran mengingat
pasien telah memiliki riwayat hipertensi sejak 15 tahun lalu dan telah mengalami gagal ginjal.
Pemeriksaan elektrolit penting untuk mengetahui seberapa banyak kehilangan eletrolit yang
terjadi karena pasien mengalami dehidrasi dan untuk menentukan cairan yang paling tepat untuk
diberikan pada pasien ini. Pemeriksaan tes fungsi hati berguna untuk mengetahui apakah telah
terjadi sindrom hepatorenal yang mengakibatkan gangguan pada hepar. Pemeriksaan feses
lengkap untuk mengatahui penyebab gastroenteritis. Pemeriksaan analisis gas darah untuk
mengetahui keseimbangan asam basa darah.
Pemberian ondansetron dan ranitidine sudah cukup tepat karena pasien mengalami mual, muntah dan
keluhan dispepsia. Terapi hemodialisis tepat sebagai terapi pada GGK terminal. Pemberian ceftriaxon
dilakukan karena gastroenteritis yang didukung dengan hasil pemeriksaan laboratorium terdapat
leukositosis. Pemberian transfusi PRC dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien sebelum
dilakukan hemodialisis.
Prognosis terhadap fungsi ginjal pasien buruk karena ginjal sudah tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya yang dapat terlihat dari kadar ureum dan kreatinin yang sangat tinggi. Walaupun fungsi ginjal
pasien buruk sehingga pasien harus menjalanai hemodialisis rutin namun hubungan sosialnya dengan
keluarga dan lingkungan sekitar tidak terganggu sehingga dalam kasus ini prognosis terkait dengan
hubungan sosialnya baik.
THANK YOU 

Anda mungkin juga menyukai