Disusun oleh :
119113011
2020
1
LAPORAN PENDAHULUAN
HEMODIALISA
2. Klasifikasi CKD
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan Cronic Kidney Disease (CKD).
Pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure (CRF),
namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi
kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan
harapan klien datang/ merasa masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara
konsep CKD, untuk menentukan derajat (stage) menggunakan terminology CCT
(clearance creatinin test) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF
2
(cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan
derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF.
Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium :
a.Stadium I : Penurunan cadangan ginjal, Kreatinin serum dan kadar BUN
normal, Asimptomatik. Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
b.Stadium II : Insufisiensi ginjal, Kadar BUN meningkat (tergantung pada
kadar protein dalam diet), Kadar kreatinin serum meningkat, Nokturia dan poliuri
(karena kegagalan pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:
1) Ringan
40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2) Sedang
15% - 40% fungsi ginjal normal
3) Kondisi berat
2% - 20% fungsi ginjal normal
c.Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia, kadar ureum dan
kreatinin sangat meningkat, ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan
elektrolit, air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010. KDOQI
(Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan pembagian CKD
berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) :
a.Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan
LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
b.Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60 -
89 mL/menit/1,73 m2)
c.Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2)
d.Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2)
e. Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau gagal
ginjal terminal.
3
3. Etiologi
Gagal ginjal kronik menurut (Mansjoer, 2007) terjadi setelah berbagai macam
penyakit yang merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim
ginjal difus dan bilateral.
a) Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
b) Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
c) Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteri renalis.
d) Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE),
poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
e) Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
f) Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
g) Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
h) Nefropati obstruktif
i) Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
j) Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali
congenital pada leher kandung kemih dan uretra.
4. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang
rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik
dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul
gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang
4
80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan
semakin berat.
a) Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari
penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh
ginjal
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin.
Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli)
klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan
meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya
meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif
dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh
masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan
medikasi seperti steroid.
b) Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan
urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang
sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari,
tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan
resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin
dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain
mempunyai kecenderungan untuk kwehilangan garam, mencetuskan
resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare
5
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik.
c) Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis
metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama
akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia
(NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) . penurunan
ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi
d) Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik
pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal,
produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai
keletihan, angina dan sesak napas.
e) Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan
metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat
tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya
meningkat, maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi
melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat
dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar
kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal
terhadap peningkatan sekresi parathormon dan mengakibatkan
perubahan pada tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit
aktif vitamin D (1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat
di ginjal menurun.
6
f) Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium,
fosfat dan keseimbangan parathormon.
7
5) Gatal
Terutama pada klien dgn dialisis rutin karena:
a) Toksik uremia yang kurang terdialisis
b) Peningkatan kadar kalium phosphor
c) Alergi bahan-bahan dalam proses HD
d) Kering bersisik
Karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan kristal urea di bawah
kulit.
a) Kulit mudah memar
b) Kulit kering dan bersisik
c) rambut tipis dan kasar
Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan fungsi ginjal
yang serupa yang disebabkan oleh desstruksi nefron progresif. Rangkaian
perubahan tersebut biasanya menimbulkan efek berikut pada pasien : bila GFR
menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien
menderita apa yang disebut Sindrom Uremik
Terdapat dua kelompok gejala klinis : Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi;
kelainan volume cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi
metabolit nitrogen dan metabolit lainnya, serta anemia akibat defisiensi sekresi
ginjal, Gangguan kelainan CV, neuromuscular, saluran cerna dan kelainan lainnya
8
B. KONSEP HEMODIALISA
1. Pengertian
Dialisis merupakan proses yang menggantikan secara fungsional pada gangguan
fungsi ginjal dengan membuang kelebihan cairan dan akumulasi toksin endogen
atau eksogen (Doenges, 2000). Hemodialisis merupakan suatu proses terapi
pengganti ginjal dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser),
yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa
metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada
pasien gagal ginjal (Black & Hawks, 2006; Ignatavicius & Workman, 2006).
Sedangkan menurut Baradero (2008), hemodialisis adalah pengalihan darah pasien
dari tubuhnya melalui dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi yang
kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh pasien.Bagi pasien dengan penyakit
ginjal kronik, hemodialisis merupakan salah satu terapi yang mampu
memperpanjang kehidupan (Smeltzer et al, 2008).
Jadi Hemodialisa adalah suatu proses pencucian darah dengan ginjal buatan
dengan menggunakan selaput membran semipermeabel untuk mengeluarkan sisa
metabolisme dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit serta untuk
memperpanjang hidup penderita gagal ginjal tersebut.
9
2. Epidemiologi
Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, pada bulan Januari sampai
Desember tahun 2011, didapatkan jumlah penderita penyakit ginjal kronik yang
tercatat dari Rumah Sakit Umum Pemerintah dan Daerah berjumlah 1171 rawat
inap dan laporan pada bulan Januari sampai Desember tahun 2011 jumlah pasien
yang mengalami rawat jalan adalah 661. Peningkatan kasus baru hemodialisa
sebesar 33% pertahun. Diperkirakan telah lebih dari 100.000 pasien yang akhir-
akhir ini menjalani dialisis. ). Sementara di RSUP H. Adam Malik Medan
didapatkan total pasien HD pada Februari 2013 sebanyak 197 pasien dengan
jumlah tindakan hemodialisis sebanyak 1.081 (Maruli, 2013).
3. Tujuan Hemodialisa
a. Meningkatkan kualitas hidup pasien menderita penurunan fungsi ginjal.
b. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer (asam basa) tubuh.
c. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan lain.
10
4. Indikasi Hemodialisa
Indikasi dilakukannya hemodialisa secara umum, diantaranya yaitu: (Brunner &
Suddarth, 2008)
a. Gagal ginjal akut
b. Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang dari 5 ml/menit
c. Kalium serum lebih dari 6 mEq/l
d. Ureum lebih dari 200 mg/dl
e. pH darah kurang dari 7,1
f. Anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari
g. Intoksikasi obat dan zat kimia
h. Sindrom hepatorenal
Menurut Daugirdas, Blake & Ing (2007), indikasi hemodialisis dibedakan
menjadi 2 yaitu: hemodialisis emergency atau hemodialisis segera dan
hemodialisis kronik. Keadaan akut tindakan dialisis dilakukan pada keadaan
kegawatan ginjal dengan keadaan klinis uremik berat, overhidrasi, oliguria
(produksi urine <200 ml/12 jam), anuria (produksi urine <50 ml/12 jam),
hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan EKG, biasanya K >6,5 mmol/I),
asidosis berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/I), uremia (BUN >150 mg/dL),
ensefalopati uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis uremikum,
disnatremia berat (Na>160 atau <115 mmol/I), hipertermia dan keracunan akut
(alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialysis.
Dialisis dimulai jika GFR <15 ml/menit, keadaan pasien yang mempunyai GFR
<15 ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika
dijumpai salah satu dari: 1) GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis; 2) gejala
uremia meliputi: lethargi, anoreksia, nausea dan muntah;, 3) adanya malnutrisi
atau hilangnya massa otot; 4) hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan
cairan dan 5) komplikasi metabolik yang refrakter
11
5. Kontraindikasi Hemodialisa
a. Tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa.
b. Akses vaskuler sulit.
c. Hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organic (Pernefri, 2006)
6. Proses Hemodialisa
Komponen Hemodialisa
a. Dializer
Dializer atau ginjal buatan terdiri dari membran semi permeabel yang
memisahkan kompartemen darah dan dialisat. Dializer merupakan kunci utama
dalam proses hemodialisa. Dializer berbentuk silinder dengan panjang rata-rata
30 cm dan diameter 7 cm dan di dalamnya terdapat ribuan filter yang sangat
kecil. Dializer terdiri dari 2 kompartemen masing-masing untuk cairan dialysate
dan darah. Kedua kompartemen tersebut dipisahkan oleh membran
semipermiabel yang mencegah cairan dialisat dan darah bercampur jadi satu.
b. Water Treatment
Air dalam tindakan hemodialisa dipakai sebagai pencampur dialisat pekat
(diasol). Air ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air PAM dan air
sumur, yang harus dimurnikan terlebih dahulu dengan cara “water treatment”
sehingga memenuhi standar AAMI (Association for the Advancement of
Medical Instrument). Jumlah air yang dibutuhkan untuk satu sesi hemodialisis
seorang pasien adalah sekitar 120 Liter.
c. Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam komposisi tertentu.
Jenis larutan dialisat yang sering digunakan yaitu dialisat bicarbonate.
1. Konsentrasi Bicarbonate
Dialisat bikarbonat terdiri dari 2 komponen konsentrat yaitu larutan asam dan
larutan bikarbonat. Larutan bikarbonat sangat mudah terkontaminasi mikroba
12
karena konsentratnya merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri. Konsentrasi bikarbonat yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya
hipoksemia dan alkalosis metabolik yang akut. Kandungan dialisat
bikarbonat yaitu natrium: 140, 0 mmol/liter, kalium: 2,0 mmol/liter, kalsium:
1,3 mmol/liter, magnesium: 0,2 mmol/liter, Cloride: 110,0 mm0l/liter, acetat:
3,0 mmol/liter, bicarbonate: 32,0 mmol/liter.
Tabel 1. Konsentrasi substansi dalam darah dan dialisat
Darah Substansi Dialisat
133 – 144 Natrium (mmol/L) 132 – 155
3,3 – 5,3 Kalium (mmol/L) 0 – 3,0
2,5 – 6,5 Ureum (mmol/L) 0
60 – 120 Creatinin (mmol/L) 0
2,2 – 2,6 Kalsium (mmol/L) 1,25 – 2,0
0,85 Magnesium (mmol/L) 0,25 – 0,75
4,0 – 6,6 Glukosa (g/L) 0 –10
22 – 30 Bicarbonat (mmol/L) 30 –40
13
f. Arterial-Venouse Blood Line (AVBL)
1. Arterial Blood Line (ABL)
Arterial Blood Line (ABL) adalah tubing atau line plastic yang
menghubungkan darah dari tubing akses vaskular tubuh pasien menuju
dialiser, disebut inlet ditandai dengan warna merah.
2. Venouse Blood Line (VBL)
Venouse Blood Line (VBL) adalah tubing atau line plastic yang
menghubungkan darah dari dialiser dengan tubing akses vaskular menuju
tubuh pasien disebut outlet ditandai dengan warna biru.
g. Akses Vaskuler
Tusukan vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek teknik untuk
program hemodialisa akut maupun kronik. Tusukan vaskuler merupakan tempat
keluarnya darah dari tubuh penderita menuju dializer dan selanjutnya kembali
lagi ke tubuh penderita. Darah harus dapat keluar dan masuk tubuh penderita
dengan kecepatan 200-400 ml/menit. Teknik-teknik akses vaskuler utama untuk
hemodialisis dibedakan menjadi akses eksternal dan akses internal (Price &
Wilson, 2006).
1. Akses Internal (Permanen)
a) Arterio-Venous Fistula (AVF)
AVF dibuat dengan teknik bedah melalui anastomosis langsung dari
suatu arteri dengan vena (biasanya arteri radialis dan vena sefalika
pergelangan tangan). Hubungan ke sistem dialisis dibuat dengan
menempatkan satu jarum di distal (garis arteri) dan sebuah jarum lagi di
proksimal (garis vena) pada vena yang sudah di arterialisasi tersebut
(Price & Wilson, 2006).
b) Arterio-Venous Graft (AVG)
AVG diciptakan dengan menempatkan ujung kanula dari teflon dalam
arteri (biasanya arteri radialis atau tibialis posterior) dan sebuah vena
yang berdekatan. Ujung-ujung kanula kemudian dihubungkan dengan
14
selang karet silikon dan suatu sambungan teflon yang melengkapi pirau.
Pada waktu dilakukan dialisis, maka selang pirau eksternal dipisahkan
dan dibuat hubungan dengan dializer. Darah kemudian mengalir dari
jalur arteri, melalui dializer dan kemudian kembali ke vena.
2. Akses Eksternal atau Kateter
Kateter adalah suatu pipa berlubang yang dimasukkan ke dalam vena
subklavia, jugularis, atau vena femoralis yang memiliki akses langsung
menuju jantung kateter ini merupakan akses vaskular sementara. Akses ini
digunakan jika akses internal tidak dapat digunakan untuk pengobatan, dan
pasien membutuhkan dialisis darurat.
15
Proses Difusi
Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif zat terlarut.
Molekul zat terlarut dari kompartemen darah akan berpindah ke dalam
kompartemen dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati
membran semipermiabel demikian juga sebaliknya.
Ultrafiltrasi
Proses ultrafiltrasi adalah proses pergeseran zat terlarut dan pelarut
secara simultan dari kompartemen darah ke dalam kompartemen dialisat
melalui membran semipermiabel. Proses ultrafiltrasi ini terdiri dari ultrafiltrasi
hidrostatik dan osmotik.
Ultrafiltrasi Hidrostatik
Transmembrane Pressure (TMP)
TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan
kompartemen dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut di dalamnya
berpindah dari darah ke dialisat melalui membran semipermiabel akibat
perbedaan tekanan hidrostatik antara kompertemen darah dan kompartemen
dialisat.
Koefisien Ultrafiltrasi (KUf)
KUf adalah jumlah cairan (ml/jam) yang berpindah melewati
membran per mmHg perbedaan tekanan atau perbedaan TMP yang melewati
membran.
Ultrafiltrasi osmotic
Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran
semipermiabel, bila larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah partikel
dibanding “A”, maka konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding
konsentrasi larutan “A”. Dengan demikian air akan berpindah dari “A” ke “B”
melalui membran dan sekaligus akan membawa zat-zat terlarut didalamnya
yang berukuran kecil dan permiabel terhadap membrane yang pada akhirnya
konsentrasi zat terlarut pada kedua bagian menjadi sama.
16
Proses Osmosis
Proses osmosis merupakan proses berpindahnya air karena tenaga
kimia, yaitu perbedaan osmolaritas darah dan dialisat (Lumenta), di mana
terjadi perpindahan cairan dari larutan dengan osmolaritas rendah ke
osmolaritas yang lebih tinggi.
Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita
dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dialyzer. Prosedur ini
memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka
dibuat suatu hubungan buatan di antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa)
melalui pembedahan. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan
untuk mengkanulasi fistula atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik
pada vena subklavikula, jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam
kondisi aseptic.
Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa
darah. Untuk mencegah pembekuan darah selama berada dalam dializer maka
diberikan heparin. Di dalam dializer, suatu selaput buatan yang memiliki pori-pori
memisahkan darah dari suatu cairan (dialisat) yang memiliki komposisi kimia yang
menyerupai cairan tubuh normal. Tekanan di dalam ruang dializer lebih rendah
dibandingkan dengan tekanan dalam darah, sehingga cairan, limbah metabolik dan
zat-zat racun di dalam darah disaring melalui selaput dan masuk ke dalam dialisat.
Tetapi sel darah dan protein yang besar tidak dapat menembus pori-pori selaput
buatan ini.
17
Gambar 1. Proses Hemodialisa
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah akan dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan
dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Air yang berlebihan dikeluarkan
dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan
dengan menciptakan gradien tekanan. Gradien ini dapat ditingkatkan melalui
penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialysis.
Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk
mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia atau keseimbangan cairan. Sistem
bufer tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari
cairan dialisat kedalam darah pasien dan mengalami metabolisme untuk
membentuk bikarbonat.
Darah yang telah dicuci lalu dikembalikan ke dalam tubuh penderita. Darah yang
telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui “venosa” atau selang
postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri dengan
mengklem darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan membilas
sirkuit untuk mengembalikan darah pasien (Brunner & Suddarth, 2008).
7. Faktor yang Mempengaruhi Hemodialisa
a. Aliran darah
Secara teori seharusnya aliran darah secepat mungkin. Hal-hal yang membatasi
kemungkinan tersebut antara lain: tekanan darah dan jarum yang digunakan.
Terlalu besar aliran darah bisa menyebabkan syok pada penderita.
b. Luas selaput/membran yang dipaka
Luas selaput yang biasa dipakai adalah 1−1,5 cm2 tergantung dari besar badan/
berat badan pasien.
18
c. Aliran dialisat
Semakin cepat aliran dialisat semakin efisien proses hemodialisa, sehingga
dapat menimbulkan borosnya pemakaian cairan.
d. Temperatur suhu dialisat
Temperature dialisat tidak boleh kurang dari 360C karena bisa terjadi spasme
dari vena sehingga aliran darah melambat dan penderita menggigil. Temperatur
dialisat tidak boleh lebih dari 420C karena bisa menyebabkan hemolisis.
19
- Tentukan pembuluh darah vena lain untuk masuknya darah dari mesin ke
tubuh pasien
- Beritahu pasien bahwa tindakan akan dimulai
- Letakkan perlak di bawah tangan pasien
- Dekatkan alat-alat yang akan digunakan
c. Persiapan Perawat
- Mencuci tangan, memakai masker, buka bak instrumen steril
- Mengisi masing-masing mangkok steril dengan: Alcohol, NaCl 0,9%,
dan Betadine
- Buka spuit 20 cc dan 10 cc, taruh di bak instrument, memakai sarung
tangan
- Ambil spuit 1 cc, hisap lidocain 1% untuk anestesi lokal (bila digunakan)
- Ambil spuit 10 cc diisi NaCl dan Heparin 1500u untuk mengisi AV
Fistula
d. Memulai Desinfektan
- Jepit kassa betadine dengan arteri klem, oleskan betadine pada daerah
cimino dan vena lain dengan cara memutar dari arah dalam ke luar, lalu
masukkan kassa bekas ke kantong plastic
- Jepit kassa Alcohol dengan arteri klem, bersihkan daerah Cimino dan
vena lain dengan cara seperti no.1
- Lakukan sampai bersih dan dikeringkan dengan kassa steril kering,
masukkan kassa bekas ke kantong plastik dan arteri klem diletakkan di
gelas ukur
- Pasang duk belah di bawah tangan pasien, dan separuh duk ditutupkan di
tangan
e. Memulai Punksi Cimino
- Memberikan anestesi lokal pada cimino (tempat yang akan dipunksi)
dengan spuit insulin 1 cc yang diisi dengan lidocain.
- Tusuk tempat cimino dengan jarak 8 – 10 cm dari anastomose
20
- Tusuk secara intrakutan dengan diameter 0,5 cm
- Memberikan anestesi lokal pada tusukan vena lain
- Bekas tusukan dipijat dengan kassa steril
f. Memasukkan Jarum AV Fistula
- Masukkan jarum AV Fistula (Outlet) pada tusukan yang telah dibuat
pada saat pemberian anestesi lokal
- Setelah darah keluar aspirasi dengan spuit 10 cc dan dorong dengan NaCl
0,9% yang berisi heparin, AV Fistula diklem, spuit dilepaskan, dan ujung
AV Fistula ditutup, tempat tusukan difiksasi dengan plester dan pada atas
sayap fistula diberi kassa steril dan diplester
- Masukkan jarum AV Fistula (inlet) pada vena lain, jarak penusukan inlet
dan outlet usahakan lebih dari 3 cm
- Jalankan blood pump perlahan-lahan sampai 20 ml/mnt kemudian pasang
sensor monitor
- Program mesin hemodialisis sesuai kebutuhan pasien
- Bila aliran kurang dari 100 ml/mnt karena ada penyulit, lakukan
penusukan pada daerah femoral
- Alat kotor masukkan ke dalam plastik, sedangkan alat-alat yang dapat
dipakai kembali di bawa ke ruang disposal
- Penusukan selesai, perawat mencuci tangan
2) Punksi Femoral
Cara Melakukan Punksi Femoral
- Obeservasi daerah femoral (lipatan), yang aka digunakan penusukan
- Letakkan posisi tidur pasien terlentang dan posisi kaki yang akan ditusuk
fleksi
- Lakukan perabaan arteri untuk mencari vena femoral dengan cara
menaruh 3 jari di atas pembuluh darah arteri, jari tengah di atas arteri
21
- Dengan jari tengah 1 cm ke arah medial untuk penusukan jarum AV
Fistula
22
distribusi urea dalam cairan tubuh. Konsesus Dialisis Pernefri (2006) menyatakan
bahwa di Indonesia adekuasi hemodialisa dapat dicapai dengan jumlah dosis
hemodialisa 10-15 jam perminggu. Pasien yang menjalani hemodialisa 3
kali/minggu diberi target Kt/V 1,2, sedangkan pasien yang menjalani hemodialisa
2 kali/minggu diberi target Kt/V 1,8. Kt/V untuk setiap pelaksanaan hemodialisa
yang direkomendasikan adalah minimal 1,2 dengan target adekuasi 1,4.
Keterangan:
K : Klirens dialiser yaitu darah yang melewati membran dialiser dalam
mL/menit
Ln : Logaritma natural
R : Ureum post dialisis
Ureum pre dialisis
t : Lama dialisis (jam)
V : Volume cairan tubuh dalam liter (laki-laki 65 % BB/berat badan dan wanita
BB berat badan).
11. Komplikasi Hemodialisa
Walaupun tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang cukup
pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat
menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang
menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya
menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat
hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani
hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan
23
darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau
intradialytic hypertension (Agarwal & Weir, 2010).
a. Komplikasi Akut
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam dan menggigil (Bieber & Himmelfarb, 2013;
Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata & Setiati 2009)
Tabel 1. Komplikasi Akut Hemodialisis
Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi,
infark jantung, tamponade, reaksi anafilaksis
Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak adekuat
Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu
cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel
disequilibirium menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral.
Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat
Masalah pada dialisat Hemolisis oleh karena menurunnya kolom charcoal
Chlorine
Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus, gejala
neurologi, aritmia
Kontaminasi Demam, mengigil, hipotensi oleh karena kontaminasi dari
bakteri/endotoksin dialisat maupun sirkuti air
24
b. Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, renal osteodystrophy,
neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan,
infeksi, amyloidosis dan Acquired cystic kidney disease (Bieber &
Himmelfarb, 2013).
25
l. asam folat dan vitamin C.
m.Bila nafsu makan kurang, berikan suplemen enteral yang mengandung energi
dan protein tinggi (Almatsier, 2008).
Diet pada dialisis bergantung pada frekuensi dialisis, sisa fungsi ginjal dan berat
badan pasien. Diet untuk pasien dengan dialisis biasanya harus direncanakan
perorangan. Berdasarkan berat badan, diet dialisis dibedakan menjadi 3 jenis
yaitu:
a. Diet dialisis I, 60 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan ± 50
kg.
b. Diet dialisi II, 65 g protein, diberikan kepada pasien dengan berat badan ± 60
kg.
c. Diet dialisis III, 70 g protein, diberikan kepada pasien dengan berat badan ± 65
kg (Almatsier, 2008).
26
d. Perawatan akses vaskuler; pencegahan, pendeteksian dan penatalaksanaan
komplikasi yang berkaitan dengan akses vaskuler.
e. Dasar pemikiran untuk diet dan pembatasan cairan; konsekuensi akibat
kegagalan dalam mematuhi pembatasan ini.
f. Pedoman pencegahan dan pendeteksian kelebihan muatan cairan.
g. Strategi untuk pendeteksian, penatalaksanaan dan pengurangan gejala pruritus,
neuropati serta gejala-gejala lainnya.
h. Penatalaksanaan komplikasi dialisis yang lain dan efek samping terapi (dialisis,
diet yang membatasi, obat-obatan).
i. Strategi untuk menangani dan mengurangi kecemasan serta ketergantungan
pasien sendiri dan anggota keluarga mereka.
j. Pilihan lain yang tersedia buat pasien
k. Pengaturan finansial untuk dialisis, strategi untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber-sumber finasial
l. Strategi untuk mempertahankan kemandirian dan mengatasi kecemasan
anggota keluarga (Cahyaningsih, 2009).
27
Fungsi ginjal yang tersisa cepat menurun, ketergantungan pasien dengan
mesin hemodialisa, akses vaskular dapat menyebabkan infeksi dan trombosis,
sering terjadi hipotensi dan kram otot, pembatasan asupan cairan dan diet
lebih ketat, kadar hemoglobin lebih rendah sehingga kebutuhan akan
eritropoetin lebih tinggi (Cahyaningsih, 2009).
28
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi: nama klien, no. RM, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
dx medis dan mula inisiasi HD
2. Keluhan Utama
Keluhan yang paling dirasakan oleh klien diantara keluhan yang dirasakan
yang didapatkan secara langsung dari pasien/keluarga.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
- Riwayat kesehatan sekarang didapatkan mulai dari pasien mengalami
keluhan sampai mencari pelayanan kesehatan sampai ,mendapatkan
terapi dan harus menjalani terapi HD (pasien HD pertama).
- Kondisi atau keluhan yang di rasakan oleh pasien setelah HD sampai
HD kembali (bagi pasien menjalani HD rutin).
b. Riwayat Kesehatan Lalu
Riwayat kesehatan dahulu di dapatkan dari pengalaman pasien
mengalami kondisi yang berhubungan dengan gangguan system urinaria
(misal DM, hipertensi, BPH dll)
29
4. Pemeriksaan Fisik
- Kepala: rambut rontok
- Neuro: penurunan kesadaran, nyeri (pusing), kejang karena keracunan
pada SSP, kelemahan karena suplai O2 kurang, baal (mati rasa dan kram)
karena rendahnya kadar Ca dan PH
- Mata: konjungtiva anemis, odema palpebra, uremic cross
- Hidung: napas cuping hidung
- Mulut: stomatitis, bleeding/perdarahan, nafas bau ammonia.
- Leher: hiperparathyroid karena peningkatan reabsorbsi kalsium dari
tulang,hiperkalemia, hiperkalsiuria, prembesaran vena jugularis.
- Dada: bunyi nafas tambahan (wheezing), otot bantu pernafasan, dypsnea,
edema pulmo, suara paru (ronkhi)
- Abdomen: asites, gangguan peristaltik, bleeding
- Ekstremitas: CRT > 3 detik, edema, nyeri, kekakuan otot menurun
- Integumen: pruritis, kulit kering, warna kehitaman, turgor kulit jelek,
bersisik dan dekubitus.
5. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan penunjang dapat ditemukan data sebagai berikut:
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan hematologi: Hb menurun adanya anemia, eritrosit, leukosit,
trombosit.
b. Pemeriksaan RFT (renal fungsi test)
Ureum ( 20-40 mg/dl)
Kreatinin ( 0,5-1,5 mg/dl)
c. Pemeriksaan LFT (liver fungsi test)
d. Pemeriksaan elektrolit: Klorida, kalium dan kalsium
e. CCT (Clearance Creatinin Test)
30
f. GFR kurang dari 15 ml/menit, GFR kurang dari 10 ml/menit dengan
gejala uremia atau malnutrisi dan GFR kurang dari 5 ml/menit walaupun
tanpa gejala dapat menjalani dialisis
g. Pemeriksaan urin
Urin rutin : Protein
Penurunan pada kadar serum dapat menunjukan kehilangan protein
melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, dan penurunan
sintesis, karena kekurangan asam amino esensial pemeriksaan Urin:
ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
Urin khusus: Benda keton dan analisa kristal/batu
h. Pemeriksaan Radiologi
i. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 15 ml/menit, LFG kurang dari
10 ml/menit dengan gejala uremia atau malnutrisi dan LFG kurang dari 5
ml/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis.
31
PATHWAY Fungsi ginjal memburuk
32
Kurang pengetahuan
Saat hemodialisis Post-hemodialisis
Minum
banyak
Resiko
ketidakseimbangan
cairan
33
B. Diagnosa Keperawatan Hemodialisa
Post Hemodialisa
1. Resiko Gangguan Keseimbangan Cairan
2. Mual berhubungan dengan terapi penggunaan agen farmakologis yaitu cairan
dialisat yang bersifat asam ditandai dengan klien mengeluh merasa mual, klien
mengatakan ingin muntah, peningkatan sekresi saliva
3. Intoleransi Aktivitas
4. Gangguan Integritas kulit
C. Rencana Keperawatan (Terlampir)
34
35
Rencana Asuhan Keperawatan
36
c. Bunyi nafas bersih, tidak
ada dyspneu/ortopneu muncul memburuk
2 Ansietas Setelah dilakukan asuhan NIC Label: Anxiety Reduction NIC Label: Anxiety Reduction
berhubungan keperawatan selama 1 x … jam, 1. Observasi adanya tanda – tanda 1. Pengungkapan kecemasan secara
dengan krisis diharapkan kecemasan klien cemas/ansietas baik secara verbal maupun langsung tentang kecemasan dari
situasional dapat berkurang dengan kriteria nonverbal. klien, dapat menandakan level cemas
akibat prosedur hasil: 2. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi klien.
terapi ditandai yang dapat menstimulus kecemasan. 2. Agar pasien dapat mengatasi dan
dengan klien NOC Label: Anxiety Level 3. Jelaskan segala sesuatu mengenai penyakit menanggulangi kecemasan pasien.
mengatakan a. Mengatakan secara verbal yang klien derita. 3. Menambah wawasan klien tentang
merasa cemas, tentang tidak ada kecemasan 4. Ajarkan klien teknik relaxasi, seperti penyakit klien dapat meningkatkan
klien tampak b. Mengatakan secara verbal menarik nafas dalam. pengertian klien tentang penyakitnya,
gelisah dan tentang tidak ada ketakutan 5. Kolaborasi pemberian medikasi berupa obat sehingga dapat mengurangi
ketakutan, c. Tidak ada kepanikan penenang. kecemasan klien.
insomnia, 4. Dapat memberi efek ketenangan pada
NOC Label: Anxiety Self-
takikardi klien
Control
5. Untuk menurunkan ansietas klien yang
a. Mampu mengurangi
terjadi secara berlebihan.
penyebab cemas
b. Mengontrol respon cemas
37
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan NIC Label: Pain Management NIC Label: Pain Management
berhubungan asuhan keperawatan selama 1 x 1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Untuk mengetahui lokasi,
agens cedera … jam, diharapkan pasien tidak komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, awitan dan durasi,
ditandai dengan mengalami nyeri dengan kriteria karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas frekuensi, kualitas, intensitas atau
melaporkan hasil: dan faktor presipitasi keparahan nyeri, faktor presipitasi
nyeri secara nyeri.
verbal NOC Label: Pain Level 2. Observasi reaksi nonverbal dari 2. Untuk mengetahui isyarat
ketidaknyamanan nonverbal ketidaknyamanan pasien
a. Melaporkan nyeri berkurang
3. Berikan informasi tentang nyeri, 3. Agar pasien mengetahui informasi
b. Tidak menununjukkan penyebab nyeri, berapa lama akan tentang nyeri, penyebab nyeri,
ekspresi wajah menahan berlangsung, dan antisipasi berapa lama akan berlangsung, dan
nyeri ketidaknyamanan akibat prosedur. antisipasi ketidaknyamanan akibat
prosedur.
c. Mampu mengontrol nyeri 4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi 4. Agar pasien mampu melakukan
(tahu penyebab nyeri, mampu (relaksasi napas dalam, distraksi, guided teknik terapi non farmakologis
menggunakan tehnik imagery) untuk mengatasi nyeri secara
nonfarmakologi untuk mandiri.
mengurangi nyeri, mencari 5. Kolaborasi dengan dokter untuk 5. untuk mengatasi nyeri pasien
bantuan) pemberian analgetik untuk mengurangi secara farmakologi
nyeri NIC Label: Vital Sign Monitoring
d. Tanda vital dalam rentang NIC Label: Vital Sign Monitoring 1. Untuk mengetahui tekanan darah
normal (TD: 110/70 mmHg, 1. Monitor tekanan darah dan nadi pasien dan nadi pasien akibat nyeri yang
N: 80x/menit) dirasakan oleh pasien
4 Risiko Setelah diberikan asuhan NIC Label: Bleeding Precaution NIC Label: Bleeding Precaution
38
perdarahan keperawatan selama 1 x … jam 1. Monitor kondisi yang dapat 1. Dapat memperkirakan dan
berhubungan diharapkan pasien tidak menyebabkan perdarahan mencegah terjadinya perdarahan
dengan efek mengalami perdarahan dengan 2. Memonitor jumlah darah yang
samping kriteria hasil: 2. Monitor jumlah dan kenampakan hilang dapat digunakan untuk
pengobatan kehilangan darah menentukan juml cairan pengganti
yaitu NOC Label: Blood Loss 3. Hb dan hematocrit merupakan
Severity 3. Catat hemogblobin dan hematocrit
penggunaan komponen penting dalam perfusi
obat 4. Monitor statius intake dan output cairan jaringan dan indicator volume
a. Tidak terlihat kehilangan
antikoagulan cairan
darah
5. Monitor protein koagulasi (PT/PTT, 4. Mengetahui adanya dehidrasi
b. Tidak ada Hematuria fibrinogen, jumlah platelet) 5. Memastikan status pembekuan
darah pasien baik
c. Tekanan darah sistolik dan 6. Monitor faktor yang mempengaruhi 6. Memastikan oksigen dapat
diastolik normal distribusi oksigen (PaO2, SaO2, dan terdistribusi ke seluruh tubuh
hemoglobin serta kardiak output) 7. Dapat melakukan persiapan
d. Tidak terjadi Penurunan prosuk darah
kesadaran 7. Perkirakan kemungkinan transfusi darah
8. Untuk mengganti kehilangan darah
39
n pertahanan NOC Label: Hemodialysis 2. Monitor hitung granulosit, WBC infeksi.
tubuh primer Access 3. Untuk mengetahui
akibat prosedur 3. Monitor kerentanan terhadap infeksi tinggi/rendahnya tingkat infeksi
invasif akses a. Temperatur kulit pada area pada klien, sehingga memudahkan
akses penusukan normal NIC Label: Infection Control
vaskular pengambilan intervensi
40
1. Mengevaluasi kondisi exit site dari
NIC Label: Dialysis Access Maintenance adanya tanda-tanda infeksi dan
perdarahan sehingga dapat
1. Monitor kateter exit site
menentukan intervensi yang tepat
2. Monitor area akses penusukan dari 2. Mengevaluasi kondisi akses
edema, panas, drainase, perdarahan, penusukan dari adanya tanda-tanda
hematoma, dan penurunan sensasi infeksi dan perdarahan sehingga
dapat menentukan intervensi yang
3. Lakukan perawatan dengan memberikan tepat
baluan steril pada area penusukan dengan 3. Mencegah terjadinya infeksi
CVC (central venous catheter) sekunder
41
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
1 Resiko Setelah silakukan asuhan NIC Label : Fluid management NIC Label: Fluid management
Gangguan keperawatan selama 2 kali 1. Untuk mengevaluasi
Keseimbangan pertemuan diharapkan masalah 1. Monitor status hidrasi (kelembaban kondisi pasien selama
cairan gangguan keseimbangan cairan membran mukosa, nadi adekuat, tekanan HD.
berhubungan dapat teratasi dengan kriteria hasil darah ortostatik) 2. Untuk memonitor
dengan NOC: kondisi pasien selama
Mekanisme 2. Monitor vital sign HD.
peredaran v Fluid balance 3. Makan berlebihan
darah/cairan 3. Monitor masukan makanan / cairan dapat menimbulkan
tidak efektif v Hydration selama interdialisis terjadinya hipotensi
(proses dialisis 4. Memenuhi cairan
v Nutritional Status : Food and 4. Monitor status nutrisi
berlangsung) pasien sehingga tidak
Fluid Intake
terjadi syuk.
5. Dorong keluarga untuk membantu pasien
5. Agar keluarga klien
Kriteria Hasil : makan
mengerti kondisi klien.
1. Tekanan darah, nadi, suhu 6. Kolaborasi dokter jika tanda cairan 6. Untuk mencegah hal
tubuh dalam batas normal berlebih muncul meburuk terburuk yang terjadi.
7. Untuk mengatasi
2. Tidak ada tanda tanda 7. Atur kemungkinan tranfusi masalah kekurangan
dehidrasi, Elastisitas darah.
turgor kulit baik, 8. Persiapan untuk kemungkinan tranfusi 8. Jika diperlukan untuk
membran mukosa lembab, diberikan transfusi.
tidak ada rasa haus yang
berlebihan
2 Mual Setelah diberikan asuhan NIC Label: Nausea Management NIC Label: Nausea Management
berhubungan keperawatan selama 1 x … jam 1. Membantu klien untuk melakukan
dengan terapi diharapkan terjadi penurunan 1. Dorong klien untuk mempelajari strategi manajemen mual secara mandiri
penggunaan derajat mual dan muntah, dengan untuk memanajemen mual 2. Membantu dalam memberikan
agen kriteria hasil: 42 intervensi yang tepat.
2. Kaji frekuensi mual, durasi, tingkat
farmakologis
NOC Label: Nausea and keparahan, factor frekuensi, presipitasi
yaitu cairan 3. Membantu mengurangi mual
Vomiting Severity yang menyebabkan mual.
dialisat yang secara nonfarmakologi dan tanpa
43
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC
Carpenito. 2001. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa keperawatan dan
masalah kolaboratif. Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT Alumni
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Beiber, S.D. & Himmelfarb, J. (2013). Hemodialysis. In: schrier’s disease of the kidney. 9th
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Black, J.M. & Hawks, J.H. (2006). Medical Surgical Nursing: Clinical Management for
Positive Outcomes. 8th Edition. Philadelpia: WB. Saunders Company
Brunner and Suddarth. (2008). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Edisi 8, Volume 1.
Jakarta: EGC
44
Cahyaningsih, N.D. (2009). Hemidialisis; panduan praktis perawatan gagal ginjal. Cetakan
ke-2. Jogyakarta: Mitra Cendikia Press
Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M. (2004). Nursing Intervention Clasification
(NIC). 5th edition. St Louis, Missouri: Mosby.
Daugirdas, J.T., Blake, P.G. & Ing, T.S. (2007). Handbook of dialysis. 4th Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2006). Medical-surgical nursing. Fifth Edition.
Philadelphia: Elsivier Inc.
Morhead, S., Jhonson, M., Maas, M.L., Swanson, E. (2004). Nursing Outcomes
Classification (NOC). 5th Edition. St Louis, Missouri: Mosby.
Pernefri. (2006), Konsensus dialisis. Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi–Bagian Ilmu
Penyakit dalam.. Jakarta: FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Price, S.A. & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses penyakit. Volume 2.
Jakarta: EGC
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata,M. & Setiati, S. (2009). Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid II, Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing
45