Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Konsep CKD

2.1.1. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronic didefinisikan
penyakit penurunan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat lagi pulih
atau kembali sembuh secara total seperti sediakala (irreversible) dengan laju
filtrasi glomerulus (LFG) < 60 ml/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih,
sehingga tubuh gagal mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
elektrolit yang menyebabkan uremia (Luthfia dkk, 2017). Menurut (Muttaqin
& Sari, 2014) CKD merupakan ketidakmampuan fungsi ginjal
mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit yang
mengakibatkan destruksi struktur ginjal yang progresif adanya menifestasi
penumpukan bahan sisa metabolisme seperti toksik uremik di dalam darah
Salah satu penatalaksanaan gagal ginjal adalah proses hemodialysis.
Lamanya proses hemodialisis berkaitan erat dengan efesiensi dan
adekuasi hemodialisis, sehingga lama hemodialisis juga dapat dipengaruhi
oleh tingkat uremia akibat progresivitas perburukan fungsi ginjal dan faktor-
faktor komorbiditasnya aliran dialisisnya, selama pasien dengan gagal
ginjal kronik menjalani terapi hemodialisis mereka harus menjalani
pembatasan asupan cairan(Arif & Kumala Sari, 2012). Apabila pasien tidak
melakukan pembatasan asupan cairan maka cairan akan banyak menumpuk di
dalam tubuh dan menyebabkan edema. Karena itulah perlunya pasien
PGK mengontrol dan membuat jumlah asupan cairan yang masuk
kedalam tubuh. Pembatasan asupan cairan penting agar pasien yang
menderita gagal ginjal tetap merasa nyaman pada saat sebelum, selama
dan sesudah terapi hemodialisis (Smeltzer M & Bare B, 2002). Kepatuhan
pada penderita PGK dalam menjalani terapi hemodialisis merupakan

1
hal yang penting untuk diperhatikan, begitupun dalam kepatuhan dalam
pelaksanaan pembatasan asupan cairan. Kepatuhan sendiri dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah motivasi dan kepercayaan tersebut.

2.1.2. Etiologi
Gagal ginjal kronik menurut (Levin, A., et al, 2009) terjadi setelah
berbagai macam penyakit yang merusak nefron ginjal. Sebagian besar
merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral:

a) Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.


b) Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
c) Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.
d) Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik
(SLE), poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
e) Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
f) Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
g) Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati
timbale.
h) Nefropati obstruktif
i) Saluran Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis,
netroperitoneal.
j) Saluran Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra,
anomali congenital pada leher kandung kemih dan uretra.

2.1.3. Klasifikasi
Menurut National Kidney Foundation (2016) membagi 5 (lima) stadium
penyakit ginjal kronik yang ditentukan melalui perhitungan nilai Glomerular
Filtration Rate (GFR) meliputi:
1. Stadium I

2
Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (>90ml/min/1,73
m2). Fungsi ginjal masih normal tapi telah terjadi abnormalitas patologi
dan komposisi dari darah dan urine.
2. Stadium II
kerusakan ginjal. Fungsi ginjal menurun ringan dan ditemukan
abnormalitas patologi dan komposisi dari darah dan urine.
3. Stadium III
Penurunan GFR Moderat (30-59ml/min/1,73 m2) . Tahapan ini terbagi
lagi menjadi tahapan IIIA (GFR 45-59) dan tahapan IIIB (GFR 30-44).
Pada tahapan ini telah terjadi penurunan fungsi ginjal sedang.
4. Stadium IV
Penurunan GFR Severe (15-29 ml/min/1,73 m2). Terjadi penurunan
fungsi ginjal yang berat. Pada tahapan ini dilakukan persiapan untuk
terapi pengganti ginjal.
5. Stadium V
End Stage Renal Disease (GFR<15 ml/min/1,73m2), merupakan tahapan
kegagalan ginjal tahap akhir. Terjadi penurunan fungsi ginjal yang sangat
berat dan dilakukan terapi pengganti ginjal secara permanen.
Menghitung laju GFR dapat dilakukan dengan perhitungan berikut :
GFR laki laki = (140 - umur) x kgBB / (72 x serum kreatinin)
GFR perempuan = (140 - umur) x kgBB x 0,85 / (72 x serum
kreatinin)

2.1.4. Manisfestasi Klinis


Gejala klinis yang ditimbulkan Chronic Kidney Disease (CKD)
menurut Guswanti (2019) antara lain:

a. Hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin
– angiotensin - aldosteron)
b. Gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan)

3
c. Perikarditis (akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis,
anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan
tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi)
Sedangkan menurut Ismail (2018) tanda gejala CKD dibagi menjadi 7
yaitu:
a. Gangguan pada sistem gastrointestinal
1. Anoreksia, nausea, vomitus yag berhubungan dengan gangguan
metabolisme protein di dalam usus, terbentuknya zat-zat toksin
akibat metabolisme bakteri usus seperti ammonia danmelil
guanidine serta sembabnya mukosa usus.
2. Faktor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur
diubah oleh bakteri dimulut menjadi amoni sehinnga nafas berbau
amonia.
3. Gastritis erosife, ulkus peptic dan colitis uremik.
b. Kulit
1. Kulit berwarna pucat, anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom.
2. Gatal-gatal akibat toksin uremin dan pengendapan kalsium di pori-
pori kulit.
3. Ekimosis akibat gangguan hematologi.
4. Ure frost : akibat kristalsasi yang ada pada keringat.
5. Bekas-bekas garukan karena gatal.
c. Sistem Hematologi
1. Anemia yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
Berkurangnya produksi eritropoitin, hemolisis akibat berkurangnya
masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksin, defisiensi besi,
asam folat, dan lain-lain akibat nafsu makan yang berkurang,
perdarhan, dan fibrosis sumsum tulang akibat hipertiroidism
sekunder.
2. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia.

4
d. Sistem saraf dan otot
1. Restless Leg Syndrome, pasien merasa pegal pada kakinya
sehinnga selalu digerakkan.
2. Burning Feet Syndrome, rasa semutan dan seperti terbakar terutama
di telapak kaki.
3. Ensefalopati metabolik, lemah, tidak bisa tidur, gangguan
konsetrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang.
4. Miopati, kelemahan dan hipertrofi otot terutama ekstermitas
proksimal.
e. Sistem kardiovaskuler
1. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan
aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron.
2. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis atau gagal jantung
akibat penimbunan cairan hipertensif.
3. Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis, gangguan elektrolit
dan klasifikasi metastasik.
4. Edema akibat penimbuna cairan.
f. Sistem Endokrin
1. Gangguan seksual, libido, fertilitas, dan ereksi menurun pada laki-
laki akibat testosteron dan spermatogenesis menurun. Pada wanita
tibul gangguan menstruasi, gangguan ovulasi, sampai amenore.
2. Gangguan metabolisme glokusa, resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin.
3. Gangguan metabolisme lemak.
4. Gangguan metabolisme vitamin D.
g. Gangguan Sistem Lain
1. Tulang osteodistropi ginjal, yaitu osteomalasia, osteoslerosis,
osteitis fibrosia dan klasifikasi metastasik.
2. Asidosis metabolik akibat penimbuna asam organik sebagai hasil
metabolisme.

5
a. Elektrolit: hiperfosfotemia, hiperkalemia, hipokalsemia.

2.1.5. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya bergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Ginjal mempunyai kemampuan untuk
beradaptasi, pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai
upaya kompensasi, yang di perantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi,
yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, kemudian terjadi proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis
reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-
β) Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemi, dislipidemia. (Basuki, 2019).
Pada stadium paling dini penyakit CKD, gejala klinis yang serius
belum muncul, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada
keadaan dimana basal LGF masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron
yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan, tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada penderita
antara lain penderita merasakan letih dan tidak bertenaga, susah

6
berkonsentrasi, nafsu makan menurun dan penurunan berat badan, susah
tidur, kram otot pada malam hari, bengkak pada kaki dan pergelangan kaki
pada malam hari, kulit gatal dan kering, sering kencing terutama pada
malam hari. Pada LFG di bawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan
tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Selain itu pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi
saluran kemih, infeksi saluran cerna, maupun infeksi saluran nafas. Sampai
pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada
keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. Di samping
itu, ketika BUN meningkat secara otomatis, dan pasien akan mengalami
risiko kelebihan beban cairan seiring dengan output urin yang makin tidak
adekuat (Smeltzer & Bare, 2014).

7
(Sumber: Brunner&Sudart, 2013 dan SDKI, 2016)

8
2.1.6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien Chronic Kidney
Disease (CKD), antara lain (Monika, 2019):

a. Hematologi
1) Hemoglobin: HB kurang dari 7-8 g/dl
2) Hematokrit: Biasanya menurun
3) Eritrosit
4) Leukosit
5) Trombosit
b. LFT (Liver Fungsi Test)
c. Elektrolit (Klorida, kalium, kalsium)
1) AGD : penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7 : 2)
terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk
mengekskresikan hidrogen dan ammonia atau hasil akhir.
2) Kalium : peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai
dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan
hemolysis.
d. RFT (Renal Fungsi Test) (Ureum dan Kreatinin)
1) BUN/ Kreatinin :
Kadar BUN (normal: 5-25 mg/dL), kreatinin serum (normal
0,5-1,5 mg/dL; 45- 132,5 µmol/ L [unit SI]) biasanya
meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 10mg/dl, natrium
(normal: serum 135-145 mmol/L; urine: 40-220 mEq/L/24
jam), dan kalium (normal: 3,5-5,0 mEq/L; 3-5,0 mmol/Lm [unit
SI]) meningkat.
e. Urine rutin
1) Urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
2) Volume : kurang dari 400ml/jam, oliguri, anuria
3) Warna : secara abnormal urine keruh, disebabkan bakteri,
partikel, koloid dan fosfat.

9
4) Sedimen : kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb,
mioglobin, porfirin.
5) Berat jenis : kurang dari 1.015 (menetap pada 1,015)
menunjukkan kerusakan ginjal berat.
f. EKG
EKG : mungkin abnormal untuk menunjukkan keseimbangan
elektrolit dan asam basa.
g. Endoskopi ginjal : dilakukan secara endoskopik untuk
menentukkan pelvis ginjal, pengangkatan tumor selektif.
h. USG abdominal
i. CT scan abdominal
j. Renogram
RPG (Retio Pielografi) katabolisme protein bikarbonat menurun
PC02 menurun Untuk menunjukkan abnormalis pelvis ginjal
dan ureter.

2.1.7. Komplikasi
Menurut (NKDEP, 2015) yang mungkin akan terjadi atau timbul akibat
gagal ginjal kronis, antara lain :

a. Hiperkalemia
Hiperkalimia adalah kelebihan kalium yang terjadi bila kalium
yang normal diekskresikan melalui ginjal terakumulasi didala
darah. Keseimbangan elektrolit ini dapat mengakibatkan serangan
jantung, memberikan gejala seperti lemas, merasa tidak nyaman,
merasa kram diperut.
b. Gastrointestinal
Meningkatnya kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum lebih
sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronik dibandingkan
populasi normal. Namun demikian, gejala mual, muntah anoreksia,
dan dada seperti terbakar. Insiden esofagitis seperti angiodisplasia

10
lebih tinggi, keduanya dapat menyebutkan perdarahan. Gangguan
pengecap dapat berkaitan dengan bau nafas yang menyerupai urin.
c. Hipertensi
Penyakit vaskular dan hipertensi merupakan penyebab utama
kematian pada gagal ginjal kronik. Pada pasien yang tidak
menderita diabetes, hipertensi, mungkin merupakan salah satu
faktor yang penting. Sebagian besar hipertensi pada penyakit ginjal
kronik disebabkan hipervolemia akibat retensi natrium dan air.
Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk yang bisa
menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritem jantung tripel.
Hipertensi seperti ini biasanya memberikan respons terhadap
restriksi natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis,
jika fungsi ginjal memadai, pemberia furosemid dapat bermanfaat.
d. Anemia
Anemia harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia,
etiologi Penyakit Gagal Ginjal Kronik, dan perjalanan penyakit
termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG).
Kadar eritropoietin dalam sirkulasi rendah. Eritropoietin
rekombinan parenteral meningkatkan kadar hemoglobin,
memperbaiki toleransi terhadap aktivitas fisik, dan mengurangi
kebutuhan tranfusi darah. Pada pasien gagal ginjal stadium lanjut
sebelum dialisis, eritropoiten mengkoreksi anemia dan memperaiki
keadaan umum tanpa mempengaruhi tingkat penurunan ginjal.
Hipertensi tergantung dosis terjadi pada 35% pasien dan biasanya
bisa dikendalikan dengan obatobatan penurunan tekanan darah,
walawpun enselafalopati hipertensi bisa timbul mendadak.
e. Penyakit tulang
Hipokalisemia akibat penurunan sistesis 1,25 (OH)2D3
hiperfosfatemia, dan retensi terhadap kerja PTH diperifer,

11
semuanya turut menyebabkan penyakit tulang adrenal. Terapinya
dengan pembatasan fosfat makana dengan atau tanpa mengikat
fofat (kalsium bikarbonat bila kalsium belum meningkat akhibat
hiperparatiroidisme tersier) dan penggunaan derivate la-
hidroksilasi vitamin D dosis rendah sedini mungkin.

2.1.8. Penatalaksanaan
Menurut Monika, (2019) Penatalaksanaan medis pada pasien dengan
CKD dibagi tiga yaitu :

a. Konservatif
1) Melakukan pemeriksaan lab darah dan urine
2) Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam.
Biasanya diusahakan agar tekanan vena jugularis sedikit meningkat
dan terdapat edema betis ringan. Pengawasan dilakukan melalui
pemantauan berat badan, urine serta pencatatan keseimbangan
cairan.
3) Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein). Diet rendah protein
(20-240 gr/hr) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia
dan nausea dari uremia serta menurunkan kadar ereum. Hindari
pemasukan berlebih dari kalium dan garam.
4) Kontrol hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan penyakit
ginjal, keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa
tergantung pada tekanan darah. Sering diperlukan diuretik loop
selain obat anti hipertensi (Guswanti, 2019).
5) Kontrol ketidak seimbangan elektrolit. Yang sering ditemukan
adalah hiperkalemia dan asidosis berat. Untuk mencegah
hiperkalemia hindari pemasukan kalium yang banyak (batasi
hingga 60 mmol/hr), diuretik hemat kalium, obat-obat yang
berhubungan dengan ekskresi kalium (penghambat ACE dan obat
anti inflamasi nonsteroid), asidosis berat, atau kekurangan garam

12
yang menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam
kaliuresis. Deteksi melalui kalium plasma dan EKG.
b. Dialysis
Peritoneal dialysis Biasanya dilakukan pada kasus – kasus
emergency. Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja
yang tidak bersifat akut adalah CAPD (Continues Ambulatori
Peritonial Dialysis).
c. Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena
dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan
melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka
dilakukan: AV fistule : menggabungkan vena dan arteri Double
lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke jantung)
Tujuannya yaitu untuk menggantikan fungsi ginjal dalam tubuh
fungsi eksresi yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh,
seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain (Guswanti,
2019).
d. Operasi
1) Pengambilan batu
2) Transplantasi ginjal

2.1.9. Konsep Asuhan Keperawatan


Untuk mengetahui permasalahan yang ada pada pada pasien Chronic
Kidney Disease (CKD) perlu dilakukan pengkajian yang lebih menyeluruh
dan mendalam dari berbagai aspek yang ada sehingga dapat ditemukan
masalah-masalah yang ada pada pasien dengan CKD menurut (Muttaqin &
Sari, 2014) adalah sebagai berikut:
1) Pengkajian
a) Biodata
Mengenai identitas pasien meliputi nama lengkap, tanggal lahir,
alamat dan sebagainya.

13
b) Keluhan utama
Pada pasien CKD dengan masalah kulit biasanya memiliki keluhan
seperti kulit kering sampai bersisik, kasar, pucat, gatal, mengalami
iritasi karena garukan, edema.
c) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien akan mengeluhkan mengalami penurunan urine output
(oliguria) sampai pada anuria, anoreksia, mual dan muntah, fatigue,
napas berbau urea, adanya perubahan pada kulit. Kondisi ini terjadi
karena penumpukan (akumulasi) zat sisa metabolisme/toksin dalam
tubuh karena ginjal mengalami kegagalan dalam filtrasi.
d) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat pemakaian obat-obatan, ada riwayat gagal ginjal akut, ISK,
atau faktor predisposisi seperti diabetes melitus dan hipertensi
biasanya sering dijumpai pada penderita CKD.
e) Riwayat Psikososial
CKD bisa menyebabkan gangguan pada kondisi psikososial pasien
seperti adanya gangguan peran pada keluarga karena sakit.
f) Pola nutrisi
Pada pasien CKD terjadi peningkatan BB karena adanya edema,
namun bisa juga terjadi penurunan BB karena kebutuhan nutrisi yang
kurang ditandai dengan adanya anoreksia serta mual atau muntah.
g) Pola eliminasi
Pada pasien CKD akan terjadi oliguria atau penurunan produksi urine
kurang dari 30 cc/jam atau 500 cc/24 jam. Bahkan bisa juga terjadi
anuria yaitu tidak bisa mengeluarkan urin selain itu juga terjadi
perubahan warna pada urin seperti kuning pekat, merah dan coklat
(Haryono, 2013).
h) Pola istirahat dan tidur
Pada pasien CKD istirahat dan tidur akan terganggu karena terdapat

14
gejala nyeri panggul, sakit kepala, kram otot dan gelisah dan akan
memburuk pada malam hari (Haryono, 2013).
i) Pola aktivitas
Pada pasien CKD akan terjadi kelemahan otot dan kelelahan yang
ekstrem
2) Pemeriksaan Fisik (Head To Toe)
Pemeriksaan fisik menurut (Muttaqin & Sari, 2014) pada pasien
Chronic Kidney Disease (CKD), sebagai berikut:
1) Pemeriksaan TTV
a. Tekanan darah
Pada pasien CKD tekanan darah cenderung mengalami
peningkatan dari hipertensi ringan hingga berat.
b. Nadi
Pada pasien CKD biasanya teraba kuat dan jika disertai dengan
disritmia jantung nadi akan teraba lemah halus.
c. Suhu
Pada pasien CKD biasanya suhu akan mengalami peningkatan
karena adanya sepsis atau dehidrasi sehingga terjadi demam.
d. Frekuensi pernapasan
Pada pasien CKD akan cenderung meningkat karena terjadi
takipnea dan dispnea.
e. Keadaan umum
Pada pasien CKD cenderung lemah dan nampak sakit berat
sedangkan untuk tingkat kesadaran menurun karena sistem
saraf pusat yang terpengaruhi sesuai dengan tingkat uremia
yang mempengaruhi
2) Kepala
Pada pasien CKD, rambut tampak tipis dan kering, berubah warna
dan mudah rontok, wajah akan tampak pucat, kulit tampak kering
dan kusam

15
3) Telinga
Pemeriksaan kesimetrisan telinga, produksi serumen, warna,
kebersihan dan kemampuan mendengar.
4) Mata
Pada pasien CKD akan tampak kalsifikasi (endapan mineral
kalsium fosfat) akibat uremia yang berlarut-larut di daerah pinggir
mata, di sekitar mata akan tampak edema, penglihatan kabur dan
konjungtiva akan terlihat pucat jika ada yang mengalami anemia
berat. Pada palpasi bola mata akan teraba kenyal dan melenting,
pada sekitar mata akan teraba edema
5) Hidung
Periksa adanya produksi sekret, ada atau tidak pernapasan cuping
hidung, kesimetrisan kedua lubang hidung.
6) Mulut
Pada saat bernapas akan tercium bau ammonia karena faktor
uremik, ulserasi pada gusi, bibir tampak kering.
7) Leher
Periksa ada massa atau tidak, pembengkakan atau kekakuan leher,
kulit kering, pucat, kusam. Palpasi adanya pembesaran kelenjar
limfe, massa atau tidak.
8) Dada
Pada pasien CKD pergerakan dada akan cepat karena pola napas
juga cepat dan dalam (kusmaul), batuk dengan ada tidaknya
sputum kental dan banyak apabila ada edema paru batuk akan
produktif menghasilkan sputum merah muda dan encer, pada kulit
akan ditemukan kulit kering, uremic frost, pucat atau perubahan
warna kulit dan bersisik. Pada pemeriksaan palpasi periksa
pergerakan dinding dada teraba sama atau tidak, terdapat nyeri dan
edema atau tidak. Pada perkusi pada seluruh lapang paru

16
normalnya resonan dan pada CKD pekak apabila paru terisi cairan
karena edema.
9) Abdomen
Pada saat inspeksi kulit abdomen akan tampak mengkilap karena
asites dan kulit kering, pucat, bersisik, warna cokelat kekuningan,
akan muncul pruritus. Auskultasi bunyi bising usus di keempat
kuadran abdomen. Pasien dengan CKD akan mengeluh nyeri pada
saat dilakukan pemeriksaan di sudut costo-vertebrae pada
penderita penyakit ginjal Pemeriksaan palpasi pada daerah
terakhir diperiksa yang terasa nyeri, teraba ada massa atau tidak
pada ginjal
10) Kulit dan kuku
Pemeriksaan kuku akan menjadi rapuh dan tipis, kulit menjadi
pucat, kering dan mengelupas, bersisik, akan muncul pruritus,
warna cokelat kekuningan, hiperpigmentasi, memar, uremic frost,
ekimosis, petekie, CRT > 3 detik, kulit teraba kasar dan tidak rata.
11) Ekstermitas
Pada pasien CKD terdapat edema pada kaki karena adanya
gravitasi biasanya ditemukan di betis dan paha pada klien yang
bedrest, kelemahan, kelelahan, kulit kering, hiperpigmentasi,
bersisik, turgor kulit > 3 detik karena edema, kulit teraba kering
dan kasar.
3) Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respon pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial (PPNI,
2017). Diagnosis kepewatan yang mungkin muncul pada pasien dengan
penyakit yaitu (Black & Hawk, 2021) :

17
a) Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi – perfusi
d.d dispnea, PCO2 meningkat/menurun, PO2 menurun, takikardia,
pH arteri meningkat/menurun, bunyi napas tambahan
b) Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi d.d ortopnea,
dispnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, edema anasarka dan/atau
edema perifer, berat badan meningkat dalam waktu singkat, JVP
dan atau CVP meningkat, reflek hepatojugular positif.
c) Perfusi perifer tidak efektif d.d penurunan konsentrasi hemoglobin
d) Gangguan integritas kulit dan jaringan b.d perubahan sirkulasi
e) Nausea b.d ganguan biokimia (uremia)
f) Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien
g) Ketidakpatuhan b.d program terapi kompleks dan/atau lama
h) Gangguan mobilitas fisik b.d perubahan metabolisme
i) Resiko gangguan perfusi renal d.d hiperglikemia
4) SIKI
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk
mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (PPNI, 2018). Intervensi
keperawatan yang dapat diberikan kepada pasien CKD dari diagnosis
keperawatan yang diangkat berdasarkan Standart Intervensi
Keperawatan Indonesia yaitu:
a) Diagnosis Ganguan Pertukaran Gas: pemantauan respirasi, terapi
oksigen.
b) Diagnosis Hipervolemia: manajemen hipervolemia, pemantauan
cairan.
c) Diagnosis Perfusi Perifer Tidak Efektif: perawatan sirkulasi,
manajemen sensasi perifer
d) Diagnosis Defisit Nutrisi: manajemen nutrisi, promosi berat badan.
5) Intervensi berdasarkan evidence based nursing

18
a) Apple intake improves antioxidant parameters in hemodialysis
patients without affecting serum potassium levels
Dalam penelitian (Giaretta et al., 2019)Dideskripsikan bahwa stres
oksidatif berhubungan dengan kenaikan morbiditas dan mortalitas
pada pasien gagal ginjal kronik. Dengan mengonsumsi apel jenis
fuji sebanyak 2 buah perhari dilaporkan mampu meningkatkan
aktivitas plasma antioksidant. Selain itu fruktosa yang terkandung
dalam memaikan peran penting dalam peningkatan kapasitas
antioksidan. 2 fuji apel setara 360g perhari dan 1 minggu
memberikan dampak terhadap meningkatannya enzym Gpx
(glutathione peroxidase) and SOD (Superxoide dismutase) dan
nonezymatic AA (Ascorbic Acid) antioxidant pada pasien gagal
ginjal kronik.
b) Enhancing Self-efficacy for Fluid Management in Chronic
Kidney Disease with Fitbit and Flex
Laporan (Oseni & Firmin, 2022) penelitian dengan menggunakan
manajemen pasien berdasarkan fitbix dan flex. Program fitbit and
flex diprogramkan untuk mengetahui kondisi fisik dan intake cairan
serta perilaku kesehatan pasien gagal ginjal kronik yang
bersangkutan baik secara online maupun offline.

2.2 Konsep Hemodialisis


2.2.1 Definisi
Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi
sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir
CKD atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat.
Penderita CKD, hemodialisis akan mencegah kematian. Hemodialisis tidak
menyembuhkan atau memulihkan penyakit
ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau
endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta

19
terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2006 ;
Nursalam,2006).
2.2.2 Tujuan Hemodialisis
Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut
diantaranya adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi
(membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin,
dan sisa metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam
mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat
ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita
penurunan fungsi ginjal serta Menggantikan fungsi ginjal sambil
menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan Madjid, 2009).
Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang
melalui membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi
elektrokimia. Tujuan utama Hemodialisis adalah untuk mengembalikan
suasana cairan ekstra dan intrasel yang sebenarnya merupakan fungsi dari
ginjal normal. Dialisis dilakukan dengan memindahkan beberapa zat
terlarut seperti urea dari darah ke dialisat. dan dengan memindahkan zat
terlarut lain seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam darah. Konsentrasi
zat terlarut dan berat molekul merupakan penentu utama laju difusi.
Molekul kecil, seperti urea, cepat berdifusi, sedangkan molekul yang
susunan yang kompleks serta molekul besar, seperti fosfat, β2-
microglobulin, dan albumin, dan zat terlarut yang terikat protein seperti p-
cresol, lebih lambat berdifusi. Disamping difusi, zat terlarut dapat melalui
lubang kecil (pori-pori) di membran dengan bantuan proses konveksi yang
ditentukan oleh gradien tekanan hidrostatik dan osmotik – sebuah proses yang
dinamakan ultrafiltrasi (Cahyaning, 2009)).
Ultrafiltrasi saat berlangsung, tidak ada perubahan dalam konsentrasi zat
terlarut; tujuan utama dari ultrafiltrasi ini adalah untuk membuang kelebihan
cairan tubuh total. Sesi tiap dialisis, status fisiologis pasien harus diperiksa
agar peresepan dialisis dapat disesuaikan dengan tujuan untuk masing-masing

20
sesi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyatukan komponen peresepan dialisis
yang terpisah namun berkaitan untuk mencapai laju dan jumlah keseluruhan
pembuangan cairan dan zat terlarut yang diinginkan. Dialisis ditujukan untuk
menghilangkan komplek gejala (symptoms) yang dikenal sebagai sindrom
uremi (uremic syndrome), walaupun sulit membuktikan bahwa disfungsi sel
ataupun organ tertentu merupakan penyebab dari akumulasi zat terlarut
tertentu pada kasus uremia (Lindley, 2011).
2.2.3 Indikasi Hemodialisis
Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang
jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan
harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan
kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat
jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi
bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala
klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin
serum diatas 6 mg/100 ml pada pria, 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro
filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan
terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan
sehari-hari tidak dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf pre renal/ renal/ post renal, apabila
pengobatan konvensional gagal mempertahankan Rft normal. Crf, ketika
pengobatan konvensional tidak cukup, indikator biokimiawi yang
memerlukan tindakan hemodialisa:
a. Peningkatan bun > 20-30 mg%/hari,
b. Serum kreatinin > 2 mg%/hari,
c. Hiperkalemia,
d. Overload cairan yang parah,
e. Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
f. Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%,
g. Asidosis metabolik yang parah.

21

Anda mungkin juga menyukai