Disusun Oleh:
2. Etiologi
a. Diabetes dan hipertensi barau-baru ini telah menjadi etiologi tersering
terhadap GGK di US yakni sebesar 34% dan 21%
b. Sedangkan glomerulonephritis menjadi ketiga dengan 17%
c. Infeksi nefritis tubulointerstitial (pielonefritis kronik atau nefropati refluks)
dan penyakiit ginjal polikistik masing-masing 3,4%
d. Penyebab yang tidak sering terjadi yaknik uropati obstruktif, lupus
eritomatosus dan lainnya sebesar 21%
e. Penyebab gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun
2000 menunjukkan glomerulonephritis menjadi etiologi dengan prosentase
tertinggi dengan 46,39% disusul dengan diabetes melitus dengan 18,65%,
obstruksi dan infeksi dengan 12,85%, hipertensi dengan 8,46%, dan sebab lain
dengan 13,65%
f. Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 20007-2008 didapatkan urutan etiologi
terbanyak sebagai berikut glomerulonephritis (25%), diabetes melitus (23%),
hipertensi (20%), dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2018)
3. Patofisiologi
Penyebab yang mendasari PGK bermacam-macam seperti penyakit
glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vascular, infeksi, nefritis
interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal kronik
melibatkan 2 mekanisme kerusakan:
a. Mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan selanjutnya
seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis,
atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan inetrstitium;
b. Mekanisme kerusakan progesif yang ditandai dengan adanya
hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa
Ginjal, kita memiliki 1 juta nefron, dan masing-masing memiliki
kontribusi terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperti
yang telah dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan
untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat yang tersisa ini
akan mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan
akan menye- babkan hipertensi sistemik dalam glomerulus. Peningkatan tekanan
glomerulus ini akan menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat seba- gai
mekanisme kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa
menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin
meningkat.
Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan proteinuria.
Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi dari gagal ginjal.
Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menye- babkan kerusakan
langsung terhadap jalur lisosomal intraselular, meningkatkan stres oksidatif,
meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan faktor kemotaktik
yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel
melalui peng- ambilan dan aktivasi makrofag.
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis
matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen
tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular skle- rosis, fibrosis
tubulointerstitiel, dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat
menjadi berkurang dan akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh
hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi
ekskretorik maupun non ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal
antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen. penurunan reabsorbsi Na pada tubuli,
penurunan ekskresi kalium. penurunan ekskresi fosfat. penurunan ekskresi
hidrogen.
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan mengubah
bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO),
menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun,
dan sistem reproduksi. Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan
tekanan intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara
lokal di ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan
intraglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent. Angiotensin
II akan memicu stres oksidatif yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi
sitakin, molekul ades, dan kemoaktraktan, se- hingga angiotensin Il memiliki
peran penting dalam patofisiologi PGK.
Gangguan tulang pada PGK terutama stadium akhir disebab- kan karena
banyak sebab, salah satunya adalah penurunan sin- tesis 1,25-dihydroxyvitamin
D atau kalsitriol, yang akan menye- babkan kegagalan mengubah bentuk inaktif
Ca sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca. Penurunan absorbsi Ca ini akan
menye babkan hipokalsemia dan osteodistrofi. Pada PGK akan terjadi
hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia,
resistensi skeletal terhadap PTH Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback
negatif inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia akan menstimulasi
sintesis dan sekresi PTH.
Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mam- pu
untuk mengekskresikan zat-zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul
hiperfosfatemia, Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor ini
akan menyebabkan inhibisi 1-a hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis
kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun akan menurun.
Akan terjadi resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap
PTH tidak berjalan. Terjadi peningkatan hormon parathormon. Akhirnya akan
timbul hiperparatiroidisme sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder akan
menyebabkan depresi pada sumsum tulang sehingga akan menurunkan
pembentukan eritropoetin yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia. Selain
itu hiperparatiroidisme sekunder juga akan menyebkan osteod2rofi yang
diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone
disorder, dan mixed osteodistrofi. Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan
retensi air sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan oedem, hipertensi.
Penurunan ekskresi kalium juga terjadi terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih
pada PGK stadium 5. Penuruan ekskresi ini akan menyebabkan hiperkalemia
sehingga meningkatkan resiko terjadinya kardiak arrest pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien PGK biasanya merupakan kom- binasi
adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada PGK, ginjal
tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk
mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium.
Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada PGK stadium 5. Anion gap terjadi
karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion-anion lain yang tidak terekskresi
dengan baik. Asidosis metabolik pada PGK dapat menyebabkan gangguan
metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah satu
faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal.
Pada PGK terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa
nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea
nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat.
Uremia yang bersifat toksik dapat. menyebar ke seluruh tubuh dan dapat hengenai
sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan
menye- babkan trombositopati dan memperpendek usia sel darah merah.
Trombositopati akan meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada GIT,
dan dapat berkembang menjadi anemia bila penanganannya tidak adekuat. Uremia
bila sampai di kulit akan menyebabkan pasien merasa gatal-gatal.
Pada PGK akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi
lipid, gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin
menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan produksi lipid akan
memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan gagal jantung. Anemia pada PGK terjadi karena depresi susmsum
tulang pada hiperparatiroidisme seunder yang akan menurunkan sisntesis EPO.
Selain itu anemia dapat terjadi juga karena masa gidup eritrosit yang memendek
akibat pengaruh dari sindrom uremia. Anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi.
4. Manifestasi Klinik
Penyakit ginnjal kronis tidak menunjukkan geja atau tanda-tanda
terjadinya penurunan fungsi secara spesifik, tetapi gejala yang muncul mulai
terjadi pada saat fungsi nefron mulai menurun secara berkelanjutan. Penyakit
ginjal kronis dapat mengakibatkan terganggunya fungsi organ tubuh lainya.
Penurunan fungsi ginjal yang tidak dilakukan penatalaksanaan secara baik dapat
berakibat buruk dan menyebabkan kematian. Tanda gejala umum yang sering
muncul meliputi:
a. Darah ditemukan dalam urin, sehingga urin berwarna gelap seperti the
(hematuria)
b. Urin seperti berbusa (albuminuria)
c. Urin keruh (infeksi saluran kemih)
d. Nyeri yang dirasakan saat buang air kecil
e. Merasa sulit saat berkemih (tidak lancar)
f. Ditemuan pasir/batu di dalam urin
g. Terjadi penambahan atau pengurangan produksi urin secara signifikan
h. Nocturia (sering buang air pada malam hari)
i. Terasa nyeri di bagian pinggang/perut
j. Pergelangan kaki, kelopak mata dan wajah oedem (bengkak)
k. Terjadi peningkatan tekanan darah
Infeksi saluran Penyakit Penyakit vaskuler Gangguan Jaringan Penyakit congenital: dan Penyakit metabolic: Netropati obstruktif
kemih Peradangan hipertensif: Penyambung: herediter: - DM - Batu saluran
(Pielonefritis kronis) (Glomerulusnefritis) - Nefrosklerosis - Sclerosis sistemik - Penyakit ginjal - hiperparatiroidisme kemih
- Sterosis arteri renalis polisiklik
- Asidosis tubulus ginjal
Produksi SDM Filtrasi glomerulus Protein/albumin dapat melewati Produksi sampah di aliran darah
membrane glomerulus
Ureum
7. Data penunjang
a. Radiologi: Menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
a) Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan
adanya massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
b) Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
c) Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
d) EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa.
b. Foto Polos Abdomen: Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau
obstruksi lain
c. Pielografi Intravena: Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi
penurunan faal ginjal pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam
urat.
d. USG: Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi sistem
pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi
sistem pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
e. Renogram: Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan (vaskuler,
parenkhim) serta sisa fungsi ginjal.
f. Pemeriksaan Radiologi Jantung: Mencari adanya kardiomegali, efusi
perikarditis.
g. Pemeriksaan radiologi Tulang: Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks
/jari) kalsifikasi metatastik.
h. Pemeriksaan radiologi Paru: Mencari uremik lung yang disebabkan karena
bendungan.
i. Pemeriksaan Pielografi Retrograde: Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi
yang reversible.
j. EKG: Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tandatanda
perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia).
k. Biopsi Ginjal: Dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal
kronis atau perlu untuk mengetahui etiologinya.
l. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal
a) Laju endap darah
b) Urin
- Volume: Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak
ada (anuria).
- Warna: Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus
/ nanah, bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat, sedimen kotor, warna
kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
- Berat Jenis: Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
- Osmolalitas: Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
tubular, amrasio urine / ureum sering 1:1.
c) Ureum dan Kreatinin
- Ureum
- Kreatinin: Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10
mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
a) Riwayat keperawatan
1) Usia, jenis kelamin, dan tingkat aktivitas
2) Perubahan nafsu makan
3) Perubahan berat badan
4) Riwayat pengobatan
5) Riwayat kesehatan dahulu
b) Pemeriksaan fisik
1) Keadaan fisik: kesadaran composmentis
2) Otot: flaksia/lemah, tidak mampu bekerja
3) Bibir: kering
4) Rambut: hitam keputihan
5) Kulit: bersisik, menghitam
6) Mata: konjungtiva anemis
b. Diagnose
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kecemasan dibuktikan
dengan pola napad abnormal hiperventilasi (D.0005)
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen dibuktikan dengan dispnea setelah aktivitas
(D.0056)
3) Hypervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
dibuktikan dengan adanya edema perifer di engkel dan telapak kaki
(D.0022)
c. Intervensi
1) Pola napas tidak efektif
Manajemen Jalan Napas (I.01011)
Observasi:
- Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan
- Monitor sputum
Terapeutik:
- Posisikan semi-fowler atau fowler
- Berikan minuman hangat
- Berikan oksigen, jika perlu
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitikm jika
perlu
2) Intoleransi aktivitas
Manajemen Energi (I.05178)
Observasi:
- Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
- Monitor pola dan jam tidur
Terapeutik:
- Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. Cahaya,
suara, kunjungan)
- Fasilitasi duduk disisi tempat tidur, jika tidak dapat bepindah atau
berjalan
Edukasi:
- Anjurkan tirah baring
- Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
Kolaborasi:
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
makanan
3) Hypervolemia
Manajemen Hipervolemia (I.03114)
Observasi:
- Periksa tanda dan gejala hypervolemia (mis. Ortopnea, dispnea,
edema)
- monitor intake dan output cairan
- monitor kecapatn infus secara ketat
Terapeutik:
- batasi asupan cairan dan garam
- tinggikan kepala tempat tidur 30˚-40˚
Kolaborasi:
- kolaborasi pemberian obat diuretik
DAFTAR PUSTAKA
Siregar, Cholina Trisa. 2020. Buku Ajar Manajemen Komplikasi Pasien Hemodialisa.
Yogyakarta: Deepublish CV Budi Utama.
Mailani, Fitri. 2022. Edukasi Pencegahan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) Pada Lansia.
Indramayu Jawa Barat: Penerbit Adab.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Edisi I
Cetakan ke-3. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi I
Cetakan ke-2. Jakarta: DPP PPNI