Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN TENTANG CHRONIC KIDNEY DISEASES

(CKD) DAN HEMODIALISA KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Dosen Pengampuh : Muskhab Eko Riyadi, S.Kep., Ns.,M.Kep.

Diajukan Oleh:
Maria Giovani Sa Longa
Nim : 24.20.1470

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
YOGYAKARTA
2021
A. CHRONIC KIDNEY DISEASE

1. Pengertian

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penurunan fungsi ginjal


progresif yang ireversibel ketika ginjal tidak mampu mempertahankan
keseimbangan metabolik, cairan, dan elektrolit yang menyebabkan terjadinya
uremia dan azotemia (Bayhakki, 2013).
Chronic Kidney Disease adalah kemunduran fungsi ginjal yang progresif
dan ireversibel dimana terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk
mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang
mengakibatkan uremia atau azotemia (Wijaya dan Putri, 2017).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Chronic Kidney Disease adalah suatu keadaan klinis yang terjadi penurunan fungsi
ginjal dengan ditandai terjadinya penurunan GFR selama
>3 bulan yg bersifat progresif dan irreversibel, ginjal tidak dapat mempertahankan
keseimbangan metabolik, cairan, dan elektrolit yang menyebabkan terjadinya
uremia dan azotemia.

2. Etiologi

a. Gangguan pembuluh darah ginjal : Berbagai jenis lesi vaskular dapat menyebabkan
iskemik ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling sering adalah
aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan kontriksiskleratik progresif
pada pembuluh darah hiperplasia fibromuskular pada satu atau lebih arteri besar
yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh darah nefrosklerosis yaitu saatu
kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak diobati, dikarakteristikan
oleh penebalan, hilangnya elastisitas sistem, perubahan darah ginjal mengakibatkan
penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.
b. Gangguan imunologis: Seperti glomerulonefritis & SLE

c. Infeksi : Dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E. Coli yang
berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini mencapai
ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara asceden dari traktus
urinarius bagian bawah lewat ureter ke ginjal sehingga dapat menimbulkan
kerusakan irreversibel ginjal yang disebut plenlonefritis.
d. Gangguan metabolik : seperti DM (Diabetes Melitus) yang menyebabkan
mobilisasi lemak meningkat sehingga terjadi penebalan membran kapiler dan di
ginjal dan berkelanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefripati
amiliodosis yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada
dinding pembuluh darah secara serius merusak membran glomerulus.
e. Gangguan tubulus primer : terjadi nefrotoksis akibat analgesik atau logam berat.
f. Obstruksi taktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan kontriksi uretra.
g. Kelainan kongenetal dan herediter: penyakit polikistik = kondisi keturunan yang
dikarakteristik oleh terjadinya kista/kantong berisi cairan di dalam ginjal dan organ
lain, serta tidak adanya jar. Ginjal yang bersifat kongenetal (hipoplasia renalis)
serta adanya asidosis.

3. Patofisiologi

Fungsi renal menurun, produksi akhir metabolisme protein (yang


normalnya diekresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengarui setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produksampah maka
grjala akan semakin berat. Dan banyak gejala uremia membaik setelah dialisis
(Wijaya dan putri, 2017)
Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit
glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis
interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal kronik
melibatkan 2 mekanisme kerusakan : (1) mekanisme pencetus spesifik yang
mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi
pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan
interstitium; (2) mekanisme kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya
hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa.
Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki kontribusi
terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperti yang telah
dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan untuk
mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat yang tersisa ini akan
mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan akan
menyebabkan hipertensi sistemik dalam glomerulus. Peningkatan tekanan
glomerulus ini akan menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat sebagai
mekanisme kompensasi. Pada tahap ini

akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia akibat
ekskresi Na melalui urin meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan
menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi
dari gagal ginjal. Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan
kerusakan langsung terhadap jalur lisosomal intraselular, meningkatkan stres
oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan faktor
kemotaktik yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan fibrosis
tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi makrofag.

Gambar 2.3 Piramid Iskemik dan Sklerosis Arteri dan Arteriol pada Patogan
lintang Ginjal (McAlexander, 2015)
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis
matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen
tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel,
dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang
dan akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi
nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi
ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal
antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan reabsorbsi Na pada tubuli,
penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan ekskresi
hidrogen.
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalanmengubah
bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO),
menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun,
dan sistem reproduksi. Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan
tekanan intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara
sistemik dan secara lokal di ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan
mengatur tekanan intraglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole
efferent. Angiotensin II akan memicu stres oksidatif yang pada akhirnya akan
meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan, sehingga
angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD.
Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan karena
banyak sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25- dihydroxyvitamin D
atau kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca
sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca. Penurunan absorbsi Ca ini akan
menyebabkan hipokalsemia dan osteodistrofi. Pada CKD akan terjadi
hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia,
resistensi skeletal terhadapPTH. Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback
negatif inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan sekresi
PTH.
Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk
mengekskresikan zat – zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia.
Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor ini akan menyebabkan
inhibisi 1- α hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena
inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi
resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak
berjalan. Terjadi peningkatan hormon parathormon. Akhirnya akan timbul
hiperparatiroidisme sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan
depresi pada sumsum tulang sehingga akan menurunkan pembentukan eritropoetin
yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia. Selain itu hiperparatiroidisme
sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi yang diklasifikasikan menjadi osteitis
fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi.
Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya dapat
menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi terutama
bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan ekskresi ini akan
menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadinya kardiak arrest
pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi
adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada CKD, ginjal
tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk
mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk
ammonium. Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5. Anion
gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion – anion lain yang tidak
terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat menyebabkan
gangguan metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah
satu faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal.
Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresisisa
nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea
nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat.
Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai
sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan
menyebabkan trombositopati dan memperpendek usia sel darah merah.
Trombositopati akan meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada GIT,
dan dapat berkembang menjadi anemia bilapenanganannya tidak adekuat. Uremia
bila sampai di kulit akan menyebabkan pasien merasa gatal – gatal.
Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi
lipid, gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin
menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan produksi lipid akan
memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal
jantung.
Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada
hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu
anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat
pengaruh dari sindrom uremia, anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi (Kirana,
2015)

4. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Penyakitnya

Dibawah ini 5 stadium penyakit Chronic Kidney Disease sebagai berikut :

a. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)

b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)

c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)

d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)

e. Stadium 5, gagal ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)


Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance CreatininTest)
dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )

72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
5. Manifestasi Klinik

a. Gangguan kardiovaskuler

Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi


perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung
dan edema. Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme
terjadinya hipertensi pada CKD oleh karenapenimbunan garam dan air, atau sistem
renin angiostensin aldosteron (RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang sering
dijumpai akibat kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai
efusi perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan
elektrolit.
b. Gangguan pulmoner

Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekles.
c. Gangguan gastrointestinal

Anoreksia, nausea, fomitus yang berhubungan dengan metabolisme


protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan
perdarahan mulut, nafas bau ammonia. akibat metabolisme protein yang terganggu
oleh bakteri usus sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut.
Disamping itu sering timbul stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas
penyebabnya. Gastritis erosif hampir dijumpai pada 90 % kasus CKD, bahkan
kemungkinan terjadi ulkus peptikum dan kolitis uremik.

d. Gangguan muskuluskeletal

Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan),


burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki),
tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas. Penderita sering
mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak (restlesslessleg syndrome), kadang
tersa terbakar pada kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa kelemahan, gangguan
tidur, gangguan konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan kesadaran atau
koma.
e. Gangguan integumen

kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat


penimbunan urokrom. Gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh. Kulit
berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan gatal
akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.
f. Gangguan endokrin

Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan


menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak
dan vitamin D.
g. Sistem hematologi

Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopetin,


sehingga rangsangan eritopoesis pada sum-sum tulang berkurang, hemodialisi
akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalamsuasana uremia toksik, dapat juga
terjadi gangguan fungsi trombosit dan trombositopeni. selain anemi pada CKD
sering disertai pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula
disertai trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu
sehingga pertahanan seluler terganggu, sehingga pada penderita CKD mudah
terinfeksi, oleh karena imunitas yang menurun.
h. Gangguan lain

Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan


elektrolit dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik,
hiperkalemia, hiperforfatemi, hipokalsemia. (Wijaya dan Putri, 2017)
Pasien dengan stadium I atau II tidak memiliki gejala atau gangguan
metabolik seperti asidosis, anemia, dan penyakit tulang. Selain itu, pengukuran
yang paling umum dari gangguan fungsi ginjal yaitu serum kreatininmungkin
hanya sedikit meningkat pada tahap awal CKD . akibatnya, estimasi GFR sangat
penting bagi pengenalan tahap awal CKD. Karena tahap awal CKD sering tidak
terdeteksi, dibutuhkan diagnosis pada pasien dengan tingkat kecurigaan yang tinggi
yaitu yang mengalami kondisi kronis seperti hipertensi dan diabetes militus.
Tanda dan gejala terkait dengan CKD menjadi lebih umum pada stage III,
IV, V. Anemia, kelainan metabolisme kalsium dan fosfor (hiperparatiroidisme
sekunder), malnutrisi, abnormalitas cairan dan elektrolit menjadi lebih umum
seiring fungsi ginjal memburuk. Umumnya pada pasien
CKD stadium V juga mengalami gagal-gagal, intoleransi dingin, berat badan
menurun, neuropati perifer (Joy et al, 2008).
6. Pemeriksaan Penunjang

a. Urine

1) Volume : < 400 ml/24 jam(oliguria)/anuria

2) Warna : urin keruh

3) Berat jenis < 1, 015

4) Osmolalitas< 350 m osm/ kg

5) Klirens kreatinin : turun

6) Na++ > 40 mEq/lt

7) Protein : proteinuria (3-4+)

b. Darah

1) BUN/Kreatinin : >0,6-1,2 mg/dL(untuk laki-laki), >0,5-1,1 mg/dL(wanita)


2) Ureum : 5-25 mg/dL

3) Hitung darah lengkap : Ht turun, Hb < 7-8 gr%

4) Eritrosit : waktu hidup menurun

5) GDA, Ph menurun : asidosis metabolik

6) Na ++ serum : menurun

7) K+ : meningkat

8) Mg +/ fosfat : meningkat

9) Protein (khusus albumin) : menurun

c. Osmolalitas serum > 285 m osm/kg

d. KUB foto : ukuran ginjal / ureter/KK dan obstruksi ( batas)

e. Pielogram retrograd : identifikasi ekstravaskuler, massa.

f. Sistouretrogram berkemih : ukuran KK, refluks kedalaman ureter, retensi.

g. Ultrasono ginjal : sel. Jaringan untuk diagnosis histologist.

h. Endoskopi ginjal, nefroskopi : batu, hematuria, tumor

i. EKG : ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.


j. Foto kaki, tengkorak, kulomna spinal (Wijaya dan Putri, 2017)

7. Penatalaksanaan

a. Pengaturan minum : pemberian cairan

b. Pengendalian hipertensi=<intake garam

c. Pengendalian K+ darah

d. Penanggualan anemia: transfusi

e. Penanggualan asidosis

f. Pengobatan dan pencegahan infeksi

g. Pengaturan protein dalam makan

h. Pengobatan neuropati

i. Dialisis

j. Tlansplatasi ginjal (Wijaya dan Putri, 2017)


B. Konsep Hemodialisis

Hemodialisa di indonesia dimulai pada tahun 1970, dan sampai sekarang


telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan, umumnya dipergunakan ginjal
buatan yang kompertemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermeabel
(hallow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur
yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang
mahal (Sudoyo et al. 2009)
1. Definisi

Hemodialisis adalah proses pembuangan zat zat sisa metabolisme, zat


toksik lainnya melalui membran 2semi permeabel sebagai pemisah antara darah
dan cairan diaksat yang sengaja dibuat dalam dializer (Wijaya dan Putri, 2017)
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari
hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau
end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau
permanen (Suharyanto dan Madjid, 2009).
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hemodialisaadalah
suatu tindakan yang digunakan pada klien gagal ginjal untuk proses pembuangan
zat-zat sisa metabolisme, zat toksik dan untuk memperbaiki ketidakseimbangan
elektrolit lainnya melalui membran 2semi permeabel sebagai pemisah antara darah
dan cairan diaksat yang sengaja dibuat dalam dializer.

2. Tujuan

Hemodialisa bertujuan Membuang sisa produk metabolisme protein : urea


kreatinin dan asam urat, Membuang kelebihan cairan dengan mempengaruhi
tekanan banding antara darah dan bagian cairan, Mempertahankan atau
mengembanlikan sistem buffer tubuh,
Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh. (Wijaya dan Putri,
2017)
Hemodialisa menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi
(membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa
metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan
tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat, meningkatkan
kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal serta menggantikan
fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan
Madjid, 2009).
3. Indikasi

a. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien gagal ginjal kronik dangagal
ginjal akut untuk sementara samapai fungsi ginjal pulih (laju filtrasi glomerulus <5
ml).
b. Pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi:
Hiperkalemia (K+ darah>6 meq/l), Asidosis, Kegagalan terapi konservatif, Kadar
ureum /kreatinin tinggi dalam darah (ureum>200mg%, kreatinin serum>6mEq/l,
Kelebihan cairan, Mual dan muntah yang hebat
c. Intoksikasi obat dan zat kimia

d. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat

e. Sindrom hepatorenal dengan kriteria : K+pH darah <7,10 asidosis, Oliguria/an uria
>5 hari, GFR <5ml/i pada CKD, ureum darah >200mg/dl (Wijaya dan Putri, 2017)
Pada umumnya indikasi dialisis pada CKD adalah bila laju filtrasi
glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 mL/menit, yang di dalam praktekdianggap
demikian bila (TKK)<5mL/menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK
<5mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila
dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah :
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

b. K serum >6 mEq/L

c. Ureum darah 200mg/dl

d. pH darah <7,1

e. Anuria berkepanjangan (>5 hari)

f. Fluid overloaded (Sudoyo et al. (2010)

4. Kontra indikasi

a. Hipertensi berat (TD >200/100mmHg)

b. Hipotensi (TD <100mmHg)

c. Adanya perdarahan hebat

d. Demam tinggi (Wijaya dan Putri, 2017)


5. Prinsip Hemodialisa

Prinsip hemodialisa dengan cara difusi dihubungkan dengan pergeseran


partikel-partikel dari daerah konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah oleh tenaga
yang ditimbulkan oleh perbedahan konsentrasi zat-zat
terlarut di kedua sisi membran dialisis, difusi menyebabkan pergeseran urea
kreatinin dan asam urat dari darah ke larutan dialisat.
Osmosa adalah Mengangkut pergeseran cairan lewat membran semi
permiabel dari daerah yang kadar partikel partikel rendah ke daerah partikel lebih
tinggi, osmosa bertanggung jawab atas pergeseran cairan dari klienterutama pada
pada.
Ultrafiltrasi Terdiri dari pergeseran cairan lewat membran semi periabel
dampak dari bertambahnya tekanan yang dideviasikan secara buatan, Hemo:darah,
dialisis memisahkan dari yang lain (Sudoyo et al, 2009)

6. Akses Sirkulasi Darah

a. Kateter dialisis perkutan yaitu pada vena pulmoralis atau vena subklavikula

b. Cimino : dengan membuat fistula interna arteriovenosa~ operasi (LA.Radialis dan


V. Sefalika pergelangan tangan) pada tangan non dominan. Darah dipirau dari A
ke V sehingga vena membesar hubungan ke sistim dialisi dengan 1 jarum di distal
(garis arteri) dan diproksimal (garis vena), lama pemakaian -+ 4 tahun, masalah
yang mungkin timbul: Nyeri pada punksi vena,trombosis, Aneurisme, kesulitan
hemostatik post dialisa, Iskemia tangan. Kontra indikasi : Penyakit perdarahan,
Kerusakan prosedur sebelumnya, Ukuran pembuluh darah klien/halus.
c. AV Graft : tabung plastik dilingkarkan yang menghubungkan arteri ke vena..
operasi graf seperti operasi fastula AV, digunakan 2-3 minggu setelah
operasi(Wijaya dan Putri, 2017)

Gambar 2.4 Akses Pembuluh Darah


7. Prosedur pelaksanaan HD

Gambar 2.5 Prosedur Hemodialisa

Hemodialisa dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung


ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompertemen yang terpisah. Darah
pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen yang dibatasi oleh selaput
semipermeabel buatan (artifisial) dengan komposisi elektrolit mirip serum normal
dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang
terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari
konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang rendah, sampai konsentrasi zat terlarut
sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah
dari kompartemen darah ke konpartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan
tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini
disebut ultrafiltrasi.
Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat pelarut yang
berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat
dibanding molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat pelarut tersebut makin
tinggi bila konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, diberikan tekanan
hidrolik dikompartemen darah, dan bila tekanan osmotik di kompartemen cairan
dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawaan arah dengan darah untuk
meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat
tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama dikedua kompartemen.
(Pudji et al, 2009).
8. Penatalakasanaan Pasien yang Menjalani Hemodialisis

Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar


tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk
terjadinya kematian pada pasien hemodialisis.
Status cairan menentukan kecukupan cairan dan terapi cairanselanjutnya.
Status cairan pada pasien CKD dapat dimanifestasikan dengan pemeriksaan edema,
tekanan darah, kekuatan otot, lingkar lengan atas, nilai IDWG dan biochemical
marker yang meliputi natrium, kalium, kalsium, magnesium, florida, bikarbonat
dan fosfat.
Asupan protein diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas
asupan protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40- 70
meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi kalium
seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. Jumlah
asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yangada ditambah insensible
water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 mEq.hariguna mengendalikan tekanan
darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang
selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka
selama periode di antara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar
(wijaya dan putri, 2017)
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian melalui
ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik,
antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar
kadar obat-obatan ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa
menimbulkan akumulasi toksik. Resiko timbulnya efek toksik akibat obat harus
dipertimbangkan (Hudak & Gallo, 2010).

9. Komplikasi

Wijaya dan Putri (2017) menjabarkan komplikasi hemodialisa sebagai berikut :


1. Hipotensi

Merupakan komplikasi akut yang sering terjadi, dimana insiden 15-30%. Dapat
disebabkan oleh karena penurunan volume plasma, disfungsi otonom, vasodilatasi
karena energy panas dan obat anti hipertensi.
2. Kram otot
Terjadi 20 % pasien yang menjalankan hemodialisa, dimana penyebabidiopatik,
namun diduga karena kontraksi akut yang dipacu oleh peningkatan volume
ekstrasluler.
C. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Data Biografi :identitas pasien, nama, umur, jenis kelamin, agama, status
perkawinan, pendidikan, suku/bangsa, pekerjaan, alamat, ruang, identitas
penaggung jawab, hubungan dengan pasien, no telepon,
asuransi kesehatan (jika ada).

b. Riwayat kesehatan

1) Keluhan utama/alasan masuk Rumah sakit

2) Riwayat kesehatan sekarang : dimulai dri akhir masa sehat, ditulis dengan
kronologis sesuai urutan waktu, dicatat perkembangan dan perjalanan penyakitnya
seperti : faktor pencetus, sifat keluhan (mendadak/berlahan-lahan/terus
menerus/hilang timbul atauberhubungan dengan waktu, lokalisasi dan sifarnya (
menjalar
/menyebar/berpindah/menetap), bearat ringannya keluhan (menetap/cenderung
bertambah atau berkurang), lamanya keluhan, upaya yang dilakukan untuk
mengatasi, keluhan saat pengkajian, diagnosa medik
3) Riwayat kesehatan dahulu

Penyakit yang pernah dialami (jenis penyakit, lama dan upaya untuk mengatasi,
riwayat masuk RS), Alergi, Obat-obatan yang pernah digunakan.
4) Riwayat kesehatan keluarga

Penyakit menular/tidak menular/keturunan dalam keluarga, disertai genogram.


5) Pengkajian lingkungan

Pengkajian lingkungan rumah, lingkungan klien bekerja, fokus pada upaya


keamanan klien, informasi tentang lingkungan rumah dan tempat bekerja
meliputi:tata ruang, kebersihan, resiko cidera, paparan polusi, pencahayaan,
susasana rumah,
c. Pola fungsional gordon

1) Pola management kesehatan/persepsi kesehatan

Persepsi terhadap penyakit yang dialaminya, Riwayat penggunaan


tembakau, alkohol, alergi (obat-obatan, makanan,
reaksi alergi), mengatur dan menjaga kesehatannya, pengetahuan dan praktik
pencegahan penyakit.
2) Pola nutrisi dan metabolik

Kebiasaan klien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi sebelum dan sesudah


sakit meliputi : jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi, frekuensi makan
dan minum, porsi makan, makanan yang disukai, nafsu makan (normal,meningkat,
menurun), pantangan atau alergi, penurunan sensasi kecap, mual-muntah,
stomatitis, kesulitan menelan (disfagia). riwayat masalah kulit/penyembuhan
(ruam, kering, keringat berlebihan, penyembuhan abnormal, jumlah minum/24 jam
dan jenis (kehausan yang sangat), mengkaji ABCD yaitu :A (Antropometri) : BB,
TB, sebelum dan sesudah sakit fluktuasi BB 6 bulan terakhir (naik/turun), B
(Biocemicle): Hemoglobin, Leukosit, Trombosit, Hematoktit (cairan), Albumin
edema, C (Clinicel) : turgor kulit, konjungtiva, CRT, D (Diet) : diet/suplment
khusus, Instruksi diet sebelumnya.
3) Pola eliminasi

Buang air besar (BAB) : Frekuensi, waktu, Warna, konsistensi, Kesulitan (diare,
konstipasi, inkontinensia), Buang Air Kecil (BAK)
: Frekuensi, Kesulitan/keluhan (disuria, noktiria, hematuria, retensia,
inkontinensia).
4) Pola aktivitas dan kebersihan diri kemampuan perawatan diri0 : Mandiri
1: dengan alat bantu 2: dibantu orang
lain
3: dibantu orang lain dan peralatan4: ketergantian /
ketidakmampuan
5) Pola istirahat dan tidur

Lama tidur : (jam/malam, tidur siang , tidur sore), waktu kebiasaan menjelang
tidur, masalah tidur (insomnia, terbangun dini, mimpi buruk), perasaan setelah
bangun (merasa segar / tidak setelah tidur).
6) Pola kognitif dan Persepsi sensori

Status mental (sadar / tidak, orientasi baik atau tidak ), bicara: normal, genap,
aphasia ekspresif, kemampuan berkomunikasi, kemampuan memahami, tingkat
ansietas , Pendengaran: DBN,

7) Persepsi diri dan konsep diri

Perasaan klien tentang dirinya, gambar dirinya, ideal dieinya, harga dirinya, peran
dirinya, ideal dirinya.
8) Pola hubungan peran

Pekerjaan, sistem pendukung : (pasangan, tetangga, keluarga serumah, keluarga


tinggal berjauhan, maslah keluarga berkenaan dengan perawatan RS, kegiatan
sosial : bagaimana hubungan dengan masyarakat.
9) Pola seksual dan reproduksi

Tanggal Menstruasi Terakhir (TMA), masalah-masalah dalam pola reproduksi,


Pap smear terakhir, kepuasan dan tidak puasan klien dalam pola seksualitas,
kesulitan dalam pola seksualitas, masalah seksual B. D penyakit
10) Pola koping dan toleransi stres

Perawat mengkaji kemampuan klien dalam mengelola stess, Kehilangan/perubahan


besar dimasa lalu, Hal yang dilakukan saat ada masalah, Pengguanaan obat saat
menghilangkan stres, Keadaan emosi dalam sehari-hari (santai/tegang),
keefektifan dalam mengelola stress.
11) Pola nilai dan Keyakinan
Keyakinan Agama, budaya, Pengaruh agama dalam kehidupan. Tuli, tinitis, alat
bantu dengar, Penglihatan (DBN, Buta, katarak, kacamata, lensa kontak, dll),
vertigo, ketidaknyamanan/nyeri
/akut/ kronis, penatalaksaan nyeri

12) Mulut dan tenggorokan : Membran mukosa, Keadaan gigi, Tanda radang
(gigi,lidah,gusi), Trismus, Kesulitan menelan, Kebersihan mulut
13) Leher : Trakea simetris atau tidak, Kartoid bruid, JVP, Kelenjar limfe, Kelenjar
tiroid, Kaku kuduk
14) Thorak atau paru : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi

15) Jantung : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi

16) Abdomen : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi

17) Ekstremitas : Vaskuler perifer, Capilari refil, Clubbing, Perubahan warna


18) Neurologis : Status mental/GCS, Motorik, Sensori, Tanda rangsangan meningkat,
Saraf kranial, Reflek spikologis, Reflek patologis
2. Diagnosa Keperawatan

a. Resiko Ketidak efektifan perfusi jaringan ginjal (00203)


b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme regulasi(00026)
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan metabolisme(00046)
d. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungandengan
faktor bologis (00002)
e. Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen (00092)
f. Pola nafas tidak efektif berhubungan hiperventilasi (00032)(Heardmanet al,
2015)

3. Intervensi

No. DX Tujuan & KH Intervensi Keperawatan Rasional


1. Tujuan : Circulatory Care
Setelah dilakukan 1. Lakukan penilaian 1. Sebagai data dasar untuk
tindakan keperawatan secara komprehensif menentukan
selama 3x24 jam fungsi sirkulasi perifer. intervensi selanjutnya
resiko ketidak efektifan (cek nadi
perfusi ginjal adekuat. priper,oedema, kapiler
refil, temperatur
Kriteria Hasil: ekstremitas).
Circulation Status 2. Kaji nyeri 2. Mengetahui persepsidan
1. Membran mukosa tingkatan nyeri yang
merah muda dirasakan klien
2. Conjunctiva tidak 3. Inspeksi kulit dan 3. Mengetahui adanya
anemis Palpasi anggota badan edema ekstremitas
3. Akral hangat 4. Atur posisi pasien, 4. Posisi tersebut dapat
4. TTV dalam batas ekstremitas bawahlebih memperbaiki sirkulasi
normal. rendah untuk
5. Tidak ada edema memperbaiki sirkulasi.
5. Monitor status cairan 5. Mengetahui balance
intake dan output cairan
6. Evaluasi nadi, oedema 6. Mengetahui tingkatan
edema pada klien dan
kondisi klien
7. Berikan therapi 7. Terapi antikoagulan
antikoagulan. dapat mencegah
terjadinya
penggumpalan darah
klien.

2. Tujuan: Fluid Management


Setelah dilakukan 1. Kaji status cairan : 1. Mengetahui adanya
asuhan keperawatan timbang berat kelebihan volume cairan
selama 3x24 jam badan,keseimbangan pada klien
volume cairan masukan dan haluaran,
seimbang. turgor kulit dan adanya
edema
Kriteria Hasil: 2. Timbang 2. Mengetahui output cairan
Fluid Balance popok/pembalut jika klien
1. Terbebas dari diperlukan
edema, efusi, 3. Pertahankan catatan 3. Mengetahui status balance
anasarka intake dan output yang cairan klien
2. Bunyi nafas akurat 4. Mencegah adanya edema
bersih,tidak adanya 4. Batasi masukan cairan 5. Pemasangan kateter dapat
dipsnea 5. Pasang urin kateter melancarkan output urine
3. Memilihara jika diperlukan klien
tekanan vena 6. Monitor hasil lab yang 6. Hasil lab
sentral, tekanan sesuai dengan retensi menginterpretasikan status
kapiler paru, output cairan (BUN , cairan dan elektrolit klien
jantung dan vital Hematokrit,
sign normal. osmolalitas urin )
4. Pasien dapat 7. Monitor vital sign 7. Mengetahui kondisi umum
menjelaskan 8. Monitor indikasi klien
indikator kelebihan retensi / kelebihan 8. Indikasi retensi/kelebihan
cairan cairan (kreacles, CVP , cairan dapat menentukan
edema, distensi vena intervensi yang tepat bagi
leher, asietes) klien
9. Kaji lokasi dan drajat 9. Lokasi dan derajat edema
edema dapat menentukan seberapa
berat kelebihan volume
cairan klien

10. Berikan diuretik sesuai 10. Diuretic dapat meningkatkan


interuksi output cairan klien
11. Kolaborasi dokter jika 11. Dapat dilakukan terapi yang
tanda cairan berlebih tepat pada klien
muncul memburuk
12. Jelaskan pada pasien 12. Mencegah klien dari
dan keluarga rasional kelebihan cairan dan
pembatasan cairan keluarga dapat memantau
asupan cairan klien
13. Menjelaskan cara diit 13. Klien dapat mengetahui diit
pasien yang tepat untuk menjaga
kondisinya
14. Kolaborasi pemberian 14. Pemberian cairan yang tepat
cairan sesuai terapi. dapat mencegah klien dari
kelebihan cairan

Fluid Monitoring
1. Tentukan riwayat 1. Sebagai data dasar dalam
jumlah dan tipe intake menentukan intervensi
cairan dan eliminasi selanjutnya
2. Tentukan 2. Untuk mengetahui tindakan
kemungkinan faktor yang tepat untuk mengatasi
resiko dari ketidak masalah
seimbangan cairan
(hipertermia, terapi
diuretik, kelainan
renal, gagal jantung,
diaporesis, disfungsi
hati, dll )
3. Monitor berat badan 3. Mengetahui adakah
keleibihan volume cairan
4. Monitor serum dan 4. Mengetahui kadar cairan dan
elektrolit urine elektrolit
5. Monitor adanya 5. Mengetahui adanya
distensi leher, rinchi, kelebihan volume cairan
eodem perifer dan
penambahan BB
6. Monitor tanda dan 6. Edema dapat menjadi tanda
gejala dari odema kelebiihan cairan
Hemodialysis therapy
1. Bekerja secara 1. Terapi hemodialisa sesuai
kolaboratif dengan prosedur dapat mengurangi
pasien untuk kelebihan cairan dan sisa
menyesuaikan metabolism di tubuh
panjang dialisis,
peraturan diet,
keterbatasan cairan
dan obat-obatan untuk
mengatur cairan dan
elektrolit pergeseran
antara pengobatan.
3. Tujuan : Pressure management
Setelah dilakukan 1. Monitor kulit akan 1. Kemerahan dapat
asuhan keperawatan adanya kemerahan menjadi tanda
selama 3x24 jam kerusakan integritas
diharapkan gangguan kulit.
integritas kulit teratasi 2. Monitor tanda dan 2. Infeksi dapat
dengan gejala infeksi pada menjadikan integritas
area insisi kulit menjadi rusak
Kriteria Hasil: 3. Anjurkan pasien 3. Pakaian yang longgar
1. Tidak ada tanda – menggunakan pakaian dapat mengurangi rasa
tanda infeksi yang longgar nyeri pada kulit yang
2. Ketebalan dan rusak
teksture jaringan
normal 4. Hindari kerutan pada 4. Kerutan di tempat tidur
3. Menunjukan tempat tidur dapat menyebabkan
pemahaman dalam nyeri pada kulit yang
proses perbaikan rusak
kulit dan mencegah 5. Jaga kebersihan kulit 5. Menjaga integritas kulit
terjadinya cidera agar tetap bersih dan agar tetap bagus
berulang kering
4. Menunjukan 6. Mobilisasi pasien 6. Mobilidsasi rutin dapat
terjadinya proses (ubah posisi pasien mencegah dekubitus
penyembuhan luka setiap dua jam sekali)
7. Oleskan lotion atau 7. Lotion dapat
minyak baby oil pada melembabkan kulit
daerah yang tertekan.
4. Tujuan : Nutritional Management
Setelah dilakukan 1. Monitor adanya mual 1. Mual dan muntah dapat
asuhan keperawatan dan muntah menjadi data untuk
selama 3x24 jam menentukan status
nutrisi seimbang dan nutrisi
adekuat. 2. Monitor status nutrisi. 2. Mengetahui adanya
gangguan nutrisi pada
Kriteria Hasil: klien
Nutritional Status 3. Monitor adanya 3. Sebagai data penguat
1. Nafsu makan kehilangan berat badan untuk mengetahui
meningkat dan perubahan status adanya gangguan nutrisi
2. Tidak terjadi nutrisi. 4. Hasil lab dapat menjadi
penurunan BB 4. Monitor albumin, total data pendukung
3. Masukan nutrisi protein, hemoglobin, menentukan intervensi
adekuat dan hematocrit level
4. Menghabiskan yang menindikasikan
porsi makan status nutrisi dan untuk
5. Hasil lab normal perencanaan treatment
(albumin, kalium) selanjutnya.
5. Monitor intake nutrisi 5. Intake nutrisi yang
dan kalori klien. adekuat dapat
meningkatkan status
nutrisi
6. Berikan makanan 6. Makanan sedikit tapi
sedikit tapi sering sering dapat
meningkatkan nafsu
makan klien
7. Berikan perawatan 7. Perawatan mulut dapat
mulut sering meningkatkan nafsu
klien
8. Kolaborasi dengan ahli 8. Diet yang sesuai dapat
gizi dalam pemberian menyeimbangkan status
diet sesuai terapi nutrisi klien
9. Monitor masukan 9. Masukan makanan yang
makanan / cairan dan adekuat dapat
hitung intake kalori meningkatkan status
harian nutrisi klien

5 Tujuan: Activity Therapy


Setelah dilakukan 1. Bantu klien untuk 1. Mengetahui tingkat
tindakan keperawata mengidentifikasi aktivitas yang mampu
selema 2x24 jam aktivitas yang mampu dilakukan klien
pasien diharapkan dilakukan.
masalah intoleransi 2. Bantu untuk 2. Alat bantu dapat
aktivitas dapat teratasi mendapatkan alat membantu aktivitas
dengan bantuan aktivitas klien
seperti kursi roda,krek.
Kriteria Hasil : 3. Bantu pasien dan
1. Mampu keluarga untuk 3. Kekurangan aktivitas
melakukan mengidentivikasi klien dapat menjadi data
aktivitas sehari kekurangan dalam untuk menentukan
hari (ADLS) beraktivitas intervensi yang tepat
secara mandiri 4. Bantu klien untuk
2. Berpartipasi mengembangkan 4. Motivasi diri dapat
dalam aktivitas motivasi diri dan meningkatkan
fisik tampa penguat kepercayaan diri klien
disertai 5. Kolaborasikan dengan
peningkatan tenaga medik dalam 5. Terapi yang tepat dapat
tekanan darah, merencanakan meningkatkan kondisi
nadi dan RR program terapi yang klien
3. Status respirasi : tepat.
pertukaran gan
dan ventilasi
adekuat
4. Mampu berpindah
: dengan atau
tampa bantuanalat

6. Tujuan : Respiratory Monitoring


Setelah dilakukan 1. Monitor rata – rata, 1. Menjadi data dasar
asuhan keperawatan kedalaman, irama dan dalam menentukan
selama 1x24 jam pola usaha respirasi intervensi yang tepat
nafas adekuat. 2. Catat pergerakan 2. Mengetahui adanya
dada,amati gangguan pola nafas
Kriteria Hasil: kesimetrisan, klien
Respiratory Status penggunaan otot
1. Peningkatan tambahan, retraksi otot
ventilasi dan supraclavicular dan
oksigenasi yang intercostal
adekuat 3. Monitor pola nafas : 3. Mengetahui adanya
2. Bebas dari tanda bradipena, takipenia, gangguan pernafasan
tanda distress kussmaul, pada klien
pernafasan hiperventilasi,
3. Suara nafas yang 4. Auskultasi suara nafas, 4. Mengetahui adanya
bersih, tidak ada catat area penurunan / suara nafas tambahan
sianosis dan tidak adanya ventilasi
dyspneu (mampu dan suara tambahan
mengeluarkan
sputum, mampu Oxygen Therapy
bernafas dengan 1. Auskultasi bunyi 1. Mengetahui adanya
mudah, tidak ada nafas, catat adanya gangguan pola nafas
pursed lips) crakles klien
4. Tanda tanda vital 2. Ajarkan pasien nafas 2. Nafas dalam dapat
dalam rentang dalam meningkatkan
normal oksigenasi klien

3. Atur posisi senyaman 3. Memberikan rasa


mungkin nyaman dan rileks
4. Batasi untuk 4. Aktivitas yang
beraktivitas berlebihan dapat
menyebabkan pasien
kelelahan dan dispnea
5. Kolaborasi pemberian 5. Pemberian oksigen
oksigen dapat meningkatkan
oksigenasi klien
Tabel 2.5 NIC (Gloria et al, 2015), NOC (Moorhead, 2016)
DAFTAR PUSTAKA

Bayhakki. 2013. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta: EGC
Heardman. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017. EGC:
Jakarta

Huddak and Gallo 2010, Fahmi 2016. Pengaruh Self Management Dietary Counseling
Terhadap Self Care Dan Status Cairan Pada Pasien Hemodialisa, Tesis,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Ika 2015.Laporan Pendahuluan “Chronic Kidney Disease (CKD)”dilihat 4 Mei 2018,
melalui

Joy et al (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishig


Kirana 2015. Laporan pendahuluan Asuhan Keperawatan pada pasien Chronic
Kidney Disease diakses pada tanggal 4 mei 2018 melalui

McAlexcander 2016,Faruq 2017, Upaya Penurunan Volume Cairan Pada Pasien


Gagal Ginjal Kronis, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Oscar 2017,Situasi Penyakit Ginjal Kronikdiakses pada tanggal 25 Mei 2018,
melalui
Sudoyo et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Interna
Publishing

Suharyanto, T. Madjid A, 2009.Asuhan Keperewatan Pada Klien dengan Gangguan


Sistem Perkemihan . Jakarta: Penerbit Trans Info Media
Syaifudin. 2011. Anatomi Fisiologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk
Keparawatan & Kebidanan Ed 4 Jakarta: EGC

Wijaya dan Putri. 2017. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Teori
dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika

Wilson 2012, Fahmi 2016. Pengaruh Self Management Dietary CounselingTerhadap


Self Care Dan Status Cairan Pada Pasien Hemodialisa, Tesis, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai