Anda di halaman 1dari 12

Makalah Keperawatan Kritis

Ketosiaosis diabetikum

Dosen Pembimbing : Achmad Kusyairi S.Kep.,Ns.,M.Kep

Di susun oleh :
Liana Riskiyatus Sholehah 14201.10.18020
Nuraini 14201.10.18029

PRODI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN
PROBOLINGGO TAHUN AKADEMIK
2021-2022
A. Definisi
Ketosiadosis diabetikum adalah keadaan dekompensasi metabolic yang di
tandai oleh hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama di sebabkan oleh
defisiensi insulin absolute atau relative. KAD dan hipoglikemia merupakan
komplikasi akut diabetes mellitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan
gawat darurat. Akibat dieresis osmotic, KAD biasanya mengalami dehidrasi
berat dan bahkan dapat menyebabkan syok. Ketosiadosis diabetic (KAD)
merupakan komplikasi akut diabetes mellitus yang di tandai dengan dehirasi,
kehilangan elektrolit dan asidosis. Ketosiadosis diabetic merupakan akibat dari
defisiensi berat insulin dan di sertai gangguan metabolisme protein, karbohidra
dan lemak. Keadaan ini meruapakan gangguan metabolisme yang paling serius
pada diabetes ketergantungan insulin. Keadaan lain yang dapat mencetuskan
kejadian KAD antara lain infeksi, infark miokard, sroke, trauma serta
kepatuhan pengobatan yang tidak baik. (Kristopher,2018 dalam Nusantara AF
dkk,2020)
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi diabetes melitus yang ini
merupakan salah satu kegawatdaruratan pada diabetes melitus (DM) ditandai
dengan tingginya kadar keton di dalam tubuh. KAD didefinisikan sebagai trias
hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis (Dicky Febrianto,dkk, 2021).
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan darurat endokrin yang
melibatkan hiperglikemia, asidosis metabolik anion gap, dan ketosis. Meskipun
juga dapat terjadi pada penderita diabetes tipe 2, ini dua kali lebih sering terjadi
pada diabetes tipe 1. (Brit Long dkk, 2020)
Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah gangguan metabolik akut yang
secara primer ditandai dengan peningkatan badan keton dalam sirkulasi yang
berlanjut menjadi ketoasidosis berat dengan hiperglikemia tidak terkontrol
akibat defisiensi.
Umumnya KAD ditemukan pada pasien dengan insulin dependent diabetes
mellitus (IDDM / DM tipe 1) dan yang tidak patuh terapi insulin (DM tipe 2) atau
dengan infeksi berat. (Miarta Andi dkk, 2019)
B. Etiologi
Ketoasidosis diabetik terjadi akibat pasokan glukosa ke dalam jaringan
tubuh menurun, sehingga terjadi hiperglikemia yang menyebabkan hasil asam
lemak juga demikian dan sebagian di antaranya akan diubah menjadi keton
yang menimbulkan metabolik asidosis dan ketonuria. (Zuhrinah Ridwan dkk,
2016)
Beberapa penyebab terjadinya ketoasidosis diabetic akut adalah :
1. Infeksi
Pneumonia, infeksi traktus urinarius, dan pepsis, diketahui bahwa jumlah
sel darah putih mungkin meningkat tanpa indikasi yang mendasari infeksi.
(Samijean Nordmark 2008 dalam Nusantara AF dkk,2020). Pada pasien
diabetes, kejadian infeksi sering ditemukan karena hiperglikemia
menyebabkan disfungsi sistem imunitas (misalnya, gangguan fungsi
neutrofil, penekanan sistem antioksidan, dan imunitas humoral), mikro- dan
makro-angiopati, neuropati, penurunan aktivitas antibakteri pada urine,
dismotilitas gastrointestinal dan urine, serta intervensi medis dalam jumlah
yang lebih besar. (Miarta Andi dkk, 2019)
2. Ketidakpatuhan : Karena ketidakpatuhan terhadap dosis (Dosis insulin yang
tidak memadai atau kelalaian)
3. Pengobatan : onset baru diabetes atau dosis insulin tidak adekuat
4. Kardiovaskuler : Infark miokard
5. Penyebab lain : hipertiroidisme, pankreatitis, kehamilan, pengobatan
kotikosteroid, dan adrenergik. (Samijean Nordmark 2008 dalam Nusantara
AF dkk,2020)
6. Faktor mekanik misalnya pena insulin rusak, masalah dengan pompa infus
insulin pribadi atau teknik pengiriman insulin, insulin kadaluarsa.
C. Manifestasi klinis
Terdapat 3 tanda umum pasien KAD :
1. Hiperglikemia
Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan
ginjal (glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa
pada jaringan perifer. Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya
kadar substrat nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan
glutamin pada ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik
(fosfoenol piruvat karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat
karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan
patogenesis utama yang bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia
pada pasien dengan KAD. (Wira G, Dewa G, 2010)
Hiperglikemia yang dihasilkan memiliki beberapa efek samping.
Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik yang mengakibatkan
dehidrasi. (Brit Long dkk, 2020)
2. Asidosis metabolic
Hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya pelepasan asam lemak
bebas dari jaringan lemak adiposa. asam lemak bebas ini akan mengalami
proses beta oksidasi di hepar sehingga terkonverensi menjadi badan keton
yang memiliki PH rendah. Penumpukan badan keton ini menyebabkan
terjadinya metabolik. Tubuh akan merespon kondisi meabolik asidosis
melalui sistem buffer menggunakan bikarbonat. Metabolik asidosis yang
tidak terkompensasi dengan sistem buffer kemudian akan menyebabkan
terjadi hiperventilasi untuk menurunakan kadar karbondioksida dalam darah
sehingga pasien mengalami pola respirasi kussmaul.
Klinis perlu mengenali bahwa cepat, dalam pernafasan mungkin tidak
hanya mencerminkan masalah pernapasan primer, tetapi sebenarnya
merupakan respons fisiologis terhadap asidosis metabolic yang signifikan
saat pasien mencoba mengeluarkan karbon dioksida asam untuk
meningkatkan pH darah. (Brit Long dkk, 2020)
3. Keton (Kadar lemak)
Insulin menyebabkan penggunaan glukosa sebagai energi,
meningkatkan penyimpanan glukosa, dan mengurangi aktivitas glukagon.
Glukagon dilepaskan dalam keadaan hipoglikemik. Glukagon meningkatkan
glukosa serum dengan melepaskannya dari simpanan tubuh (terutama
sebagai glikogen melalui glikogenolisis), memproduksi glukosa baru dari
prekursor nonkarbohidrat melalui glukoneogenesis, dan memetabolisme
lemak menjadi asam lemak melalui lipolisis. Asam lemak ini kemudian
mengalami ketogenesis untuk membentuk badan keton (misalnya,
asetoasetat, B-hidroksibutirat), yang merupakan sumber energi utama otak
dalam keadaan hipoglikemik. (Brit Long dkk, 2020)
D. Patofisiologi
Insulin dibuat dan dilepaskan oleh pankreas endokrin sebagai respons
terhadap keadaan hiperglikemik dan euglikemik. Insulin menyebabkan
penggunaan glukosa sebagai energi, meningkatkan penyimpanan glukosa, dan
mengurangi aktivitas glukagon. Glukagon dilepaskan dalam keadaan
hipoglikemik. Glukagon meningkatkan glukosa serum dengan melepaskannya
dari simpanan tubuh (terutama sebagai glikogen melalui glikogenolisis),
memproduksi glukosa baru dari prekursor nonkarbohidrat melalui
glukoneogenesis, dan memetabolisme lemak menjadi asam lemak melalui
lipolisis. Asam lemak ini kemudian mengalami ketogenesis untuk membentuk
badan keton (misalnya, asetoasetat, B-hidroksibutirat), yang merupakan
sumber energi utama otak dalam keadaan hipoglikemik. Badan keton bersifat
asam. Namun, mereka biasanya dibuat dalam jumlah kecil sehingga tubuh
mampu menyangga pH secara memadai untuk mempertahankannya pada atau
mendekati tingkat fisiologis. Hiperglikemia yang dihasilkan memiliki beberapa
efek samping. Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik yang
mengakibatkan dehidrasi.
E. Pemeriksaan diagnostic
Kathryn Evans Kreider, 2018
1. Gas darah  Pengukuran gas darah vena dapat digunakan untuk
mengidentifikasi tingkat keparahan acidemia. Temuan gas darah yang khas
adalah asidosis metabolik dengan kompensasi respiratorik. Gas darah arteri
sering dianggap lebih akurat dibandingkan dengan gas darah vena. Namun,
literatur yang membandingkan pH antara penilaian gas darah arteri dan vena
perifer menunjukkan perbedaan hanya 0,02, dengan perbedaan minimal
dalam bikarbonat juga. Gas darah arteri lebih menyakitkan dan memiliki
risiko kerusakan yang lebih tinggi karena vasospasme, aneurisma, atau
fistula arteriovenosa. Oleh karena itu, gas darah vena lebih disukai, kecuali
pasien diintubasi dan memiliki patofisiologi yang konsisten dengan
oksigenasi yang buruk, dalam hal ini gas darah arteri direkomendasikan.
(Brit Long dkk, 2020)
2. Elektrolit  dilakukan untuk mengukur tingkat kalium, natrium untuk
menyeimbangkan kadar elektrolit tubuh .
3. Tes darah  Untuk mengetahui adanya apakah terdapat keton.
4. Tes Urin  Kehadiran ketosis dapat dievaluasi melalui urin atau analisis
serum. Badan keton urin dapat dinilai melalui tes urin nitroprusside, tetapi
keton serum dinilai melalui tes nitroprusside atau B-uji langsung asam
hidroksibutirat. (Brit Long dkk, 2020)
F. Penatalaksanaan
Tata laksana KAD meliputi penggantian cairan dan elektrolit secara
adekuat, terutama kalium, serta pemberian insulin secara kontinu (Dicky
Febrianto,dkk, 2021).
1. Oksigenasi/Ventilasi
Jalan napas dan pernapasan merupakan prioritas pertama. Jika penderita
datang dengan penurunan kesadaran/koma (GCS <8), pertimbangkan
pemasangan intubasi dan ventilator. Berikan oksigen melalui masker non-
rebreathing jika ada indikasi. Masukkan selang nasogastrik dan lepaskan
ujung yang terbuka jika penderita tampak mengantuk atau mual. Jalan
napas, pernapasan, dan tingkat kesadaran perlu dimonitor selama perawatan
KAD.
2. Penggantian Cairan (Rehidrasi)
Sirkulasi merupakan prioritas kedua setelah oksigenasi. Penderita KAD
mengalami dehidrasi yang berat dan dapat terjatuh ke dalam syok
hipovolemik. Resusitasi cairan akan menurunkan hiperglikemia,
hiperosmolalitas, hormon kontra-regulasi, terutama dalam jam-jam pertama,
sehingga menurunkan resistansi terhadap insulin. Oleh karena itu, terapi
insulin paling efektif jika didahului oleh penggantian cairan dan elektrolit.
Defisit cairan pada KAD diperkirakan sebesar 100 mL/kgBB, yang
berarti rerata sekitar 5-7 liter pada orang dewasa. Dua jalur intravena atau
sebuah kateter vena sentral perlu dipasang untuk rehidrasi. Resusitasi cairan
secara cepat bertujuan untuk mengganti volume intravaskular dan
memperbaiki perfusi ginjal dengan cairan kristaloid, meskipun koloid dapat
digunakan jika penderita mengalami syok hipovolemik. Semua panduan
merekomendasikan penggunaan larutan NaCl 0,9% sebagai cairan resusitasi
awal atau larutan NaCl 0,45% jika kadar natrium serum tinggi. Tidak ada
bukti definitif keunggulan penggunaan larutan ringer laktat dibanding
larutan berbasis NaCl. Cairan Hartman atau plasmalyte juga cocok karena
mengandung prekursor bikarbonat. Penggunaan NaCl 0,9% saja seringkali
berkontribusi terhadap terjadinya asidosis hiperkloremik beberapa hari
kemudian.
Keparahan dehidrasi secara klinis dapat dinilai menggunakan denyut
nadi dan tekanan darah. Sebagai panduan, 90 mmHg dapat digunakan
sebagai parameter hidrasi, namun perlu pertimbangan umur, jenis kelamin,
dan riwayat pengobatan sebelumnya. Bila tekanan darah sistolik di bawah
90 mmHg, maka diberikan 500 ml NaCl 0,9% dalam 10-15 menit. Jika
tekanan darah sistolik tetap di bawah 90 mmHg, ini berarti memerlukan
cairan yang lebih banyak. Dalam praktiknya, sebagian besar penderita
memerlukan antara 500-1.000 ml yang diberikan secara cepat. Jika tidak ada
perbaikan klinis, pertimbangkan ulang penyebab-penyebab hipotensi
lainnya. Ketika tekanan darah sistolik mencapai >90 mmHg, kita dapat
mengikuti panduan cairan sesuai Tabel 1:
Tabel 1. Panduan pemberian cairan rehidrasi pada penderita KAD
secara umum9

Volume cairan Waktu pemberian


NaCl 0,9% 1 liter 1000 ml dalam 1 jam
NaCl 0,9% 1 liter 1000 ml dalam 2 jam
dengan KCl berikutnya
NaCl 0,9% 1 liter 1000 ml dalam 2 jam
dengan KCl berikutnya
NaCl 0,9% 1 liter 1000 ml dalam 4 jam
dengan KCl berikutnya
NaCl 0,9% 1 liter 1000 ml dalam 4 jam
dengan KCl berikutnya
NaCl 0,9% 1 liter 1000 ml dalam 6 jam
dengan KCl berikutnya
Cairan intravena perlu diturunkan segera setelah diuresis osmotik
membaik dan volume urin menurun. Penurunan gula darah yang terlalu
agresif dan resusitasi cairan yang cepat berkaitan dengan terjadinya edema
serebri pada 1% anak-anak dan dewasa. Pada penderita dengan gagal ginjal
atau gagal jantung, begitu juga dengan orang lanjut usia dan remaja, laju
dan volume rehidrasi cairan perlu dimodifikasi. Tujuan dari beberapa liter
pertama rehidrasi adalah untuk mengatasi hipotensi, mengganti defisit
intravaskular, dan mengimbangi efek diuresis osmotik dengan koreksi
gangguan elektrolit. Terapi cairan untuk mengkoreksi dehidrasi dan
menstabilkan fungsi sirkulasi. (Haryudi Aji C, 2012)
3. Perbaikan terhadap Gangguan Elektrolit
Dehidrasi dan diuresis osmotik menyebabkan pergeseran elektrolit
dalam sel dan serum. Kalium merupakan ion positif utama intraseluler, yang
bertanggung jawab untuk mempertahanan gradien elektropotensial dari
membran sel. Turunnya kadar kalium intraseluler dapat berasal dari tidak
adanya insulin, dehidrasi intraseluler, asidosis, dan pergeseran ion hidrogen.
Mual muntah dapat menyebabkan hilangnya kalium lebih lanjut. Selama
terapi insulin untuk KAD, koreksi asidosis dan resusitasi cairan akan
menurunkan kadar kalium. Oleh karena itu, perlu pengecekan kadar kalium
sebelum memulai terapi insulin. Kadar kalium serum dapat
mengindikasikan beratnya defisit kalium.
Defisit kalium berkisar 2-5 mEq/kgBB pada KAD. Belum terdapat
studi yang memaparkan strategi tertentu untuk penggantian kalium.
Rekomendasi secara umum menyarankan suplementasi kalium perlu
dimulai jika kadar kalium <5,0 atau 5,5 mEq/L ketika penderita sudah dapat
buang air kecil, biasanya diberikan dalam cairan NaCl 0,9% liter kedua. Jika
penderita normo- atau hipokalemia, kalium perlu segera diberikan dengan
konsentrasi cairan intravena antara 10-40 mEq/L, dengan kecepatan
maksimum 40 mEq/jam. Pada kasus hipokalemia berat (<3,3 mEq/jam),
insulin perlu ditunda hingga koreksi kalium darah ≥3,3 mEq/L. Kalium
diberikan dengan kecepatan 10 mEq/jam sampai kadarnya >4,0 mEq/liter.
Kalium tidak perlu ditambah jika kadarnya >5,0 mEq/liter. Kadar kalium
perlu dipantau tiap 2-4 jam. Selama pemberian kalium, penderita perlu
dipasang monitor jantung untuk mendeteksi aritmia dan lokasi terpasangnya
jalur intravena perlu dilihat secara berkala untuk menghindari kerusakan
jaringan. Defisit natrium biasanya sekitar 7-10 mEq/kgBB pada KAD dan
disertai kehilangan cairan sebesar 100 mL/kgBB. Defisit natrium ini
biasanya membaik dengan rehidrasi menggunakan NaCl 0,9%.

4. Terapi Insulin
Untuk mengoreksi hiperglikemia lebih lanjut, insulin perlu
ditambahkan secara intravena, satu atau dua jam setelah rehidrasi dimulai.
Bolus awal insulin diberikan 0,1 unit/kgBB intravena, dilanjutkan insulin
pump 0,1 unit/kgBB/jam. Beberapa penulis menyatakan bolus ini tidak
diperlukan selama insulin pump dipertahankan. Insulin pump 0,14 unit;
kgBB/jam direkomendasikan jika tidak diberikan insulin bolus. Kadar
glukosa darah perlu diturunkan 50-70 mg/dL per jam, dan insulin pump
perlu dititrasi untuk mencapai target ini. Ketika kadar glukosa sudah
mencapai 200 mg/dL, kecepatan insulin pump perlu diturunkan menjadi
0,05-0,1 unit/kgBB/jam, dan cairan infus diganti dengan yang mengandung
dekstrosa untuk mempertahankan kadar glukosa antara 150-200 mg/dL.
Insulin subkutan merupakan alternatif yang efektif selain insulin
intravena bagi penderita KAD yang tidak komplikatif. Sebuah meta analisis
mendukung pemberian subkutan insulin kerja-cepat, seperti lispro (bolus 0,3
unit/ kgBB, kemudian 0,1 unit/kgBB/jam). Ketoasidosis diabetik dikatakan
membaik jika kadar glukosa stabil di bawah 200 mg/dL, pH >7,3, dan kadar
bikarbonat ≥18 mEq/L. Ketika target ini tercapai dan cairan dapat diberikan
per oral, maka penderita dapat dimulai pemberian insulin’
Pemberian insulin untuk menghentikan produksi badan keton yang
berlebihan, mengatasi gangguan keseimbangan elektrolit, mengatasi faktor
presipitasi atau penyakit yang mendasari KAD serta monitor komplikasi
terapi. (Haryudi Aji C, 2012)
Pemakaian insulin akan menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga
menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari
jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan
utilisasi glukosa oleh jaringan. (Wira G, Dewa G, 2010)
5. Penanganan Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik merupakan komponen penting pada KAD. Insulin
digunakan untuk menghentikan produksi keton, sebab cairan intravena saja
tidak memiliki dampak pada parameter ketoasidosis. Insulin short-acting
(0,1 unit/kgBB/jam) direkomendasikan. Penggunaan insulin intravena bolus
inisial direkomendasikan oleh beberapa penulis. Pada anak-anak,
menggunakan bolus insulin intravena tidak menghasilkan perbaikan
ketoasidosis secara lebih cepat, dan justru meningkatkan risiko edema
serebri. Penggunaan insulin rapid-acting subkutan pada interval 1-2 jam
menghasilkan durasi perbaikan ketoasidosis yang sama dengan kejadian
hipoglikemia lebih rendah dibandingkan dengan insulin short-acting
intravena 0,1 unit/kgBB/jam. Kadar glukosa plasma akan menurun dengan
beberapa mekanisme, termasuk reekspansi volume cairan ekstraseluler,
ekskresi glukosa melalui diuresis osmotik, penurunan produksi glukosa
karena perbaikan insulin, serta pengambilan (uptake) glukosa oleh sel.
Ketika kadar glukosa darah mencapai 14,0 mEq/L, glukosa intravena perlu
diberikan untuk mencegah hipoglikemia, dengan target glukosa plasma 12-
14 mEq/L.
Penggunaan natrium bikarbonat intravena untuk mengatasi asidosis
dapat dipertimbangkan pada penderita dewasa dengan pH arterial ≤7,0.
Sebagai contoh, dapat diberikan 1 ampul (50 mEq) natrium bikarbonat ke
dalam 200 mL cairan D5 (atau akuades jika tersedia) selama 1 jam, diulang
tiap 1-2 jam sampai pH ≥7,0.12 Risiko potensial pemberian natrium
bikarbonat antara lain hipokalemia dan terjadinya alkalosis metabolik
G. Komplikasi
Edema serebri merupakan komplikasi paling berat dari KAD. Ini terjadi
pada 0,5-1% dari seluruh kasus KAD dan menyebabkan tingkat kematian
sebesar 21-24%. Mereka yang bertahan hidup berisiko mengalami sisa-sisa
masalah neurologis. Edema serebri lebih sering terjadi pada anak-anak,
meskipun dilaporkan juga dapat terjadi pada dewasa. Faktor risikonya antara
lain usia muda, DM awitan baru, durasi KAD yang memanjang, tekanan parsial
CO2 yang menurun, asidosis berat, kadar bikarbonat awal yang rendah,
hiponatremia, glukosa darah awal yang tinggi, dan rehidrasi yang terlalu cepat.
Tanda-tanda edema serebri yang memerlukan evaluasi segera meliputi nyeri
kepala, muntah persisten, hipertensi, bradikardia, letargi, dan perubahan
neurologis lainnya. Komplikasi lain dari KAD antara lain hipokalemia,
hipoglikemia, gagal ginjal akut, dan syok. (Dicky Febrianto, Esti Hindariati,
2021)

DAFTAR PUSTAKA

Brit Long, MD. George C. Willis, MD. Skyler Lentz, MD. Alex Koyfman, MD.

Michael Gottlieb, MD. 2020. Evaluation And Management Of The Critically


Ill Adult With Diabetic Ketoacidosis. The Journal of Emergency Medicine
Vol. -. No. -. pp. 1–13
Dicky Febrianto, Esti Hindariati. 2021. Tata Laksana Ketoasidosis Diabetik Pada
Penderita Gagal Jantung. Jurnal Penyakit Dalam. Vol.8 No.1
Haryudi Aji C. 2012. Clinical Profile of Children with Diabetic Ketoacidosis.
Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol. 27. No. 2
Miarta Andi, Zulkifli, Zulfariansyah Ardi.2019. Tatalaksana Pasien Ketoasidosis
Diabetikum Yang Disertai Syok Sepsis. Anestesia dan Critical Care. Vol 37.
No 3
Nusantara Ana Fitria, Sunanto, Kusyairi Achmad. 2019. Pengawasan anak
dengan diabetes mellitus Type 1 sebagai pencegah terhadap kejadian
komplikasi ketosiadosis diabetikum. Yayasan Ahmar Cendekia Indonesia :
Sulawesi selatan
Riski Handiani Anwari. Dampak Konsumsi Kopi Pada Penurunan Kadar
Glukosa Darah Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Jurnal Penelitian
Perawat Profesional Volume 3 Nomor 3
Wira Gotera, Dewa Gde Agung Budiyasa. 2010. Penatalaksanaan Ketoasidosis
Diabetik (Kad). J Peny Dalam. Vol 11. No 2

Anda mungkin juga menyukai