Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH FARMASI KLINIK

“ PENGGUNAAN OBAT
PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK “

Disusun Oleh :
1. Danik Setyowati (2173095)
2. Egha Arya Prabawa (2173099)
3. Eva Deny Evriani (2173102)
4. Fitri Yuani (2173104)
5. Indah Ratnaningsih (2173110)
6. Nonik Mutmainah (2173117)
7. Rahmah Fitriyani (2173119)
8. Sri Suhartini (2173130)

PROGDI DIII FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NASIONAL

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh manusia. Akan tetapi

pengetahuan masyarakat tentang ginjal masih jauh dari memadai. Organ yang

memiliki besar seperti telapak tangan fungsinya banyak sekali. Bukan hanya

sebagai alat penyaring dan pembersih darah seperti yang sudah luas

terkenal.Akan tetapi ginjal memiliki fungsi – fungsi lainnya.

Tidak perlu ditutupi, kenyataan bahwa cukup banyak dari masyarakat awam

tidak mengetahui secara tepat dimana letak ginjalnya . Apalagi mengenai

besarnya, sistem kerjanya, dan darimana datangnya air seni. Ginjal merupakan

bagian utama dari sistem saluran kemih yang terdiri atas organ – organ tubuh

yang berfungsi memproduksi maupun menyalurkan air seni ke luar tubuh.

Tanda adanya gangguan ginjal sangat bervariasi. Ada yang lama tidak

menampakkan tanda atau gejala sama sekali ,baru belakangan timbul keluhan.

Pada dasarnya, adanya keluhan yang tidak begitu menonjol pada seseorang harus

dipikirkan kemungkinan hal itu disebabkan oleh gangguan pada ginjalnya.

Pemeriksaan laboratorium penyaring untuk melihat baik tidaknya fungsi ginjal

sangat sederhana dan mudah dilakukan diberbagai laboratorium, yaitu mengukur

kadar urea dan kreatinin plasma darah,endapan air seni (apakah sel darah merah,

sel darah putih berlebihan).


Gagal ginjal kronik (GGK) atau Chronic Kidney Diseases (CKD)

merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali,

dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme, gagal memelihara

keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum. Pada

pasien gagal ginjal kronik mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa

disembuhkan dan memerlukan pengobatan berupa hemodialisis, dialisis

peritoneal, transplantasi ginjal dan rawat jalan dalam jangka waktu yang lama.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang menyebabkan gagal ginjal kronik dan faktor risiko apa saja yang

menyebabkan penyakit gagal ginjal kronik?

2. Bagaimana pengobatan pada penyakit gagal ginjal kronik?

3. Bagaimana penggunaan obat pada pasien gagal ginjal kronik?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan

penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif yang

akhirnya akan mencapai gagal ginjal terminal.

Gagal Ginjal Akut (GGA) adalah suatu sindrom akibat kerusakan metabolik

atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang

mendadak dalam waktu beberapa hari atau beberapa minggu dengan atau tanpa

oliguria sehingga mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk

mempertahankan homeotasis tubuh.

B. Patofisiologi

Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit

glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis

interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal kronik

melibatkan 2 mekanisme kerusakan :

1. Mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti

kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan

zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium


2. Mekanisme kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan

hipertrofi nefron yang tersisa.

Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki

kontribusi terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperti

yang telah dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan

untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat yang tersisa ini

akan mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan

akan menyebabkan hipertensi sistemik dalam glomerulus. Peningkatan tekanan

glomerulus ini akan menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat sebagai

mekanisme kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa

menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin

meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan proteinuria.

Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi dari gagal ginjal.

Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan kerusakan

langsung terhadap jalur lisosomal intraselular, meningkatkan stres oksidatif,

meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan faktor kemotaktik

yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel

melalui pengambilan dan aktivasi makrofag.

Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis

matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen

tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel,

dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang
dan akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi

nefron.

Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi

ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal

antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan reabsorbsi Na pada tubuli,

penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan ekskresi

hidrogen.

Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan mengubah bentuk

inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO), menurunkan

fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan sistem

reproduksi.

Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan

intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di

ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan

intraglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent. Angiotensin II

akan memicu stres oksidatif yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi

sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan, sehingga angiotensin II memiliki

peran penting dalam patofisiologi CKD.

Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan karena

banyak sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D

atau kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca

sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca. Penurunan absorbsi Ca ini akan

menyebabkan hipokalsemia dan osteodistrofi. Pada CKD akan terjadi


hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia,

resistensi skeletal terhadap PTH. Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback

negatif inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan

sekresi PTH.

Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk

mengekskresikan zat – zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia.

Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor ini akan menyebabkan

inhibisi 1- α hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena

inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi

resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak

berjalan. Terjadi peningkatan hormon parathormon. Akhirnya akan timbul

hiperparatiroidisme sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan

depresi pada sumsum tulang sehingga akan menurunkan pembentukan

eritropoetin yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia. Selain itu

hiperparatiroidisme sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi yang

diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone

disorder, dan mixed osteodistrofi.

Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada

akhirnya dapat menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga

terjadi terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan

ekskresi ini akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko

terjadinya kardiak arrest pada pasien.


Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi

adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada CKD, ginjal

tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk

mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium.

Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5. Anion gap terjadi

karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion – anion lain yang tidak terekskresi

dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat menyebabkan gangguan

metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah satu

faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal.

Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa

nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea

nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat.

Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai

sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan

menyebabkan trombositopati dan memperpendek usia sel darah merah.

Trombositopati akan meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada GIT,

dan dapat berkembang menjadi anemia bila penanganannya tidak adekuat. Uremia

bila sampai di kulit akan menyebabkan pasien merasa gatal – gatal.

Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi lipid,

gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin menurun,

maka gula darah akan meningkat. Peningkatan produksi lipid akan memicu

timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung.


Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada

hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu

anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat

pengaruh dari sindrom uremia. Anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi.

C. Diagnosis

Penilaian terhadap fungsi ginjal dilakukan dengan uji fungsi ginjal. Uji

fungsi ginjal hanya menggambarkan penyakit ginjal secara kasar atau garis besar

saja, dan lebih dari setengah bagian ginjal harus mengalami kerusakan sebelum

terlihat nyata adanya gangguan pada ginjal. Ada beberapa metode yang dapat

digunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal dan menunjukkan apakah ada

penyakit ginjal jenis apa pun ini meliputi :

1. Kreatinin Serum (KS )

Kreatinin serum merupakan produk sampingan dari metabolisme

otot rangka normal. Laju produksinya bersifat tetap dan sebanding dengan

jumlah massa otot tubuh. Kreatinin diekskresi terutama oleh filtrasi

glomeruler dengan sejumlah kecil yang diekskresi atau reabsorpsi oleh

tubulus. Bila massa otot tetap, maka adanya perubahan pada kreatinin

mencerminkan perubahan pada klirensnya melalui filtrasi, sehingga dapat

dijadikan indikator fungsi ginjal. Nilai kreatinin serum yang normal

berbeda menurut jenis kelamin, usia, dan ukuran. Kadar kreatinin serum

hanya berguna bila diukur pada kadar tunak (steady state) perlu sekitar 7

hari.
2. Klirens kreatinin ( Klkr )

Dalam keadaan normal, kreatinin tidak diekskresi atau direabsorpsi

oleh tubulus ginjal dalam jumlah yang bermakna. Oleh karena itu ekskresi

terutama ditentukan oleh filtrasi glomeruler, sehingga laju filtrasi

glomeruler (LFG) dapat diperkirakan melalui penentuan kliren kreatinin

endogen. Ketepatan klirens kreatinin sebagai ukuran dari laju filtrasi

glomeruler menjadi terbatas pada gangguan ginjal. Walaupun demikian,

secara umum uji klirens kreatinin masih merupakan uji fungsi ginjal yang

terpilih.

Pengukuran klirens kreatinin penderita yaitu melalui:

a. Pengumpulan urin selama 24 jam

Merupakan metode yang paling tepat dalam pengukuran klirens

kreatinin penderita adalah melalui pengumpulan urin selama jangka

waktu 24 jam dan pengambilan cuplikan plasma di antara jangka

waktu tersebut. Selanjutnya dapat dihitung dengan rumus sebagai

berikut:

U xV
Klkr= ml/menit
S

U = kadar kreatinin urin (mikromol/ liter)

V = laju aliran urin (ml/ menit)

S = kadar kreatinin serum (mikromol/ liter)


b. Rumus Cockroff dan Gault
Merupakan cara yang sangat berguna untuk memperkirakan kadar

kreatinin serum dan mencatat faktor yang mempengaruhi masa otot

penderita (usia, jenis kelamin dan berat badan) dan memungkinkan

perkiraan klirens kreatinin dari data rata-rata populasi.


Persamaan cockroff dan Gault;
Pada pria:

( 140−umur ) x BB(kg)
Klkr (ml /menit)= XF
72 x kreatinin serum(mg/dl)

Pada wanita:

( 140−umur ) x BB(kg)
Klkr (ml /menit)= XF
72 x kreatinin serum(mg/dl)

BB = berat badan

F = faktor perkalian yang besarnya untuk pria : 1, untuk wanita : 0,85

3. Urea

Urea disintesa dalam hati sebagai produk sampingan metabolisme

makanan dan protein endogen. Eliminasinya dalam urin menggambarkan

rute ekskresi utama nitrogen. Laju produksinya lebih beragam

dibandingkan kreatinin. Urea disaring oleh glomerulus dan sebagian

direabsorpsi oleh tubulus. Kadar di atas 10 mmol/liter mungkin

mencerminkan gangguan ginjal walaupun kecenderungan dalam individu

lebih penting dibandingkan dengan satu hasil pengukuran semata. Urea

adalah pengukuran yang kurang tepat menggambarkan fungsi ginjal tetapi


sering digunakan sebagai perkiraan kasar, karena dapat mermberikan

informasi mengenai keadaan umum penderita beserta tingkat hidrasinya.

D. Penyebab Gagal Ginjal

Pada gagal ginjal akut, fungsi ginjal hilang dengan sangat cepat dan dapat

terjadi dari suatu luka tubuh yang bervariasi. Daftar dari penyebab-penyebab ini

seringkali dikatagorikan berdasarkan dimana luka terjadi.

Terjadinya gagal ginjal disebabkan oleh beberapa penyakit serius yang

diderita oleh tubuh yang mana secara perlahan-lahan berdampak pada kerusakan

organ ginjal.

Adapun beberapa penyakit yang sering kali berdampak kerusakan ginjal

diantaranya:

1. Penyakit tekanan darah tinggi (Hypertension)

2. Penyakit Diabetes Mellitus (Diabetes Mellitus)

3. Adanya sumbatan pada saluran kemih (batu, tumor, penyempitan/striktur)

4. Kelainan autoimun, misalnya lupus eritematosus sistemik

5. Menderita penyakit kanker (cancer)

6. Kelainan ginjal, dimana terjadi perkembangan banyak kista pada organ ginjal

itu sendiri (polycystic kidney disease)

7. Rusaknya sel penyaring pada ginjal baik akibat peradangan oleh infeksi atau

dampak dari penyakit darah tinggi. Istilah kedokterannya disebut sebagai

glomerulonephritis.
E. Tanda dan Gejala

1. Bau Mulut Indikator Ginjal Terganggu


Munculnya bau khas yang keluar dari mulut atau fetoruremik,

disebabkan ureum yang berlebih pada air liur. Oleh bakteri dimulut (yang

biasanya memang ada), ureum diubah menjadi amoniak, sehingga saat

bernapas dan berbicara baunya amoniak. Selain itu, bisa timbul luka-luka

kecil pada bibir.

2. Gangguan Pencernaan
Selain bau mulut, kurang darah merupakan tanda lain bila ginjal

mulai tergang gu. Hal ini terjadi karena kurangnya produksi eritropoetin,

sehingga rangsangan pada sumsum tulang untuk membentuk sel darah

menjadi berkurang. Perhatikan apakah Anda sering mengalami cegukan

(di luar kewajaran). Penyebabnya kenapa, memang belum diketahui

hingga saat ini, tetapi bisa menjadi pertanda gangguan pada fungsi ginjal.

Menderita sakit maag dan peradangan pada usus juga dapat dijadikan

tanda.
Gangguan fungsi hormonal jika terjadi terus menerus juga dapat

menjadi pertanda ada yang tidak beres pada ginjal. Diantaranya terjadi

penurunan libido, fertilitas, dan akibat seksual lainnya. Pada wanita bisa

terjadi gangguan menstruasi hingga tidak mengalami menstruasi lagi.

Terjadi pula gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, hingga

gangguan produksi insulin yang menyebabkan penyakit kencing manis


atau diabetes. Begitu juga gangguan metabolisme lemak yang ditandai

oleh meningkatnya kadar trigliserida, kolesterol, dan lainnya dalam darah.

3. Telapak Kaki Kesemutan


Pada taraf yang lebib parah, yaitu menderita gagal ginjai, tanda-

tandanya lebih jelas lagi. Seperti timbulnya gangguan pada sistem saraf

dan otot. Kaki sering terasa pegal atau restless leg syndrome, akibatnya

sering menggerak-gerakkan kaki. Timbul rasa seperti terbakar atau

kesemutan, terutama pada telapak kaki (burning feet syndrome).Pada

kasus gagal ginjal juga terjadi ensefalopati metabolik, yang mengakibatkan

perasaan lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi, tremor, hingga

dapat menyebabkan kejang. Satu lagi adalah otot menjadi lemah dan

mengecil, terutama pada tungkai.Jangan lupa perhatikan juga adakah

gangguan pada sistem jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular).

Biasanya ditandai dengan terjadinya peningkatan tekanan darah

(hipertensi).Penderita sering juga mengalami nyeri dada dan sesak napas.

Hal ini disebabkan selaput pembungkus jantung mengalami peradangan.

Karena itu, orang yang memiliki masalah jantung agar lebih berhati-hati

karena berisiko besar mengalami gangguan ginjal.

4. Kelebihan Protein
Langkah yang hingga kini cukup efektif untuk mengetahui apakah

fungsi ginjal mulai atau sudah terganggu adalah tes proteinuria. Tes ini

untuk mengetahui apakah di dalam urin terkandung protein dalam jumlah

melebihi nilai normal (150 mg/urin per 24 jam).


Protein bagi tubuh berfungsi sebagai pembangun sistem pertahanan

tubuh agar bisa menghadapi serangan penyakit infeksi, membantu sistem


pembekuan darah, dan menjaga agar cairan yang beredar dalam tubuh

berada dalam jumlah dan komposisi yang tepat. Sebuah penelitian yang

disponsori National Institutes of Health di AS pada tahun 1996

mengungkapkan, proteinuria adalah peramal yang paling baik dari gagal

ginjal progresif pada mereka yang menyandang penyakit diabetes melitus

tipe 2. The National Kidney Foundation maupun Yayasan Ginjal Indonesia

juga merekomendasikan check up rutin, termasuk mengetes protein yang

terbuang melalui air seni.


Hal ini perlu dilakukan siapa pun, terutama mereka yang termasuk

kelompok risiko. Mereka yang termasuk kelompok risiko adalah penderita

diabetes melitus, hipertensi, atau mempunyai riwayat keluarga penderita

proteinuria.

5. Air Seni Berbusa


Jika protein sudah sedemikian banyak terbuang melalul air seni,

ditandai dengan air seni yang berbusa. Tubuh kekurangan protein yang

menyebabkan komposisi darah tidak bisa lagi mempertahankan

keseimbangan cairan. Sebagai hasilnya terjadi pembengkakan pada tangan,

kaki, dan perut. Meski demikian, tidak semua penderita proteinuria

mengalami hal seperti itu. Ada juga yang tanpa gejala dan baru diketahui

pada saat tanda-tanda payah ginjal muncul. Karena itu, satu-satunya cara

mendeteksi proteinuria adalah dengan melakukan pemeriksaan

laboratorium secara berkala (enam atau setahun sekali atau jika perlu lebih

sering). Seperti dianjurkan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (ahli

ginjal), untuk mengetahui adanya proteinuria, air seni yang baik buat
diperiksa adalah pada saat pagi hari karena telah mengalami pemekatan

pada malam harinya. Biasanya dengan dipsticks, berupa kertas tipis yang

akan berubah warna jika urin mengandung protein, dan terlihat berapa

kadarnya. Warna yang keluar bisa dicocokkan dengan list warna yang

disertakan dalam wadah dipsticks. Namun, pemeriksaan jenis ini masih

terlalu sederhana dan hanya bisa mendeteksi protein jenis albumin saja.

Lebih baik lakukan pemeriksaan di laboratorium yang teruji untuk hasil

maksimal.

F. Faktor Resiko
Siapapun bisa mendapatkan penyakit ginjal kronis pada usia berapa pun.

Namun, beberapa orang mungkin lebih mudah mengalami dari pada yang lain

untuk mengembangkan penyakit ginjal.

Kemungkinan memiliki peningkatan risiko untuk penyakit ginjal

diantaranya :
1. Diabetes Melitus
Diabetes merupakan faktor komorbiditas hingga 50% pasien dan

sebesar 65% pasien gagal ginjal kronik meninggal yang menjalani

hemodialisis memiliki riwayat penyakit diabetes.

2. Hipertensi

Hipertensi dan gagal ginjal saling mempengaruhi. Hipertensi dapat

menyebabkan gagal ginjal, sebaliknya gagal ginjal kronik dapat

menyebabkan hipertensi.

3. Anemia
Anemia banyak dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia

terjadi pada awal perkembangan penyakit gagal ginjal dan

mengakibatkan fungsi ginjal memburuk sehingga menjadi kronis.

4. Ras

Memiliki ras kelompok populasi yang memiliki tingkat tinggi

diabetes atau tekanan darah tinggi, seperti Afrika Amerika, Hispanik

Amerika, Asia, Kepulauan Pasifik, dan Indian Amerika.

G. KLASIFIKASI

Klasifikasi gagal ginjal kronik dibagi menjadi 5 stadium :

1. Stadium 1

Bila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan dikeluarkan lewatginjal

secara berlebihan. Keadaan ini membuat ginjal hipertrofi dan hiperfiltrasi.

Pasien akan mengalami poliuria. Perubahan ini diyakini dapat

menyebabkanglomerulusklerosis fokal, terdiri dari penebalan difus matriks

mesangeal dengan bahan eosinofilik disertai penebalan membran basalin

kapiler.

2. Stadium 2
Insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, BloodUrea

Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.

3. Stadium 3

Glomerulus dan tubulus sudah mengalami beberapa kerusakan. Tanda

khasstadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap, dan terjadi

hipertensi.

4. Stadium 4

Ditandai dengan proteinuria dan penurunan GFR. Retinopati dan

hipertensihampir selalu ditemui.

5. Stadium 5

Adalah stadium akhir, ditandai dengan peningkatan BUN dan kreatinin

plasma disebabkan oleh penurunan GFR yang cepat

Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of

National Kidney Foundation (NKF) tahun 2016 terdapat 5 stage pada penyakit

gagal ginjal kronik. Berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan laju filtrasi

glomerulus (GFR), yangmerupakan ukuran dari tingkat fungsi ginjal.

1. GGK Stadium 1 : LFG > 90 ml/menit

2. GGK Stadium 2 : LFG 60 - 89 ml/menit

3. GGK Stadium 3 : LFG 30 - 59 ml/menit

4. GGK Stadium 4 : LFG 15 - 29 ml/menit

5. GGK Stadium 5 : LFG < 15 ml/menit

H. MANIFESTASI KLINIK
Meanifestasi klinik yang muncul pada pasien dengan gagal ginjal kronik yaitu:
Gangguan pada sistem gastrointestinal:
1. Anoreksia, nausea, dan vomitus b/d gangguan metaboslime protein dalam

usus.
2. Mulut bau amonia disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur.
3. Cegukan (hiccup)
4. Gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis uremik

Kulit:

1. Kulit berwarna pucat akibat anemia.


2. Gatal dengan ekskoriasi akibat toksin uremik
3. Ekimosis akibat gangguan hematologis
4. Urea frost akibat kristalisasi urea
5. Bekas-bekas garukan karena gatal

Sistem Hematologi:

1. Anemia
2. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia
3. Gangguan fungsi leukosit

Sistem kardiovaskuler:

1. Hipertensi, akibat penimbunan cairan dan garam.


2. Nyeri dada dan sesak nafas
3. Gangguan irama jantung
4. Edema akibat penimbunan cairan

Sistem Saraf dan Otot:

1. Restles leg syndrome: Pasien merasa pegal pada kakinya, sehingga selalu

digerakkan.
2. Burning feet syndrome: Rasa semutan dan seperti terbakar, terutama

ditelapak kaki.
3. Ensefalopati metabolik: Lemah, sulit tidur, konsentrasi turun, tremor,

asteriksis, kejang.
4. Miopati: Kelemahan dan hipotrofi otot-otot terutama otot-otot ekstremitas

proksimal

Sistem endokrin:

1. Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki.


2. Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, dan gangguan sekresi

insulin.
3. Gangguan metabolisme lemak.
4. Gangguan metabolisme vitamin D

I. Pengobatan

Tujuan terapi adalah untuk memperlambat atau menghentikan

perkembangan CKD ke tahap 5. Pengendaliantekanan darahdan pengobatan

penyakit asli, kapanpun layak,adalah prinsip-prinsip yang luas dari manajemen.

Umumnya, angiotensin convertinginhibitor enzim(ACEIs) atau angiotensin II

reseptor antagonis(ARB) yang digunakan, karena mereka telah ditemukan untuk

memperlambat perkembangan CKD ke tahap5. Meskipun penggunaan

penghambat ACE dan ARB merupakan standar saat ini perawatan untuk pasien

dengan CKD, pasien semakin kehilangan fungsi ginjal sedangkan pada obat-obat

ini, seperti yang terlihat dalam RENAAL studi, yang melaporkan penurunan dari

waktu ke waktu diperkirakan laju filtrasi glomerulus pada pasien yang diobati

oleh metode konvensional.

Saat ini, beberapa senyawa dalam pembangunan untuk CKD. Ini termasuk,

tetapi tidak terbatas pada, bardoxolone metil, olmesartan medoxomil, sulodexide,

dan avosentan. Penggantian eritropoietindan calcitriol, dua hormon diproses oleh


ginjal, sering diperlukan pada pasien dengan CKD maju. Fosfat binder juga

digunakan untuk mengontrol serum fosfat tingkat, yang biasanya meningkat pada

penyakit ginjal kronis lanjut. Ketika seseorang mencapai tahap 5 CKD, terapi

penggantian ginjal diperlukan dalam bentuk baik dialisis atau cangkok.

Normalisasi hemoglobin belum ditemukan menjadi manfaat apapun.

Orang dengan CKD berada pada risiko nyata terhadap penyakit kardiovaskular,

dansering memiliki faktor risiko lain untuk penyakit jantung, seperti

hiperlipidemia. Penyebab paling umum kematian pada orang dengan CKD karena

penyakit kardiovaskular dari pada kegagalan ginjal. Pengobatan agresif

hiperlipidemia dibenarkan.

J. Penggunaan Obat pada Pasien Gagal Ginjal Kronik


Penggunaan obat pada pasien dengan fungsi ginjal menurun dapat

memperburuk kondisi penyakit karena beberapa alasan :

1. Kegagalan untuk mengekskresikan obat atau metabolitnya dapat

menimbulkan toksisitas.

2. Sensitivitas terhadap beberapa obat meningkat, meskipun eliminasinya

tidak terganggu.

3. Banyak efek samping yang tidak dapat ditoleransi oleh pasien gagal ginjal.

4. Beberapa obat tidak lagi efektif jika fungsi ginjal menurun.


Sebagian besar masalah ini dapat dihindari dengan mengurangi dosis atau

dengan menggunakan alternatif obat lain.

PRINSIP PENYESUAIAN DOSIS PADA GANGGUAN FUNGSI GINJAL

Batas fungsi ginjal yang mengharuskan dosis suatu obat dikurangi

bergantung pada apakah obat tersebut dieliminasi seluruhnya lewat ginjal atau

sebagian dimetabolisme, dan seberapa besar toksisitasnya. Pada sebagian besar

obat yang efek sampingnya tidak berhubungan atau sedikit hubungannya dengan

dosis, modifikasi regimen dosis secara tepat tidak diperlukan dan cukup dilakukan

perencanaan pengurangan dosis secara sederhana.

Pada obat yang lebih toksik dengan batas keamanan yang sempit, sebaiknya

digunakan regimen dosis yang didasarkan atas laju filtrasi glomerulus. Pada obat

yang efikasi dan toksisitasnya berkaitan erat dengan kadar plasma, anjuran

regimen hanya dapat dijadikan sebagai pedoman pengobatan awal; pengobatan

selanjutnya harus disesuaikan dengan respon klinis dan kadar plasma.

Dosis pemeliharaan total per hari suatu obat dapat dikurangi baik dengan

cara mengurangi dosis tiap kali pemberian atau dengan memperpanjang interval

pemberian antar dosis. Untuk beberapa obat, jika dosis pemeliharaan dikurangi,

perlu diberikan suatu dosis muatan jika dibutuhkan efek segera. Hal ini

disebabkan apabila pasien diberi obat apapun dengan dosis lazim, diperlukan

waktu lebih dari lima kali waktu paruh untuk mencapai kadar plasma steady state.

Karena waktu paruh obat yang diekskresikan melalui ginjal menjadi lebih lama
pada keadaan gagal ginjal, maka diperlukan beberapa hari agar dosis yang telah

dikurangi dapat mencapai kadar plasma terapetik. Dosis muatan ini biasanya sama

besarnya dengan dosis awal untuk pasien yang fungsi ginjalnya normal.

Obat-obat nefrotoksik harus, jika mungkin, dihindari pada pasien dengan

gangguan ginjal karena akibat nefrotoksisitas ini bisa lebih parah apabila renal

reserve sudah berkurang

Penggunaan Tabel Dosis. Dosis yang dianjurkan ditetapkan berdasarkan

tingkat keparahan gangguan fungsi ginjal. Fungsi ginjal dinyatakan dalam Laju

Filtrasi Glomerulus (GFR) yang dihitung berdasarkan formula yang berasal dari

penelitian mengenai modifikasi diet pada penyakit ginjal (‘Formula

MDRD’ / Modification of Diet in Renal Disease yang menggunakan kreatinin

serum, umur, jenis kelamin, dan ras) atau dapat juga dinyatakan sebagai bersihan

kreatinin (yang paling baik diperoleh dari urin yang dikumpulkan selama 24 jam

namun seringkali dihitung berdasarkan formula atau nomogram yang

menggunakan kreatinin serum, berat badan, jenis kelamin, dan usia).

Kadar kreatinin serum kadang-kadang juga digunakan sebagai ukuran fungsi

ginjal namun hanya sebagai panduan kasar.

Penting

Diperlukan perhatian khusus saat menginterpretasikan anjuran penyesuaian dosis

yang didasarkan pada bersihan kreatinin (misalnya dihitung berdasarkan formula

Cockroft dan Gault) karena fungsi ginjal saat ini sering dilaporkan berdasarkan

perkiraan kecepatan filtrasi glomerulus normal pada luas permukaan tubuh 1,73
m2 dan diperoleh dari formula MDRD. Dua jenis ukuran fungsi ginjal tidak dapat

saling dipertukarkan penggunaannya.

Untuk keperluan peresepan obat, gangguan fungsi ginjal secara umum

dibagi ke dalam tiga tingkat (definisi bervariasi sesuai dengan tingkat gangguan

fungsi ginjal; selanjutnya, apabila informasi yang tersedia tidak sesuai dengan

penggolongan ini, nilai bersihan kreatinin atau ukuran fungsi ginjal yang lain bisa

digunakan).

Tingkat gangguan fungsi ginjal

Tingkat GFR absolut kreatinin serum (perkiraan) keterangan diatas


Ringan 20 – 50 mL/menit 150 – 300 mikromol/L
Sedang 10 – 20 mL/menit 300-700 mikromol/L
Berat <10 mL/menit >700 mikromol/L
Faktor konversi: Liter/24jam:mL/menitx1,44 mL/menit : Liter/24 jam x 0,69

Formula modifikasi diet pada penyakit ginjal (MDRD, Modification of Diet in

Renal Disease) menghasilkan perkiraan laju filtrasi glomerulus normal pada

pasien dengan luas permukaan tubuh 1,73 m2. Laju filtrasi glomerulus absolut

individual dapat dihitung berdasarkan eGFR seperti di bawah ini :

GFR (absolut) : eGFR x luas permukaan tubuh individual/1,73

Majalah Farmasetika (V1N6-Agustus 2016).

Penyakit ginjal kronis dan disfungsi renal dapat memengaruhi eliminasi

obat melalui ginjal dan menyebabkan konsentrasi obat menjadi subterapeutik atau
supraterapeutik, yang kemudian dapat menurunkan efikasi atau meningkatkan

toksisitas.

Dengan menggunakan persamaan Cockroft-Gault atau the Modification of

Diet in Renal Disease (MDRD) untuk memperkirakan klirens kreatinin (CrCl)

dapat membantu mendapatkan dosis yang tepat untuk obat-obat yang

diekskresikan melalui ginjal. Karena pasien-pasien lanjut usia cenderung

mengalami penurunan fungsi ginjal, mempertimbangkan faktor klirens kreatinin

sangat penting saat menentukan dosis obat yang dieliminasi melalui ginjal.

Kerusakan ginjal dapat memengaruhi klirens metabolit obat aktif, berpotensi

menyebabkan akumulasi. Fungsi ginjal yang berubah juga dapat memengaruhi

interval pendosisan obat-obat yang dieliminasi melalui ginjal.

Beberapa obat yang memerlukan penyesuaian dosis pada penderita

gangguan ginjal antara lain alopurinol, lithium, acyclovir, amantadine,

fexofenadine, gabapentin, metoklopramind, ranitidin, rivaroxaban, dan

fesoterodine. Beberapa antimikroba yang banyak digunakan yang memerlukan

penyesuaian dosis pada penderita gangguan ginjal antara lain cephalexin,

amoksisilin, cefuroxime, ciprofloxacin, klaritomisin, levofloxacin, nitrofurantoin,

piperacillin/tazobactam, tetrasiklin, serta trimetoprim/sulfametoksazol.

Sekitar setengah dari orang dewasa berusia 30 hingga 64 tahun

diperkirakan pernah mengalami penyakit ginjal kronis selama masa hidupnya.

Pada pasien dengan laju filtrasi glomerular (GFR) <60 mL/menit/1,73 m2, MDRD
lebih baik digunakan dibandingkan persamaan Cockroft-Gault dalam

memperkirakan GFR untuk membantu menentukan penyesuaian dosis.

Pasien-pasien penyakit ginjal kronis memerlukan penyesuaian dosis untuk

beberapa obat, meliputi obat-obat antihipertensi, agen hipoglikemik, analgesik,

dan golongan statin. Penentuan stadium penyakit ginjal kronis bergantung pada

hasil GFR pasien.

Diuretik

Diuretik tiazid dianggap sebagai pengobatan first-line untuk pasien dengan

hipertensi dan penyakit ginjal kronis (hanya jika Scr <2,5 mg/dL atau CrCl >30

mL/menit). Diuretik loop juga banyak digunakan untuk mengobati hipertensi pada

pasien penyakit ginjal kronis, tetapi diuretik hemat kalium harus dihindari karena

mekanisme kerjanya (mengekskresikan kelebihan cairan dan mempertahankan

kalium) bersifat detrimental terhadap kesehatan pasien ini.

Antihipertensi

Inhibitor ACE dan penghambat reseptor angiotensin merupakan

antihipertensi first-line yang digunakan pada pasien dengan diabetes tipe 1 dan 2

dan penyakit ginjal kronis tahap awal. Beta-bloker yang bersifat hidrofilik

(meliputi atenolol, bisoprolol, dan nadolol) memerlukan penyesuaian dosis pada

pasien penyakit ginjal kronis.

Agen Hipoglikemik

Agen-agen hipoglikemik yang diekskresikan melalui ginjal seperti metformin

tidak direkomendasikan jika Scr >1,5 mg/dL pada pria dan >1,4 mg/dL pada

wanita. Penting untuk mengawasi secara ketat terjadinya asidosis laktat pasien
penyakit ginjal kronis yang menggunakan metformin. Sulfonilurea sepert

klorpropamid dan gliburida harus dihindari pada pasien penyakit ginjal kronis

stadium 3 hingga 5 karena penggunaannya dapat meningkatkan risiko

hipoglikemia.

Analgesik

Metabolit morfin, tramadol, dan kodein pada pasien penyakit ginjal kronis dapat

terakumulasi sehingga menyebabkan efek samping pernapasan. Pengurangan

dosis direkomendasikan untuk morfin dan kodein pada pasien dengan nilai CrCl

<50 mL/menit. Akumulasi metabolit dapat menyebabkan konsentrasi

supraterapeutik dan menyebabkan bahaya yang serius. Interval pemberiab dosis

untuk opioid perlu dimodifikasi pada pasien penyakit ginjal kronis.

Golongan Statin

Terapi golongan statin untuk dislipidemia banyak digunakan pada pasien penyakit

ginjal kronis. Atorvastatin dan pravastatin tidak perlu penyesuaian dosis, tetapi

rosuvastatin, simvastatin, dan lovastatin perlu penyesuaian dosis bergantung pada

keparahan penyakit ginjal kronisnya. Fluvastatin harus digunakan dengan hati-hati

pada pasien penyakit ginjal kronis.

Mempertimbangkan fungsi ginjal saat diperlukan dapat membantu memastikan

terapi yang optimal. Mengawasi nilai CrCl dan GFR dapat mencegah efek

samping yang tidak perlu dari obat-obatan yang membutuhkan penyesuaian pada

pasien gangguan ginjal.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.pharmacytimes.com/contributor/shivam-patel-pharmd

candidate/2016/08/medications-requiring-renal-dosage-adjustments

Mubin, Halim. 2007. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi

Edisi 2. EGC.Jakarta.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 4. Balai Penerbitan Dep. IPP. FKUI. Jakarta

Sukandar, Enday. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Pusat

Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK.UNPAD. Bandung.

Widyawati. 2016. Praktik Farmasi Klinik Fokus Pada Pharmaceutical Care. Edisi

2. Brillian Internasional. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai