DI SUSUN OLEH :
NAMA : SUKMAWATY
NIM : 2022031033
CI LAHAN CI INSTITUSI
BAB I
KONSEP TEORI
2. Etiologi
a. Gangguan pembuluh darah ginjal : Berbagai jenis lesi vaskular dapat
menyebabkan iskemik ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang
paling sering adalah aterosklerosis pada arteri renalis yang besar,
dengan kontriksi skleratik progresif pada pembuluh darah hiperplasia
fibromuskular pada satu atau lebih arteri besar yang juga menimbulkan
sumbatan pembuluh darah nefrosklerosis yaitu saatu kondisi yang
disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak diobati, dikarakteristikan
oleh penebalan, hilangnya elastisitas sistem, perubahan darah ginjal
mengakibatkan penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.
b. Gangguan imunologis: Seperti glomerulonefritis & SLE
c. Infeksi : Dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E. Coli
yang berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri.
Bakteri ini mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering
secara asceden dari traktus urinarius bagian bawah lewat ureter ke
ginjal sehingga dapat menimbulkan kerusakan irreversibel ginjal yang
disebut plenlonefritis.
d. Gangguan metabolik : seperti DM (Diabetes Melitus) yang
menyebabkan mobilisasi lemak meningkat sehingga terjadi penebalan
membran kapiler dan di ginjal dan berkelanjut dengan disfungsi endotel
sehingga terjadi nefripati amiliodosis yang disebabkan oleh endapan
zat-zat proteinemia abnormal pada dinding pembuluh darah secara
serius merusak membran glomerulus.
e. Gangguan tubulus primer : terjadi nefrotoksis akibat analgesik atau
logam berat.
f. Obstruksi taktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan
kontriksi uretra.
g. Kelainan kongenetal dan herediter: penyakit polikistik = kondisi
keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya kista/kantong berisi
cairan di dalam ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jar. Ginjal yang
bersifat kongenetal (hipoplasia renalis) serta adanya asidosis.
3. Patofisiologi
Fungsi renal menurun, produksi akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengarui setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah maka grjala akan semakin berat. Dan banyak gejala uremia
membaik setelah dialisis (Wijaya dan putri, 2017)
Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit
glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi,
nefritis interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal
kronik melibatkan 2 mekanisme kerusakan : (1) mekanisme pencetus
spesifik yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan
mediator inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat toksin pada
penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme kerusakan
progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron
yang tersisa.
Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki
kontribusi terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena
etiologi seperti yang telah dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih
memiliki kemampuan untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya
nefron sehat yang tersisa ini akan mengalami kegagalan dalam mengatur
autoregulasi tekanan glomerular, dan akan menyebabkan hipertensi
sistemik dalam glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan
menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme
kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan
dehidrasi dan hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin meningkat.
Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan proteinuria.
Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi dari gagal ginjal.
Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan kerusakan
langsung terhadap jalur lisosomal intraselular, meningkatkan stres
oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan
faktor kemotaktik yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan
fibrosis tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi makrofag.
Gambar 2.3 Piramid Iskemik dan Sklerosis Arteri dan Arteriol pada
Patogan lintang Ginjal (McAlexander, 2015)
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan
sintesis matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan
akumulasi kolagen tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular
sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel, dan atropi tubuler akan menyebabkan
massa ginjal yang sehat menjadi berkurang dan akan menghentikan siklus
progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan
fungsi ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi
ekskretorik ginjal antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan
reabsorbsi Na pada tubuli, penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi
fosfat, penurunan ekskresi hidrogen.
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan
mengubah bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi
eritropoetin (EPO), menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi
lipid, gangguan sistem imun, dan sistem reproduksi. Angiotensin II
memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan intraglomerular.
Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di ginjal dan
merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan
intraglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent.
Angiotensin II akan memicu stres oksidatif yang pada akhirnya akan
meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan,
sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD.
Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan
karena banyak sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-
dihydroxyvitamin D atau kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan
mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca.
Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan hipokalsemia dan
osteodistrofi. Pada CKD akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang
terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal
terhadapPTH. Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback negatif
inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan
sekresi PTH.
Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak
mampu untuk mengekskresikan zat – zat tertentu seperti fosfat sehingga
timbul hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23,
growth faktor ini akan menyebabkan inhibisi 1- α hydroxylase. Enzim ini
digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka
sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap
vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi
peningkatan hormon parathormon. Akhirnya akan timbul
hiperparatiroidisme sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder akan
menyebabkan depresi pada sumsum tulang sehingga akan menurunkan
pembentukan eritropoetin yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia.
Selain itu hiperparatiroidisme sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi
yang diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa cystic, osteomalasia,
adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi. Penurunan ekskresi Na
akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan
oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi terutama bila
GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan ekskresi ini
akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadinya
kardiak arrest pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan
kombinasi adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion
gap. Pada CKD, ginjal tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada
tubulus proksimal untuk mengekskresikan asam endogen ke dalam urin
dalam bentuk ammonium. Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada
CKD stadium 5. Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan
anion – anion lain yang tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik
pada CKD dapat menyebabkan gangguan metabolisme protein. Selain itu
asidosis metabolic juga merupakan salah satu faktor dalam perkembangan
osteodistrofi ginjal.
Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi
sisa nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia,
basal urea nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin,
serta asam urat. Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh
tubuh dan dapat mengenai sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat.
Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan
memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan meningkatkan
resiko perdarahan spontan terutama pada GIT, dan dapat berkembang
menjadi anemia bila penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di
kulit akan menyebabkan pasien merasa gatal – gatal.
Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan
produksi lipid, gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena
fungsi insulin menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan
produksi lipid akan memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan gagal jantung.
Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada
hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain
itu anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek
akibat pengaruh dari sindrom uremia, anemia dapat juga terjadi karena
malnutrisi (Kirana, 2015)
4. Pathways
Penurunan COP
5. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Penyakitnya
Dibawah ini 5 stadium penyakit Chronic Kidney Disease sebagai berikut :
a. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
e. Stadium 5, gagal ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
5. Manifestasi Klinik
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi
perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama
jantung dan edema. Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai
hipertensi, mekanisme terjadinya hipertensi pada CKD oleh karena
penimbunan garam dan air, atau sistem renin angiostensin aldosteron
(RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang sering dijumpai akibat
kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi
perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan
elektrolit.
b. Gangguan pulmoner
Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekles.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, fomitus yang berhubungan dengan
metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal,
ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia. akibat metabolisme
protein yang terganggu oleh bakteri usus sering pula faktor uremikum
akibat bau amoniak dari mulut. Disamping itu sering timbul stomatitis,
cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya. Gastritis erosif hampir
dijumpai pada 90 % kasus CKD, bahkan kemungkinan terjadi ulkus
peptikum dan kolitis uremik.
d. Gangguan muskuluskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu
digerakkan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama
ditelapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot
ekstremitas. Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-
gerak (restlesslessleg syndrome), kadang tersa terbakar pada kaki,
gangguan syaraf dapat pula berupa kelemahan, gangguan tidur, gangguan
konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan kesadaran atau koma.
e. Gangguan integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom. Gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh. Kulit
berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan
gatal akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.
f. Gangguan endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic
lemak dan vitamin D.
g. Sistem hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum-sum tulang
berkurang, hemodialisi akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosit dan
trombositopeni. selain anemi pada CKD sering disertai pendarahan akibat
gangguan fungsi trombosit atau dapat pula disertai trombositopeni. Fungsi
leukosit maupun limposit dapat pula terganggu sehingga pertahanan seluler
terganggu, sehingga pada penderita CKD mudah terinfeksi, oleh karena
imunitas yang menurun.
h. Gangguan lain
Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi,
gangguan elektrolit dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis
metabolik, hiperkalemia, hiperforfatemi, hipokalsemia. (Wijaya dan Putri,
2017)
Pasien dengan stadium I atau II tidak memiliki gejala atau gangguan
metabolik seperti asidosis, anemia, dan penyakit tulang. Selain itu,
pengukuran yang paling umum dari gangguan fungsi ginjal yaitu serum
kreatininmungkin hanya sedikit meningkat pada tahap awal CKD . akibatnya,
estimasi GFR sangat penting bagi pengenalan tahap awal CKD. Karena tahap
awal CKD sering tidak terdeteksi, dibutuhkan diagnosis pada pasien dengan
tingkat kecurigaan yang tinggi yaitu yang mengalami kondisi kronis seperti
hipertensi dan diabetes militus.
Tanda dan gejala terkait dengan CKD menjadi lebih umum pada
stage III, IV, V. Anemia, kelainan metabolisme kalsium dan fosfor
(hiperparatiroidisme sekunder), malnutrisi, abnormalitas cairan dan elektrolit
menjadi lebih umum seiring fungsi ginjal memburuk. Umumnya pada pasien
CKD stadium V juga mengalami gagal-gagal, intoleransi dingin, berat badan
menurun, neuropati perifer (Joy et al, 2008).
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Urine
1) Volume : < 400 ml/24 jam(oliguria)/anuria
2) Warna : urin keruh
3) Berat jenis < 1, 015
4) Osmolalitas< 350 m osm/ kg
5) Klirens kreatinin : turun
6) Na++ > 40 mEq/lt
7) Protein : proteinuria (3-4+)
b. Darah
1) BUN/Kreatinin : >0,6-1,2 mg/dL(untuk laki-laki), >0,5-1,1 mg/dL
(wanita)
2) Ureum : 5-25 mg/dL
3) Hitung darah lengkap : Ht turun, Hb < 7-8 gr%
4) Eritrosit : waktu hidup menurun
5) GDA, Ph menurun : asidosis metabolik
6) Na ++ serum : menurun
7) K+ : meningkat
8) Mg +/ fosfat : meningkat
9) Protein (khusus albumin) : menurun
c. Osmolalitas serum > 285 m osm/kg
d. KUB foto : ukuran ginjal / ureter/KK dan obstruksi ( batas)
e. Pielogram retrograd : identifikasi ekstravaskuler, massa.
f. Sistouretrogram berkemih : ukuran KK, refluks kedalaman ureter, retensi.
g. Ultrasono ginjal : sel. Jaringan untuk diagnosis histologist.
h. Endoskopi ginjal, nefroskopi : batu, hematuria, tumor
i. EKG : ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
j. Foto kaki, tengkorak, kulomna spinal (Wijaya dan Putri, 2017)
7. Penatalaksanaan
a. Pengaturan minum : pemberian cairan
b. Pengendalian hipertensi=<intake garam
c. Pengendalian K+ darah
d. Penanggualan anemia: transfusi
e. Penanggualan asidosis
f. Pengobatan dan pencegahan infeksi
g. Pengaturan protein dalam makan
h. Pengobatan neuropati
i. Dialisis
j. Tlansplatasi ginjal (Wijaya dan Putri, 2017)
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Data Biografi :identitas pasien, nama, umur, jenis kelamin, agama, status
perkawinan, pendidikan, suku/bangsa, pekerjaan, alamat, ruang,
identitas penaggung jawab, hubungan dengan pasien, no telepon,
asuransi kesehatan (jika ada).
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama/alasan masuk Rumah sakit
2) Riwayat kesehatan sekarang : dimulai dri akhir masa sehat, ditulis
dengan kronologis sesuai urutan waktu, dicatat perkembangan dan
perjalanan penyakitnya seperti : faktor pencetus, sifat keluhan
(mendadak/berlahan-lahan/terus menerus/hilang timbul atau
berhubungan dengan waktu, lokalisasi dan sifarnya ( menjalar
/menyebar/berpindah/menetap), bearat ringannya keluhan
(menetap/cenderung bertambah atau berkurang), lamanya keluhan,
upaya yang dilakukan untuk mengatasi, keluhan saat pengkajian,
diagnosa medik
3) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit yang pernah dialami (jenis penyakit, lama dan upaya untuk
mengatasi, riwayat masuk RS), Alergi, Obat-obatan yang pernah
digunakan.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit menular/tidak menular/keturunan dalam keluarga, disertai
genogram.
5) Pengkajian lingkungan
Pengkajian lingkungan rumah, lingkungan klien bekerja, fokus pada
upaya keamanan klien, informasi tentang lingkungan rumah dan
tempat bekerja meliputi:tata ruang, kebersihan, resiko cidera,
paparan polusi, pencahayaan, susasana rumah,
c. Pengkajian Primer
1) Airway
Kaji: bersihan jalan nafas, ada/tidaknya sumbatan pada jalan nafas,
distress pernafasan, tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan,
edema laring
2) Breathing
Kaji: frekuensi nafas, usaha, dan pergerakan dinding dada, suara
pernafasan melalui hidung dan mulut, udara yang dikeluarkan dari
jalan nafas
3) Circulation
Kaji: denyut nadi karotis, tekanan darah, warna dan kelembaban
kulit, tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
4) Disability
Kaji: tingkat kesadaran, gerakan ekstremitas, GCS, ukuran pupil dan
responnya terhadap cahaya
5) Exposure
Kaji: tanda-tanda trauma yang ada
d. Pola fungsional gordon
1) Pola management kesehatan/persepsi kesehatan
Persepsi terhadap penyakit yang dialaminya, Riwayat
penggunaan tembakau, alkohol, alergi (obat-obatan, makanan,
reaksi alergi), mengatur dan menjaga kesehatannya, pengetahuan
dan praktik pencegahan penyakit.
9. Kaji lokasi dan drajat edema 12. Mencegah klien dari kelebihan cairan dan keluarga dapat memantau asupan
cairan klien
13. Klien dapat mengetahui diit yang tepat untuk menjaga kondisinya
10. Berikan diuretik sesuai interuksi 14. Pemberian cairan yang tepat dapat mencegah klien dari kelebihan cairan
11. Kolaborasi dokter jika tanda cairan
berlebih muncul memburuk
12. Jelaskan pada pasien dan keluarga 1. Sebagai data dasar dalam menentukan intervensi selanjutnya
rasional pembatasan cairan 2. Untuk mengetahui tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah
Bayhakki. 2018. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta: EGC
Heardman. 2019. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017. EGC:
Jakarta
Huddak and Gallo 2010, Fahmi 2016. Pengaruh Self Management Dietary
Counseling Terhadap Self Care Dan Status Cairan Pada Pasien
Hemodialisa, Tesis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Ika 2019.Laporan Pendahuluan “Chronic Kidney Disease (CKD)”dilihat 4 Mei
2018, melalui <http://repository.lppm.unila.ac.id/1391/1/49-54-IKA-
A.pdf>
Joy et al 2018. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishig
Kirana 2020. Laporan pendahuluan Asuhan Keperawatan pada pasien Chronic
Kidney Disease diakses pada tanggal 4 mei 2018 melalui
<https://www.academia.edu/31553378/CHRONIC_KIDNEY_DEASES
McAlexcander 2016,Faruq 2017, Upaya Penurunan Volume Cairan Pada Pasien
Gagal Ginjal Kronis, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Oscar 2017,Situasi Penyakit Ginjal Kronikdiakses pada tanggal 25 Mei 2018,
melalui<http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/i
nfodatin/infodatin%20ginjal%202017.pd>
Sudoyo et al. 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Interna
Publishing
Suharyanto, T. Madjid A, 2016.Asuhan Keperewatan Pada Klien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan . Jakarta: Penerbit Trans Info Media
Wijaya dan Putri. 2017. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Teori dan
Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika
Wilson 2012, Fahmi 2016. Pengaruh Self Management Dietary Counseling Terhadap
Self Care Dan Status Cairan Pada Pasien Hemodialisa, Tesis, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.S DENGAN KASUS
CHRONIC KIDNEY DISEASEDI (CKD) DI RUANGAN FLAMBOYAN
RSUD UNDATA PROVINSI SULAWESI TENGAH
DI SUSUN OLEH :
CI LAHAN CI INSTITUSI