Anda di halaman 1dari 16

1.

Definisi

Penyakit ginjal kronik merupakan terminologi baru yang dikeluarkan oleh


The National Kidney Foundation’s Kidney Disease and Outcome Quality
Initiative (NKF-KDOQI) pada tahun 2002, me- rupakan penyakit ginjal dengan
kerusakan ginjal minimal tiga bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG).1

2. Klasifikasi
NKF-KDOQI membagi PGK dalam lima stadium yaitu,
- Stadium 1: kerusakan ginjal dengan LFG normal atau peningkatan LFG
(≥90 mL/menit/1,73 m²)
- Stadium 2: kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (60-89
mL/menit/1,73 m²)
- Stadium 3: penurunan LFG sedang (30-59 mL/ menit/1,73 m²)
- Stadium 4: penurunan LFG berat (15-29 mL/ menit/1,73 m²)
- Stadium 5: gagal ginjal (LFG < 15 mL/menit/1,73 m² atau dialisis)
Klasifikasi PGK tersebut digunakan untuk anak di atas dua tahun
sehubungan dengan proses pematangan ginjal yang masih berlangsung. Nilai
LFG digunakan sebagai fokus utama dalam pedoman ini karena LFG dapat
menggambarkan fungsi ginjal secara menyeluruh.12,13 Nilai LFG dapat
dihitung berdasarkan rumus berikut,
K X TB (cm) LFG (mL/menit/173 m2) = Kreatinin serum (mg/dL)
- K adalah konstanta (K= 0,33 untuk bayi berat lahir rendah di bawah usia 1
tahun, K= 0,45 untuk bayi berat lahir cukup bulan sampai 1 tahun, K= 0,55
untuk anak sampai umur 13 tahun, K= 0,57 untuk perempuan 13-21 tahun,
dan 0,70 untuk anak laki-laki 13 – 21 tahun).11
- TB=tinggi badan1
3. Etiologi
Dua penyebab utama GGK pada anak adalah kelainan kongenital dan
glomerulonefritis kronik. Etiologi yang paling sering didapatkan pada anak di
bawah 6 tahun adalah kelainan kongenital, kelainan perkembangan saluran
kencing seperti uropati obstruktif, hipoplasia dan displasia ginjal, dan ginjal
polikistik. (lihat tabel). Menurut laporan EDTA, glomerulonefritis dan
pielonefritis merupakan penyebab tersering timbulnya GGK (24%), diikuti
oleh penyakit herediter (15%), penyakit sistemik (10,5%), hipoplasia ginjal
(7,5%), penyakit vaskular (3%), penyakit lainnya (9%) serta yang tidak
diketahui etiologinya 7%. Dari kelompok pielonefritis dan nefritis interstitial
yang tersering adalah uropati obstruktif kongenital dan nefropati refluks
(>60%), diikuti oleh displasia ginjal.
Secara praktis penyebab GGK dapat dibagi menjadi kelainan kongenital,
kelainan didapat, dan kelainan herediter:
1. Kelainan kongenital: hipoplasia renal, displasia renal, uropati obstruktif
2. Kelainan herediter: nefronoftisis juvenil, nefritis herediter, sindrom alport
3. Kelainan didapat: glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulopati
membranosa, kelainan metabolit (oksalosis, sistinosis)
Penyebab GGK pada anak sangat erat hubungannya dengan usia saat
timbul GGK. Gagal ginjal kronik yang timbul pada anak di bawah usia 5 tahun
sering ada hubungannya dengan kelainan anatomis ginjal seperti hipoplasia,
displasia, obstruksi dan kelainan malformasi ginjal. Sedangkan GGK yang
timbul pada anak diatas 5 tahun dapat disebabkan oleh penyakit glomerular
(glomerulonefritis, sindrom hemolitik ureumik) dan kelainan herediter
(sindrom Alport, kelainan ginjal kistik).
Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo, penyebab PGK yang ditemukan adalah
sindrom nefrotik (55,5%), infeksi saluran kemih (28,3%), gagal ginjal kronik
(7%), neurogenic bladder (2,6%), nefritis lupus (2,3%).1

4. Patofisiologi
Tanpa memandang penyebab kerusakan ginjal, bila tingkat kemunduran
fungsi ginjal mencapai kritis, penjelekan sampai gagal ginjal stadium akhir
tidak dapat dihindari. Mekanisme yang tepat, yang mengakibatkan
kemunduran fungsi secara progresif belum jelas, tetapi faktor-faktor yang
dapat memainkan peran penting mencakup cedera imunologi yang terus-
menerus; hiperfiltrasi yang ditengahi secara hemodinamik dalam
mempertahankan kehidupan glomerulus; masukan diet protein dan fosfor;
proteinuria yang terus-menerus; dan hipertensi sistemik. Endapan kompleks
imun atau antibodi anti-membrana basalis glomerulus secara terus-menerus
pada glomerulus dapat mengakibatkan radang glomerulus yang akhirnya
menimbulkan jaringan parut.
Cedera hiperfiltrasi dapat merupakan akhir jalur umum yang penting pada
destruksi glomerulus akhir, tidak tergantung mekanisme yang memulai cedera
ginjal. Bila nefron hilang karena alasan apapun, nefron sisanya mengalami
hipertroti struktural dan fungsional yang ditengahi, setidak-tidaknya sebagian,
oleh peningkatan aliran darah glomerulus. Peningkatan aliran darah
sehubungan dengan dilatasi arteriola aferen dan konstriksi arteriola eferen
akibat-angiotensin II menaikkan daya dorong filtrasi glomerulus pada nefron
yang bertahan hidup. "Hiperfiltrasi" yang bermanfaat pada glomerulus yang
masih hidup ini, yang berperan memelihara fungsi ginjal, dapat juga merusak
glomerulus dan mekanismenya belum dipahami. Mekanisme yang berpotensi
menimbulkan kerusakan adalah pengaruh langsung peningkatan tekanan
hidrostatik pada integritas dinding kapiler, hasilnya mengakibatkan keluarnya
protein melewati dinding kapiler, atau keduanya. Akhirnya, kelainan ini
menyebabkan perubahan pada sel mesangium dan epitel dengan
perkembangan sklerosis glomerulus. Ketika sklerosis meningkat, nefron
sisanya menderita peningkatan beban ekskresi, mengakibatkan lingkaran setan
peningkatan aliran darah glomerulus dan hiperfiltrasi. Penghambatan enzim
pengubah angiotensin mengurangi hiperfiltrasi dengan jalan menghambat
produksi angiotensin II, dengan demikian melebarkan arteriola eferen, dan
dapat memperlambat penjelekan gagal ginjal.
Model eksperimen insufisiensi ginjal kronis telah menunjukkan bahwa diet
tinggi-protein mempercepat perkembangan gagal ginjal, mungkin dengan cara
dilatasi arteriola aferen dan cedera hiperperfusi. Sebaliknya, diet rendah-
protein mengurangi kecepatan kemunduran fungsi. Penelitian manusia
memperkuat bahwa pada individu normal, laju filtrasi glomerulus (LFG)
berkorelasi secara langsung dengan masukan protein dan menunjukkan bahwa
pembatasan diet protein dapat mengurangi kecepatan kemunduran fungsi pada
insufisiensi ginjal kronis.
Beberapa penelitian yang kontroversial pada model binatang menunjukkan
bahwa pembatasan diet fosfor melindungi fungsi ginjal pada insufisiensi ginjal
kronis. Apakah pengaruh yang menguntungkan ini karena pencegahan
penimbunan garam kalsium-fosfat dalam pembuluh darah dan jaringan atau
karena penekanan sekresi hormon paratiroid, yang berkemungkinan
nefrotoksin, masih belum jelas.
Proteinuria menetap atau hipertensi sistemik karena sebab apapun dapat
merusak dinding kapiler glomerulus secara langsung, mengakibatkan sklerosis
glomerulus dan permulaan cedera hiperfiltrasi.
Ketika fungsi ginjal mulai mundur, mekanisme kompensatoir berkembang
pada nefron sisanya dan mempertahankan lingkungan internal yang normal.
Namun, ketika LFG turun di bawah 20% normal, kumpulan kompleks
kelainan klinis, biokimia, dan metabolik berkembang sehingga secara
bersamasaan membentuk keadaan uremia.

5. Patogenesis
Respon ginjal pada PGK pada umumnya sama walaupun etiologi
berbeda. Pada awal penyakit, ginjal beradaptasi terhadap kerusakan dengan
meningkatkan LFG oleh nefron normal yang tersisa, namun makin lama
menyebabkan kerusakan glomerulus progresif akibat peningkatan tekanan
hidrostatik pada dinding kapiler dan efek toksik protein yang melintasi dinding
kapiler. Seiring berjalannya waktu, jumlah nefron yang sklerosis akan semakin
banyak, sehingga terjadi peningkatan beban ekskresi pada nefron yang masih
bertahan. Kondisi ini akan terus berulang dan semakin banyak nefron yang
rusak hingga berakhir dengan GGT. Peroteinuria Peroteinuria pada PGK
merupakan tanda penting kerusakan ginjal. Proteinuria berperan dalam
penurunan fungsi ginjal karena protein yang melintasi dinding kapiler
glomerulus berdampak toksik sehingga terjadi migrasi monosit/makrofag dan
dengan peran berbagai sitokin terjadi sklerosis glomerulus dan fibrosis
tubulointerstisial. Hipertensi yang tidak terkontrol dapat meningkatkan
progresivitas penyakit karena menyebabkan nefrosklerosis arteriolar dan
menambah cedera akibat hiperfiltrasi.14 Hiperfosfatemia menyebabkan
pembentukan ikatan kalsium fosfat yang mengendap di interstisial ginjal dan
pembuluh darah. Hiperlipidemia mempengaruhi fungsi glomerulus dengan
menimbulkan cedera yang diperantarai zat oksidan.1

6. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang timbul pada GGK merupakan manifestasi dari:
1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit.
2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksin uremik.
3. Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif vitamin D
(1,25 dihidroksivitamin D3).
4. Abnormalitas respons end organ terhadap hormon endogen (hormon
pertumbuhan).
Pada pasien GGK yang disebabkan penyakit glomerulus atau kelainan
herediter, gejala klinis dari penyebab awalnya dapat kita ketahui sedangkan
gejala GGK-nya sendiri tersembunyi dan hanya menunjukkan keluhan non-
spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah,
polidipsia, poliuria, gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik sering
ditemukan anak tampak pucat, lemah, dan menderita hipertensi. Keadaan ini
dapat berlangsung bertahun-tahun, sehingga pasien telah menderita gangguan
anatomis berupa gangguan pertumbuhan dan ricketsia. Namun dengan
pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan keadaan-keadaan seperti
azotemia, asidosis, hiperkalemia, gangguan pertumbuhan, osteodistrofi ginjal,
anemia, gangguan perdarahan, hipertensi, gangguan neurologi.
1. Gangguan keseimbangan elektrolit
Natrium
Dengan berkurangnya LFG yang progresif pada pasien GGK,
ginjal akan mempertahankan keseimbangan natrium dengan meningkatkan
ekskresi natrium oleh nefron yang masih baik. Bila adaptasi ini tidak
terjadi, akan timbul retensi natrium yang akan membahayakan tubuh.
Meningkatnya ekskresi natrium ini disebabkan karena meningkatnya
rejeksi tubular dengan akibat meningkatnya fraksi ekskresi natrium
(FeNa). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan FeNa pada pasien GGK
belum jelas diketahui. Suda, dkk dalam penelitiannya pada pasien GGK
(LFG antara 11-66 ml/menit/1,73m2 melaporkan kemungkinan
peningkatan FeNa disebabkan pembentukan faktor natriuretik atrial. Tetapi
penderita GGK ini tidak dapat mengeliminasi beban natrium ini dengan
cepat, yaitu pada pasien GGK dengan LFG subnormal (LFG rata-rata
34ml/menit/1,73m2) hanya mampu mengekskresi setengah dari jumlah
natrium dalam waktu 2 jam setelah diberi infus NaCl, dibanding orang
normal. Hal ini menunjukkan toleransi pasien GGK terhadap peningkatan
masukan natrium yang tiba-tiba adalah buruk dan dapat menimbulkan
perubahan volume ekstraseluler dengan segala akibatnya.
Sebaliknya pasien GGK tidak mampu menurunkan ekskresi
natrium pada saat diberikan diet dengan restriksi natrium. Konsentrasi
minimum natrium urin pada pasien GGK ringan sampai sedang adalah 25-
50 mEq/L. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan nefron distal
meningkatkan reabsorbsi natrium. Bila diberikan restriksi garam secara
tiba-tiba pada pasien GGK akan menimbulkan penurunan volume cairan
ekstraseluler, perfusi ginjal dan LFG. Pasien Ggk karena penyakit ginjal
interstitial, displasia ginjal, dan penyakit ginjal kistik adalah yang paling
sering menyebabkan salt wasting ini. Tubulus ginjal pasien GGK karena
nefropati obstruktif ditemukan kurang responsif terhadap aldosteron
endogen (pseudohipoaldosteronisme).
Kalium
Keseimbangan kalium relatif dapat dipertahankan pada LFG di atas
10 ml/menit/1,73m2. Homeostasis kalium pada pasien GGK dipertahankan
dengan meningkatkan ekskresi renal dan ekstrarenal. Ekskresi renal
dicapai dengan meningkatkan ekskresi fraksional (oleh proses sekresi
tubulus ginjal) pada nefron yang masih berfungsi. Sedangkan ekskresi
ekstrarenal terutama melalui feses yaitu sebanyak 75% (pada orang normal
20%). Walaupun demikian keadaan hiperkalemia tetap merupakan
ancaman bagi pasien GGK, karena mungkin saja mereka mendapat kalium
dalam jumlah besar tiba-tiba misalnya dari makanan, transfusi darah,
keadaan sepsis, ataupun asidosis.
Pada pasien GGK selain hiperkalemia dapat terjadi hipokalemia.
Keadaan hipokalemia biasanya terjadi akibat pemakaian diuretik seperti
hidroklortiazid, furosemid atau bisa juga akibat pemberian diet rendah
kalium. Gejalanya adalah penurunan atau hilangnya refleks otot yang akan
sangat berbahaya bila mengenai otot-otot interkostal karena dapat
menyebabkan henti napas (respiratory arrest).
Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik biasanya ditemukan pada pasien GGK dengan
LFG <25% dari normal, ditandai dengan penurunan kadar bikarbonat
plasma (tCO2 12-15 mEq/L) dan peningkatan senjang anion. Asidosis
metabolik terjadi akibat ketidakmampuan pengeluaran ion hidrogen atau
asam endogen yang dibentuk karena insufisiensi sintesis amonium pada
segmen nefron distal. Meningkatnya senjang anion terjadi akibat retensi
anion seperti sulfat, fosfat, urat, dan hipurat dalam plasma (pada ginjal
normal anion ini diekskresi oleh filtrasi glomerulus). Juga ada bukti yang
menunjukkan bahwa kebocoran bikarbonat ginjal berperan dalam
menimbulkan asidosis ini, seperti pada sindrom Fanconi, asidosis tubular
ginjal tipe IV, dan hiperparatiroidisme sekunder.
Asidosis pada GGK dini (LFG 30-50% normal) lebih sering berupa
tipe dengan senjang anion normal (hiperkloremik) dan sebaliknya pada
GGK yang berat (LFG <20ml/menit/1,73m2) biasanya berupa senjang
anion yang besar. Selain terlibat dalam patogenesis terjadinya gangguan
pertumbuhan dan memperburuk hiperkalemia yang telah ada, asidosis juga
menimbulkan keadaan katabolik pada pasien GGK. Manifestasi klinis
asidosis adalah takipneu, hiperpneu, dan perburukan hiperkalemia dan
mungkin gangguan pertumbuhan.
2. Gangguan keseimbangan cairan
GGK dihubungkan dengan gangguan dalam pemeketan urin. Pada
keadaan restriksi cairan, orang normal mampu memekatkan urin sampai
1.500 mosmol/L, sedangkan pasien GGK biasanya tidak mampu
memekatkan urin di atas 300 mosmol/L. Berat jenis dan osmolalitas urin
seringkali mirip dengan plasma. Hal ini disebabkan karena dengan
bertambahnya nefron yang rusak, beban osmotik ekskresi yang ditanggung
oleh nefron yang tersisa semakin bertambah. Dengan demikian
mengakibatkan reabsorbsi air oleh tubulus berkurang dan menyebabkan
berat jenis urin mirip dengan plasma (300 mosmol/L dan berat jenis 1,010,
disebut isostenuria). Isostenuria yang resisten terhadap pemberian pitresin
dari luar pada GGK, menunjukkan adanya gangguan terhadap respons
tubulus terhadap ADH yang juga berperan dalam terjadinya isostenuria.
Hal di atas sering terjadi pada GGK yang disebabkan oleh uropati
obstruktif, displasia ginjal, penyakit ginjal kistik dan interstitial. Pasien
ini sering mengalami dehidrasi bila masukan cairan tidak mencukupi atau
dibatasi. Dehidrasi yang berulang dan syok akan memperburuk LFG. Anak
yang demikian dianjurkan untuk tidak dibatasi masukan cairannya dan
segera mencari pertolongan bila terserang gastroentritis. Pasien juga tidak
dapat mengencerkan urin secara maksimal dan tidak dapat membuang
kelebihan cairan tubuh secara tepat dan efektif sehingga dapat timbul
masalah kelebihan cairan.
3. Gangguan metabolisme
Metabolisme karbohidrat
Pasien GGK dapat disertai timbulnya intoleransi glukosa akan
menunjukkan adanya hiperglikemia. Keadaaan ini sebagai akibat
terjadinya resistensi terhadap insulin yang menghambat masuknya glukosa
ke dalam sel. Pada anak yang menderita GGK kadar insulin plasma
meningkat hingga harus dilakukan pemantauan kadar glukosa, karena
dalam keadaan akut pasien GGK memerlukan pemberian glukosa
parenteral. Karena dialisis dapat memperbaiki intoleransi glukosa pada
pasien GGK, maka diduga toksin uremik yang menyebabkan terjadinya
resistensi insulin ini. Faktor lainnya seperti peninggian kadar glukagon dan
hormon pertumbuhan juga berperan.

Metabolisme lemak
Biasanya timbul hiperlipidemia yang bermanifestasi sebagai
hipertrigliserida, kadar kolesterol darah normal, peninggian VLDL (very
low density lipoprotein) dan penurunan LDL (low density lipoprotein). Hal
ini terjadi karena meningkatnya produksi trigliserida di hepar akibat
hiperinsulinemia dan menurunnya fungsi ginjal serta karena menurunnya
katabolisme trigliserida. Keadaan ini biasanya terjadi bila LFG
<40ml/menit/1,73m2 dan meningkatnya lemak ini sesuai dengan
bertambahnya progresivitas GGK. Lebih dari 2/3 anak akan mengalami
hiperlipidemia pada saat gagal ginjal terminal. Walaupun demikian
penyebab peningkatan produksi trigliserida dan VLDL ini belum
diketahui. Akhir-akhir ini diduga gangguan terjadi pada catabolic pathway
trigliserida. Hal ini didukung oleh seringnya terjadi penurunan klirens
trigliserida pada pasien uremia yang mendapatkan trigliserida (intralipid)
dari luar. Mungkin ini disebabkan oleh menurunnya aktivitas lipoprotein
lipase dan lipase hati. Dialisis ternyata tidak memperbaiki keadaan
hiperlipidemia pada pasien GGK, mungkin karena tidak memadainya
pembuangan toksin uremik yang diduga berperan atau karena faktor
lainnya.
4. Anemia
Anemia normositer, normokromik merupakan komplikasi GGK
yang biasa ditemukan dan berhubungan dengan derajat GGK. Penyebab
utama anemia pada GGK adalah berkurangnya produksi eritropoietin,
suatu hormon glikoprotein yang diproduksi ginjal (90%) dan sisanya
diproduksi di luar ginjal (hati dan sebagainya). Kadar eritropoietin serum
nyata menurun pada pasien GGK berat, tetapi korelasi ini tidak jelas pada
LFG >20ml/menit/1,73m2. Anemia pada pasien dapat dikoreksi dengan
pemberian eritropoietin rekombinan dan responsnya tergantung dari dosis
yang diberikan. Dengan terapi ini terlihat perbaikan pada toleransi latihan,
fungsi kognitif dan kualitas hidup keseluruhan. Mekanisme lain terjadinya
anemia pada GGK adalah pemendekan umur eritrosit menjadi 2/3 umur
normal, toksisitas aluminium karena pemakaian obat-obat pengikat fosfat
yang mengandung aluminium, iatrogenik karena kehilangan darah
sewaktu dialisis dan pengambilan contoh darah, serta terjadinya defisiensi
asam folat pada pasien yang sedang menjalani dialisis. Anemia yang
terjadi karena toksisitas aluminium mempunyai gambaran mikrositik,
hipokromik yang mirip dengan defisiensi zat besi, tetapi kemampuan
mengikat besi dan kadar feritin serumnya normal.
5. Gangguan perdarahan
GGK yang berat biasanya akan diperberat dengan adanya
gangguan perdarahan yang menyertai. Walaupun jumlah trombosit normal,
tetapi waktu perdarahan sering memanjang. Hal ini diduga disebabkan
oleh adanya gangguan pada agregasi trombosit dan berkurangnya respons
terhadap ADP (adenosin difosfat) eksogen, kolagen, dan epinefrin. Jumlah
platelet factor 3 dan retraksi bekuan juga menurun pada GGK yang tidak
menjalani dialisis, diduga karena adanya peranan “dialyzable factor”
sebagai penyebab. Faktor lain yang diduga berperan dalam menyebabkan
gangguan perdarahan adalah gangguan pada faktor VIII (dapat diperbaiki
dengan kriopresipitat dan desmopresin), gangguan metabolisme
(prostaglandin inhibitor-2) PGI2 dan aspirin.
6. Gangguan fungsi kardiovaskular
Hipertensi
Terjadinya hipertensi pada pasien GGK disebabkan karena
tingginya kadar renin akibat ginjal yang rusak. Tetapi bila LFG menurun
dan jumlah urin berkurang, hipertensi terjadi akibat kelebihan cairan.
Keadaan ini akan menimbulkan keluhan sakit kepala, badan lemah, gagal
jantung bendungan, kejang; sedangkan hipertensi persisten mungkin
terjadi akibat berkurangnya LFG. Pada pasien hipertensi persisten yang
tanpa keluhan harus dievaluasi secara terus menerus untuk mencari adanya
kerusakan organ target. Pemeriksaan oftamologi perlu selalu dilakukan
pada pasien hipertensi persisten, selain itu pemeriksaan EKG perlu
dilakukan untuk mencari adanya hipertrofi jantung kiri.
Pada penyakit GGK yang progresif, timbulnya hipertensi dapat
merupakan akibat langsung dari penyakit ginjalnya. Pada setiap keadaan
hipertensi, kita harus meneliti semua faktor yang dapat menimbulkan
peninggian tekanan darah seperti faktor kardiovaskular, peningkatan
tahanan pembuluh darah perifer, faktor neurogen, faktor hormonal, dan
faktor renovaskular.
7. Gangguan jantung
Perikarditis
Perikarditis merupakan komplikasi yang sering terjadi pada GGK,
terutama timbul pada pasien dengan uremia berat yang tidak dilakukan
dialisis. Eksudat pada perikarditis uremik biasanya sedikit dan bersifat
fibrinosa atau serofibrinosa. Kadang pada pasien yang mendapat dialisis
yang adekuat juga timbul perikarditis dan efusi yang hemoragis. Pasien
yang mendapat terapi dialisis peritoneal dilaporkan lebih jarang menderita
perikarditis. Patogenesis perikarditis ini masih belum diketahui dengan
pasti. Walaupun toksin uremik yang tinggi pada keadaan dialisis sering
dijadikan kambing hitam, tetapi ada dugaan bahwa kelebihan cairan
berperan dalam menimbulkan perikarditis. Walaupun pasien perikarditis
uremik sering mengalami infeksi terutama oleh virus, tetapi pada cairan
perikardial sulit ditemukan penyebab infeksi, sedangkan cairan perikardial
yang hemoragis sering dihubungkan dengan pemakaian antikoagulan pada
dialisis.
Manifestasi klinis perikarditis uremik dapat berupa nyeri dada,
demam, dan efusi perikardial. Setelah penumpukan cairan perikardial
cukup banyak, pericardial rub akan menghilang, dan bunyi jantung
menjadi redup. Juga dapat terjadi tamponade jantung, terutama pada efusi
perikardial yang hemoragis. Perikarditis dan efusi perikardial uremik yang
lama.

Fungsi miokard dan respons terhadap latihan


Pada pasien GGK toleransi terhadap latihan rendah. Kapasitas
kerja aerobik pada pasien GGK dan GGT yang menjalani hemodialisis
kronik dilaporkan menurun sesuai dengan penurunan konsentrasi Hb.
Toleransi terhadap latihan dilaporkan membaik, bila anemia yang terjadi
dikoreksi dengan eritropoietin rekombinan. Kardiomiopati uremik sering
menimbulkan gangguan fungsi jantung berupa gagal jantung kongestif
yang biasanya ditemukan pada GGK yang berat dan GGT. Kardiomiopati
uremik ini disebabkan oleh kelebihan cairan, anemia, hipertensi, dan
mungkin toksin uremik.
Pada kebanyakan pasien GGK yang dilakukan dialisis, kelebihan
cairan ini dapat diatasi dengan dialisis sehingga fungsi jantung dapat
diperbaiki; tetapi hal ini tidak terjadi pada beberapa pasien; diduga
penyebabnya toksin uremik. Pada pasien GGK dapat ditemukan hipertrofi
ventrikel kiri dan penebalan septum interventrikular.
8. Gangguan neurologis
Neuropati perifer
Komplikasi berupa neuropati motorik dan sensorik yang mengenai
segmen distal (neuropati perifer) jarang ditemukan pada anak. Penelitian
terdahulu mendapatkan adanya penurunan elektrofisiologis saraf perifer
pada anak yang menderita GGK. Gejalanya dapat berupa parestesia
telapak tangan dan atau kaki, adanya rasa nyeri, mati rasa pada bagian
distal dan refleks tendon merupakan manifestasi neuropati perifer uremik.
Pada pemeriksaan dapat ditemukan menurunnya kecepatan konduksi saraf
perifer. Pemeriksaan konduksi saraf pada pasien GGK sebaiknya
dilakukan secara serial untuk mendeteksi adanya gangguan saraf sedini
mungkin. Kedaaan ini sering terjadi pada keadaan uremia berat dan
dengan tindakan dialisis memberikan hasil yang bervariasi, sedangkan
transplantasi ginjal memberikan hasil yang baik.

Ensefalopati hipertensif
Peninggian tekanan darah yang hebat dan tiba-tiba dapat
menyebabkan nekrosis arteri intrakranial dan edema serebri dengan gejala
sakit kepala, penurunan kesadaran dan kejang. Krisis hipertensi sering
terjadi pada GGT. Tindakan penurunan tekanan darah yang dilakukan
segera tidak akan meninggalkan gejala sisa yang berat, tetapi bila telah
terjadi perdarahan intraserebral dan intraventrikular dapat menimbulkan
gejala sisa yang berat dan bahkan kematian.
Retardasi mental
Diperkirakan terjadi peningkatan kejadian retardasi mental dengan
meningkatnya gangguan fungsi ginjal pada bayi dan anak kecil yang
menderita GGK pada tahun pertama kehidupan. Hal ini diduga akibat
pengaruh ureum terhadap perkembangan otak dan banyaknya alumunium
dalam makanan bayi. Terjadinya disfungsi otak diduga sebagai akibat
keracunan aluminium, karena suatu penelitian menunjukkan kejadian
retardasi mental dan disfungsi otak menurun pada bayi yang mendapat
calcium binding agents yaitu kalsium karbonat sebagai pengganti
aluminium containing, fosfat binding agent.
9. Osteodistrofi ginjal
Penimbunan asam fosfat mengakibatkan terjadi hiperfosfatemia
dan menyebabkan kadar ion kalsium serum menurun. Keadaaan ini
merangsang kelenjar paratiroid untuk mengeluarkan hormon lebih banyak
agar ekskresi fosfor meningkat dan kadar fosfat kembali normal. Jadi
osteodistrofi ginjal adalah kelainan tulang pada GGK sebagai akibat
gangguan absorpsi kalsium, hiperfungsi paratiroid, dan gangguan
pembentukan vitamin D aktif.
Gejala klinis osteodistrofi ginjal antara lain gangguan
pertumbuhan, gangguan bentuk tulang, fraktur spontan dan nyeri tulang.
Apabila disertai gejala rakitis yang jelas akan timbul hipotonia umum,
lemah otot, dan nyeri otot. Pada pemeriksaan radiologi dan histologi
ditemukan gambaran tulang yang abnormal dengan ciri khas seperti
osteomalasia dan osteofibrosis. Pemeriksaan yang paling sederhana untuk
melihat gambaran osteodistrofi ginjal adalah ujung-ujung tulang panjang
yaitu foto falangs, sendi lutut, dan sendi siku.
10. Gangguan pertumbuhan
Terjadinya gangguan pertumbuhan pada pasien GGK dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Kemungkinan faktor yang paling penting
adalah umur waktu timbulnya GGK, karena yang paling sering
mempengaruhi pertumbuhan adalah penyakit ginjal kongenital. Hal-hal
yang diduga ada hubungannya dengan gangguan fungsi ginjal usia dini,
asidosis, osteodistrofi ginjal, dan gangguan hormonal.
Keadaan asidosis dapat mengganggu pertumbuhan anak pasien
GGK. Terjadinya osteodistrofi ginjal dan menurunnya nafsu makan pada
pasien GGK akan menyebabkan masukan makanan dan energi tidak
adekuat sehingga mengganggu pertumbuhan. Adanya gangguan sekresi
hormon tumbuh dan insulin like growth factors pada pasien GGK akan
mempengaruhi pertumbuhan anak karena pemberian hormon tumbuh
rekombinan dapat mempercepat pertumbuhan anak tapi mekanismenya
sendiri belum diketahui.
11. Perkembangan seksual
Keterlambatan perkembangan seksual sering dijumpai pada pasien
GGK. Keadaan ini merupakan akibat disfungsi gonad primer dalam
memproduksi steroid gonad, disfungsi hipofisis dan gangguan
pengeluaran gonadotropin. Terjadinya gangguan pengeluaran
gonadotropin akan mengakibatkan terlambatnya pubertas. Keadaan ini
mungkin disebabkan uremia berat.
DAFTAR PUSTAKA
1. 199Sari Pediatri , Vol. 11, No. 3, Oktober 2009
2. Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In Avner
ED, Harmon WE, Niaudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams
& Wilkins USA, 2004; 1269-85.

Anda mungkin juga menyukai