Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan pada anak yang cukup serius dengan prevalens yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau fungsi ginjal minimal tiga bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yaitu <60 mL/mnt/1.73 m2.1 Prevalensi CKD pada populasi anak diperkirakan mencapai 18 per 1 juta anak
2

Menurut laporan data tahun 2006, di Amerika Serikat pada

populasi usia 0-19 tahun adalah 14 per satu juta. Angka kejadian PGK pada anak di Indonesia yang bersifat nasional belum ada. Di RSCM Jakarta antara tahun 1991-1995 ditemukan PGK sebesar 4.9% dari 668 anak penderita penyakit ginjal yang dirawat inap, dan 2.6% dari 865 penderita penyakit ginjal yang berobat jalan.3 Pada anak-anak, CKD dapat merupakan kelainan bawaan, didapat, atau penyakit ginjal metabolik, dan penyebab yang berkorelasi erat dengan usia pasien pada saat pertama kali terdeteksi. 1 Pasien CKD seringkali datang dengan berbagai keluhan yang menunjukkan bahwa pasien datang pada stadium lanjut, karena keterlambatan diagnosis. Awal penyakit ini biasanya tanpa gejala, atau hanya menunjukkan keluhan-keluhan yang tidak khas seperti sakit kepala, lelah, letargi, nafsu makan menurun dan muntah, 1 Selain itu dapat ditemukan juga gangguan pertumbuhan, anemia, hipertensi, gangguan elektrolit, dan osteodistrofi renal.2 Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfatkan faal ginjal yang masih ada, menghilangkan berbagai factor pemberat, dan bila mungkin memperlambat progresivitas gagal ginjal. Selain itu terdapat pengobatan pengganti adalah melakukan dialisis dan cangkok ginjal. Pencegahan dan deteksi dini merupakan hal yang sangat penting, karena dengan deteksi dini progresivitas penyakit dapat dikendalikan. Untuk prognosis pada pasien CKD setelah transplantasi 5 year survival rate adalah 96%. Biasanya kematian terjadi akibat komplikasi penyakit primer, dialisis dan transplantasi.4

BAB II CHRONIC KIDNEY DISEASE 1. Definisi 4,6 2.1. DEFINISI Definisi yang tercantum dalam clinical practise guidelines on CKD menyebutkan bahwa seorang anak dikatakan menderita CKD bila terdapat salah satu dari criteria dibawah ini : 1,4 Tabel 2.1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik 1 Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi : Kelainan Patologis Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan 2 (imaging tests) Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium Nefrologi Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.

2.2. EPIDEMIOLOGI Prevalensi CKD pada populasi anak diperkirakan mencapai 18 per 1 juta anak
2

Menurut laporan 2006, kejadian Gagal Ginjal Terminal (GGT) / End-

Stage Renal Disease (ESRD) di Amerika Serikat pada populasi usia 0-19 tahun adalah 14 per satu juta. Studi kohort yang dilakukan dari Chronic Renal Insufficiency arm of the North American Pediatric Renal Transplant Cooperative Study (NAPRTCS) menunjukkan persentase 19% pada kelompok usia 01tahun,17% pada kelompok usia 2-5tahun, 33% pada kelompok usia 6-12tahun, 31% pada kelompok usia diatas 12 tahun. 2

Angka kejadian CKD pada anak di Indonesia yang bersifat nasional belum ada. Pada penelitian di 7 rumah sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Indonesia didapatkan 2% dari 2889 anak yang dirawat dengan penyakit ginjal (tahun 19841988) menderita CKD. Di RSCM Jakarta antara tahun 1991-1995 ditemukan PGK sebesar 4.9% dari 668 anak penderita penyakit ginjal yang dirawat inap, dan 2.6% dari 865 penderita penyakit ginjal yang berobat jalan 3. CKD pada anak umumnya disebabkan oleh karena penyakit ginjal menahun atau penyakit ginjal kongenital. Angka kejadian di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya selama 5 tahun (1988-1992) adalah 0,07% dari seluruh penderita rawat tinggal di bangsal anak dibandingkan di RSCM Jakarta dalam periode 5 tahun (1984-1988) sebesar 0,17% 1. 2.3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO Penyebab CKD pada anak usia < 5 tahun paling sering adalah kelainan congenital misalnya displasia ginjal dan uropati obstruktif. Sedangkan pada usia > 5 tahun sering disebabkan oleh penyakit yang diturunkan (penyakit ginjal polikistik) dan penyakit didapat (glomerulonefritis kronis). 1,4 Tabel 2.2 Kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD 1,4 Riwayat keluarga dengan penyakit polistik ginjal atau penyakit ginjal genetic Bayi berat lahir rendah Anak dengan riwayat gagal ginjal akut Hipoplasia atau displasia ginjal Penyakit urologi terutama uropati obstruktif Refluks verikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih dan parut ginjal Riwayat menderita sindrom nefrotik atau sindrom nefritis akut Riwayat menderita sindrom hemolitik uremik Riwayat menderita Henoch Schoenlein Purpura Diabetes mellitus Lupus Eritematosus Sistemik Riwayat menderita tekanan darah tinggi
Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium Nefrologi Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.

2.4. KLASIFIKASI Klasifikasi CKD menjadi beberapa stadium untuk tujuan pencegahan, identifikasi awal kerusakan ginjal dan tatalaksana serta untuk pencegahan komplikasi CKD. Klasifikasi stadium ini ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium lebih tinggi menunjukan nilai laju filtrasi glomerulus yag lebih rendah. 1,4 Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat Penyakit 1,4 Derajat Penjelasan 1 2 3 4 5 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang Gagal Ginjal LFG (ml/menit/1,73 m2) > 90 60 - 89 30 - 59 15 - 29 < 15 atau dialisis

Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium N efrologi Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.

Nilai LFG digunakan sebagai fokus utama dalam pedoman ini karena LFG dapat menggambarkan fungsi ginjal secara menyeluruh. Nilai LFG dapat dihitung berdasarkan rumus berikut: 5 K X TB (cm) LFG (mL/menit/1,73 m ) = Kreatinin serum (mg/dL) K adalah konstanta (K= 0,33 untuk bayi berat lahir rendah di bawah usia 1 tahun, K= 0,45 untuk bayi berat lahir cukup bulan sampai 1 tahun, K= 0,55 untuk anak sampai umur 13 tahun, K= 0,57 untuk perempuan 13-21 tahun, dan 0,70 untuk anak laki-laki 13 21 tahun). TB=tinggi badan 2.5. PATOGENESIS Chronic Kidney Disease (CKD), kerusakan atau cedera pada ginjal oleh sebab struktural maupun penyakit metabolik genetik masih tetap berlanjut meskipun penyebab utamanya telah dihilangkan 2. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada CKD. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut ialah adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat, dan kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal ginjal terminal (GGT) atau Kidney Failure atau End-Stage Renal Disease (ESRD) 3. Hyperfiltration injury / cedera hiperfiltrasi adalah perjalanan umum dari kerusakan glomerulus,dan tidak bergantung pada penyebab yang mendasari kerusakan ginjal. Dengan hilangnya nefron , sisa nefron yang lain mengalami hipertrofi struktural dan fungsional ditandai dengan peningkatan aliran darah glomerular. Kekuatan pendorong untuk filtrasi glomerulus meningkat pada nefron yang masih hidup. Meskipun mekanisme hiperfiltrasi ini sementara dapat memelihara fungsi ginjal , hal ini dapat menimbulkan kerusakan progresif pada 5
2

glomeruli yang masih hidup,disebabkan efek langsung dari peningkatan tekanan hidrostatik pada intergritas dinding kapiler dan atau efek beracun dari peningkatan protein yang melintasi dinding kapiler. Seiring waktu, dengan populasi nefron yang mengalami sclerosing meningkat, nefron yang masih hidup akan mengalami peningkatan beban ekskresi yang bertambah,sehingga akan menyebabkan lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus 2. Proteinuria sendiri dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal, sebagaimana dibuktikan oleh penelitian bahwa pengurangan proteinuria dapat menunjukan efek yang menguntungkan. Protein yang melintasi dinding kapiler glomerulus dapat memberikan efek toksik langsung dan mendatangkan monosit atau makrofag, hal itu meningkatkan proses glomerular sclerosis dan tubulointerstitial fibrosis 2,3. Hipertensi yang tidak terkontrol dapat memperburuk perkembangan penyakit dengan menyebabkan arteriolar nephrosclerosis disebabkan proses hiperfiltrasi. Hiperfosfatemia dapat meningkatkan perkembangan penyakit karena deposisi kalsium-fosfat di intersitium ginjal dan pembuluh darah . Hiperlipidemia, sebuah kondisi umum pada pasien PGK, dapat merusak fungsi glomerular melalui oxidant-mediated injury 2, 6.. 2.6. MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis yang timbul pada CKD merupaa manifestasi:3 1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. 2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksis uremik. 3. Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif vitamin D. 4. Abnormalitas respon end organ terhadap hormon endogen (hormon pertumbuhan). Pasien CKD menunjukan keluhan non spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah, dan gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan anak tampak pucat, lemah dan hipertensi. Keadaan ini dapat berlangsung bertahun-tahun. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan keadaan-keadaan seperti:1,2 6

Gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan : hiperkalemia /hipokalemia, hipernatremia/hiponatremia, dehidrasi. Gangguan asam basa: asidosis metabolic. Gangguan metabolisme karbohidrat (hiperglikemi) dan lemak (hiperlipidemia). Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat: hiperparatiroid sekunder, osteodistrofi ginjal, rickets/osteomalasia, kalsifikasi jaringan lunak.

Gangguan metabolisme hormon: anemia normokrom normositer hipertensi. Gangguan perdarahan. Gangguan fungsi kardiovaskular: perikarditis, toleransi miokard terhadap latihan rendah. Gangguan jantung : kardiomiopati uremik, hipertrofi ventrikel kiri dan penebalan septum interventrikular. Gangguan neurologi: neuropati perifer, ensefalopati hipertensif dan retardasi mental. Gangguan perkembangan seksual : keterlambatan pubertas.

Gangguan ekskresi air, Ginjal adalah pengatur volume cairan tubuh yang utama. Karena ginjal memiliki kapasitas untuk mengencerkan dan memekatkan urin. Pada CKD ,kapasitas ini terganggu sehingga dapat menyebabkan retensi dari zat sisa maupun overload cairan pada tubuh . Ganguan ekskresi natrium, dalam perjalanan PGK kemampuan nefron untuk mengatur keseimbangan natrium menjadi terganggu, pada pasien dengan CKD yang stabil jumlah total natrium dan cairan pada tubuh menigkat,walau kadang tidak begitu terlihat pada pemeriksaan fisik.Pada berbagai bentuk gangguan ginjal (cth,Glomerulonefritis),terjadi gangguan pada glomerulotubular sehingga tidak dapat menjaga keseimbangan dari intake natrium yang berlebih terhadap jumlah yang diekskresikan,hal ini menyebabkan retensi natrium dan ekspansi dari cairan ekstraselular sehingga terjadi hipertensi,yang dapat semakin menambah kerusakan pada ginjal 6.Hiponatremia (dilutional hyponatremia) kadang ditemukan pada penderita CKD,hal ini disebabkan retensi dari air yang 7

berlebihan,sehingga menyebabkan dilusi pada cairan intravascular 6,7. Gangguan ekskresi kalium, ginjal mempunyai kapasitas untuk ekskresi kalium,dan biasanya hiperkalemia apabila yang berat terjadi terjadi saat pada LFG LFG <10mL/menit/1.73m2. hiperkalemia

>10mL/menit/1.73m2 ,harus

dicari penyebab

dari hiperkalemia,termasuk

diantaranya : intake kalium yang berlebih, hyporeninemic hypoaldosteronism, asidosis metabolic yang berat,tranfusi darah, hemolisis, katabolisme protein, penggunaan obat-obatan seperti ACE inhibitor ,B-blocker, dan aldosteron antagonist3,6,7. Hipokalemia juga dapat terjadi namun jarang ditemukan, hal ini terjadi biasanya karena intake kalium yang rendah,penggunaan diuretic yang berlebihan, kehilangan kalium dari GIT.

Asidosis metabolik berkembang di hampir semua anak-anak dengan CKD sebagai akibat penurunan ekskresi asam oleh ginjal dan produksi Uremia , walaupun konsentrasi urea serum dan kreatinin digunakan sebagai ukuran kapasitas ekskresi dari ginjal . akumulasi hanya dari kedua molekul ini tidak bertanggung jawab atas gejala dan tanda yang karakteristik pada uremic syndrome pada gagal ginjal yang berat. Ratusan toksin yang berakumulasi pada penderita gagal ginjal berperan dalam uremic syndrome. Hal ini meliputi water-soluble, hydrophobic, protein-bound, charged, dan uncharged compound. Sebagai tambahan,produk ekskresi nitrogen termasuk diantaranya guanido, urat, hippurat, produk dari metabolism asam nukleat, polyamines, mioinositol, fenol, benzoate, dan indol. Uremia sendiri menyebabkan gangguan fungsi dari setiap sistem organ. Dialisis kronik dapat mengurangi insiden dan tingkat keparahan dari gangguan ini .Kadar urea yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada mulut,yaitu kadar urea yang tinggi pada saliva dan menyebabkan rasa yang tidak enak (seperti ammonia), fetor uremikum (bau nafas seperti ammonia),dan uremic frost .Gangguan pada serebral terjadi pada kadar ureum yang sangat tinggi,dan dapat menyebabkan coma uremicum.Pada jantung dapat mengakibatkan uremic pericarditis maupun uremic cardiomyopathy6. Hipertensi, Anak-anak dengan CKD mungkin memiliki hipertensi 8 ammonia3,6,7.

berkelanjutan yang berkaitan dengan kelebihan beban volume intravascular dan atau produksi renin yang berlebihan berkaitan dengan penyakit glomerular Anemia ,hal ini umum terjadi pada pasien dengan CKD ,terutama disebabkan karena produksi eritropoietin tidak memadai (dibentuk di korteks ginjal, pada interstitial, tubular atau sel endotelial). Faktor lain yang mungkin menyebabkan anemia termasuk kekurangan zat besi, asam folat atau vitamin B12, dan penurunan survival-time dari eritrosit 2,3,6,7. Abnormal hemostasis, pada pasien PGK terjadi waktu perdarahan yang memanjang, karena menurunnya aktivitas dari platelet factor III, agregasi platelet yang abnormal, dan gangguan konsumsi protrombin, dan meningkatnya aktivitas fibrinolitik karena fibrinolisin tidak tereliminir pada ginjal. Gangguan Pertumbuhan, perawakan yang pendek adalah sekuel jangka panjang dari CKD yang terjadi di masa kanak-kanak. Anak-anak dengan CKD berada dalam keadaan resisten terhadap growth hormon (GH) walaupun terjadi peningkatan kadar GH namun terjadi penurunan kadar insulin like growth factor 1(IGF-1) dan abnormalitas dari insulin like growth factorbinding proteins
2,3,6

Renal Osteodystrophy atau osteodistrofi ginjal merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan suatu spektrum kelainan tulang yang ditemui pada pasien dengan CKD. Kondisi yang umum ditemukan pada anak-anak dengan CKD adalah gangguan berupa tingginya turnover pada tulang yang disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder. Temuan patologik ini disebut osteitis fibrosa cystica. Patofisiologi osteodistrofi ginjal sangat kompleks. Pada awal perjalanan CKD ketika LFG menurun kira-kira 50% dari normal, penurunan massa ginjal secara fungsional menyebabkan penurunan aktivitas hidroksilase-1 ginjal, dengan penurunan produksi vitamin D aktif (1,25 dihydroxycholecalciferol). Kekurangan bentuk aktif vitamin D ini mengakibatkan penurunan penyerapan kalsium di usus halus, sehingga terjadi hipokalsemia, dan peningkatan aktivitas kelenjar paratiroid. Peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH) sebagai upaya untuk memperbaiki hipokalsemia,dengan meningkatan resorpsi tulang. Kemudian dalam perjalanan CKD, ketika LFG menurun 20-25% dari normal, mekanisme kompensasi untuk meningkatkan ekskresi fosfat menjadi tidak memadai, sehingga mengakibatkan hiperfosfatemia yang kemudian lebih lanjut akan mengakibatkan hipokalsemia dan peningkatan sekresi PTH. 3,6,7

2.7.DIAGNOSIS Diagnosis CKD dapat ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.4 Anamnesis Penderita CKD menunjukan keluhan tidak spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah, dan gangguan pertumbuhan. Keadaan ini dapat berlangsung secara bertahun-tahun.4 Pemeriksaan Fisik Gangguan pertumbuhan, anemia, hipertensi, osteodistrofi ginjal, tanda pembesaran jantung, dan keterlambatan seksual.4

Pemeriksaan Penunjang Darah: hemoglobin, elektrolit, analisa gas darah, gula, profil lipid, kadar vitamin D, factor pembekuan. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin dan penurunan LFG.Kelainan biokimiawi darah meliputi anemia, hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia, hiperfosfatemia,dan asidosis metabolic. 4,7 Radiologi: USG ginjal dapat memperlihatkan gambaran ukuran ginjal yang mengecil dan korteks yang menipis dan foto toraks untuk melihat pembesaran jantung.4,7 Foto tulang jika terdapat osteodistrofi ginjal.

2.8. PENATALAKSANAAN 1. Pengobatan konservatif Pada umumnya pengobatan konservatif masig mungkin dilakukan bila klirens protein >10 mL/menit/1,73m2 . Dengan tujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, menghilangkan berbgai factor pemberat, dan bila mungkin memperlambat progresivitas gagal ginjal.1,4

10

a. Diet Pada prinsipnya diet yang diberikan pada penderita CKD adalah: 1,4 Mencukupi semua nutrin esensial yang adekuat termasuk vitamin. Mencukupi kalori yang adekuat dalam bentuk karbohidrat dan lemak. Mencukupi protein berkualitas tinggi untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen (+) dan mendorong kecepatan pertumbuhan. Mengurangi terjadinya akumulasi nitrogen sampai seminimal minimalnya untuk menghindari akibat uremia, misalnya kelainan hematologis dan neurologis serta mencegah osteodistrofi. Mengurangi beban asam yang harus diekskresikan oleh ginjal. Menghindari masukan elektrolit yang berlebihan.

Pembatasan

masukan protein harus dimulai bila LFG 15-20

mL/menit/1,73m2. . Jumlah kalori yang diberikan harus cukup untuk anabolisme dan pertumbuhan, jadi harus disesuaikan dengan kebutuhan menurut usia. Untuk bayi diberikan 100 kkal.kgBB/hari sedangkan jumlah protein diberikan sesuai dengan usia dan tingkat penurunan LFG. Retriksi protein dilakukan bila kadar ureum darah > 30 mmol/L atau terdapat gejala uremia. Umum diberikan 1,4 g/kgBB/hari untuk bayi dan 0,8-1,1 g/kgBB/hari untuk anak yang terdiri atas protein yang nilai biologis tinggi ( paling sedikit mengandung 70% asam amino esensial). Bila retriksi protein terlalu ketat akan mengakibatkan malnutrisi, sehingga jumlah protein yang harus diberikan paling sedikit 4% dari jumlah total kalori atau 1g/kgBB/hari. Maksud pembatasan protein adalah mencegah katabolisme protein endogen, mengurangi akumulasi sisa nitrogen, serta membatasi toksisitas sistemik. 1,4 Tabel.2.3 Kebutuhan Kalori dan Protein yang Direkomendasikan Untuk Anak dengan CKD Usia Tinggi (cm) Energi (kkal) Minimal Protein (g) Kalsium (g) Fosfor (g) 11

0-2 bulan 2-6 bulan 6-12 bulan 1-2 tahun 2-4 tahun 4-6 tahun 6-8 tahun 8-10 tahun 10-12 tahun 12-14 tahun Laki-laki Perempuan 14-18 tahun Laki-laki Perempuan 18-20 tahun Laki-laki Perempuan

55 63 72 81 96 110 121 131 141 151 154 170 159 175 163

120/kgBB 110/kgBB 100/kgBB 1.000 1.300 1.600 2.000 2.200 2.450 2.700 2.300 3.000 2.350 2.800 2.300

2,2/kgBB 2,0/kgBB 1,8/kgBB 18 22 29 29 31 36 40 34 45 35 42 33

0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0,9 1,0 1,2 1,4 1,3 1,4 1,3 0,8 0,8

0,2 0,4 0,5 0,7 0,8 0,9 0,9 1,0 1,2 1,4 1,3 1,4 1,3 0,8 0,8

Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium Nefrologi Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.

b. Natrium Pada CKD akibat kelainan anatomi ginjal biasanya terjadi pengeluaran natrium yang banyak sehingga terjadi hiponatremia dan dehidrasi berat. Pada keadaan ini dibutuhkan suplai natrium dalam makanan. Sebaliknya, pada penderita yang disertai hipertensi, edema, atau gagal jantung, harus dilakukan retriksi natrium dan pemberian diuretic seperti furosemid (1-4 mg/kgBB/hari). Umumnya diet rendah garam pada CKD tanpa hipertensi atau sembab adalah 2 g/kgBB/hari (80 mEq/kgBB/hari). Bila disertai sembab dikurangi menjadi 1 mEq/kgBB/hari dan bila ditemukan oligouria atau anuria harus diperketat menjadi 0,2 mEq/kgBB/hari. Catatan 1 g garam dapur sebandung dengan 400 mg natrium atau 17 mEq natrium. 1,4 c. Asidosis Penderita CKD sering mengalami asidosis kronis yang menyebabkan kerusakan tulang dan gagal tumbuh. NaHCO3 aman digunakan dengan 12

dosis 1-5 mEq//kgBB/hari disesuaikan dengan beratnya asidosis. Untuk mempertahankan pertumbuhan anak secara adekuat maka kadar bikarbonat plasma harus dipertahankan anatara 23-25 mEq/L. Bila asidosis berat (HCO3 < 8 mEq/L) koreksi dengan dosis 0,3 x kgBB x (12HCO3 serum) mEq/L i.v. Tablet NaHCO3 325 mg = 4 mEq HCO3. 1,4 d. Hipertensi Langkah pertama untuk mengendalikan hipertensi adalah tindakan nonfarmakologis yaitu diet rendah garam , penurunan berat badan, dan berolah raga. Bila dengan cara ini tidak berhasil diberikan obat farmakologis.

Pengobatan farmakologis dapat langsung diberikan bila hipertensi disertai gejala kerusakan organ atau peninfkatan tekanan darah sangat cepat. Yang sering dipakai adalah :1,4 Diuretika Beta Bloker adrenergic (propanolol atau etanolol) Agonis adrenergic alfa Vasodilator perifer (hidrolazid) Calsium channel blocker dan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor Tindakan farmakologi dimulai dengan pemberian diuretic, bila tidak berhasil atau hipertensi makin berat dapat diberikan beta-bloker adrenergic (propanolol atau etanolol) dan atau vasodilator perifer (hidralazid). Bila gabungan obat-obatan tersebut masih tidak memberikan hasil dapat diberikan Calsium channel blocker ( nifedipin) atau ACE inhibitor (kaptopril/enalapril). Pada hipertensi krisis akut dapat diberikan nifedipin sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgBB. Furosemid diberikan dengan dosis 1-5 mg/kgBB i.v diulang tiap 6-12 jam kecepatan maks. 4 mg/kgBB/menit atau dapat diberikan klonidin drip dengan dosis 0,002 mg/kgBB/8jam + 100 mL dekstrose 5%, tetesan awal 12 tetes mikrodrip/menit, bila tekanan darah belum turun tetesan dinaikan 6 13

tetes/mikridrip/menit tiap 30 menit (maksimal 36 tetes mikrodrip/menit). Bila 30 menit setelah tetesan maksimal tekanan darah belum turun, ditambah kaptopril dengan dosis 0,3 mg/kgBB/kali, diberikan 2-3 kali sehari (maksimal 2 mg/kgBB/kali). Pemberian kaptopril harus hati-hati pada pasien kelainan ginjal bilateral atau steosis arteri renalis bilateral karena dapat mempercepat kerusakan ginjal.1,4 e. Anemia Pengobatan anemia dilakukan sesuai penyebabnya. Bila ditemukan defisiensi zat besi diberikan zat besi oral dengan dosis 2-3 mg besi elemental/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari selama 3 bulan. Bila terjadi defesiensi asam folat, diberikan asam folat dengan dosis 1-5 mg.hari selama 3-4 minggu, pasien yang menjalani dialisis secara teratur diberi asam folat oral 1 mg/hari. Anemia pada CKD dapat diobati dengan androgen karena dapat meningkatkan produksi eritropoietin oleh hepatosit. Penelitian terakhir mengemukakan bahwa pemberian recombinan human erythropoietin (rhuEPO) dengan dosis antara 50-150 IU/kgBB/kali subkutan (pada sedang yang menjalani dialisis dapet diberikan intravena), diberikan 3 kali seminggu. Pemberian rhuEPO dapat mengurangi atau menghindarkan transfuse darah pada CKD. Bila ditemukan pasien anemia disertai mengancam jiwa perlu diberikan transfuse darah PRC 10-20 ml/kgBB. Biasanya transfuse PRC diberikan bila kadar Hb < 6 mg/dL. Kalau ditemukan hipersplenisme dan usaha untuk menaikan Hb tidak berhasil, harus dilakukan splenektomi. 1,4 f. Gagal jantung Terjadinya gagal jantung biasanya akibat kelebihan cairan dan atau hipertensi berat. Pengobatan langsung ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan nifedipin sublingual dan mengeluarakan cairan dengan diuretic seperti furosemid baik secara oral maupun intravena. Bila terjadi perikarditis pada uremia yang berat, merupakan indikasi untuk dilakukan dialisis dan dalam keadaan akut mungkin perlu tindakan perikardiosintesis. Adanya cairan pericardium yang persisten atau terjadi rekurensi mungkin membutuhkan pemberian steroid non adsorber 14

(triamnisolon) setalah tindakan perikardiosentesis. 1,4 g. Gagal Pertumbuhan Dapat dihambat dengan mencegah terjadinya asidosis, osteodistrofi ginjal dan konsultasi gizi. Akhir-akhir ini dicoba memberikan human recombinan hormon dosis 0,35 mg/kg atau 30 U/m2 perminggu, memberikan hasil yang efektif untuk mempercepat pertumbuhan anak. Terapi dengan rHuGH dilanjutkan hingga pasien : 1,4,6 1. Tinggi badan sesuai umur mencapai persentil 50 2. Mencapai tinggi badan yang cukup untuk dewasa (pada anak yang lebih besar atau remaja) 3. Menjalani transplantasi ginjal Penggunaan rHuGH jangka panjang secara signifikan

meningkatkan tinggi badan dan dapat mengejar pertumbuhan secara persisten.Pada beberapa pasien dapat mencapai tinggi badan sesuai dewasa normal. h. Osteodistrofi Renal Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25 dihydroxycholecalciferol menurun, sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan, yaitu pada GRF 50-80 ml/menit/1.73m2. Kadar fosfat plasma merupakan sebab utama terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur sel paratiroid secara independen pada kadar calcium serum dan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol endogen. Oleh karenanya kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal paling penting sebagai prevensi dan terapi hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut paling sulit dicapai dalam jangka panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan akan diet rendah fosfat yang ketat and pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi absorbsinya. Diet rendah fosfat berarti membatasi intake susu sapi dan produknya. 3,6 Bila kadar fosfat plasma tetap diatas harga rata-rata untuk umur, pengikat fosfat misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari diberikan bersama makanan, dosis disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara 15

harga rata-rata dan -2SD sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih baru, sevelamer (non-calcium/non-aluminium containing polymer) juga merupakan pengikat fosfat yang bermanfaat. 3,6 Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25dihydroxycholecalciferol endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan kadar PTH. Namun, bila kadar PTH tetap tinggi dan kadar fosfat plasma normal, perlu ditambahkan vitamin D3 hidroksilasi. Tipe, dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi osteodistrofi renal masih merupakan kontroversi.

Dianjurkan pemberian dosis rendah 1,25-dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan berat kurang dari 20 kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang lebih besar, untuk menaikkan kadar kalsium plasma sampai batas normal atas: bila kadar PTH telah normal, 1,25-dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan sementara. Pemberian 1,25-dihydroxycholecalciferol secara intravena lebih efektif untuk menurunkan kadar PTH, tetapi dapat menyebabkan adynamic bone, oleh karena 1,25-dihydroxycholecalciferol pada dosis tinggi mempunyai efek antiproliferatif pada osteoblast. 3,6 Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya diperiksa setiap kunjungan. Kadar PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak melakukan kunjungan yang lebih jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak asimtomatik dan parameter biokimia normal, hanya perlu dilakukan pemeriksaan radiologi manus kiri dan pergelangan tangan setiap tahun untuk menilai usia tulang. 3,6 2. Pengobatan pengganti Prinsip pengobatan pengganti adalah melakukan dialisis (dialisis peritoneal maupun hemodialisis) dan cangkok ginjal. 1,4

16

Tindakan Dialisis Indikasi dialisis pada bayi, anak, dan remaja sangat bervariasi dan tergantung dari status klinis pasien. Tindakan dialisis baik peritoneal maupun hemodialisis harus dilakukan sebelum LFG <10 mL/ menit/1,73m2. Indikasi absolut untuk tindakan awal dialisis kronik pada anak dengan gagal ginjal:

a. b. c. d. e. f.

Hipertensi tidak terkendali, hipertensiensefalopati. Gagal jantung : kardiomiopati Perikarditis tamponade Neuropati perifer: parestesis, disfungi motorik. Osteodistrofi ginjal: kalsifikasi tersebar, deformitas tulang. Depresi sumsum tulang: anemia berat, leucopenia. Keuntungan dan kerugian dialisis peritoneal dan

hemodialisis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Di Inggeris, Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain, dialisis peritoneal lebih banyak dilakukan pada anak-anak. Hemodialisis adalah suatu teknik untuk memindahkan atau membersihkan solut dengan berat molekul kecil dari darah secara difusi melalui membran semipermeabel. Hemodialisis membutuhkan akses sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan fistula A-V pada vasa radial atau brachial dari lengan yang tidak dominan. 8 Pada dialisis peritoneal, membran peritoneal berfungsi sebagai membran semi-permeabel untuk melakukan pertukaran dengan solute antara darah dan cairan dialisat. Untuk memasukkan cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu dipasang kateter peritoneal dari Tenckhoff. Ada 2 cara pelaksanaan dialisis peritoneal, yaitu: 8 1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialisis dilakukan malam hari dengan mesin dialisis peritoneal, sehingga pada siang hari pasien bebas dari dialisis. 2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialisis berlangsung 24 jam sehari dengan rata-rata pertukuran cairan 17

dialisat setiap 6 jam sekali. Meskipun hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan Terapi pengganti ginjal yang efektif, angka mortalitas dialisis lebih tinggi daripada transplantasi untuk semua kelompok umur. Keuntungan dari Perionial dialysis dan hemodialisis dapat dilihat pada tabel dibawah ini : 8

Tabel 2.4 Kelebihan masing-masing Peritonial dialysis dan hemodialisis . Peritoneal dialysis Haemodialysis Secara teknik, lebih mudah Pemindahan metabolit dapat dikerjakan Menghindari pemindahan cairan, elektrolit dan metabolit lain secara mendadak Meminimalisasi restriksi kebutu- han cairan dan dietetic Membutuhkan tanggung jawab yang lebih dari orangtua/pengasuh Mengurangi komplikasi anemia, mengontrol hipertensi lebih baik. Dapat membosankan karena men- jadi rutinitas harian meliputi molekul yang lebih kecil Hanya tersedia di beberapa fasilitas pelayanan kesehatan Membutuhkan pengaturan restriksi cairan Dapat dilakukan 3x/minggu dengan lama hemodialisis 3-5 jam tergantung dengan kebutuhan

18

Sumber: Rachmadi Dedi, Meliyana Fina. Hemodialisa Pada Anak dengan Chronic Kidney Disease. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS Dr.HAsan Sadikin Bandung; 2009

Transplantasi Ginjal Trasplantasi ginjal merupakan pilihan ideal untuk pengobatan gagal ginkal tahap akhir. Indijasi transplantasi ginjal adalah pasien gagal ginjal tahap akhir dengan gagal tumbuh berat atau mengalami kemunduran klinis setelah mendapat pengobatan yang optimal. Pemerikasaan imunologi yang penting untuk keberhasilan 19

transplantasi adalah golongan darah ABO dan antigen HLA 3. Transplantasi dapat berasal dari kadaver (jenazah) atau donor hidup keluarga. Transplantasi merupakan pengobatan yang paling optimal untuk bayi, anak dan remaja karena merupakan usaha yang paling baik yang dilakukan untuk mengembalikan anak ke kehidupan normal. Dialisis hanya merupakan usaha untuk memelihara dan mempertahankan keadaan pasien sampai saat pasien akan dilakukan transplantasi.1,4 3. Mengatasi Faktor yang Reversibel Meskipun kerusakan akibat penyakit glomerulus berlangsung terus menerus, namun hal ini dapat diperlambat atau dihentikan sebelum mencapai gagal ginjal terminal, sehingga perlu dilakukan usaha pengobatan terhadap factor-faktor yang reversible seperti kehilangan garam, air, hipertensi, infeksi traktus urinarius, obstruksi, hiperkalemia dan gagal jantung. Hindari pemberian obat-obatan nefrotoksis dan pemeriksaan radiologic yang menggunakan zat kontras. 1,4 4. Mencari dan Mengatasi Faktor yang Memperberat Bila ditemukan adanya kemunduran klinis ataupun biokimiawi, harus dicari factor-faktor reversible dan segera diobati. Pada masa ini dilakukan tindakan konservatif seperti retriksi makanan , obat, antihipertensi, pengikat fosfat, dan vitamin D. 1,4 5. Penggunaan obat pada CKD Adanya gangguan pada fungsi ginjal akan terjadi akumulasi obat-obatan atau metabolitnya yang eliminasinya terutama melalui ginjal dan pada gilirannya dapt menimbulkan efek toksik atau memperburuk gungsi ginjal. Para peneliti umumnya sependapat bahwa prinsip penyesuain dosis dapat dilakukan dengan: Dosis tiap kali pemberian diperkecil, sedangkan interval pemberiannya tetap. 20

Dosis tetap, interval pemberiannya diperpanjang. Gabungan 1 dan 2. 1,4

2.9. PROGNOSIS Untuk prognosis pada pasien CKD setelah transplantasi 5 year survival rate adalah 96%. Biasanya kematian terjadi akibat komplikasi penyakit primer, dialisis dan transplantasi. Angka mortalitas pada anak dengan PGK lebih rendah daripada penderita dewasa. Bayi yang menjalani dialysis memiliki angka mortalitas yang lebih buruk dibanding anak yang usianya lebih tua. Sebuah studi pada 5.961 pasien dengan usia 18 tahun, yang berada dalam daftar tunggu transplantasi ginjal di USA ditemukan bahwa anak yang telah menjalani transplantasi memiliki angka mortalitas yang lebih rendah (13,1 kematian/1.000 pasien per tahun) dibanding anak yang masih berada dalam daftar tunggu (17,6 kematian/1.000 pasien per tahun). Pada tahun 2005 Annual Data report (ADR) menunjukkan bahwa 92% anak-anak yang menjalani transplantasi ginjal dapat bertahan selama 5 tahun kedepan dibanding 81% dari anak-anak yang menjalani hemodialisis maupun peritoneal dialysis. Akhirnya, Usia harapan hidup untuk anak berusia 0 14 tahun dan sedang menjalani dialisis hanya 18.3 tahun, dimana populasi usia yang sama dan menjalani transplantasi ginjal dapat mencapai 50 tahun.
1,10

21

2. PatofisioManifestaKli BAB III KESIMPULAN

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit ginjal kronik (PGK)) adalah suatu kerusakan parenkim ginjal yang dapat / tidak disertai menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) ,dimana kerusakan ini bersifat tidak reversibel dan terbagi dalam 5 stadium sesuai dengan jumlah nefron yang masih berfungsi. Jumlah penderita CKD pada anak lebih sedikit dibanding pada dewasa.Pada anak-anak CKD dapat disebabkan oleh berbagai hal, terutama karena kelainan kongenital, glomerulonefritis, penyakit multisistem, dan lain-lain. Gejala klinis CKD merupakan manifestasi dari penurunan fungsi filtrasi glomerulus yang mengakibatkan terjadinya uremia, gangguan keseimbangan cairan-elektrolit dan asam-basa, serta gangguan fungsi endokrin berupa berkurangnya kadar eritropoietin dan vitamin D3.Pada anak juga sering disertai gangguan pertumbuhan karena metabolism kalsium-fosfat yang terganggu. Penanganan CKD disesuaikan dengan tahap penurunan laju filtrasi glomerulus, yang secara prinsip dibagi menjadi terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal (TPG). Selain itu juga dibutuhkan terapi multidisipliner yang mencakup bidang medik,sosial,psikologi,gizi, dan cakupan lain untuk membantu sisi kesehatan dan tumbuh kembang anak, Angka mortalitas pada penderita CKD bergantung pada penyebab yang mendasari dan juga tatalaksana yang didapat. Anak dengan CKD yang mendapat transplantasi ginjal memiliki angka mortalitas dan usia harapan hidup yang lebih tinggi dibanding mereka yang menjalani TPG (seperti hemodialisis atau peritoneal dialisis)

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia. Kompendium

Nefrologi Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
2. Robert M. Kliegman, MD. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Chapter

535.2 Chronic Kidney Disease 2007 Saunders, An Imprint of Elsevier


3. Sjaifullah M,Noer, Gagal ginjal kronik pada anak (Chronic Renal Failure in

Children).Divisi Nefrologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR:RSU Dr. Soetomo.2005.Surabaya
4. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-

RSUP Dr.HAsan Sadikin Bandung. Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ed.. 4 . Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran: 2012
5. Sudung O. Pardede, Swanty Chunnaedy. Sari Pediatri Vol. 11, No. 3. Penyakit

Ginjal Kronis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Jakarta; 2009


6. Bangga Arvin Srivastava RN. Pediatric Nephrology. 5th ed. Jaypee Brothers

Medical Publisher. Indiaa;2011


7. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,

Classification, and Stratification .National Kidney Foundation (NKF) NKDOQI.2002.


8. Rachmadi Dedi, Meliyana Fina. Hemodialisa Pada Anak dengan Chronic Kidney

Disease. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS Dr.HAsan Sadikin Bandung; 2009
9. Bradley A. Warady, Chronic kidney disease in children: the global perspective.

23

Pediatric Nephrology,Berlin,Germany.2007.
10. Bradley A. Warady, Chronic kidney disease in children: the global perspective.

Pediatric Nephrology,Berlin,Germany.2007.

24

Anda mungkin juga menyukai