Anda di halaman 1dari 23

GAGAL GINJAL KRONIK

(CHRONIC KIDNEY DISEASE/CKD)

I. Konsep Gagal Ginjal Kronik (CKD)


1.1 Pengertian
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu keadaan terjadinya kerusakan
ginjal atau laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 mL/menit dalam waktu 3 bulan
atau lebih (Rachmadi, 2010).

CKD merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible


dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2001).

Batasan yang tercantum dalam clinical practice guidelines on CKD


menyebutkan bahwa seorang anak dikatakan menderita CKD bila terdapat
salah satu dari kriteria dibawah ini:
1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, yang didefinisikan sebagai abnormalitas
struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan glomerular
filtration rate (GFR), yang bermanifestasi sebagai satu atau lebih gejala:
a. Abnormalitas komposisi urin
b. Abnormalitas pemeriksaan pencitraan
c. Abnormalitas biopsi ginjal
2. GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa gejala
kerusakan ginjal lain yang telah disebutkan.

1.2 Etiologi dan Faktor Resiko


Menurut Catherine (2005) Penyebab CKD pada anak usia < 5 tahun paling
sering adalah kelainan kongenital misalnya displasia atau hipoplasia ginjal
dan uropati obstruktif. Sedangkan pada usia > 5 tahun sering disebabkan oleh

1
penyakit yang diturunkan (penyakit ginjal polikistik) dan penyakit didapat
(glomerulonefritis kronis).
1. Riwayat keluarga dengan penyakit polikistik ginjal atau penyakit ginjal
genetik
2. Bayi berat lahir rendah
3. Anak dengan riwayat gagal ginjal akut
4. Hipoplasia atau displasia ginjal
5. Penyakit urologi terutama uropati obstruktif
6. Refluks verikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih
dan parut ginjal
7. Riwayat menderita sindrom nefrotik atau sindrom nefritis akut
8. Riwayat menderita sindrom hemolitik uremik
9. Riwayat menderita Henoch Schoenlein Purpura
10. Diabetes melitus
11. Lupus Eritrematosus Sistemik
12. Riwayat menderita tekanan darah tinggi

1.3 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis CKD sangat bervariasi, tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Bila glomerulonefritis merupakan penyebab CKD, maka akan
didapatkan edema, hipertensi, hematuria, dan proteinuria. Anak dengan
kelainan kongenital sistem traktus urinarius, seperti renal dysplasia atau
uropati obstruksi akan ditemukan gagal tumbuh, gejala infeksi saluran kemih
berulang, dan gejala nonspesifik lainnya.

Penderita CKD stadium 1-3 (GFR > 30 mL/min) biasanya asimtomatik dan
gejala klinis biasanya baru muncul pada CKD stadium 4 dan 5. Kerusakan
ginjal yang progresif dapat menyebabkan:
1. Peningkatan tekanan darah akibat overload cairan dan produksi hormon
vasoaktif (hipertensi, edem paru dan gagal jantung kongestif)
2. Gejala uremia (letargis, perikarditis hingga ensefalopati)

2
3. Akumulasi kalium dengan gejala malaise hingga keadaan fatal yaitu
aritmia
4. Gejala anemia akibat sintesis eritropoietin yang menurun
5. Hiperfosfatemia dan hipokalsemia (akibat defisiensi vitamin D3)
6. Asidosis metabolik akibat penumpuan sulfat, fosfat, dan asam urat

1.4 Patofisologi
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari
penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya
diekresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang
mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
setiap gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren
renal. Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glomerulus yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens
subtsansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.

Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan


mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya
filtrasi glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin.
Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen
urea darah (NUD) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator
paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan
oleh tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal tahap akhir,
tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti
steroid.

Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi


cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan
ginjal tidak mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara
normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap
perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Natrium

3
dan cairan sering tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya
odem, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan
kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain
mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko
hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan
penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik.

Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan


muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan
mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan
asam organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal pada CKD juga
menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai sesak
napas, angina dan keletian. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat
memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan karena setatus pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal sehingga terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri
adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-
sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.

Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare (2001)
adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki
hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain
menurun. Penurunan LFG menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan penurunan sekresi
parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak
berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan
akibatnya kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang
dan menyebabkan penyakit tulang, selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25
dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat didalam ginjal menurun,

4
seiring dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik dan
sering disebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi dari perubahan
komplek kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan
fungsi ginjal juga berkaitan dengan gangguan yang mendasari ekresi protein
dan urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara signifikan
sejumlah protein atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan
cepat memburuk dari pada mereka yang tidak mengalimi kondisi ini.

1.5 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Pemeriksaan analisis urin awal dengan menggunakan tes dipstick dapat
mendeteksi dengan cepat adanya proteinuri, hematuri, dan piuri. Pemeriksaan
mikroskopis urin dengan spesimen urin yang telah disentrufugasi untuk
mencari adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kast. Sebagian besar
anak dengan CKD memiliki banyak hyalin cast. Granular cast yang berwarna
keruh kecoklatan menunjukkan nekrosis tubular akut, sedangkan red cell cast
menunjukkn adanya suatu glomerulonefritis.4 Untuk diagnostik dan
pengamatan anak dengan CKD diperlukan pemeriksaan kimiawi serum,
seperti pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum merupakan tes yang
paling penting, sedangkan pemeriksaan kadar natrium, kalium, kalsium,
fosfat, bikarbonat, alkalin fosfatase, hormon paratiroid (PTH), kolesterol,
fraksi lipid penting untuk terapi dan pencegahan komplikasi CKD. Anemia
merupakan temuan klinis penting pada CKD dan dapat menunjukkan
perjalanan kronis gagal ginjal sehingga pemeriksaan darah lengkap atau
complete blood count harus dilakukan.4 Laju filtrasi glmerulus setara dengan
penjumlahan laju filtrasi di semua nefron yang masih berfungsi sehingga
perkiraan GFR dapat memberikan pengukuran kasar jumlah nefron yang
masih berfungsi. Pemeriksaan GFR biasanya dengan menggunakan creatinine
clearance, akan tetapi untuk pemeriksaan ini kurang praktis karena
membutuhkan pengumpulan urin 24 jam.

5
Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosis CKD dan
memberikan petujuk kearah penyebab CKD.
 Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau
nefrokalsinosis.
 Ultrasonografi: merupakan pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan
karena aman, mudah, dan cukup memberikan informasi. USG merupakan
modalitas terpilih untuk kemungkinan penyakit ginjal obstruktif. Meskipun
USG kurang sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi massa, tetapi
USG dapat digunakan untuk membedakan kista jinak dengan tumor solid,
juga sering digunakan untuk menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.
 CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi
pada pemeriksaan USG dan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk
mengidentifikasi batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari
padapasien dengan gangguan ginjal untuk menghindari terjadinya gagal
ginjalakut.
 MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT
tetapi tidak dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk
mendeteksi adanya trombosis vena renalis. Magnetic resonance
angiography juga bermanfaat untuk mendiagnosis stenosis arteri renalis,
meskipun arteriografi renal tetap merupakan diagnosis standar.
 Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan
menggunakan radioisotope scanning 99m-technetium dimercaptosuccinic
acid (DMSA). Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan intravenous
pyelography (IVP) untuk mendeteksi parut ginjal dan merupakan diagnosis
standar untuk mendeteksi nefropati refluks.
 Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.
 Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik untuk
mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan
ini diindikasikan apabila dari anamnesis didapatkan kecurigaan gagal

6
ginjal meskipun USG dan CT scan tidak menunjukkan adanya
hidronefrosis.
 Pemeriksaan tulang: Hal ini bermanfaat untuk mengevaluasi hiperpartiroid
sekunder yang merupakan bagian dari osteodistrofi, dan juga perkiraan
usia tulang untuk memberikan terapi hormon pertumbuhan.

1.6 Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare
(2001) serta Suwitra (2006) antara lain adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme,
dan masukan diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

1.7 Penatalaksanaan
Penderita CKD perlu mendapatkan penatalaksanaan secara khusus sesuai
dengan derajat penyakit CKD, bukan hanya penatalaksanaan secara umum.
Menurut Suwitra (2006), sesuai dengan derajat penyakit CKD dapat dilihat
dalam tabel berikut :

7
Tabel Derajat CKD
Sumber : Suwitra 2006

Derajat LFG Perencanaan penatalaksanaan terapi


(ml/mnt/1,873
m2)
1 >90 Dilakukan terapi pada penyakit dasarnya,
kondisi komorbid, evaluasi pemburukan
(progresion) fungsi ginjal, memperkecil
2 60-89 resiko kardiovaskuler.

3 0-59 Menghambat pemburukan (progresion)


fungsi ginjal.
4 15-29
Mengevaluasi dan melakukan terapi pada
5 <15 komplikasi.

Persiapan untuk pengganti ginjal (dialisis).

Dialysis dan mempersiapkan terapi


penggantian
ginjal (transplantasi ginjal

Menurut Suwitra (2006) penatalaksanaan untuk CKD secara umum antara lain
adalah sebagai berikut :
1. Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan penyakit dasar CKD adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga peningkatan fungsi ginjal
tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasono grafi,
biopsi serta pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi
yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya bila LFG sudah menurun

8
sampai 20–30 % dari normal terapi dari penyakit dasar sudah tidak
bermanfaat.
2. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien penyakit CKD, hal tersebut untuk mengetahui kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat
obat nefrotoksik, bahan radio kontras, atau peningkatan aktifitas penyakit
dasarnya. Pembatasan cairan dan elektrolit pada penyakit CKD sangat
diperlukan. Hal tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya edema dan
komplikasi kardiovaskuler. Asupan cairan diatur seimbang antara masukan
dan pengeluaran urin serta Insesible Water Loss (IWL). Dengan asumsi
antara 500-800 ml/hari yang sesuai dengan luas tubuh. Elektrolit yang
harus diawasi dalam asupannya adalah natrium dan kalium. Pembatasan
kalium dilakukan karena hiperkalemi dapat mengakibatkan aritmia jantung
yang fatal. Oleh karena itu pembatasan obat dan makanan yang
mengandung kalium (sayuran dan buah) harus dibatasi dalam jumlah 3,5-
5,5 mEg/lt. sedangkan pada natrium dibatasi untuk menghindari terjadinya
hipertensi dan edema. Jumlah garam disetarakan dengan tekanan darah dan
adanya edema.
3. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Penyebab turunnya fungsi ginjal
adalah hiperventilasi glomerulus yaitu :
a) Batasan asupan protein, mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt,
sedangkan diatas batasan tersebut tidak dianjurkan pembatasan protein.
Protein yang dibatasi antara 0,6-0,8/kg BB/hr, yang 0,35-0,50 gr
diantaranya protein nilai biologis tinggi. Kalori yang diberikan sebesar
30-35 kkal/ kg BB/hr dalam pemberian diit. Protein perlu dilakukan
pembatasan dengan ketat, karena protein akan dipecah dan diencerkan
melalui ginjal, tidak seperti karbohidrat. Namun saat terjadi malnutrisi
masukan protein dapat ditingkatkan sedikit, selain itu makanan tinggi
protein yang mengandung ion hydrogen, fosfor, sulfur, dan ion

9
anorganik lain yang diekresikan melalui ginjal. Selain itu pembatasan
protein bertujuan untuk membatasi asupan fosfat karena fosfat dan
protein berasal dari sumber yang sama, agar tidak terjadi
hiperfosfatemia
b) Terapi farmakologi untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.
Pemakaian obat anti hipertensi disamping bermanfaat untuk
memperkecil resiko komplikasi pada kardiovaskuler juga penting
untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan cara
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
Selain itu pemakaian obat hipertensi seperti penghambat enzim
konverting angiotensin (Angiotensin Converting Enzim / ACE
inhibitor) dapat memperlambat perburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi
akibat mekanisme kerjanya sebagai anti hipertensi dan anti proteinuri.
4. Pencegahan dan terapi penyakit kardio faskuler merupakan hal yang
penting, karena 40-45 % kematian pada penderita CKD disebabkan oleh
penyakit komplikasinya pada kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk
pencegahan dan terapi penyakit vaskuler adalah pengendalian hipertensi,
DM, dislipidemia, anemia, hiperfosvatemia, dan terapi pada kelebian cairan
dan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi CKD secara keseluruhan.
5. CKD mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan LFG. Seperti anemia dilakukan penambahan /
tranfusi eritropoitin. Pemberian kalsitrol untuk mengatasi osteodistrasi
renal. Namun dalam pemakaiannya harus dipertimbangkan karena dapat
meningkatkan absorsi fosfat.
6. Terapi dialisis dan transplantasi dapat dilakukan pada tahap CKD derajat 4-
Terapi ini biasanya disebut dengan terapi pengganti ginjal.

10
1.8 Pathway

11
II. Rencana Asuhan Keperawatan Pasien dengan CKD
2.1 Pengkajian
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada
Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
2.2.1 Riwayat Keperawatan
Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM,
glomerulo nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi
saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu
kemungkinan terjadinya CKD.
2.2.2 Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri.
Kesadaran pasien dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan
nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat
kotoran telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut
bau ureum, bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan
lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar.
Terdapat otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris,

12
terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat
pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut
buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema,
pengeroposan tulang, dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan
mengkilat / uremia, dan terjadi perikarditis.
2.2.3 Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan Laboratorium :
1. Urin
a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau
urine tidak ada (anuria).
b) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan
oleh pus / nanah, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat,
sedimen kotor, warna kecoklatan menunjukkan adanya darah,
miglobin, dan porfirin.
c) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010
menunjukkan kerusakan ginjal berat).
d) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan
kerusakan tubular, amrasio urine / ureum sering 1:1.
e) Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
f) Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak
mampu mereabsorbsi natrium.

13
g) Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus bila sel darah merah
(SDM) dan fregmen juga ada.
2. Darah
a) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar
kreatinin 10 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu
5).
b) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya
anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 g/dL.
c) SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada
defisiensi eritropoetin seperti pada azotemia.
d) GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis
metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan
kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen dan
amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat
menurun PCO2 menurun.
e) Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan
natrium atau normal (menunjukkan status dilusi
hipernatremia).
f) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai
dengan perpindahan selular (asidosis), atau pengeluaran
jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir , perubahan
EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau
lebih besar. Magnesium terjadi peningkatan fosfat, kalsium
menurun. Protein (khuusnya albumin), kadar serum menurun
dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine,
perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan
sintesis karena kurang asam amino esensial. Osmolalitas
serum lebih besar dari 285 mosm/kg, sering sama dengan
urine.

14
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran
ginjal dan adanya masa , kista, obtruksi pada saluran
perkemihan bagian atas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan
sel jaringan untuk diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan
elektrolit dan asam basa.
5. KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal /
ureter / kandung kemih dan adanya obtruksi (batu).
6. Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan
megidentifikasi ekstravaskuler, massa.
7. Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis
ginjal.
8. Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran
kandung kemih, refluk kedalam ureter, dan retensi.
9. Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat
ketat dengan diit tinggi kalori dan rendah karbohidrat. Serta
dilakukan pembatasan yang sangat ketat pula pada asupan cairan
yaitu antara 500-800 ml/hari.
10. Pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi
obat anti hipertensi, obat diuretik, dan atrapit yang berguna
sebagai pengontol pada penyakit DM, sampai selanjutnya nanti
akan dilakukan dialisis dan transplantasi.

2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan
retensi cairan dan natrium
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor biologis

15
Diagnosa 1 Kelebihan volume cairan
2.2.1 Definisi
Peningkatan retensi cairan cairan isotonik
2.2.2 Batasan Karakteristik
Subjektif
 Ansietas
 Dispnea atau pendek napas
 Gelisah
Objektif
 Suara napas tidak normal
 Perubahan elektrolit
 Anasarke
 Ansietas
 Azotemia
 Perubahan TD
 Perubahan status mental
 Perubahan pola pernapasan
 Penurunan hemoglobin dan hematokrit
 Edema
 Peningkatan tekanan vena sentral
 Asupan melebihi haluaran
 Distensi vena jugularis
 Oligouria
 Ortopnea
 Efusi pleura
 Reflex hepatojugularis positif
 Perubahan tekanan arteri pulmonal
 Ongesti paru
 Gelisah
 Bunyi jantung S3

16
 Perubahan berat jenis urin
 Kenaikan berat badan dalam periode singkat
2.2.3 Faktor yang berhubungan
Penurunan haluran urin dan retensi cairan dan natrium

Diagnosa 2 Ketidakseimbangan nutrisi


2.2.1 Definisi
Asupan nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
2.2.2 Batasan Karakteristik
Kram abdomen
Nyeri abdomen
Menghindari makan
Berat badan 20% atau lebih dibawah berat badan ideal
Kerapuhan kapiler
Diare
Kehilangan rambut berlebihan
Bising usus hiperaktif
Kurang makanan
Kurang informasi
Penurunan berat badan dengan asupan makanan adekuat
Kurang minat pada makanan
Kesalahan konsepsi
Kesalahan informasi
Membrane mukosa pucat
Ketidakmampuan memakan makanan
Tonus otot menurun
Menegluh asupan makanan kurang dari RDA (recommended daily
allowance)
Cepat kenyang setelah makan
Sariawan rongga mulut
Stetorea

17
Kelemahan otot pengunyah
Kelemahan otot untuk menelan

2.2.3 Faktor yang berhubungan


Faktor biologis

2.3 Perencanaan
TUJUAN DAN
INTERVENSI RASIONAL
KRITERIA HASIL
Setelah diberikan NIC Label : Fluid/Electrolyte NIC Label : Fluid/Electrolyte
asuhan keperawatan Management Management
selama 3×24 jam 1. Memonitor level 1. Indikasi adanya kelainan
diharapkan kelebihan abnormal elektrolit metabolisme cairan dan
volume cairan dapat serum. elektrolit.
berkurang dengan 2. Mendapatkan 2. Indikator adanya peningkatan
criteria hasil: spesiemen pemeriksaan atau penurunan kadar serum
NOC Label >> laboratorium untuk elektrolit
Cardiopulmonary memantau perubahan 3. Indikator adanya perubahan
Status elektrolit. keseimbangan cairan
1. Saturasi 3. Memonitor hasil 4. Indikator adanya perubahan
oksigen dalam pemeriksaan keseimbangan cairan
rentang yang Laboratorium yang 5. Retensi cairan berefek
diharapkan berkaitan dengan terjadinya edema
(90-100%) keseimbangan cairan. 6. Tanda vital berperan pada
2. RR dalam 4. Memonitor hasil perkembangan kondisi pasien
batas yang pemeriksaan 7. Indikator efek terapeutik dan
diharapkan laboratorium yang efek samping terkait terapi
(20-30x/mnt) berkaitan dengan
3. Tidak terjadi retensi cairan. NIC Label :Hemodialysis Therapy
dispnea saat 5. Monitor tanda dan 1. Indikator perbandingan
beristirahat gejala retensi cairan perubahan sebelum dan
4. Kelelahan dan ketidakseimbangan sesudah dialysis
berkurang. elektrolit 2. Informasi terkait terapi
NOC Label >> Kidney 6. Monitor tanda Vital, hemodialisis
Function jika diperlukan. 3. Melakukan dialisa untuk
1. Serum 7. Monitor respon pasien mengurangi kelebihan cairan
kreatinin dalam pemberian pada pasien.
kembali ke medikasi terkait 4. Identifikasi tanda gejala pasien
rentang yang elektrolit. yang perlu penanganan yang
diharapkan NIC Label :Hemodialysis cepat
(0.7 – 7.2 Therapy NIC Label : Medication Management
mg/dL) 1. Catat batas tanda vital 1. Pengobatan sesuai indikasi
2. Nilai BUN seperti: berat, akan meningkatkan kondisi
kembali ke temperature, nadi, pasien

18
rentang yang respirasi, dan tekanan 2. Standar prosedur akan
diharapkan darah. meningkatkan pasien safety
(8.00-50.00 2. Menjelaskan prosedur dan efek terapeutik terapi
mg/dl) hemodialisa dan 3. Obat memiliki kandungan
tujuannya. kimia yang beresiko terjadinya
3. Kolaborasi dengan alergi.
tenaga kesehatan lain 4. Pasien dengan tingkat
untuk pelaksanaan ketergantungan tinggi
hemodialisa. memerlukan bantuan ADL
4. Ajarkan pasien untuk 5. Diuretik berfungsi dalam
memonitor diri sendiri menurunkan penumpukan
tanda dan gejala yang cairan sehingga mengurangi
memerlukan edema
pengobatan medis. 6. Antihipertensi menurunkan
NIC Label : Medication tekanan arteri renalis dan juga
Management menurunkan beban kerja ginjal
1. Berikan medikasi dalam proses filtrasi
sesuai indikasi pasien.
2. Berikan medikasi
sesuai dengan standar
prosedur yang berlaku
(metode 6 Benar).
3. Monitor adanya
kemungkinan terjadi
alergi atau
kontraindikasi terkait
therapy.
4. Bantu pasien untuk
meminum obatnya.
5. Berikan obat diuretic
sesuai indikasi.
6. Berikan obat
antihipertensi sesuai
indikasi
TUJUAN DAN
INTERVENSI RASIONAL
KRITERIA HASIL
NIC Label >> Nutrition NIC Label >> Nutrition management
Setelah dilakukan management
asuhan keperawatan 1. Pengkajian penting dilakukan
selama 5×24 jam 1. Kaji status nutrisi untuk mengetahui status nutrisi
diharapkan pemenuhan pasien pasien sehingga dapat
kebutuhan pasien 2. Jaga kebersihan mulut, menentukan intervensi yang
tercukupi dengan anjurkan untuk selalu diberikan.
kriteria hasil : melalukan oral 2. Mulut yang bersih dapat
NOC Label >> hygiene. meningkatkan nafsu makan
Nutritionl status 3. Delegatif pemberian 3. Untuk membantu memenuhi
nutrisi yang sesuai kebutuhan nutrisi yang

19
dengan kebutuhan dibutuhkan pasien.
 Intake nutrisi pasien : diet pasien 4. Informasi yang diberikan dapat
tercukupi. diabetes mellitus. memotivasi pasien untuk
 Asupan 4. Berian informasi yang meningkatkan intake nutrisi.
makanan dan tepat terhadap pasien 5. Zat besi dapat membantu
cairan tentang kebutuhan tubuh sebagai zat penambah
tercukupi nutrisi yang tepat dan darah sehingga mencegah
sesuai. terjadinya anemia atau
NOC Label >> Nausea 5. Anjurkan pasien untuk kekurangan darah
dan vomiting severity mengkonsumsi
makanan tinggi zat besi NIC Label >> Nausea management
 Penurunan seperti sayuran hijau
intensitas 1. Penting untuk mengetahui
terjadinya NIC Label >> Nausea karakteristik mual dan faktor-
mual muntah management faktor yang menyebabkan
 Penurunan mual. Apabila karakteristik
frekuensi 1. Kaji frekuensi mual, mual dan faktor penyebab
terjadinya durasi, tingkat mual diketahui maka dapat
mual muntah. keparahan, faktor menetukan intervensi yang
frekuensi, presipitasi diberikan.
NOC Label >> yang menyebabkan 2. Makan sedikit demi sedikit
Weight : Body mass mual. dapat meningkatkn intake
2. Anjurkan pasien makan nutrisi.
sedikit demi sedikit tapi 3. Makanan dalam kondisi hangat
 Pasien
sering. dapat menurunkan rasa mual
mengalami
3. Anjurkan pasien untuk sehingga intake nutrisi dapat
peningkatan
makan selagi hangat ditingkatkan.
berat badan
4. Delegatif pemberian 4. Antiemetik dapat digunakan
terapi antiemetik : sebagai terapi farmakologis
dalam manajemen mual
 Ondansentron 2×4 dengan menghamabat sekres
(k/p) asam lambung.
 Sucralfat 3×1 CI
NIC Label >> Weight management
NIC Label >> Weight
management 1. Membantu memilih alternatif
pemenuhan nutrisi yang
1. Diskusikan dengan adekuat.
keluarga dan pasien 2. Dengan menimbang berat
pentingnya intake badan dapat memantau
nutrisi dan hal-hal yang peningkatan dan penrunan
menyebabkan status gizi.
penurunan berat badan.
2. Timbang berat badan
pasien jika
memungkinan dengan

20
teratur.

21
22
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8,
volume 2. Jakarta: EGC
Carpenit, L.J. (2006). Rencana Asuhan dan Pendokumentasian Keperawatan,
Edisi 2, Alih Bahasa Monica Ester. Jakarta: EGC
Dongoes, Marylin E. (2001). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien , Edisi 3.
Jakarta: EGC

NANDA International. (2012). Nursing Diagnosis: Definitions & Classifications


2012-2014. Jakarta: EGC

Rachmadi, Dedi. (2010). Chronic Kidney Disease. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UNPAD-RS Dr. Hasan Sadikin Bandung
Smeltzer & Bare (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Suwitra, K. (2006). Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Sudoyo A.W., dkk. Editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: FKUI
Wilkinson, Judith.M, 2011, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC

23

Anda mungkin juga menyukai