Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH STUDI KASUS

FARMASI RUMAH SAKIT DAN KLINIK

“GAGAL GINJAL KRONIK”

Dosen Pengampu :

Dr. Rina Herowati, M.Si., Apt

Kelompok A3-4

1. Elvasyana Nada Tiram 1720343749


2. Erfa Kamelial Hasanah 1720343750
3. Erni Marliana 1720343751

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
2017
BAB I

PENDAHULUAN

Ginjal adalah salah satu organ penting dalam tubuh manusia. Ginjal berfungsi mengatur
sekresi sisa metabolisme dan mempertahankan zat-zat yang berguna bagi tubuh, ginjal juga
berfungsi menngatur keseimbangan cairan tubuh, keseimbangan asam basa dan elektrolit
tubuh. Selain itu ginjal juga berperan penting mengatur tekanan darah, pembentukan sel darah
merah (eritropoiesis) dan beberapa fungsi endokrin lainnya.

Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan
prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan biaya yang
tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan
kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami
PGK pada stadium tertentu. Hasil systematic review dan meta-analysis yang dilakukan oleh
Hill et al, 2016, mendapatkan prevalensi global PGK sebesar 13,4%. Menurut hasil Global
Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia
tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Sedangkan di Indonesia,
perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan
setelah penyakit jantung.

Penyakit ginjal kronis awalnya tidak menunjukkan tanda dan gejala namun dapat
berjalan progresif menjadi gagal ginjal. Penyakit ginjal bisa dicegah dan ditanggulangi dan
kemungkinan untuk mendapatkan terapi yang efektif akan lebih besar jika diketahui lebih awal.
Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi sistem vaskuler sehingga dapat
membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini sebelum pasien mengalami komplikasi yang
lebih parah seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah
perifer.Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan terapi
pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya desertai
berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit saluran
cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia. Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik
lebih mengutamakan diagnosis dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang
merupakan penyebab penyakit ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah
terjadi gagal ginjal. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa komplikasi penyakit ginjal kronik, tidak
bergantung pada etiologi, dapat dicegah atau dihambat jika dilakukan penanganan secara dini.
BAB II

TINJAUA N PUSTAKA

A. Definisi

Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi
ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi
glomerulus (LFG) kurang dari 50 ml/ menit. Gagal ginjal kronik (GGK) juga merupakan
keadaan kerusakan ginjal yang dapat berakhir fatal pada uremia (kelebihan urea dan sampah
nitrogen lain di dalam darah) dan komplikasinya jika dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal.
Biasanya penyakit ini menghasilkan sedikit tanda dan gejala sampai kira-kira 75% fungsi ginjal
sudah hilang. Gagal ginjal kronik ditandai dengan penurunan penyaringan glomerulus. Dengan
menurunnya kecepatan penyaringan ini, kadar urea darah meningkat dan nefron yang masih
berfungsi yang tersisa akan mengalami hipertrofi. Dengan naiknya kadar urea darah dan
meningkatnya proses penyaringan oleh nefron yang mengalami hipertrofi tersebut, muatan
yang sampai ke dalam masing-masing tubulus yang masih berfungsi akan menjadi lebih besar
daripada keadaan normalnya. Salah satu konsekuensi dari keadaan ini adalah poliuria akibat
ketidakmampuan sel-sel tubulus untuk memekatkan filtrat dengan sempurna. Penurunan
kemampuan pemekatan pada ginjal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah urea dalam
filtrat.

Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan berakhir pada gagal
ginjal atau End Stage Renal Disease (ESRD). Insiden PGK meningkat di seluruh dunia, baik
di negara berkembang maupun di negara maju. Jumlah pasien yang memerlukan terapi
pengganti ginjal meningkat dua kali lipat selama dekade terakhir. Telah diketahui bahwa PGK
tahap akhir meningkatkan risiko kematian dan penyakit kardiovaskuler. Faktor-faktor yang
dapat mempercepat progresivitas PGK seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperurisemia,
dislipidemi, asidosis metabolik, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan cairan dan asam
basa, infeksi, dan faktor pemberat lainnya perlu dikontrol dan diatasi sehingga dapat
memperlambat progresi PGK dan menunda dimulainya terapi pengganti ginjal sepeti
hemodialisis atau CAPD.
B. Patofisiologi

Kerusakan ginjal dapat diakibatkan dari sebab yang beraneka ragam. Misalnya,
diabetes nefropati yang ditandai dengan perkembangan mesangial glomerulus pada
nefrosklerosis hipertensi, ginjal arteriol memiliki arteriol hyalinosis dan kista ginjal yang ada
pada penyakit ginjal polikistik. Oleh karena itu, kerusakan struktural awal mungkin tergantung
pada penyakit utama yang mempengaruhi ginjal.

 Faktor kerentanan (Susceptibility factors) meningkatkan risiko penyakit ginjal tapi


tidak secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Mereka termasuk usia lanjut,
berkurangnya massa ginjal dan berat badan lahir rendah, minoritas ras atau etnis,
riwayat keluarga, pendapatan rendah atau pendidikan, peradangan sistemik, dan
dislipidemia.
 Faktor inisiasi (Initiation factors) secara langsung yang mengawali kerusakan ginjal
dan dapat dimodifikasi dengan obat. Faktor inisiasi diantaranya DM, hipertensi,
penyakit autoimun, penyakit ginjal pycystic dan toksisitas obat
 Faktor perkembangan (Progression factors) dapat mempercepat penurunan fungsi
ginjal setelah inisiasi kerusakan ginjal. Faktor-faktor tersebut diantaranya glikemia,
pada diabetes, hipertensi, proteinuria dan merokok.

Namun, mayoritas nefropatis progresif berbagi jalur akhir yang umum yaitu ireversibel
kerusakan parenkim ginjal dan ESRD. Elemen penting dari jalur ini adalah: (a) hilangnya
massa nefron; (b) hipertensi kapiler glomerulus; dan (c) proteinuria.

Paparan salah satu faktor risiko inisiasi dapat mengakibatkan hilangnya massa nefron.
Sisa nefron mengalami hipertrofi untuk mengimbangi kerja ginjal karena kehilangan fungsi
ginjal dan massa nefron. Pada awalnya, hipertrofi ini dapat beradaptasi. Seiring waktu,
hipertrofi dapat mengarah pada perkembangan hipertensi intraglomerular, mungkin
diperantarai oleh angiotensin II. Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang kuat baik dari
arteriol aferen dan eferen, tapi lebih cenderung mempengaruhi arteriol eferen, yang
menyebabkan peningkatan tekanan dalam kapiler glomerulus dan akibatnya fraksi filtrasi
meningkat. Proteinuria dapat membantu penurunan progresifitas nefron sebagai akibat dari
kerusakan sel. Protein tersaring seperti albumin, transferin, faktor komplemen, imunoglobulin,
sitokin, dan angiotensin II beracun bagi sel tubular ginjal. Adanya protein ini dalam tubulus
ginjal akan mengaktifkan sel tubulus yang mengarah pada peningkatan ekspresi produksi
sitokin inflamasi dan vasoaktif, seperti endotelin, monosit protein kemoatraktan (MCP-1), dan
RANTES (diatur saat aktivasi, sel T normal diekspresikan dan disekresikan).

Tidak ada satupun toksin yang bertanggung jawab untuk gejala uremia pada pasien
CKD stadium 4 atau 5. Akumulasi satu atau beberapa racun yang potensial mungkin adalah
hasil dari peningkatan sekresi, misalnya zat aktif biologis seperti hormon paratiroid (PTH) dan
atrial natriuretik peptida; penurunan klirens karena menurunnya metabolisme dalam ginjal
untuk senyawa seperti PTH, gastrin, hormon pertumbuhan, glukagon, somatostatin, prolaktin,
kalsitonin, dan insulin; dan atau penurunan klirens ginjal dari metabolik oleh produk dari
metabolisme protein. Penumpukan racun-racun uremik pada akhirnya menghasilkan
perubahan organ dan fungsi kekebalan tubuh, dan menyebabkan berbagai komplikasi sekunder.

C. Klasifikasi

Klasifikasi diagnosis penyakit gagal ginjal kronik berdasarkan persentase LFG yang
tersisa diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan yaitu :

1. Gagal ginjal dini

Ditandai dengan berkurangnya sejumlah nefron sehingga fungsi ginjal yang ada sekitar
50-80% dari normal (100 ml/menit/1,73 m2). Dengan adanya adaptasi ginjal dan respon
metabolik untuk mengkompensasi penurunan faal ginjal maka tidak tampak gangguan
klinis.

2. Insufisiensi ginjal kronik

Pada tingkat ini fungsi ginjal berkisar antara 25-50% dari normal. Gejala mulai dengan
adanya gangguan elektrolit, gangguan pertumbuhan dan keseimbangan kalsium dan
fosfor. Pada tingkat ini LFG berada di bawah 89 ml/menit/1,73 m2.

3. Gagal ginjal kronik

Pada tingkat ini fungsi ginjal berkurang hingga 25% dari normal dan telah
menimbulkan berbagai gangguan seperti asidosis metabolik, osteodistrofi ginjal,
anemia, hipertensi dan sebagainya. LFG pada tingkat ini telah berkurang menjadi di
bawah 30ml/menit/1,73 m2.
4. Gagal ginjal terminal

Pada tingkat ini fungsi ginjal tinggal 12% dari normal. LFG menurun sampai < 10
ml/menit/1,73 m2 dan pasien telah memerlukan terapi dialisis atau transplantasi ginjal.

D. Gejala Klinik

Umunya tidak ada nafsu makan, mual, muntah, pusing, sesak nafas, rasa lelah, edema
pada kaki dan tangan, serta uremia.

Apabila nilai Glomerular Filtration Rate (GFR) atau Tes Kliren Kreatinin (TKK) < 25
mL/menit, diberikan Diet Protein Rendah. Diet protein rendah akan memperlambat
progresivitas GGK. Protein yang tinggi akan membahayakan karena meningkatkan tekanan
glomerulus sehingga nefron akan rusak.

CKD dikategorikan menurut tingkat fungsi ginjal, berdasarkan laju filtrasi glomerulus
(Glomerular Filtration Rate/GFR), menjadi tahap 1 sampai tahap 5, dengan peningkatan
nomor menunjukkan peningkatan derajat keparahan penyakit, yang didefinisikan sebagai
penuruan GFR. Sistem klasifikasi ini diperoleh dari National Kidney Foundation’s Kidney
Dialysis Outcomes and Quality Invitative (K/DOQI), dan memperhitungkan kerusakan
struktural dari kerusakan ginjal.

Gambar1. Penggolongan Gagal Ginjal Kronik


CKD tahap 5, juga dikenal sebagai penyakit ginjal tahap akhir (End Stage Renal
Disease/ESRD), terjadi ketika GFR turun sampai kurang dari 15 mL/menit per 1,73 m2 luas
permukaan tubuh. Pasien yang mengalami CKD tahap 5 memerlukan dialisis berkepanjangan
atau transplantasi ginjal untuk mengurangi gejala uremik.

E. Manifestasi Klinis

Pada umumnya penderita gagal ginjal kronik stadium 1-3 tidak mengalami gejala apa-
apa atau tidak mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, endokrin dan metabolik
yang tampak secara klinis (asimtomatik). Gangguan yang tampak secara klinis biasanya baru
terlihat pada gagal ginjal kronik stadium 4 dan 5. Beberapa gangguan yang sering muncul pada
pasien gagal ginjal kronik anak adalah gangguan pertumbuhan, kekurangan gizi dan protein,
gangguan elektrolit, asidosis, osteodistrofi ginjal, anemia dan hipertensi.

F. Penatalaksanaan Terapi

Tujuan yang diharapkan dari terapi CKD adalah memperlambat perkembangan CKD,
minimalisasi perkembangan atau keparahan komplikasi. Penanganan CKD dapat dilakukan
melalui terapi farmakologi dan non-farmakologi. Strategi terapi yang digunakan dipilih
berdasarkan ada atau tidak adanya diabetes pada pasien.

1. Terapi Nonfarmakologi

Diet rendah protein (0,6 sampai 0,75 g/kg/hari) dapat membantu memperlambat
perkembangan CKD pada pasien dengan atau tanpa diabetes, meskipun efeknya
cenderung kecil.

2. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi untuk CKD bergantung pada penyakit penyertanya, diantaranya:

Pada Hiperglikemia

 Terapi intensi pada pasien dengan DM tipe 1 dan 2 dapat mengurangi komplikasi
mikrovaskular, termasuk nefropati. Terapi intensif dapat termasuk insuluin atau obat
oral dan melibatkan pengukuran kadar gula darah setidaknya tiga kali sehari.
 Perkembangan CKD dapat dibatasi melalui kontrol optimal terhadap hiperglikemia dan
hipertensi.
Pada Penderita Hipertensi

 Kontrol tekanan darah yang memadai dan dapat mengurangi laju penurunan GFR dan
albuminuria pada pasien dengan atau tanpa diabetes.
 Terapi antihipertensi untuk pasien CKD dengan diabetes atau tanpa diabetes sebaiknya
diawali dengan pemberian inhibitar ACE (angiotensin-converting enzyme) atau bloker
reseptor angiotensin II. Bloker kanal kalsium nondihidropiridin biasanya digunakan
sebagai obat antiproteinuria lini kedua apabila penggunaan inhibitor ACE atau ARB
tidak dapat ditoleransi.
 Klirens inhibitor ACE menurun pada kondisi CKD, sehingga sebaiknya terapi dimulai
dengan pemberian dosis terendah yang memungkinkan diikuti dengan titrasi meningkat
untuk mencapai target tekanan darah dan sebagai tambahan, mengurangi proteinuria.
 GFR umumnya menurun 25% sampai 30% dalam 3 sampai 7 hari setelah memulai
terapi dengan ACEI karena obat golongan tersebut mengurangi tekanan
intraglomerular. Peningkatan perlahan kreatinin serum lebih dari 30% setelah inisiasi
terapi dapat dapat terjadi akibat inhibitor ACE dan penghentian penggunaan sangat
disarankan. Kadar serum potassium sebaiknya dimonitor untuk mendeteksi
perkembangan hiperkalemia setelah insiasi atau peningkatan dosis ACEI.

Hiperlipidemia

 Pembatasan asupan protein, penggunaan obat-obatan penurun kolesterol, penghentian


kebiasaan merokok, dan manajement anemia dapat membantu memperlanbat laju
perkembangan penyakit CKD.
 Tujuan utama penggunaan obat-obatan penurun kolesterol pada kondisi CKD adalah
untuk menurunkan risiko perkembangan penyakit kardiovaskular aterosklerosis.
 Tujuan kedua adalah mengurangi terjadinya proteinuria dan penurunan fungsi ginjal,
yang terlihat pada penggunaan statin (inhibitor 3-hidroksi-3-metilglutaril koenzim A
reduktase/Inhibitor HMG A reduktase).
Gambar 2. Algoritma Diabetes dengan Gagal Ginjal Kronik
Gambar 3. Treatment Hipertensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik, Nondialysis CKD dengan
DM.

Pyelonefritis akut

Pyelonefritis merupakan infeksi bakteri yang menyerang ginjal, yang sifatnya akut maupun
kronis. Pielonefritis akut biasanya akan berlangsung selama 1 sampai 2 minggu. Bila
pengobatan pada pielonefritis akut tidak sukses maka dapat menimbulkan gejala lanjut yang
disebut dengan pielonefritis kronis. Pyelonefritis dapat terjadi karena infeksi bakteri gram
positif maupun gram negatif. Bakteri yang paling banyak menyebabkan pyenofritis adalah E.
Coli sekitar 70-95%.

Terapi farmakologi :
Gambar 4. Pengobatan pielonefritis pada pasien CKD

Hiperfosfatemia

Hiperfosfatemia (kadar fosfat yang tinggi dalam darah) adalah suatu keadaan dimana
konsentrasi fosfat dalam darah lebih dari 4,5 mgr/dL darah.

Terapi farmakologi :
Gambar 5. Pengobatan hiperpospatemia pada pasien CKD
Penanganan anemia

 Anemia yang berkaitan dengan gagal ginjal kronik ditangani dengan pemberian
eritropoietin manusia rekombinan (Epogen). Pasien dengan anemia biasanya datang
dengan keluhan yang tidak spesifik seperti malaise, kelelahan dan penurunan toleransi
terhadap aktivitas. Terapi eritropoietin diberikan agar pasien dapat mencapai nilai
hematokrit antara 33%-38% dan hemoglobin sekitar 12 mg/dL.
 Eritropoietin diberikan secara IV atau subkutan 3 kali seminggu pada pasien gagal
ginjal kronik. Perlu waktu 2-6 minggu sampai nilai hematokrit naik. Oleh karena itu,
terapi ini tidak diindikasikan pada pasien yang perlu penanganan segera untuk anemia
berat.
 Suplemen besi dapat diberikan berguna untuk memenehi persediaan besi. Terapi
parenteral besi dapat meningkatkan respon terhadap terapi eritropoetin dan
menurunkan dosis yang diperlukan untuk memperoleh dan menjaga indeks target.
Sebaliknya terapi oral kadang tidak mencukupi. Efek samping besi IV diantaranya
reaksi alergi hipotensi, pusing, gangguan pernapasan, sakit kepala nyeri punggung,
artralgia. Beberapa efek samping tersebut dapat dikurangi dengan menurunkan dosis
atau laju ifus. Natrium ferri glukonat dan besi sukrosa memiliki catatan penggunaan
yang lebih baik dibandingkan besi dekstran.
Penanganan Hiperkalemia dan Asidosis Metabolik

Untuk mengatasi kegawatan akibat hiperkalemia dan asidosis metabolik dapat diberikan obat-
obatan di bawah ini :

 Kalsium glukonas 10%, 10 mL dalam waktu 10 menit intravena.


 Bikarbonas natrikus 50-150 mEq intravena dalam waktu 15-30 menit.
 Insulin dan glukosa : 6 unit insulin dan glukosa 50 g dalam waktu 1 jam.
 Kayexalate (resin pengikat kalium) 25-50 gr oral atau rektal.
 Jika terapi farmakologi di atas tidak menunjukkan hasil yang signifikan, maka jalan
terakhir adalah dengan melakukan dialisis.
BAB III

STUDI KASUS

KASUS 4. Gagal Ginjal Kronis


Ny. RM, 37 tahun, menderita DM datang ke klinik untuk kontrol rutin. Hasil lab-nya
menunjukkan serum creatinin 1,4 mg/dL (biasanya 1,1 mg/dL). Ia menyatakan selalu berusaha
patuh pada jadwal minum obat dan sudah berhenti merokok. Beberapa minggu terakhir ia
berusaha menurunkan berat badannya. Ia kadang merasa pusing dan kelelahan, yang biasanya
mereda setelah ia berhenti minum obat penurun tekanan darahnya selama beberapa hari.

Riwayat penyakit :

DM tipe 2 (10 tahun). Hipertensi (4 tahun). Hiperkolesterol (5 tahun, sebelumnya tidak patuh
dalam menjaga diet).

Riwayat keluarga :

Ayah menderita DM, meninggal karena kecelakaan pada usia 64 tahun. Ibu menderita
hipertensi, meninggal pada usia 50 tahun karena infark miokardinal.

Riwayat sosial:

Seorang guru, menikah, 1 anak, tidak merokok. Ia baru saja menjalani diet rendah karbohidrat,
namun menyebabkan ia mengkonsumsi diet kaya protein. Ia menyatakan ingin hamil lagi dan
berencana menghentikan kontrasepsi oralnya.

Review of system :

Kadang sakit kepala, terutama saat menstruasi. Kadang pusing dan lemah di sore hari.

Riwayat pengobatan :

Metformin 1000 mg po 3.d.d. (8 tahun)


Gliburide 10 mg po 2.d.d. (6 tahun)
Hydrochlorothiazide 25 mg po 1.d.d (2 tahun)
Pravastatin 40 mg 1.d.d. (1,5 tahun, dosis dinaikkan 1 tahun yll)
Acetaminophen 650 mg po tiap 6 jam prn sakit kepala
Kontrasepsi oral (10tahun)
Ferrous sulfate 300 mg po 2.d.d (1 tahun, berhenti karena konstipasi)
Multivitamin po 1.d.d.

Alergi terhadap golongan sulfa dan maklolida.

Pengujian fisik :

Tanda vital : TD 156/94, HR 76, RR 18, T 37,9oC, BB 82,5 kg, TB 155 cm.
Pada mata ditemukan microaneurism.

Laboratorium :

Na 145 mEq/L K 4,9 mEq/L Cl 106 mEq/L


CO 27 mEq/L BUN 28 mg/Dl SCr 1,4 mg/dL
Glu 192 mg/dL A1C 9,6% Hgb10,6 g/dL
Hct 36,5% WBC 10,8 x 10 3/mm3 Plt 148 x 103/mm3
Ca 9,4 mg/dL Phos 2,6 mg/dL Uricacid 6,9 mg/dL
Alb 3,4 g/dL Fasting lipid profile :
T, chol 226 mg/dL
Trig 134 mg/dL
LDL 150 mg/dL
HDL 47 mg/dL

Hasil urinalis (1 minggu yll):


(1+) glukosa, (+) keton, (3+) protein, (-) leukosit esterase dan nitrit; (-) RBC; (2-5) WBC.
Volume urine total 2,1 L, urine creatinin 62 mg/dL, urine albumin 687 mg/24 jam.
FORM DATA BASE PASIEN
UNTUK ANALISIS PENGGUNAAN OBAT

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. RM No Rek Medik :-
Umur : 37 tahun Dokter yg merawat :-
Alamat :-
BB/TB : 82,5 kg/155cm
Pekerjaan : Guru
Sosial : Menikah, memiliki 1 anak

Riwayat masuk RS :-
Riwayat penyakit terdahulu
1. DM tipe 2 (10th)
2. Hipertensi (4th)
3. Hiperkolesterol (5th, sebelumnya tidak patuh dalam menjaga diet)

Riwayat Sosial
Kegiatan
Pola makan/diet Ya
Merokok tidak
Meminum Alkohol tidak
Meminum Obat herbal tidak

Riwayat Alergi : Alergi terhadap golongan sulfa dan makrolida


Keluhan :
Tanggal Subyektif Obyektif
Sakit kepala BB 82,5 Kg
Lemah TB 155 cm
BMI 34,34 kg/m2
TD 156/94 mmHg,
T 37,9oC
Na 145 mEq/L
BUN 28 mg/Dl
SCr 1,4 mg/dL
Glu 192 mg/dL
A1C 9,6%
Hgb10,6 g/dL
WBC 10,8 x 10 3/mm3
Plt 148 x 103/mm3
Uricacid 6,9 mg/dL
Alb 3,4 g/dL
T, chol 226 mg/dL
LDL 150 mg/Dl
Keton (+)
Glukosa (+)
Protein (+++)
Leukosit esterase dan nitrit (-)
RBC (-)

Tanda vital :
No Nilai Normal
1 TD 156/94 mmHg <120/<80
2 HR 76x/menit 62 – 65
3 RR 18x/menit 12 – 18
4 T 37,9 ºC 35,3-36,8
5 BB 82,5 kg
6 TB 155 cm

Hasil Urinalis
No Parameter Nilai
1 Glukosa 1+
2 Keton +
3 Protein 3+
4 Leukosit Esterase dan Nitrit -
5 RBC -
6 WBC 2-5
7 Volume urin total 2,1 L
8 Urine creatinin 62 mg/dL
9 Urine albumin 687 mg/24 jam
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
No Lab Normal Hasil No Lab Normal Hasil
1 Na 120-150 mEq/ L 145 mEq/L 11 WBC 4,0-10,0 10,8x103/mm3
(N)
2 K 3,5-5,0 4,9 mEq/L 12 Plt 100-300 148x103/mm3
(N)
3 Cl 94-111 106 mEq/L 13 Ca 2,15-2,65 9,4 mg/dL (T)
(N)
4 CO 27 mEq/L 14 Phos 2,6 mg/dL
5 BUN 8-20 mg/ dL 28 mEq/L 15 Uric acid 6,9 mg/dL
(T)
6 SCr 0,5-1,1 mg/ dL 1,4 mg/dL 16 Alb 3,8-4,4 3,4 g/dL (N)
(T)
7 Glu <100 mg/ dL 192 mg/dL 17 fasting
(T) Lipid
Protein:
8 A1C <5,7 % 9,6% (T) T,chol <200 mg/dL 226mg/dL (T)
9 Hgb 11-16 g/dL 10,6 g/dL Trig <150 mg/dL 134mg/dL(N)
(N)
LDL <100 mg/dL 150mg/dL(N)
10 Hct 37-50 % 36,5 % (N)
HDL P:>65 mg/dL 47 mg/dL (N)
L:>55 mg/dL

RIWAYAT PENYAKIT DAN PENGOBATAN


NAMA PENYAKIT TANGGAL/ NAMA OBAT
TAHUN
1. DM tipe 2 -
1. Metformin 1,000 mg po 3.d.d.
Gliburide 10 mg po 2.d.d.

2. Hipertensi 2. Hydrochlorothiazide 25 mg po 1.d.d.

3. Hiperkolesterol 3. Pravastatin 40 mg po 1.d.d

4. Pusing dan sakit kepal 4. Acetaminophen 650 mg/ 6 jam prn

5. - 5. Kontrasepsi (10th)
6. Anemia 6. Ferrous sulfate 300 mg po 2.d.d
Perhitungan GFR persamaan Cockroft-Gault
Dikarenakan Ny. RM obesitas jadi digunakan IBW :
IBW = 45,5 + (0,9 × [TB – 150])
= 45,5 + (0,9 × 5)
= 50
[(140 − 𝑢𝑠𝑖𝑎 (𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛)) × 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔) × (0,85)]
𝑒𝐶𝐶𝑟 =
(72 × 𝑠𝑒𝑟𝑢𝑚 𝑐𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 (𝑚𝑔/𝑑𝐿))
[(140 − 37 (𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛)) × 50(𝑘𝑔) × (0,85)]
=
(72 × 1,4)
= 43,42 ml/mnt/1,73 m²
Termasuk dalam Gagal Ginjal Stage 3 (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR yang sedang)
Rute OUTCOME
No. Nama obat Indikasi Dosis Interaksi ESO
pemberian
Acarbose, Simetidin, Mual Menurunkankan kadar
1000 mg gula darah
Metformin Diabetes Melitus Oral antikoagulan oral Muntah
1. 3.d.d
phenprocoumon Anoreksia
Mual Menurunkankan kadar
Aspirin, bactrim, benemid,
2. Gliburide Diare gula darah
Diabetes Melitus 10 mg 2.d.d Oral byetta, monoamine
tablet Sembelit
oxidase inhibitor, warfarin
Gangguan pencernaan
Alcohol, aspirin, Menurunkan tekanan
Hydrochloro Pusing
3. cholestyramine, colestipol, darah
thiazide Hipertensi 25 mg 1.d.d Oral Anoreksia
kortikosteroid, digitalis
tablet Anafilaksis
glycosides
Mual Menurunkan kadar
Muntah kolesterol
4. Clofibrat, fenofibrat,
Pravastatin . hiperkolestreol 40 mg 1.d.d Oral Diare
gemfibrozil, asam nikotin
Sakit kepala
Nyeri dada
Metoklopramid, Mengurangi rasa nyeri
Acetaminop Analgetik 650mg/6jam karbamazepin, Hipotensi
5 Oral
hen antipiretik prn kolestiramin dan Kerusakan hati
lixisenatide,
Mencegah kehamilan
Kontrasepsi
6 Mencegah kehamilan Oral
oral

Nyeri abdominal, Mencegah kekurangan


Untuk pencegahan dan
Ferrous 300 mg konstipasi, diare, iritasi besi
7 pengobatan defisiensi PO Antasida, metildopa
sulfate 2.d.d saluranpencernaan, mual
besi
muntah
8 Multivitamin 1.d.d PO
ASSESMENT

Problem Medik Subyektif Obyektif Terapi Analisis DRP


Diabetes Melitus Glukosa 192 mg/dL - Metformin 1000 mg Pasien di diagnosis DM Terapi belum tepat
(3.d.d PO) dengan nilai kadar gula
- Gliburide 10 mg (2.d.d darah sebesar 192 mg/dL
PO)
Hipertensi TD 156/94 mmHg Hidroklortiazid 25 mg Pasien mengalami Terapi belum tepat
1.d.d PO hipertensi stage 1
Hiperkolesterol T, chol 226 mg/dL Pravastatin 40 mg 1.d.d Pasien mengalami Terapi sudah tepat
Trig 134 mg/dL PO hiperkolesterol dilihat dari
LDL 150 mg/dL hasil lab
HDL 47 mg/dL
Anemia Hgb 10,6 g/dL Ferrous sulfate 300 mg Pasien mengalami anemia Terapi belum tepat
2.d.d PO
CKD SCr 1,4 mg/dL CKD dapat diterapi Belum diterapi
BUN 28 mg/dL
dengan mengobati gejala
GFR 43,42 ml/menit
yang ada.

Sakit kepala Paracetamol (prn) Untuk mengatasi gejala Terapi dilanjutkan


pusing saat menstruasi
CARE PLAN

1. Untuk terapi DM tipe 2 penggunaan obat metformin dan gliburide dihentikan karena
obat gliburide tidak direkomendasikan untuk pasien GGK state 3-5 dan metformin
kontraindikasi terhadap pasien wanita dengan Scr >1,4 mg/dL. Maka
direkomendasikan menggunakan golongan sulfonylurea generasi kedua (glipizide 5
mg/hari PO diminum 30 menit sebelum sarapan)
2. Untuk mengatasi hipertensi disertai CKD berdasarkan guideline diterapi menggunakan
ACEI/ARB. Sehingga penggunaan HCT belum tepat dan diganti dengan gol. ACEI
(captopril dosis awal 2,5mg 1x sehari. Dosis penunjang lazim 10-20 mg )
3. Penggunaan pravastatin dilanjutkan untuk terapi hiperkolesrol, lakukan monitoring
kadar kolesterol pasien.
4. Pasien mengalami anemia dan sempat menggunakan terapi Ferrous sulfat tetapi
mengalami konstipasi. Sehingga disarankan pasien untuk makan makanan yang bergizi
dan tinggi zat besi.
5. Kontrasepsi oral di hentikan
6. Multivitamin dilanjutkan.
7. Parasetamol dilanjutkan (prn)

MONITORING DAN EVALUASI


 Monitoring tekanan darah pasien, target tekanan darah pasien CKD dengan komplikasi
HT dan DM
 Monitoring kadar GFR dan serum kreatinin
 Monitoring klirens kreatin pasien
 Monitoring kadar kolesterol
 Monitoring kepatuhan pasien mengkonsumsi obat
 Monitoring keberhasilan terapi

TERAPI NON FARMAKOLOGI


 Diet rendah protein dapat membantu memperlambat perkembangan CKD
 Menghindari stress fisik dan mental karena dapat meningkatkan tekanan darah dan gula
darah.
 Melakukan olahraga rutin yang ringan seperti jalan di pagi hari
 Mengkonsumsi makanan sehat, buah dan sayur-sayuran
 Minum air putih yang cukup

Anda mungkin juga menyukai