Anda di halaman 1dari 75

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit ginjal kronis-atau gagal ginjal kronis, adalah istilah yang mencakup
semua derajat penurunan fungsi ginjal. Penyakit ginjal kronis merupakan masalah
kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, ada meningkatnya insiden
dan prevalensi gagal ginjal, dengan hasil yang buruk dan biaya tinggi. 1
Deteksi dini dapat membantu mencegah perkembangan penyakit ginjal. Laju
filtrasi glomerulus (LFG) adalah estimasi terbaik dari fungsi ginjal. Penyakit ginjal
meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Penyakit jantung adalah
penyebab utama kematian bagi semua orang dengan PGK.1
Di masa depan penderita Penyakit Ginjal Kronik digambarkan akan meningkat
jumlah penderitanya. Hal ini disebabkan prediksi akan terjadi suatu peningkatan luar
biasa dari diabetes mellitus dan hipertensi yang menyebabkan komplikasi seperti
penyakit jantung hipertensi, edema paru dan komplikasi dari PGK asidosis metabolik,
yang terjadi di dunia ini karena meningkatnya kemakmuran akan disertai dengan
bertambahnya umur manusia, obesitas dan penyakit degeneratif. 1
1.2 Tujuan
Penulisan Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perjalanan
penyakit,

penyakit

ginjal

kronis

karena

hipertensi,

komplikasi

terkait

dan

penatalaksanaan yang tepat pada Penyakit Ginjal Kronis berdasarkan KDIGO Guideline
of CKD 2012, penyakit jantung hipertensi serta komplikasinya. Semoga dapat
memberikan wawasan dan pemahaman yang lebih baik bagi yang membacanya.

BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Penyakit Ginjal Kronik
1

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik
dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit
ginjal kronik.1
Kriteria penyakit ginjal kronik, seperti yang tertulis pada tabel 1.1
Tabel 1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural
atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:
-

Kelainan patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau

kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)


2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2 selama 3 bulan, dengan atau
tanpa kerusakan ginjal
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60
ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
2.1.1

Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat
penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault sebagai berikut:

LFG (ml/mnt/1,73 m2)

( 140umur ) X berat badan


72 X kreatinin plasma(mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85.

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit1


Derajat
Penjelasan
LFG (ml/menit/1,73m)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90
2
Kerusakan ginjal dengan LFG ringan
60-89
2

3
4
5

Kerusakan ginjal dengan LFG sedang


Kerusakan ginjal dengan LFG berat
Gagal ginjal terminal

30-59
15-29
< 15 atau dialisis

Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi1


Penyakit
Tipe Mayor (contoh)
Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit ginjal

non diabetes

Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi sistemik, obat,


neoplasia)

Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,


mikroangiopati)

Penyakit tubulointestinal (pielonefritis kronik, batu, obstruksi,


keracunan obat)

Penyakit
trasplantasi

Penyakit kistik (ginjal polikistik)

pada Rejeksi kronik


Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit rekuren (glomerular)
Transplant glomerrulopathy

2.1.1

Epidemiologi
Angka prevalensi dari CKD -secara umum didefinisi sebagai kerusakan dari fungsi ginjal

yang ireversibel- pada pokoknya lebih besar dari jumlah pasien dengan pasien gagal ginjal
terminal, saat ini lebih dari 300.000 di amerika. Terdapat spektrum penyakit berkaitan dengan
penurunan fungsi ginjal: gambaran klinik dan pilihan terapi sangat berbeda tergantung apakah
penurunan LFG berderajat sedang(30-59 mL/min/1,73 m 2), berat (15-29 mL/min/1,73 m2) atau

mendekati ginjal terminal (<15 mL/min/1,73 m2). Dialisis biasanya dibutuhkan untuk
mengendalikan gejala uremia dengan LFG <10 mL/min/1,73 m2. 1
2.1.2

Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai

oleh molekul

vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang
diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron ,
sebagian diperantarai oleh

growth factor seperti transforming growth factor (TGF-).

Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal
kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.1
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal
(renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tetapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. sampai pada LFG sebesar 60%, pasien
masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG
dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah
dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran napas maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipovolemia atau hipervolemia. Gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium
dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan
4

pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.1
2.1.4

Etiologi

Table 4. Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara.2

2.1.5

Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien penyakit gagal ginjal kronik meliputi : a). Sesuai penyakit yang

mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, lupus
eritematous sistemik (LES) dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah,
letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara
lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).1
Table 5. Symptoms and signs of uremia.2
Organ System Symptoms

Signs

General

Fatigue, weakness

Sallow-appearing, chronically ill

Skin

Pruritus, easy bruisability

Pallor, ecchymoses, excoriations,


edema, xerosis

ENT
Eye

Metallic taste in mouth, epistaxis

Urinous breath
Pale conjunctiva
5

Organ System Symptoms

Signs

Pulmonary

Rales, pleural effusion

Shortness of breath

Cardiovascular Dyspnea on exertion, retrosternal pain on Hypertension,


inspiration (pericarditis)

cardiomegaly,

friction rub

Gastrointestinal Anorexia, nausea, vomiting, hiccups


Genitourinary

Nocturia, impotence

Isosthenuria

Neuromuscular Restless legs, numbness and cramps in legs


Neurologic

Generalized irritability and inability to Stupor,


concentrate, decreased libido

2.1.6

asterixis,

myoclonus,

peripheral neuropathy

Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratoris penyakit ginjal kronik meliputi : a). Sesuai penyakit yang

mendasarinya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan berupa kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcrouft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c). Kelainan
biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper
atau hipokalemia, hiponatremia, hipo atau hiperkloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast isostenuria.1
2.1.7

Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi : a). Foto polos abdomen, dapat

tampak batu radio-opak. b). Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping ke khawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau retrograd
dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal
yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindahan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.1
2.1.8

Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Biopsi dan pemeriksaan biopsi dan patologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran

ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi,
prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal dikontraindikasikan
6

pada keadan dimana ukuran ginjal sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefritik, gangguan pembekuan darah, gagal napas
dan obesitas.1
2.1.9

Diagnosa Banding
Langkah pertama dalam mendiagnosis banding CKD adalah menetapkan kekronikan

penyakit, dilakukan dengan menyingkirkan adanya komponen akut mayor. Dua cara yang paling
sering digunakan dalam menentukan kekronisan penyakit adalah riwayat penyakit dan USG
renal, yang digunakan untuk mengukur ukuran ginjal. Secara umum ginjal yang telah mengecil
(<10-11,5cm, tergantung pada ukuran tubuh) kemungkinan dipengaruhi oleh penyakit kronik.
Walaupun kespesifikannya sangat beralasan, pengurangan massa/ukuran ginjal hanya dianggap
sebagai marker yang sensitif untuk CKD. Terdapat beberapa kondisi umum yang relatif dimana
penyakit ginjal mungkin menjadi kronik, tanpa pengurangan ukuran ginjal. Nefropati diabetik,
nefropati terkait HIV, dan penyakit infiltratif seperti multipel mieloma dapat diasosiasikan
dengan ginjal yang berukuran besar meskipun merupakan penyakit kronis. Biopsi renal
merupakan pemeriksaan yang lebih diandalkan dalam membuktikan kekronisan penyakit.;
predominan dari glomerulosclerosis atau fibrosis interstitial adalah bukti yang kuat dari penyakit
kronik. Hiperfosfatemia dan kelainan elektrolit lainnya bukan merupakan indikator yang dapat
diandalkan dalam membedakan penyakit akut dari penyakit kronik.1
Ketika kekronisan penyakit telah ditetapkan, hasil dari pemeriksaan fisik, laboraturium
dan sedimen urin dapat digunakan untuk menentukan etiologi penyakit. Riwayat penyakit yang
detail akan dapat mengidentifikasikan kondisi komorbid seperti diabetes, HIV seropositif, atau
penyakit vaskular perifer. Riwayat penyakit keluarga sangat penting dalam pencarian adanya
penyakit ginjal polikistik dominan atau nefritis herediter (sindrome alports). riwayat pekerjaan
dapat mengungkap adanya paparan dengan toksin atau obat (termasuk analgetik atau obat
traditional cina). 1,2
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan massa abdominal (contoh: ginjal polikistik),
pulsus deficit (contoh: penyakit vaskular perifer atherosklerotik), atau memar abdomen (contoh:
penyakit renovaskular). Riwayat pasien dan pemeriksaan dapat juga menghasilkan data yang
penting mengenai keparahan penyakit. Adanya jari yang memendek, dan atau nodul subkutan
dapat terlihat pada CKD lanjut dan hiperparatiroidism sekunder. Ekskoriasi (pruritus uremia),
7

pucat (anemia), massa otot yang mengecil dan fetor nitrogen adalah tanda dari CKD yang lanjut,
sebagaimana perikarditis, pleuritis dan asteriksis, komplikasi yang biasanya menjadi tanda harus
dimulainya dialisis.1
2.1.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:1

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat
dilihat pada tabel 6.
Table 6 Drug strategy in renal hypertension2
- ACEIs: use whenever possible for cardiovascular protection and renoprotection
- Monitor renal function and potassium
- Use with care in significant renal artery stenosis; consider angioplasty/stent to allow
-

ACEI use if renal function worsens


Use with care in hypovolaemia, congestive cardiac failure
ARBs: in those intolerant of ACEIs
Monitor renal function and potassium
Use with care in significant renal artery stenosis
Thiazide diuretic: if plasma creatinine< 200 mol/l OR to amplify response to loop

diuretics at higher serum creatinine concentrations


Loop diuretic: if plasma creatinine> 200 mmol/l OR resistant hypertension
-Blockers: if coexisting angina, ischaemic heart disease, previous

Consider for ca
tious use in heart failure
Calcium channel blocker: use long acting preparation
-Blocker: useful for prostatism

MI.

Methyldopa: still useful in resistant cases or pregnancy


Minoxidil: if all else fails (Note: fluid retention and hirsutism)

Aspirin, statins: to reduce cardiovascular risk, according to local guidelines

1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih
normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan
indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya bila LFG sudah menurun sampai 20-30%
dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid. Penting sekali untuk mengikuti dan
mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk
mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien.
Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.1
2) Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus.
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:
Pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60
ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
Protein diberikan 0,6-0,8 gr/KgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai
biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/KgBB/hari, dibutuhkan
pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan
kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein
tidak dapat disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang
terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion
9

hydrogen, pospat, sulfat dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena
itu pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan
mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein
berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang
akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karen asupan protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia. 1
Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian
tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein,
dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Disamping itu sasaran
terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas
bahwa proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal dengan kata lain
derajat proteinuria berkaitan dengan perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertenis terutama penghambat ensim konverting angiotensin (ACE
inhibitors) melalui beberapa studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi
ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.3
3) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting
karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah,
pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian
anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan

10

keseimbangan elektrolit. Semua ini terlihat dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.1
4) Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Beberapa diantara komplikasi tersebut akan
dibicarakan pada bagian ini, sedangkan sisanya dibicarakan pada bagian lain.1

Table 7. Complications of chronic kidney disease and interventions to prevent them2

11

a. A
n
e
m
i
a

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal
kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. Hal-hal lain yang ikut berperan
dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan
saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis,
defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi
akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g%
atau hematokrit 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum
iron, kapasitas ikat besi total/TIBC, feritin serum), mencari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan
terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan.
Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini
status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam
mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan
secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi
darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi
klinik adalah 11-12 g/dl.1
12

b. Osteodistrofi renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi..
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia
dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH2)D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia
meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan
menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan
gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.1
c. Mengatasi hiperfosfatemia
-

Pembatasana asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada
pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu: tinggi kalori, rendah protein dan
rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk
hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasai 600-800 mg/hari. Pembatasan
asupan fosfat yang terlalu keta tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya
malnutrisi.

Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam
kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara
oral, untuk menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium
yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO 3) dan calcium acetate.
Pemberian bahan menyerupai kalsium. Akhir akhir ini dikembangkan sejenis obat
yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer
hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan
mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.

d. Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2)D3)


Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan.
Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan
13

kalsium di saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam


calcium carbonate di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga
dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh
karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan
kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal.1
e. Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik sangat perlu dilakukan.
Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air
yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin
maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui
insensible water loss antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka
air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin.1
Elektrolit ynag harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan
kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal.
Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi
kalium (seperti buah dan sayuran) dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5
mEq/L. pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah garam natrium yang diberikan disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan
derajat edema yang terjadi.1
f. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal
dialisis atau transplantasi ginjal.

a) HEMODIALISIS

14

Gambar Hemodialisa
www.googlegambarhemodialisa.com
Pada GGT, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung
ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa
dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial)
dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen,
berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa
metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan
konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang
rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis,
air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara

15

menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini
disebut ultrafiltrasi.3
Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah.
Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan
berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1)
perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di
kompartemen darah dan (3) bila tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi.
Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi (gambar
2). Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai
konsentrasinya sama di kedua kompartemen.
Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selukosa yang diperkaya, selulo
sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi komplemen oleh gugus
hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang digantikan oleh
membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh
membran selulosa.
Luas permukaan membran juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan
membran yang tersedia adalah dari 0,8 m2 sampai 2,1 m2. Semakin tinggi luas permukaan
membran semakin efisien proses dialisis yang terjadi.
Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter
setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat
dengan mudah berdifusi kedalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan
dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan dialisat perlu
dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh. Dengan
teknik reverse osmosis air akan melewati membran semi permeabel yang memiliki pori-pori
kecil sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium dan
klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai
penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang dari 200 koloni/ml
dengan melakukan desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar
135/145 mEq/L. bila kadar natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan
hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi
gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah pasca
16

dialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk minum lebih
banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selama hemodialisis yang sulit ditanggulangi
maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan dialisat dibuat lebih tinggi.2,3
Dialiser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisis.
Dilaporkan 80% pasien hemodialisis di amerika serikat dilakukan daur ulang sedangkan
dieropa sekitar 10%. Segera setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicuci dengan cairan
dialisat yang banyak untuk menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser.
Dilakukan pengukuran volume dialiser untuk mengetahui apakah dialiser ini masih dapat dipakai
dan dilihat apakah terdapat cacat jasmaninya. Umumnya dipakai kembali bila volume dialiser
80%. Setelah itu dialiser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum
digunakan kembali dialiser ini dicuci kembali untuk membuang semua formaldehid.
Formaldehid yang tersisa dalam dialiser dapat memasuki tubuh selama proses dialisis dan hal ini
dapat menimbulkan gangguan pada pasien.1
Terdapat dua jenis cairan dialisa yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan
bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana
asam didalam darah yang akan bermaifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat cairan
asetat ini akan mengurangi kemampuan vasokontriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh
untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis. Keuntungan
cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat kedalam darah yang akan menetralkan
asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan gagal ginjal terminal dan juga tidak
menimbulkan vasodilatasi.1,2
Pada proses dialisis terjadi aliran darah diluar tubuh. Pada keadaan ini akan terjadi
aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis
diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin
yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik
yang paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan secara bolus diikuti dengan
continous infusion. Pada keadaan dimana risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik
heparin minimal dan teknik bebas heparin. Contoh beberapa keadaan risiko perdarahan berat
misalnya pada pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia, koagulopati dan pasca
operasi dengan perdarahan.

17

Jumlah dan tekanan darah yang mengalir ke dialiser, harus memadai sehingga perlu suatu
akses khusus. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah dibuatkan fistula
dengan arteri radialis atau ulnaris. Terdapat shunt aliran darah arteri ke vena sehingga vena akan
membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti ini (fistula cimino) dapat bertahan bertahuntahun dan komplikasinya hampir tidak ada.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan
muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang
jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung,
perdarahan intrakranial, kejang, hemodialisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi
komplemen akibat dialisis dan hipoksemia.
Di indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis
dilakukan selama 5 jam. Di sentra dialisis lain ada juga dialisis lain yang dilakukan 3 kali
seminggu dengan lama dialisis 4 jam.
Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG
sudah kurang dari 5 mL/menit) yang didalam praktek dianggap demikian bila (TKK) <5
mL/menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKII <5 mL/menit tidak selalu sama,
sehingga dialisis dianggap baru perlu bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah:2

Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

K serum >6 mEq/L

Ureum darah >200 mg/dL

pH darah < 7,1

anuria berkepanjangan (>5 hari)

fluid overloaded

b) Peritoneal Dialisis (PD)

18

Peritoneal Dialisis (beberapa orang menyebutnya sebagai 'cuci perut') merupakan proses
dialisis yang berlangsung di dalam rongga perut memanfaatkan ruang peritoneum. Cairan
dialisis/dialisat dimasukkan kedalam rongga perut melalui suatu kateter two way (disebut
Tenckhoff catheter) yang lembut, untuk kemudian didiamkan beberapa waktu (disebut dwell
time). Antara darah dengan cairan dialisis dibatasi oleh membran peritoneum yang berfungsi
sebagai media pertukaran zat. Ketika cairan dialisa berada di dalam rongga peritoneum maka
terjadi pertukaran zat-zat, yang berguna akan terserap kedalam darah dan yang tidak berguna
(produk limbah dan racun) serta kelebihan air akan terserap kedalam cairan dialisat melalui
proses ultrafiltrasi. Ketika klep kateter pengeluaran dibuka, maka cairan dialisis meninggalkan
tubuh dengan membawa serta limbah (racun) ditambah ekstra cairan yang tadi diserap dari dalam
darah pasien.

Indikasi pemakaian dialisis peritoneal


Dialisat peritoneal dapat digunakan pada pasien:1
1. gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut)
2. gangguan keseimbangan cairan. Elektrolit atau asam basa
3. intoksikasi obat atau bahan lain
4. gagal ginjal kronik (dialisat peritoneal kronik)
5. keadaan klinis lain dimana DP telah terbukti manfaatnya
Kontraindikasi dialisis peritoneal :
1.

Kontraindikasi Absolut : tidak ada

2.

Kontraindikasi Relatif : keadaan-keadaan yang kemungkinan secara teknis akan


mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi, seperti gemuk berlebihan,
perlengketan peritoneum, peritonitis lokal, operasi atau trauma abdomen yang baru saja
terjadi, kelainan intraabdomen yang belum diketahui sebabnya, luka bakar dinding abdomen
19

yang cukup luas terutama bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak adekuat. Peritoneal
Dialisis harus dilakukan setiap hari dan cairan dialisat harus senantiasa berada di rongga
perut agar terjadi pembersihan darah secara adekuat. Ada 2 metode peritoneal dialisis yaitu:

Continuous Ambulatory Peritoneal Dialisis (CAPD): peritoneal dialisis yang


dilakukan sementara pasien aktif melakukan aktifitas sehari-hari. CAPD dilakukan 36 kali perhari dengan jumlah cairan dialisat sebanyak 2 liter setiap satu putaran,
lamanya cairan dialisat berada di dalam rongga peritonium 4-6 jam.

Continuous Cyclic Peritoneal Dialisis (CCPD) atau Peritoneal Dialisis otomatis.


CCPD dilakukan dengan memakai bantuan mesin sewaktu pasien sedang tidur. Mesin
secara otomatis akan melakukan penukaran cairan dialisat sebanyak 4-8 kali pada
malam hari selama 8-12 jam ketika pasien sedang tidur.
Keuntungan menggunakan Peritoneal Dialisis:

Pasien diajar mandiri dalam melakukan dialisis sehingga lebih percaya diri

Waktu lebih bebas, dapat dilakukan di rumah/tempat kerja

Proses dialisis lebih 'lembut', tidak terjadi lonjakan-lonjakan penurunan tekanan darah
yang drastis seperti pada hemodialisis sehingga lebih cocok bagi pasien dengan
gangguan fungsi jantung

Tahan lama asalkan dilakukan dengan benar sesuai petunjuk dan dilakukan dengan
higienis
Komplikasi PD dapat berupa komplikasi mekanis, komplikasi metabolik, dan

komplikasi radang :
Komplikasi mekanis

Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung kencing, atau hati)

20

Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat kateter

Gangguan drainase aliran cairan dialisat

Bocornya cairan dialisat

Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut


Komplikasi metabolik

Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa

Gangguan metabolisme karbohidrat perlu diperhatikan terutama pada penyandang DM


berupa hiperglikemia tak terkendali dan kemungkinan dapat juga terjadi hipoglikemia
postdialisis

Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan dialisat

Sindrom disekuilibrium. Terdiri dari kumpulan gejala berupa sakit kepala, muntah,
kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat
menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini dapat terjadi pada pasien dengan kadar
ureum tinggi, di mana koreksi kelainan biokimiawi terjadi terlalu cepat dan lebih sering
terjadi pada pasien dengan overhidrasi
Komplikasi radang

Infeksi pernapasan, biasanya berupa pneumonia, atau bronkitis purulenta

Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan infeksi fokal di luar peritoneum seperti
pneumonia atau pielonefritis

Peritonitis

2.1.11 Prognosis
21

Angka kematian lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis dibandingkan pada
pasien kontrol dengan umur yang sama. Angka kematian setiap tahun adalah 21,2 setiap seratus
pasien per tahun. Angka kelangsungan hidup yang diharapkan pada pasien grup usia 55-64 tahun
adalah 22 tahun sementara pada pasien dengan gagal ginjal terminal angka kelangsungan hidup
adalah 5 tahun. Penyebab utama kematian adalah disfungsi jantung (45%). Penyebab lainnya
termasuk infeksi (14%), penyakit cerebrovaskular (6%), dan keganasan (4%). Diabetes, umur,
albumin serum rendah, status sosial ekonomik rendah dan dialisis inadekuat adalah prediktor
signifikan dalam angka kematian.1
Bagi pasien yang membutuhkan dialisis untuk mempertahankan hidupnya namun
memilih untuk tidak melakukan dialisis, kematian bisa terjadi dalam hitungan hari sampai
minggu. Secara umum terjadi uremia dan pasien kehilangan kesadaran menjelang kematian.
Aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan elektrolit. Sementara pada pasien
yang menjalani transplantasi ginjal, pasien bisa kembali hidup normal seperti biasa meskipun
harus menjalani medikasi dengan regimen imunosupresif. 2

c) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap
akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas terbukti lebih baik
dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu
diantaranya adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik. Misalnya seorang
perempuan muda yang menerima ginjal transplant bisa hamil dan melahirkan bayi yang sehat.
Manfaat transplantasi ginjal paling jelas terlihat pada pasien usia muda dan pasien diabetes
melitus. Sebagai contoh, pasien dialisis nondiabetik yang berumur 20-39 tahun mempunyai
harapan hidup 20 tahun lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal harapan hidupnya menjadi
31 tahun lagi. Pasien dialisis yang diabetik pada kelompok yang sama mempunyai harapan hidup
8 tahun lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal harapan hidupnya menjadi 25 tahun lagi.3

22

2.2

Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik ditandai dengan turunnya kadar ion- HCO3 diikuti dengan penurunan
tekanan parsiil C02 di dalam arteri. Kadarion-HCO3 normal adalah sebesar 24 meq/L dan
kadar normal PC02 adalah 40 mmHg dengan kadar ion-H sebesar 40 nanomol/L.
Penurunan kadar ion-HCO3 sebesar l meq/L akan diikuti oleh penurunan PC02 sebesar
1,2 mmHg. Penyebab asidosis metabolik dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu: 1
-

Pembentukan asam yang berlebihan di dalam tubuh.

Berkurangnya kadar ion-HCO3 di dalam tubuh.

Adanya retensi ion-H di dalam tubuh.


Kompensasi paru dengan cara hiperventilasi yang menyebabkan penurunan tekanan
parsiil C02,- dapat bersifat lengkap, sebagian atau berlebihan. Berdasarkan kompensasi
ini, asidosis metabolik dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
23

Asidosis metabolik sederhana (simpel), di mana penurunan kadar ion-HCO3 sebesar 1


meq/L diikuti penurunan PCO2 sebesar 1,2 mmHg.

Asidosis metabolik bercampur dengan asidosis. respirasi, dimana penurunan kadar ionHCO3 sebesar 1 meq/L diikuti penurunan PCO2 sebesar kurang dari 1,2 mmHg.

Asidosis metabolik bercampur dengan alkalosls Respiral, dimana penurunan kadar ionHCO3 sebesar l meq/L diikuti penurunan PCO2 sebesar lebih dari 1,2 mmHg.
Tampilan klinik asidosis metabolic: Rasa lelah, sesak napas, nyeri perut, nyeri tulang,
mual/muntah.

Koreksi Asidosis Metabolik


Indikasi koreksi asidosis metabolik perlu diketahui dengan baik agar koreksi dapat
di lakukab dengan tepat tanpa menimbulkan hal hal yan membahayakan:1,2
1) Langkah Pertama : menentukan berat ringannya gangguan asidosis. Gangguan di sebut
letal bila PH darah lebih dari 7 atau kadar ion H lebih dari 100 nmol/L. Gangguan yang
perlu mendapat perhatian bila PH darah 7,1 - 7.3 atau kadar ion H antara 50 sampai
dengan 80 nmol/L.
2) Langkah kedua : menetapkan anion gap atau bila perlu anion gap urin untuk mengetahui
dugaan etiologi asidosis metabolik. Dengan bantuan tanda klinik lain . Kita dengan
mudah menetapkan etiologi.
3) Langkah ketiga, bila kita mencurigai adanya kemungkinan asidosis laktat, hitung rasio
delta anion gap dengan delta HCO3 (delta anion gap: anion gap pada saat pasien
diperiksa dikurangi dengan median anion gap normal; kadar HCO3 normal dikurangi
dengan kadar HCO3 pada saat pasien diperiksa). Bila rasio lebih dari 1, asidosis
disebabkan oleh asidosis laktat atau lebih tepat 1,6. Langkah ke tiga adalah menetapkan
sejauh mana koreksi akan di lakukan.
a) Pada penurunan fungsi ginjal,koreksi dapat di lakulan secara penuh sehingga
mencapai kadar ion HCO3 20 - 22 meq/L. Pertimbangan yang di lakukab adalah

24

mencegah terjadinya hiperkalemi, mungurangi kemungkinan malnutrisi, mengurangi


percepatan gangguan tulang.
b) Pada keto-asidosis diabetik, atau pada asidosis-laktat tipe A, koreksi dilakukan bila
kadar ion-HCO3 dalam darah sebesar kurang dari atau sama dengan 5 meq/L g atau
bila terjadi hiperkalemi berat atau setelah koreksi waktuinsulin pada DM dan koreksi
oksigen pada asidosis laktat, asidosis belum terkendali. Koreksi dilakukan sampai
kadar ion-HCO3 sebesar 10 meq/L.
c) Pada asidosis metabolik bercampur dengan asidosis respiratori, tidak dalam
ventilator, koreksi harus dilakukan secara hati hati atas pertimbangan depresi
pernapasan. Koreksi dilakukan dengan pemberian larutan , Na-Bikarbonat, setelah
diketahui kebutuhan bikarbonat pada pasien. Kebutuhan bikarbonat adalah berapa
banyak bikarbonat yang akan kita berikan untuk mencapai kadar bikarbonat darah
yang kita tuju.
Untuk ini kita harus mengetahui' bicarbonate-space atau ruang-bikarbonat (Rubikar) pasien pada kadar bikarbonat tertentu dari pasien. Ruang-bikarbonat adalah .
besarnya kapasitas penyanggaan total tubuh, termasuk bikarbonat ekstraselular, protein
intraselular dan bikarbonat tulang. Rumus untuk menghitung ruang-bikarbonat pada
kadar bikarbonat plasma tertentu adalah sebagai berikut :
Rumus untuk menghitung ruang-bikarbonat pada kadar bikarbonat plasma tertentu adalah
sebagai berikut : Ru-Bikar ={0,4+(2.6 :[HCO3]}X BB (kg)
2.2 Penyakit Jantung Hipertensi
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di lndonesia berkisar antara 5 - 10% sedangkan
tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14.3% dan meningkat
menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab penyakit jantung di Indonesia. Sejumlah
85 - 90 % hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer
(hipertensi esensial atau ldiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan
penyebabnya (hipertensi sekunder).Tidak ada data akurat mengenai prevalensi hipertensi
sekunder dan sangat tergantung di mana angka itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6%
pasien hipertensi sekunder sedangkan di pusat rujukan dapat mencapai sekitar 35%. Hampir
semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2 mekanisme yaitu gangguan sekresi hormon dan
25

gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal dini karena komplikasi jantung (yang
disebut sebagai penyakit jantung hipertensi). Juga dapat menyebabkan strok, gagal ginjal, atau
gangguan retina mata. 1
Patogenesis penyakit jantung hipertensi
Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan kompensasi jantung menghadapi tekanan
darah tinggi ditambah dengan faktor neurohumoral yang ditandai oleh penebalan konsentrik otot
jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan
relaksasi ventrikcl kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi eksentrik).
Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu mekanisme Frank-Starling melalui
peningkatan volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi
gangguan kontraksi miokard (penurunan /gangguan fungsi sistolik). Iskemia miokard
(asimtomatik, angina pektoris.infark jantung dll) dapat terjadi karena kombinasi akselerasi proses
aterosklerosis (lihat patogenesis aterosklerosis atau penyakit jantung koroner) dengan
peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat dari HVK. HVK. iskemia miokard dan gangguan
fungsi endotel merupakan faktor utama kerusakan miosit pada hipertensi.1
Evaluasi pasien hipertensi atau penyakit jantung hipertensi ditujukan untuk:
1. meneliti kemungkinan hipertensi sekunder,
2. menetapkan keadaan pra pengobatan.
3. menetapkan faktor faktor yang mempengaruhi pengobatan atau faktor yang akan berubah
karena pengobatan.
4. menetapkan kerusakan organ target. dan
5. menetapkan faktor risiko PJK lainnya
Keluhan dan Gejala
Pada tahap awal seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien tidak ada keluhan.
Bila simtomatik, maka biasanya disebabkan oleh:
1. Peninggian tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar debar, rasa melayang (dizzy) dan
impoten.

26

2. Penyakit jantung/vascular hipertensi seperti cepat capek, sesak napas,sakit dada (iskemia
miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut. Gangguan vaskular lainnya
adalah epistaksis. hematuria, pandangan kabur karena perdarahan retina.
3. Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder : polidipsi, puliuria. dan kelemahan otot
pada aldosteronisme primer, peningkatan BB dengan emosi yang labil pada Sindrom
Cushing. Feokromasitoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit kepala, palpitasi,
banyak keringat dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy).1

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai keadan umum: memperhatikan keadaan khusus
seperti : Cushing, Fcokrumasitoma. perkembangan tidak proportionalnya tubuh atas dibanding
bawah yang sering ditemukan pada pada kearktasio aortaPengukuran tekanan darah di tangan
kiri dan kanan saat tidur dan berdiri. Funduskopi dengan klasifikasi Keith-Wagener Barker
sangat berguna untuk menilai prognosis. Palpasi dan auskultasi arterikarotis untuk menilai
stenosis atau oklusi.1
Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung ditujukan untuk menilai HVK
dan tanda~tanda gagal jantung. lmpuls apeks yang prominen. Bunyi jantung $2 yang meningkat
akibat kerasnya penutupan katup aorta Kadang ditemukan murmur diaslolik akibat regurgitasi
aona. Bunyi S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat dari peninggian tekanan
atrium kin'. Sedangkan bunyi S3 (gallop vetrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dari dilatasi ventrikel kiti.Bila 33 dan S4
ditemukan bersama disebut summation gallop. Paru perlu diperhatikan apakah ada suara napas
tambahan seperti ronki basah atau ronki kering/mengi. Pemeriksaan perut ditujukan untuk
mencari aneurisma. pembesaran hati. limpa` ginjal dan asites. Auskultasi bising sekitar kiri
kanan umbilikus (renal artery stenosis). Arteri radialis, Arteri femoralis dan arteri dorsalis pcdia
harus diraba.Tekanan darah di betis harus diukur minimal sekali pada hipertensi umur muda
( kurang dari 30 tahun).1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium awal meliputi:1

27

Urinalisis, protein, leukosit, eritrosit. dan silinder, Hemoglobin/hematocrit, Elektrolit


darah, kalium, Ureum/kreatinin, Gula darah puasa, Total kolesterol, Elektrokardiogravi
menunjukkan HVK pada sekitar 20-50% (kurang sensitif) tetapi masih menjadi metode
standard.

Apabila keuangan tidak menjadi kendala.maka diperlukan pula pemeriksaan: TSH, Leukosit
darah, Trigliserida, HDL dan LDL Kolestero, kalsium dan fosfor, Foto Toraks,Ekokardiogram
dilakukan karena dapat menemukan HVK lebih dini dan lebih spesifik (spesifisitas sekitar 95l00%). Indikasi Ekokardiogram pada pasien hipertensi adalah: - Konfirmasi gangguan jantung,
hipertensi dengan kelainan katup, hipertensi pada anak atau remaja ,Hipertensi saat aktivitas
tetapi normal saat istirahat ,Hipertensi disertai sesak napas yang belum jelas sebabnya fungsi
diastolik (gangguan fungsi releksasi ventrikel kiri. pseudonormal atau tipe restriktif.1
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum hipertensi mengacu kepada tuntutan umum (JNC VII 2003,
ESH/ESC 2003). Pengelolaan lipid agresif dan pemberian aspirin sangat bermanfaat. Pasien
hipertensi pasca infak jantung sangat mendapat manfaat pengobatan dengan penyekat beta,
penghambat ACE atau antialdosteron. Pasien hipertensi dengan penyakit risiko PJK yang tinggi
mendapat manfaat pengobatan diuretic, penyekat beta dan penghambat kalsium. Pasien
hipertensi dengan gangguan fungsi ventrikel mendapat manfaat tinggi dengan pengobatan
diuretic, penghambat ACE/ARB, Penyekat beta, dan penghambat aldosterone.1
2.3.3

Hipertrofi ventrikel kiri


Pada pasien dengan hipertensi, 15-20% mengalami hipertrofi ventrikel kiri (HVK).

Risiko HVK meningkat dua kali lipat pada pasien obesitas. Prevalensi HVK berdasarkan
penemuan lewat EKG (bukan merupakan alat pemeriksaan yang sensitif) pada saat menegakkan
diagnosis hipertensi sangatlah bervariasi.HVK didefinisikan sebagai suatu penambahan massa
pada ventrikel kiri.
sebagai respon miosit terhadap berbagai rangsangan yang menyertai peningkatan tekanan darah.
Hipertrofi miosit dapat terjadi sebagai kompensasi terhadap peningkatan afterload. Rangsangan
mekanik dan neurohormonal yang menyertai hipertensi dapat menyebabkan aktivasi
pertumbuhan sel-sel otot jantung, ekspresi gen (beberapa gen diberi ekspresi secara primer dalam
28

perkembangan miosit janin), dan HVK. Sebagai tambahan, aktivasi sistem renin-angiotensin
melalui aksi angiotensin II pada reseptor angiotensin I mendorong pertumbuhan sel-sel
interstisial dan komponen matrik sel. Jadi, perkembangan HVK dipengaruhi oleh hipertrofi
miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan struktur interstisium skeleton cordis.4
Berbagai jenis pola HVK telah dijelaskan, termasuk remodelling konsentrik, HVK
konsentrik, dan HVK eksentrik. HVK konsentrik adalah peningkatan pada ketebalan dan massa
ventrikel kiri disertai peningkatan tekanan dan volume diastolik ventrikel kiri, umumnya
ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Bandingkan dengan HVK eksentrik, di mana
penebalan ventrikel kiri tidak merata namun hanya terjadi pada sisi tertentu, misalnya pada
septum. LVH konsentrik merupakan pertanda prognosis yang buruk pada kasus hiperetensi. Pada
awalnya proses HVK merupakan kompensasi perlindungan sebagai respon terhadap peningkatan
tekanan dinding ventrikel untuk mempertahankan cardiac output yang adekuat, namun HVK
kemudian mendorong terjadinya disfungsi diastolik otot jantung, dan akhirnya menyebabkan
disfungsi sistolik otot jantung.
2.3.4

Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi umum dari peningkatan tekanan darah yang kronik.

Hipertensi sebagai penyebab gagal jantung kongestif seringkali tidak diketahui, sebagian karena
saat gagal jantung terjadi, ventrikel kiri yang mengalami disfungsi tidak mampu menghasilkan
tekanan darah yang tinggi, hal ini menaburkan penyebab gagal jantung tersebut. Prevalensi
disfungsi diastolik yang asimtomatik pada pasien dengan hipertensi dan tanpa HVK (Hipertensi
Ventrikel Kiri) adalah sekitar 33%. Peningkatan afterload yang kronis dan terjadinya HVK dapat
memberi pengaruh buruk terhadap fase awal relaksasi dan fase komplaien lambat dari diastolik
ventrikel.
Disfungsi diastolik umumnya terjadi pada seseorang dengan hipertensi. Disfungsi
diastolik biasanya, namun tidak tanpa kecuali, disertai dengan HVK. Sebagai tambahan, selain
peningkatan afterload, faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam proses terjadinya disfungsi
diastolik adalah penyakit arteri koroner, penuaan, disfungsi sistolik, dan abnormalitas struktur
seperti fibrosis dan HVK. Disfungsi sistolik yang asimtomatik biasanya juga terjadi. Pada bagian
akhir penyakit, HVK gagal mengkompensasi dengan meningkatkan cardiac output dalam
29

menghadapi peningkatan tekanan darah, kemudian ventrikel kiri mulai berdilatasi untuk
mempertahankan cardiac output. Saat penyakit ini memasuki tahap akhir, fungsi sistolik
ventrikel kiri menurun. Hal ini menyebabkan peningkatan lebih jauh pada aktivasi
neurohormonal dan sistem renin-angiotensin, yang menyebabkan peningkatan retensi garam dan
cairan serta meningkatkan vasokontriksi perifer. Apoptosis, atau program kematian sel,
distimulasi oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara stimulan dan penghambat,
disadari sebagai pemegang peran penting dalam transisi dari tahap kompensata menjadi
dekompensata. Pasien menjadi simptomatik selama tahap asimtomatik dari disfungsi sistolik atau
diastolik ventrikel kiri, menerima perubahan pada kondisi afterload atau terhadap kehadiran
gangguan lain bagi miokard (contoh: iskemia, infark). Peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba
dapat menyebabkan edema paru akut tanpa perlu perubahan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Secara umum, perkembangan dilatasi atau disfungsi ventrikel kiri yang asimtomatik maupun
yang simtomatik melambangkan kemunduran yang cepat pad status klinis dan menandakan
peningkatan risiko kematian. Sebagai tambahan, selain disfungsi ventrikel kiri, penebalan dan
disfungsi diastolik ventrikel kanan juga terjadi sebagai hasil dari penebalan septum dan disfungsi
ventrikel kiri.4
Kriteria Framingth dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif. 1
Kriteria Major

Paroksismal noktumal dispnea Distensi vena leher

Ronki paru

Kardiomegali

Edema paru akut

Gallop S3

Pening gian tekanan vena jugularis Refluks hepatojugular

Kriteria Minor
Edema ekstremitas

Batuk malam hari

Dispnea d'effort
30

Hepatomegali

Efusi pleura

Penurunan kapasitas vital 1/3 dan' ormal Taldkardia(>120/menit)

Major atau minor : Penurunan BB 24.5kg dalam 5 hari pengobatan . Diagnosis Gagal Jantung
ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.1
Pada tahap simtomatik di mana sindrom GJ sudah terlihat jelas seperti Cepat capek
(fatik), sesak napas (dyspnea in effort, orthopnea),kardiomegali,peningkatan tekanan vena
jugularis, asites, hepatomegalia dan edema sudah jelas, maka diagnosis GJ mudah dibuat. Tetapi
bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel kiri/LV
dysfunction (tahap asimtomalik), maka keluhan fatik dan keluhan di atas yang hilang timbul
tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto rontgen, ekokardiogra dan
pemeriksaan Brain Natriuretic Pepiide.1
Diuretik oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak pengobatan gagal
jantung sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atau Angiotensin
Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal.
Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE-inhibitor
tersebut diberikan, 1
Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya)
atau ketiga obat di atas belum memberikan hasil yang memuaskan. Intoksikasi digitalis sangat
mudah terjadi bila fungsi ginjal menurun(ureum/kreatinin meningkat) atau kadar kalium rendah
(kurang dari 3.5 meq/L) .1
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan
hipokalemia,dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian
jenis obat.1
Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain N atriuretic Peptide
(Nesin'n'de) masih dalam penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac Resychronization
Theraphy (CRT) maupun Pembedahan, pemasangan ICD (Inna-Cardiac Defibrillator) sebagai
alat mencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia maupun non-iskemia dapat
memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun mahal. Transplantasi sel dan stimulasi
regenerasi miokard,masih terkendala dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat
ditumbuhkan untuk mengganti miokard yang rusak dan masih memerlukan penelitian lanjut.1
31

2.3.5

Definisi Gagal Jantung Kronik


Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, di mana terdapat kegagalan jantung

memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan, Suatu definisi objektif yang sederhana
untuk menemukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak
terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel. 1,4,5
Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik
yang komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak` fatik` baik dalam keadaan
istirahat atau latihan. edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.
2.3.6

Epidemiologi
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada usia yang lebih

lanjut. dengan rata-rata umur 74 tahun. Ramalan dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau
penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4
tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan
meninggal dalam tahun pertama. 1
2.3.7

Etiologi dan faktor pencetus


Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard, perikardium,

pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika
disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner biasanya akibat infark
miokard, yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul
hipertensi dan diabetes. Sedangkan di Indonesia belum ada data yang pasti. sementara data
rumah sakit di Palembang menunjukkan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit
jantung koroner dan katup. Pencetus Sebagaimana diketahui keluhan dan gejala gagal jantung,
edema paru dan syok sering dicetuskan oleh adanya berbagai faktor pencetus. Hal ini penting
diidentifikasi terutama yang bersifat reversibel karena prognosis akan menjadi lebih baik. 1
2.3.8

Tatalaksana Penyakit Jantung

32

Dalam 10-15 tahun terakhir terlihat berbagai pembahan dalam pengobatan gagal jantung.
Pengobatan tidak saja ditujukan dalam memperbaiki keluhan. tetapi juga diupayakan pencegahan
agar tidak terjadi perubahan disfungsi jantung yang asimtomatik menjadi gagal jantung yang
simtomatik. Selain dari pada itu upaya juga ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan
diharapkan jangka panjang terjadi penurunan angka kematian.

Oleh karena itu dalam

pengobatan gagal jantung kronik perlu dilakukan identifikasi objektif jangka pendek dan jangka
panjang.1,5
2.3.9

Terapi Farmakologi
a. Angiotensinconverting enzyme inhibitors/penyekat enzim konversi angiotensin

Dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa keluhan dengan
fraksi ejeksi 40-45% untuk meningkatkan survival, memperbaiki simtom,
mengurangi kekerapan rawat inap di rumah sakit (I, A).

Harus diberikan sebagai terapi inisial bila tidak ditemui retensi cairan. Bila
disertai retensi cairan harus diberikan bersama diuretik. (I, B).

Harus segera diberikan bila ditemui tanda dan gejala gagal jantung, segera
sesudah infark jantung, untuk meningkatkan survival, menurunkan angka reinfark
serta kekerapan rawat inap. Harus dititrasi sampai dosis yang dianggap
bermanfaat sesuai dengan bukti klinis, bukan berdasarkan perbaikan simtom. 1

Tabel. 8 Dosis Penyekat Enzym Konversi Angiotensin yang Terbukti Efektif


Berdasarkan Uji Klinik yang Besar pada Gagal Jantung dan Disfungsi Ventrikel
Kiri. 1

33

Tabel 9.
Dosis Obat
Penyekat
Enzim
Konversi
Angiotensin
yang
Dianjurkan1

b.
Diuretik
Loop diuretic,tiazid, metolazon (Lihat Table.10) 1
Penting untuk pengobatan simtomatik bila ditemukan beban cairan berlebihan, kongesti
paru dan edema perifer.

34

Tabel 10. Diuretik1


c. - blocker (obat penyekat beta)

Direkomendasi pada semua gagal jantung ringan, sedang, dan berat yang stabil baik
karena iskemi atau kardiomiopati non iskemi dalam pengobatan standar seperti diureti
atau penyekat enzim konversi angiotensin. Dengan syarat tidak ditemukan adanya kontra
indikasi terhadap penyekat beta.

Terbukti menurunkan angka masuk rumah sakit. meningkatkan klasifikasi fungsi (1, A).

Pada disfungsi jantung sistolik sesudah suatu infark miokard baik simtomatik atau
asimtomatik, penambahan penyekat beta jangka panjang pada pemakaian penyekat enzim
konversi angiotensin terbukti menurunkan mortalitas.(I.B).

Sampai saat ini hanya beberapa penyekat beta yang direkomendasi yaitu bisoprolol,
karvedilol, metoprolol suksinat, dan nebivolol (LA) (lihat tabel 11) 1
Tabel 11. Cara Pemakaian Penyakit Beta Berdasarkan Uji Coba Klinis yang Besar1

35

d. Antagonist reseptor aldosteron

Penambahan terhadap penyekat enzim konversi angiotensin, penyekat beta, diuretik pada
gagal jantung berat (N YHA III-IV) dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas (I, B).

Sebagai tambahan terhadap obat penyekat enzim konversi angiotensin dan penyekat beta
pada gagal jantung sesudah infark jantung, atau diabetes, menurunkan morbiditas dan
mortalitas (I, B) .
Tabel 12. Pemakaian dan Dosis dari Spironolactone 1

e. Antagonis Penyekat Reseptor Angiotensin II


Masih merupakan alternatif bila pasien tidak toleran terhadap penyekat enzim konversi
angiotensin.

Penyekat angiotensin II sama efeketif dengan penyekat enzim konversi angiotensin


pada gagal jantung kronik dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas (Ila, B).

Pada infark miokard akut dengan gagal jantung atau disfungsi ventrikel, penyekat
angiotensin II sama efektif dengan penyekat enzim konversi angiotensin dalam
menurunkan mortalitas (1, A).

Dapat dipertimbangkan penambahan penyekat angiotensin II pada pemakaian


penyekat enzim konversi angiotensin pada pasien yang simtomatik guna
menurunkan mortalitas (lIa, B) .

36

Tabel 13. Penyekat Angiotensin II yang Tersedia dan Dosis 1

f. Glikosida Jantung (Digitalis)


Merupakan indikasi pada fibn'lasi atrium pada berbagai derajat gagal jantung,
terlepas apakah gagal jantung bukan atau sebagai penyebab.(I,B) Kombinasi digoksin dan
penyekat beta lebih superior dibandingkan bila dipakai sendiri-sendiri tanpa kombinasi.
Tidak mempunyai efek terhadap mortalitas, tetapi dapat menurunkan angka kekerapan rawat
inap.
g. Vasodilator
Tidak ada peran spesifik vasodilator direk pada gagal jantung kronik .
h. Hidralazin-isosorbid Dinitrat
Dapat dipakai sebagai tambahan, pada keadaan di mana pasien tidak toleran terhadap
penyekat enzim konversi angiotensin atau penyekat angiotensin H (LB). Dosis besar
hidralazin (300 mg) dengan kombinasi isosorbid dinitrat 160 mg tanpa penyekat enzim
konversi angiotensin dikatakan dapat menurunkan mortalitas. Pada kelompok pasien
Afrika-Amerika pemakaian kombinasi isosorbid dinitrat 20 mg dan hidralazin 37.5 mg,
tiga kali sehari dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas dan memperbaiki kualitas
hidup.
i. Obat Penyekat Kalsium

Pada

gagal

jantung

sistolik

penyekat

kalsium

tidak

direkomendasi,

dan

dikontraindikasikan pemakaiaan kombinasi dengan penyekat beta.

Felodipin dan amlodipin tidak memberikan efek yang lebih baik untuk survival bila
digabung dengan obat penyekat enzim konversi angio- tensin dan diuretik. (HLA) Data
jangka panjang menunjukkan efek netral terhadap survival, dapat dipertimbangkan

37

sebagai tambahan obat hipertensi bila kontrol tekanan darah sulit dengan pemakaian
nitrat atau penyekat beta.
k

Anti Trombotik

Pada gagal jantung kronik yang disertai fibrilasi atrium, riwayat fenomena
tromboemboli` bukti adanya trombus yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat
dianjurkan.

Pada gagal jantung kronik dengan penyakit jantung koroner, dianjurkan pemakaian
antiplatelet.

Aspirin harus dihindari pada perawatan rumah sakit berulang dengan gagal jantung
yang memburuk.

Anti Aritmia

Pemakaian selain penyekat beta tidak dianjurkan pada gagal jantung kronik, kecuali
pada atrial brilasi dan venm'kel takikardi.

Obat an'tmia klas I tidak dianjurkan.

Obat anti aritmia klas (penyekat beta) terbukti menurunkan kejadian mati mendadak
dapat dipergunakan sendiri atau kombinasi dengan amiodaron.

Sebagai acuan praktis dari ESC guidelness 2005 strategi pemilihan kombinasi obat pada berbagai
keadaan gagal jantung secara sistemis dapat di lihat pada tabel 13 dan 14.1
Table 13. Petunjuk pilihan obat pada gagal jantung kronik pada disfungsi sistolik1

38

Tabel 14. Terapi pasien disfungsi sistolik yang simtomatik menurut derajat Gagal Jantung1

2.3.10 Diagnosis
Pemeriksaan awal pasien hipertensif harus menyertakan riwayat lengkap dan
pemeriksaan fisis untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring faktor-faktor risiko
penyakit

kardiovaskular

lain,

menyaring

penyebab-penyebab

sekunder

hipertensi,

mengidentifikasi konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan komorbiditas lain, memeriksa gaya


hidup terkait-tekanan darah, dan menentukan potensi intervensi.1
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala spesifik yang dapat
dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah mereka. Walaupun popular dianggap sebagai gejala
peningkatan tekanan arterial, sakit kepala lazim terjadi hanya pada pasien dengan hipertensi
berat. Suatu sakit kepala hipertensif khas terjadi pada waktu pagi dan berlokasi di regio oksipital.
Gejala nonspesifik lain yang dapat berkaitan dengan peningkatan tekanan darah antara lain
adalah rasa pusing, palpitasi, rasa mudah lelah, dan impotensi. Ketika gejala-gejala didapati,
mereka umum berhubungan dengan penyakit kardiovaskular hipertensif atau dengan manifestasi
hipertensi sekunder. Tabel berikut mendaftarkan fitur-fitur nyata yang harus diselidiki dalam
perolehan riwayat dari pasien hipertensif.2
Tabel 15 Riwayat yang relevan2
39

Durasi hipertensi
Terapi terdahulu: respon dan efek samping
Riwayat diet dan psikososial
Faktor-faktor risiko lain: perubahan berat badan, dislipidemia, kebiasaam merokok, diabetes,
inaktivitas fisik
Bukti-bukti hipertensi sekunder: riwayat penyakit ginjal; perubahan penampilan; kelemahan otot;
palpitasi, tremor; banyak berkeringan, sulit tidur, perilaku mendengkur, somnolens siang hari;
gejala-gejala hipo atau hipertiroidisme; penggunaan agen-agen yang dapat meningkatkan tekanan
darah
Bukti-bukti kerusakan organ target: riwayat TIA, stroke, kebutaan transien; angina, infark
miokardium, gagal jantung kongestif; fungsi seksual
Komorbiditas lain
2.3.11 Prognosis
Resiko komplikasi tergantung pada seberapa besar hipertropi ventrikel kiri. Semakin
besar ventrikel kiri, semakin besar kemungkinan kompilkasi terjadi. Pengobatan hipertensi dapat
mengurangi kerusakan pada ventrikel kiri. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa obatobatan tertentu seperti ACE-Inhibitor, Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat mengatasi
hipertropi ventrikel kiri dan memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung
akibat penyakit jantung hipertensi. Bagaimanapun juga, penyakit jantung hipertensi adalah
penyakit yang serius yang memiliki resiko kematian mendadak.2
2.4 Hipertensi
Sampai saat ini hipertensi masih tetap menjadi masalah karena beberapa hal, antara lain
meningkatnya prevalensi hipertensi, masih banyaknya pasien hipertensi yang belum mendapat
pengobatan maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum mencapai target, serta
adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. 1
Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya populasi usia
lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah, dimana
baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada
lebih dari separuh orang yang berusia >65 tahun. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah
yang dahulu terus meningkat, dalam dekade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi (pola

40

kurva mendatar), dan pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien
hipertensi. 1
Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara-negara
yang sudah maju. Hipertensi esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. 1
Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanandarah. Tekanan darah
ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan resistensi perifer. Curah jantung adalah
hasil kali denyut jantung dan isi sekuncup. Besar isi sekuncup ditentukan oleh kekuatan
kontraksi miokard dan alir balik vena. Resistensi perifer merupakan gabungan resistensi pada
pembuluh darah (arteri dan arteriol) dan viskositas darah. Resistensi pembuluh darah ditentukan
oleh tonus otot polos arteri dan arteriol dan elastisitas dinding pembuluh darah.1

Gambar 1. Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah


Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua golongan yang terdiri
dari :6
a. Hipertensi Primer atau Esensial
Hipertensi yang tidak atau belum diketahui penyebabnya (terdapat sekitar 90% - 95%
kasus). Penyebab hipertensi primer atau esensial adalah multifaktor, terdiri dari faktor
genetik dan lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya riwayat
penyakit kardiovaskuler dalam keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa
41

sensitifitas terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas vaskuler


(terhadap vasokonstriksi) dan resistensi insulin.
b. Hipertensi sekunder atau Renal
Hipertensi yang disebabkan atau sebagai akibat dari adanya penyakit lain (terdapat
sekitar 5% - 10% kasus) penyebabnya antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi
renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan, dan lain-lain.

Gambar 2. Autoregulasi Tekanan Darah


Disamping etiologi terdapat faktor risiko hipertensi yang dibedakan dalam 2 kelompok,
yaitu kelompok yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Hal yang tidak dapat
dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin, riwayat hipertensi dan penyakit kardiovaskular dalam
keluarga. Adapun hal yang dapat dimodifikasi antara lain riwayat pola makan (konsumsi garam
berlebihan), konsumsi alkohol berlebihan, aktivitas fisik kurang, kebiasaan merokok, obesitas,
dislipidemia, diabetes mellitus, psikososial, dan stress.6-8
42

Diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik.


Akan tetapi tidak semua hipertensi menujukkan gejala bahkan ada yang tanpa gejala. Adapun
gejala hipertensi antara lain sakit/nyeri kepala, gelisah, jantung berdebar-debar, pusing, leher
kaku, penglihatan kabur, dan rasa sakit di dada. Sedangkan gejala tidak spesifik antara lain tidak
nyaman kepala, mudah lelah, dan impotensi. Diagnosis tidak boleh ditegakkan hanya dalam
sekali pemeriksaan terutama pada kasus baru dan tanpa faktor risiko. Pengukuran pertama harus
dikonfirmasi pada sedikitnya dua pengukuran ulang dalam waktu satu sampai dua minggu
tergantung dari tingginya tekanan darah tersebut. Diagnosis hipertensi ditegakan bila dari
pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai rata-rata TDD 90 mmHg dan atau TDS
140 mmHg.7
Tabel 16. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut The Sevent Joint National Committee on
Prevention Detection Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC7)7
Klasifikasi
Normal
Prehipertensi
Hipertensi derajat I
Hipertensi derajat II

TD Sistolik (mmHg)
< 120
120 139
140 159
> 160

TD Diastolik (mmHg)
< 80
80 89
90 99
> 100

Penatalaksanaan hipertensi bertujuan menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan


mortalitas serta morbiditas yang berkaitan. Target terapi adalah mencapai dan mempertahankan
tekanan sistolik dibawah 140 mmHg dan tekanan diastolik dibawah 90 mmHg atau tekanan
sistolik dibawah 130 mmHg dan tekanan diastolik dibawah 80mmHg pada individu dengan
risiko tinggi serta mengontrol faktor risiko melalui modifikasi gaya hidup dan obat anti
hipertensi jika modifikasi gaya hidup kurang berhasil. Modifikasi gaya hidup cukup efektif dan
dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dengan biaya relatif murah. Tata laksana ini
tetap dianjurkan meski disertai obat anti hipertensi karena dapat menentukan jumlah dan dosis
obat untuk mencapai target secara optimal.6,7
Tabel 17. Modifikasi Gaya Hidup dalam Tata Laksana Hipertensi6
Modifikasi
Penurunan
berat
badan
Dietary Approach to
Stop Hypertension
(DASH)
Pembatasan intake

Rekomendasi
Jaga berat badan ideal (IMT = 18,5 22,9
kg/m2)
Diet tinggi serat dan rendah lemak
Kurangi hingga < 100 mmol per hari ( 2,0 g

Rerata Penurunan TDS


5-20 mmHg/ 10 kg
8-14 mmHg
2-8 mmHg
43

natrium

natrium atau 6,5 g natrium klorida atau 1


sendok teh garam per hari )
Aktivitas
fisik Aktivitas fisik aerobik yang teratur selama
aerobik
20-30 menit dengan frekuensi 2-3 kali
seminggu
Pembatasan
Konsumsi alkohol maksimal 30 ml bagi laki
konsumsi alkohol
laki dan maksimal 20 ml bagi perempuan
atau orang yang lebih kurus.
Pembatasan
merokok

4-9 mmHg
2-4 mmHg

44

Algoritma Tata Laksana Hipertensi Menurut JNC 77


Pemberian obat anti hipertensi dilakukan jika dalam waktu 2 minggu atau 1 bulan pasca
modifikasi gaya hidup target tekanan darah belum tercapai yang dilakukan dengan cara
pemberian monoterapi pada kasus hipertensi derajat I dan kombinasi 2 obat hipertensi pada
hipertensi derajat II serta sesuai indikasi pada pasien dengan indikasi khusus. Jenis-jenis obat anti
hipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7 antara lain sebagai
berikut7
a. Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Alelosterone Antagonist (Aldo Ant)
b. Beta Blocker (BB)
45

c. Calcium Channel Blocker (CCB)


d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
e. Angiotensin II Receptor Blocker (ARB)
Table 18. Obat-obat Anti Hipertensi yang Dianjurkan JNC 77
Diuretik

Beta Blocker
Propanolol 10 mg 2 X I
Atenolol 50 mg 2 X I
Bisoprolol 5 mg 1-2 X -1

Thiazid
- Hidroklortiazid 12,5mg 1 X I
Loop diuretik
- Furosemid 40mg 2 X I
Diuretik hemat kalium
- Amilorid 5 mg 1 X I
Antagonis aldosteron
- Spironolakton 100mg 1 X I
ACE Inhibitor

Kaptopril 12,5; 25mg 2 X I


Lisinopril 5; 10mg 2 X I
Perindopril 4mg 2 X I
Silazapril 2,5mg 2 X I
Ramipril 5mg 2 X I

Calcium Channel Blocker


Verapamil 40, 80 mg 2 X I
Amlodipin 5, 10 mg 1 X I
Diltiazem 60 mg 2-3 X I
Nifedipin 5, 10 mg 1-3 X I

Angiotensin II Receptor
Blocker
Losartan 50 mg 1 X I
Valsartan 80 mg 1 X I
Candesartan 8 mg 1 X I
Telmisartan 40 mg 1 X I

Adapun kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien antara lain
sebagai berikut7
a. Diuretika dan ACEI atau ARB
b. CCB dan BB
c. CCB dan ACEI atau ARB
d. CCB dan diuretika
e. ARB dan BB
Tabel 19. Pilihan Obat Antihipertensi untuk Kondisi Tertentu6,7
Indikasi yang Memaksa
Pilihan Terapi Awal
Gagal Jantung
Diuretik Thiaz, BB, ACEI, ARB. Aldo
Pasca Infrak Miokard
Ant
Risiko Penyakit Pembuluh Darah Koroner
BB, ACEI, Aldo Ant
Diabetes
Diuretik Thiaz, BB, ACEI, CCB
Penyakit Ginjal Kronis
Diuretik Thiaz, BB, ACEI, ARB, CCB
Pencegahan stroke berulang
ACEI, ARB
Diuretik Thiaz, ACEI

46

Dengan adanya klasifikasi hipertensi terbaru dari JNC 8 sejak Desember 2013 maka
terdapat panduan baru pada manajemen hipertensi meliputi ambang pengobatan farmakologis,
target terapi, dan pemilihan obat anti hipertensi sesuai algoritma sebagai berikut

Algoritma Tata Laksana Hipertensi Menurut JNC 88


Dalam JNC 8 beta blocker tidak lagi digunakan dan direkomendasikan 4 kelas obat
tertentu berdasarkan penelaahan bukti untuk subkelompok ras, gagal ginjal kronis, dan diabetes
dimana panelis membuat tabel obat dan dosis yang digunakan berdasarkan hasil uji coba.
47

Berdasarkan rekomendasi di atas baik JNC 7 maupun JNC 8 tidak dikenal penggunaan reserpine
sebagai obat anti hipertensi sehingga reserpine sebaiknya tidak lagi digunakan dalam tata laksana
hipertensi.6-8
Pada kasus krisis hipertensi yaitu tekanan darah lebih dari 180/110 mmHg perlu
dibedakan antara hipertensi urgency (tanpa kerusakan organ tubuh) dan hipertensi emergency
(dengan kerusakan organ tubuh). Hipertensi urgency dapat diobati secara rawat jalan dengan
terapi anti hipertensi oral, dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah secara perlahan dalam 24
- 48 jam. Obat yang dianjurkan adalah captopril 50 mg sublingual atau oral. Pemberian
nifedipine sublingual atau oral tidak lagi direkomendasikan untuk hipertensi urgency karena
dapat menyebabkan hipotensi berat dan iskemia organ.
Hipertensi emergency memerlukan penanganan cepat, termasuk perawatan ICU.
Pemeriksaan tekanan darah harus diperiksa di kedua lengan menggunakan teknik pemeriksaan
yang benar. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan tujuan mencari adanya kerusakan organ target,
sedangkan pemeriksaan laboratorium harus mencakup kimia klinik, urinalisis, darah lengkap,
dan toksikologi. Terapi dengan obat anti hipertensi secara intravena sangat disarankan dalam
kondisi ini. Pemilihan obat harus didasarkan karakteristik obat yang spesifik (efek samping).
Penurunan tekanan darah harus terkontrol untuk menghindari hipoperfusi organ dan iskemia atau
infark. Obat-obatan yang biasa dipakai adalah labetalol, esmolol, nitrogliceryn, sodium
nitroprusside, clevidipine, trimetaphan, dan pentholamine.8

48

BAB III
STATUS PASIEN
IDENTITAS
Nama

: Tn. S

Jenis kelamin

: Laki-laki

Usia

: 49 tahun

Agama

: Islam

Status Pernikahan

: Menikah

Status Ekonomi

: Menengah

Pekerjaan

: TNI AD

Alamat

: KP. Mandala RT 003/02 Kel. Ciparipi Kec. Bogor Utara

Nomor Rekam Medis : 817020


Tanggal masuk RS

: 23 Oktober 2015

Tanggal Pemeriksaan : 23 Oktober 2015


DATA DASAR
Anamnesis
Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan Istri Pasien Tanggal 23 Oktober 2015
Keluhan Utama :
Sesak napas semakin memberat sejak 3 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSPAD rujukan dari RS. Salak Bogor dengan keluhan sesak napas.
Sesak napas di rasakan sejak 2 bulan. Pasien sering merasa napas agak sesak dan tubuh terasa
mudah lelah saat beraktivitas, saat istirahat sesak napas berkurang. Keluhan tersebut disertai
dengan mual tetapi tidak muntah dan napsu makan menurun, berat badan menurun tetapi tidak di
perhatikan dan tidak di ukur berapa penurunannya. Pasien juga mengeluhkan tengkuk terasa
pegal, sendi-sendi tubuh terasa pegal-pegal serta di bagian pinggang terasa pegal. Pasien merasa
sering BAK pada saat malam hari dengan warna urin kuning, BAK lancar, tidak nyeri, tidak ada
darah. Pada kedua tungkai kaki sudah sedikit bengkak, bengkak wajah di sangkal. Demam, sesak
49

napas dan batuk di sangkal. Keluhan tersebut tidak membuat pasien berobat kedokter, pasien
hanya meminum obat-obatan warung saja.
Pasien di diagnosa hipertensi tahun 2013, tetapi pasien tidak kontrol ke dokter dan tidak
rutin minum obat antihipertensi. Sehingga hipertensi tidak terkontrol.
Satu bulan SMRS pasien berobat keklinik dokter umum dengan keluhan nyeri berkemih,
BAK sedikit-sedikit, terasa panas dan terasa tidak lampias. Warna urin kuning, tidak ada darah,
urin berwarna seperti teh di sangkal. Di rasakan keluhan 2 bulan terakhir semakin memberat
yaitu napas semakin sesak terutama saat beraktivitas , tubuh cepat lelah, lemas, serta, tengkuk
terasa pegal, bengkak pada ekstremitas , mual, napsu makan semakin berkurang. Demam, sesak
napas, muntah, nyeri dada kiri di sangkal oleh pasien. Pasien mengatakan tekan darah pasien
tinggi dan di dapatkan hasil kolestrol total darah meningkat. Keluhan pasien membaik dengan
berobat jalan tetapi pasien tidak datang untuk kontrol serta pasien tidak rutin meminum obat
antihipertensi.
Satu minggu SMRS pasien merasa sering haus dan banyak minum, dalam 1 hari 1,5 L
tetapi pasien merasa BAK lebih sedikit, dalam 1 hari BAK 350cc dengan urin berwarna
kuning, BAK nyeri, tidak lampias dan panas disangkal. Pasien merasa sesak napas lebih
bertambah berat terutama saat menarik napas serta dada kanan terasa nyeri yang hilang timbul,
dada terasa lebih nyeri bila pasien tidur dengan posisi kepala rendah. Disertai keluhan tubuh,
lemas, mual serta kedua tungkai kaki bengkak di rasakan semakin membesar. Tetapi pasien
belum datang untuk berobat.
Tiga hari SMRS Gatot Soebroto, pasien di rawat di RS. Salak Bogor dengan keluhan
sesak napas yang di rasakan semakin memberat sejak 3 hari SMRS terutama saat pasien
beraktivitas. Saat berbaring pasien merasa lebih sesak dan sedikit berkurang bila pasien duduk
atau posisi berbaring dengan posisi kepala lebih tinggi. Sesak juga di rasakan malam hari
sehingga pasien sering terbangun saat tidur. Sesak napas di sertai dengan batuk. Batuk sejak 3
hari SMRS yaitu saat sesak napas batuk semakin memberat. Batuk dengan dahak bening, tidak
ada dahak berwarna coklat, ataupun darah. Pasien mengeluhkan mual tetapi tidak muntah. Pasien
merasa seluruh tubuh lebih terasa lemas. Bengkak kedua kaki semakin membesar. Demam
disangkal, batuk lebih dari 2 minggu di sangkal, asma di sangkal, nyeri dada kiri menjalar ke
lengan di sangkal. Dikatakan oleh pasien saat tiba di IGD Rs. Salak tekanan darah pasien
230/110 mmHg.
50

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi sejak 2013 tetapi tidak mengkonsumsi obat secara teratur dan

tidak rutin kontrol ke dokter.


Riwayat hiperkolestrol di ketahui 1 bulan SMRS
Riwayat penyakit diabetes militus
: disangkal
Riwayat penyakit ginjal
: disangkal
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
Riwayat tuberkulosis
: disangkal
Riwayat penyakit asma
: disangkal
Riwayat sakit kuning, hepatitis
: disangkal
Riwayat alergi obat maupun makanan : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat diabetes militus


Riwayat hipertensi
Riwayat penyakit jantung
Riwayat asma dan alergi
Riwayat sakit kuning

: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada.
: tidak ada
: tidak ada

Riwayat Sosial
Merokok sejak usia 24 tahun 1 hari 2-3 bungkus rokok ( 1 bungkus = 12 batang )
Alkohol (-). Kebiasaan konsumsi air putih 1 hari < 1 liter dan lebih sering konsumsi teh
serta kopi.
ANAMNESIS SISTEM
Kulit
(-) Bisul

(-) Rambut

(-) Keringat malam

(-) Kuku

(-) Kuning/Ikterus

(-) Sianosis

(-) Lain-lain

Kepala
(-) Trauma

(-) Sakit kepala

(-) Sinkop

(-) Nyeri pada sinus

51

Mata
(-) Nyeri

(-) Radang

(-) Ketajaman penglihatan

(-) Sekret

(-) Kuning/Ikterus

(-) Gangguan penglihatan

(-) Nyeri

(-) Gangguan Pendengaran

(-) Tinitus

(-) Sekret

(-) Kehilangan Pendengaran

Telinga

Hidung
(-) Trauma

(-) Gejala Penyumbatan

(-) Pilek

(-) Nyeri

(-) Gangguan Penciuman

(-) Sekret

(-) Bibir

(-) Lidah

(-) Stomatitis

(-) Gusi berdarah

(-) Gangguan pengecap

(-) Mukosa

(-) Epistaksis
Mulut

Tenggorokan
(-) Nyeri Tenggorokan

(-) Perubahan Suara

Leher
(-) Benjolan

(-) Nyeri Leher

Dada ( Jantung / Paru paru )


(-) Nyeri dada

(+) Sesak Napas

(+) Batuk dahak kentak dan bening

(-) Berdebar

(-) Batuk Darah

(-) Ortopnoe

Abdomen ( Lambung/Usus )
(-) Rasa Kembung

(-) Wasir

(-) Muntah darah

(+)Mual

(-) Mencret

(-) Tinja berwarna dempul

(-) Muntah

(-) Tinja darah

(-) Perut membesar


52

(-) Sukar menelan

(-) Benjolan

(-) Nyeri Perut

Saluran kemih / Alat Kelamin


(-) Disuria

(-) Kencing Nanah

(-) Poliuria

(-) Stranguri

(-) Kolik

(+) Oliguria

(-) Polakisuria

(-) Anuria

(-) Kencing batu

(-) Hematuria

(-) Retensi urin

(-) Kencing menetes

(-) Penyakit prostat

(-) Ngompol (tidak disadari)

Saraf dan Otot


(-) Anestesi

(-) Afasia

(-) Sukar mengingat

(-) Parestesi

(-) Ataksia

(-)Kedutan (tick)

(+) Otot lemah

(-) Pusing (vertigo)

(-) Hipo / Hiper-esthesi

(-) Kejang

(-) Pingsan

(-) Amnesia

(-) lain-lain

(-) Gangguan bicara (Disartri)

Ekstremitas Atas
(-) Bengkak

(-) Deformitas

(-) Nyeri

(-) Sianosis

Ekstremitas Bawah
(+) Bengkak

(-) Deformitas

(+) Nyeri (pada sendi pergelangan kaki kanan)

(-) Sianosis

B. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2015 pukul 20.30 WIB
Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis
53

Tanda-tanda vital
Tekanan darah

: 160/100 mmHg

Frekuensi Nadi

: 80 x/menit, isi dan tekanan cukup, teratur

Frekuensi nafas

: 28 x/menit

Suhu

: 36,0 C

Berat badan

: 70 kg

Tinggi badan

: 166 cm

IMT

: 25,40 kg/m2

Status gizi

: Preobesitas

Status Generalisata
Kepala

: Bentuk normochepal

Rambut

: Warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata

Kulit

: Sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak ada hematom,


suhu raba normal, turgor kulit baik.

Wajah

: Simetris, pigmentasi (-), tanda-tanda radang (-)

Mata

: Konjungtiva anemis, Sklera tidak ikterik, kedudukan bola mata


simetris, pupil bulat isokor, diameter 3 mm, reflek cahaya positif,
edema palpebra tidak ada. Visus tidak diperiksa.

Mulut

: Bibir pucat (+), lidah kotor (-), gusi berdarah (-), papil lidah
atrofi (-)

Telinga

: Normotia , nyeri tekan tragus (-), pendengaran normal, sekret (-)

Hidung

: Deformitas (-), deviasi septum (-), sekret (-)

Tenggorokan

: Faring hiperemis (-), T1-T1 tenang, uvula ditengah

Leher

: J`VP 5 +1 cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-),


pembesaran kelenjar tiroid (-)

Dada

: Bentuk normochest, tidak ada penonjolan.

Thoraks
Paru
Pemeriksaan

Depan

Belakang
54

Inspeksi

Napas cepat dan dalam

Palpasi

Kanan/kiri Gerakan simetris saat statis

Gerakan simetris saat statis

dan dinamis
Kanan/kiri Sela iga normal, benjolan (-),

dan dinamis
Sela iga normal, benjolan (-),

nyeri tekan (-), fremitus


normal
Kanan
Sonor
Kiri
Sonor
Kanan/kiri - ronchi ( +/+ )

Perkusi
Auskultasi

-wheezing ( -/- )

nyeri tekan (-), fremitus


normal
Sonor
Sonor
-suara napas vesikuler
-wheezing ( -/-) ronchi ( +/+ )

Jantung
Inspeksi

: Pulsasi ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Pulsasi ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicula


sinistra, tidak kuat angkat

Perkusi

: Batas kanan ICS V linea sternalis dekstra; batas kiri ICS VI


linea

midclavicula sinistra ; batas atas ICS III linea sternalis

sinistra
Auskultasi

: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi

: Tampak datar, tidak terlihat dilatasi vena

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Palpasi

: Supel, Nyeri tekan (-), tidak teraba pembesaran hepar dan lien.

Perkusi

: Timpani diseluruh regio abdomen, nyeri ketok CVA (-)


Ballotement (-), Undulasi (-)

Ekstremitas

: Akral hangat, pitting edem pada kedua tungkai kaki (+),


denyut arteri dorsalis pedis, dan dorsalis pedis kanan dan kiri (+),
sianosis (-), ikterik (-), CRT < 2 detik.

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaaan Laboratorium
Tanggal 23 Oktober 2015 pukul 18:14 WIB
Hematologi Rutin

Hasil

Nilai Rujukan
55

Hemoglobin

10.8

13 18 g/dl

Hematokrit

33

40 52 %

Eritrosit

4.1

4.3 6.0 juta/ul

Leukosit

11060

4.800 10.800 /ul

183.000

150.000 400.000/ul

MCV

80

80 96 fl

MCH

27

27 32 pg

MCHC
KIMIA KLINIK

33

32 36 g/dl
Nilai rujukan

Ureum

320

20-50 mg/dL

Kreatinin

14,6

0.5 1.5 mg/dL

Glukosa Darah sewaktu

122

<140

Natrium (Na)

137

135 147 mmol/L

Kalium (K)

4.6

3.5-5.0 mmol/L

Clorida (Cl)

101

95 -105 mmol/L

7.212

7.37 7.45

26.3

33 -44 mmHg

187.9

71 104 mmHg

10.7

22 -29 mmol/L

-14.9

(-2) -3 mmol/L

99.4

94 98 %

Hasil saat ini

Nilai Rujukan

10.5

detik

11.2

10.2 12.2 detik

Trombosit

Analisa Gas Darah :


-

PH

pCO2

pO2

Bikarbonat (HCO3)

Kelebihan Basa (BE)

Saturasi O2

Hematologi
Waktu Protombin (PT)
-

Kontrol

56

Pasien

APTT
-

35.5
Kontrol

36.9

detik
29.0 40.2 detik

Pasien

IMUNOSEROLOGI

Non Reaktif

HBsAg (Rapid)

Non Reaktif

Anti HCV

Non Reaktif

Anti HIV (Rapid I)

Reagen SD

Non Reaktif
Non Reaktif
Non Reaktif

Pemeriksaaan Thorax Foto 26 oktober 2015


- Jantung kesan membesar
- Aorta elongasi dan kalsifikasi. Mediastinum suoperior tidak melebar
- Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal
- Corakan vascular kedua paru normal
- Tidak tampak infiltrasi/ nodul di kedua paru
- Kedua hemidiafragma licin. Kedua sinus kostofrenikus lancip
- Tulang-tulang intak
- Terpasang CDL dengan tip di paravertebral kanan setinggi vertebra
Kesan:
a. Kardiomegali
b. CDL dengan tip di proyeksi vena cava superior
c. Tidak tampak pneumotoraks, pneumomediastinum maupun emfisema subkutis

Hasil USG
Ginjal kiri

: ukuran mengecil,echogenitas meningkat, batas antara kortex dan medulla


kabur, tidak tampak pelebaran sistem Pelviokalises, tidak tampak
bayangan hiperechoic dengan accustic shadow. Tampak bayangan
hipoechoic dengan accustic enchancement di pool atas.

57

Ginjal kanan

: ukuran membesar, parenkim tipis, tampak pelebaran siste. Pelviokalises,


tidak tampak bayangan hiperechoic dengan accustic shadow. Ureter
proximal tampak melebar.

Vesica Urinaria

: sulit dinilai karena kosong

Prostat

: ukuran tidak membesar dinding regular, tidak tampak masa

Kesimpulan

: Hydronefrosis gr IV dx dengan hydroureter


Proses kronis ginjal kiri.

Interpretasi EKG

RINGKASAN
Pasien seorang laki-laki usia 49 tahun rujukan dari RS. Salak Bogor, datang ke IGD
RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan sesak napas . Sesak napas di rasakan sejak 2 bulan . saat
58

istirahat sesak napas berkurang , DOE (+). Disertai dengan keluhan tubuh mudah lelah, mual ,
napsu makan menurun, berat badan menurun, tengkuk terasa pegal, pinggang terasa pegal,
mudah lelah, nokturia, kedua tungkai kaki sudah sedikit edema. Satu bulan SMRS pasien berobat
keklinik dokter umum dengan keluhan nyeri berkemih, BAK sedikit-sedikit, terasa panas dan
terasa tidak lampias. Keluhan sebelumnya tetap di rasakan dan edema tungkai semakin
membesar. Saat pemeriksaan di klinik umum di dapatkan hipertensi dan hiperkolestrol. Keluhan
pasien membaik dengan berobat jalan tetapi pasien tidak datang untuk kontrol serta pasien tidak
rutin meminum obat antihipertensi. Satu minggu SMRS input cairan lebih banyak di bandingkan
output : 1,5 L : 500cc. Tiga hari SMRS Gatot Soebroto, pasien di rawat di RS. Salak Bogor
dengan keluhan sesak napas yang di rasakan semakin memberat sejak 3 hari SMRS. DOE (+),
Orthopnea (+), DNP (+),Sesak napas di sertai dengan batuk. Batuk sejak 3 hari SMRS yaitu saat
sesak napas batuk semakin memberat. Batuk dengan dahak serous, mual, tubuh lebih terasa
lemas, kedua tungkai edema. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien preobesitas, hipertensi
grade 2, konjungtiva anemis, bibir pucat, JVP 5 +1 cmH2O, auskultasi paru terdapat ronki pada
kedua lapang paru, pitting edema pada kedua tungkai kaki. Pada pemeriksaan penunjang di
dapatkan Hb menurun, Ht menurun, leukositosis, Eritrosit menurun, Ureum serum dan kreatinin
meningkat, dari AGD didapatkan PH, pCO2, Bikarbonat (HCO3) menurun.
darah meurun, Kelebihan Basa (BE) -14.9 mmol/L, Saturasi O2 99.4 %.
Daftar Masalah
1. CKD stage V overload
2. Asidosis metabolik
3. CHF grade II
4. Hipertensi grade II

Pengkajian
59

CKD stage V overload


Kriteria penyakit ginjal kronik
-

Kerusakan ginjal terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktur atau fungsional
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LGF).

LGF kurang dari 60 ml/menit/1,73m3 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan
ginjal.

LGF (ml/mnt/1,73m2) =

( 140umur ) X BB
72 X kreatinin plasma(mg/dl)

Untuk mendiagnosis penyakit ginjal kronik di lakukan pendekatan diagnostik.


1. Gambaran klinis.
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes militus, infeksi traktus urinarius,
batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, SLE, dan lain sebagainya. Ditemukan
juga sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargia, anoreksia, mual, muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, pruritus, pericarditis, kejang-kejang, neuropati perifer. Dan
terdapat gejala komplikasi antara lain hipertensi, anemia, payah jantung, asidosis
metabolik dengan ciri napas kussmaul, gangguan keseimbangan elektrolit sodium,
kalium, klorida.
2. Gambaran laboratorium.
Gambaran dengan penyakit yang mendasari.
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, serta terdapat
penurunan laju filtrasi glomerulus yang di hitung mempergunakan rumus KockcroftGault. Di dapatkan pula penurunan Hb, peningkatan kadar asam urat, hiper atau
60

hypokalemia, hiper atau hipokloremia, hiponatremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,


asidosis metabolik. Didapatkan pula kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria,
leukosuria.
3. Gambaran radiologis.
Dapat dilakukan foto polos abdomen dapat tampak batu radio-opak. Dapat juga di
lakukan pemeriksaan dengan USG ginjal biasanya memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil dan dapat terlihat batu ginjal, kista ataupun massa.
Pada kasus didapatkan :
Dari hasil autonamnesis , gambaran klinis : Pasien hipertensi tidak terkontrol sejak
2013 merupakan suatu penyakit yang mendasari terjadi CKD. Pasien terasa tubuhnya
mudah lelah, mual, napsu makan menurun, nokturia, sesak napas yang sudah di
rasakan lebih dari 2 bulan hal tersebut merupakan gejala dari penyakit ginjal kronik.
Volume overload cairan pada pasien, dilihat dari gejala, sesak napas, dapat
dikarenakan input > output BAK sedikit dan mempengaruhi kerja jantung, pitting
edem pada kedua tungkai. Pemeriksaan fisik pasien hipertensi grade II dengan
tekanan darah 160/100mmHg, yang menjadi salah satu faktor resiko gagal ginjal
kronik, didapatkan konjungtiva anemis, bibir pucat, dan pada auskultasi kedua lapang
paru terdengan Ronkhi +/+. Pemeriksaan laboratorium peningkatan ureum serum :
320 mg/ dL, peningkatan kreatinin serum : 14,6 mg/dL dan penurunan LGF < 15
ml/mnt/1,73m2 atau merupakan penyakit ginjal kronik derajat V, Anemia didapatkan
Hb 10,8 g/dl, Asidosis metabolik dari hasil analisa gas darah PH darah menurun :
7,212. pCO2 menurun : 26,3mmHg . HCO3 menurun : 10,7mmol/L.
Rencana diagnostik
Pemeriksaan urin lengkap
Pemeriksaan albumin urin
Pemeriksaan Fosfat
Sedimen urin
Pemeriksaan protein urin kuantitatif 24 jam
Pemeriksaan gula darah
Pemeriksaan SI, TIBC, Ferritin
Usg ginjal
Foto polos abdomen
61

Rencana Terapi
- Furosemide 3 x 40 mg (IV), asam folat 3 x 5 mg (PO), vit. B12 3x50mcg (PO).
- Hemodialisa
- Monitoring balans cairan/ 24 jam.
5. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik merupakan penurunan PH darah akibat adanya produksi asam endogen,
kehilangan bikarbonat. Penurunan PH akan menimbulkan gejala dari berbagai sistem
terutama respirasi, kardiovaskular, dan saraf. Sistem respirasi terlihat pernapasan Kussmaul,
hiperventilasi.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pernapasan Kussmaul, edema

ekstremitas, konjungtiva pucat, kulit kering dan lemas. Dan hasil AGD pH rendah, PaCO2
rendah dan HCO3 rendah.
Berdasarkan kompensasi ini, asidosis metabolik dapat dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu:
1. Asidosis metabolik sederhana (simpel), di mana penurunan kadar ion-HCO3 sebesar 1
meq/L diikuti penurunan PCO2 sebesar 1,2 mmHg.
2. Asidosis metabolik bercampur dengan asidosis. respirasi, dimana penurunan kadar ionHCO3 sebesar 1 meq/L diikuti penurunan PCO2 sebesar kurang dari 1,2 mmHg. '
3. Asidosis metabolik bercampur dengan alkalosis Respiratorik, dimana penurunan kadar
ion-HC03 sebesar l meq/L diikuti penurunan PCO2 sebesar lebih dari 1,2 mmHg.
Tampilan klinik asidosis metabolik: Rasa lelah, lemas, sesak napas, nyeri perut, nyeri
tulang, mual/muntah, konjungtiva pucat, edema.
Pada kasus didapatkan :
Anamnesis pasien merasa sesak napas, mual, pemeriksaan fisik didapatkan pernapasan
Kussmaul (cepat dan dalam ), edema kedua tungkai, konjungtiva anemis, pasien merasa
tubuhnya lemas. Dan dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan PH 7.212
(menurun) , pCO2 26.3 mmHg( menurun) , Bikarbonat (HCO3)10.7 mmol/L ( menurun) ,
Kelebihan Basa (BE) -14.9 mmol/L.

62

Rencana Terapi
-

Bicnat 3 x 500 mg (PO)

6. CHF grade II
Diagnosa gagal jantung berdasarkan krikeria Framingham, bila terdapat 1 mayor dan 2
minor.
Kriteria Framingth dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif. 1
Kriteria Major

Paroksismal noktumal dispnea Distensi vena leher

Ronki paru

Kardiomegali

Edema paru akut

Gallop S3

Pening gian tekanan vena jugularis Refluks hepatojugular

Kriteria Minor
Edema ekstremitas

Batuk malam hari

Dispnea d'effort

Hepatomegali

Efusi pleura

Penurunan kapasitas vital 1/3 dan' ormal Taldkardia(>120/menit)

Major atau minor : Penurunan BB 24.5kg dalam 5 hari pengobatan . Diagnosis Gagal Jantung
ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.1

Pada kasus didapatkan :

63

Pasien merasa sesak napas dan keterbatasa aktivitas fisik sehari-hari. Paroxysmal
nokturnal dyspnea (+), DOE (+), Orthopnea (+), edema ekstremitas tungkai kaki, dan
batuk pada pemeriksaan fisik didapatkan : Ronki +/ + kedua lapang paru, Batas jantung
membesar, Foto toraks di dapatkan kardiomegali. Keluhan ini merupakan komplikasi dari
penyakit jantung hipertensi, dimana hipertensi yang sudah di derita sejak 2013 yang tidak
terkontrol.
Rencana diagnostik
Pemeriksaan profil lipid
EKG
Foto thoraks
Ekokardiogram
Rencana Terapi

Furosemid

Bisoprolol 1 x 2,5 mg

Monitor balans cairan/ 24 jam

7. Hipertensi grade II
Dignosa hipertensi di dapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
64

Anamnesis : kebanyakan pasien hipertensi bersifat asimtomatik, beberapa pasien mengalami


sakit kepala, rasa seperti berputar, atau penglihatan kabur. Hipertensi sekunder dapat di
sebabkan oleh obat-obatan seperti kortikosteroid, kontrasepsi hormonal dll, serta mencari
factor resiko kardiovaskular sepperti merokok, obesitas, inaktivitas, dyslipidemia, diabetes
militus, laju filtrasi glomerulus dll.

Pemeriksaan fisik nilai tekanan darah di ambil rerata dua kali pengukuran pada setiap
kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah 140/90 mmHg pada dua atau lebih kunjungan
diagnosis dapat di tegakkan.

Pemeriksaan penunjang ; memeriksa komplikasi telah atau yang sedang terjadi seperti,
pemeriksaan darah lengkap, kreatinin, gula darah, lemak darah, elektrolit, asam urat,
urinalisis, dan dilakukan juga EKG, USG ginjal. Dapat di curigai juga hipertensi sekunder
karena hipo atau hipertiroid dapat dilakukan pemeriksaaan TSH, FT4, FT3.

Pada kasus didapatkan :


Pasien menderita hipertensi sejak 2013 tidak terkontrol dan keluhan pasien merasa
tengkuk terasa pegal dan di dapatkan tekanan darah 160/100 mmHg diagnosa di tegakan
di dukung oleh penyakit sekunder dari hasil pemeriksaan penunjang adanya gagal ginjal.
Rencana Terapi
1. Bisoprolol dan furosemide

Follow up
Senin , 26 Oktober 2015
65

:badan terasa lemas, sesak napas sudah berkurang , batuk sudah berkurang tidak ada

dahak, mual -, muntah -,


O

: KS: compos mentis


TTV:

TD : 140/107 mmHg N : 84 x/min RR : 20x/min

T : 36 C

Mata: CA -/- , SI -/Leher : JVP 5 +0 cmH2O


Hidung: sekret -/Mulut : mukosa lembab
Paru: vesikuler, ronkhi -/- , wheezing -/Jantung: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, supel, bising usus (+) normal, NT (-), ascites (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik
Balans cairan :
1nput : 600cc (PO) pukul 22.00- 06.00
Output 1200cc (Urin) pukul 22.00- 06.00
LAB Hb/Ht/L/ Trombosit : 12,1/ 37/8660/194.000
Ur/Cr : 291/ 11,5
Na/K/Cl : 139/ 4,9/ 100
Hasil Rongsen Thoraks AP Terlampir
Rencana pemeriksaan : SI, TIBC, Feritin, Albumin, Ca, Mg, Ureum, kreatinin, urin
lengkap.
A

: CKD stage V Post HD inisiasi dengan riwayat metabolic asidosis


Hipertensi grade I belum terkontrol hipertensi
CHF grade II
ISK

: Lasik 3 X 40 mg IV
Bicnat 3 X 500 mg PO
Asam Folat 3 X 5 mg PO
Vit B12 3 X 50 mcg
Bisoprolol 1 X 2,5 mg PO
Rencana pemasangan CDL pagi tanggal 26 oktober 2015
66

Selasa , 27 Oktober 2015


S

:B adan terasa lemas, sesak napas - , batuk -, mual -, muntah -,

: KS: compos mentis


TTV:

TD : 140/90 mmHg N : 84 x/min

RR : 18x/min

T : 36,3 C

Mata: CA -/- , SI -/Leher : JVP 5 +0 cmH2O


Hidung: sekret -/Mulut : mukosa lembab
Paru: vesikuler, ronkhi -/- , wheezing -/Jantung: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, supel, bising usus (+) normal, NT (-), ascites (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik
Balans cairan :
1nput : 1500 cc (PO)
Output 2600 cc (Urin)
Urinalisis : Protein +1, eritrosit : 6-7-7 Leukosit : 2-1-2, Darah +, Bakteri +
Albumin : 3,6 Ca : 7,2, Mg : 2,92,

Fe: 102, TIBC 283 Ferritin : 399

Ur/Cr : 321/ 12.0


Na/K/Cl : 139/ 4,9/ 100
USG Ginjal terlampir
A :

CKD stage V

Hipertensi grade I belum terkontrol hipertensi

CHF grade II

ISK

Hipokalsemia

Riwayat Edema Paru dan asidosis Metabolik

: IVFD RL 2000 cc/ 24 jam


Lasik Stop
Bicnat 3 X 500 mg PO
67

Asam Folat 3 X 5 mg PO
Vit B12 3 x 50 mcg PO
Levofloksasin 750 mg IV/ 48 jam
Bisoprolol 1 X 2,5 mg PO
Monitor balance cairan/ 24 jam
Urine catheter di ganti
Koreksi hipokalsemia intra HD
USG ginjal

Prognosis :
-

Quo ad vitam

: dubia ad malam

Quo ad functionam

: dubia ad malam

Quo ad sanationam

: dubia ad malam

Lampiran USG dan Foto thoraks serta EKG

68

69

70

71

BAB III
KESIMPULAN
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Kriteria penyakit ginjal kronis
merupakan kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Terdapat
tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam
tes pencitraan (imaging tests) Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2
selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Penurunan fungsi nefron yang progresif,
yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan
kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada
pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran napas maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipovolemia atau hipervolemia. Gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang
72

lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy)
antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada
stadium gagal ginjal.
Ginjal adalah organ target hipertensi yang sekaligus juga merupakan penyebab
hipertensi itu sendiri. Oleh karena hipertensi pada ginjal dapat berakibat penurunan fungsi ginjal
sampai tahap gagal ginjal terminal. Sehingga hipertensi sangat erat hubunganya dengan penyakit
ginjal, demikian pula sebaliknya. Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan mengenai
hubungan ini, yaitu hipertensi primer mengakibatkan terjadinya defek fungsi ginjal yang dapat
berlanjut pada kerusakan ginjal, sebaliknya hipertensi sekunder yang sering terjadi pada penyakit
ginjal kronis akan menjadi salah satu gejala utama dari penyakit ginjal kronis tersebut. Setiap
kerusakan parenkim ginjal sering diikuti dengan hipertensi sekunder yang berakibat penurunan
fungsi ginjal serta kerusakan ginjal yang bertambah berat. Kelainan pada ginjal akibat tekanan
darah yang amat tinggi ( maligna ) yang berlanjut ketahapan gagal ginjal terminal apabila tidak
diobati. Kerusakan pada ginjal tampak jelas terlihat pada arteriol ginjal yang menunjukkan
gambaran nekrosis fibrinoid dan nefrosklerosis. Tekanan darah dibawah tinggkat yang
menimbulkan sclerosis maligna, hanya menunjukkan sclerosis ringan dan tidak berlanjut ke
gagal ginjal terminal. Kerusakan struktur ini dapat dicegah hanya dengan penurunan tekanan
darah yang tak sampai ke tingkat normal.

73

Pasien dengan penyakit ginjal kronik mempunyai resiko peningkatan penyakit


kardiovaskular yang meliputi penyakit jantung koroner, penyakit cerebrovaskular, penyakit
vaskular perifer dan gagal jantung. Faktor resiko terkait CKD (non-tradisional) memegang peran
penting dalam meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Diagnosis penyakit jantung
hipertensi (PJH) ditegakkan bila dapat mendeteksi adanya hipertrofi ventrikel kiri (HVK) dapat
ditentukan dengan pemeriksaan fisik, EKG, radiologik dan ekokardiografi. Dengan
ekokardiografi kita dapat menyatakan HVK secara lebih awal dan tepat. Komplikasi jantung
pada pasien hipertensi dapat disebabkan secara langsung oleh derajat tingginya tekanan darah
dan proses aterosklerosis yang dipercepat. Manifestasi kelainan dapat berupa PJH yang ditandai
HVK dan penyakit jantung iskemik (PJI). Hipertensi merupakan faktor resiko PJI. Penderita ini
hipertensi dan pada pemeriksaan

ekokardiografi ditemukan LVH, sehingga sesuai dengan

gambaran PJH. Maka dari itu pengobatan yang tepat, pencegahan dini, serta kesadaran akan
pasien terhadap penyakit yang di derita dan kepatuhan untuk selalu mengontrol tekanan darah
dapat menurunkan resiko komplikasi yang lebih serius.

DAFTAR PUSTAKA
1. Tessy Sp.PD, Prof. DR. Dr. Agus, dkk. Ginjal Hipertensi: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007.
2. L.Kasper MD, Dennis dkk. Harrisons Manual Of Medicine. India: Mc Graw Hill. 2005.
3. Goldsmith, David. Chronic Kidney Disease-Prevention Of Progression And Of
Cardiovascular Complications:Abc Of Kidney Disease. Blackwell Publishing Ltd. 2007.

74

4. KDIGO CKD-MBD Work Group. KDIGO Clinical Practice Guideline For The
Diagnosis, Evaluation, Prevention, And Treatment Of Chronic Kidney Disease- Mineral
and Bone Disorder (CKD-MBD). Kidney Int Suppl 2009;
5. Price SA, Wilson LM. Fisiologi sistem kardiovaskular, Dalam: Patofisiologi Konsep
Klinis

Proses-Proses Penyakit. Jakarta:EGC; 2006

6. Kemenkes RI, 2013, Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer ed 1, Jakarta: Kemenkes RI 236-243
7. JNC 7, The Seventh Joint National Committee on Prevention Detection Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure : 2003,
8. JNC 8, , The Eighth Joint National Committee on Prevention Detection Evaluation and
Treatment of High Blood Pressur: 2013

75

Anda mungkin juga menyukai