1.2. Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum
normal dan penderita asimptomatik.
Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak,
Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari
tingkat penurunan LFG :
Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan
LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara
60-89 mL/menit/1,73 m2
Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal
ginjal terminal.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin
Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatinin serum
1.5. Patofisiologi
Patofisiologi gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh hipertensi adalah
sebagai berikut : Hipertensi menyebabkan penurunan perfusi renal yang
mengakibatkan terjadinya kerusakan parenkim ginjal. Hal ini menyebabkan
peningkatan renin dan meningkatkan angiotensin II, selanjutnya angiotensin II dapat
menyebabkan dua hal yaitu : peningkatan aldosteron dan vasokonstriksi arteriol.
Pada kondisi peningkatan aldosteron, akan meningkatkan reabsorpsi natrium,
natrium akan meningkat di cairan ekstraseluler sehingga menyebabkan retensi air
dan peningkatan volume cairan ekstraseluler. Pada vasokonstriksi arteriol terjadi
peningkatan tekanan glomerulus, hal ini akan menyebabkan kerusakan pada nefron,
sehingga laju filtrasi glomerulus menurun. Sebagai kompensasi dari penurunan laju
filtrasi menurun, maka kerja nefron yang masih normal akan meningkat sampai
akhirnya mengalami hipertrofi. Pada kondisi hipertrofi akan meningkatkan filtrasi
cairan tetapi reabsorbsi cairan tubulus menurun, protein di tubulus di ekskresikan ke
urine (proteinuria) yang menyebabkan penurunan protein plasma (hipoproteinemia),
hipoalbuminemia, dan penurunan tekanan onkotik kapiler. Penurunan tekanan
onkotik kapiler menyebabkan edema anasarka. Pada edema anasarka akan
menekan kapiler-kapiler kecil dan syaraf yang akhirnya terjadi hipoksia jaringan.
Penurunan GFR lebih lanjut akan menyebabkan tubuh tidak mampu membuang air,
garam dan sisa metabolisme, sehingga terjadi sindrom uremia. Sindrome uremia
akan meningkatkan zat-zat sisa nitrogen, akhirnya terjadi : rasa lelah, anoreksia,
mual dan muntah.
Volume Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar
(anuria)
Warna Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri,
lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan
menunjukan adanya darah, HB, mioglobin.
Berat Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal
Jenis berat).
Osmolita Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
s urine/serum sering 1:1
Natrium Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium
Natrium Serum Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).
Kalsium Menurun
Osmolalitas Serum Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
Piolegram Intravena
- Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.
- Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular massa.
Sistouretrogram Berkemih
Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter, terensi.
Ultrasono Ginjal
Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran
perkemihan bagian atas.
Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histoligis.
Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif.
EKG
Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
1.8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Pada prinsipnya penatalaksanaan CKD terdiri dari
tiga tahap :
1. Konservatif
Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein) perlu dilakukan, protein dibatasi
karena urea, asam urat dan asam organik merupakan hasil pemecahan protein
yang akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat gangguan pada
klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus bernilai biologis (produk susu,
telur, daging) di mana makanan tersebut dapat mensuplai asam amino untuk
perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan diperbolehkan 300-600 ml/24
jam. Kalori untuk mencegah kelemahan dari Karbohidrat dan lemak. Pemberian
vitamin juga penting karena pasien dialisis mungkin kehilangan vitamin larut air
melalui darah sewaktu dialisa.
2. Simptomatik
a. Hipertensi
Ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume intravaskuler.
Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan cairan, diit
rendah natrium, diuretik, digitalis atau dobitamine dan dialisis. Asidosis
metabolik pada pasien CKD biasanya tanpa gejala dan tidak perlu
penanganan, namun suplemen natrium bikarbonat pada dialisis mungkin
diperlukan untuk mengoreksi asidosis.
b. Anemia
Pada CKD ditangani dengan epogen (erytropoitin manusia
rekombinan). Anemia pada pasaien (Hmt < 30%) muncul tanpa gejala
spesifik seperti malaise, keletihan umum dan penurunan toleransi aktivitas.
Abnormalitas neurologi dapat terjadi seperti kedutan, sakit kepala, dellirium
atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari kejang.
3. Terapi Pengganti dengan ginjal
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi
secara pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair menuju
kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan dua teknik
utama yang digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik itu sama,
difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons terhadap
perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
a. Transpanlasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi penggantian ginjal yang melibatkan
pencangkokan ginjal.Transplantasi ginjal menjadi pilihan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Ginjal transplant biasanya tidak
ditempatkan di tempat asli ginjal yang sudah rusak, kebanyakan di fossa
iliaka sehingga diperlukan aliran vaskulas yang berbeda, seperti arteri
renalis yang dihubungkan ke arteri iliaka eksterna dan vena renalis yang
dihubungkan dengan vena iliaka eksterna.
b. Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan
membran selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu
lagi dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada
mesin dialisis. CAPD merupakan suatu teknik dialisis kronik dengan
efisiensi rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi pasien terhadap
kerentanan perubahan cairan (seperti pasien diabetes dan kardiovaskular).
Dilakukan tindakan CAPD dengan insersi catheter dengan
peritoneuscope yaitu :
a) Persiapan: dipuasakan 4 jam, H-1 operasi pasien harus defekasi dan bila
obstipasi diberi dulcolax, pagi hari sebelum operasi dipasang iv, pasien di
cukur rambutnya di kulit abdomen, dan sebelum berangkat ke ruangan
tindakan pasien harus mengosongkan kandung kemih atau dipasang
folley catheter.
b) Prosedur operasi
Posisi trendelenberg
Buat marker di abdomen, desinfeksi dinding abdomen, anetesi
daerah insisi dengan lidocaine 1%, kemudian insisi kulit sepanjang 3
cm.
Jaringan lemak dibuka tumpul sampai terlihat fascia external, sambil
pasien menahan nafas masukan quill guide assembly posisi 30
derajat kearah coccyx sampai menembus peritoneum
Tarik trocar, masukan air menggunakan syrine, cek meniscus dan
pergerakan air sesuai nafas
Hubungkan dengan selang insuflaor, masukan udara sebanyak 1000-
1500 ke dalam abdomen
Setelah insuflator dilepas masukan scope lewat canula, arahkan ke
rongga pelvic pastikan ada space dan tidak ada adhesi pada pelvic,
pertahankan posisi quill dengan clem artei.
Canula dilepas dengan gerakan pelan berputar, masukan dilator kecil
dan besar setelah sebelumnya dilubrikasi dengan lignocain gel. Buat
gerakan maju mundur, dilator besar dipertahankan sambil
mempersiapkan teckoff catheter dimasukan lewat stylet
Catheter dilepas, pasang cuff implanter. Pasien menahan adinding
abdomen dan implanter di dorong sampai cuff menembus fascia.
Stylet dan quill ditarik.
Kateter di test. Dibuat marker tempat exite site, dilakukan anestesi
sepanjang daerah tunnel, tunneler dimasukan dan exite site menuju
daerah insisi lalu kateter disambungkan menuju tunneler. Kateter dan
tunneler ditarik melewati exite site dan disambung dengan extension
catheter, posisi exite site 2 cm dari kulit
Luka insisi di jahit
Operasi selesai
c. Hemodialisis klinis di rumah sakit.
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di
Indonesia adalah dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang
berfungsi sebagai ginjal buatan.
Menurut Smeltzer dan Bare (2005), penatalaksanaan terhadap gagal ginjal
meliputi :
1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida
untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi
obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi
anemia.
3. Dialisis Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut
yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis
memperbaiki abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein dan
natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan
perdarahan ; dan membantu penyembuhan luka.
4. Penanganan hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal
ginjal akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa
pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia
melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5
mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah
atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium
dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren
sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
5. Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian,
pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang
hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral
dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi
dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan.
6. Transplantasi ginjal (Smeltzer & Bare, 2005)
1.9. Komplikasi
Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme
dan masukan diit berlebih.
Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron.
Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah.
Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.
Asidosis metabolic, Osteodistropi ginjal & Sepsis, Neuropati perifer,
Hiperuremia (Smeltzer & Bare, 2005)
3. Hemodialisa
3.1. Definisi
Menurut Price dan Wilson (2005) dialisa adalah suatu proses dimana solute
dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal
merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua
teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa
sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan
sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran
semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk
memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui
ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air
plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan
memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang
dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan
dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox,
1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang
dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk
membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam
sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah,
maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa)
melalui pembedahan (NKF, 2006).
3.2. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme
yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
3.3. Indikasi
Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja
purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya.
Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100
ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang
dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat
tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan
konvensional gagal mempertahankan rft normal. Crf, ketika pengobatan
konvensional tidak cukup, Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan
hemodialisa:
o Peningkatan bun > 20-30 mg%/hari,
o Serum kreatinin > 2 mg%/hari,
o Hiperkalemia,
o Overload cairan yang parah,
o Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
o Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%,
o Hiperkalemia,
o Asidosis metabolik yang parah.
3.4. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa,
akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,
sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut
(PERNEFRI, 2003).
3.5. Proses
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa
berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran
darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk
dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi
sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh
efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan
ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan
mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox, 1997).
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu
saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk
menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa
metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa
diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke
dalam mesin hemodialisa (NKF, 2006).
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain
untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah
ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan
sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler
halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung
kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan
kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler
(Price & Wilson, 1995).
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar
tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter
masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran
semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah
dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah
darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam
tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).
Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem
dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa.
Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui
dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan dialisa
membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan
suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa
pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian
dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga
sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi
sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi,
osmosis, dan ultrafiltrasi.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik
antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan
meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan
meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek
vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif.
Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan
kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan
garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan
darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit
ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk
membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit)
merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan
pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah.
Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk
menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan
monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson,
1995).
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi
2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu dengan QB
200–300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan
waktu 3 – 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 – 3 hari
diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi.
Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah
rusak dalam proses hemodialisa.
3.6. Komplikasi
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi
pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya
dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan
kelebihan tambahan berat cairan.
Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan
kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh
terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan
dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat
dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara
kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan
air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim
dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan
azotemia berat.
Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor
pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa
juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan
sakit kepala.
Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
No Indikator 1 2 3 4 5
1 Tekanan darah
2 Berat badan
3 Edema
4 Pusing
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Fluid Management
kaji intake dan output cairan,
timbang berat badan secara rutin
Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
monitor hasil lab terkait retensi cairan
Kaji lokasi dan berat edema
Kolaborasi tindakan dialisis
monitor BB pasien setelah dialisis
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai O2 dan
kebutuhan
o Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x4 jam, diharapkan
klien dapat melakukan ADL dengan bantuan minimal
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Activity Tolerance
No Indikator 1 2 3 4 5
1 Jarak berjalan
kelelahan
2 kemampuan
beraktivitas sehari hari
3 nyeri otot
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Activity Therapy
kaji kemampuan pasien untuk beraktivitas sehari hari
dampingi pasien saat beraktivitas
dampingi pasien atau keluarga untuk mengidentifikasi defisit
aktivitas
berikan reinforcement saat klien biasa beraktivitas mandiri
monitor status emosional, sosial dan spiritual sebagai respon
aktivitas
kaji dampak nyeri terhadap aktivitas
ajarkan manajemen nyeri misal teknik distraksi, relaksasi
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler
alveolus dan edema paru.
o Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan pertukaran gas kembali
normal
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Respiratory Status : Gas Exchange
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. PaO2
2. PaCO2
3. pH arteri
4. SaO2
5. Sesak saat istirahat
6. Sesak saat aktivitas ringan
Keterangan :
1. Gangguan parah/severe deviation
2. Gangguan berat/subtantial deviation
3. Gangguan sedang/moderate deviation
4. Gangguan ringan/mild deviation
5. Tidak ada gangguan/no deviation
o NIC : Respiratoty Monitoring
Kaji kedalaman, irama nafas
Monitor status oksigenasi, misalnya SpO2, PaO2, PaCO2, dll
Auskultasi bunyi nafas, catat crakles, mengi.
Anjurkan pasien untuk batuk efektif
Pertahankan duduk/ posisi semi fowler selama fase akut
Auskultasi bunyi nafas, catat penurunan dan atau bunyi tambahan.
4. Nyeri akut b.d agen cedera fisik (insersi akses vaskular)
o Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan nyeri dapat terkontrol
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Pain Level
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. Melaporkan nyeri
2. Lama nyeri
3. Ekspresi wajah saat nyeri
4. Menangis
5. RR
6. TD
Keterangan :
1. Gangguan parah/severe deviation
2. Gangguan berat/subtantial deviation
3. Gangguan sedang/moderate deviation
4. Gangguan ringan/mild deviation
5. Tidak ada gangguan/no deviation
o NIC : Pain Management
Monitor dan kaji karakteristik dan lokasi nyeri.
Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, kesadaran).
Anjurkan pada pasien agar segera melaporkan bila terjadi nyeri dada.
Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman.
Ajarkan dan anjurkan pada pasien untuk melakukan tehnik relaksasi.
Kolaborasi dalam:
Pemberian oksigen.
Obat-obatan (beta blocker, anti angina, analgesic)
No Indikator 1 2 3 4 5
1 Warna kulit sekitar
insersi
3 Rembesan drainase di
sekitar insersi
4.
Pergeseran kanula
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Infection Control
i. monitor TTV
ii. hindari mengukur TD di lengan yang terdapat fistula
iii. pakai teknik aseptik saat prosedur dialisa
iv. ajarkan klien dan keluarga tanda gejala yang membutuhkan
penanganan medis
v. kaji daerah sekitar insersi
6.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid
3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI