Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE) ET CAUSA HIPERTENSI DAN


HEMODIALISA
1. CKD (Chronic Kidney Disease)
1.1. Definisi
Gagal ginjal kronis atau chronic kidney desease (CKD) atau penyakit renal
tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2001).
Gagal ginjal kronik atau chronic kidney desease (CKD) merupakan
perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung
beberapa tahun (Price, 2005). Chronic Kidney Deseases (CKD) adalah penurunan
faal/fungsi ginjal yang menahun yang umumnya irreversible dan cukup lanjut. Gagal
ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,
biasanya berlangsung beberapa tahun (Suparman, 1990).
Definisi atau pengertian hipertensi banyak dikemukakan oleh para ahli. WHO
mengemukakan bahwa hipertensi terjadi bila tekanan darah diatas 160/95 mmhg,
sementara itu Smelttzer & Bare (2002) mengemukakan bahwa hipertensi
merupakan tekanan darah persisten atau terus menerus sehingga melebihi batas
normal dimana tekanan sistolik diatas 140 mmhg dan tekanan diastole diatas 90
mmhg. Pendapat yang sama juga diutarakan oleh Doenges (2000). Pendapat
senada juga disampaikan oleh TIM POKJA RS Harapan Kita, Jakarta (1993) dan
Prof. Dr. dr. Budhi Setianto (Depkes, 2007), yang menyatakan bahwa hipertensi
adalah kenaikan tekanan darah sistolik lebih dari 150 mmHg dan tekanan diastolik
lebih dari 90 mmHg.

1.2. Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
 Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum
normal dan penderita asimptomatik.
 Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak,
Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
 Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari
tingkat penurunan LFG :
 Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan
LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
 Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara
60-89 mL/menit/1,73 m2
 Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
 Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
 Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal
ginjal terminal.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin
Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatinin serum

1.3. Etiologi dan Faktor Resiko


Salah satu penyebab dari penyakit chronic kidney desease (CKD) adalah
tekanan darah tinggi/hipertensi. Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan
darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan
diastoliknya diatas 90 mmHg (Smith Tom, 1995). Berikut adalah hal yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya hipertensi adalah:
 Usia.
Hipertensi akan makin meningkat dengan meningkatnya usia hipertensi pada
yang berusia dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden panykit arteri dan
kematian premature.
 Jenis Kelamin.
Berdasar jenis kelamin pria umumnya terjadi insiden yang lebih tinggi daripada
wanita. Namun pada usia pertengahan, insiden pada wanita mulai meningkat,
sehingga pada usia di atas 65 tahun, insiden pada wanita lebih tinggi.
 Ras.
Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada yang berkulit
putih.
 Pola Hidup.
Faktor seperti halnya pendidikan, penghasilan dan faktor pola hidup pasien telah
diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah, tingkat pendidikan rendah
dan kehidupan atau pekerjaan yang penuh stress agaknya berhubungan dengan
insiden hipertensi yang lebih tinggi. Obesitas juga dipandang sebagai faktor
resiko utama. Merokok dipandang sebagai faktor resiko tinggi bagi hipertensi
dan penyakit arteri koroner. Hiperkolesterolemia dan hiperglikemia adalah faktor
– faktor utama untuk perkembangan arterosklerosis yang berhubungan dengan
hipertensi.
Selain itu, hal lain yang dapat menyebabkan chronic kidney desease (CKD)
adalah :
 Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
 Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis
 Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
 Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis
tubulus ginjal
 Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
 Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
 Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma,
fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
 Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis

1.4. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik CKD antara lain (Long, 1996 : 369):
 Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi
 Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal
atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai
lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik CKD menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain :
 hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin -
angiotensin – aldosteron),
 gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan)
 perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis,
anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan
tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
Manifestasi klinik CKD menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
 Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac
dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan
edema.
 Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekels.
 Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan
perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
 Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ),
burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki
), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas.
 Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
 Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic
lemak dan vitamin D.
 Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium
dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
 System hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin,
sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia
toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

1.5. Patofisiologi
Patofisiologi gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh hipertensi adalah
sebagai berikut : Hipertensi menyebabkan penurunan perfusi renal yang
mengakibatkan terjadinya kerusakan parenkim ginjal. Hal ini menyebabkan
peningkatan renin dan meningkatkan angiotensin II, selanjutnya angiotensin II dapat
menyebabkan dua hal yaitu : peningkatan aldosteron dan vasokonstriksi arteriol.
Pada kondisi peningkatan aldosteron, akan meningkatkan reabsorpsi natrium,
natrium akan meningkat di cairan ekstraseluler sehingga menyebabkan retensi air
dan peningkatan volume cairan ekstraseluler. Pada vasokonstriksi arteriol terjadi
peningkatan tekanan glomerulus, hal ini akan menyebabkan kerusakan pada nefron,
sehingga laju filtrasi glomerulus menurun. Sebagai kompensasi dari penurunan laju
filtrasi menurun, maka kerja nefron yang masih normal akan meningkat sampai
akhirnya mengalami hipertrofi. Pada kondisi hipertrofi akan meningkatkan filtrasi
cairan tetapi reabsorbsi cairan tubulus menurun, protein di tubulus di ekskresikan ke
urine (proteinuria) yang menyebabkan penurunan protein plasma (hipoproteinemia),
hipoalbuminemia, dan penurunan tekanan onkotik kapiler. Penurunan tekanan
onkotik kapiler menyebabkan edema anasarka. Pada edema anasarka akan
menekan kapiler-kapiler kecil dan syaraf yang akhirnya terjadi hipoksia jaringan.
Penurunan GFR lebih lanjut akan menyebabkan tubuh tidak mampu membuang air,
garam dan sisa metabolisme, sehingga terjadi sindrom uremia. Sindrome uremia
akan meningkatkan zat-zat sisa nitrogen, akhirnya terjadi : rasa lelah, anoreksia,
mual dan muntah.

1.6. Pathway (terlampir)

1.7. Pemeriksaan Diagnostik


 Urine

Volume Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar
(anuria)

Warna Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri,
lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan
menunjukan adanya darah, HB, mioglobin.

Berat Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal
Jenis berat).

Osmolita Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
s urine/serum sering 1:1

Clerance Mungkin agak menurun


Creatinin

Natrium Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium

Protein Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan


glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
 Darah

BUN / Kreatin Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar


kreatinin 16 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu
5)

Hitung darah Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang ari


lengkap 78 g/dL

SDM Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti


pada azotemia.

GDA pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi


karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi
hydrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein.
Bikarbonat menurun, PCO2 menurun

Natrium Serum Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).

Kalium Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan


perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan.
Pada tahap akhir, perubahan

Magnesium / Fosfat Meningkat

Kalsium Menurun

Protein (khususnya Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan


Albumin) protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan
pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam
amino esensial

Osmolalitas Serum Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.

 Piolegram Intravena
- Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.
- Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular massa.
 Sistouretrogram Berkemih
Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter, terensi.
 Ultrasono Ginjal
Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran
perkemihan bagian atas.
 Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histoligis.
 Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif.
 EKG
Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.

1.8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Pada prinsipnya penatalaksanaan CKD terdiri dari
tiga tahap :

1. Konservatif
Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein) perlu dilakukan, protein dibatasi
karena urea, asam urat dan asam organik merupakan hasil pemecahan protein
yang akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat gangguan pada
klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus bernilai biologis (produk susu,
telur, daging) di mana makanan tersebut dapat mensuplai asam amino untuk
perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan diperbolehkan 300-600 ml/24
jam. Kalori untuk mencegah kelemahan dari Karbohidrat dan lemak. Pemberian
vitamin juga penting karena pasien dialisis mungkin kehilangan vitamin larut air
melalui darah sewaktu dialisa.
2. Simptomatik
a. Hipertensi
Ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume intravaskuler.
Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan cairan, diit
rendah natrium, diuretik, digitalis atau dobitamine dan dialisis. Asidosis
metabolik pada pasien CKD biasanya tanpa gejala dan tidak perlu
penanganan, namun suplemen natrium bikarbonat pada dialisis mungkin
diperlukan untuk mengoreksi asidosis.
b. Anemia
Pada CKD ditangani dengan epogen (erytropoitin manusia
rekombinan). Anemia pada pasaien (Hmt < 30%) muncul tanpa gejala
spesifik seperti malaise, keletihan umum dan penurunan toleransi aktivitas.
Abnormalitas neurologi dapat terjadi seperti kedutan, sakit kepala, dellirium
atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari kejang.
3. Terapi Pengganti dengan ginjal
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi
secara pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair menuju
kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan dua teknik
utama yang digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik itu sama,
difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons terhadap
perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
a. Transpanlasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi penggantian ginjal yang melibatkan
pencangkokan ginjal.Transplantasi ginjal menjadi pilihan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Ginjal transplant biasanya tidak
ditempatkan di tempat asli ginjal yang sudah rusak, kebanyakan di fossa
iliaka sehingga diperlukan aliran vaskulas yang berbeda, seperti arteri
renalis yang dihubungkan ke arteri iliaka eksterna dan vena renalis yang
dihubungkan dengan vena iliaka eksterna.
b. Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan
membran selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu
lagi dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada
mesin dialisis. CAPD merupakan suatu teknik dialisis kronik dengan
efisiensi rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi pasien terhadap
kerentanan perubahan cairan (seperti pasien diabetes dan kardiovaskular).
Dilakukan tindakan CAPD dengan insersi catheter dengan
peritoneuscope yaitu :
a) Persiapan: dipuasakan 4 jam, H-1 operasi pasien harus defekasi dan bila
obstipasi diberi dulcolax, pagi hari sebelum operasi dipasang iv, pasien di
cukur rambutnya di kulit abdomen, dan sebelum berangkat ke ruangan
tindakan pasien harus mengosongkan kandung kemih atau dipasang
folley catheter.
b) Prosedur operasi
Posisi trendelenberg
 Buat marker di abdomen, desinfeksi dinding abdomen, anetesi
daerah insisi dengan lidocaine 1%, kemudian insisi kulit sepanjang 3
cm.
 Jaringan lemak dibuka tumpul sampai terlihat fascia external, sambil
pasien menahan nafas masukan quill guide assembly posisi 30
derajat kearah coccyx sampai menembus peritoneum
 Tarik trocar, masukan air menggunakan syrine, cek meniscus dan
pergerakan air sesuai nafas
 Hubungkan dengan selang insuflaor, masukan udara sebanyak 1000-
1500 ke dalam abdomen
 Setelah insuflator dilepas masukan scope lewat canula, arahkan ke
rongga pelvic pastikan ada space dan tidak ada adhesi pada pelvic,
pertahankan posisi quill dengan clem artei.
 Canula dilepas dengan gerakan pelan berputar, masukan dilator kecil
dan besar setelah sebelumnya dilubrikasi dengan lignocain gel. Buat
gerakan maju mundur, dilator besar dipertahankan sambil
mempersiapkan teckoff catheter dimasukan lewat stylet
 Catheter dilepas, pasang cuff implanter. Pasien menahan adinding
abdomen dan implanter di dorong sampai cuff menembus fascia.
Stylet dan quill ditarik.
 Kateter di test. Dibuat marker tempat exite site, dilakukan anestesi
sepanjang daerah tunnel, tunneler dimasukan dan exite site menuju
daerah insisi lalu kateter disambungkan menuju tunneler. Kateter dan
tunneler ditarik melewati exite site dan disambung dengan extension
catheter, posisi exite site 2 cm dari kulit
 Luka insisi di jahit
 Operasi selesai
c. Hemodialisis klinis di rumah sakit.
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di
Indonesia adalah dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang
berfungsi sebagai ginjal buatan.
Menurut Smeltzer dan Bare (2005), penatalaksanaan terhadap gagal ginjal
meliputi :
1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida
untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi
obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi
anemia.
3. Dialisis Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut
yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis
memperbaiki abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein dan
natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan
perdarahan ; dan membantu penyembuhan luka.
4. Penanganan hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal
ginjal akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa
pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia
melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5
mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah
atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium
dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren
sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
5. Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian,
pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang
hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral
dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi
dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan.
6. Transplantasi ginjal (Smeltzer & Bare, 2005)

1.9. Komplikasi
 Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme
dan masukan diit berlebih.
 Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
 Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron.
 Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah.
 Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.
 Asidosis metabolic, Osteodistropi ginjal & Sepsis, Neuropati perifer,
Hiperuremia (Smeltzer & Bare, 2005)

2. Hubungan Hipertensi sebagai Penyebab CKD


2.1. Definisi Hipertensi
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah presisten dimana
tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan diastoliknya dia atas 90mmHg. Pada
populasi lansia hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan
tekanan diastolik 90 mmHg (Smeltzer, 2002).
Hipertensi dikategorikan ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95-104
mmHg, hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya 105-114 mmHg, dan hipertensi
berat apabila tekanan diatoliknya lebih dari 115 mmHg. Pembagian ini berdasarkan
peningkatan tekanan diastolik karena dianggap lebih serius dari peningkatan sistolik
(Smith Tom, 1995)

2.2. Etilogi dan Faktor Resiko Hipertensi


Berikut adalah hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi
adalah:
 Usia.
Hipertensi akan makin meningkat dengan meningkatnya usia hipertensi pada
yang berusia dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden panykit arteri dan
kematian premature.
 Jenis Kelamin.
Berdasar jenis kelamin pria umumnya terjadi insiden yang lebih tinggi daripada
wanita. Namun pada usia pertengahan, insiden pada wanita mulai meningkat,
sehingga pada usia di atas 65 tahun, insiden pada wanita lebih tinggi.
 Ras.
Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada yang berkulit
putih.
 Pola Hidup.
Faktor seperti halnya pendidikan, penghasilan dan faktor pola hidup pasien telah
diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah, tingkat pendidikan rendah
dan kehidupan atau pekerjaan yang penuh stress agaknya berhubungan dengan
insiden hipertensi yang lebih tinggi. Obesitas juga dipandang sebagai faktor
resiko utama. Merokok dipandang sebagai faktor resiko tinggi bagi hipertensi
dan penyakit arteri koroner. Hiperkolesterolemia dan hiperglikemia adalah faktor
– faktor utama untuk perkembangan arterosklerosis yang berhubungan dengan
hipertensi.

2.3. Hipertensi sebagai Penyebab CKD


Hipertensi dapat menyebabkan penyakit ginjal. Hipertensi dalam jangka waktu
yang lama dapat mengganggu ginjal. Beratnya pengaruh hipertensi terhadap ginjal
tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi
tekanan darah dalam waktu lama makin berat komplikasi yang mungkin ditimbulkan.
Hipertensi merupakan penyebab gagal ginjal kronik kedua terbesar setelah diabetes
militus. Adanya peningkatan tekanan darah yang berkepanjangan nantinya akan
merusak pembuluh darah pada daerah di sebagian besar tubuh. Ginjal memiliki jutaan
pembuluh darah kecil dan nefron yang memiliki fungsi untuk menyaring adanya produksi
darah. Ketika pembuluh darah pada ginjal rusak dapat menyebabkan aliran darah akan
menghentikan pembuangan limbah serta cairan ekstra dari tubuh.
Hubungan antara CKD dan hipertensi dapat dijelaskan oleh beberapa faktor.
CKD dapat menyebabkan retensi garam dan volume overload berikutnya. Hal ini
mungkin atau tidak disertai dengan pembengkakan (edema) bersama dengan
peningkatan tekanan darah. Selain itu, gagal ginjal muncul untuk memicu peningkatan
aktivitas dari sistem saraf simpatik, menyebabkan sesuatu seperti gelombang adrenalin.
Mekanisme hormonal juga memainkan peran penting dalam hubungan antara
CKD dan hipertensi, terutama melalui sistem renin-angiotensin. Hormon ini bisa
dilepaskan sebagai respons terhadap kerusakan kronis dan jaringan parut pada ginjal,
dan dapat memberikan kontribusi untuk hipertensi pasien dengan merangsang baik
retensi garam, serta penyempitan pembuluh darah.
Hormon lain yang dapat meningkatkan tekanan darah dan telah meningkatkan
jumlah dengan CKD memajukan adalah hormon paratiroid (PTH). PTH ini menimbulkan
kalsium dalam darah, yang juga dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah,
mengakibatkan hipertensi.
Sebuah kondisi yang dapat menyebabkan CKD dan hipertensi arteri stenosis
ginjal (penyempitan pembuluh darah yang mendukung ginjal). Ketika penyempitan
menjadi cukup parah, kurangnya aliran darah dapat menyebabkan hilangnya fungsi
ginjal. Jika suplai darah ke kedua ginjal dipengaruhi, atau aliran darah ke ginjal berfungsi
tunggal, seperti setelah penghapusan ginjal akibat kanker, terganggu, pasien akan
mengembangkan CKD. Penurunan aliran darah memicu sistem renin angiotensin,
menyebabkan hipertensi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur
pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi dinding pembuluh
darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada ginjal,
arteriosklerosis akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis. Gangguan ini
merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh darah
intrarenal. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus
dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak. Terjadilah gagal ginjal kronik.
Gagal ginjal kronik sendiri sering menimbulkan hipertensi. Sekitar 90% hipertensi
bergantung pada volume dan berkaitan dengan retensi air dan natrium, sementara <
10% bergantung pada renin.
Tekanan darah adalah hasil perkalian dari curah jantung dengan tahanan perifer.
Pada gagal ginjal, volum cairan tubuh meningkat sehingga meningkatkan curah jantung.
Keadaan ini meningkatkan tekanan darah. Selain itu, kerusakan nefron akan memacu
sekresi renin yang akan mempengaruhi tahanan perifer sehingga semakin meningkat.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun
penyakit ginjal kronik, baik pada kelainan glumerolus maupun pada kelainan vaskular.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan dalam :
 Penyakit glumerolus akut
Hipertensi terjadi karena adanya retensi natrium yang menyebabkan
hipervolemik. Retensi natrium terjadi karena adanya peningkatan reabsorbsi
natrium di duktus koligentes. Peningkatan ini dimungkankan abibat adanya
retensi relatif terhadap Hormon Natriuretik Peptida dan peningkatan aktivitas
pompa Na – K – ATPase di duktus koligentes.
 Penyakit vaskuler
Pada keadaan ini terjadi iskemi yang kemudian merangsang sistem rennin
angiotensin aldosteron.
 Gagal ginjal kronik
Hipertensi yang terjadi karena adanya retensi natrium, peningkatan system.
 Renin Angiotensinogen Aldosteron
Akibat iskemi relatif karena kerusakan regional, aktifitas saraf simpatik yang
meningkat akibat kerusakan ginjal, hiperparatiroidit sekunder, dan pemberian
eritropoetin.
 Penyakit glumerolus kronik Sistem
Renin-Angiotensinogen-Aldoteron (RAA) merupakan satu system hormonal
enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperan dalm naiknya tekanan
darah, pangaturan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit.
Dengan terjadinya kegagalan ginjal berpengaruh terhadap nefron-nefron. Sebagian
nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak
(hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh akan mengalami hipertrofi dan
memproduksi volume filtrasi yang meningkat dan disertai reabsorpsi walaupun dalam
keadaan penurunan GFR / daya saring.
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–
nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa
direabsorpsi sehingga berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya
karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak maka oliguri timbul disertai retensi
produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% -
90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian, nilai kreatinin clearance turun sampai
15 ml/menit atau lebih rendah dari itu (Barbara C Long, 1996).
Dengan menurunnya fungsi renal, maka produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah, sehingga Terjadi uremia
dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah
maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
(Brunner & Suddarth, 2001).

3. Hemodialisa
3.1. Definisi
Menurut Price dan Wilson (2005) dialisa adalah suatu proses dimana solute
dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal
merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua
teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa
sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan
sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran
semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk
memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui
ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air
plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan
memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang
dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan
dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox,
1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang
dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk
membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam
sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah,
maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa)
melalui pembedahan (NKF, 2006).

3.2. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme
yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

3.3. Indikasi
Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja
purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya.
Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100
ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang
dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat
tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan
konvensional gagal mempertahankan rft normal. Crf, ketika pengobatan
konvensional tidak cukup, Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan
hemodialisa:
o Peningkatan bun > 20-30 mg%/hari,
o Serum kreatinin > 2 mg%/hari,
o Hiperkalemia,
o Overload cairan yang parah,
o Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
o Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%,
o Hiperkalemia,
o Asidosis metabolik yang parah.

3.4. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa,
akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,
sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut
(PERNEFRI, 2003).

3.5. Proses
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa
berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran
darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk
dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi
sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh
efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan
ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan
mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox, 1997).
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu
saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk
menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa
metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa
diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke
dalam mesin hemodialisa (NKF, 2006).
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain
untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah
ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan
sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler
halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung
kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan
kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler
(Price & Wilson, 1995).
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar
tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter
masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran
semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah
dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah
darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam
tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).
Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem
dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa.
Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui
dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan dialisa
membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan
suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa
pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian
dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga
sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi
sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi,
osmosis, dan ultrafiltrasi.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik
antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan
meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan
meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek
vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif.
Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan
kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan
garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan
darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit
ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk
membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit)
merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan
pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah.
Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk
menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan
monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson,
1995).
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi
2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu dengan QB
200–300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan
waktu 3 – 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 – 3 hari
diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi.
Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah
rusak dalam proses hemodialisa.

3.6. Komplikasi
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
 Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi
pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
 Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya
dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan
kelebihan tambahan berat cairan.
 Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan
kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh
terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
 Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan
dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat
dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara
kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan
air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim
dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan
azotemia berat.
 Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor
pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
 Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa
juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.

 Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan
sakit kepala.
 Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

3.7. Penatalaksaan Pasien dengan Hemodialisa Jangka Panjang


 Diet dan asupancairan.
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginajal yang rusak tidak mampu
mengekresikan produk akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini akan
menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin yang di
kenal dengan gejala uremik.
 Pertimbangan medikasi.
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien
yang memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat untuk memastikan
agar kadar obat-oabatan dalam darah dan jaringan dapat di pertahankan tanpa
menimbulkan akumulasi toksik.
4. Konsep Asuhan Keperawatan Pasien CKD et causa Hipertensi dan Hemodialisa
4.1. Pengkajian
1) Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda,
dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
2) Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi),
mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada
kulit.
3) Riwayat penyakit
a) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.
b) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,
prostatektomi.
c) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
4) Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan
dalam (Kussmaul), dyspnea.
5) Pemeriksaan Fisik :
a) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:
Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum,
kental dan banyak.
Tanda:
Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa
sputum.
b) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:
Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada atau angina dan
sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda:
Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak
tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub
perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.
c) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.
d) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)
Gejala:
Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna
urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal
tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda:
Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.
e) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan
Diare
f) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam
hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda:
Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit,
fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi
keterbatasan gerak sendi.
6) Pola aktivitas sehari-hari
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal
kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan
yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah
dimengerti pasien.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum
yang kurang. dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi
status kesehatan klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan
berat badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut
(amonia), Penggunaan diuretic, Gangguan status mental, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran,
kejang, rambut tipis, kuku rapuh.
c) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat,
tidak dapat kencing. Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine,
(pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.

d) Pola tidur dan Istirahat


Gelisah, cemas, gangguan tidur.
e) Pola Aktivitas dan latihan
Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak
mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan
otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
f) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan
fungsi peran).
g) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa
pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu
melihat dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/
tidak.
h) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya
biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami
kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).
i) Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas
maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta
orgasme. Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
j) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,
perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien
tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta
gagal ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah
maupun mempengaruhi pola ibadah klien

4.2. Diagnosa Keperawatan


 Pre Hemodialisa
 Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
 Resiko ketidak efektifan perfusi ginjal berhubungan dengan penyakit
ginjal (CKD)
 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alrveolar kapiler (edema paru)
 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
(peningkatan usaha nafas)
 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai
O2 dan kebutuhan
 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urine, diet cairan berlebih, retensi cairan & natrium.
 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi
Na dan H2O)
 Mual berhubungan dengan gangguan biokimia (uremia)
 Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera biologis
(pembengkakan renal)
 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh
behubungan dengan prognosis penyakit dan gangguan metabolik
serta kadar asam basa dalam tubuh.
 Intra Hemodialisa
 Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi
saat dan setelah pemasangan AV shunt
 Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan proses hemodialisa
yang mengerluarkan cairan dari dalam tubuh
 Resiko perdarahan berhubungan dengan pemasangan AV shunt
 Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap
penusukan & pemeliharaan akses vaskuler.
 Post Hemodialisa
 Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt
 Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberia heparin
 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
sindrom ketidak seimbangan dialisa

4.3. Rencana Keperawatan


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
cairan berlebih, retensi cairan & natrium
o Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x4 jam, volume cairan
seimbang
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Fluid overload severity

No Indikator 1 2 3 4 5
1 Tekanan darah
2 Berat badan
3 Edema
4 Pusing

Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Fluid Management
 kaji intake dan output cairan,
 timbang berat badan secara rutin
 Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
 monitor hasil lab terkait retensi cairan
 Kaji lokasi dan berat edema
 Kolaborasi tindakan dialisis
 monitor BB pasien setelah dialisis
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai O2 dan
kebutuhan
o Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x4 jam, diharapkan
klien dapat melakukan ADL dengan bantuan minimal
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Activity Tolerance

No Indikator 1 2 3 4 5
1 Jarak berjalan
kelelahan
2 kemampuan
beraktivitas sehari hari

3 nyeri otot
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Activity Therapy
 kaji kemampuan pasien untuk beraktivitas sehari hari
 dampingi pasien saat beraktivitas
 dampingi pasien atau keluarga untuk mengidentifikasi defisit
aktivitas
 berikan reinforcement saat klien biasa beraktivitas mandiri
 monitor status emosional, sosial dan spiritual sebagai respon
aktivitas
 kaji dampak nyeri terhadap aktivitas
 ajarkan manajemen nyeri misal teknik distraksi, relaksasi
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler
alveolus dan edema paru.
o Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan pertukaran gas kembali
normal
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Respiratory Status : Gas Exchange
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. PaO2
2. PaCO2
3. pH arteri
4. SaO2
5. Sesak saat istirahat
6. Sesak saat aktivitas ringan
Keterangan :
1. Gangguan parah/severe deviation
2. Gangguan berat/subtantial deviation
3. Gangguan sedang/moderate deviation
4. Gangguan ringan/mild deviation
5. Tidak ada gangguan/no deviation
o NIC : Respiratoty Monitoring
 Kaji kedalaman, irama nafas
 Monitor status oksigenasi, misalnya SpO2, PaO2, PaCO2, dll
 Auskultasi bunyi nafas, catat crakles, mengi.
 Anjurkan pasien untuk batuk efektif
 Pertahankan duduk/ posisi semi fowler selama fase akut
 Auskultasi bunyi nafas, catat penurunan dan atau bunyi tambahan.
4. Nyeri akut b.d agen cedera fisik (insersi akses vaskular)
o Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan nyeri dapat terkontrol
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Pain Level
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. Melaporkan nyeri
2. Lama nyeri
3. Ekspresi wajah saat nyeri
4. Menangis
5. RR
6. TD
Keterangan :
1. Gangguan parah/severe deviation
2. Gangguan berat/subtantial deviation
3. Gangguan sedang/moderate deviation
4. Gangguan ringan/mild deviation
5. Tidak ada gangguan/no deviation
o NIC : Pain Management
 Monitor dan kaji karakteristik dan lokasi nyeri.
 Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, kesadaran).
 Anjurkan pada pasien agar segera melaporkan bila terjadi nyeri dada.
 Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman.
 Ajarkan dan anjurkan pada pasien untuk melakukan tehnik relaksasi.
 Kolaborasi dalam:
 Pemberian oksigen.
 Obat-obatan (beta blocker, anti angina, analgesic)

5. Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt


o Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x4 jam, resiko infeksi
dapat diminimalkan
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Infection Severity

No Indikator 1 2 3 4 5
1 Warna kulit sekitar
insersi

2 Suhu disekitar insersi

3 Rembesan drainase di
sekitar insersi
4.
Pergeseran kanula
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Infection Control
i. monitor TTV
ii. hindari mengukur TD di lengan yang terdapat fistula
iii. pakai teknik aseptik saat prosedur dialisa
iv. ajarkan klien dan keluarga tanda gejala yang membutuhkan
penanganan medis
v. kaji daerah sekitar insersi
6.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid
3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai