Anda di halaman 1dari 64

PROPOSAL

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN SELF EFFICACY PADA


PASIEN DM TIPE II DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KELIR
KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN 2020

OLEH:

AHMAD TAUFIK

NIM: 2016.02.043

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

BANYUWANGI

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Mellitus merupakan penyakit tidak menular yang menjadi

masalah kesehatan yang cukup besar di Indonesia pada saat ini. Diabetes

Mellitus merupakan faktor resiko dari berbagai penyakit kardiovaskuler

(Toharin Syamsi Nur Rahman, 2015). Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit

metabolik yang ditandai dengan adanya kenaikan gula darah yang terjadi

karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Yuniar Dwi, dkk,

2016). Penyakit Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit

metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

sekresi insulin, kinerja insulin atau kedua-duanya (ADA, 2010).

Prevalensi Diabetes Melitus menurut WHO (World Health

Organization) memperkirakan bahwa tahun 2025, jumlah penderita Diabetes

mellitus akan meningkat menjadi 300 juta orang. Sedangkan di Amerika

Serikat setiap 60 detik seseorang didiagnosa menderita Diabetes mellitus dan

mencapai lebih dari 14 juta orang Amerika mengidap penyakit Diabetes

mellitus (Tamara Ervy, 2014). Indonesia merupakan Negara yang menduduki

urutan ke-7 dengan penderita Diabetes melitus terbanyak dengan jumlah

penderita sebanyak 7,6 juta jiwa dan diperkirakan akan terus meningkat 6%

setiap bulannya (Tamara Ervy, 2014). Di Indonesia pada tahun pada tahun

2018 mencapai 5,7% mengalami penyakit Diabetes Mellitus atau penyakit

tidak menular (Profil Kesehatan Indonesia 2018). Menurut laporan Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 angka prevalensi Diabetes Mellitus di

1
2

Jawa Timur 2013 usia ≥ 15 tahun sebesar 1,9% sedangkan tahun 2018 usia ≥

15 tahun meningkat menjadi 2,5% dari jumlah populasi. Prevalensi di

Kabupaten Banyuwangi jumlah penderita Diabetes Mellitus mencapai 20,151

orang. Salah satu Puskesmas yang masih memiliki angka tertinggi untuk

masalah kesehatan Diabetes Mellitus adalah Puskesmas Kelir dimana menurut

data dari Dinas Kesehatan tahun 2019 prevalensi Diabetes Mellitus di

Puskesmas Kelir sebesar 337 (80%) jiwa penderita Diabetes Mellitus (Dinas

Kesehatan Banyuwangi, 2019).

Diabetes Mellitus adalah salah satu penyakit degeneratif yang mungkin

akan menyebabkan berakhirnya hidup dengan episode terminal disertai dengan

komplikasi yang mungkin muncul (Yuniar Dwi, dkk, 2016). Penyakit Diabetes

Mellitus juga dapat mengalami kenaikan jumlah penderita berhubungan dengan

obesitas, riwayat diabetes, riwayat diabetes gestasional, metabolisme glukosa,

aktivitas fisik, ras/etnis dan usia yang yang lebih tua (IDF, 2015). Komplikasi

yang terjadi pada pasien Diabetus Miletus secara signifikan berdampak pada

kualitas hidup, biaya perawatan kesehatan yang tinggi dan morbiditas serta

menjadi penyebab utama kematian (Goh, Rusli & Khalid, 2015). Peran

keluarga adalah dengan memberikan dukungan kepada penderita DM type 2.

Dukungan keluarga sangat berperan penting dalam manajemen diabetes,

dimana anggota keluarga telibat dalam banyak aspek kegiatan perawatan

kesehatan yang diperlukan pasien diabetes. Dukungan keluarga memberikan

dampak positif pada kesehatan psikologis, kesejahteraan fisik dan kualitas

hidup. Tidak adanya dukungan dari keluarga berakibat pada kurangnya

kepatuhan terhadap pengobatan diabetes dan kontrol glikemik yang buruk.


3

Selain itu juga penderita tidak temotivasi untuk membuat perubahan atau

mendorong untuk melakukan perilaku yang tidak sehat serta melanggar efikasi

diri dan menyebabkan konflik (Niar, 2016).

Efikasi diri merupakan keyakinan individu akan kemampuannya untuk

mengatur dan melakukan tugas-tugas tertentu yang dibutuhkan untuk

mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Sumber efikasi diri berasal dari

pengalaman individu, pengalaman orang lain, persuasi sosial serta kondisi fisik

dan emosional (Niar, 2016).

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan Efikasi pada pasien

Diabetes Millitus type-2 berfokus pada keyakinan pasien untuk mampu

melakukan perilaku yang dapat mendukung perbaikan penyakitnya dan

meningkatkan manajemen perawatan dirinya seperti diet, latihan fisik,

medikasi, kontrol glukosa dan perawatan Diabetes Mellitus secara umum (Uun

& Alam, 2017). Selain itu pasien perlu memiliki pengetahuan yang benar,

motivasi, dan edukasi diri yang tinggi untuk meningkatkan aktivitas perawatan

diri dan mencegah komplikasi diabetes militus (Ariani Yesi, dkk, 2014). Salah

satu aspek yang memegang peranan penting dalam penatalaksanaan diabetes

militus type-2 adalah edukasi. Edukasi kepada pasien diabetes militus type-2

penting dilakukan sebagai langkah awal pengendalian Diabetes Mellitus type-

2. Edukasi diberikan kepada pasien Diabetes Mellitus type-2 dengan tujuan

untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pasien sehingga pasien

memiliki perilaku preventif dalam gaya hidupnya untuk menghindari

komplikasi Diabetes Mellitus type-2 jangka panjang (Uun & Alam, 2017).
4

Berdasarkan studi literatur tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Hubungan Dukungan Keluarga dengan Self Eficacy

pada Pasien Diabetes Mellitus type-2 di Wilayah Kerja Puskesmas Kelir

Banyuwangi Tahun 2020”. Sehingga setelah dilakukan penelitian ini bisa

menjadi refrensi untuk peneliti selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Self

Efficacy pada Pasien Diabetes Mellitus type-2 di Wilayah Kerja Puskesmas

Kelir Banyuwangi Tahun 2020?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang akan dicapai

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui Hubungan Dukungan Keluarga dengan Self Eficacy

pada pasien Diabetes Mellitus type-2 di wilayah kerja puskesmas Kelir

Banyuwangi Tahun 2020.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengidentifikasi Dukungan keluarga pada pasien Diabetes

Mellitus type-2 di wilayah kerja puskesmas Kelir Banyuwangi

tahun 2020.
5

1.3.2.2 Mengidentifikasi Self Eficacy pada pasien Diabetes Mellitus

type-2 di wilayah kerja Puskesmas Kelir Banyuwangi tahun

2020.

1.3.2.3 Menganalisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Self

Eficacy pada Pasien Diabetes Mellitus type-2 di wilayah kerja

Puskesmas Kelir Banyuwangi tahun 2020.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian adalah cukup besar,

terutama bagi :

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi

Institusi Pendidikan untuk menambah pengetahuan tentang penyakit-

penyakit yang masih sering terjadi di masyarakat.

1.4.2 Bagi Profesi Keperawatan

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi bagi

profesi keperawatan untuk memberikan pelayanan asuhan keperawatan

yang lebih optimal.

1.4.3 Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti yaitu menjadi

sebuah pengalaman dan menjadi sebuah kebanggan serta kepuasan

tersendiri ketika mampu memberikan suatu hal yang berarti bagi

perkembangan ilmu keperawatan.


6

1.4.4 Bagi Pasien

Diharapkan setelah dilakukan penelitian ini dapat memberikan

informasi bagi pasien sehingga pasien dapat meningkatkan self efficacy.

1.4.5 Bagi Tempat Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan

serta memperdalam pengetahuan tentang penyakit Diabetes Melitus

type-2 dan masukan sebagai profesi dalam mengembangkan

perencanaan yang akan dilakukan dalam memberikan penanganan pada

penyakit Diabetes Melitus type-2.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Diabetes Mellitus

2.1.1 Definisi

Diabetes millitus (DM) merupakan suatu gangguan kesehatan

berupa kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan

oleh peningkatan kadar gula dalam darah akibat kekurangan insulin

ataupun resistensi insulin dan gangguan metabolik pada umumnya.

Pada perjalanannya, penyakit diabetes akan menimbulkan berbagai

komplikasi baik yang akut maupun yang kronis atau menahun apabila

tidak dikendalikan dengan baik. Diabetes merupakan salah satu

penyakit degeneratif yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat

dikendalikan atau dikelola, artinya apabila seseorang sudah di diagnose

diabetes mellitus, maka seumur hidupnya akan bergaul dengannya

(Isniati, 2017).

Diabetes millitus adalah suatu sindroma klinik yang ditandai

oleh poliuri, polidipsi, dan polifagi serta peningkatan kadar glukosa

atau disebut hiperglikemia yaitu suatu kadar gula darah yang tingginya

sudah membahayakan. Hal tersebut dikarenakan tubuh tidak mampu

mengendalikan jumlah gula, atau glukosa, dalam aliran darah dan

terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat atau tidak ada, dengan

atau tanpa gangguan kerja insulin (Katzung, 2016).

Menurut World Health Organization (WHO) (2016) diabetes

mellitus merupakan penyakit kronis yang terjadi akibat dari pankreas

7
8

tidak menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah

atau glukosa), atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan

insulin yang dihasilkan.

Menurut Internasional diabetes federation (IDF) (2015) diabetes

adalah suatu kondisi kronis yang terjadi ketika tubuh tidak dapat

menghasilkan cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin. Dan

di diagnosis dengan mengamati peningkatan kadar glukosa dalam

darah.

Kesimpulan Diabetes Millitus adalah suatu kelainan pada

seseorang yang ditandai naiknya kadar glukosa dalam darah

(hiperglikemia) yang diakibatkan karena kekurangan insulin (Padila,

2017).

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Organisasi profesi yang berhubungan dengan Diabetes Mellitus

seperti American Diabetes Association (ADA) telah membagi jenis

Diabetes Mellitus berdasarkan penyebabnya PERKENI dan IDAI

sebagai organisasi yang sama di Indonesia menggunakan klasifikasi

dengan dasar yang sama seperti klasifikasi yang dibuat oleh organisasi

yang lainnya (Perkeni, 2015).


9

Klasifikasi Diabetes Mellitus bedasarkan etiologi Perkeni (2015)

adalah sebagai berikut:

1. Diabetes Mellitus tipe-1

Diabetes Mellitus yang tejadi karena kerusakan atau

destruksi sel beta di pankreas. Kerusakan ini berakibat pada

keadaan defisiensi insulin yang terjadi secara absolut. Penyebab

dan kerusakan sel beta antara lain autoimun dan idiopatik.

2. Diabetes Mellitus tipe-2

Penyebab Diabetes Mellitus tipe 2 seperti yang diketahui

adalah resistensi insulin. Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi

tidak dapat bekerja secara optimal sehingga dapat menyebabkan

kadar gula darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi insulin juga

dapat terjadi secara relatif pada penderita Diabetes Mellitus tipe 2

dan sangat mungkin untuk menjadi defisiensi insulin absolut.

3. Diabetes Mellitus tipe lain

Penyebab Diabetes Mellitus tipe lain sangat bervariasi.

Diabetes Mellitus tipe ini dapat disebabkan oleh defek genetik

fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin

pancreas, endokrinopati pankreas, obat, zat kimia, infeksi, kelainan

imunologi dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan

Diabetes Mellitus.

4. Diabetes Mellitus Gestasional.

Penyebab diabetes mellitus gestasional yaitu selama

kehamilan, peningkatan kadar hormon tertentu dibuat dalam


10

plasenta (organ yang menghubungkan bayi dengan tali pusat ke

rahim) nutrisi membantu pergeseran dari ibu ke janin. Hormon lain

yang diproduksi oleh plasenta untuk membantu mencegah ibu dari

mengembangkan gula darah rendah.

Selama kehamilan, hormon ini menyebabkan terganggunya

intoleransi glukosa progesif (kadar gula darah yang lebih tinggi).

Untuk mencoba menurunkan kadar gula darah, tubuh membuat

insulin lebih banyak supaya sel mendapat glukosa bagi

memproduksi sumber energi.

Biasanya pankreas ibu mampu memproduksi insulin lebih

(sekitar tiga kali jumlah normal) untuk mengatasi efek hormon

pada tingkat gula darah. Namun, jika pankreas tidak dapat

memproduksi insulin yang cukup untuk mengatasi efek dari

peningkatan hormone selama kehamilan, kadar gula darah akan

naik, mengakibatkan gestasional diabetes melitus.

2.1.3 Etiologi Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus (DM) disebabkan kegagalan relatif sel beta

dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan

insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer

dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak

mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi

defisiensi raltif insulin. Ketidak mampuan ini terlihat dari

berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa bersama bahan


11

perangsang sekresi insulin lain. Bererti sel beta pankreas mengalami

desensitasi terhadap glukosa (Aravinda Pravita Ichsantiarinia, 2015).

2.1.4 Faktor Resiko Diabetes Mellitus

Peningkatan jumlah Diabetes yang sebagian besar DM tipe 2,

berkaitan dengan beberapa faktor yaitu faktor resiko yang dapat

diubah dan faktor lain. Menurut American Diabetes Association

(ADA) bahwa Diabetes Mellitus berkaitan dengan faktor resiko yang

tidak dapat diubah meliputi riwayat keluarga dengan DM (first degree

relative), umur ≥45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan

berat badan lahir bayi ≥4000 gram atau riwayat pernah menderita

Diabetes Mellitus gestasional dan riwayat lahir dengan berat badan

rendah ≤2,5 kg. Faktor resiko yang dapat diubah meliputi obesitas

berdasarkan IMT ≥ 25kg/m2 atau lingkar perut ≥ 80 cm pada wanita

dan ≥90 cm pada laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi,

dislipidemi dan diet tidak sehat (Waspadji S, 2017).

Faktor lain yang berkaitan dengan resiko Diabetes adalah

penderita polycystic ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom

metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau

glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat

penyakit kardiovaskuler seperti stroke, penyakit jantung koroner, atau

Peripheral Artery Disease (PAD), konsumsi alkohol, faktor stres,

kebiasaan merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi dan kafein

(Waspadji S, 2017).
12

1) Obesitas (kegemukan)

Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar

glukosa darah, pada derajat kegemukan dengan IMT ≥23 dapat

menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.

2) Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus

Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga

mempunyai gen Diabetes. Diduga bahwa bakat Diabetes

merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot

dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.

3) Dislipedimia

Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar

lemak darah (Trigliserida ≥250 mg/dl). Terdapat hubungan antara

kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL (≤35 mg/dl)

sering didapat pada pasien Diabetes Mellitus.

4) Umur

Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena

Diabetes Mellitus adalah ≥45 tahun.

5) Faktor Genetik

Diabetes Mellitus tipe 2 berasal dari infeksi genetik dan

berbagai faktor mental. Penyakit ini sudah lama dianggap

berhubungan dengan agregasi familial. Resiko empiris dalam hal

terjadinya Diabetes Mellitus tipe 2 ini akan meningkat dua sampai

enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami

penyakit ini.
13

6) Alkohol dan Rokok

Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan

dengan peningkatan frekuensi Diabetes Mellitus tipe 2. Walaupun

kebanyakan peningkatan ini dihubungkan dengan peningkatan

obesitas dan pengurangan ketidakaktifan fisik, faktor-faktor lain

yang berhubungan dengan perubahan dari lingkungan tradisional

kelingkungan kebarat-baratan yang meliputi perubahan-perubahan

dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam

peningkatan Diabetes Mellitus tipe 2. Alkohol akan mengganggu

metabolisme gula darah terutama pada penderita Diabetes Mellitus,

sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan

tekanan darah. Tekanan darahnya seseorang akan meningkat

apabila mengonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara

dengan 100ml proof wiski, 240 ml wine atau 720 ml.

Faktor resiko tidak menular, termasuk Diabetes Mellitus

tipe 2 ini dibedakan menjadi dua yaitu pertama adalah faktor resiko

yang tidak dapat berubah misalnya umur, faktor genetik, pola

makan yang tidak seimbang, jenis kelamin, patofisiologi status

perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, aktifitas fisik,

kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh

(Waspadji S, 2017).
14

2.1.5 Patofisiologi Diabetes Mellitus

Patofisiologi Diabetes Mellitus tipe 2 terdapat beberapa

keadaan yang berperan yaitu:

1) Resistensi insulin

Gen Insulin manusia terletak pada lengan pendek dari

kromosom 11. Molekul prekusor yaitu praprounsulin, suatu peptide

rantai panjang dengann BM 11.500 dihasilkan oleh sintesis yang

diarahkan oleh DNA/RNA dalam reticulum endiplasmik dari sel-

sel beta pankreas . molekul dibelah oleh enzim-enzim microsomal

menjadi granul-granul sekretorik berlapis klatrin yang selanjutnya

disebut insulin (Simanjuntak, 2013). Insulin adalah hormon

pankreas yang dihasilkan oleh sel β Langerhan yang berfungsi

menurunkan kadar gula darah dengan menekan pengeluaran

hepatic glucose melalui penurunan glukoneogenolisis dan

menurunkan kadar gula darah dengan merangsang penyimpanan

terutama ke otot dan jaringan lemak melalui Glicose Transporte-4

(GLU-4) (Rao, 2009).

Pada resistensi insulin insulin terjadi kerusakan pensinyalan

pada insulin reseptor substrate (IRS) maupun Phosphatidylinositol

3-Kinase (PI3K) yang menyebabkan gagalnya translokasi suatu

molekul transmembran GLUT-4 ke membran sel sehingga glukosa

tidak dapat masuk ke dalam sel dan digunakan oleh sel tersebut

sebagai sumber energi. Glukosa yang tidak terpakai ini akan

menyebabkan kadar glukosa darah meningkat yang secara klinis


15

akan memberikan gambaran hiperglikemi (Immanuel, 2013). Peran

gen apabila terjadi resisten insulin pada sindroma metabolik ini

ditemukan adanya mutasi pada kedua alel reseptor insulin, namun

kasus ini jarang terjadi. Beberapa data menunjukkan gangguan

aktivitas insulin akibat mutasi IRS-1 dan 2 (Simanjutak, 2013).

2) Disfungsi sel beta pankreas

Diabetes Mellitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya

sekresi insulin, namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau

tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim

disebut sebagai “resistensi insulin” (Wapadji S, 2017). Resistensi

insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya aktivitas

fisik serta penuaan. Pada penderita Diabetes Mellitus tipe 2 dapat

juga terjadi produksi glukosa hepatic yang berlebihan namun tidak

terjadi kerusakan sel-sel beta Langerhans secara autoimun seperti

Diabetes Mellitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita

Diabetes Mellitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut

(Waspadji S, 2017).

Diabetes Mellitus tipe 2, sel beta menunjukkan gangguan

pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal

mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan

baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel

beta pancreas. Kerusakan sel-sel beta pancreas akan terjadi secara

progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin, sehingga

akhirnya penderita memerlukan insulin oksigen. Pada penderita


16

Diabetes Mellitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua

faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.

2.1.6 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus

Tanda dan gejala Diabetes Mellitus menurut Smelzer (2016)

dan Kowalak (2015), yaitu:

1) Poliuria (air kencing keluar banyak) dan polidipsi (rasa haus yang

berlebihan) yang disebabkan karena osmolalitas serum yang tinggi

akibat kadar glukosa serum yang meningkat.

2) Anoreksia dan polifagi (rasa lapar yang berlebihan) yang terjadi

karena glukosuria yang menyebabkan keseimbangan kalori negatif.

3) Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan yang disebabkan

penggunaan glukosa oleh sel menurun.

4) Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa

gatal pada kulit.

5) Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas disebabkan

oleh kadar glukosa intrasel yang rendah.

6) Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil akibat

ketidakseimbangan elektrolit.

7) Gangguan penglihatan ssepertti pandangan kabur yang disebabkan

karena pembengkakan akibat glukosa.

8) Sensasi kesemutan atau kebas di tangan dan kaki yang disebabkan

kerusakan jaringan saraf.


17

9) Gangguan rasa nyaman dari nyeri pada abdomen yang disebabkan

karena neuropati otonom yang menimbulkan konstipasi. Mual,

diare, dan konstipasi yang disebabkan karena dehidrasi dan

ketidakseimbangan elektrolit serta neuropati otonom.

2.1.7 Komplikasi Diabetes Mellitus

Komplikasi diabetes mellitus menurut Perkumpulan Endokrin

Indonesia (PERKENI), (2015) diklasifikasikan menjadi komplikasi

akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut terjadi karena intoleransi

glukosa yang berlangsung dalam jangka waktu pendek yang

mencakup: (Waspadji S, 2107).

1) Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah keadaan dimana glukosa dalam darah

mengalami penurunan dibawah 50 sampai 60 mg/dl disertai dengan

gejala pusing, gemetar, lemas, pandangan kabur, keringat dingin,

serta penurunan kesadaran.

2) Ketaoasidosis Diabetes (KAD)

KAD adalah suatu keadaan yang ditandai dengan asidosis

metabolik akibat pembentukan keton yang berlebih.

3) Sindrom Nonketotik Hiperosmolar Hiperglikemik (SNHH)

Suatu keadaan koma dimana terjadi gangguan metabolisme

yang menyebabkan kadar glukosa dalam darah sangat tinggi,

menyebabkan dehidrasi hipertonik tanpa disertai ketosis serum.


18

Komplikasi kronik menurut (Waspadji S, 2017) biasanya

terjadi pada pasien yang menderita Diabetes Melitus lebih dari 10-

15 tahun. Komplikasi mencakup:

1) Penyakit makrovaskuler (pembuluh darah besar) biasanya penyakit

ini mempengaruhi sirkulasi koroner, pembuluh darah perifer, dan

pembuluh darah otak.

2) Penyakit mikrovaskuler (pembuluh darah kecil) biasanya penyakit

ini mempengaruhi mata (retinopati) dan ginjal (nefropati), kontrol

kadar gula darah untuk menunda atau mencegah komplikasi

mikrovaskuler maupun makrovaskuler.

3) Penyakit neuropatik mempengaruhi saraf sensorik, motorik, dan

otonom yang mengakibatkan beberapa masalah seperti impotensi

dan ulkus kaki.

2.1.8 Diagnosis Diabetes Melitus

Keluhan dari gejala yang khas ditambahi hasil pemeriksaan

glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl, glukosa darah puasa ≥126 mg/dl

sudah cukup untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus. Untuk

diagnose Diabetes Melitus dan gangguan toleransi glukosa lainnya

diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-

kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk

konfirmasi diagnosa Diabetes Melitus pada hari yang lain atau Tes

Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak


19

diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi

metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.

Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Melitus dan

pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang

menunjukkan gejala Diabetes Melitus, sedangkan pemeriksaan

penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang bergejala,

tetapi punya resiko Diabetes Melitus (usia ≥45 tahun, berat badan

lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang,

melahirkan bayi >4000 gr, kolestrol HDL <35 mg/dl, atau trigliserida

≥250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji

penyaring (Waspadji S, 2017).

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan

kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa,

kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO)

standar.

2.1.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus.

Penatalaksanaan pada pasien diabetes mellitus menurut

Perkeni (2015) dan Kolawak (2011) dibedakan menjadi dua yaitu

terapi farmakologi dan non farmakologi:

2.1.9.1 Terapi Farmakologi

Pemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan

pengaturan pola makan dan gaya hidup yang sehat. Terapi

farmakologi terdiri dari obat oral dan obat suntikan, yaitu


20

1) Obat antihiperglikemia oral

Menurut Persatuan Endokrin Indonesia (PERKENI),

(2015) berdasarkan cara kerjanya obat ini dibedakan

menjadi beberapa golongan, antara lain

(1) Pemacu sekresi insulin: Sulfoniluera dan Glinid Efek

utama obat sulfoniluera yaitu memacu sekresi insulin

oleh sel beta pankreas. Cara kerja obat glinid sama

dengan cara kerja obat sulfoniluera, dengan penekanan

pada peningkatan sekresi insulin fase pertama yang

dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.

(2) Penurunan sensitivitas terhadap insulin: Metformin dan

Tiazolidindion (TZD), efek utama metrofin yaitu

mengurangi produk glukosa hati (glukoneogenesis) dan

memperbaiki glukosa perifer. Sedangkan efek dari

Tiazolidindon (TZD) adalah menurunkan resistensi

insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa,

sehingga meningkatkan glukosa di perifer.

(3) Penghambatan absorpsi glukosa: penghambat

glukosidase alfa. Fungsi obat ini bekerja dengan

memperlambat absorpsi glukosa dalam usus halus,

sehingga memiliki efek menurunkan kadar gula darah

dalam tubuh sesudah makan.

(4) Penghambatan DPP-IV (Dipeptidil Peptidase_IV) Obat

golongan penghambat DPP_IV berfungsi untuk


21

menghambat kerja enzim DPP_IV sehingga GLP-1

(Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang

tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk

meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi

glucagon sesuai kadar glukosa darah (glucose

dependent).

2) Kombinasi obat oral dan suntikan insulin

Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin

yang banyak dipergunakan adalah kombinasi obat

antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja

menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan pada

malam hari mmenjelang tidur. Terapi tersebut biasanya

dapat mengendalikan kadar glukosa darah dengan baik jika

dosis insulin kecil atau cukup. Dosis awal insulin kerja

menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam

22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan

melihat nilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.

Ketika kadar glukosa darah sepanjang hari ini masih tidak

terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka

perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial,

serta pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan

(Perkeni, 2015).
22

2.1.9.2 Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi menurut Perkeni (2015) dan

Kowalak (2016) yaitu:

1) Edukasi

Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya

hidup menjadi sehat. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya

pencegahan dan bisa digunakan sebagai pengelolaan DM

secara holistik.

2) Terapi nutrisi medis (TNM)

Pasien DM perlu diberikan pengetahuan tentang

jadwal makan yang teratur, jenis makanan yang baik beserta

jumlah kalorinya, terutama pada pasien yang menggunakan

obat penurun glukosa darah maupun insulin.

3) Latihan jasmani atau olahraga

Pasien DM harus berolahraga secara teratur yaitu 3

sampai 5 hari seminggu selama 30 sampai 45 menit, dengan

total 150 menit perminggu, dan dengan jeda antara latihan

tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Jenis olahraga yang

dianjurkan bersifat aerobik dengan intensitas sedang yaitu

50 sampai 70% denyut jantung maksimal seperti: jalan

cepat, sepeda santai, dan berenang.


23

2.2 Dukungan Keluarga

2.2.1 Definisi Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga merupakan proses yang menjalin

hubungan antar keluarga melalui sikap, tindakan dan penerimaan

keluarga yang berlangsung selama masa hidup (Friedman, 2014)

dukungan keluarga bisa berupa dukungan internal maupun eskternal.

Dukungan yang diberikan berupa dukungan emosional, penghargaan,

informasi dan instrumental (Friedman, 2014).

2.2.2 Dimensi Dukungan Keluarga

Dimensi hubungan keluarga hersaling (2009) adalah :

1) Dimensi Dukungan Emosional

Dukungan yang melibatkan perasaan empati dan perhatian

terhadap seseorang sehingga membuatnya merasa lebih baik,

dihargai dan dimiliki. Dukungan ini juga untuk menunjukkan

adanya perhatian terhadap anggota keluarga yang menderita sakit

diabetes melitus (Friedman, 2014).

2) Dimensi Dukungan Penghargaan

Dukungan ini membuat seseorang merasa berharga dan

dihargai anggota keluarga dan member penguat yang positif kepada

anggota keluarga yang sakit. Dapat dikatakan bahwa adanya

dukungan penghargaan kepada anggota keluarga yang menderita

diabetes melitus apabila keluarga yang lain memberikan motivasi

semangat. Sehingga penderita diabetes mellitus dapat berperilaku


24

sehat untuk meningkatkan status kesehatannya (Hensarling dalam

Yusra, 2011).

3) Dimensi Dukungan Instrumental

Dukungan yang bersifat nyata, dimana dukungannya

bersifat langsung. Dukungan instrumental merupakan suatu

dukungan penuh keluarga dalam bentuk bantuan tenaga, dana

maupun waktu untuk melayani dan mendengarkan keluarga yang

sakit dalam mengungkapkan perasaan yang dialami (Friedman,

2014).

4) Dimensi Dukungan Informasi

Dukungan informasi merupakan suatu dukungan atau

bantuan yang diberikan berupa saran atau masukan nasehat atau

arahan dan memberikan informasi-infirmasi penting yang

dibutuhkan keluarga yang sakit dalam upaya meningkatkan status

kesehatannya (Hersarling dalam Yusra, 2011). Dukungan informasi

yang diperlukan pasien diabetes mellitus berupa pemberian

informasi terkait kondisi yang dialaminya dan bagaimana cara

perawatannya (Friedman, 2014).

2.2.3 Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga

Menurut setiadi (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi

dukungan keluarga ada faktor internal dan faktor ekternal meliputi

tahap pendidikan atau tingkat pengetahuan, emosi dan spiritual.


25

Sedangkan faktor ekternal meliputi praktik dikeluarga, sosial ekonomi

dan latar belakang budaya (Muharina Amelia, 2013).

2.2.3.1 Faktor Internal

1) Pendidikan Atau Tingkat Pengetahuan

Keyakinan seseorang dengan adanya dukungan

keluarga yang terdiri dari pendidikan, pengetahuan dan

pengalaman masa lalu seseorang mendapat dukungan

keluarga untuk menjaga kesehatannya sesuai dengan

pengetahuan yang dimilikinya.

2) Emosi

Emosi merupakan respon stress yang dapat

mempengaruhi keyakinan seseorang terhadap dukungan

keluarga. Emosi mempengaruhi koping seseorang.

3) Spiritual

Nilai dan keyakinan yang dilaksanakan oleh

keluarga yang berpengaruh terhadap dukungan keluarga.

Semakin baik nilai spiritual yang dimiliki maka akan

semakin baik pula dukungan keluarga yang diberikan.

2.2.3.2 Faktor Eksternal

1) Sosial ekonomi

Meningkatkan resiko terjadinya penyakit karena

bergantung pada tingkat pendapatan keluarga. Seseorang

yang tingkat sosial ekonominya tinggi akan segera


26

merespon penyakit serta keluarga yang sangat

memperdulikannya.

2) Budaya

Nilai individu dalam memberikan dukungan

keluarga kepada penderita. Seseorang yang memiliki

kebiasaan untuk ke pelayanan kesehatan maka akan

berimbas ke anggota keluarga yang lain.

3) Peran Keluarga Dalam Perawatan Penderita Diabetes

Mellitus

Peran keluarga dalam perawatan penderita DM

sangat penting untuk meminimalkan terjadinya komplikasi

dengan meningkatkan manajemen perawatan diri pasien

Diabetes Mellitus.

2.2.4 Instrumen Dukungan Keluarga

Pengukuran yang digunakan untuk mengukur dukungan

keluarga menggunakan kuisioner oleh Nursalam, (2013) yaitu

meliputi beberapa aspek yang terdiri dari dukungan emosional dan

penghargaan, dukungan fasilitas, dan dukungan

informasi/pengetahuan. Skor dari kuisioner dukungan keluarga terdiri

dari selalu (3), sering (2), kadang-kadang (1), tidak pernah (0) dengan

skoring total yaitu baik 50-100%, cukup = 25-49%, kurang = 0-24%.


27

1) Dukungan Emosional dan Penghargaan

Dukungan emosional dan penghargaan memberikan

individu perasaan nyaman, aman, merasa dicintai, empati, rasa

percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa

berharga. Pada dukungan emosional dan penghargaan ini keluarga

menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat.

2) Dukungan Fasilitas

Dukungan ini meliputi dukungan jasmani seperti

pelayanan, bantuan finansial dan juga materi berupa bantuan

nyata (Instrumental support material support), suatu kondisi

dimana jasa akan membantu memecahkan masalah, termasuk

didalamnya bantuan secara langsung, seperti saat seorang

memberi atau meminjamkan uang, menyampaikan pesan,

membantu pekerjaan sehari-hari, menyediakan transportasi,

menjaga atau merawat saat sakit.

3) Dukungan Informasi/Pengetahuan

Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan

tanggung jawab bersama, termasuk memberikan solusi,

mengingatkan, nasehat, saran atau umpan balik tentang apa yang

akan dilakukan oleh seseorang, keluarga dapat memberikan

informasi mengenai hasil pemeriksaan dokter, terapi yang baik

bagi anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan dan

tindakan yang spesifik bagi individu untuk melawan stresor. Pada


28

dukungan informasi ini, keluarga sebagai penghimpun informasi

dan pemberian informasi.

Tabel 2.2 Indikator Alat Ukur Dukungan Keluarga

No Indikator
1 Dukungan emosional dan penghargaan
2 Dukungan fasilitas
3 Dukumgan informas/pengtahuan
Pada pengisian skala ini, sampel dimimta untuk menjawab

pertanyaan yang ada dengan memilih salah satu jawaban dari

beberapa alternative jawaban yaitu 0= tidak pernah, 1= kadang-

kadang, 2=sering, 3=selalu dengan skoring total yaitu baik 50-100%,

cukup = 25-49%, kurang = 0-24%.

2.3 Efikasi Diri (Self Efficaccy)

2.3.1 Definisi

Konsep self efficacy sebenarnya adalah inti dari teori social

cognitive yang dikemukakan oleh Allbert Bandura yang menekankan

peran bel ajar observasional, pengalaman sosial, dan determinisme

timbal balik dalam pengembangan kepribadian. Menurut Bandura

(dalam Jess Feist & Feist, 2010:212) self efficacy adalah keyakinan

seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk

kontrol terhadap fungsi orang itu sendiri dan kejadian dalam

lingkungan. Bandura juga menggambarkan Self Efficacy sebagai

penentu bagaimana orang merasa, berfikir, memotivasi diri, dan

berperilaku (Bandura, 1994).


29

Efikasi diri merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang

diri atau self knowledge yang paling berpengaruh dalam kehidupan

manuisa sehari-hari. Hal ini disebabkan efikasi diri yang dimiliki ikut

mempengaruhi individu dalam menentukan tindakan yang akan

dilakukan untuk mencapai suatu tujuan temasuk di dalamnya

perkiraan sebagai kejadian yang akan dihadapi. Efikasi diri yakni

keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan mendapatkan

hasil positif. Efikasi diri juga berpengaruh besar terhadap perilaku

(Santrock, 2007).

Menurut Baron dan Byne mengatakan efikasi diri sebagai

evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya

untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi

hambatan. Bandura dan Woods menjelaskan bahwa efikasi diri

mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk

menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang

diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi (Ghufron, 2010).

Alwisol (2009), menyatakan bahwa efikasi diri sebagai

persepsi sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam

situasi tertentu, efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri

memliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. Efikasi

diri menurut Alwisol (2009) dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan

atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber,

yakni pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance

accomplishment), pengalaman vikarius (vicarious experiences),


30

persuasi sosial (social persuation) dan pembangkitan emosi

(emotional physiological states). Pengalaman performansi adalah

prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu. Pengalaman

vikarius diperoleh melalui model sosial. Persuasi sosial adalah rasa

percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistic dari apa yang

dipersuasikan.

Schunk (Anwar, 2009) mengatakan bahwa self efficacy sangat

penting perannya dalam mempengaruhi usaha yang dilakukan,

seberapa kuat usahanya dalam memprediksi keberhasilan yang akan

dicapai. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Woolfolk (Anwar,

2009) bahwa self efficacy merupakan penilaian seseorang terhadap

dirinya sendiri atau tingkat keyakinan mengenai seberapa besar

kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas tertentu untuk

mencapai haasil tertentu.

Gist dan Mitchell mengatakan bahwa efikasi diri dapat

membawa pada perilaku yang berbeda diantara individu dengan

kemampuan yang sama karena efikasi diri memengaruhi pilihan,

tujuan, pengatasan masalah, dan kegigihan dalam berusaha (Judge dan

Erez, 2010). Seseorang dengan efikasi diri percaya bahwa mereka

mampu melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian-kejadian

disekitarnya, sedangkan seseorang dengan efikasi diri rendah

menganggap dirinya pada dasarnya tidak mampu mengerjakan segala

sesuatu yang ada disekitarnya. Dalam situasi yang sulit, orang dengan

efikasi diri yang rendah cenderung mudah menyerah. Sementara orang


31

dengan efikasi diri yang tinggi akan berusaha lebih keras untuk

mengatasi tantangan yang ada. Hal senada juga diungkapkan oleh

Gist, yang menunjukkan bukti bahwa perasaan efikasi diri memainkan

satu peran penting dalam mengatasi, memotivasi pekerja untuk

menyelesaikan pekerjaan yang menantang dalam kaitannya dengan

pencapaian tujuan tertentu.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri

adalah keyakinan individu pada kemampuan dirinya sendiri dalam

menghadapi atau menyelesaikan suatu tugas, mencapai tujuan, dan

mengatasi masalah atau hambatan untuk mencapai suatu hasil dalam

situasi tertentu.

2.3.2 Aspek-aspek Self Efficacy

Menurut Bandura (2010), efikasi diri pada tiap individu akan

berbeda antara satu individu dengan yang lainnya berdasarkan tiga

dimensi. Berikut adalah tiga dimensi tersebut, yaitu:

1) Tingkat (level)

Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika

indvidu merasa mampu untuk melakukannya. Apabila individu

dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat

kesulitannya, maka efikasi diri individu mungkin akan terbatas

pada tugas-tugas yang mudah, sedang, atau bahkan meliputi tugas-

tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang

dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada

masing-masing tingkat. Dimensi ini memiliki implikasi terhadap


32

pemilihan tingkah laku yang dirasa mampu dilakukannya dan

menghindari tingkah laku yang berada di luar batas kemampuan

yang di rasakannya.

2) Kekuatan (strength)

Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari

keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya.

Pengharapan yang lemah mudah digoyahkan oleh pengalaman-

pengalaman yang tidak mendukung. Sebaliknya, pengharapan yang

mantap mendorong individu tetap bertahan dalam usahanya.

Meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang kurang

menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan

dimensi level, yaitu makin tinggi level taraf kesulitan tugas, makin

lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.

3) Generalisasi

Dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku yang

mana individu merasa yakin akan kemampuannya. Individu dapat

merasa yakin terhadap kemampuan dirinya. Apakah terbatas pada

suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkaian aktivitas

dan situasi yang bervariasi. Pada artikel Bandura (2006) yang

berjudul Guide For Contructing Self Efficacy Scales menegaskan

bahwa ketiga dimensi tersebut paling akurat untuk menjelaskan self

efficacy seseorang. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan

bahwa dimensi yang membentuk Self Efficacy adalah tingkat


33

(level), dimensi kekuatan (strenght), dan dimensi generalisasi

(generality).

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Efficacy

Menurut Bandura (2010) Self Efficacy dapat ditumbuhkan dan

dipelajari melalui empat hal, yaitu:

1) Pengalaman Menguasai Sesuatu (Mastery Experience)

Pengalaman menguasai sesuatu yaitu performa masa lalu.

Secara umum performa yang berhasil akan menaikkan Self Efficacy

individu, sedangkan pengalaman pada kegagalan akan

menurunkan. Setelah Self Efficacy kuat dan berkembang melalui

serangkaian keberhasilan, dampak negatif dari kegagalan-

kegagalan yang umum akan terkurangi secara sendirinya. Bahkan

kegagalan-kegagalan tersebut dapat diatasi dengan memperkuat

motivasi diri apabila seseorang menemukan hambatan yang tersulit

melalui usaha yang terus-menerus.

2) Modeling Sosial

Pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan

kemampuan yang sebanding dalam mengerjakan suatu tugas akan

meningkatkan Self Efficacy individu dalam mengerjakan tugas

yang sama. Begitu pula sebaliknya, pengamatan terhadap

kegagalan orang lain menurunkan penilaian individu mengenai

kemampuannya dan individu akan mengurangi usaha yang

dilakukannya.

3) Persuasi Sosial
34

Individu diarahkan berdasarkan saran, nasihat, dan

bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinannya tentang

kemampuan-kemampuan yang dimiliki dapat membantu

tercapainya tujuan yang diinginkan. Individu yang diyakinkan

secara verbal cenderung akan berusaha lebih keras untuk mencapai

suatu keberhasilan. Namun pengaruh persuasi tidaklah terlalu

besar, dikarenakan tidak memberikan pengalaman yang dapat

langsung dialami atau diamati individu. Pada kondisi tertekan dan

kegagalan yang terus-menerus, akan menurunkan kapasitas

pengaruh sugesti dan lenyap disaat mengalami kegagalan yang

tidak menyenangkan.

4) Kondisi Fisik dan Emosional

Emosi yang kuat biasanya akan mengurangi performa, saat

seseorang mengalami ketakutan yang kuat, kecemasan akut, atau

tingkat stress yang tinggi, kemungkinan akan mempunyai ekspetasi

efikasi yang rendah.

Tinggi rendahnya Self Efficacy seseorang dalam tiap tugas

sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh adanya bebrapa faktor

yang berpengaruh dalam mempersepsikan kemampuan diri

individu. Ada beberapa yang mempengaruhi Self Efficacy, antara

lain: (Bandura, 2009).

a) Budaya
35

Budaya mempengaruhi self-efficcacy melalui nilai (value),

kepercayaan (believe), dan proses pengaturan diri (self-regulation

process) yang berfungsi sebagai sumber penilaian self-efficacy dan

juga sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self-efficacy.

b) Jenis Kelamin

Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap self-efficacy.

Wanita efikasi dirinya lebih tinggi dalam mengelola perannya.

Wanita yang memiliki peran selain sebagai ibu rumah tangga, juga

sebagai wanita karir akan memiliki self-efficacy yang tinggi

dibandingkan dengan pria yang pekerja.

c) Sifat dari tugas yang dihadapi

Derajat kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi

oleh individu akan mempengaruhi penilaian individu tersebut

terhadap kemampuan dirinya sendiri. Semakin kompleks suatu

tugas yang dihadapi oleh individu maka akan semakin rendah

individu tersebut menilai kemampuannya. Sebaliknya, jika individu

dihadapkan pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan

semakin tinggi individu tersebut menilai kemampuannya.

d) Intensif Eksternal

Faktor lain yang mempengaruhi self-efficacy individu

adalah insentif yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa

salah satu faktor yang dapat meningkatkan self-efficacy adalah

competent contingens incentive, yaitu insentif yang diberikan oleh

orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang.


36

e) Status atau peran individu dalam lingkungan

Individu yang memiliki statuus lebih tinggi akan

memperoleh derajat kontrol yang lebih besar sehingga self-efficacy

yang dimilikinya juga tinggi. Sedangkan individu yang memiliki

status yang lebih rendah akan memiliki kontrol yang lebih kecil

sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga rendah.

f) Informasi tentang kemampuan diri

Individu akan memiliki self-efficacy tinggi, jika ia

memperoleh informasi posistif mengenai dirinya, sementara

individu akan memiliki self-efficacy yang rendah, jika ia

memperoleh informasi negative mengenai dirinya.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi self-efficacy

menurut (Maryati, 2008) mengatakan ada dua faktor yang

mempengaruhi, yaitu:

a) Pengalaman langsung, sebagai hasil dari pengalaman mengerjakan

sesuatu tugas dimasa lalu (sudah melakukan tugas yang sama

dimasa lalu).

b) Pengalaman tidak langsung, sebagai hasil observasi pengalaman

orang lain dalam melakukan tugas yang sama (pada waktu individu

mengerjakan sesuatu dan bagaimana individu tersebut

menerjemahkan pengalamannya tersebut dalam mengerjakan suatu

tugas).

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor

yang mempengaruhi self-efficacy adalah pengalaman keberhasilan


37

(master experience), pengalaman orang lain (vicarious persuation),

keadaan fisiologis dan emosi (physiological and affective state).

Selain itu juga self-efficacy dipengaruhi oleh dukungan keluarga.

Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan keluarga

yang besar dapat meningkatkan efikasi pendeita (Bonsaksen, 2012;

Chung et al., 2013; Hunt et al, 2012).

2.3.4 Dampak Self Efficacy

1) Pemilihan perilaku, misalnya keputusan akan dibuat berdasarkan

bagaimana efikasi yang dirasakan sesorang terhadap pilihan,

seperti tugas kerja atau bidang karir.

2) Usaha motivasi , misalnya orang akan mencoba lebih keras dan

lebih banyak berusaha dari suatu tugas yang mana efikasi diri

mereka lebih tinggi dari pada mereka yang memiliki efikasi yang

rendah.

3) Daya tahan, misalnya orang dengan efikasi diri tinggi akan mampu

bangkit dan bertahan saat menghadapi masalah atau kegagalan,

sementara orang dengan efikasi rendah cenderung menyerah saat

menghadapi rintangan.

4) Pola pemikiran fasilitatif, misalnya penilaian efikasi

mempengaruhi perkataan pada diri sendiri (Self-Talk) seperti

orang dengan efikasi diri tinggi ungkin mengatakan pada diri

sendiri, “saya tahu saya dapat menemukan cara untuk

memecahkan masalah ini”. Sementara orang dengan efikasi rendah


38

mungkin berkata pada diri sendiri, “saya tahu saya tidak bisa

melakukan hal ini, saya tidak mempunyai kemampuan”.

5) Daya tahan terhadap stres, misalnya orang dengan efikasi diri

rendah cenderung mengalami stres dan malas karena mereka

berfikiran gagal, sementara orang dengan efikasi diri tinggi

memasuki situasi penuh tekanan dengan percaya diri dan kepastian

maupun dengan demikian dapat menahan reaksi stres.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa efikasi

diri memiliki dampak dalam kehidupan seseorang, adapun dampak

dari efikasi diri antara lain, yaitu individu dapat memilih perilaku

yang tepat, memiliki motivasi yang tinggi dalam berusaha, mampu

bertahan ketika menghadapi masalah, memeliki pola pemikiran

fasilitatif, serta lebih tahan terhadap stres.

2.3.5 Fungsi Self Efficacy

Efikasi diri yang telah terbentuk akan mempengaruhi dan

member fungsi pada aktivitas individu. Bandura (1994) menjelaskan

tentang pengaruh dan fungsi tersebut, yaitu:

a) Fungsi kognitif

Bandura menyatakan bahwa pengaruh dari efikasi diri

pada proses kognitif seseorang sangat bervariasi. Pertama, efikasi

diriyang kuat akan mempengaruhi tujuan pribadinya. Semakin

kuat efikasi diri, semakin tinggi tujuan yang ditetapkan oleh

individu bagi dirinya sendiri dan yang memperkuat adalah


39

komitmen individu terhadap tujuan tersebut. Individu dengan

efikasi diri yang kuat akan mempunyai cita-cita yang tinggi,

mengatur rencana dan berkomitmen pada dirinya untuk mencapai

tujuan tersebut. Kedua, individu dengan efikasi diri yang kuat

akan mempengaruhi bagaimana individu tersebut menyiapkan

langkah-langkah antisipasi bila usahanya yang pertama gagal

dilakukan.

b) Fungsi motivasi

Efikasi diri memainkan peranan penting dalam pengaturan

motivasi diri. Sebagian besar motivasi manusia dibangkitkan

secara kognitif. Individu memotivaasi dirinya sendiri dan

menuntun tindakan-tindakannya dengan menggunakan pemikiran-

pemikiran tentang masa depan sehingga individu tersebut akan

membentuk kepercayaan mengenai apa yang dapat dirinya

lakukan. Individu juga akan mengantisipasi hasil-hasil dari

tindakan-tindakan yang prospektif, menciptakan tujuan bagi

dirinya sendiri dan merencakanakan bagian dari tindakan-

tindakan untuk merealisasikan masa depan yang berharga.

Efikasi diri mendukung motivasi dalam berbagai cara dan

menentukan tujuan-tujuan yang diciptakan individu bagi dirinya

sendiri dengan seberapa besar ketahanan individu terhadap

kegagalan. Ketika menghadapi kesulitan dan kegagalan, individu

yang mempunyai keraguan diri terhadap kemampuan dirinya akan

lebih cepat dalam mengurangi usaha-usaha yang dilakukan atau


40

menyerah. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat tehadap

kemampuan dirinya akan melakukan usaha yang lebih besar

ketika individu tersebut gagal dalam menghadapi tantangan.

Kegigighan atau ketekunan yang kuat mendukung bagi mencapai

suatu performansi yang optimal. Efikasi diri akan berpengaruh

terhadap aktivitas yang dipilih, keras atau tidaknya individu

dalam usaha mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

c) Fungsi Afeksi

Efikasi diri aka mempunyai kemampuan coping individu

dalam mengatasi besarnya stress dan depresi yang individu alami

pada situasi yang sulit dan menekan, dan juga akan

mempengaruhi tingkat motivasi individu tersebut. Efikasi diri

memegang peranan penting dalam kecemasan, yaitu untuk

mengontrol stress yang terjadi. Penjelasan tersebut sesuai dengan

pernyataan Bandura bahwa efikasi diri mengatur perilaku untuk

menghindari suatu kecemasan. Semakin kuat efikasi diri, individu

semakin berani menghadapi tindakan yang menekan dan

mengancam. Individu yang yakin pada dirinya sendiri dapat

menggunakan control pada situasi yang mengancam, tidak akan

membangkitkan pola-pola pikiran yang menggangu. Sedangkan

bagi individu yang tidak dapat mengatur situasi yang mengancam

akan mengalami kecemasan yang tinggi. Individu yang

memikirkan ketidakmampuan coping dalam dirinya dan

memandang banyak aspek dari lingkungan sekeliling sebagai


41

situasi ancaman yang penuh bahaya, akhirnya akan membuat

individu membesar-besarkan ancaman yang mungkin terjadi dan

khawatiran terhadap hal-hal yang sangat jarang terjadi. Melalui

pikiran-pikiran tersebut, individu menekan dirinya sendiri dan

meremehkan kemampuan dirinya sendiri.

d) Fungsi Selektif

Fungsi selektif akan mempengaruhi pemilihan aktivitas

atau tujuan yang akan diambil oleh individu. Individu

menghindari aktivitas dan situasi yang individu percayai telah

melampaui batas kemampuan coping dalam dirinya, namun

individu tersebut telah siap melakukan aktivitas-aktivitas yang

menantang dan memilih situasi yang dinilai mampu untuk diatasi.

Perilaku yang individu buat ini akan memperkuat kemampuan,

minat-minat dan jaringan sosial yang mempengaruhi kehidupan,

dan akhirnya akan mempengaruhi arah perkembangan personal.

Hal ini karena pengaruh sosial berperan dalam pemilihan

lingkungan, berlanjut untuk meningkatkan kompetensi, nilai-nilai

dan minat-minat tersebut dalam waktu yang lama setelah faktor-

faktor yang mempengaruhi keputusan keyakinan telah

memberikan pengaruh awal.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti menyimpulkan bahwa

efikasi diri dapat member pengaruh dan fungsi kognitif, fungsi

motivasi, fungsi afeksi, fungsi selektif pada aktivitas individu.


42

2.3.6 Pengukuran efikasi diri

Pengukuran Self Efficacy menggunakan pengukuran The

Diabetes Management Self-Efficacy Scale for type 2 DM (DMSES)

yang dikembangkan oleh Van der Bijil dan Shortridge-Bagget

(1999 dalam Kott, 2008). The Diabetes Management Self-Efficacy

Scale for type 2 DM (DMSES) didesain untukmengukur efikasi diri

pasien DM tipe 2 yang terdiri dari 20 item pernyataan. Instrumen

ini terdiri dari 4 subskala yaitu nutrisi dan berat badan (11 item),

medikasi dan perawatan kaki (3 item), latihan fisik (3 item), dan

kontrol gula darah (3 item). Instrument ini juga menggunakan skala

likert dengan 5 poin yaitu 1 untuk Ya, definitely sampai 5 untuk

Tidak, definitely not. Semakin tinggi total nilai mengidentifikasi

semakin rendah efikasi diri pasien. Instrumen ini khusus untuk

pasien DM tipe 2, pernyataan mudah dimengerti karena merupakan

pernyataan positif, dan pernah digunakan untuk penelitian di

Indonesia oleh Ismonah (2008) dengan nilai validitas ≥ 0,361 dan

reliabilitas 0,847 sehingga instrument ini yang akan digunakan

dalam penelitian. Skor dari kuisioner efikasi diri terdiri dari tidak

yakin (1), kurang yakin (2), cukup yakin (3), yakin (4), sangat

yakin (5). Skoring pada The Diabetes Management Self-Efficacy

Scale (DMSES) yaitu Baik = 56%-100%, cukup baik = 28%-55%, baik

= 56%-100% (Ismonah, 2008).


43

2.3 Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Efikasi Diri Terhadap Pasien

DM Tipe 2

Dukungan keluarga adalah suatu proses yang menjalin hubungan

antar keluarga dengan sikap, tindakan dan penerimaan keluarga yang

berlangsung semasa hidup (Friedman, 2014). Dukungan keluarga sendiri

sangat penting dalam manajemen diabetes tipe 2, dimana anggota keluarga

terlibat dalam banyak aspek kegiatan perawatan kesehatan yang diperlukan

pasien diabetes. Dukungan keluarga akan meningkatkan harapan dan kuaitas

hidup pada pasien diabetes. Dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh

orang dengan penderita diabetes sebagai sistem pendukung utama sehingga

dapat mengembangkan respon koping yang efektif untuk beradaptasi

dengan baik dalam menangani stresor yang dihadapi terkait penyakitnya

baik fisik, psikologis maupun sosial. Adanya dukungan keluarga yang besar

dapat meningkatkan efikasi diri penderita. Keyakinan pada diri pasien

diabetes melitus dapat ditunjukkan dari sebuah perilaku tertentu dan

mengubah pola pikir pada pasien diabetes itu sendiri (Makhfudi, 2018).

Dukungan keluarga memberikan dampak positif pada kesehatan psikologis,

kesejahteraan fisik dan kualitas hidup. Tidak adanya dukungan dari keluarga

berakibat pada kurangnya kepatuhan terhadap pengobatan diabetes dan

kontrol glikemik yang buruk. Selain itu juga penderita tidak temotivasi

untuk membuat perubahan atau mendorong untuk melakukan perilaku yang

tidak sehat serta melanggar efikasi diri dan menyebabkan konflik (Niar,

2106). Sumber efikasi diri berasal dari pengalaman individu, pengalaman

orang lain, persuasi sosial serta kondisi fisik dan emosional (Niar, 2016).
44

Efikasi pada pasien Diabetes Millitus type-2 berfokus pada keyakinan

pasien untuk mampu melakukan perilaku yang dapat mendukung perbaikan

penyakitnya dan meningkatkan manajemen perawatan dirinya seperti diet,

latihan fisik, medikasi, kontrol glukosa dan perawatan Diabetes Mellitus

secara umum (Uun & Alam, 2017).


45

2.4 Analisa Sintesis

No Penulis Judul Desain Analisa Variable Hasil Kesimpulan


Penelitian Data dan Alat
dan Ukur
Sampel
1 Ervy Hubungan Desain Analisa Varibel Berdasarkan Adanya
Tamara, Dukungan penelitian : data : Uni Independent hasil penelitian hubungan
Bayhakki Keluarga Cross variat, : Dukungan Hubugan yang
, Fathra dan Kualitas sectional Bivariat keluarga alat dukungan signifikan
Annis Hidup approach. dengan uji ukur: keluarga dan antara
Nauli Pasien Sampel : chi-square Hensarling kualitas hidup dukungan
Diabetes Consecutiv Diabetes pasien diabetes keluarga dan
Melitus Tipe e sampling Family melitus tipe 2 kualitas hidup
2 di RSUD Support menunjukkan pada pasien
Arifin Scale ada hubungan diabetes
Achmad (HDFSS). yang signifikan. melitus tipe 2.
Provinsi Variabel Dengan hasil : Karena
Riau Dependent : analisa data uji dukungan
kualitas chi-square keluarga
hidup alat menunjukkan diberikan
ukur: hasl p value dalam bentuk
Diabetes 0,030 yang emosional,
Ouality Of berate p value < instrumental,
Life (DQOL) 0,05. Artinya penghargaan
ada hubungan dan informasi
antara dukungan yang mampu
keluarga dan memberikan
kualitas hidup rasa nyaman
pasien DM tipe dan dapat
2 di RSUD meningkatkan
Arifin Achmad motivasi
di Provinsi Riau. pasien dalam
menjalani
pengobatan
dan perawatan
diri.
2 Yesi Motivasi dan Desain Analisa Variabel Berdasarkan Penelitian ini
Ariani, Efikasi Diri penelitian : data : uji Independent penelitian menyimpulka
Ratna Pasien cross chi-square : Motivasi. Motivasi dan n bahwa ada
Sitorus, Diabetes sectional. dan t Alat ukur : Efikasi Diri hubungan
Dewi Melitus Tipe Sampel : independen Treatment Pasien Diabetus antara
Gayatri 2 Dalam purposive t. Self- Melitus Tipe 2 motivasi
Asuhan sampling. Regulation Dalam Asuhan dengan efikasi
Keperawatan Questionnai Keperawatan diri. Dari
re (TSRQ). menunjukkan penelitian
Variabel hasil uji statistik tersebut
Dependent : menunujukkan diharapkan
Efikasi diri. ada hubungan perawat
Alat ukur : yang signifikan mampu
Diabetes antara dukungan meningkatkan
Managemen keluarga dengan motivasi dan
t Self- efikasi diri efikasi diri
Efficacy (p=0,010;α=0,05 pasien DM
Scale ; 95% CI; 1,152; tipe 2 dengan
(DMSES) 16,682). memberikan
pendidikan
46

kesehatan
terstruktur.
Selain itu,
dukungan
baik fisik
maupun
psikologis
dari perawat,
keluarga, dan
kelompok
pendukung
agar pasien
mampu
mengelola
penyakitnya
dengan baik.
3 Dwi Karakteristik Desain Analisa Variabel Berdasarkan Terdapat
Yuniar , Dukungan penelitian : data : Uji Independent Hasil analisis hubungan
Ramadha Keluarga cross Pearson : hubungan antara dukungan
ni, Fery dan Efikasi sectional. product Karaktersitik dukungan keluarga
Agusman Diri Pada Sampel : moment , Dukugan keluarga kurang dengan efikasi
MM, Rita Lanjut Usia Total dan regresi Keluarga. dengan efikasi diri lansia
Hadi Diabetes sampling linier. Alat ukur : diri lansia DM DM tipe 2
Melitus Tipe Hensarling tipe 2 baik di dengan p
2 di Diabetes dapatkan (p value 0,008
Kelurahan Family value=0,008; dengan nilai r
Padangsari, Support r=0,258). 0,258, tidak
Semarang Scale Didukung ada hubungan
(HDFSS). penelitian Ariani antara
Variabel yang karakteristik
Dependent : menunjukkan (p responden
Efikasi Diri value=0,010), dengan efikasi
Alat ukur : dimana diri, kecuali
Diabetes dukungan dengan jenis
Managemen keluarga kelamin.
t Self memiliki Factor yang
Efficacy for peluang 4,97 paling
tipe 2 kali berkontribusi
Diabetes menunjukkan pada efikasi
Melitus efikasi diri yang diri lansia
(DMSES) baik disbanding DM tipe 2
dengan adalah jenis
dukungan kelamin
keluarga (Ariani dengan nilai
et al, 2012). (p
value=0,o23;
B=2,235).
BAB 3
KERANGKA KONSEFTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Faktor yang mempengaruhi


1. Pengalaman menguasai sesuatu
2. Modeling sosial Alat ukur yang digunakan
3. Persuasi sosial yaitu Diabetes
4. Kondisi fisik dan emosional Management Self-Efficacy
Scale (DMSES). Skor dari
kuisioner efikasi diri
Faktor yang mempengaruhi self efikasi :
1. Pengalaman menguasai sesuatu
terdiri dari tidak yakin (1),
2. Modeling sosisal kurang yakin (2), cukup
3. Persuasi sosial yakin (3), yakin (4),
Self Efficaccy
4. Kondisi fisik dan emosional sangat yakin (5) dengan
5. Dukungan keluarga skoring total, baik = 56%-
100%, cukup = 28%-
55% ,kurang baik = 0-
27%.
Dukungan keluarga meliputi
1. Dukungan emosional
Dampak self-efficacy
2. Dukungan informasi
1. Pemilihan perilaku
3. Dukungan instrumental
2. Usaha motivasi
4. Dukungan penghargaan 3. Daya tahan
4. Pola pemikiran fasilitatif
5. Daya tahan terhadap stres

Alat ukur yang digunakan yaitu kuisioner oleh Nursalam, (2013) Skor dari
kuisioner dukungan keluarga terdiri dari selalu (3), sering (2), kadang-kadang (1),
tidak pernah (0) dengan skoring total yaitu baik 50-100%, cukup = 25-49%, kurang
= 0-24%.

Keterangan :

= Yang diteliti

= Yang tidak diteliti

= Penghubung

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Self-Efficacy


Pada Pasien DM Tipe 2 DI Puskesmas Kelir Banyuwangi Tahun
2020.

47
48

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau

pertanyaan peneliti (Nursalam, 2016). Hipotesis disusun sebelum peneliti

melakukan penlitian karena hipotesis akan bisa memberikan petunjuk pada

tahap pengumpulan analisis dari interpretasi data.

Berdasarkan kerangka konsptual maka dapat diturunkan suatu

hipotesis yaitu: Ada Hubungan yang signifikan antara Dukungan Keluarga

Dengan Self-Efficacy Pada Pasien DM Tipe 2 Di Puskesmas Kelir

Banyuwangi Tahun 2020.


BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian adalah strategi untuk mencapai tujuan penelitian

yang telah berperan sebagai pedoman atau penentuan peneliti atau penuntun

peneliti pada seluruh proses penelitian (Nursalam, 2016).

Jenis rancangan penelitian yang digunakan yaitu korelasional yaitu

jenis penelitian yang mengkaji hubungan antar variable. Penelitian

korelasional bertujuan mengungkapkan hubungan yang korelatif antar

variable (Nursalam, 2016).

Desain penelitian adalah suatu wahana untuk mencapai tujuan

penelitian yang berperan sebagai rambu-rambu yang akan menuntun peneliti

atau kerangka acuan bagi pengkajian hubungan variabel peneliti

(Sastroasmoro & Ismael, 2008). Desain penelitian memberikan prosedur

untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk menyusun dan

menyelesaikan masalah dalam penelitian. Dalam penelitian ini penulis akan

menggunakan rancangan penelitian crossectional. Crossectional adalah

jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel

independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat (Nursalam, 2016).

49
50

4.2. Populasi, Sampel dan Sampling

4.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian adalah keseluruhan objek penelitian

atau objek yang diteliti (Notoatmojo, 2010). Populasi yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah Seluruh Pasien Diabetus

Melitus yang melakukan kontrol terkait penyakit diabetes mellitus di

Puskesmas Kelir Banyuwangi Tahun 2020. Populasi yang diperoleh

dari seluruh Pasien yang mengalami Diabetus Melitus yaitu 77 orang.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam,

2016). Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

adalah Seluruh Pasien Diabetus Melitus yang melakukan kontrol

terkait penyakit diabetes mellitus di Puskesmas Kelir Banyuwangi

Tahun 2020. Sampel yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus

sebagai berikut:

N
n=
1+ N ¿ ¿

Keteranagan:

n : besar sampel

N : besar populasi

d : tingkat signifikasi (tingkat kesalahan yang dipilih, d = 10%)


51

337 337 337 337


n= n= n= = =77
1+337 ( 0,1 )
2
1+ 337(0,01)
2
1+3,37 4 ,37

Berdasarkan hasil penghitungan menggunakan rumus diatas,

jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 77

responden. Antisipasi yang dilakukan peneliti terhadap kemungkinan

terjadinya drop out selama proses penelitian, jumlah sampel ditambah

10% dari jumlah sampel keseluruhan (Laksono, 2015). Sehingga,

didapatkan jumlah sampel yang akan diguakan yaitu 85 responden.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan Purposive

Sampling . Purposive Sampling adalah teknik pengambilan sampel

yang berdasarkan atas suatu pertimbangan tertentu seperti sifat-sifat

populasi ataupun ciri-ciri yang sudah diketahui sebelumnya

(Notoatmodjo, 2010).

4.2.2.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu

dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil

sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini

kriteria inklusinya adalah

1) Pasien yang mengalami diabetes mellitus tipe 2

4.2.2.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah

menghilangkan/mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria

inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam, 2013).

Pada penelitian ini Kriteria eksklusinya adalah :


52

1) Pasien yang berhalangan hadir pada saat penelitian dan

tidak bersedia menjadi responden.

4.2.3 Teknik Sampling

Teknik sampling adalah suatu cara yang ditempuh dalam

pengambilan sampel, agar sampel yang diperoleh benar dan sesuai

dengan keseluruhan objek penelitian (Nursalam, 2016). Dalam

penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah melalui teknik

Purposive Sampling. Teknik ini adalah teknik pengambilan sampel

yang berdasarkan atas suatu pertimbangan tertentu seperti sifat-sifat

populasi ataupun ciri-ciri yang sudah diketahui sebelumnya

(Notoatmodjo, 2010). Dalam pengambilan sampel terdapat kriteria

yaitu kriteria inklusi dan ekslusi dimana kriteria tersebut menentukan

dapat tindakan sampel digunakan (Hidayat & Aziz, 2010).


53

4.3. Kerangka Kerja

Kerangka kerja adalah tahapan atau langkah-langkah dalam aktivitas

ilmiah yang dilakukan dalam melakukan penelitian (kegiatan awal sampai

akhir) (Nursalam, 2013).

Populasi
Keseluruhan Pasien yang menderita Diabetus Melitus tipe 2 di Puskesmas Kelir
Banyuwangi tahun 2020 sebanyak 337 orang.

Teknik Sampling:
Purposive Sampling

Sample
Sebagian Pasien yang menderita Diabetus Melitus tipe 2 di
Puskesmas Kelir Banyuwangi tahun 2020 sebanyak 85 orang

Desain penelitian:
crossectional

Informed Consent

Pengumpulan Data menggunakan kuisioner pada Dukungan Keluarga dan Self


Efficacy

Analisa Data:
Rank Spearmant

Hasil Penelitian

Pelaporan Hasil Penelitian

Bagan 4.3 Kerangka kerja Hubungan Dukungan Keluarga dengan Self Efficacy
pada Pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas
Kelir tahun 2020.
54

4.4. Identifikasi Variabel Penelitian

Variable penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi

tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2015).

Dalam penelitian ini menggukanan 2 variabel yaitu sebgai berikut.

4.4.1 Variabel Independent (bebas)

Variable Independen (bebas) adalah variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahnya atau

timbulnya variabel dependen (teikat) (Sugiyono, 2015). Variabel

bebas pada penelitian ini yaitu Dukungan Keluarga.

4.4.2 Variabel Dependen (terikat)

Variabel dependen (terikat) adalah variabel yang

dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel

bebas (Sugiyono, 2015). Variabel terikat pada penelitian ini yaitu

Self Efficacy.

4.5. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah penentuan kontrak atau sifat yang akan

dipelajari sehingga menjadi variabel yang dapat dikukur (Sugiyono, 2014).

Definsi operasional menjelaskan cara tertentu yang digunakan untuk

meneliti dan mengoperasikan kontrak, sehingga memungkinkan bagi

peneliti yang lain untuk melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang

sama atau mengembangkan cara pengukuran kontrak yang lebih baik.


55

Table 4.1 Definisi Operasional : Hubungan Dukungan Keluarga dengan Self Efficacy
pada Pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Kelir
Banyuwangi tahun 2020.
Definisi
Variabel Operasiona Indikator Penelitian Alat Ukur Skala Skor
l
Dukungan Dukungan Emosional Lembar Ordina Baik =
Variabel keluarga dan Penghargaan: Kuesioner l 50-
Independen adalah suatu 1. Selalu didampingi Dukungan 100%
: Dukungan bentuk keluarga pada saat Keluarga Cukup
Keluarga kasih perawatan. = 25-
sayang, 2. Diberikan pujian 49%
dorongan dan perhatian oleh Kuran
untuk keluarga. g = 0-
memberikan 3. Dicintai dan 24%.
semangat diperhatikan oleh
dan keluarga selama
motivasi sakit.
sehingga Dukungan
mampu Fasilitas
melewati 1. Disediakan waktu
suatu yang dan fasilitas untuk
dihadapi. keperluan
pengobatan oleh
keluarga
2. Keluarga sangat
berperan aktif
dalam setiap
pengobatan dan
perawatan.
3. Keluarga
membiayai
perawatan dan
pengobatan.
4. Keluarga selalu
mencarikan
kekurangan sarana
dan peralatan
perawatan yang
diperlukan.
Dukungan informasi
atau pengetahuan
1. Selalu memberitau
hasil pemeriksaan
dari dokter yang
merawat.
2. Selalumengingatka
n untuk control,
minum obat, latihan
dan makan.
3. Selalu
mengingatkan
56

tentang perilaku
yang memperburuk
kondisi penyakit.
4. selalu menjelaskan
ketika ditanya hal
yang tidak jelas
tentang suatu
penyakit.
Variabel Suatu Lembar Ordina Baik =
Dependent: dorongan 1. Kemampuan Kuesioner l 56%-
Self untuk pengecekan gula Diabetes 100%,
Eficacy mengkoping darah Managemen cukup
diri kea rah 2. Pengaturan diet t Self baik =
yang lebih dan menjaga berat Efficacy 28%-
positif. badan ideal Scale 55%,
3. Aktifitas fisik (DMSES) baik =
4. Perawatan kaki 56%-
5. Mengikuti 100%
program
pengobatan

4.6. Pengumpulan Data dan Analisa Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek

dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu

penelitian (Nursalam, 2013).

4.6.1 Instrument

Instrument penelitiannya yaitu alat yang digunakan dalam

pengumpulan data sesuai dengan macam dan tujuan penelitan

(Nursalam, 2013). Instrument yang akan digunakan adalah lembar

kuisioner dukungan keluarga dan lembar kuisioner efikasi diri.

4.6.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.6.2.1 Lokasi atau Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Wilatah Kerja Puskesmas

Kelir. Pemilhan tempat didasarkan pada alasan bahwa di


57

Puskesmas Kelir merupakan Puskesmas yang banyak terdapat

populasi yang diteliti yaitu pasien diabetes mellitus tipe 2.

Sampai saat ini belum ada yang melakukan penelitian terkait

hubungan dukungan keluarga dengan self efficacy.

4.6.2.2 Waktu Penelitian

Study penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Kelir

akan dilakukan pada Maret 2020. Selanjutntya pengolahan data

pada bulan April 2020.

4.6.3 Prosedur

4.6.3.1 Prosedur Administratif

Pertama peneliti mengajukan judul ke LPPM dan diberi

surat untuk melakukan studi awal, kemudian peneliti

menyerahkan surat studi pendahuluan kepada Tata Usaha

Puskesmas Kelir, kemudian dari pihak Tata Usaha

menyampaikan kepada Humas Puskesmas Kelir serta

menjelaskan maksud dan tujuan penelitian, dan dari pihak

Humas menyampaikan kepada Kepala Puskesmas Kelir.

4.6.3.2 Prosedur Teknis

Meminta izin kepada Kepala Puskesmas Kelir. Teknik

pengumpulan data yaitu dengan purposive samplimg yaitu

Teknik ini adalah teknik pengambilan sampel yang

berdasarkan atas suatu pertimbangan tertentu seperti sifat-sifat

populasi ataupun ciri-ciri yang sudah diketahui sebelumnya

(Notoatmodjo, 2010). Sebelum mengambil data penelitian,


58

peneliti menjelaskan maksud dan tujuan peneliti kepada

responden. Kemudian peneliti menjelaskan cara mengisi

kuisioner. Setelah responden mengerti apa yang dijelaskan,

kuisioner dibagikan. Selanjutnya setelah kuisioner diisi,

dikumpulkan kepada peneliti, setelah data diperoleh kemudian

dilakukan pengolahan data dan analisa data. Langkah yang

terahir yang dilakukan peneliti yaitu menyimpulkan hasil

penelitian dan mempublikasikan hasil penelitiannya.

4.6.4 Cara Analisa data

Dalam tahap ini data diolah dan dianalisis dengan tehnik-

tehnik tertentu. Data kualitatif diolah menggunakan teknik analisis

kualitatif sedangkan data kuantitatif dengan menggunakan teknik

analisis kuantitatif. Untuk pengolahan data kuantitatif dapat dilakukan

dengan tangan atau melalui proses komputerisasi. Dalam pengolahan

ini mencakup tabulasi data dan perhitungan-perhitungan statistik, bila

diperlukan uji statistik (Notoatmodjo, 2010).

4.6.4.1 Analisa Deskriptif

Data yang telah terkumpul kemudian diolah melalui

langkah-langkah sebagai berikut:

1). Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali

kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan.


59

Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data

atau setelah data terkumpul (Nursalam, 2013).

2). Coding

Coding adalah pemberian pada data

dimaksudkanuntuk menterjemahkan data ke dalam

kode-kode yang biasanya dalam bentuk angka

(Nursalam, 2013). Setelah semua data disunting,

selanjutnya dilakukan pengkodean atau coding , yaitu

mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi

data angka atau bilangan.

(1) Coding Dukungan Keluarga

a. Selalu :3

b. Sering :2

c. Kadang-kadang :1

d. Tidak pernah :0

(2) Coding Self efficacy

a. Tidak yakin :1

b. Kurang yakin :2

c. Cukup yakin :3

d. Yakin :4

e. Sangat yakin :5

3) Scoring

(1) Scoring Dukungan Keluarga

a. Baik : 50-100%
60

b. Cukup : 25-49%

c. Kurang : 0-24%

(2) Scoring Self Efficacy

a. Baik : 56-100%

b. Cukup Baik : 28-55%

c. Kurang Baik : 0-27%

5). Tabulating

Tabulasi merupakan penyajian data dalam

bentuk table yang terdiri dari beberapa baris dan

beberapa kolom. Tabel dapat digunakan untuk

memaparkan sekaligus beberapa variabel hasil

observasi, survei atau penelitian hingga data mudah

dibaca dan dimengerti (Nursalam, 2013).

4.6.4.2 Analisa Statistik

Semua analisis akan dilakukan dengan menggunakan SPSS

(Statistic Programme for Social Scient) version 25 for

windows. Mean, standart deviasi, range, prosentase dan

frekuensi akan digunakan untuk mendeskripsikan data

demografi. Uji normalitas data akan dilakukan dengan

menggunakan anlisis kolmogrov smirnov. Analisis bivariat

akan digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel.

Tabel 4.2 Metode analisis untuk variabel independent dan


variabel dependent.
Tujuan Variabel Skala Data Uji Analisis
Identifikasi Usia Rasio Deskriptif
data variabel Jenis kelamin Nominal Statistik
demografi Status Nominal
pernikahan
61

Pedidikan Ordinal

Suku Nominal

Agama Nominal
Pendapatan Ordinal
Berapa kali Rasio
dirawat di
rumah sakit
Lama Rasio
menderita DM
Dukungan Ordinal
keluarga
Baik = 50-
100%
Mengetahui Cukup = 25-
hubungan 49%
antara Kurang = 0-
24% Rank
dukungan
Self efficacy Ordinal Spearmant
keluarga
dengan self Kurang Baik
efficacy. = 0-27%
Cukup Baik
= 28-55%
Baik = 56-
100%

4.7 Masalah Etika

Responden yang memiliki syarat akan dilindungi hak-hak nya untuk

menjamin kerahasiannya. Sebelum proses penelitian dilakukan, responden

terlebih dahulu diberikan penjelasan manfaat dan tujuan penelitian. Setelah

setuju, dipersilahkan menandatangani surat persetujuan untuk menjadi

responden. Masalah etika yang harus dijadikan perhatian.

4.7.1 Informed Consent (Lembar Persetujuan)

Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang

tujuan penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak bebas


62

untuk berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed

consent juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya

akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu (Nursalam, 2016).

4.7.2 Anatomy (Tanpa Nama)

Subyek tidak perlu mencamtumkan namanya pada lembar

pengumpulan data cukup menulis nomor atau kode saja untuk

menjamin kerahasiaan identitasnya. Apabila sifat peneliti memang

menuntut untuk mengetahui identitas subjek, ia harus memperoleh

persetujuan telebih dahulu serta mengambil langkah-langkah dalam

menjaga kerahasiaan dan melindungi jawaban tersebut (Wasis, 2008).

4.7.3 Confidentiality (Kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi yang diperoleh dari subyek akan

dijamin kerahasiaan nya oleh peneliti. Pengujian data dari hasil

penelitian hanya akan ditampilkan di akademik.

4.7.4 Veracity (Kejujuran)

Jujur pada saat pengumpulan data, pustaka, metode, prosedur

penelitian, hingga publikasi hasil. Jujur pada kekurangan maupun

kegagalan proses penelitian. Tidak mengakui pekerjaan yang bukan

pekerjaannya.

4.7.5 Non Maleficienccen (Tidak Merugikan, Do Not Harm)

Suatu prinsip yang mempunyai maksud bahwa setiap

tindakan yang dilakukan seseorang tidak menimbulkan kerugian

secara fisik maupun mental (Abrori, S., &, & Seravina, 2016).
63

4.7.6 Respect for Person (Menghormati Harkat dan Martabat

Manusia)

Menghormati maupun menghargai orang ada dua hal yang

perlu diperhatikan, yaitu peneliti harus mempertimbangkan secara

mendalam terhadap kemungkinan bahaya dan penyalahgunaan

penelitian dan melakukan perlindungan kepada responden yang

rentan terhadap bahaya penelitian.

4.7.7 Justice (Keadilan Bagi Seluruh Subjek Peneliti)

Suatu bentuk terapi adil terhadap orang lain yang menjunjung

tinggi prinsip moral, legal, dan kemanusiaan. Prinsip keadilan juga

ditetapkan dalam Pancasila Negara Indonesia pada sila ke 5 yaitu

keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia (Abrori et al., 2016).

4.7.8 Beneficence (Memaksimalkan Manfaat dan Meminimalkan

Resiko)

Keharusan secara etik untuk mengusahakan manfaat sebesar-

besarnya serta memperkecil kerugian maupun resiko bagi subjek dan

memperkecil kerugian maupun resiko bagi subjek dan memperkecil

kesalahan penelitian. Dalam hal ini penelitian harus dilakukan

dengan cepat dan akurat, serta responden terjaga keselamatan dan

kesehatanya.

Anda mungkin juga menyukai