Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN STATUS EPILEPTIKUS

DI RUANG 7A RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Oleh :

VIVI ROVIQOH NURAINITA

NIM : 2019.04.079

PROGRAM STUDI PROFESI (NERS)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN STATUS EPILEPTIKUS

DI RUANG 7A RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Oleh

Vivi Roviqoh Nurainita

2019.04.079

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

Kepala Ruangan
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN STATUS EPILEPTIKUS

DI RUANG 7A RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Oleh

Vivi Roviqoh Nurainita

2019.04.079

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

Kepala Ruangan
A.Pengertian
Kejang demam adalah suatu kondisi saat tubuh anak sudah tidak dapat
menahan serangan demam pada suhu tertentu (Widjaja, 2011). Kejang demam
adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Suhu badan ini
disebabkan oleh kelainan ekstrakranial (Lumbantobing, 2008). Dari pengertian di
atas penulis dapat menyimpulkan bahwa kejang demam adalah kondisi tubuh anak
yang tidak dapat menahan demam pada peningkatan suhu tubuh yang disebabkan
oleh karena proses ekstrakranial.

B.Etiologi
Menurut Randle-Short (2011) kejang demam dapat disebabkan oleh:
a. Demam tinggi. Demam dapat disebabkan oleh karena tonsilitis, faringitis,
otitis media, gastroentritis, bronkitis, bronchopneumonia, morbili, varisela,
demam berdarah, dan lain-lain.
b. Efek produk toksik dari mikroorganisme (kuman dan otak) terhadap otak.
c. Respon alergi atau keadaan imun yang abnormal.
d. Perubahan cairan dan elektrolit.
e. Faktor predispisisi kejang deman, antara lain:
- Riwayat keluarga dengan kejang biasanya positif, mencapai 60% kasus.
- Diturunkan secara dominan, tapi gejala yang muncul tidak lengkap.
- Angka kejadian adanya latar belakang kelainan masa pre-natal dan
perinatal tinggi
- Angka kejadian adanya kelainan neurologis minor sebelumnya juga
tinggi, tapi kelainan neurologis berat biasanya jarang terjadi.

C.Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat
sulit dilalui oleh ion natrium (N+) dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida (Cl).
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan yang sebaliknya. Karena perbedaan
jenis dan konsentrasi di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial
membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K
ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini
dapat berubah oleh:
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2. Rangsangan yang datangnya mendadak seperti mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran itu sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10 - 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya mencapai 15%. Oleh karena
itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium i ion natrium melalui
membran tersebut dengan akibat terjadi pelepasan listrik. Lepasnya muatan listrik
ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran
sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut “Neurotransmitter” dan
terjadilah kejang.

D.Manifestasi Klinis
Menurut Arif Mansjoer (2008), kejang demam umumnya berlangsung singkat,
yaitu berupa serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral. Bentuk kejang
yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan
atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului dengan kekakuan atau
hanya sentakan atau kekakuan fokal. Sebagian besar kejang berlangsung kurang
dari 6 menit dan kurang dari 8% berlangsung lebih dari 15 menit. Seringkali
kejang berhenti dengan sendirinya. Setelah kejang berhenti, anak tidak
memberikan reaksi apapun untuk sementara waktu, tetapi setelah beberapa detik
atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa ada defisit neurologis. Kejang
dapat diikuti dengan hemiparesis sementara. (Todd’s hemiparesis) yang
berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa hari. Kejang unilateral yang
lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang
berlangsung lama lebih sering terjadi pada kelang demam yang pertama.
E.Pathway
F.Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mansjoer (2008), beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien dengan kejang demam adalah meliputi:
1. Elektro encephalograft (EEG)
Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai prognostik. EEG
abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya
epilepsi atau kejang demam yang berulang dikemudian hari. Saat ini
pemeriksaan EEG tidak lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang
sederhana. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan
untuk mengevaluasi sumber infeksi.
2. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya meningitis,
terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi yang masih
kecil seringkali gejala meningitis fidak jelas sehingga. harus dilakukan lumbal
pungsi pada bayi yang berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk
yang berumur kurang dari 18 bulan.

G.Konsep Tumbuh Kembang dan Hospitalisasi pada Anak


Istilah tumbuh kembang lebih dikaitkan dengan pertumbuhan organ,serta
merupakan aspek fisik interaksi tersebut. Sedangkan istilah kembang lebih
dikaitkan dengan aspek psikososial.
Menurut Sigmun Freud pada tumbuh kembang awal masa sekolah (512 tahun)
merupakan masa pertumbuhan relatif mantap, yang kemudian akan berakhir
dengan suatu percepatan tumbuh sekitar umur 10 tahun pada anak perempuan dan
12 tahun pada anak laki-laki. Penambahan berat badan usia ini lebih kurang 205 kg
dan tinggi badan kira-kira 5 cm per tahun. Pertumbuhan lingkar kepala berjalan
lambat, yaitu dari 50 cm menjadi 52-53 cm. Pada akhir masa pertumbuhan ini
sebenarnya lingkar kepala telah mencapai ukuran kepala orang dewasa (Markum,
2011).
Menurut Eric Erickson, masa ini disebut dengan masa berkarya vs rasa rendah
diri. Masa antara usia 6-12 tahun adalah masa anak mulai memasuki dunia sekolah
yang lebih formal. Ia sekarang berusaha untuk merebut perhatian dan penghargaan
atas hasil karyanya. Ia belajar untuk menyelesaikan tugas yang diberikan padanya,
rasa tanggung jawab mulai tumbuh dan ia mulai senang untuk belajar bersama.
Rasa rendah diri akan timbul bila anak merasa dirinya kurang kemampuan
dibandingkan dengan teman-temannya (Markum, 2011).
Pertumbuhan berat anak (11-14 tahun) adalah 46 kg dan tinggi badan 157 cm.
Karakteristik primer wanita adalah pembesaran organ genital eksterna dan interna,
perubahan endometrium dan cairan vagina, ovulasi dan menarche (sekitar usia 12-
13 tahun), karakteristik sekunder yang nampak adalah pembesaran buah dada,
pertumbuhan tulang, dasar metabolik basal, perubahan bentuk pinggul, pubis, dan
tumbuhnya rambut pada ketiak, meningkatnya lemak dalam dada, pantat dan paha
serta kulit menjadi halus dan lembut (Cindy Smith, 2008).

H.KONSEP DASAR ASKEP


I. Pengkajian
a.Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian
2. Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang diderita pasien saat
masuk RS (apa yang terjadi selama serangan )
3. Riwayat kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan seperti ini terjadi, pada
usia berapa serangan pertama terjadi, frekuensi serangan, adakah faktor
presipitasi seperti demam, kurang tidur emosi, riwayat sakit kepala berat,
pernah menderita cidera otak, operasi atau makan obat-obat
tertentu/alkoholik)
4. Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh
anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain baik bersifat genetik
maupun tidak
5. Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah laku, emosi apakah
disertai aktifitas atonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar, adakah aura
yang mendahului serangan baik sensori, auditorik, olfaktorik
b. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
2) Pemeriksaan Persistem
a) Sistem Persepsi dan Sensori
Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala, otot-otot
sakit, adakah halusinasi dan ilusi, yang disertai vertigo, bibir dan muka
berubah warna, mata dan kepala menyimpang pada satu posisi, berapa
lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu
posisi/keduanya
b) Sistem Persyarafan
 Selama serangan: Penurunan kesadaran/pingsan? Kehilangan
kesadaran / lena? Disertai komponen motorik seperti kejang tonik,
klonik, mioklonik, atonik, berapa lama gerakan tersebut?
Apakah pasien jatuh kelantai
 Proses Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit kepala,
gangguan bicara, hemiplegi sementara, ingatkah pasien apa yang
terjadi sebelum selama dan sesudah serangan, adakah perubahan
tingkat kesadaran, evaluasi kemungkinan terjadi cidera selama
kejang (memer, luka gores)
c) Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan (nafas yang
dalam)
d) Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan denyut jantung
e) Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi inkontinensia feses, nausea
f) Sistem Integumen: adakah memar, luka gores
g) Sistem Reproduksi
h) Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin
c. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pemahaman pasien dan keluarga mengenai program pengobatan pasien,
keamanan lingkungan sekitar
2) Pola Aktivitas dan Latihan
Pemahaman klien tentang aktivitas yang aman untuk pasien (minimal resiko
cidera pada saat serangan)
3) Pola Nutrisi Metabolisme
Pasca serangan biasanya pasien mengalami nansea
4) Pola Eliminasi
Saat serangan dapat terjadi inkontinensia urin dan atau feses
5) Pola Tidur dan Istirahat
Salah satu faktor presipitasi adalah kurangnya istirahat/tidur
6) Pola kognitif dan Perseptual
Adakah gangguan orientasi, pasien merasa dirinya berubah
7) Persepsi diri atau konsep diri
Pentingnya pemahaman dengan berobat teratur dapat terbebas dari sawan
8) Pola toleransi dan koping stress
Adakah stress dan gangguan emosi
9) Pola sexual reproduksi
10) Pola hubungan dan peran
II. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko cedera b/d kelemahan keseimbangan, keterbatasan kognitik/perubahan
kesadaran.
2. Pola napas tidak efektif b/d kerusakan neuromukuler, obstruasi trakeobronkial.
3. Gangguan harga diri b/d stisma.
4. Kurang pengetahuan b/d kurang kekurangan informasi.
III. Intervensi Keperawatan
Dx. I.:Resiko cedera b/d kelemahan kesulitan keseimbangan keterbatasan
kognitif/perubahan kesadaran.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kita
dapat mengungkapkan pemahaman faktor dan menunjang
kemungkinan trauma.
Hasil : Perubahan gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko dan
melindungi diri dari cedera.
Intervensi :
1) Gali bersama – sama pasien brbagai stimulus yang dapat menjadi
pencetus kejang.
R/ : Alkohol berbagai obat dan stimulasi lain (kurang tidur, lampu yang
terlalu terang, menonton TV yang terlalu lama) dapat
meningkatkan aktivitas otak yang selanjutnya
meningkatkan resiko kesadarannnya kejang.
2) Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang
dengan posisi tempat tidur yang rendah.
R/ : Mengurangi trauma saat kejang terjadi selama pasien berada di
tempat tidur.
3) Anjurkan pasien untuk merokok selama dapat diawasi.
R/ : Mungkin dapat menyebabkan robekan jika rokok tersebut terjatuh.
Secara tidak disengaja selama fase aura (aktivitas kejang
yang terjadi).
4) Evaluasi ketahanan untuk berikan pandangan pada kepala.
R/ : Penggunaan penutup kepala (semacam helm) dapat memberikan
pandangan tambahan terhadap seseorang yang mengalami
kejang terus menerus/kejang berat.
5) Tanggalah bersama klien dalam waktu beberapa lama
selama/setelah kejang.
R/ : Meningkatkan keamanan pasien.
6) Kolaborisasi.
Berikan obat sesuai indikasi (obat anti epilepsi) meliputi karboma zepam,
klorozepam.

Dx. II.: Pola napas tidak efektif b/d kerusakan neuromuskuler, obstruksi
frakeabrokal.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
menunjukkan pola napas yang efektif.
Hasil : Klien dapat mempertahankan pola pernapasan efektif dengan jalan
napas paten.
Intervensi :
1) Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala
selama serangan kejang.
R/ : Meningkatkan darah (drainase) secret, mencegah udara jatuh dan
menyambut jalan napas.
2) Tanggalkan pakaian pada daerah leher /dada dan abdomen.
R/ :Untuk memfasilitasi usaha bernapas/ekspresi dada.
3) Masukkan spodel lidah/jalan napas buatan atau gulungan benda lunak
sesuai indikasi.
R/ : Jika memasukkannya di awal untuk membuka rahang, alat ini
dapat mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan
pengisapan lendir/memberi sokongan terhadap pernapasan jika
diperlukan.
4) Lakukan pengisapan sesuai indikasi.
R/ : Menurunkan resiko aspirusi/astiksia.
5) Kolaborasi : Berikan tambahan O2/ventilasi manual sesuai kebutuhan pada
fase posktal.
R/ : Dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi
yang menurun/O2 sekunder terhadap spasme vesikuler selama
serangan kejang.

Dx. III. : Gangguan harga diri b/d stiqma.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien
dapat mengidentifikasi perasaan dan metode untuk koping dan persepsi
negatif pada diri sendiri.
Hasil : - Pengungkapan tentang perubahan gaya hidup.
- Takut penolakan/perasaan negatif tentang tubuh.
Intervensi :
1) Diskusikan perasaan pasien mengenai diagnostik. Persepsi diri terhadap
penanganan yang dilakukannya, anjurkan untuk mengungkapkan/
mengekspresikan wajahnya.
R/ : Reaksi yang ada bervariasi diantara individu dan
pengetahuan/pengalaman awal dengan keadaan penyakitnya.
2) Identifikasi/antisipasi kemungkinan reaksi organ pada keadaan penyakit,
anjurkan pasien untuk tidak merahasiakan masalahnya.
R/ : Memberikan kesempatan untuk berespon pada proses pemecahan
masalah dengan memberikan tindakan kontrol terhadap situasi yang
dihadapi.
3) Tentukan sikap/kecakapan orang terdekat. Bantu ia menyadari perasaan
tersebut adalah normal sedangkan merasa bersalah.
R/ : Pandangan negatif dari orang terdekat dapat berpengaruh terhadap
perasaan kemampuan harga diri pasien dengan mengurangi dengan
terima dari orang terdekat tersebut yang mempunyai resiko
membatasi penanganan yang optimal.
4) Tekankan pentingnya staf/orang terdekat untuk tetap dalam keadaan
tenang selama kejang.
R/ : Ansietas dari pemberi asuhan adalah menjalar dan bila sampai pada
pasien dapat meningkatkan persepsi negatif terhadap keadaan
lingkungan/diri sendiri.
5) Kolaborasi
Rujuk pasien atau orang terdekat pada kelompok penyokong, yayasan epilepsi
dsb.
R/ :Memberikan kesempatan untuk mendapatkan invervasi dukungan
dan ide – ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah
mempunyai pengalaman yang sama.

Dx. IV. : Kurang pengetahuan b/d kurangnya informasi.


Intervensi :
1) Jelasakan kembali mengenai/prosnesis penyakit dan perlunya
pengobatan/penanganan dalam jangka waktu yang lama sesuai indikasi.
R/ : Memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi
dan keadaan penyakit yang ada sebagai sesuatu yang dapat
ditangani dalam cara hidup yang normal.
2) Tinjau kembali obat – obat yang didapat penting sekali memakan obat
sesuai petunjuk dengan tidak menghentikan pengobatan tanpa
pengawasan dokter, termasuk petunjuk untuk pengurangan dosis.
R/ : Tak adanya pemahaman terhadap obat – obat yang dapat
merupakan penyebab dari kejang yang terus menerus tanpa henti.
3) Berikan petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum obat bersamaan
dengan waktu makan jika memungkinkan.
R/ : Dapat menurunkan iritasi lambung, mual/muntah.
4) Berikan informasi tentang interaksi obat yang potensial dan pentingnya
untuk memberi tahu pemberi perawatan yang lain dari pemberian obat
tersebut.
R/ : Pengetahuan mengenai penggunaan obat anti konuvisan
menemukan resiko obat yang diresepkan yang dapat berinteraksi
selanjutnya mengubah ambang slekang/memilki efek berapeutik.
5) Bicarakan kembali kemungkinan efek dari perubahan hormonal.
R/ : Gangguan kadar hormonal yang terjadi selama menstruasi dan
kehamilan dapat meningkatkan resiko kejang.
6) Tinjau kembali pentingnya keberhasilan mulut dan perawatan gigi yang
teratur.
R/ : Menurunkan resiko infeksi mulut dan hyperplasia dari gusi.

Dx. V : Resiko tinggi ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan


relaksasi lidah dan refleks sekunder terhadap gangguan inervasi otot (Carpenito,
2008).
Tujuan : Pasien dapat mcmpertahankan ventilasi dan oksigenasi yang
kontinyu.
Intervensi :
a. Baringkan pasien ditempat yang datar dan berikan sudip lidah
b. Kendurkan pakaian terutama pada daerah yang mengganggu pernafasan
c. Setelah kejang usai, baringkan dengan posisi kepala miring ke salah satu sisi
atau angkat dagu anak ke atas dan ke depan dengan kepala mendongak ke
belakang dan jangan memasukkan makanan atau minuman ke dalam mulut
pasien selama pasien belum sadar
d. Obeservasi kejang dan karakteristiknya, yang meliputi: durasi, area, kondisi
pre dan post kejang, aktifitas motorik involunter dan inkontinensia
e. Ajarkan keluarga untuk berespon saat anak kejang
f. Lakukan penghisapan yang sesuai dengan indikasi

Dx.VI : Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi


ekstrakranial (Ngastiyah, 2007).
Tujuan : Suhu tubuh normal dan dapat dipertahankan sesuai dengan
derajat panas yang sesuai dengan usianya
Intervensi :
a. Lakukan kompres hangat / dingin dan hindari kompres dingin bila anak
menggigil
b. Berikan antibiotik sesuai program
c. Berikan antipiretik dan antikonvulsan sesuai program
d. Bed minum banyak yaitu 200 cc per hari sesuai kebutuhan
e. Pantau intake dan output
f. Kaji keadaaan bedcover apakah terialu hangat untuk aktivitas yang
direncakan
g. Beritahukan tentang tanda-tanda peningkatan suhu pada keluarga
h. Pasang / gunakan kipas angin, AC, mandi dingin atau lakukan kompres

Dx. VII : Resiko tinggi cedera: trauma berhubungan dengan perubahan


status kesadaran dan aktivitas kejang (Tucker, 2009).
Tujuan : Cedera tidak terjadi
Intervensi :
Untuk perawatan pre-konvulsi :
a. Berikan bantalan pada tempat tidur
b. Pertahankan tempat tidur pada posisi yang rendah
c. Bila pasien tirah baring, tingkatkan pagar tempat tidur dan berikan bantalan
d. Bantu pasien untuk mengidentifikasi adanya luka
Untuk perawatan saat kejang:
a. Tempatkan pasien pada tempat yang datar, longgarkan pakaian dan jauhkan
benda-benda yang rnembahayakan paien seperti mainan keras
b. Miringkan kepala anak pada salah satu sisi
c. Catat frekuensi, waktu, tingkat kesadaran, lama kejang dan bagian tubuh
yang terlibat bangkitan kejang.
d. Bila mungkin berikan privasi pada pasien
e. Berikan obat sesuai program
Untuk perawatan post-kejang:
a. Kaji atau pantau kondisi pasien setelah kejang
b. Pertahankan jalan nafas tetap efektif
c. Kaji kondisi pasien terhadap adanya cedera dan lakukan pemeriksaan pada
daerah mulut
d. Periksa tanda-tanda vital dan status neurologis segera setelah kejang
e. Kaji terhadap perubahan kesadaran, malaise, mual muntah, nyeri dan aspirasi
f. Beri dukungan emosional bila memungkinkan
g.Informasikan pada keluarga tentang status kesadaran dan lakukan reorientasi
bila perlu

Dx. VIII : Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatan kejang


demam berhubungan dengan kurang informasi tentang proses penyakit dan
penatalaksanaan di rumah (Tucker, 2009).
Tujuan : pengetahuan keluarga tentang kejang demam dan
perawatannya bertambah.
Intervensi:
a. Bantu pasien dan keluarga untuk mengenali aura, tipe kejang dan urutan
tindakan yang harus dilakukan
b. Observasi dan catat perilaku yang diperlihatkan pada fase praiktal dan fase
iktal
c. Instruksikan pada keluarga tentang sifat dan kelainan dari kejang, serta
perlunya bersikap positif terhadap usaha terapi
d. Jelaskan pentingnya bisa mengenali aura, tipe kejang dan urutan tindakan
yang harus dilakukan
e. Jelaskan perlunya mengidenfifikasi dan menghindari rangsangan kejang yang
dapat menstimuli aktivitas kejang
f. Tekankan pentingnya minum obat yang sesuai dengan anjuran
g. Jelaskan tentang patofisiologi dan pengobatan yang perlu dilakukan
h. Tinjau pentingnya kebersihan dan perawatan mulut.
Daftar Pustaka

Benerjee P.N. dan Sander J.W., 2008. Incidence and Prevalence. Epilepsy A
Comprehensive Textbook 2nd edition. Lippincott Williams & Wilkins. pp:
45-56
Birbeck G., Hays R.D., Vickrey B.G., 2002. Seizure Reduction and Quality of Life
Improvement in People with Epilepsy. Epilepsia, 43(5): 535-8
Bishop M dan Allen C.A., 2003. The Impact of Epilepsy on Quality of Life: a
Qualitative Analisys. Epilepsy Behave, 4: 226-33 Brodie M.J., Schaster
S.C, Kwan P., 2005. Fact Fast: Epilepsi 3rd edition. HealthPress Limited
United Kingdom. pp: 37-84
Brodie M.J., Schachter S.C, Kwan P., 2012. Epidemiology and Prognosis. Fast
Fact: Epilepsy Revised 5th edition. Oxford: Health Press Limited. pp: 9-11
Brunner & Suddarth, 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 3, Egc;
Jakarta.
Calisir N., Bora I., Irgil E., Boz M., 2006. Prevalence of Epilepsy in Bursa City
Center, an Urban Area of Turkey. Epilepsia 47:1691-1699
Dahlan M.S., 2001. Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika
Doenges E. Marylin, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3, Egc: Jakarta.
Price A. Sylvia, 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit Edisi
6. Egc; Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai