Dosen Pembimbing
Moh. Saifudin, S.Kep., Ns., S.Psi., M.Kes
Oleh:
Dwi Winarsih
NIM 2202032248
(Dwi Winarsih)
(M. Syukri Ghozali, S.Kep. Ns) (Moh. Saifudin, S.Kep., Ns., S.Psi., M.Kes)
LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
1 KONSEP TEORI
1.1 DEFINISI
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. (Suwitra,
2014)
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu spektrum proses-proses patofiologik
yang berbeda-beda serta berkaitan dengan kelainan fungsi ginjal dan penurunan progresif
laju filtrasi glomerolus (LFG). (Jameson dan Loscalz, 2013)
Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) . (Nuari dan Widayati, 2017).
Dari definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa Chronic Kidney Disease (CKD)
merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan
tubuh gagal mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit, pada
suatu derajat diperlukan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
1.2 ETIOLOGI
Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan laju
filtrasiglomerulus atau yang disebut juga penurunan glomerulus filtration rate (GFR).
Penyebab gagal ginjal kronik menurut Andra & Yessie, 2013 :
1) Gangguan pembuluh darah : berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabkan iskemik
ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling sering adalah Aterosklerosis
pada arteri renalis yang besar,dengan konstriksi skleratik progresif pada pembuluh
darah.
2) Gangguan imunologis seperti glomerulonephritis.
3) Infeksi : dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang berasal
dari kontaminasi tinja pada trakus urinarius bakteri. Bakteri ini mencapai ginjal
melalui aliran darah atau yang lebih sering secara ascenden dari trakus urinarius
bagian bawah melalui ureter ke ginjal sehingga dapat menimbulkan kerusakan
irreversible ginjal yang disebut pielonefritis.
4) Gangguan metabolic : seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak meningkat
sehingga terjadi penebalan membrane kapiler di ginjal dan berlanjut dengan disfungsi
endotel sehingga terjadi nefropati amyloidosis yang disebabkan oleh endapan zat-at
proteinemia abnormal pada dinding pembuluh darah secara serius merusak membrane
glomerulus.
5) Gangguan tubulus primer : terjaadinyanefrotoksis akibat analgesic atau logam berat.
6) Obstruksi trakus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat dan konstriksi uretra.
7) Kelainan kongenital dan herediter : penyakit polikistik sama dengan kondisi
keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya kista atau kantong berisi cairan didalam
ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital
(hypoplasia renalis) serta adanya asidosis.
Menurut Sudoyo, et al.,(2012) klasifikasi penyakit gagal ginjal atas dasar diagnosis
etiologi antara lain :
1) Penyakit ginjal diabetes (diabetes tipe 1 dan 2)
2) Penyakit ginjal non diabetes : penyakit glomerular (autoimun, infeksi sistemik, obat,
neoplasa), penyakit vaskuler (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati),penyakit tubulointestinal (pyelonefritis kronis, batu, obstruksi,
keracunan obat), dan penyakit kistik.
3) Penyakit pada transplantasi : rejeksi kronik, keracunan obat (siklosporin), penyakit
recurrent
6) Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang
Kelemahan pada tungkai
Fraktur tulang, foot drop
7) Reproduktif: amenorea, atrofi testekuler
Menurut Smeltzer & Bare (2013) tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis
dikarenakan gangguan yang bersifat sistemik, kerusakan ginjal akan menyebabkan
gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Tanda dan gejalanya antara lain :
1) Pitting edema dan edema periorbital
2) Kulit kering dan pruritus
3) Sesak nafas dan takipnea, pernafasan kusmaul
4) Ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau amoniak, diare, mual dan muntah
5) Kelemahan atau keletihan
6) Kram otot, kehilangan kekuatan otot, nyeri tulang
7) Penurunan libido
8) Anemi dan trombositopenia
GFR menurun
CKD
B1 B2 B3 B4 B5 B6
Tidak mampu Sekresi eritopoitin Sindrom Uremia Retensi Na & Gangguan keseimbangan P↓ ekskresi
mengekskresikan P H2O↑ asam basa ginjal
asam
Kesadaran menurun Produksi asam ↑
Produksi Hb menurun
CES meningkat
Sindrom
Asidosis Asam lambung ↑ uremia
Gelisah
Oksihemoglobin Tekanan kapiler naik
Nausea Pruritus
Hiperventilasi Resiko Cidera
Perfusi perifer Vol Intertersial naik
Supplai O2 Kelelahan otot Muntah Gangguan
Gangguan tidak efektif ke jaringan integritas
pertukaran gas menurun Edema kulit
Intoleransi aktifitas Defisit Nutrisi
Hipervolemi
HEMODIALISA
Intra HD
Prosedur Invasif Pemberian Heparin berlebih Kecepatan pengeluaran darah tinggi daam jumlah banyak
Pasien menggigil
Peningkatan aliran-
Penurunan sirkulasi
Kurang aliran darah karena
ke cerebral
pengetahuan lumen pembuluh
darah besar di av-
shunt
Hipoksia serebral
Nausea
1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Urine
a) Volume: biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tidak ada (anuria)
b) Warna: secara abnnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh
pus, bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porifin.
c) Berat jenis: kurang dari 1.105 (menetap pada 1.010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
d) Osmolalitas: kurang dari 350mOsm/kg menunjukkan kerusakan
tubular, dan rasio urine/serum sering 1:1.
e) Klirens kreatinin: mungkin agak menurun.
f) Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorpsi natrium.
g) Protein: derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
2) Darah
a) BUN/kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap
akhir.
b) Ht: menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7 - 8
gr/dl.
c) SDM menurun, defisiensi eritropoitin dan GDA: asidosis metabolik,
pH kurang dari 7, 2.
d) Natrium serum: rendah, kalium meningkat, magnesium meningkat,
Kalsium menurun dan Protein (albumin) menurun.
3) Osmolaritas serum lebih dari 285 mOsm/kg.
4) Pelogram retrogad: abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.
5) Ultrasono ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
6) Endoskopi ginjal, nefroskopi: untuk menetukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan peningkatan tumor selektif.
7) Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler, masa.
8) EKG: ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa (Haryono, 2013)
1.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien CKD Mutakin, 2013 dibagi
tiga yaitu:
1) Konservatif
a) Dilakukan pemeriksaan lab darah dan urin
b) Observasi balance cairan
c) Observasi adanya edema
d) Batasi cairan yang masuk
2) Dialisis
a) Peritoneal dialysis
Biasanya dilakukan pada kasus-kasus emergensi. Sedangkan
dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut
adalah CPAD (Continues Ambulatiry Peritonial Dialysis).
b) Hemodialisis
Yaitu dialysis yang dilakukan melalui tindakan invasif
vendengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodilis
dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah
maka dilakukan : AV fistule (menggabungkan vena dan arteri)
dan double lumen (langsung pada daerah jantung atau
vaskularisasi ke jantung).
3) Operasi
a) Pengambilan batu
b) Transplantasi ginjal
Menurut Reeves, Roux, Lockhart, 2012 penatalaksanaan CKD sebagai
berikut
1. Pengaturan diet
Diet protein dan fospat
Batasi asupan protein dan fospat
Diet kalium
Tindakan yang harus dilakukan adalah tidak memberikan makanan
atau obat-obatan yang tinggi akan kandungan kalium.
Ekspektoran, kalium sitrat dan makanan seperti
sup, pisang dan jus buah murni adalah beberapa contoh makanan
atau obat-obatan yang mengandung amonium klorida dan kalium
klorida.
1.8 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronis
2 KONSEP HEMODIALISIS
2.1 Pengertian
2.2 Tujuan
Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut diantaranya
adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi (membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain),
menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup pasien
yang menderita penurunan fungsi ginjal serta menggantikan fungsi ginjal
sambil menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan Madjid, 2019).
Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang melalui
membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi elektrokimia. Tujuan
utama Hemodialisis adalah untuk mengembalikan suasana cairan ekstra dan intrasel
yang sebenarnya merupakan fungsi dari ginjal normal. Dialisis dilakukan dengan
memindahkan beberapa zat terlarut seperti urea dari darah ke dialisat. dan dengan
memindahkan zat terlarut lain seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam darah.
Konsentrasi zat terlarut dan berat molekul merupakan penentu utama laju difusi.
Molekul kecil, seperti urea, cepat berdifusi, sedangkan molekul yang susunan yang
kompleks serta molekul besar, seperti fosfat, β2- microglobulin, dan albumin, dan
zat terlarut yang terikat protein seperti p- cresol, lebih lambat berdifusi. Disamping
difusi, zat terlarut dapat melalui lubang kecil (pori-pori) di membran dengan bantuan
proses konveksi yang ditentukan oleh gradien tekanan hidrostatik dan osmotik –
sebuah proses yang dinamakan ultrafiltrasi (Cahyaning, 2019).
Ultrafiltrasi saat berlangsung, tidak ada perubahan dalam konsentrasi zat
terlarut, tujuan utama dari ultrafiltrasi ini adalah untuk membuang kelebihan cairan
tubuh total. Sesi tiap dialisis, status fisiologis pasien harus diperiksa agar peresepan
dialisis dapat disesuaikan dengan tujuan untuk masing-masing sesi. Hal ini dapat
dilakukan dengan menyatukan komponen peresepan dialisis yang terpisah namun
berkaitan untuk mencapai laju dan jumlah keseluruhan pembuangan cairan dan zat
terlarut yang diinginkan. Dialisis ditujukan untuk menghilangkan komplek gejala
(symptoms) yang dikenal sebagai sindrom uremi (uremic syndrome), walaupun sulit
membuktikan bahwa disfungsi sel ataupun organ tertentu merupakan penyebab dari
akumulasi zat terlarut tertentu pada kasus uremia (Lindley, 2018).
Aliran darah pada hemodialisis yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen
dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan
kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan
lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus
selofan yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan
melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya.
Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui
membrane semipermeabel tubulus (Brunner & Suddarth, 2016).
Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi
dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat
dengan konsentrasi yang lebih rendah (Lavey, 2018). Cairan dialisat tersusun dari
semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan
cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat
dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari
daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih
rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan melalui penambahan
tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan
negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan
memfasilitasi pengeluaran air (Elizabeth, et all, 2018).
Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan femoralis,
fistula, dan tandur. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat
dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter
femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian
segera dan sementara (Barnett & Pinikaha, 2017).
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan
pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung
(anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan antara
ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6
minggu menjadi matang sebelum siap digunakan (Brruner & Suddart, 2018). Waktu
ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena
fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar
dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup
banyak aliran darah yang akan mengalir melalui dializer. Segmen vena fistula
digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis (Barnett
& Pinikaha, 2017).
Tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh darah
arteri atau vena dari materia gore-tex (heterograf) pada saat menyediakan lumen
sebagai tempat penusukan jarum dialisis. Ttandur dibuat bila pembuluh darah pasien
sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula (Brunner & Suddart, 2018).
2.7 Komplikasi
Komplikasi terapi dialisis mencakup beberapa hal seperti hipotensi, emboli
udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus. Masing – masing
dari point tersebut (hipotensi, emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan
dialisis, dan pruritus) disebabkan oleh beberapa faktor. Hipotensi terjadi selama
terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan. Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena
pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisis natrium, penyakit jantung,
aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan berat cairan. Emboli udara
terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien (Hudak & Gallo, 2019 ).
Nyeri dada dapat terjadi karena PCO₂ menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah diluar tubuh, sedangkan gangguan keseimbangan dialisis terjadi
karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi
ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.
Pruritus terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit (Smelzer, 2018)
Terapi hemodialisis juga dapat mengakibatkan komplikasi sindrom
disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan intrakranial,
kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan
hipoksemia, namun komplikasi tersebut jarang terjadi. (Brunner & Suddarth, 2018).
1. Biodata: Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th)
meskipun dapat juga terjadi pada usia muda, dapat terjadi pada semua jenis
kelamin tetapi 70 % pada pria.
2. Keluhan utama: Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum),
gatal pada kulit.
3. Riwayat penyakit:
Sekarang : Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, reaksi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.
Dahulu : Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic
Hyperplasia, prostatektomi.
Keluarga : Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM)
4. Tanda vital : Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas
cepat dan dalam (Kussmaul), dyspnea.
5. Pemeriksaan Fisik :
a. Pernafasan (B 1 : Breathing):
Gejala : Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk
dengan/tanpa sputum, kental dan banyak.
Tanda : Takhipnea, dispnea, peningkatan frekuensi napas, batuk
produktif dengan / tanpa sputum
b. Kardiovaskular (B 2 : Blood)
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada
atau angina dan sesak nafas, gangguan irama jantung,
edema.
Tanda : Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada
kaki, telapak tangan, disritmia jantung, nadi lemah halus,
hipotensi ortostatik, friction rub perikardial, pucat, kulit
coklat kehijauan, kuning, kecendrungan perdarahan.
c. Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent
sampai koma
d. Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)
Gejala : Penurunan frekuensi urine, warna urine kuning tua dan
pekat, tidak dapat kencing, oliguria (kencing sedikit
kurang dari 400 cc/hari), anuria (gagal tahap lanjut),
abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan)
oliguria atau anuria
e. Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, faktor uremicum, hiccup, gastritis
erosiva dan diare
f. Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki,
(memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya
infeksi.
Tanda : Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimosis
pada kulit, fraktur tulang, defisit fosfat kalsium, pada
kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan gerak sendi.
6. Pola aktivitas sehari-hari
Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat : Pada pasien gagal
ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup
sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal
kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap
dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur
pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu
adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien
Pola nutrisi dan metabolisme : Anoreksia, mual, muntah dan rasa
pahit pada rongga mulut, intake minum yang kurang dan mudah
lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status
kesehatan klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema)
penurunan berat badan (malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual
muntah, bau mulut (amonia), penggunaan diuretik, gangguan
status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan
memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis,
kuku rapuh.
Pola tidur dan Istirahat : Gelisah, cemas, gangguan tidur.
Pola Aktivitas dan latihan : Klien mudah mengalami kelelahan dan
lemas menyebabkan klien tidak mampu melaksanakan aktivitas
sehari-hari secara maksimal, kelemahan otot, kehilangan tonus,
penurunan rentang gerak.
Pola hubungan dan peran : Kesulitan menentukan kondisi (tidak
mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran).
Pola sensori dan kognitif : Klien dengan gagal ginjal kronik
cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada luka sehingga
tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat dan
mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak.
Pola persepsi dan konsep diri : Adanya perubahan fungsi dan
struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami gangguan
pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami
kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).
Pola seksual dan reproduksi : Angiopati dapat terjadi pada sistem
pembuluh darah di organ reproduksi sehingga menyebabkan
gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta
memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme, penurunan
libido, amenorea, infertilitas.
Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping : Lamanya
waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,
perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain,
dapat menyebabkan klien tidak mampu menggunakan mekanisme
koping yang konstruktif / adaptif. Faktor stress, perasaan tak
berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan. Menolak, ansietas,
takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
Pola tata nilai dan kepercayaan : Adanya perubahan status
kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal ginjal kronik
dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun
mempengaruhi pola ibadah klien
Andra, S.W., & Yessie, M.P (2013). KMB I Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan
Dewasa Teori Dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika.
Doengoes E, Marilynn, dkk.(2012). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Keperawatan Pasien.Edisi 3. Jakarta: EGC
Masriadi. (2016). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: CV Trans Info Media.
Nahas, Meguid El & Adeera levin. 2010. Chronic Kidney Disease: a practical Guide to
Understanding and Management. USA: Oxford University Press.
Prabowo, E., Pranata, A.E. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Yogyakarta Nuha Medika.
Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. (2013).Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa :
Stiyono, J. Jakarta: Salemba Medika
Smeltzer & bare (2014) keperawatan medikal bedah. Brunner & suddarth, Jakarta : EGC
Smeltzer & bare (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddarth,
Edisi 8. Jakarta:EGC
Sudoyo, A.W., Setiyohadi,B., Alwi, I., Simadibrata, K,M., Setiati, S. (2019). Buku Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing.
Suharyanto & Madjid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: CV. Trans Info Medika
Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI
TIM Pokja SIKI DPP PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI