Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Chronic Kidney Disease (CKD) menggambarkan gangguan heterogen yang

mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal (Levey dan Coresh, 2012). Chronic Kidney

Disease (CKD) didefinisikan sebagai kelainan struktur dan fungsi ginjal selama tiga

bulan atau lebih, yang berdampak bagi kesehatan. Kelainan struktural ginjal meliputi

albuminuria lebih dari 30 mg/hari, terjadinya hematuria atau adanya sel darah merah

dalam sedimen urin, gangguan elektrolit dan kelainan lain akibat gangguan tubular

(Wells et al., 2015). Diperkirakan lebih dari 500 juta orang diseluruh dunia memiliki

masalah kesehatan pada organ ginjal. Di Amerika Serikat lebih dari setengah orang

dengan usia 70 tahun atau lebih menderita CKD. Prevalensi CKD sedang hingga berat

telah dilaporkan 38% untuk orang dewasa yang usianya lebih dari 70 tahun

dibandingkan dengan 1% orang dewasa usia 20-30 tahun (Askari et al., 2016).

Prevalensi penyakit ginjal kronis di negara-negara asia substansial telah dilaporkan

setinggi 17% (Lim et al., 2014). Di Indonesia sebanyak 0,2% dari total penduduk di

Indonesia menderita Chronic Kidney Disease (CKD) (Riskesdas, 2013). WHO

memperkirakan di Indonesia akan terjadi peningkatan penderita gagal ginjal pada

tahun 1995-2025 sebesar 41,4%. Menurut data Persatuan Nefrologi Indonesia

(PERNEFRI) tahun 2014, diperkirakan terdapat 70.000 penduduk Indonesia yang

menderita gagal ginjal, dan angka ini akan terus meningkat sebesar 10% setiap

tahunnya. Dilaporkan pada tahun 2007 hingga 2014 jumlah pasien baru yang

melakukan hemodialisis setiap tahunnya terus meningkat, pada tahun 2007 terdapat

4.997 pasien dan meningkat pada tahun 2014 terdapat 17.193 pasien.
Cairan ekstrasellular yang berlebih menjadi masalah utama pada pasien CKD

dan menjadi penyebab edema, hipertensi, penyumbatan pembuluh darah paru atau

edema paru, dan gagal jantung (Tai et al., 2014). Penurunan fungsi ginjal yang

progressif menyebabkan filtrasi Na berkurang dan penekanan tidak tepat dari

reabsorbsi tubular yang akhirnya menyebabkan peningkatan volume cairan

ekstrasellular. Manifestasi ini terjadi pada pasien CKD stadium sedang hingga berat

yang dikaitkan dengan hipertensi, congestive heart failure (CHF), dan left ventricular

hypertrophy (LVH).

Salah satu cara non farmakologis atau tindakan keperawatan untuk mengatasi

edema atau pembengkakan pada pasien CKD yaitu dengan kompres dingin. Kompres

dingin adalah suatu metode dalam penggunaan suhu rendah setempat yang dapat

menimbulkan beberapa efek fisiologis. Waktu reaksi rasa dingin lebih cepat

dibandingkan kecepatan hantaran rasa panas. Rasa dingin juga lebih mudah

menembus jaringan dibandingkan dengan panas. (Arovah, 2016). Meskipun sensasi

dari kompres es akan menimbulkan rasa tidak nyaman di awal, tetapi cara ini bisa

mengatasi edema atau pembengkakan pada pasien CKD.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Chronic Kidney Disease (CKD)

1. Definisi CKD

Secara definisi, penyakit ginjal kronik disebut juga sebagai Chronic Kidney

Disease (CKD). Penyakit ginjal kronik atau penyakit gagal ginjal stadium akhir

adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible dimana kemapuan

tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan serta

elektrolit sehingga menyebabkan uremia yaitu retensi urea dan sampah nitrogen

lain dalam darah (Smeltzer and Bare, 2014).

Penyakit ginjal kronis merupakan penyakit pada ginjal yang perisisten

(berlangsung lebih dari 3 bulan) dengan kerusakan ginjal dan kerusakan

Glomerular Fitration Rate (GFR) dengan angka GFR lebih dari 60 ml/menit/1.73

m2 (Prabowo dan Pranata, 2014).

2. Etiologi

a. Infeksi misalnya pielonefritis kronik (Infeksi saluran kemih),

glomerulonefritis (penyakit peradangan). Pielonefritis adalah proses infeksi

peradangan yang biasanya mulai di renal pelvis, saluran ginjal yang

menghubungkan ke saluran kencing (ureter) dan parencyma ginjal atau

jaringan ginjal. Glomerulonefritis disebabkan oleh salah satu dari banyak

penyakit yang merusak baik glomerulus maupun tubulus. Pada tahap

penyakit berikutnya keseluruhan kemampuan penyaringan ginjal sangat

berkurang.
b. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,

nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis disebabkan karena

terjadinya kerusakan vaskulararisasi di ginjal oleh adanya peningkatan

tekanan darah akut dan kronik.

c. Gangguan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis

nodosa, sklerosis sistemik progresif disebabkan oleh kompleks imun dalam

sirkulasi yang ada dalam membran basalis glomerulus dan menimbulkan

kerusakan. Penyakit peradangan kronik dimana sistem imun dalam tubu

menyerang jaringan sehat, sehingga menimbulkan gejala diberbagai organ.

d. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,

asidosis tubulus ginjal.

3. Klasifikasi

a. Derajat I Kerusakan ginjal dengan GFR normal Risiko >90

b. Derajat II Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan Chronic Renal

Insufisiensi (CRI) 60-89

c. Derajat III Penurunan GFR tingkat sedang CRI, Chronic Renal Failure (CFR)

30-59

d. Derajat IV Penurunan GFR tingkat berat CFR 15-29

e. Derajat V Gagal ginjal End-Stage Renal Disease (ESDR) <15

4. Manifestasi Klinis

a. Gangguan gastrointestinal

Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme

protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi

dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.


b. Gangguan kardiovaskuler

Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi

perikardiak dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan

irama jantung dan edema. Kondisi bengkak bisa terjadi pada bagian

pergelangan kaki, tangan, wajah, dan betis. Kondisi ini disebabkan

ketika tubuh tidak bisa mengeluarkan semua cairan yang menumpuk

dalam tubuh.

B. Edema

Edema merupakan pembengkakan lokal yang dihasilkan oleh cairan dan

beberapa sel yang berpindah dari aliran darah ke jaringan interstitial (Robbins et

al, 2015). Edema adalah salah satu tanda adanya inflamasi. Inflamasi merupakan

reaksi pertahanan organisme dan jaringan terhadap kerusakan, tujuannya adalah

memperbaiki kerusakan atau paling tidak membatasinya serta menghilangkan

penyebab kerusakan, seperti bakteri atau benda asing (Silbernagl dan Florian,

2013).

C. Kompres Dingin

Kompres dingin adalah memberi rasa dingin pada daerah setempat dengan

menggunakan kain yang dicelupkan pada air dingin atau air es sehingga memberi

efek rasa dingin pada daerah tersebut. Tujuan memberikan kompres dingin adalah

menghilangkan oedema atau trauma, mempersempit pembuluh darah, mengurangi

arus darah lokal, dan menurunkan respon inflamasi jaringan.

Terapi dingin digunakan sebagai modalitas terapi yang dapat menyerap

suhu jaringan sehingga terjadi penurunan suhu jaringan melewati mekanisme

konduksi. Untuk memberikan efek terapeutik yang diharapkan (mengurangi

oedema), sebaiknya suhu tidak terlalu dingin (± 12 0C), karena suhu yang terlalu
dingin selain memberikan rasa yang tidak nyaman juga dapat menyebabkan

frosbite / membeku.

Jenis-jenis kompres dingin yang banyak digunakan menurut Saputri (2015)

antara lain

1) Kompres dingin basah dengan larutan obat anti septik

2) Kompres dingin basah dengan air biasa/air es menggunakan handuk atau

waslap

3) Kompres dingin kering dengan kirbat es (eskap)

4) Kompres dingin berbasis gel

5) Ice packs : merupakan kemasan yang dapat menyimpan es dan membuat es

tersebut dapat terjaga dalam waktu relative lama diluar freezer daripada kemasan

plastic

6) Cold bath/water immersion: terapi mandi di dalam air dingin dalam jangka

waktu maksimal 20 menit.

Anda mungkin juga menyukai