Anda di halaman 1dari 53

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Chronic Kidney Disease (CKD)

1. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD)

CKD atau gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kondisi dimana

ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif,

inversibel, dan samar yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal

dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan

elektrolit (Smeltzer, 2010). Ketika massa ginjal yang tersisa tidak

dapat lagi menjaga lingkungan internal tubuh, maka akibatnya ginjal

berada pada posisi penyakit ginjal stadium lima atau End Stage Renal

Disease (ESRD) yang ditandai dengan azotemia, uremia dan sindrom

uremik (Black, 2014).

Penyakit Chronic Kidney Deases (CKD) adalah kerusakan ginjal

yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis.

Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik

ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerolus kurang dari 60

ml/menit/1,73 m², namun apabila tidak terdapat kerusakan ginjal lebih

dari 3 bulan, dan Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) sama atau lebih dari

60 ml/menit maka tidak termasuk kriteria CKD (Kidney Disease

Outcome Quality Initiative, 2010).

Gagal ginjal kronik adalah kegagalan fungsi ginjal untuk

mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan


elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan

manifestasi penumpukan sisa metabolik (toksik uremik) di dalam

darah (Muttaqin & Sari, 2014). CKD stadium lima atau end stage

renal disease (ESRD) adalah kerusakan fungsi ginjal yang progresif

dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara

metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit

berakibat peningkatan ureum (Smeltzer et, al 2014).

2. Patofisiologi Chronic Kidney Disease (CKD)

Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam

dan penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada

bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25%

normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena

nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang

rusak. Nefron yang tersisa meningkat kecepatan filtrasi, reabsorbsi

dan sekresinya serta mengalami hipertrofi. Seiring dengan makin

banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi

tugas yang semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak

dan akhirnya mati. Sebagian siklus kematian ini tampaknya berkaitan

dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan

reabsorbsi protein. Seiring dengan penyusutan progresif nefron-nefron,

terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal mungkin

berkurang (Corwin, 2011).

Disfungsi ginjal mengakibatkan keadaan patologik yang kompleks

termasuk diantaranya penurunan GFR (Glomerulous Filtration Rate),


pengeluaran produksi urine dan eksresi air yang abnormal. Hemestasis

dipertahankan oleh hipertrofi nefron. Hal ini terjadi karena hipertrofi

nefron hanya dapat mempertahankan eksresi solates dan sisa-sisa

produksi dengan jalan menurunkan reabsorbsi air sehingga terjadi

hipostenuria (kehilangan kemampuan mengikat urin) dan poliuria

adalah peningkatan output ginjal yang merupakan tanda awal CKD

dan dapat menyebabkan dehidrasi ringan. Perkembangan penyakit

selanjutnya kemampuan memekat urin menjadi semakin berkurang.

Osmolaritasnya (isotenuria) jika fungsi ginjal mencapai tingkat ini

maka serum BUN meningkat secara otomatis, dan pasien akan

beresiko lebih beban cairan seiring dengan output urin yang semakin

tidak adekuat. Pasien dengan CKD mungkin menjadi dehidrasi atau

mengalami kelebihan beban cairan tergantung pada tingkat gagal ginjal

(Brunner & Suddart, 2007).

Perubahan metabolik pada gagal ginjal juga menyebabkan

gangguan ekresi BUN dan kreatinin. Kreatinin sebagian diekresikan

oleh tubulus ginjal dan penurunan fungsi ginjal berdampak pada

pembentukan serum kreatini. Adanya peningkatan konsentrasi BUN

dan kreatinin dalam darah disebut azotemia yang merupakan salah satu

petunjuk gagal ginjal (Brunner & Suddart, 2007).

Perubahan kardiak pada CKD menyebabkan sejumlah gangguan

sistem kardiovaskuler. Manifestasi umumnya yaitu anemia, hipertensi,

gagal jantung kongestif, dan perikarditis. Anemia disebabkan oleh

penurunan tingkat eirtropoeitin, penurunan masa hidup sel darah


merah akibat dari uremia, defisiensi besi dan asam laktat serta

perdarahan gastrointestinal. Hipertropi terjadi karena peningkatan

tekanan darah akibat overload cairan dan sodium serta kesalahn fungsi

sistem renin. Angiotensin aldosteron CRF menyebabkan peningkatan

beban kerja jantung karena anemia, hipertensi, dan kelebihan cairan

(Brunner & Suddart, 2007).

3. WOC Chronic Kidney Disease (Terlampir)

B. Konsep Edema

1. Definisi Edema

Edema dapat diartikan sebagai pembengkakan jaringan subcutan

yang apabila ditekan akan menimbulkan cekungan (Naga, 2013 dalam

Robiati, 2019). Edema terjadi ketika cairan interstitial dikeluarkan oleh

limfatik sirkulasi, edema akan terbentuk ketika aliran kapiler filtrasi

melebihi kapasitas limfatik (Mosti, 2013 dalam Robiati, 2019). Pada

pasien gagal ginjal terjadi penurunan fungsi ginjal berupa terjadinya

peningkatan jumlah nefron yang tidak dapat berfungsi sehingga ginjal

tidak mampu menyaring urine. Hal ini menyebabkan glomerulus

menjadi kaku dan plasma tidak dapat difilter dengan mudah melalui

tubulus sehingga terjadi retensi air dan natrium yang menyebabkan

udema (O’Callaghan, 2009 ; Smeltzer, 2010).

Pada udema tungkai sering terjadi akumulasi cairan interstinal

yang pada satu atau kedua tungkai. Karakteristik udema tungkai yang

terjadi pada pasien gagal ginjal kronik yaitu (Suciyadi, 2016) :


a. Pitting edema pada pretibia, pergelangan kaki, dan dorsum

pedis

b. Responsif dengan pemberian diuretik

c. Umumnya tidak ada nyeri penekanan

2. Patofisiologi Udema

Normalnya cairan bergerak bebas diantara ruang interstitial dengan

ruang intravaskuler untuk mempertahankan homeostasis. Cara

mempertahankan homesostasis yaitu pada saat tekanan hidrostatik

kapiler diujung kapiler arteri lebih besar daripada tekanan osmotik

plasma sehingga cairan keluar dari kapiler. Sebaliknya jika diujung

kapiler dekat vena, tekanan osmotik lebih tinggi maka akan menarik

cairan kedalam kapiler. Menurut (Naga, 2013) ada 3 faktor yang

menjadi penyebab terjadinya edema. Pertama, dinding kapiler bocor

sehingga molekul protein keluar dengan mudah ke dalam cairan

interstisial. Kedua, tekanan pada ujung kapiler vena masih cukup tiggi

atau bahkan lebih tinggi dibandingkan tekanan osmotik koloid dalam

darah terlalu rendah. Sebagian besar penyebab rendahnya tekanan ini

adalah kadar albumin dalam serum terlalu rendah. Jika kadar albumin

kurang dari 2,5% maka akan terjadi edema.

3. Pengukuran Udema

Menurut Sukmana (2016) pemeriksaan kedalaman dan pemulihan

udema (pitting udema) meliputi nilai 0 tidak ada udema, nilai 1 jika

sedikit pitting (kedalaman 2 mm) tanpa terlihat distorsi, nilai 2 jika

agak lebih dalam pitting (4 mm), niai 3 jika pitting edema terasa lebih
dalam (6 mm) dengan ekstremitas tergantug penuh dan bengkak, dan

nilai 4 jika pitting edema sangat dalam (8 mm).

4. Penilaian Pitting Edema

Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3 Derajat 4

Edema ≥ 2 Edema 2-4 Edema 4-6 Edema 6-8 mm


mm (1+) mm (2+) mm (3+) (4+)

1. Lubang 1. Lubang 1. Lubang 1. Lubang


kecil yang agak terasa sangat sangat dalam
2. Tidak ada dalam dalam 2. Berlangsung
distorsi 2. Tidak 2. Dapat selama 2-5
yang terdeteksi bertahan menit
terlihat distorsi lebih dari 1 3. Ketergantun
3. Hilang 3. Hilang menit gan
dengan dalam 10- 3. Terlihat ekstremitas
cepat 15 detik ekstremitas sangat
4. Indentasi bergantung terdistorsi
(2-4 mm) lebih penuh (6=8 mm)
dan bengkak
(4-6 mm)
Sumber : GPHN (2012) dalam Robin (2019)
C. Asuhan Keperawatan Teoritis

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan

Chronic Kidney Disease (CKD) hendaknya dilakukan secara

komprehensif dengan menggunakan proses keperawatan. Proses

keperawatan adalah suatu metode sistemik untuk mengkaji respon manusia

terhadap masalah-masalah dan membuat rencana keperawatan yang

bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Masalah-masalah

kesehatan dapat berhubungan dengan keluarga klien juga orang terdekat

atau masyarakat. Proses keperawatan mendokumentasikan kontribusi

perawat dalam mengurangi atau mengatasi masalah kesehatan.

1. Pengkajian

a. Identitas

Identitas pasien meliputi nama, No MR, umur (lebih sering

terjadi pada usia 30-60 tahun), agama, jenis kelamin (biasanya lebih

sering terjadi pada pria dikarenakan pola makan dan pola kebiasaan

yang tidak sehat (Price dan Wilson, 2014), pekerjaan, status

perkawinan, alamat, tanggal rawat, diagnosa dan identitas

penanggung jawab.

b. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan Utama

Pada klien dengan CKD, masuk rumah sakit dengan

keluhan yang bervariasi, mulai dari nafas terasa sesak, urin

keluar sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah, penurunan


kesadaran, tidak nafsu makan, mual muntah, mulut terasa

kering, rasa lelah, nafas bau (uremia), gatal pada kulit, dan

bengkak pada wajah dan kaki (Muttaqin, 2011). Pasien dengan

CKD sering kali mengeluh kulit sangat kering, terjadinya

perubahan warna kulit, terdapat gatal pada kulit dan kulit pucat

(Black & Hawks, 2014). Biasanya klien dengan gagal ginjal

kronik beresiko untuk meningkatkan terjadinya ulkus dekubitus

karena pada kondisi ini dapat menyebabkan senyawa-senyawa

beracun dalam darah yang dapat merusak jaringan kulit

(Smeltzer C, 2014).

Kondisi ini dipicu oleh karena penumpukan (akumulasi) zat

sisa metabolisme/toksin dalam tubuh karena ginjal mengalami

kegagalan filtrasi (Prabowo, 2014).

2) Riwayat Kesehatan Sekarang

Pasien dengan gagal ginjal kronik akan mengeluh kurang

nafsu makan, mual, muntah, cegukan, terdapat adanya udema,

kedutan otot, dan susah berkonsentrasi (Smeltzer, 2009).

Selain itu, klien juga akan mengeluh penurunan frekuensi

urin, perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan

kulit, adanya nafas berbau amoniak, rasa sakit kepala, nyeri

panggul, penglihatan kabur, dan perubahan pemenuhan nutrisi

(Muttaqin, 2011). Udema yang terjadi pada pasien CKD ini

terjadi karena karena adanya penurunan fungsi ginjal dimana

ginjal tidak mampu mengekskresikan cairan yang berlebih


akibatnya terjadi penumpukan cairan karena berkurangnya

tekanan osmotik plasma dan retensi natrium serta air (Faruq,

2019).

3) Riwayat Kesehatan Dahulu

Seseorang yang menderita CKD memiliki berbagai macam

riwayat penyakit seperti gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih,

payah jantung, penggunaan obat-obatan nefrotoksik, penyakit

batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang,

penyakit diabetes melitus, dan hipertensi pada masa sebelumnya

yang menjadi predisposisi penyebab penting untuk dikaji

mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya

riwayat alergi terhadap jenis obat yang bersifat nefrotoksik

yang dapat mempengaruhi kerja ginjal (Muttaqin, 2011).

4) Riwayat Kesehatan Keluarga

Biasanya terdapat adanya anggota keluarga yang menderita

sakit yang sama seperti klien yaitu gagal ginjal maupun penyakit

seperti diabetes mellitus dan hipertensi yang bisa menjadi faktor

pencetus terjadinya penyakit gagal ginjal kronik (Smeltzer C,

2014).

5) Pola Persepsi Dan Penanganan Kesehatan

Persepsi terhadap penyakit biasanya pasien dengan CKD

merasa cemas dengan penyakit yang dideritanya dan tindakan

pengobatan yang dijalaninya. Selain itu klien dengan CKD


biasanya memiliki kebiasaan merokok, alkohol, dan obat-obatan

dalam kesehariannya (Muttaqin, 2011).

6) Pola Nutrisi/Metabolisme

a) Pola makan

Pasien dengan CKD akan mengeluhkan adanya

mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder, bau mulut

ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran

cerna, hal ini disebabkan karena pasien dengan CKD terjadi

peningkatan metabolisme akibat sekresi protein yang

terganggu yang memicu terjadinya peningkatan HCl

sehingga terjadi mual, muntah, serta anoreksia (Smeltzer,

2014).

b) Pola minum

Pasien dengan CKD akan sering mengeluh cepat

haus, hal ini disebabkan karena adanya peningkatan

osmolalitas cairan ekstra sel, kemudian ginjal melepas renin

yang mengakibatkan produksi angiotensin II yang

merangsang hipotalamus kemudian menghasilkan rasa haus

(Saputra, 2013 dalam Sari, 2016). Selain itu, rasa haus yang

dirasakan pasien dengan CKD juga dapat disebabkan oleh

nefron yang menerima kelebihan natrium yang

menyebabkan GFR menurun dan dehidrasi, sehingga

menimbulkan rasa haus (Muttaqin 2011).


Akan tetapi, Pada pasien dengan CKD terdapat

pembatasan asupan cairan, hal ini karena pembatasan cairan

merupakan salah satu terapi yang diberikan bagi pasien

penyakit ginjal tahap akhir untuk pencegahan, penurunan

dan terapi terhadap kondisi komorbid yang dapat

memperburuk keadaan pasien jika tidak dilakukan

pembatasan cairan (Istanti, 2013).

7) Pola Eliminasi

a) BAB

Biasanya pasien dengan CKD mengalami abdomen

kembung, diare atau konstipasi (Price dan Wilson, 2014).

b) BAK

Pasien dengan CKD akan mengalami penurunan

frekuensi urin, oligurasia, anuria, serta terjadi perubahan

warna urin (Price dan Wilson, 2014). Hal ini terjadi karena

pada pasien CKD glomerulus akan kaku dan plasma tidak

dapat di filter dengan mudahnya lewat tobulus sehingga

terjadi retensi natrium dan cairan yang mengakibatkan ginjal

tidak mampu dalam mengkonsentrasikan atau

mengencerkan urine secara normal sehingga terjadi

penurunan produksi urin maupun oliguria (Muttaqin, 2011).

8) Pola Aktivitas/Latihan

a) Kemampuan Perawatan Diri


Sebagian besar pasien CKD untuk pemenuhan ADL

dibantu oleh keluarga karena mengalami kram otot,

kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang (Suyono 2009). Hal

ini terjadi karena pasien dengan CKD terjadi penurunan

konsentrasi vitamin D aktif dalam darah yang menyebabkan

kalsium tulang dan serum plasma menurun, sehingga pasien

sering mengeluhkan adanya kelemahan. Selain itu, rasa lelah

yang dirasakan oleh pasien dengan CKD dapat disebabkan

karena kurangnya energi akibat pembatasan (diet) cairan dan

makanan (Bayhakki dan Hattakit, 2012).

a) Kebersihan diri (x/hari)

Pasien dengan CKD akan mengalami defisit

perawatan diri. Karena perawatan ADL pasien dibantu oleh

keluarga atau perawat. Hal ini disebabkan karena pasien

dengan CKD mengalami kelemahan otot yang dapat

disebabkan karena kurangnya energi akibat pembatasan

(diet) cairan dan makanan (Bayhakki dan Hattakit, 2012).

b) Kekuatan otot

Pasien dengan CKD mengalami kelemahan otot

(Suyono 2009). Hal ini disebabkan karena kurangnya energi

akibat pembatasan (diet) cairan dan makanan (Bayhakki dan

Hattakit, 2012). Selain itu, pasien CKD juga mengalami

penurunan konsentrasi vitamin D aktif dalam darah yang


menyebabkan kalsium tulang dan serum plasma menurun,

sehingga pasien sering mengeluhkan adanya kelemahan otot.

9) Pola Istirahat Tidur

Pasien CKD akan mengalami gangguan tidur, gelisah,

karna adanya kondisi yang mengganggu seperti sesak nafas,

nyeri panggul, sakit kepala, dan kram pada otot atau kaki

(Muttaqin, 2011). Gangguan tidur pada pasien CKD dapat

disebabkan karena progresifnya gejala dan penyakit CKD atau

proses pengobatan seperti hemodialisis yang dijalaninya yang

menyebabkan peningkatan hormon paratiroid, osteodistrofi

renal, gangguan nafas saat tidur dan kantuk di siang hari yang

berlebihan, sehingga pasien akan mengalami gangguan tidur

(Sari, 2016).

10) Pola Kognitif-Persepsi

Pada pasien dengan CKD akan mengalami gangguan

kognitif. Hal ini disebabkan karena pada pasien CKD terjadi

azotemia akibat peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam

darah sehingga terjadi uremic encephalopathy yaitu gangguan

otak yang disebabkan oleh gagal ginjal kronis dengan

manisfestasinya berupa gejala ringan seperti menurunnya fungsi

kognitif, kelemahan dan kelelahan sampai gejala yang lebih

berat seperti koma (Bucurescu, 2014 dalam Manus, dkk. 2015).

Selain itu, racun uremia yang menyerang otak dan

mempengaruhi sensitivitas sistem saraf pusat sehingga terjadi


ketidakseimbangan neurotransmitter dan juga dipengaruhi oleh

hormon paratiroid yang dilepaskan secara abnormal yang

mempengaruhi fungsi neuropsikologi yang ditandai dengan

perubahan kognitif yaitu mudah gelisah, penurunan daya ingat,

dan gangguan emosi (Smeltzer, dkk. 2008 dalam Amalina, dkk.

2018).

11) Pola Peran Hubungan

Biasanya tidak terganggu pada hubungan keluarga biasanya

selalu mendukung pasien. Karena hal ini tergantung dari

dukungan social yang diterima oleh pasien, emosiaonal dari

keluarga dan kelompok sosial dilingkungan pasien, juga

dukungan instrumental dan informasional yang didapatkan oleh

pasien (Suwanti, dkk. 2017).

12) Pola Seksual/Reproduksi

Biasanya klien dengan gagal ginjal kronik mengalami

penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi, dan dan

atrofi testikuler (Margareth, 2012). Dari Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Hudak & Gallo (2010), hal ini terjadi karena

penyakitnya atau efek samping dari obat-obat anti hipertensi.

Pada wanita selama proses hemodialisis tidak mengalami proses

menstruasi karena pengaruh obat imunosupresi.

13) Pola Persepsi Diri/Konsep Diri

Biasanya Body image/gambaran diri, Role/peran, Self

esteem/harga diri, Self ideal/ideal diri pada pasien CKD


terganggu karena klien mengalami penyakit kronis. Klien

dengan GGK mengalami gangguan gambaran diri karena

menjalani hemodialisa yang mengakibatkan adanya perubahan

fungsi struktur tubuh klien, seperti nafas berbau gas atau bau

amonia, kulit kering, kulit menghitam, kulit terasa gatal, serta

perut, mata, tangan dan kaki yang membengkak (oedema).

Penderita juga merasa malu didepan keluarga akibat perubahan

fisik yang dialaminya (Potter & Perry 2005 dalam Hardiyanti,

2016).

14) Pola Koping-Toleransi Stress

Kadang pasien dengan CKD mengalami stress akibat

penyakit yang dirasakannya pada saat sekarang ini. Hal ini

terjadi karena pasien dengan CKD merasa cemas terkait

penderitaan yang sangat panjang (seumur hidup). Selain itu,

sering terdapat bayangan tentang berbagai macam pikiran yang

menakutkan terhadap proses penderitaan dan pengobatan yang

akan terjadi padanya (Jangkup, dkk. 2015).

15) Pola Keyakinan Dan Nilai

Biasanya klien mengalami gangguan pada tata nilai dan

kepercayaan. Hal ini disebabkan karena penyakit kronis seperti

gagal ginjal kronis dapat berpengaruh terhadap hubungan

dengan Yang Maha Tinggi menyangkut iman dan harapan

hidup, dengan alasan kelemahan fisik (Kurniawati & Abu

Bakar, 2013).
16) Pemeriksaan Fisik

Gambaran
Tanda Vital Suhu : biasanya meningkat (>37oC),
Lokasi : axilla
Nadi : biasanya meningkat (60-100x/i)
Irama : biasanya teratur
Pulsasi : biasanya kuat
TD : biasanya meningkat (>120/80
mmHg)
Lokasi : lengan atas
RR : biasanya meningkat (>24x/i)
Irama : biasanya cepat
(Tarwoto, 2012)
Tinggi Sesuai dengan pengukuran tinggi pasien
badan
Berat badan Biasanya terjadi peningkatan berat badan
karena adanya udema (Smeltzer, 2013)
LILA Sesuai dengan pengukuran LILA
Kepala :
Rambut Rambut berwarna hitam, rambut bersih dan
tidak ada ketombe dan rambut tidak mudah
rontok
Mata Konjungtiva anemis, sklera terlihat tidak
ikterik/ikterik (apabila metastase kehepar),
terdapat edema pada palpebra, dan
penglihatan kabur
Hidung Biasanya terdapat pernapasan cuping
hidung, hidung simetris kiri dan kanan,
tidak ada polip, terdapat pernapasan
kusmaul
Mulut Mukosa bibir kering dan terlihat pucat, dan
nafas berbau ureum
Telinga Telinga simetris kiri dan kanan, adanya
sedikit serumen dan tidak ada gangguan
pendengaran
(Suyono, 2009)
Leher
Trakea Biasanya tidak ada deviasi trakea
JVP Biasanya normal (5-2 CmH2O)
Tiroid Biasanya tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid
Nodus Limfe Biasanya tidak ada pembesaran kelenjar
getah bening
(Muttaqin, 2011)
Dada I : Biasanya simetris kiri dan kanan,
Paru tampak adanya penggunaan otot bantu
pernafasan, pernafasan cepat dan dangkal
P : Biasanya fremitus kiri dan kanan sama
P : Biasanya sonor atau redup jika terdapat
udem paru
A : Biasanya terdengar suara nafas
tambahan pada paru (ronchi)
(Suyono, 2009)
Jantung I : Biasanya iktus cordis tidak terlihat
P : Biasanya ictus cordis teraba di RIC V
midclavicula
P : Biasanya batas jantung normal
A : Biasanya S1 dan S2 normal, irama
reguler
(Suyono, 2009)
Abdomen I : Biasanya terjadi distensi abdomen,
asites, dan penumpukan cairan
A : Biasanya bising usus normal
P : Biasanya teraba adanya pembesaran
pada lien dan hepar (hepatomegali)
P : Biasanya timpani
(Suyono, 2009)
Ekstremitas Kekuatan otot : pasien mengalami
Muskuloskel penurunan kekuatan otot, pasien terlihat
etal/Sendi lemah, dan terdapat adanya kram otot
Inspeksi : tampak adanya edema
Palpasi : Biasanya tidak ditemukan atropi
otot
Vaskular Perifer : meningkat (>3 detik)
(Suyono, 2009)
Integumen Inspeksi : Pasien CKD akan ditemukan
kulit berwarna pucat akibat anemia dan
kekuning-kuningan akibat penimbunan
ureum, gatal-gatal akibat toksik, kulit
kering, bersisik, kuku tipis dan rapuh.
(Margareth, 2012).
Palpasi : Biasanya turgor kulit jelek, kulit
terasa sedikit kering dan tidak lembab
(Black & Hawks, 2014).

Neurologi
Status Biasanya kesadaran composmentis
mental/GCS Biasanya dalam batas normal
Saraf cranial Biasanya saraf cranial pasien normal
dengan pemeriksaan 12 nervus cranial
Reflek Biasanya reflek fisiologis pasien positif
fisiologi tetapi tergantung kondisi pasien
Reflek Biasanya reflek patologis pasien negatif
patologis tetapi masih tergantung kondisi pasien
(Smeltzer C. 2009)
Payudara Biasanya tidak ada masalah
Genitalia Biasanya terpasang kateter
Rectal Biasanya tidak ada kelainan

17) Pemeriksaan Penunjang

Menurut Sudono, S (2012) untuk memperkuat diagnosis

diperlukan pemeriksaan penunjang, diantaranya :

a) Pemeriksaan Laboratorium

(1) Urine

Volume urin pasien CKD didapatkan menurun <400

ml/24 jam (oliguria) dan anuria, urin berwarna pekat

atau keruh yang disebabkan oleh adanya bakteri dan

lemak. Natrium biasanya >40 mEq/L karna ginjal tidak

mampu mereabsorbsi natrium. Terjadi peningkatan

protein dalam urin (Brunner, 2013).

(2) Darah

Kadar ureum dalam darah (BUN) meningkat, kreatinin

meningkat hingga 10mg/dl, hematokrit menurun akibat

anemia, dan Hb kurang dari normalnya.

(3) AGD
Biasanya pH menurun, terjadi asidosis metabolik

(kurang dari 7,1) hal ini disebabkan karena kehilangan

kemampuan ginjal untuk mengeksresi hidrogen dan

amonia atau hasil akhir katabolisme protein

(4) Kalium

Biasanya akan terjadi peningkatan retensi sesuai

perpindahan seluler

b) Pemeriksaan Diagnostik

(1) Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)

Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri,

tanda-tanda perikarditis (misalnya voltase rendah),

aritmia dan gangguan elektrolit (hiperkalemia,

hipokalsemia).

(2) Pemeriksaan Uktrasonografi (USG)

Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal,

kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem

pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta

prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari

adanya faktor yang reversible seperti obstruksi oleh

karena batu atau massa tumor, juga untuk menilai

apakah proses sudah lanjut (ginjal yang lisut). USG ini

sering dipakai karena merupakan tindakan yang non-

invasif dan tidak memerlukan persiapan khusus.


(3) Foto Polos Abdomen

Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi dapat

memperburuk fungsi ginjal. Menilai bentuk dan besar

ginjaldan apakah ada batu atau obstruksi lain

(4) Pemeriksaan Pielografi Retrogad

Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible

(5) Pemeriksaan Foto Dada

Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat

penumpukan cairan (fluid overload), efusi pleura,

kardiomegali dan efusi pericardial.

18) Penatalaksanaan

a) Penatalaksanaan CKD

Penatalaksanaan pada pasien gagal ginjal kronik

menurut (Sudoyo, 2010) yaitu :

1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasanya adalah waktu

yang paling tepat untuk terapi yaitu sebelum terjadinya

penurunan LFG, sehingga pemburukan ginjal tidak

terjadi.

2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

(comorbid condition ) ini penting untuk mencegah

perburukan keadaan pasien.

3) Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal

dengan dua cara untuk mengurangi hiperfitrasi yang


merupakan faktor utama pemburukan ginjal yaitu

pembatasan asupan protein dan terapi farmakologi.

4) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

yaitu pengendalian diabetes, hipertensi, dispilidemia,

anemia, hiperfosfatemia, kelebihan cairan dan gangguan

keseimbangan cairan.

5) Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

6) Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi

ginjal.

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi,

terapi spesifik terhadap penyakit yang mendasarinya,

pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid,

pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi pengganti

ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Terapi

spesifik terhadap penyakit dasarnya diberikan ketika

sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga tidak terjadi

perburukan ginjal. Jika sudah terjadi penurunan LFG maka

terapi terhadap penyakit dasarnya ini sudah tidak banyak

manfaat. Sedangkan untuk terapi pengganti ginjal dilakukan

pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG

kurang dari 15 ml/menit (Suwitra, 2014).

b) Penatalaksanaan Tanda Klinis CKD (Udema)


Penatalaksanaan untuk mengurangi edema terdiri

dari penatalaksanaan farmakologi dan penatalaksanaan non-

farmakologis.

Adapun penatalaksanaan farmakologis yang

biasanya dilakukan yaitu (Igntavicius, 2006 dalam Hayani,

2014). :

1) Hemodialisis, yaitu proses pembersihan produk sampah

dan air dalam darah

2) Pemberian obat golongan diuretika, penatalaksanaan ini

bertujuan untuk menghambat reabsorbsi natrium pada

tubulus distal

3) Membatasi asupan cairan dan natrium

Sedangkan penatalaksanaan non-farmakologis untuk

mengatasi edema yaitu :

1) Ankle pumping exercise, latihan ini merupakan langkah

efektif untuk mengurangi edema karena akan

menimbulkan efek muscle pump sehingga akan

mendorong cairan yang ada di ekstrasel ke dalam

pembuluh darah dan kembali ke jantung sehingga udema

berkurang (Delila, 2006).

2) Contrast bath, terapi ini dapat mempercepat pemulihan

dengan meningkatkan sirkulasi perifer dengan

membuang sisa metabolisme tubuh. Selain itu dengan

memperlebar pembuluh darah sehingga lebih banyak


oksigen dipasok ke jaringan yang mengalami

pembengkakan yang membantu mengurangi udema

(Mooventhan & Vivethitha, 2014).

3) Pijat kaki, pemijatan pada kaki yang berulang akan

menimbulkan peningkatan suhu diarea pemijatan yang

dilakukan akan merangsang sensor saraf kaki sehingga

terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan getah bening

yang mempengaruhi aliran darah meningkat, sirkulasi

darah lancar yang dapat mengurangi bengkak (Aditya,

Sukarendra, dan Putu (2013) dalam (Afianti &

Mardhiyah, 2017).

4) Elevasi Kaki, Penatalaksanaan edema berupa elevasi 30°

menggunakan gravitasi untuk meningkatkan aliran vena

dan limpatik dari kaki. Pembuluh darah yang lebih tinggi

dari jantung gravitasi akan meningkatkan dan

menurunkan tekanan periver sehingga mengurangi

edema (Villeco & Otr, 2012 dalam Sukmana, Mayusef,

2016).

2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada masalah CKD

menurut SDKI (2017) adalah sebagai berikut :

a. Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi


b. Pola nafas tidak efektif b.d sindrom hipoventilasi, hambatan upaya
napas (kelemahan otot pernafasan)
c. Penurunan curah jantung b.d perubahan kontraktilitas
d. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi hemoglobin
e. Defisit nutrisi b.d kurangnya asupan makanan
f. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai &
kebutuhan oksigen
g. Resiko gangguan integritas kulit b.d perubahan sirkulasi,
kekurangan/kelebihan volume cairan
3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa SLKI SIKI

1. Hipervolemia Keseimbangan Cairan Manajemen


b.d gangguan Hipervolemia
mekanisme Kriteria Hasil : Aktivitas :
regulasi Observasi :
1. Asupan cairan (3/4) 1. Periksa tanda dan
2. Keluaran urin (3/4) gejala hipervolemia
3. Kelembaban membran (edema, ortopnea, suara
mukosa (3/4) nafas tambahan)
4. Asupan makanan (3/4) 2. Identifikasi penyebab
5. Edema (3/4) hipervolemia
6. Tekanan darah (3/4) 3. Monitor status
7. Denyut nadi radial hemodinamik (mis.
(3/4) Frekuensi jantung,
8. Membran mukosa tekanan darah, MAP,
(3/4) CVP, PAP) jika tersedia
9. BB (4/5) 4. Monitor intake dan
Output cairan
5. Monitor tanda
hemokonsentrasi (mis.
Perfusi Renal
Kadar natium, BUN,
Kriteria Hasil : hematokrit, berat jenis
urin)
1. Jumlah urine (3/4) 6. Monitor tanda
2. Mual (4/5) peningkatan tekanan
3. Muntah (4/5) onkotik plasma (mis.
4. Kadar kreatinin Kadar protein dan
plasma (4/5) albumin meningkat)
5. Keseimbangan asam 7. Monitor kecepatan
basa (4/5) infus secara ketat
8. monitor efek samping
diuretik (hipotensi
ortostatik, hipovolemia,
Keseimbangan hipokalemia,
Elektrolit : hiponatremia)

Kriteria Hasil : Terapeutik :


1. Serum natrium (4/5) 1. Timbang berat badan
2. Serum kalium (4/5) setiap hari pada waktu
3. Serum klorida (4/5) yang sama
4. Serum kalsium (4/5)
5. Serum magnesium 2. Batasi asupan cairan
(4/5)
6. Serum fosfor (4/5) 3. Tinggikan kepala
tempat tidur 30-40o

Edukasi :

1. Anjurkan melapor jika


haluaran urin <0,5
mL/kg/jam dalam 6
jam
2. Anjurkan melapor jika
BB bertambah >1 kg
dalam sehari
3. Ajarkan cara mengukur
dan mencatat asupan
dan haluaran cairan
4. Ajarkan cara
membatasi cairan

Kolaborasi :

1. Kolaborasi pemberian
diuretik
2. Kolaborasi
penggantian
kehilangan kalium
akibat diuretik
3. Kolaborasi pemberian
continous renal
replacement therapy
(CRRT), jika perlu

Manajemen Hemodialisi

Observasi :

1. Identifikasi tanda dan


gejala serta kebutuhan
hemodialisis
2. Identifikasi kesiapan
hemodialisis (mis.
Tanda-tanda vital,
berat badan, kelebihan
cairan, kontraindikasi
pemberian heparin)
3. Monitor tanda vital,
tanda-tanda
perdarahan, dan
respon selama dialisis
4. Monitor tanda-tanda
vital
pascahemodialisis

Terapeutik :

1. Siapkan peralatan
hemodialisis (mis.
Bahan habis pakai,
blood line
hemodialisis)
2. Lakukan prosedur
dialisis dengan prinsip
aseptik
3. Atur filtrasi sesuai
kebutuhan penarikan
kelebihan cairan
4. Atasi hipotensi selama
dialisis
5. Hentikan hemodialisis
jika mengalamu
kondisi yang
membahayakan (mis.
Syok)
6. Ambil sampel darah
untuk mengevaluasi
keefektifan
hemodialisis

Edukasi :

1. jelaskan tentang
prosedur hemodialisis

2. Ajarkan pembatasan
cairan, penanganan
insomnia, pencegahan
infeksi akses HD, dan
pengenalan tanda
perburukan kondisi

Kolaborasi :

1. Kolaborasi pemberian
heparin pada blood line,
sesuai indikasi

Edukasi Hemodialisis
Observasi :

1. Identifikasi
kemampuan pasien dan
keluarga menerima
informasi

Terapeutik :

1. Persiapkan materi dan


alat peraga hemodialisis

2. Buat media dan format


evaluasi hemodialisis

3. jadwalkan waktu yang


tepat untuk memberikan
pendidikan kesehatan
sesuai kesepakatan
dengan pasien dan
keluarga

4. Lakukan modifikasi
proses pendidikan
kesehatan sesuai
kebutuhan

5. Berikan kesempatan
pasien dan keluarga untuk
bertanya dan
mengemukakan
perasaannya

Edukasi :

1. Jelaskan pengertian,
tanda dan gejala,
dampak, diet, hal-hal
yang harus
diperhatikan pasien
gagal ginjal
2. Jelaskan pengertian,
kelebihan dan
kekurangan terapi
hemodialisis serta
prosedur hemodialisis
3. Jelaskan manfaat
memonitor intake dan
output cairan
4. Ajarkan cara
memantau kelebihan
volume cairan (mis.
Pitting edema,
kenaikan BB)
5. Jelaskan pentingnya
dukungan keluarga

2. Pola nafas Pola nafas Pemantauan Respirasi


tidak efektif
b.d sindrom Kriteria Hasil Observasi :
hipoventilasi,
hambatan 1. Ventilasi Semenit 1. Monitor frekuensi,
upaya napas 2. Kapasitas Vital irama, kedalaman dan
(kelemahan 3. Diameter Thoraks upaya nafas
otot Anterior-anterior 2. Monitor pola nafas
pernafasan) 4. Tekanan ekspirasi 3. Monitor kemampuan
5. Tekanan inspirasi batuk efektif
6. Dyspnea 4. Monitor adanya
7. Penggunaan Otot produksi sputum
Bantu Nafas 5. Monitor adanya
8. Pemanjangan fase sumbatan jalan nafas
ekspirasi 6. Palpasi kesimetrisan
9. Ortopnea ekspansi paru
10. Pernafasan Pursedtip 7. Auskultasi bunyi
11. Pernafasan cuping nafas
hidung 8. Monitor saturasi
12. Frekuensi Nafas oksigen
13. kedalaman nafas 9. Monitor hasil x-ray
toraxs

Pengaturan Posisi

Observasi :

1. Monitor status
oksigenasi sebelum
dan sesudah
mengubah posisi
2. Monitor alat traksi
agar selalu tepat

Terapeutik :

1. Tepatkan pada posisi


terapeutik
2. Atur posisi tidur
yang disukai

Manajemen Jalan
Nafas

Observasi:

1. Monitor
posisi selang
endotrakeal (ETT),
terutama setelah
mengubah posisi
2. Monitor
tekanan balon ETT
setiap 4-8 jam
3. Monitor
kulit araea stoma
trakestoma

Traupetik :

1. Kurangi tekanan balor


secara periodic setiap
sift

2. Pasang oropharingeal
airway (OPA) untuk
mencegah ett tergigit

3. Berikan volume
Preoksigenasis

4. Lakukan pengisapan
lendir kurang dari 15
detik jika diperlukan

5. Ganti fiksasi ETT


setiap 24 jam

6. Ubah proses ETT


secara bergantian (kiri
dan kanan) setiap 24 jam

7. Lakukan perawatan
mulut

8. Lakukan perawatan
stoma trakestoma

Edukasi :

1. Jelaskan pasien dan


atau keluarga
tujuan dan proses
pemasangan jalan
nafas bantuan

Kolaborasi :

1. Kolaborasi intubasi
ulang jika batuk
mucons plug yang
tidak dapat
dilakukan
penghisapan

3. Penurunan Penurunan curah Perawatan jantung


curah jantung jantung meningkat
b.d perubahan Kriteria hasil : Observasi :
kontraktilitas 1. Kekuatan nadi 1. Identifikasi
perifer meningkat tanda/gejala primer
2. Takikardia menurun penurunan curah
3. Edema menurun jantung (meliputi
4. Oliguria menurun dipsnea, kelelahan,
5. Tekanan darah edema,ortopnea,
cukup membaik paroxysmal nocturnal
dyspnea,peningkatan
CVP
2. Monitor tekanan
darah
3. Monitor saturasi
oksigen
4. Monitor keluhan nyeri
dada
5. Monitor EKG 12
sadapan
6. Monitor aritmia
(kelainan irama dan
frekuensi)

Terapeutik :
1. Posisikan pasien
semifowler atau
fowler dengan kaki ke
bawah atau posisi
nyaman
2. Berikan terapi
relaksasi untuk
mengurangi stress,
jika perlu

Edukasi :

1. Anjurkan beraktivitas
fisik sesuai toleransi
2. Anjurkan beraktivitas
fisik secara bertahap

Kolaborasi :

1. Kolaborasi
pemberian
antiaritmia, jika
perlu
2. Rujuk ke program
rehabilitasi jantung

4. Perfusi perifer Perfusi Perifer Perawatan Sirkulasi


tidak efektif Kriteria Hasil : Observasi :
b.d penurunan 1. Denyut nadi peifer 1. Periksa sirkulasi
konsentrasi (4/5) perifer (nadi, edema,
hemoglobin 2. Sensasi (4/5) pengisian kapiler,
3. Warna kulit pucat (3/4) warna, suhu kulit)
4. Edema perifer (3/4) 2. Identifikasi faktor
5. Kelemahan otot (4/5) resiko gangguan
6. Pengisian kapiler (4/5) sirkulasi
7. Akral (4/5) 3. Monitor bengkak pada
8. Turgor kulit (4/5) ekstremitas
9. TD (4/5)

Terapeutik :

Status Sirkulasi 1. Lakukan pencegahan


infeksi
Kriteria Hasil : 2. Hindari pemasangan
infus atau
1. Kekuatan nadi (4/5) pengambilan darah di
2. Output urin (4/5)
3. Pucat (3/4) area keterbatasan
4. Akral dingin (4/5) perfusi
5. Pitting edema (3/4) 3. Lakukan hidrasi
6. Edema perifer (3/4)
7. Fatiigue (3/4)
8. Pengisian kapiler (4/5)
Manajemen sensasi
perifer

Observasi :

1. Identifikasi penyebab
perubahan sensasi
2. Identifikasi
penggunaan alat
pengikat, prostesis,
sepatu, pakaian
3. Periksa perbedaan
sensasi tajam atau
tumpul
4. Periksa perbedaan
sensasi panas atau
dingin
5. Periksa kemampuan
mengidentifikasi
lokasi dan tekstur
benda
6. Monitor terjadinya
parastesia, jika perlu
7. Monitor perubahan
kulit
8. Monitor adanya
tromboflebitis dan
tromboemboli vena

Terapeutik :

1. Hindari pemakaian
benda-benda yang
berlebihan suhunya

Edukasi :

1. Anjurkan penggunan
termometer untuk
menguji suhu
2. Anjurkan
penggunaan sarung
tangan termal saat
memasak
3. Anjurkan memakai
sepatu lembut dan
bertumit rendah

Kolaborasi :

1. Kolaborasi pemberian
analgesik
2. Kolaborasi pemberian
kortosteroid

5. Defisit nutrisi Status Nutrisi Manajemen Nutrisi


b.d kurangnya
asupan Kriteria Hasil : Observasi :
makanan
1. Proses makan yang 1. Identifikasi status
dilahirkan nutrisi
2. Kekuatan Otot 2. Identifikasi elergi
Pengunyah dan intoleransi
3. Kekuatanotot menelan makanan
4. Verbalisasi keinginan 3. Identifikasi
untuk meningkatkan makanan yang di
nutrisi suaki
5. Pengetahuan tentang 4. Identifikasi
pilihan makanan yang kebutuhan kalori
sehat dab jenis nutrient
6. Pengetahuan tentang 5. Monitor asupak
pilihan minum yang makan
sehat 6. Mnitor berat badan
7. Pengetahuan tentang monitor hasil
standar asupan nutrisi pemeriksaan labor
yang tepat
8. Penyiapan dan Terapeutik :
penyimpanan
makanan yang aman 1. Lakukan oral hoghin
9. Sikap terhadap sebelum makan
makanan/minuman 2. Fasilitasi menrntukan
sesuai dengan tujuan pedoman diet
kesehatan 3. Sajikan makanan
10. Perasaan cepat secara menarik dan
kenyang suhu yang sesuai
11. Nyeri abdomen 4. Berikan makanan
12. Sariawan tinggi serat untuk
13. Berat badan mencegah konstipasi
14. IMT 5. Berikan makanan
15. Nafsu makan yang tinggi kalori
16. Bising usus dan tinggi protein
17. Membrane mukosa
Edukasi :

1. Anjurkan posisi
Berat Badan duduk
2. Ajarkan diet yang di
Kriteria Hasil: programkan

1. Berat Badan Kolaborasi :


2. Tebal lipatan Kulit
3. Indeks massa tubuh 1. Kolaborasi
pemberian medikasi
(IMT) sebelum makan
2. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
Nafsu Makan kalori dan jenis
nutrien yang di
Kriteria Hasil:
butuhkan
1. Kegiatan Makan
Promosi Berat Badan
2. Nafsu makan
3. Energy untuk makan Observasi :
4. Asupan cairan
1. Identufikasi
kemungkinan berat
badan kurang
2. Monitor adanya mual
dan muntah
3. Monitor jumlah kalori
yang di konsumsi
sehari-hari
4. Monitor BB

Terapeutik :

1. Berikan perawatan
mulut sebelum
memberikan makanan
2. Sediakan makanan
yang tepat sesuai
kondisi pasien
3. Hidangkan makanan
secara menarik
4. Berikan suplemen
Edukasi :

1. Jelaskan makanan
yang bergizi tinggi,
namun tetap
terjangkau
2. Elaskan peningkatan
asupan kalori yang
dibutuhkan.

Manajemen
Gangguan Makan

Observasi :

1. Monitor asupan dan


keluarnya makanan
dan cairan serta
kebutuhan kalori

Terapeutik

1. Timbang BB secara
rutin
2. Diskusikan perilaku
makan dan jumlah
aktifitas fisik
3. Lakukan kontrak
perilaku
4. Berikan penguatan
positif terhadap
kebersihasilan target
dan perubahan
perilaku
5. Berikan konsekuensi
jika tidak mencapai
target sesuai kontrak

Edukasi :

1. Ajarkan pengaturan
diet yang tepat
2. Ajarkan
keterampilan koping
untuk penyelesaian
masalah perilaku
maka
Kolaborasi :

1. Kolaboras
i dengan ahli gizi
tentang BB,
kebutuhan kalori
dan pilihan
makanan.

6. Intoleransi Toleransi Aktivitas Manajemen energi


aktivitas b.d Kriteria Hasil :
ketidakseimba 1. Fr Observasi :
ngan antara ekuensi nadi (4/5)
suplai & 2. Sat 1. Identifikasi gangguan
kebutuhan urasi oksigen (4/5) fungsi tubuh yang
oksigen 3. Ke mengakibatkan
mudahan dalam kelelahan
melakukan aktivitas 2. Monitor kelelahan
sehari-hari fisik dan emosional
4. Ke 3. Monitor lokasi dan
cepatan berjalan (4/5) ketidaknyamanan
5. Jar selama melakukan
ak berjalan (3/4) aktivitas
6. Ke
kuatan tubuh bagian Terapeutik :
atas (3/4)
1. Sediakan lingkungan
7. Ke
yang nyaman dan
kuatan tubuh bagian
rendah stimulus
bawah (3/4)
2. Berikan aktivitas
8. To
distraksi yang
leransi dalam menaiki
menenangkan
tangga (3/4)
9. Ke Edukasi :
luhan lelah (3/4)
10. Dispnea saat 1. Anjurkan tirah baring
beraktivitas (4/5) 2. Anjurkan melakukan
11. Perasaan lemah (3/4) aktivitas secara
12. Sianosis (4/5) bertahan
13. Warna kulit (4/5) 3. Anjurkan
14. TD (4/5) menghubungi perawat
jika ada tanda dan
Tingkat Keletihan gejala kelelahan tidak
Kriteria Hasil : berkurang
1. Lesu (4/5)
2. Sakit kepala (4/5)
3. Sianosis (4/5)
4. Gelisah (4/5)
5. Pola istirahat (4/5)
6. Selera makan (3/4)

7. Resiko Integritas kulit dan Perawatan integritas


gangguan jaringan kulit
integritas kulit Observasi :
b.d perubahan Kriteria hasil : 1. Identifikas
sirkulasi, 1. Elastisitas i penyebab gangguan
kekurangan/ke meningkat integritas kulit
lebihan 2. Hidrasi meningkat
volume cairan 3. Perfusi jaringan Terapeutik :
meningkat
4. Kerusakan jaringan 1. Ubah posisi tiep2 jam
menurun jika tirah baring
5. Suhu kulit membaik 2. Hindari produk
6. Tekstur membaik berbahan dasar
alkohol pada kulit
kering

Edukasi :

1. An
jurkan menggunakan
pelembab
2. An
jurkan minumair yang
cukup

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasi atau

mengaplikasikan intervensi keperawatan. Berdasarkan terminologi SIKI,

implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan tindakan

yang merupakan tindakan keperawatan khusus yang diperlukan untuk

melaksanakan intervensi atau program keperawatan. Perawat melaksanakan

atau mendelegasikan tindakan keperawatan untuk intervensi yang disusun

dalam tahap perencanaan dan kemudian mengakhiri tahap implementasi


dengan mencatat tindakan keperawatan dan respon pasien terhadap

tindakan tersebut (Kozier, 2010).

5. Evaluasi Keperawatan

Mengevaluasi adalah menilai atau menghargai. Evaluasi adalah fase

kelima dan fase terakhir dri proses keperawatan. Dalam konteks ini,

evaluasi adalah aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan dan terarah

ketika pasien dan profesional kesehatan menentukan kemajuan pasien

menuju pencapaian tujuan atau hasil dan keefektifan rencana asuhan

keperawatan. Evaluasi adalah aspek penting dari proses keperawatan

karena kesimpulan yang ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi

keperawatan harus diakhiri, dilanjutkan atau diubah (Kozier, 2010).

D. Penerapan Evidence Based Dalam Asuhan Keperawatan Tentang


Pengaruh Ankle Pumping Exercise Dan Contrast Bath Terhadap
Udema Pada Pasien Chronic Kidney Disease (CKD)
Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir

merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel dimana

kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan

keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan

sampah nitrogen lainnya dalam darah) (Margareth, 2012). Chronic kidney

disease (CKD) stadium lima atau end stage renal disease (ESRD)

adalah kerusakan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih

kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal

memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit berakibat peningkatan

ureum (Smeltzer et, al 2014).


Pada gagal ginjal kronik terjadi penurunan fungsi renal, sehingga

Ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan volume dan

komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal (Price &

Wilson, 2006). Kondisi ketidakseimbangan ini ditandai dengan adanya

kelebihan cairan dan natrium di ruang ekstrasel dikenal dengan istilah

hipervolemia. Manifestasi yang muncul terkait kondisi ini adalah

peningkatan volume darah dan edema (Mubarak, 2015).

Edema dapat diartikan sebagai pembengkakan jaringan subcutan

yang apabila ditekan akan menimbulkan cekungan (Naga, 2013 dalam

Robiati, 2019). Apabila udema yang dialami oleh penderita CKD

dibiarkan saja, maka dapat menimbulkan komplikasi berupa meningkatkan

resiko hipertensi, aritmia, gagal jantung kongestif dan berpengaruh dalam

kelangsungan hidup penderita gagal ginjal kronik, persepsi negatif

terhadap tubuhnya sendiri akibat perubahan struktur dan fungsi tubuhnya,

serta tidak menjalankan ibadah sesuai yang diperintahkan agama dengan

alasan kelemahan fisik. Komplikasi tersebut dapat mangakibatkan stressor

fisiologis terhadap pasien (Suwitra, 2014). Selain dari stressor fisiologis,

pasien yang mengalami udema juga bisa mempengaruhi stressor

psikologis seperti terjadi penurunan kehidupan sosial (Handayani, 2014).

Sehingga dengan demikian perlunya penanganan secara holistik

pada pasien CKD yang mengalami udema. Penatalaksanaan untuk

mengurangi udema terdiri dari penatalaksanaan farmakologis dan

penatalaksanaan non-farmakologis. Akan tetapi penanganan udema pasien

CKD di rumah sakit yang ada selama ini masih sebagian besar berfokus
pada pengobatan konvensional yang telah diprogramkan oleh dokter, tanpa

adanya dukungan terapi non-farmakologis. Adanya fakta tersebut dapat

disimpulkan bahwa terapi obat bukan satu-satunya alternatif terapi yang

dapat dipilih. Diperlukan terapi pendamping untuk mengurangi

ketergantungan terhadap obat untuk menurunkan udema. Terapi non-

farmakologis adalah terapi pelengkap atau pendukung terapi konvensional.

Terapi ini selaras dengan nilai-nilai keperawatan yang melihat manusia

secara utuh (holistik) dan menekankan pada penyembuhan, penghargaan,

hubungan perawat pasien sebagai partnership dan berfokus pada

peningkatan kesehatan serta pencegahan penyakit (Pagan & Tanguma,

2007).

Adapun penatalaksanaan farmakologis yang biasanya dilakukan

yaitu berupa hemodialisis proses pembersihan produk sampah dan air

dalam darah, dan pemberian obat golongan diuretika dengan cara

menghambat reabsorbsi natrium pada tubulus distal, serta membatasi

asupan cairan dan natrium (Igntavicius, 2006 dalam Hayani, 2014).

Selain itu, penatalaksanaan non-farmakologi yang dapat dilakukan

untuk mengatasi udema yaitu dengan melakukan pijat kaki, pengaturan

posisi kaki dengan meninggikan kaki 15-30o, latihan ankle pumping

exercise dan latihan contrast bath (Toya & Sasano, 2016 dalam Fatchur

dkk, 2020).

Ankle pumping exercise merupakan langkah efektif untuk

mengurangi edema karena akan menimbulkan efek muscle pump sehingga

akan mendorong cairan yang ada di ekstrasel ke dalam pembuluh darah


dan kembali ke jantung (Delila, 2006). Ankle pumping exercise dilakukan

dengan menggerakkan pergelangan kaki secara maksimal ke atas dan ke

bawah dengan mengelevasikan kaki apabila ada pembengkakan distal

untuk melancarkan aliran darah balik sehingga dapat menurunkan

pembengkakan distal akibat sirkulasi darah yang lancar (Utami, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Prastika (2019) menyatakan bahwa ankle

pumping exercise pada pasien GGK memberikan pengaruh terhadap

penurunan derajat edema. Pemberian ankle pumping exercise akan

merangsang terjadinya kontraksi otot yang menekan vena yang kemudian

meningkatan regulasi central nervous system sehingga meningkatkan

proses oksidasi natrium dan kalium didorong dalam vena dan dialirkan

keseluruh pembuluh darah tubuh maka terjadilah penurunan udema

(Fatchur, 2020).

Contrast bath merupakan perawatan dengan rendam kaki sebatas

betis secara bergantian dengan menggunakan air hangat dan dilanjutkan

dengan air dingin, dimana suhu air hangat antara 36,6ºC-43,3ºC dan suhu

air dingin antara 10ºC-20ºC (Purwadi, 2015). Contras bath dapat

mempercepat pemulihan dengan meningkatkan sirkulasi perifer dengan

membuang sisa metabolisme tubuh, selain itu dengan memperlebar

pembuluh darah sehingga lebih banyak oksigen dipasok ke jaringan yang

mengalami pembengkakan (Mooventhan & Vivethitha, 2014). Pemberian

contrast bath yaitu dengan merendam kaki sebatas betis secara bergantian

dapat mengurangi tekanan hidrostatik intra vena yang menimbulkan

pembesaran cairan plasma ke dalam ruang interstisium dan cairan yang


berada di intertisium akan kembali ke vena sehingga edema dapat

berkurang (Fatchur, dkk. 2020).

Penerapan ankle pumping exercise dan contrast bath ini dapat

dilakukan oleh perawat, mengingat tidak diperlukan energi dan biaya yang

besar dalam melakukannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Fatchur, dkk (2020) yang berjudul

“Kombinasi Ankle Pumping Exercise dan Contrast Bath Terhadap

Penurunan Edema Kaki Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik” didapatkan

hasil bahwa terdapat penurunan kedalaman edema kaki pada responden

dengan GGK antara sebelum dilakukan intervensi dengan setelah

dilakukan intervensi ankle pumping exercise dan Contrast Bath dengan

kedalaman edema pre test didapatkan rerata 5,55 mm dan nilai rerata pada

post test didapatkan 4,50 mm dengan p-value = 0,001.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Prastika, dkk (2019) yang

berjudul “Ankle pumpling exercise and leg elevation in 30o Has The same

level of effectiveness to reducing foot Edema at chronic renal failure

patients in Mojokerto” didapatkan bahwa rata-rata kedalaman edema

sebelum ankle pumping exercise adalah 3,33 mm, dengan nilai minimum 2

mm dan nilai maksimum 5 mm, rata-rata kedalaman udema setelah ankle

pumping exercise adalah 2,20 mm, dengan nilai minimum 1 mm dan

maksimum 3 mm dengan nilai p-value 0,001.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Purwadi,dkk (2015)

tentang “Pengaruh terapi contrast bath (rendam air hangat dan air dingin)

terhadap edema kaki pada pasien penyakit gagal jantung kongestif di


RSUD Ungaran, RSUD ambarawa, RSUD kota salatiga dan RSUD

Tugurejo Provinsi Jawa Tengah” didapatkan hasil Nilai rata-rata edema

kaki setelah dilakukan latihan terapi contrast bath adalah 3,44 dan nilai

rata-rata edema kaki setelah dilakukan latihan terapi pada kelompok

kontrol adalah 5,00 dengan p-value 0,034. Hal ini berarti bahwa ada

perbedaan pengaruh terapi contrast bath terhadap edema kaki pada

pasien penderita penyakit gagal jantung kongestif pada kelompok kontrol

maupun kelompok perlakuan di RSUD Ungaran, RSUD Ambarawa,

RSUD Kota Salatiga dan RSUD Tugurejo Provinsi Jawa Tengah.

1. Konsep Ankle Pumping Exercise

a. Definisi Ankle Pumping Exercise

Ankle pumping exercise merupakan suatu bentuk ambulasi

dini yang dilakukan dengan mengintervensi pergelangan kaki

dengan gerakan fleksi dan ekstensi. Ankle pumping exercise

merupakan langkah efektif untuk mengurangi edema karena akan

menimbulkan efek muscle pump sehingga akan mendorong cairan

yang ada di ekstrasel ke dalam pembuluh darah dan kembali ke

jantung (Delila, 2006).

Ankle Pumping Exercise merupakan suatu latihan isometrik

untuk otot betis dan pergelangan kaki. Ankle pump dapat dilakukan

dengan menginstruksikan pasien untuk melakukan fleksi

(dorsofleksi) dan ekstensi (plantarflexi) pergelangan kaki dan


kontraksi otot-otot betis (latihan pemompaan betis), kemudian

instruksikan pasien mempertahankan posisi ini selama 5-10 detik

dan biarkan pasien rileks. Ulangi latihan ini, 10 kali dalam satu jam

ketika pasien terjaga (Smeltzer & Bare, 2002).

Sementara menurut Scott (2011), Ankle pumping exercise

dilakukan dengan mengelevasikan kaki dan mendorong sendi pada

pergelangan kaki fleksi-ekstensi secara berulang–ulang atau

menggambarkan huruf A-Z dengan menggunakan pergelangan kaki

diulang 3-4 menit selama 3-5 kali perhari. Pollak (2013)

menambahkan ankle pumping exercise dilakukan dengan

menggerakkan pergelangan kaki secara maksimal ke atas dan ke

bawah dan mengelevasikan kaki apabila ada pembengkakan distal

untuk melancarkan aliran darah balik.

Gambar 2.1 Ankle Pumping Exercise

b. Manfaat Ankle Pumping Exercise

1) Latihan pergelangan kaki bermanfaat dalam melancarkan

sirkulasi darah balik dari distal. Hal ini dapat mengakibatkan

penurunan pembengkakan distal akibat sirkulasi darah yang

lancar. Selain itu, sirkulasi darah balik yang baik dapat

mencegah kejadian atrofi otot dimana atrofi otot dapat

disebabkan oleh aliran darah yang buruk (Kwon et al, 2003).


2) Ankle pumping exercise dapat mencegah penyakit-penyakit

vena, seperti DVT (Deep Vein Thrombosis), hipertensi vena dan

lainnya. Ankle pumping dilakukan untuk meminimalkan statis

vena dan mencegah thrombosis vena dalam (Eldawati, 2011;

Dixy; Brooke; McCollum, 2003).

3) Ankle pumping exercise sebagai salah satu jenis latihan yang

dapat mengembalikan fungsi aktivitas normal otot post operasi

penggantian tulang lutut (Scott, 2011).

c. Indikasi Ankle Pumping Exercise

Indikasi Ankle Pumping Exercise :

1) Terapi Rehabilitasi Post Operasi

Ankle pumping exercise merupakan salah satu jenis terapi yang

dapat mengembalikan fungsi aktivitas normal kaki post operasi

penggantian tulang lutut (Scott, 2011).

2) Pasien Dengan Pembengkakan

Ankle pumping exercise membantu melancarkan aliran vena

balik sehingga dapat mengurangi statis pada aliran darah dan

mengurangi pembengkakan pada ekstremitas distal (Kwon,

2003).

3) Pasien dengan bedrest/imobilisasi yang lama. Pasien dengan

bedrest/imobilisasi beresiko tinggi mengalami penurunan masa


otot sehingga perlu dilakukan latihan pergerakan untuk

mengurangi penurunan massa otot (Smeltzer & Bare, 2002).

4) Pasien dengan DVT. Trombosis/DVT beresiko menimbulkan

gangguan pada sirkulasi darah sehingga akan menimbulkan

penurunan konsentrasi oksigen dan penurunan kadar

hemoglobin. Perawat membantu pasien pascaoperatif fraktur

femur melakukan Latihan isometrik (ROM, Ankle Pumping

Exercise, Gluteal Set) dan mengatur posisi kaki lebih tinggi,

sehingga akan meningkatkan aliran darah ke ekstermitas dan

stasis berkurang. Kontraksi otot kaki bagian bawah akan

meningkatkan aliran balik vena sehingga mempersulit

terbentuknya bekuan darah atau DVT (Eldawati, 2011;

Smeltzer & Bare, 2002).

d. Kontra Indikasi Ankle Pumping Exercise

Ankle pumping exercise merupakan latihan yang cukup aman

dan mudah untuk dilakukan pada sebagian besar kondisi. Namun

menurut Potter and Perry (2006) ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam pelaksanaan latihan ini antara lain :

1) Nyeri

Pasien yang mengalami nyeri sedang sampai dengan berat akan

mengalami penurunan toleransi terhadap pergerakan.

2) Kondisi kesehatan pasien

Kondisi emosi pasien dapat meningkatkan perubahan perilaku

yang dapat menurunkan kemampuan untuk melakukan


mobilisasi dengan baik. Orang yang depresi, khawatir, dan

cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas sehingga cepat

mengalami kelelahan akibat pengeluaran energi yang besar dari

ketakutan dan kecemasannya.

3) Perdarahan Prinsip penanganan pada kasus perdarahan adalah

Rest, Imobilization, Compress, Elevation (RICE) dimana salah

satu tindakan penangan perdarahan adalah imobilisasi. Latihan

ataupun mobilisasi dengan menggerakkan sebagian anggota

tubuh akan meningkatkan perfusi ke daerah yang digerakkan

sehingga dapat meningkatkan tingkat perdarahan itu sendiri.

e. Mekanisme Ankle Pumping Exercise Menurunkan Derajat

Udema

Pemberian ankle pumping exercise yaitu dengan cara pasien

diposisikan senyaman mungkin, kemudian diajarkan cara

mendorong kaki ke depan dan kebelakang pada pergelangan kaki

yang mengalami edema, sehingga dengan pemberian latihan terebut

terjadi kontraksi otot yang menekan vena yang kemudian

meningkatan regulasi central nervous system sehingga

meningkatkan proses oksidasi natrium, kalium didorong dalam

vena dan dialirkan keseluruh pembuluh darah tubuh maka

terjadilah penurunan edema (Fatchur, dkk. 2020). Selain itu, latihan

ankle pumping pada prinsipnya memanfaatkan sifat vena yang

dipengaruhi oleh pumping action otot sehingga dengan kontraksi

otot yang kuat, otot akan menekan vena dan cairan edema dapat
dibawa vena ikut dalam peredaran darah sehingga dapat

meningkatkan regulasi central nervous system, kapasitas transport

oksigen, proses oksidasi dan jumlah natrium kalium (Utami, 2014).

f. Prosedur Ankle Pumping Exercise

Adapun SOP ankle pumping exercise menurut Utami (2014)

dalam Fatchur (2020), yaitu :

1) Atur posisi dengan nyaman

2) Lakukan gerakan mendorong kaki ke atas

3) Lakukan gerakan mendorong kaki ke bawah


4) Lakukan gerakan di atas sebanyak 18 kali sesi selama 5-10

detik tiap sesi dengan diselingi waktu istirahat selama 20-25

detik dalam rentan waktu 10 menit.

5) Ulangi terapi ankle pumping exercise ini selama 3 kali sehari

selama 3 hari

2. Konsep Contrast Bath

a. Definisi Contrast Bath

Contrast bath merupakan perawatan dengan rendam kaki

sebatas betis secara bergantian dengan menggunakan air hangat dan

dilanjutkan dengan air dingin, dimana suhu air hangat antara

36,6ºC-43,3ºC dan suhu air dingin antara 10ºC-20ºC (Purwadi,

2015). Contras bath dapat mempercepat pemulihan dengan

meningkatkan sirkulasi perifer dengan membuang sisa metabolisme

tubuh, selain itu dengan memperlebar pembuluh darah sehingga

lebih banyak oksigen dipasok ke jaringan yang mengalami

pembengkakan (Mooventhan & Vivethitha, 2014). Contrast bath

merupakan mode termal di mana bagian-bagian tubuh secara

bergantian direndam dalam air panas dan air dingin dalam suhu,
waktu dan durasi untuk mengurangi bengkak, kekakuan, dan rasa

sakit secara terapeutik (Stanton et al, 2009).

b. Indikasi Contrast Bath

Stimulan hemostasis (status pra-luka), menjaga regulasi

edema, mengurangi peradangan, nyeri, mengurangi kejang otot,

menyebabkan relaksasi dari jaringan yang terluka, mengurangi

kelelahan otot, dan mencegah pembengkakan. (Mustofa et al,

2016). Contrast bath juga dapat meningkatkan kekuatan otot,

mengurangi nyeri otot, menyembuhkan kerusakan (Bieuzen et al,

2013).

c. Mekanisme Contrast Bath Mempengaruhi Derajat Edema

Pemberian contrast bath yaitu dengan merendam kaki

sebatas betis secara bergantian dimulai dari mengurangi tekanan

hidrostatik intra vena yang menimbulkan pembesaran cairan

plasma ke dalam ruang interstisium dan cairan yang berada di

intertisium akan kembali ke vena sehingga edema dapat berkurang

(Fatchur, dkk. 2020).

d. Prosedur Contrast Bath

Adapun prosedur contrast bath menurut (Brunner and

Suddart, 2002 dalam Fatchur, 2020), yaitu :

1) Siapkan 2 buah baskom yang berisi air dingin (suhu 10ºC-

20ºC) dan air hangat (suhu 36,6ºC-43,3ºC)

2) Atur posisi senyaman mungkin


3) Anjurkan klien untuk duduk diatas kursi yang sudah disediakan

4) Letakkan baskom yang berisi air dingin dan air hangat di dekat

kaki klien

5) Anjurkan klien untuk merendam kaki kedalam baskom yang

berisi air hangat selama 2 menit

6) Setelah itu ganti merendam kaki kedalam baskom berisi air

dingin selama 1 menit

7) Lakukan hal diatas secara berulang masing-masing selama 5

kali sehingga terapi contrast bath ini dilakukan selama 15

menit

8) Ulangi terapi contrast bath ini selama 3 kali sehari selama 3

hari

Gambar 2.2 Contrast Bath

Anda mungkin juga menyukai