Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM


PERKEMIHAN : CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE) DI RUANG ICU
RSUD TUGUREJO SEMARANG

Disusun Oleh:

Diah Ockta Yuliani


NIM. 202002040046

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN
2021

1
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM
PERKEMIHAN : CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE) DI RUANG
ANGGREK RSUD TUGUREJO SEMARANG

A. KONSEP DASAR
1. Pengertian CKD
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu kondisi gagalnya ginjal
dalam menjalankan fungsinya mempertahankan metabolisme serta keseimbangan
cairan dan elektrolit karena rusaknya struktur ginjal yang progresif ditandai
dengan penumpukan sisa metabolik (toksik uremik) dalam darah (Muttaqin &
Sari, 2014).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel
dan progresif dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan
uremia (Black & Hawk dalam Dwy Retno Sulystianingsih, 2018).
Dialisa adalah suatu tindakan terapi pada perawatan penderita gagal ginjal
terminal. Tindakan ini sering juga disebut sebagai terapi pengganti karena
berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang sering di
lakukan adalah hemodialisis dan peritonealialisa. Diantara kedua jenis tersebut,
yang menjadi pilihan utama dan metode perawatan yang umum untuk penderita
gagal ginjal adalah hemodialisis (Arliza dalam Nita Permanasari, 2018).
Penyakit ini baik pada stadium awal maupun akhir memerlukan perhatian.
Penyakit ginjal kronik juga merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler.
Kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada PGK lebih tinggi daripada
kejadian berlanjutnya PGK stadium awal menjadi stadium akhir (Delima, 2014).

2. Etiologi
CKD bisa terjadi karena berbagai kondisi klinis seperti penyakit komplikasi yang
bisa menyebabkan penurunan fungsi pada ginjal (Muttaqin & Sari 2011). Menurut
Robinson (2013) dalam Prabowo dan Pranata (2014) penyebab CKD, yaitu:
a) Penyakit glomerular kronis (glomerulonephritis)

2
b) Infeksi kronis (pyelonephritis kronis, tuberculosis)
c) Kelainan vaskuler (renal nephrosclerosis)
d) Obstruksi saluran kemih (nephrolithiasis)
e) Penyakit kolagen (Systemic Lupus Erythematosus)
f) Obat-obatan nefrotoksik (aminoglikosida)

Sedangkan menurut Muttaqqin & Sari (2011) kondisi klinis yang bisa memicu
munculnya CKD, yaitu:
1) Penyakit dari ginjal
a) Penyakit pada saringan (glomerulus): glomerulonephritis
b) Infeksi kuman: pyelonephritis, ureteritis
c) Batu ginjal: nefrolitiasis
d) Kista di ginjal: polycitis kidney
e) Trauma langsung pada ginjal
f) Keganasan pada ginjal
g) Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/striktur
2) Penyakit umum di luar ginjal
a) Penyakit sistemik: diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi sangat
berkaitan erat untuk terjadinya kerusakan pada ginjal. Saat kadar insulin
dalam darah berlebih akan menyebabkan resistensi insulin yang dapat
meningkatkan lipolisis pada jaringan adiposa yang membuat lemak dalam
darah meningkat termasuk kolesterol dan trigliserida. Hiperkolesterolemia
akan meningkatkan LDL-kol dan penurunan HDL-kol yang akan memicu
aterosklerosis karena ada akumulasi LDL-kol yang akan membentuk plak
pada pembuluh darah. Terbentuknya plak akan membuat retensi natrium
sehingga tekanan darah naik. Retensi ini yang nantinya akan merusak
struktur tubulus ginjal (Noviyanti dkk, 2015).
b) Dyslipidemia karena dapat memicu aterosklerosis akibat akumulasi LDL-kol
sehingga memunculkan plak pada pembuluh darah yang akan meningkatkan
tekanan darah karena ada retensi natrium bisa membuat ginjal rusak
(Noviyanti dkk, 2015).
c) SLE (Systemic Lupus Erythematosus) adalah penyakit autoimun yang dapat
menyebabkan peradangan pada jaringan dan pembuluh darah di semua
bagian tubuh, terutama menyerang pembuluh darah di ginjal. Pembuluh

3
darah dan membran pada ginjal akan menyimpan bahan kimia yang
seharusnya ginjal keluarkan dari tubuh karena hal ini ginjal tidak berfungsi
sebagaimana mestinya (Roviati, 2012).
d) Infeksi di badan: TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis karena apabila tidak
segera diobati maka bakteri, virus dan parasit akan menggerogoti organ yang
ditempati hingga nanti akan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah
dan menyerang organ lain seperti ginjal (Mohamad dkk, 2016).
e) Preeklamsi menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi penurunan aliran
darah ke ginjal yang berakibat GFR menurun dan laju ekskresi kreatinin dan
urea juga menurun (Fadhila dkk, 2018).
f) Obat-obatan seperti antihipertensi memiliki efek samping yaitu meningkatkan
serum kreatinin jika digunakan dalam jangka panjang (Irawan, 2014)
g) Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar, diare) akan membuat
seseorang mengalami dehidrasi sehingga akan membuat urine menjadi lebih
pekat (Arifa dkk, 2017).

3. Klasifikasi Chronic Kidney Disease


Dalam Muttaqin dan Sari, 2011 CKD memiliki kaitan dengan penurunan
Glomerular Filtration Rate (GFR), maka perlu diketahui derajat CKD untuk
mengetahui tingkat prognosanya.

Penurunan GFR menurut Suwitra (2009) dalam Kandacong (2017) dapat diukur
dengan menggunakan rumus Cockroft-Gault untuk mengetahui derajat
penurunan fungsi ginjal: LFG/GFR (ml/mnt/1.73m²) =

*) pada perempuan dikalikan 0,85

4
4. Manifestasi Klinis
Menurut Haryono (2013) & Robinson (2013) CKD memiliki tanda dan gejala
sebagai berikut:
a) Ginjal dan gastrointestinal biasanya muncul hiponatremi maka akan muncul
hipotensi karena ginjal tidak bisa mengatur keseimbangan cairan dan
elektrolit dan gangguan reabsorpsi menyebabkan sebagian zat ikut terbuang
bersama urine sehingga tidak bisa menyimpan garam dan air dengan baik.
Saat terjadi uremia maka akan merangsang reflek muntah pada otak.
b) Kardiovaskuler biasanya terjadi aritmia, hipertensi, kardiomiopati, pitting
edema, pembesaran vena leher.
c) Respiratory system akan terjadi edema pleura, sesak napas, nyeri pleura, nafas
dangkal, kusmaull, sputum kental dan liat.
d) Integumen maka pada kulit akan tampak pucat, kekuning-kuningan
kecoklatan,biasanya juga terdapat purpura, petechie, timbunan urea pada
kulit, warna kulit abu-abu mengilat, pruritus, kulit kering bersisik, ekimosis,
kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
e) Neurologis biasanya ada neuropathy perifer, nyeri, gatal pada lengan dan
kaki, daya memori menurun, apatis, rasa kantuk meningkat.
f) Endokrin maka terjadi infertilitas dan penurunan libido, gangguan siklus
menstruasi pada wanita, impoten, kerusakan metabolisme karbohidrat.
g) Sistem muskulosekeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang.
h) Sistem reproduksi: amenore, atrofi testis.

5. Patofisiologi
CKD diawali dengan menurunnya fungsi ginjal, sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) ada yang utuh dan yang lainnya rusak. Akibatnya nefron
yang utuh atau sehat mengambil ahli tugas nefron yang rusak. Nefron yang sehat
akhirnya meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsinya dan ekskresinya meski
GFR mengalami penurunan, serta mengalami hipertropi. Semakin banyak nefron
yang rusak maka beban kerja pada nefron yang sehat semakin berat yang pada
akhirnya akan mati. Fungsi renal menurun akibatnya produk akhir metabolisme
dari protein yang seharusnya diekskresikan kedalam urin menjadi tertimbun dalam

5
darah dan terjadi uremia yang mempengaruhi semua sistem tubuh (Nursalam &
Batticaca, 2009; Mutaqqin & Sari, 2011; Haryono, 2013).
Salah satunya yaitu sistem integumen karena adanya gangguan pada
reabsorbsi sisa-sisa metabolisme yang tidak dapat dieksresikan oleh ginjal
sehingga terjadi peningkatan natrium dan ureum yang seharusnya dikeluarkan
bersama urine tetap berada dalam darah pada akhirnya akan diekskresikan melalui
kapiler kulit yang bisa membuat pigmen kulit juga berubah (Baradero, Dayrit, &
siswadi, 2009; Haryono, 2013; Prabowo & Pranata 2014).
Karena sisa limbah dari tubuh yang seharusnya dibuang melalui urine
terserap oleh kulit maka dapat menyebabkan pruritus, perubahan warna kulit,
uremic frosts dan kulit kering karena sering melakukan hemodialisa (LeMone
dkk, 2015). Sindrom uremia juga bisa menyebabkan respon pada muskuloskeletal
yaitu terdapat ureum pada jaringan otot yang bisa menyebabkan otot mengalami
kelemahan, kelumpuhan, mengecil dan kram. Akibatnya bisa menyebabkan terjadi
miopati, kram otot dan kelemahan fisik (Muttaqin & Sari, 2014). Saat seseorang
mengalami gangguan pada jaringan otot bisa membuat kesulitan dalam
beraktivitas hingga tirah baring yang lama hingga bisa menyebabkan penekanan
pada area tulang yang menonjol dan akan terjadi luka tekan. Sehingga terjadilah
gangguan integritas kulit pada penderita CKD.

6. Patways

6
7. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang baik
pemeriksaan laboratorium maupun radiologi:
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk menetapkan adanya GGK,
menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat GGK, menetapkan
gangguan sistem, dan membantu menetapkan etologi. Dalam menentukan ada
atau tidaknya gagal ginjal, tidak semua faal ginjal perlu diuji. Untuk keperluan
praktis yang paling lazim diuji adalah laju filtrasi glomerulus. Disamping
diagnosis GGK secara faal dengan tingkatanya, dalam rangka diagnosis juga
ditinjau factor penyebab (etiologi) dan faktor pemburukanya. Kedua hal ini
disamping perlu untuk kelengkapan diagnosis, juga berguna untuk
pengobatan.
Rumus untuk menghitung nilai GFR:
GFR (laki-laki) = (140- umur) x BB / (72x kreatinin serum)
GFR (perempuan) = nilai GFR (laki-laki) x 0,85.
b. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis
(misalnya voltase rendah), aritmia dan gangguan elektrolit (hiperkalemia,
hipokalsemia).
c. Ultrasonografi (USG)
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi sistem, pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta
prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya faktor yang
reversibel seperti obstruksi oleh karena batu atau masa tumor, juga untuk
menilai apakah proses sudah lanjut. USG ini sering dipakai oleh karena non-
infasif, tak memerlukan persiapan apapun.
d. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal,
menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
e. Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obsstruksi yang reversibel.
f. Pemeriksaan Foto Dada

7
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi pericardial.
g. Pemeriksaan Radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama falang/jari), dan kalsifikasi metastatik.

8. Penatalaksanaan
Menurut Colvy (2011), Penanganan dan pengobatan penyakit gagal ginjal
kronik adalah sebagai berikut :
a. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal adalah suatu metode terapi dengan cara mencangkokkan
sebuah ginjal sehat yang diperoleh dari donor. Ginjal yang dicangkokkan ini
selanjutnya akan mengambil alih fungsi ginjal yang sudah rusak. Orang yang
menjadi donor harus memiliki karakteristik yang sama dengan penderita.
Transplantasi ginjal dinyatakan berhasil jika ginjal dicangkokkan dapat
bekerja sebagai penyaring darah sebagaimana layaknya ginjal sehat dan pasien
tidak lagi memerlukan terapi cuci darah.
b. Dialisis (Cuci darah)
Dialisis atau dikenal dengan nama cuci darah adalah suatu metode terapi yang
bertujuan untuk menggantikan fungsi/kerja ginjal yaitu membuang zat-zat sisa
dan kelebihan cairan dari tubuh. Terapi ini dilakukan apabila fungsi kerja
ginjal sudah sangat menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak lagi mampu
untuk menjaga kelangsungan hidup individu, maka perlu dilakukan terapi.
Selama ini dikenal ada 2 jenis dialisis :
1) Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)
Hemodialisa merupakan salah satu bentuk terapi pengganti pada
pasien dengan kegagalan fungsi ginjal, baik yang sifatnya akut maupun
kronik atau pada stadium gagal ginjal terminal dengan bantuan mesin
hemodialisa. Hemodialisa berasal dari bahasa Yunani, hemo berarti darah
dan dialisa berarti pemisahan atau filtrasi. Secara klinis hemodialisa adalah
proses pemisahan zat-zat tertentu (toksila uremik) dari darah melalui
membran semipermeabel di dalam ginjal buatan yang disebut dialiser dan
selanjutnya dibuang melalui cairan dialiser yang disebut dialisat. Proses
pemisahan (penyaringan) sisa-sisa metabolesme melalui selaput

8
semipermeabel dalam dialysis mesin dialiser. Darah yang sudah bersih
dipompa kembali ke dalam tubuh (Cahyaningsih, 2013).
Hemodialisis atau HD adalah proses penyaringan darah untuk
mengeluarkan zat sisa metabolisme seperti ureum dan zat beracun lainnya,
dengan mengalirkan darah lewat alat dializer yang berisi membran semi
permeabel. Proses ini dilakukan 1-3 kali seminggu di rumah sakit dan
setiap kalinya membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam. Ada tiga prinsip yang
mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi.
Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan melaui proses difusi
dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi,
kecairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah (Brunner &
Suddaprth, 2013).
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient
tekanan. Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan
negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Karena
pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk
mengeluarkan cairan hingga tercapai keseimbangan cairan (Brunner &
Suddarth, 2013).
Sistem dapar (buffer site) tubuh dipertahankan dengan
penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah
pasien dan mengalami metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah
yang sudah dibersihkan kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui
pembuluh darah vena (Brunner & Suddarth, 2013). Pada umumya indikasi
dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis adalah laju filtrasi
glomerulus (LFG) sudah kurang dari 5 mL/menit, sehingga dialisis
dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut
dibawah (Shardjono dkk, 2011) :
a) Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
b) K serum > 6 mEq/L
c) Ureum darah > 200 mg/dl
d) pH darah < 7,1
e) Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )
f) Fluid overloaded

9
Menurut Al-hilali (2015), walaupun hemodialisa sangat penting untuk
menggantikan fungsi ginjal yang rusak tetapi hemodialisa juga dapat
menyebabkan komplikasi umum berupa hipertensi (20-30% dari dialisis),
kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan muntah (5-15% dari dialisis),
sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-5% dialisis), sakit tulang
belakang (2-5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari dialisis) dan demam pada
anak (<1% dari dialisis). Sedangkan komplikasi serius yang paling sering
terjadi adalah sindrom disequilibrium, arrhythmia, tamponade jantung,
perdarahan intrakaranial, hemolisis dan emboli paru.

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Fokus
a. Identitas pasien
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama: Biasanya badan tersa lemah, sesak napas, mual, muntah,
dan terdapat edema.
2) Riwayat kesehatan sekarang, Keluhan lain yang menyerta biasanya:
gangguan pernapasan, anemia, hiperkelemia, anoreksia, tugor pada kulit
jelek, gatal-gatal pada kulit, asidosis metabolik.
3) Riwayat kesehatan dahulu: Biasanya pasien dengan GGK memiliki
riwayat hipertensi.
4) Aktivitas/istirahat.
Gejala : Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise, gangguan tidur
(Insomnia/gelisah atau samnolen).
Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
5) Sirkulasi.
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat, Palpitasi : nyeri dada
(angina).
Tanda : Hipertensi, DVJ, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting
pada kaki, telapak, Distritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi
ortostatik menunjukkan hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap
akhir.
6) Integritas Ego.

10
Gejala : Faktor stress, contoh financial, hubungan dan
sebagainya. Perasaan yang tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian.
7) Eliminasi.
Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguria, onuria (gagal tahap
lanjut), abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urine.
8) Makanan/cairan.
Gejala : Peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat
badan (malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah.
Tanda : Distensi abdomen/asites, pembesaran hati (tahap akhir).
Perubahan turgor kulit/kelembaban, edema, ulserasi (umum, tergantung).
9) Neurosensori.
Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang,
Tanda : Gangguan status mental
10) Nyeri/kenyamanan.
Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki.
Tanda : Perilaku berhari-hari/distraksi, gelisah.
11) Pernapasan.
Gejala : Napas pendek; dispnea noktural paroksismal; batuk
dengan/tanpa sputum kental dan banyak.
Tanda :Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi/kedalaman. Batuk
produktif dengan sputum merah muda encer (edema paru).
12) Keamanan.
Gejala : Kulit gatal.
Tanda : Pruritis.
13) Seksualitas.
Gejala : Penurunan libido; amenonea; infertilitas.
14)  Interaksi sosial.
Gejala : Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga.

2. Diagnose Keperawatan Utama

11
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan disfungsi ginjal.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan mual
muntah.
d. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi.
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan
menurun.
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status cairan.

3. Intervensi dan Rasional

No Diagnosa Tujuan dan kriteria Rencana Tindakan


Keperawatan hasil
1. Penurunan curah Setelah dilakukan 1. Pemantauan tanda vital
jantung berhubungan tindakan keperawatan, (kaji dan
dengan beban diharapkan masalah pada dokumentasikan tekanan
jantung yang penurunan curah jantung darah, adanya sianosis,
meningkat dapat teratasi dengan status pernafasan, dan
kriteria hasil: status mental)
1. Pasien dapat 2. Terapi intravena (IV)
mempunyai indeks 3. Pantau tanda kelebihan
jantung dalam batas cairan.
normal. 4. Regulasi dinamik
2. Pasien dapat (auskultasi suara nafas
mempuny/ai haluaran tambahan)
urine dalam batas 5. Ubah posisi pasien ke
normal. posisi semifowler
3. Pasien dapat 6. Kolaborasikan dengan
menunjukkan dokter terkait terapi obat
peningkatan toleransi yang diberikan.
terhadap aktivitas Rasional:
fisik. 1. Untuk mengetahui
keadaan umum pasien.
2. Untuk mengetahui
curah jantung pasien
3. Untuk mengetahui
adanya suara bunyi
nafas tambahan yang
diakibatkan oleh
penurunan curah
jantung.

12
4. Untuk melancarkan
aliran darah.
5. Untuk memberikan
obat antiaritmia,
antikoagulan kepada
pasien.
2. Kelebihan volume Setelah dilakukan 1. Manajemen cairan
cairan berhubungan tindakan keperawatan, 2. Timbang berat badan
dengan disfungsi diharapkan masalah 3. Pantau hasil
ginjal. padakelebihan volume laboratorium yang
cairan dapat teratasi relevan terhadap retensi
dengan kriteria hasil: cairan.
1. Pasien menyatakan 4. Tinggikan ekstremitas
secara verbal untuk meningkatkan
pemahaman tentang aliran balik vena.
pembatasan cairan 5. Pertahankan pembatasan
dan diet. cairan pasien
2. Pasien 6. Kolaborasikan dengan
mempertahankan dokter terkait program
tanda vital dalam dialisis.
batas normal. Rasional:
3. Hematokrit dalam 1. Untuk mengetahui
batas normal. peningkatan berat badan.
2. Hasil laboratorium untuk
mengetahui kadar ureum
dan kreatinin.
3. Untuk mengalirkan
aliran darah.
4. Untuk mencegah
terjadinya edema.
5. Dialisis digunakan untuk
menyaring sisa
metabolisme dalam
tubuh.
3. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Kaji terkait diit pasien
nutrisi kurang dari tindakan keperawatan, 2. Kaji pencetus mual
kebutuhan tubuh diharapkan masalah pada muntah pasien
berhubungan mual ketidakseimbangan 3. Minimalkan faktor
muntah. nutrisi kurang dari yang dapat
kebutuhan tubuh dapat menimbulkan mual
teratasi dengan kriteria muntah pasien.
hasil: 4. Ajarkan pasien untuk
1. Pasien dapat tarik nafas dalam
mempertahankan 5. Kolaborasikan dengan

13
BB atau bertambah dokter untuk
2. Pasien dapat memberikan terapi
mentoleransi diet antipiretik
yang dianjurkan. Rasional:
3. Pasien dapat 1. Untuk mengetahui
melaporkan tingkat kebutuhan nutrisi
energi yang adekuat. pasien
2. Untuk mengurangi rasa
mual dan muntah
3. Untuk mencegah
terjadinya mual muntah
berlebih
4. Untuk mengurangi rasa
mual dan muntah
5. Obat antipiretik
digunakan untuk
mengatasi rasa mual
muntah
4. Pola nafas tidak Setelah dilakukan 1. Pantau kecepatan, irama,
efektif berhubungan tindakan keperawatan, kedalaman dan upaya
dengan diharapkan masalah pada pernafasan.
hiperventilasi. perfpola nafas tidak 2. Auskultasi suara nafas
efektif dapat teratasi pasien
dengan kriteria hasil: 3. Berikan terapi oksigen
1. Mempunyai 4. Posisikan pasien untuk
kecepatan dan irama posisi semi fowler
pernafasan dalam 5. Ajarkan teknik relaksasi
batas normal. nafas dalam/ batuk
2. Pasien dapat efektif.
menunjukkan 6. Kolaborasikan
pernafasan optimal. pemberian terapi obat
nyeri.
Rasional:
1. Untuk mengetahui status
pernafasan pasien
2. Untuk mengetahui
adanya suara nafas
tambahan.
3. Untuk memberikan
oksigen tambahan ke
dalam organ pernafasan
pasien
4. Untuk melebarkan organ

14
pernafasan klien.
5. Untuk mengembangkan
organ paru pasien.
6. Untuk mengoptimalkan
pola pernafasan klien.
5. Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Kaji nadi perifer, edema
perfusi jaringan tindakan keperawatan, pada ektremitas
berhubungan dengan diharapkan masalah pada 2. Pantau status cairan
suplai O2 ke jaringan pola nafas tidak efektif pasien
menurun. dapat teratasi dengan 3. Hindari terjadinya
kriteria hasil: trauma
1. Pasien dapat 4. Anjurkan pasien atau
menunjukkan keluarga untuk
integritas jaringan memantau integritas
kulit yang bagus. kulit pasien.
2. Ekstreimitas pasien 5. Kolaborasikan
bebas dari lesi. pemberian obat nyeri
Rasional:
1. Untuk mengetahui
sirkulasi darah pasien
2. Status cairan
mempengaruhi status
sirkulais pasien.
3. Untuk mengurangi risiko
terjadinya komplikasi.
4. Untuk memngetahui
perkembangan status
sirkulasi pasien.
5. Untuk mengurangi rasa
nyeri yang dapat
dirasakan oleh pasien
6. Kerusakan integritas Setelah dilakukan 1. Kaji turgor kulit pasien
kulit berhubungan tindakan keperawatan, 2. Kaji adanya edema dan
dengan perubahan diharapkan masalah pada pruritus
status cairan. kerusakan integritas kulit 3. Atur posisi pasien
dapat teratasi dengan 4. Berikan lotion atau
kriteria hasil: bedak pada pasien.
1. Pasien atau keluarga 5. Ajarkan perawatan luka
menunjukkan pasien pada keluarga
rutinitas perawatan 6. Kolaborasikan dengan
kulit dokter pemberian obat
2. Tidak terdapat gatal
maserasi pada kulit. Rasional:
1. Untuk mengetahui status

15
integritas kulit pasien.
2. Untuk mengetahui
adanya penumpukan
cairan pada tubuh.
3. Untuk kenyamanan
pasien
4. Untuk mengurangi rasa
gatal pasien.
5. Untuk mengurangi
terjadinya infeksi.

16
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin & Sari. 2014. Asuhan keperawatan gangguan sistem perkemihan. Jakarta: Salemba
Medika.

Mohamad dkk. 2016. Hasil Diagnostik Mycobacterium Tuberculosis Pada Penderita Batuk
≥2 Minggu Dengan Pewarnaan Ziehl-Neelsen di Puskesmas Ranomuut dan
Puskesmas Kombos Manado. Jurnal e-Biomedik (e-Bm), Vol. 4 No. 2.

Retno, Dwy, 2018. ‘Efektivitas Training Efikasi Diri Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik
Dalam Meningkatkan Kepatuhan Terhadap Intake Cairan’. [Online] Jurnal. Dari
Jurnal. Media.Neliti.Com/Media/Publications/219966-None.Pdf.

Delima, 2014, ‘Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik : Studi Kasus Kontrol di Empat Rumah
Sakit di Jakarta’. [online] jurnal. Dari jurnal.
https://media.neliti.com/media/publications/74905-ID-faktor-risikopenyakit-ginjal-
kronik-stu.pdf.

Permana, Sari, 2018. ‘Asuhan Keperawatan Pada Ny. M Dengan Chronic Kidney Disease Di
Ruang Hemodialisa Rsud Dr. Moewardi Surakarta’. [Online] Jurnal. Dari Jurnal.

Muttaqin & Sari. 2011. Asuhan keperawatan gangguan sistem perkemihan. Jakarta: Salemba
Medika.

Arifa dkk.2017. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Ginjal Kronik Pada
Penderita Hipertensi Di Indonesia. Jurnal MKMI, Vol. 3 No. 14.

Irawan, Anita. 2014. Peningkatan Serum Kreatinin Akibat Penggunaan ACEi atau ARB pada
Pasien Hipertensi. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Vol. 3 No. 3, hlm 82-87.

Noviyanti dkk, 2015. Perbedaan Kadar LDL-Kolesterol Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe
2 Dengan Dan Tanpa Hipertensi di RS Dr. M. Djamil Padang Tahun 2011. Jurnal
Kesehatan Andalas.2015; 4 (2).

Fadhila dkk, 2018. Hubungan Antara Tekanan Darah dan Fungsi Ginjal pada Preeklamsi di
RSUP DR. M. Djamil. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7 (1).

Roviati, Evi. 2012. Systemic Lupus Erithematosus (SLE): Kelainan Autoimun Bawaan Yang
Langka Dan Mekanisme Biokimiawinya. Jurnal Scientiae Educatia Vol. 1 Ed. 2.

Prabowo & Pranata. 2014. Buku ajar keperawatan sistem perkemihan. Yogyakarta: Nuha
Medika.

Kandacong, Ayumi. 2017. Jumlah Trombosit Pre dan Post Hemodialisa (HD) pada Pasien
Penyakit Gagal Ginjal Kronik (PGK) di Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri
(RSPTN) Universitas Hasanuddin. Makassar : Universitas Hasanuddin.

17
Haryono. 2013. Keperawatan medical bedah: system perkemihan. Yogyakarta: Rapha
Publishing.

LeMone, Priscilla dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed 5 Vol 2. Jakarta:
EGC.

Colvy, J. 2011. Gagal Ginjal. Yogyakarta: DIVA Publishing.

Al-hilali, N. 2015. Complications During Hemodialysis.

SDKI PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Definisi dan Indikator Diagnostik),
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

SIKI PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Definisi dan Indikator Diagnostik),
Edisi 1 . Jakarta: DPP PPNI.

SLKI, PPNI Timpokja (2019). Standar Luar Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI

18

Anda mungkin juga menyukai