Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS


MEDIS CRHONIC KIDNEY DESEASE (CKD) DISERTAI
HIPERTENSI DI RUANG HEMODIALISA
RUMKITAL Dr. RAMELAN SURABAYA

Disusun Oleh :
Devi Nariyanta Purbasari
NIM. 2130002

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
TAHUN AJARAN 2021-2022
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Devi Nariyanta Purbasari
NIM : 2130002
Gerbong / Ruangan : 1 / Hemodialisa
Laporan pendahuluan dibuat sebagai syarat untuk memenuhi kompetensi Praktik
Klinik Keperawatan Gawat Darurat, tanggal 30 Mei 2022 s/d 05 Juni 2022.

Mengetahui

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

Dwi Priyantini, S.Kep., Ns., M.Sc Sukirno, S.Kep., Ns


NIP. 03006 NIP:197304132006041016

Kepala Ruangan Hemodialisa

Luluk Sriwahyuni, S.Kep


Kapten Laut (K/W) NRP. 20321/P
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit Ckd


1.1. Definisi Chronic Kidney Disease
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu kondisi gagalnya ginjal dalam
menjalankan fungsinya mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan
dan elektrolit karena rusaknya struktur ginjal yang progresif ditandai dengan
penumpukan sisa metabolik (toksik uremik) dalam darah (Muttaqin & Sari, 2014).

1.2. Etiologi
CKD bisa terjadi karena berbagai kondisi klinis seperti penyakit komplikasi
yang bisa menyebabkan penurunan fungsi pada ginjal (Muttaqin & Sari 2011).
Menurut Robinson (2013) dalam Prabowo dan Pranata (2014) penyebab CKD,
yaitu:
a) Penyakit glomerular kronis (glomerulonephritis)
b) Infeksi kronis (pyelonephritis kronis, tuberculosis)
c) Kelainan vaskuler (renal nephrosclerosis)
d) Obstruksi saluran kemih (nephrolithiasis)
e) Penyakit kolagen (Systemic Lupus Erythematosus)
f) Obat-obatan nefrotoksik (aminoglikosida)
Sedangkan menurut Muttaqqin & Sari (2011) kondisi klinis yang bisa
memicu munculnya CKD, yaitu:
1. Penyakit dari ginjal
a) Penyakit pada saringan (glomerulus): glomerulonephritis
b) Infeksi kuman: pyelonephritis, ureteritis
c) Batu ginjal: nefrolitiasis
d) Kista di ginjal: polycitis kidney
e) Trauma langsung pada ginjal
f) Keganasan pada ginjal
g) Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/strikt
1.3. Patofisiologi
CKD diawali dengan menurunnya fungsi ginjal, sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) ada yang utuh dan yang lainnya rusak. Akibatnya nefron
yang utuh atau sehat mengambil ahli tugas nefron yang rusak. Nefron yang sehat
akhirnya meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsinya dan ekskresinya meski
GFR mengalami penurunan, serta mengalami hipertropi. Semakin banyak nefron
yang rusak maka beban kerja pada nefron yang sehat semakin berat yang pada
akhirnya akan mati. Fungsi renal menurun akibatnya produk akhir metabolisme dari
protein yang seharusnya diekskresikan kedalam urin menjadi tertimbun dalam
darah dan terjadi uremia yang mempengaruhi semua sistem tubuh (Nursalam &
Batticaca, 2009; Mutaqqin & Sari, 2011; Haryono, 2013). Salah satunya yaitu
sistem integumen karena adanya gangguan pada reabsorbsi sisa-sisa metabolisme
yang tidak dapat dieksresikan oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan natrium dan
ureum yang seharusnya dikeluarkan bersama urine tetap berada dalam darah pada
akhirnya akan diekskresikan melalui kapiler kulit yang bisa membuat pigmen kulit
juga berubah (Baradero, Dayrit, & siswadi, 2009; Haryono, 2013; Prabowo &
Pranata 2014). Karena sisa limbah dari tubuh yang seharusnya dibuang melalui
urine terserap oleh kulit maka dapat menyebabkan pruritus, perubahan warna kulit,
uremic frosts dan kulit kering karena sering melakukan hemodialisa (LeMone dkk,
2015).
Sindrom uremia juga bisa menyebabkan respon pada muskuloskeletal yaitu
terdapat ureum pada jaringan otot yang bisa menyebabkan otot mengalami
kelemahan, kelumpuhan, mengecil dan kram. Akibatnya bisa menyebabkan terjadi
miopati, kram otot dan kelemahan fisik (Muttaqin & Sari, 2014). Saat seseorang
mengalami gangguan pada jaringan otot bisa membuat kesulitan dalam beraktivitas
hingga tirah baring yang lama hingga bisa menyebabkan penekanan pada area
tulang yang menonjol dan akan terjadi luka tekan. Sehingga terjadilah gangguan
integritas kulit pada penderita CKD.
1.4. WOC
1.5. Manifestasi Klinis
Menurut Haryono (2013) & Robinson (2013) CKD memiliki tanda dan gejala
sebagai berikut:
a) Ginjal dan gastrointestinal biasanya muncul hiponatremi maka akan muncul
hipotensi karena ginjal tidak bisa mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
dan gangguan reabsorpsi menyebabkan sebagian zat ikut terbuang bersama
urine sehingga tidak bisa menyimpan garam dan air dengan baik. Saat terjadi
uremia maka akan merangsang reflek muntah pada otak.
b) Kardiovaskuler biasanya terjadi aritmia, hipertensi, kardiomiopati, pitting
edema, pembesaran vena leher
c) Respiratory system akan terjadi edema pleura, sesak napas, nyeri pleura, nafas
dangkal, kusmaull, sputum kental dan liat
d) Integumen maka pada kulit akan tampak pucat, kekuning-kuningan
kecoklatan,biasanya juga terdapat purpura, petechie, timbunan urea pada kulit,
warna kulit abu-abu mengilat, pruritus, kulit kering bersisik, ekimosis, kuku
tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
e) Neurologis biasanya ada neuropathy perifer, nyeri, gatal pada lengan dan kaki,
daya memori menurun, apatis, rasa kantuk meningkat.
f) Endokrin maka terjadi infertilitas dan penurunan libido, gangguan siklus
menstruasi pada wanita, impoten, kerusakan metabolisme karbohidrat.
g) Sistem muskulosekeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang.
h) Sistem reproduksi: amenore, atrofi testis sebagian zat ikut terbuang bersama
urine sehingga tidak bisa menyimpan garam dan air dengan baik. Saat terjadi
uremia maka akan merangsang reflek muntah pada otak.

1.6. Komplikasi
1. Gangguan elektrolit, seperti penumpukan fosfor dan hiperkalemia atau
kenaikan kadar kalium yang tinggi dalam darah
2. Penyakit jantung dan pembuluh darah
3. Penumpukan kelebihan cairan di rongga tubuh misalnya edema paru
4. Anemia atau kekurangan sel darah merah
1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien CKD dibagi tiga yaitu:
1. Konservatif
a) Dilakukan pemeriksaan lab darah dan urin
b) Observasi balance cairan
c) Observasi adanya edema
d) Batasi cairan yang masuk
2. Dialisis
a) Peritoneal dialysis Biasanya dilakukan pada kasus-kasus emergensi.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut
adalah CPAD (Continues Ambulatiry Peritonial Dialysis).
b) Hemodialisis Yaitu dialysis yang dilakukan melalui tindakan invasif vena
dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodilis dilakukan melalui
daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan : AV fistule
(menggabungkan vena dan arteri) dan double lumen (langsung pada daerah
jantung atau vaskularisasi ke jantung).
3. Operasi
a) Pengambilan batu
b) Transplantasi ginjal (Muttaqin, 2011)

1.8. Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium
1) Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
a) Ureum kreatinin
b) Asam urat serum.
b. Identifikasi etiologi gagal ginjal
1) Analisis urin rutin
a) Mikrobiologi urin
b) Kimia darah
c) Elektrolit
d) Imunodiagnosis
c. Identifikasi perjalanan penyakit Nilai normal :
1) Laki-laki : 97 – 137 mL/menit/ 1,73 m3 atau 0,93 - 1,32mL/detik/m2
2) Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau 0,85 - 1,23 mL/detik/m2
3) Hemopoesis : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan
4) Elektrolit : Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+
5) Endokrin : PTH dan T3,T4
6) Pemeriksaan lain : berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk ginjal,
misalnya: infark miokard.
b. Diagnostik
1) Etiologi CKD dan terminal
a) Foto polos abdomen.
b) USG.
c) Pielografi retrograde.
d) Pielografi antegrade.
e) Mictuating Cysto Urography (MCU).
2) Diagnosis pemburuk fungsi ginjal
a) RetRogram
b) USG.

B. Konsep Dasar Hemodialisa


2.1 Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa berasal dari kata hemo yang berarti darah, dan dialysis yang
berarti pemisahan atau filtrasi. Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh
akumulasi sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap
akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu
singkat.
Hemodialisa adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui dialiser
yang terjadi secara difusi dan ultrafikasi, kemudian darah kembali lagi ke dalam
tubuh pasien.
Hemodialisis adalah tindakan mengeluarkan air yang berlebih ; zat sisa
nitrogen yang terdiri atas ureum, kreatinin, serta asam urat ; dan elektrolit seperti
kalium, fosfor, dan lain-lain yang berlebihan pada klien gagal ginjal kronik,
khususnya pada gagal ginjal terminal (GGT)

2.2 Tujuan Hemodialisa


Tujuan hemodialisa adalah untuk memindahkan produk-produk limbahyang
terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikeluarkan ke dalam mesin dialysis
(Muttaqin & Sari, 2011).
Menurut Nurdin (2009), sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa
mempunyai tujuan :
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat.
b. Membuang kelebihan air.
c. Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e. Memperbaiki status kesehatan penderita.

2.3 Prinsip Hemodialisa


Menurut Muttaqin & Sari (2011) disebutkan bahwa ada tiga prinsip yang
mendasari kerja hemodialisa, yaitu :
a. Difusi
Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan
kadar di dalam darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat.
b. Osmosis
Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi
yaitu perbedaan osmolalitas dan dialisat.
c. Ultrafiltrasi
Proses Ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena
perbedaan hidrostatik di dalam darah dan dialisat.

2.4 Dosis Dan Kecukupan Dosis Hemodialisa


a. Dosis hemodialisa
Dosis hemodialisa yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali
seminggu dengan setiap hemodialisa selama 5 jam atau sebanyak 3 kali
seminggu dengan setiap hemodialisa selama 4 jam.
b. Kecukupan dosis hemodialisa
Kecukupan dosis hemodialisa yang diberikan disebut dengan adekuasi
hemodialisis. Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung urea
reduction ratio (URR) dan urea kinetic modeling (Kt/V). Nilai URR dihitung
dengan mencari nilai rasio antara kadar ureum pradialisis yang dikurangi
kadar ureum pascadialisis dengan kadar ureum pascadialisis. Kemudian,
perhitumgan nilai Kt/V juga memerlukan kadar ureum pradialisis dan
pascadialisis, berat badan pradialisis dan pascadialisis dalam satuan kilogram,
dan lama proses hemodialisis dalam satuan jam. Pada hemodialisa dengan
dosis 2 kali seminggu, dialisis dianggap cukup bila nilai URR 65-70% dan
nilai Kt/V 1,2-1,4.

2.5 Terapi Hemodialis


Selama tindakan hemodialisa dilakukan, darah yang kontak dengandialyzer
dan selang dapat menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Hal ini dapat
mengganggu cara kerja dialyzer dan proses hemodialisis itu sendiri. Untuk
mencegah terjadinya pembekuan darah selama proses hemodialisis, maka perlu
diberikan suatu antikoagulan agar aliran darah dalam dialyzer dan selang tetap
lancar. Terapi yang digunakanselama proses hemodialisis, yaitu:

a. Heparin
Heparin merupakan antikoagulan pilihan untuk hemodialisa, selain
karena mudah diberikan dan efeknya bekerja cepat, juga mudah untuk
disingkirkan oleh tubuh. Ada 3 tehnik pemberian heparin untuk hemodialisa
yang ditentukan oleh faktor kebutuhan pasien dan faktor prosedur yang telah
ditetapkan oleh rumah sakit yang menyediakan hemodialisa, yaitu :
1) Routine continuous infusion (heparin rutin)
Tehnik ini sering digunakan sehari-hari. Dengan dosis injeksi tunggal 30-
50 U/kg selama 2-3 menit sebelum hemodialisa dmulai. Kemudian
dilanjutkan 750-1250 U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung.
Pemberian heparin dihentikan 1 jam sebelum hemodialisa selesai.
2) Repeated bolus
Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg selama 2-3 menit sebelum
hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan dengan dosis injeksi tunggal
30-50 U/kg berulang-ulang sampai hemodialisa selesai.
3) Tight heparin (heparin minimal)
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan
ringan sampai sedang. Dosis injeksi tunggal dan laju infus diberikan
lebih rendah daripada routine continuous infusion yaitu 10-20 U/kg, 2-
3 menit sebelum hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan 500
U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin
dihentikan 1 jam sebelum hemodialisa selesai.
b. Heparin-free dialysis (Saline).
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan
berat atau tidak boleh menggunakan heparin. Untuk mengatasi haltersebut
diberikan normal saline 100 ml dialirkan dalam selang yang berhubungan
dengan arteri setiap 15-30 menit sebelum hemodialisa. Heparin-free dialysis
sangat sulit untuk dipertahankan karena membutuhkan aliran darah arteri
yang baik (>250 ml/menit), dialyzeryang memiliki koefisiensi ultrafiltrasi
tinggi dan pengendalian ultrafiltrasi yang baik.
c. Regional Citrate
Regional Citrate diberikan untuk pasien yang sedang mengalami
perdarahan, sedang dalam resiko tinggi perdarahan atau pasien yang tidak
boleh menerima heparin. Kalsium darah adalah faktor yang memudahkan
terjadinya pembekuan, maka dari itu untuk mengencerkan darah tanpa
menggunakan heparin adalah dengan jalan mengurangi kadar kalsium ion
dalam darah. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan infus trisodium
sitrat dalam selang yang berhubungan dengan arteri dan menggunakan cairan
dialisat yang bebas kalsium. Namun demikian, akan sangat berbahaya
apabila darah yang telah mengalami proses hemodialisis dan kembali ke
tubuh pasien dengan kadar kalsium yang rendah. Sehingga pada saat
pemberian trisodium sitrat dalam selang yang berhubungan dengan arteri
sebaiknya juga diimbangi dengan pemberian kalsium klorida dalam selang
yang berhubungan dengan vena.
2.6 Diet Pasien Hemodialisa
Diet pasien hemodialisa mengacu pada tingkat perburukan fungsi ginjalnya.
Sehingga, ada beberapa unsur yang harus dibatasi konsumsinya yaitu :
a. Asupan protein dibatasi 1-1,2 g/kgBB/hari,
b. Asupan kalium dibatasi 40-70 meq/hari, mengingat adanya penurunan
fungsi sekresi kalium dan ekskresi urea nitrogen oleh ginjal.
c. Jumlah kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari.
d. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang adaditambah
dengan insensible water loss, sekitar 200-250 cc/hari.
e. Asupan natrium dibatasi 40-120 meq/hari guna mengendalikantekanan
darah dan edema.

2.7 Komplikasi Hemodialisa

Selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang


terjadi, antara lain :
a. Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot
seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan
volume yang tinggi.
b. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,
rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati
otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
c. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan
kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh
terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
d. Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat
diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang
cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik
diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan
perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom
ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa
pertama dengan azotemia berat.
e. Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat
dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama
hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinyaperdarahan.
f. Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai
dengan sakit kepala.
g. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.

C. Penyakit Ginjal Menyebabkan Hipertensi


Ginjal merupakan salah satu organ bagi tubuh manusia yang berfungsi
penting dalam homestasis yaitu mengeluarkan sisa-sisa metabolisme, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit, memproduksi hormon yang dapat
mempengaruhi organ-organ lainnya, salah satu contohnya adalah kontrol tekanan
darah dalam menyeimbangkan tekanan darah. Organ ginjal itu sendiri bekerja di
dukung oleh aliran darah ke ginjal, jaringan ginjal dan saluran pembungan ginjal,
bila salah satu faktor pendukung terganggu maka akan menyebabkan fungsi ginjal
akan terganggu bahkan dapat berhenti.
Beberapa penyakit ginjal yang menyebabkan hipertensi yaitu :
a. Renovascular : renal artery steonosis, polyarteritis nodusa, renal artery
neurysm, renal artery malformation.
b. Renoparenchymal : glomerulonephritis, polycystic kidney disease,
analgesic nephropathy, renal tumor as Wilms’ tumor, dan penyakit
parenchmal lainnya.

Penyakit-penyakit ini pada intinya dapat menyebabkan dua kejadian penting


yaitu peningkatan resistensi peredaran darah ke ginjal dan penurunan fungsi kapiler
glomerulus. Hal ini menyebabkan terjadinya ischemia pada ginjal yang merangsang
peningkatan pengeluaran renin (pro renin menjadi renin) pada glomerular sel.
Iskemia ginjal merupakan faktor utama penyebab terjadinya hipertensi, iskemia
yang merupakan kurangnya pasokan darah menuju ginjal karena berbagai penyakit
pada ginjal, menyebabkan pengurangan tekanan arteri sistemik proksimal ke lesi
(distal), sehingga menginduksi hipo-perfusi untuk segmen arteri distal, hal ini
menyebabkan mekanisme autoregulation yang sebenarnya untuk memulihkan
hipoperfusi pada ginjal. Kejadian ini akan merangsang terbentuknya hormon
enzimatik yaitu renin (dikeluarkan oleh sel granular aparatus jukstraglomerulus).

D. Hipertensi Menyebabkan Gangguan Pada Ginjal


Penyakit hipertensi pada dasarnya adalah penyakit yang dapat merusak
pembuluh darah, jika pembuluh darahnya ada pada ginjal, maka tentu saja ginjalnya
mengalami kerusakan. Seseorang yang tidak mempunyai gangguan ginjal, tetapi
memiliki penyakit hipertensi dan tidak diobati akan menyebabkan komplikasi pada
kerusakan ginjal, dan kerusakan ginjal yang terjadi akan memperparah hipertensi
tersebut. Kejadian ini menyebabkan tinkat terapi hemodialis menjadi tinggi dan
angka kematian akibat penyakit ini juga menyebabkan tinkat terapi hemodialis
menjadi tinggi dan angka kematian akibat penyakit ini juga cukup tinggi. Hipertensi
menyebabkan rangsangan barotrauma pada kapiler glomerolus dan meningkatkan
tekanan kapiler glomerolus terebut, yang lama kelamaan akan menyebabkan
glomerolusclerosis. Glomerulusclerosis dapat merangsang terjadinya hipoksia
kronis yang menyebabkan kerusakan ginjal. Hipoksia yang terjadi menyebabkan
meningkatnya kebutuhan metabolisme oksigen pada tempat tersebut, yang
menyebakan keluarnya substansi vasoaktif (endotelin, angiotensin dan
norephineprine) pada sel endotelial pembuluh darah lokal tersebut yang
menyebabkan meningkatnya vasokonstriksi. Aktivasi RAS (Renin Angiotensin
Sistem) disamping menyebabkan vasokontriksi, juga menyebakan terjadinya stres
oksidatif yang meningkatkan kebutuhan oksigen dan memperberat terjadinya
hipoksia. Stres oksidatif juga menyebabkan penurunan efesiensi transport natrium
dan kerusakan pada DNA, lipid & protein, sehingga pada akhirnya akan
menyebakan terjadinya tubulointertitial fibrosis yang memperparah terjadinya
kerusakan ginjal. Hipertensi atau peningkatan tekanan darah yang terjadi akibat
penyakit ginjal merupakan mekanisme umpan balik untuk menurunkan dan
menyeimbangkan substansi yang keluar agar tekanan darah menjadi normal
kembali, tetapi apabila kerusakan ginjal (renal disease) tidak diobati dengan baik,
maka akan menambah berat penyakit hipertensi. Sehingga penanganan Hipertensi
pada penyakit ginjal harus dilihat secara baik, karena keduanya saling berhubungan
erat, dimana penyakit ginjal dapat menyebabkan hipertensi.

E. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Chronic Kidney Disease (CKD)


5.1 Pengkajian
1. Biodata
Pengkajian pada klien Chronic Kidney Disease (CKD) lebih
menekankan pada support system untuk mempertahankan kondisi
keseimbangan dalam tubuh (hemodynamically process). Dengan tidak
optimalnya/gagalnya fungsi ginjal, maka tubuh akan melakukan upaya
kompensasi selagi dalam batas ambang kewajaran. Tetapi, jika kondisi ini
berlanjut (kronis), maka akan menimbulkan berbagai manifestasi klinis yang
menandakan gangguan sistem tersebut. Biodata Tidak ada spesisfikasi khusus
untuk kejadian CKD, namun laki-laki sering mengalami resiko lebih tinggi
terkait dengan pekerjaan dan pola hidup sehat.
2. Keluhan utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder
yang menyertai. Keluhan bisa berupa urine output yang menurun (oliguria)
sampai pada anuria, penurunan kesadaran karena komplikasi pada sistem
sirkulasiventilasi, anoreksia, mual dan muntah, diaforesis, fatigue, napas
berbau urea, dan pruritus. Kondisi ini dipicu oleh karena penumpukan
(akumulasi) zat sisa metabolisme/toksin dalam tubuh karena ginjal
mengalami kegagalan filtrasi.
3. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang dikemukakan sampai dibawa ke RS dan masuk ke ruang
perawatan, komponen ini terdiri dari PQRST yaitu:
P : Palliative merupakan faktor yang mencetus terjadinya penyakit, hal yang
meringankan atau memperberat gejala, klien dengan gagal ginjal
mengeluh sesak, mual dan muntah.
Q : Qualitative suatu keluhan atau penyakit yang dirasakan. Rasa sesak akan
membuat lelah atau letih sehingga sulit beraktivitas.
R : Region sejauh mana lokasi penyebaran daerah keluhan. Sesak akan
membuat kepala terasa sakit, nyeri dada di bagian kiri, mual-mual, dan
anoreksia.
S : Serverity/Scale derajat keganasan atau intensitas dari keluhan tersebut.
Sesak akan membuat freukensi napas menjadi cepat, lambat dan dalam.
T :Time waktu dimana keluhan yang dirasakan, lamanya dan freukensinya,
waktu tidak menentu, biasanya dirasakan secara terus-menerus.
4. Riwayat penyakit dahulu
Chronic Kidney Disease (CKD) dimulai dengan periode gagal ginjal
akut dengan berbagai penyebab (multikausa). Oleh karena itu, informasi
penyakit terdahulu akan menegaskan untuk penegakan masalah. Kaji riwayat
ISK, payah jantung, penggunaan obat yang bersifat nefrotoksis, BPH dan lain
sebagainya yang mampu mempengaruhi kerja ginjal. Selain itu, ada beberapa
penyakit yang langsung mempengaruhi/menyebabkan gagal ginjal yaitu
diabetes mellitus, hipetensi, batu saluran kemih (urolithiasis).
5. Riwayat kesehatan keluarga
Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular dan menurun, sehingga
silsilah keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun, pencetus
sekunder seperti DM dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap kejadian
penyakit gagal ginjal kronis, karena penyakit tersebut herediter. Kaji pola
kesehatan keluarga yang diterapkan jika ada anggota keluarga yang sakit,
misalnya minum jamu saat sakit.
6. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum dan tanda-tanda vital Kondisi klien gagal ginjal kronis
biasanya lemah (fatigue), tingkat kesadaran menurun sesuai dengan
tingkat uremia dimana dapat mempengaruhi system saraf pusat. Pada
pemeriksaan TTV sering dipakai RR meningkat (tachypneu),
hipertensi/hipotensi sesuai dengan kondisi fluktuatif.
2) Pemeriksaan fisik
a. Sistem pernafasan
Adanya bau urea pada bau napas. Jika terjadi komplikasi
asidosis/alkalosis respiratorik maka kondisi pernapasan akan
mengalami patologis gangguan. Pola napas akan semakin cepat dan
dalam sebagai bentuk kompensasi tubuh mempertahankan ventilasi
(Kussmaull).
b. Sistem kardiovaskuler
Penyakit yang berhubungan langsung dengan kejadian gagal ginjal
kronis salah satunya adalah hipertensi. Tekanan darah yang tinggi di
atas ambang kewajaran akan mempengaruhi volume vaskuler.
Stagnansi ini akan memicu retensi natrium dan air sehingga akan
meningkatkan beban jantung.
c. Sistem pencernanaan
Gangguan sistem pencernaan lebih dikarenakan efek dari penyakit
(stress effect), sering ditemukan anoreksia, nausea, vomit, dan diare.
d. Sistem hematologi
Biasanya terjadi TD meningkat, akral dingin, CRT>3 detik,
palpitasi jantung,gangguan irama jantung, dan gangguan sirkulasi
lainnya. Kondisi ini akan semakin parah jika zat sisa metabolisme
semakin tinggi dalam tubuh karena tidak efektif dalam ekresinya.
Selain itu, pada fisiologis darah sendiri sering ada gangguan anemia
karena penurunan eritropoetin.
e. Sistem Endokrin
Berhubungan dengan pola seksualitas, klien dengan gagal ginjal
kronis akan mengalami disfungsi seksualitas karena penurunan
hormon reproduksi. Selain itu, jika kondisi gagal ginjal kronis
berhubungan dengan penyakit diabetes mellitus, maka akan ada
gangguan dalam sekresi insulin yang berdampak pada proses
metabolisme.
f. Sistem neuromuskuler
Penurunan kesadaran terjadi jika telah mengalami hiperkarbic dan
sirkulasi cerebral terganggu. Oleh karena itu, penurunan kognitif dan
terjadinya disorientasi akan dialami klien gagal ginjal kronis.
g. Sistem perkemihan
Dengan gangguan/kegagalan fungsi ginjal secara kompleks
(filtrasi, sekresi, reabsorpsi dan ekskresi), maka manifestasi yang
paling menonjol adalah penurunan urine output tinggi di keringat
dapat menyebabkan bekuan uremik, deposit kristal urea di kulit.
h. Sistem muskuloskeletal
Dengan penurunan/kegagalan fungsi sekresi pada ginjal maka
berdampak pada proses demineralisasi tulang, sehingga resiko
terjadinya osteoporosis tinggi. (Prabowo dan Pranata, 2014)

5.2 Diagnosa Keperawatan


1. Resiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urin, retensi cairan dan natrium, dan diet berlebih. (SDKI D. 0036 Hal 87)
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritas, gangguan status
metabolik sekunder. (SDKI D. 0139 Hal 300)
3. Resiko defisit nutrisi kurang dari kebuthan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual dan muntah, pembatasan diet, dan perubahan membran
mukosa mulut. (SDKI D.0032 Hal 81)
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah. (SDKI D.0056 Hal 128)
5.3 Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan dan Intervensi Keperawatan


Keperawatan Kriteria Hasil
1. Resiko Tujuan : Setelah SIKI (Hal 507)
ketidakseimbangan dilakukan tindakan Intervensi utama :
cairan keperawatan 3x6 Manajemen Cairan (Hal 159)
berhubungan jam diharapkan O:
dengan penurunan cairan membaik 1. Monitor status hidrasi (mis.
haluaran urin, Frekuensi nadi, kekuatan nadi,
retensi cairan dan Luaran utama : akral, kelembapan mukosa, turgor
natrium, dan diet Keseimbangan kulit, tekanan darah)
berlebih. (SDKI cairan (Hal 41) 2. Monitor berat badan
D. 0036 Hal 87) 1. Asupan 3. Monitor berat badan sebelum dan
cairan sedudah dialisis
meningkat 4. Monitor hasil pemeriksaan
2. Kelembaban laboratorium
membrean 5. Monitor status hemodinamik
mukosa T:
meningkat 1. Catat intake-output dan hitung
3. Haluaran balans cairan 24 jam
urine 2. Berikan asupan cairan sesuai
meningkat kebutuhan
4. Dehidrasi 3. Berikan cairan intravena, jika perlu
menurun K:
5. Berat badan 1. Kolaborasi pemberian diuretik, jika
membaik perlu
Luaran tambahan :
Status cairan (Hal
107)
1. Kekuatan
nadi
meningkat
2. Output urine
meningkat
3. Intake cairan
membaik
2. Kerusakan Tujuan : Setelah SIKI (Hal 500)
integritas kulit dilakukan tindakan Intervensi utama :
berhubungan keperawatan 3x6 Perawatan integritas kulit (Hal 316)
dengan pruritas, jam diharapkan O:
gangguan status integritas kulit 1. Identifikasi penyebab gangguan
metabolik berkurang integritas kulit (mis. Perubahan
sekunder. (SDKI sirkulasi, perubahan status nutrisi,
D. 0139 Hal 300) Luaran utama : penurunan kelembaban, penurunan
Integritas kulit dan mobilitas)
jaringan (Hal 33)
1. Kerusakan T:
jaringan 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah
menurun baring
2. Kerusakan 2. Lakukan pemijatan pada area
lapisan kulit penonjolan tulang, jika pelu
menurun 3. Bersihkan perineal dengan air
3. Nyeri hangat, terutama pda periode diare
menurun 4. Gunakann produk berbahan
4. Tekstur petrolium atau minyak pada kulit
membaik kering
Luaran tambahan: 5. Gunakan produk berbahan
Fungsi sensori (Hal ringan/alami dan hipoalergik pada
28) kulit sensitif
1. Persepsi 6. Hindari produk berbahan dasar
stimulasi alkohol pada kulit kering
kulit E:
meningkat 1. Anjurkan menggunakan pelembab
2. Persepsi 2. Anjurkan minum air yang cukup
posisi tubuh 3. Anjurkan meningkatkan asupan
meningkat nutrisi
4. Anjurkan meningkatkan asupan
sayur dan buah
5. Anjurkan menghundari tempapar
suhu ekstrem
6. Anjurkan menggunakan tabir surya
SPF minimal 30 saat berada diluar
rumah
7. Anjurkan mandi dan mmenggunkan
sabun secukupnya

3. Resiko defisit Tujuan : Setelah SIKI (Hal 497)


nutrisi kurang dari dilakukan tindakan Intervensi utama :
kebuthan tubuh keperawatan 3x6 Manajemen Nutrisi (Hal 200)
berhubungan jam diharapkan O:
dengan anoreksia, nutrisi membaik 1. Identifikasi status nutrisi
mual dan muntah, 2. Identifikasi alergi dan intoteransi
pembatasan diet, Luaran utama : makanan
dan perubahan Status Nutrisi (Hal 3. Identifikasi makanan disukai
membran mukosa 121) 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan
mulut. (SDKI 1. Porsi jenis nutrien
D.0032 Hal 81) makanan 5. Identifikasi perlunya penggunanaan
yang selang nasogastriik
dihabiskan 6. Monitor asupan makanan
meningkat 7. Monitor berat badan
2. Berat badan 8. Monitor hasil pemeriksaan
membaik laboratorium
3. IMT T:
membaik 1. Lakukan oral hygine sebelum
4. Nafsu makan makan
membaik 2. Fasilitasi menentukan pedoman diet
5. Membran 3. Sajikan makanan secara menarik
mukosa dan suhu yang sesuai
membaik 4. Berikan makanan yang tinggi serat
Luaran tambahan : untuk mencegah konstipasi
Nafsu makan (Hal 5. Berikan makanan tinggi kalori dan
24) tinggi protein
1. Keinginan 6. Berikan suplemen makanan
makan E:
meningkat 1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Asupan 2. Anjarkan diet yang diprogamkan
makanan K:
meningkat 1. Kolaborasi dengan ahli gizi
3. Asupan
cairan
meningkat

4. Intoleransi Tujuan : Setelah SIKI (Hal 471)


aktivitas dilakukan tindakan Intervensi utama :
berhubungan keperawatan 3x6 Manajemen Energi (Hal 176)
dengan keletihan, jam diharapkan O:
anemia, retensi intoleransi aktivitas 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh
produk sampah. membaik yang mengakibatkan kelelahan
(SDKI D.0056 2. Monitor kelelahan fisik dan
Hal 128) Luaran utama emosional
Toleransi Aktivitas 3. Monitor pola dan jam tidur
(Hal 149) 4. Monitor lokasi dan
1. Kemudahan ketidaknyamanan selama
dalam melakukan aktivitas
melakukan T:
aktivitas 1. Sediakan lingkungan nyaman dan
meningkat rendah stimulus
2. Keluhan 2. Lakukan latihan rentang gerak pasif
lelah dan aktif
menurun 3. Berikan aktivitas distraksi yang
3. Dispnea saat menenangkan
aktivitas 4. Fasilitasi duduk disisi tempat tidur,
menurun jika tidak dapat berpindah atau
4. Frekuensi berjalan
napas E:
membaik 1. Anjurkan tirah baring
Luaran tambahan : 2. Anjurkan melakukan aktivitas
Ambulasi (Hal 16) secara bertahap
1. Berjalan
dengan
langkah yang 3. Anjurkan menghubungi perawat
efektif secara jika tanda dan gejala kelelahan tidak
meningkat berkurang
2. Nyeri saat 4. Ajarkan strategi koping untuk
berjalan mengurangi kelelahan
menurun K:
3. Kaku pada 1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
persendian cara meningkatkan asupan makanan
menurun

5.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
ke status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan. Komponen tahap implementasi :
1. Tindakan keperawatan mandiri.
2. Tindakan Keperawatan edukatif.
3. Tindakan keperawatan kolaboratif.
4. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan
keperawatan.

5.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya
dalam perencanaan, membandingkan hasil tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan menilai
efektivitas proses keperawatan mulai dari tahap pengkajian, perencanaan dan
pelaksanaan.
Ada tiga alternative dalam menafsirkan hasil evaluasi yaitu :
1. Masalah teratasi
Masalah teratasi apabila pasien menunjukkan perubahan tingkah laku dan
perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan.
2. Masalah sebagian teratasi
Masalah sebagian teratasi apabila pasien menunjukkan perubahan dan
perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan.
3. Masalah belum teratasi
Masalah belum teratasi, jika pasien sama sekali tindak menunjukkan perubahan
perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan timbul masalah yang baru.
DAFTAR PUSTAKA

Ackley & Ladwig. 2017. Nursing Diagnosis Handbook: An Evidence-Based Guide


To Planning Care – 11th ed. USA: Mosby Elsevier

Ali, dkk. 2017.Perbandingan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan
Comorbid Faktor Diabetes Melitus dan Hipertensi di Ruangan Hemodialisa
RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Manado: Universitas Sam
Ratulangi– e-Jurnal Keperawatan Vol. 5 No. 2

Amano dkk, 2017.Dry Skin Condition are Related to the Recovery Rate of Skin
Temperature After Cold Stress Rather Than to Blood flow.International
Journal of Dermatology. Japan: Tokyo 131-8501

Arifa dkk.2017. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Ginjal


Kronik Pada Penderita Hipertensi Di Indonesia. Jurnal MKMI, Vol. 3 No.
14

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC

Astuti & Husna.2017. Skala Pruritus Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik. Banda
Aceh: Universitas Syiah Kuala Vol. 2 No.4

Baradero, Mary dkk. 2008. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC

Black & Hawks.2014. Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis untuk Hasil
yang Diharapkan Edisi 8 Buku 2. Jakarta: Salemba Medika

Bulechek, et al. 2013. Nursing Interventions Classifications (NIC) Ed. 6. Missouri:


Mosby Elsevier

Chamberlain’s. 2012. Chamberlain’s Gejala dan Tanda dalam Kedokteran Klinis.


Jakarta: Permata Puri Media

Debora, Oda. 2017. Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik Ed.2. Jakarta:
Salemba Medika

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pusat Data dan Informasi


Kementerian Kesehatan RI: Situasi Penyakit Ginjal Kronis

Eka dkk. 2015. Perbandingan Efektifitas Krim Urea 10% dan Krim Niasinamid 4%
pada Xerosis Usia Lanjut. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol. 2, No. 1,
Januari 2015: 135-141

Fadhila dkk, 2018.Hubungan Antara Tekanan Darah dan Fungsi Ginjal pada
Preeklamsi di RSUP DR. M. Djamil. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7 (1)

Anda mungkin juga menyukai