Disusun Oleh :
Devi Nariyanta Purbasari
NIM. 2130002
Mengetahui
1.2. Etiologi
CKD bisa terjadi karena berbagai kondisi klinis seperti penyakit komplikasi
yang bisa menyebabkan penurunan fungsi pada ginjal (Muttaqin & Sari 2011).
Menurut Robinson (2013) dalam Prabowo dan Pranata (2014) penyebab CKD,
yaitu:
a) Penyakit glomerular kronis (glomerulonephritis)
b) Infeksi kronis (pyelonephritis kronis, tuberculosis)
c) Kelainan vaskuler (renal nephrosclerosis)
d) Obstruksi saluran kemih (nephrolithiasis)
e) Penyakit kolagen (Systemic Lupus Erythematosus)
f) Obat-obatan nefrotoksik (aminoglikosida)
Sedangkan menurut Muttaqqin & Sari (2011) kondisi klinis yang bisa
memicu munculnya CKD, yaitu:
1. Penyakit dari ginjal
a) Penyakit pada saringan (glomerulus): glomerulonephritis
b) Infeksi kuman: pyelonephritis, ureteritis
c) Batu ginjal: nefrolitiasis
d) Kista di ginjal: polycitis kidney
e) Trauma langsung pada ginjal
f) Keganasan pada ginjal
g) Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/strikt
1.3. Patofisiologi
CKD diawali dengan menurunnya fungsi ginjal, sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) ada yang utuh dan yang lainnya rusak. Akibatnya nefron
yang utuh atau sehat mengambil ahli tugas nefron yang rusak. Nefron yang sehat
akhirnya meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsinya dan ekskresinya meski
GFR mengalami penurunan, serta mengalami hipertropi. Semakin banyak nefron
yang rusak maka beban kerja pada nefron yang sehat semakin berat yang pada
akhirnya akan mati. Fungsi renal menurun akibatnya produk akhir metabolisme dari
protein yang seharusnya diekskresikan kedalam urin menjadi tertimbun dalam
darah dan terjadi uremia yang mempengaruhi semua sistem tubuh (Nursalam &
Batticaca, 2009; Mutaqqin & Sari, 2011; Haryono, 2013). Salah satunya yaitu
sistem integumen karena adanya gangguan pada reabsorbsi sisa-sisa metabolisme
yang tidak dapat dieksresikan oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan natrium dan
ureum yang seharusnya dikeluarkan bersama urine tetap berada dalam darah pada
akhirnya akan diekskresikan melalui kapiler kulit yang bisa membuat pigmen kulit
juga berubah (Baradero, Dayrit, & siswadi, 2009; Haryono, 2013; Prabowo &
Pranata 2014). Karena sisa limbah dari tubuh yang seharusnya dibuang melalui
urine terserap oleh kulit maka dapat menyebabkan pruritus, perubahan warna kulit,
uremic frosts dan kulit kering karena sering melakukan hemodialisa (LeMone dkk,
2015).
Sindrom uremia juga bisa menyebabkan respon pada muskuloskeletal yaitu
terdapat ureum pada jaringan otot yang bisa menyebabkan otot mengalami
kelemahan, kelumpuhan, mengecil dan kram. Akibatnya bisa menyebabkan terjadi
miopati, kram otot dan kelemahan fisik (Muttaqin & Sari, 2014). Saat seseorang
mengalami gangguan pada jaringan otot bisa membuat kesulitan dalam beraktivitas
hingga tirah baring yang lama hingga bisa menyebabkan penekanan pada area
tulang yang menonjol dan akan terjadi luka tekan. Sehingga terjadilah gangguan
integritas kulit pada penderita CKD.
1.4. WOC
1.5. Manifestasi Klinis
Menurut Haryono (2013) & Robinson (2013) CKD memiliki tanda dan gejala
sebagai berikut:
a) Ginjal dan gastrointestinal biasanya muncul hiponatremi maka akan muncul
hipotensi karena ginjal tidak bisa mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
dan gangguan reabsorpsi menyebabkan sebagian zat ikut terbuang bersama
urine sehingga tidak bisa menyimpan garam dan air dengan baik. Saat terjadi
uremia maka akan merangsang reflek muntah pada otak.
b) Kardiovaskuler biasanya terjadi aritmia, hipertensi, kardiomiopati, pitting
edema, pembesaran vena leher
c) Respiratory system akan terjadi edema pleura, sesak napas, nyeri pleura, nafas
dangkal, kusmaull, sputum kental dan liat
d) Integumen maka pada kulit akan tampak pucat, kekuning-kuningan
kecoklatan,biasanya juga terdapat purpura, petechie, timbunan urea pada kulit,
warna kulit abu-abu mengilat, pruritus, kulit kering bersisik, ekimosis, kuku
tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
e) Neurologis biasanya ada neuropathy perifer, nyeri, gatal pada lengan dan kaki,
daya memori menurun, apatis, rasa kantuk meningkat.
f) Endokrin maka terjadi infertilitas dan penurunan libido, gangguan siklus
menstruasi pada wanita, impoten, kerusakan metabolisme karbohidrat.
g) Sistem muskulosekeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang.
h) Sistem reproduksi: amenore, atrofi testis sebagian zat ikut terbuang bersama
urine sehingga tidak bisa menyimpan garam dan air dengan baik. Saat terjadi
uremia maka akan merangsang reflek muntah pada otak.
1.6. Komplikasi
1. Gangguan elektrolit, seperti penumpukan fosfor dan hiperkalemia atau
kenaikan kadar kalium yang tinggi dalam darah
2. Penyakit jantung dan pembuluh darah
3. Penumpukan kelebihan cairan di rongga tubuh misalnya edema paru
4. Anemia atau kekurangan sel darah merah
1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien CKD dibagi tiga yaitu:
1. Konservatif
a) Dilakukan pemeriksaan lab darah dan urin
b) Observasi balance cairan
c) Observasi adanya edema
d) Batasi cairan yang masuk
2. Dialisis
a) Peritoneal dialysis Biasanya dilakukan pada kasus-kasus emergensi.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut
adalah CPAD (Continues Ambulatiry Peritonial Dialysis).
b) Hemodialisis Yaitu dialysis yang dilakukan melalui tindakan invasif vena
dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodilis dilakukan melalui
daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan : AV fistule
(menggabungkan vena dan arteri) dan double lumen (langsung pada daerah
jantung atau vaskularisasi ke jantung).
3. Operasi
a) Pengambilan batu
b) Transplantasi ginjal (Muttaqin, 2011)
a. Heparin
Heparin merupakan antikoagulan pilihan untuk hemodialisa, selain
karena mudah diberikan dan efeknya bekerja cepat, juga mudah untuk
disingkirkan oleh tubuh. Ada 3 tehnik pemberian heparin untuk hemodialisa
yang ditentukan oleh faktor kebutuhan pasien dan faktor prosedur yang telah
ditetapkan oleh rumah sakit yang menyediakan hemodialisa, yaitu :
1) Routine continuous infusion (heparin rutin)
Tehnik ini sering digunakan sehari-hari. Dengan dosis injeksi tunggal 30-
50 U/kg selama 2-3 menit sebelum hemodialisa dmulai. Kemudian
dilanjutkan 750-1250 U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung.
Pemberian heparin dihentikan 1 jam sebelum hemodialisa selesai.
2) Repeated bolus
Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg selama 2-3 menit sebelum
hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan dengan dosis injeksi tunggal
30-50 U/kg berulang-ulang sampai hemodialisa selesai.
3) Tight heparin (heparin minimal)
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan
ringan sampai sedang. Dosis injeksi tunggal dan laju infus diberikan
lebih rendah daripada routine continuous infusion yaitu 10-20 U/kg, 2-
3 menit sebelum hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan 500
U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin
dihentikan 1 jam sebelum hemodialisa selesai.
b. Heparin-free dialysis (Saline).
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan
berat atau tidak boleh menggunakan heparin. Untuk mengatasi haltersebut
diberikan normal saline 100 ml dialirkan dalam selang yang berhubungan
dengan arteri setiap 15-30 menit sebelum hemodialisa. Heparin-free dialysis
sangat sulit untuk dipertahankan karena membutuhkan aliran darah arteri
yang baik (>250 ml/menit), dialyzeryang memiliki koefisiensi ultrafiltrasi
tinggi dan pengendalian ultrafiltrasi yang baik.
c. Regional Citrate
Regional Citrate diberikan untuk pasien yang sedang mengalami
perdarahan, sedang dalam resiko tinggi perdarahan atau pasien yang tidak
boleh menerima heparin. Kalsium darah adalah faktor yang memudahkan
terjadinya pembekuan, maka dari itu untuk mengencerkan darah tanpa
menggunakan heparin adalah dengan jalan mengurangi kadar kalsium ion
dalam darah. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan infus trisodium
sitrat dalam selang yang berhubungan dengan arteri dan menggunakan cairan
dialisat yang bebas kalsium. Namun demikian, akan sangat berbahaya
apabila darah yang telah mengalami proses hemodialisis dan kembali ke
tubuh pasien dengan kadar kalsium yang rendah. Sehingga pada saat
pemberian trisodium sitrat dalam selang yang berhubungan dengan arteri
sebaiknya juga diimbangi dengan pemberian kalsium klorida dalam selang
yang berhubungan dengan vena.
2.6 Diet Pasien Hemodialisa
Diet pasien hemodialisa mengacu pada tingkat perburukan fungsi ginjalnya.
Sehingga, ada beberapa unsur yang harus dibatasi konsumsinya yaitu :
a. Asupan protein dibatasi 1-1,2 g/kgBB/hari,
b. Asupan kalium dibatasi 40-70 meq/hari, mengingat adanya penurunan
fungsi sekresi kalium dan ekskresi urea nitrogen oleh ginjal.
c. Jumlah kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari.
d. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang adaditambah
dengan insensible water loss, sekitar 200-250 cc/hari.
e. Asupan natrium dibatasi 40-120 meq/hari guna mengendalikantekanan
darah dan edema.
Ali, dkk. 2017.Perbandingan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan
Comorbid Faktor Diabetes Melitus dan Hipertensi di Ruangan Hemodialisa
RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Manado: Universitas Sam
Ratulangi– e-Jurnal Keperawatan Vol. 5 No. 2
Amano dkk, 2017.Dry Skin Condition are Related to the Recovery Rate of Skin
Temperature After Cold Stress Rather Than to Blood flow.International
Journal of Dermatology. Japan: Tokyo 131-8501
Astuti & Husna.2017. Skala Pruritus Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik. Banda
Aceh: Universitas Syiah Kuala Vol. 2 No.4
Baradero, Mary dkk. 2008. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC
Black & Hawks.2014. Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis untuk Hasil
yang Diharapkan Edisi 8 Buku 2. Jakarta: Salemba Medika
Debora, Oda. 2017. Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik Ed.2. Jakarta:
Salemba Medika
Eka dkk. 2015. Perbandingan Efektifitas Krim Urea 10% dan Krim Niasinamid 4%
pada Xerosis Usia Lanjut. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol. 2, No. 1,
Januari 2015: 135-141
Fadhila dkk, 2018.Hubungan Antara Tekanan Darah dan Fungsi Ginjal pada
Preeklamsi di RSUP DR. M. Djamil. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7 (1)