Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN CHRONIC KIDNEY DESEASE PADA TN.

DI RUANG HEMODIALISA RSUD DR. SOEKARDJO KOTA TASIKMALAYA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners


Stase Keperawatan Medikal Bedah

Nama Mahasiswa : Deni Candra Ramadhan, S.Kep


NIM : 221FK09006

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA TASIKMALAYA
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
Daftar Isi

A. Definisi
B. Tanda dan Gejala
C. Etiologi
D. Patofisiologi
E. Pathway
F. Klasifikasi
G. Pemeriksaan Penunjang
H. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
I. Komplikasi
J. Diagnosa Banding
K. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1) Data Fokus Pengkajian
2) Pemeriksaan Fisik
3) Analisa Data
4) Diagnosa Keperawatan
5) Evidance Based Practice
6) Daftar Pustaka
7) Lampiran Jurnal
A. Definisi
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir End Stage Renal Disease
(ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan reversible dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah). Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. Gagal ginjal
merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya
berlangsung beberapa tahun). GGK adalah penurunan faal ginjal yang menahun
mengarah pada kerusakan jaringan ginjal yang tidak reversible dan progresif
(Kartikasari, 2018).
Gagal ginjal kronik adalah suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal
yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom
klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal
pada gagal ginjal kronik. Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progesif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu
derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir (PGTA)
adalah penyimpangan progresif, fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana
kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan metabolik, dan cairan dan
elektrolit mengalami kegagalan, yang mengakibatkan uremia (Kartikasari, 2018).

B. Tanda dan Gejala


1. Mual muntah
2. Penurunan nafsu makan
3. Badan terasa lemas
4. Gangguan tidur
5. Perubahan jumlah urine
6. Perubahan status mental
7. Gangguan fungsi otot
8. Pembengkakan pada ekstermitas (edema)
9. Gatal
10. Nyeri dada (jika terjadi penimbunan cairan)
11. Sesak nafas
12. Peningkatan tekanan darah

C. Etiologi
Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of National
Kidney Foundation (2016), ada dua penyebab utama dari penyakit ginjal kronis yaitu
diabetes dan tekanan darah tinggi, yang bertanggung jawab untuk sampai dua- pertiga
kasus. Diabetes terjadi ketika gula darah terlalu tinggi, menyebabkan kerusakan
banyak organ dalam tubuh, termasuk ginjal dan jantung, serta pembuluh darah, saraf
dan mata. Tekanan darah tinggi, atau hipertensi, terjadi ketika tekanan darah terhadap
dinding pembuluh darah meningkat. Jika tidak terkontrol, atau kurang terkontrol,
tekanan darah tinggi bisa menjadi penyebab utama serangan jantung, stroke dan
penyakit ginjal kronis. Begitupun sebaliknya, penyakit ginjal kronis dapat
menyebabkan tekanan darah tinggi (Kher et al., 2016).
Penyebab gagal ginjal pasien hemodialisis baru dari data tahun 2014 berdasarkan
data dari Indonesian Renal Registry (IRR) masih sama dengan tahun sebelumnya.
Penyakit ginjal hipertensi meningkat menjadi 37% diikuti oleh Nefropati diabetika
sebanyak 27%. Glomerulopati primer memberi proporsi yang cukup tinggi sampai
10% dan Nefropati Obstruktif pun masih memberi angka 7% dimana pada registry di
negara maju angka ini sangat rendah. Masih ada kriteria lain-lain yang memberi angka
7%, angka ini cukup tinggi hal ini bisa diminimalkan dengan menambah jenis etiologi
pada IRR. Proporsi penyebab yang tidak diketahui atau E10 cukup rendah (Kher et
al., 2016).
Menurut Sylvia Anderson klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik adalah sebagai
berikut :
1. Penyakit infeksi tubulointerstitial : Pielonefritis kronik atau refluks nefropati
Pielonefritis kronik adalah infeksi pada ginjal itu sendiri, dapat terjadi akibat
infeksi berulang, dan biasanya dijumpai pada penderita batu. Gejala–gejala umum
seperti demam, menggigil, nyeri pinggang, dan disuria. Atau memperlihatkan
gambaran mirip dengan pielonefritis akut, tetapi juga menimbulkan hipertensi dan
gagal ginjal.
2. Penyakit peradangan : Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak.
Peradangan akut glomerulus terjadi akibat peradangan komplek antigen dan
antibodi di kapiler – kapiler glomerulus. Komplek biasanya terbentuk 7 – 10 hari
setelah infeksi faring atau kulit oleh Streptococcus (glomerulonefritis
pascastreptococcus) tetapi dapat timbul setelah infeksi lain. Glomerulonefritis
kronik adalah peradangan yang lama dari sel – sel glomerulus. Kelainan ini dapat
terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak membaik atau timbul secara
spontan. Glomerulonefritis kronik sering timbul beberapa tahun setelah cidera
dan peradangan glomerulus sub klinis yang disertai oleh hematuria (darah dalam
urin) dan proteinuria (protein dalam urin) ringan, yang sering menjadi penyebab
adalah diabetes mellitus dan hipertensi kronik. Hasil akhir dari peradangan adalah
pembentukan jaringan parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Pada pengidap
diabetes yang mengalami hipertensi ringan, memiliki prognosis fungsi ginjal
jangka panjang yang kurang baik.
3. Penyakit vaskuler hipertensif : Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna,
Stenosis arteria renalis
4. Nefrosklerosis Benigna merupakan istilah untuk menyatakan berubah ginjal yang
berkaitan dengan skerosis pada arteriol ginjal dan arteri kecil. Nefrosklerosis
Maligna suatu keadaan yang berhubungan dengan tekanan darah tinggi
(hipertensi maligna), dimana arteri-arteri yang terkecil (arteriola) di dalam ginjal
mengalami kerusakan dan dengan segera terjadi gagal ginjal. Stenosis arteri
renalis (RAS) adalah penyempitan dari satu atau kedua pembuluh darah (arteri
ginjal) yang membawa darah ke ginjal. Ginjal membantu untuk mengontrol
tekanan darah. Renalis menyempit menyulitkan ginjal untuk bekerja. RAS dapat
menjadi lebih buruk dari waktu ke waktu. Sering menyebabkan tekanan darah
tinggi dan kerusakan ginjal.
5. Gangguan jaringan ikat : Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistemik progresif Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus
eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem
yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun.
6. Gangguan congenital dan herediter : Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus
ginjal
7. Penyakit metabolic : Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
8. Nefropati toksik : Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah
9. Nefropati obstruktif : Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi, neoplasma,
fibrosis, retroperitineal), traktus urinarius bawah (hipertropi prostat, striktur
uretra, anomaly congenital leher vesika urinaria dan uretra).

D. Patofisiologi
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan
penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang
sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal
ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih
fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkat kecepatan filtrasi,
reabsorpsi, dan sekresinya serta mengalami hipertrofi. Seiring dengan makin
banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi tugas yang
semkain berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati.
Sebagaian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-
nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Seiring dengan penyusutan
progresif nefronnefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal
mungkin berkurang (Wati, 2019).
Meskipun penyakit ginjal terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus
diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah berubah, kendati
jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara
progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap
ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami
hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi
peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap
nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di
bawah nilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat
rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka
kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga
keseimbangan glomerulus-tubulus (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan
peningkatan reabsorpsi oleh tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik
pada proses ekskresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang.
Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan yang rawan tersebut,
karena makin rendah GFR (yang berarti maikn sedikit nefron yang ada) semakin besar
perubahan kecepatan ekskresi per nefron. Hilangnya kemampuan memekatkan atau
mengencerkan urine menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285
mOsm (yaitu sama dengan plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan
nokturia (Dila & Panma, 2019).

E. Pathway

Kerusakan Ginjal

Gangguan Ginjal
Berlangsung kronik

CKD

Keruskan Tubulus Menurunya Produksi


Keruskan Glomerulus
Ertitropoetin

Turunya fungsi sumsum


Terganggunya fungsi
tulang belakang
Kenaikan Turunya jumlah absorbsi, sekresi, eksresi
Permeabilitas kapiler glomerulus yang
berfungsi Turunya sel darah merah
Menumpuknya
Loss protein Menurunya klirens toksik metabolisme
ginjal
Anemia
Proteinuria masif Uremia
Pertimbunan produk
hasil metabolisme
Hipoalbumin

Pada Gastrointestinal Pada Kulit Pada Neuromuskuler


Hipovolemi
Iritasi saraf
Gangguan Pruritus Kulit Kering perasa nyeri
Kelebihan volume keseimbangan cairan
cairan Digaruk Nyeri
kepala/nyeri otot
Iritasi lambung
Risiko kerusakan
integritas kulit Nyeri Akut
Asam lambung
meningkat

Mual muntah Nausea

Berlebihan dan
berkepanjangan

Ketidakseimbangan nutrisi kurang


dari kebutuhan
F. Klasifikasi
Pengukuran fungsi ginjal terbaik adalah dengan mengukur Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG). Melihat  nilai laju filtrasi glomerulus ( LFG ) baik secara
langsung atau melalui  perhitungan berdasarkan nilai pengukuran kreatinin,  jenis
kelamin dan umur seseorang. Pengukuran LFG tidak dapat dilakukan secara langsung,
tetapi hasil estimasinya dapat dinilai melalui bersihan ginjal dari suatu penanda
filtrasi. Salah satu penanda tersebut yang sering digunakan dalam praktik klinis adalah
kreatinin serum.
Menurut Chronic Kidney Disease Improving Global Outcomes (CKD
KDIGO) proposed classification, dapat dibagi menjadi :

Stadium LFG (ml/min/1,73 m) Terminologi


G1 >90 Normal atau meningkat
G2 60 – 89 Ringan
G3a 45 – 59 Ringan – sedang
G3b 30 – 44 Sedang – berat
G4 15 – 29 Berat
G5 < 15 Terminal

Berdasarkan albumin di dalam urine (albuminuia), penyakit ginjal kronis


dibagi menjadi 3 yaitu :

ACR (Aproximate
AER (mg/24
Kategori Equivalent) Terms
jam)
(mg/mmol) (mg/g)
A1 < 30 <3 < 30 Normal – peningkatan
ringan
A2 30 – 300 3 – 30 30 – 300 Sedang
A3 >300 >30 >300 Berat
G. Pemeriksaan Penunjang
Chronic Kedney Desease (CKD) dapat lebih ditegakan dengan pemeriksaan
penunjang seperti sebagai berikut :
1. Pemeriksaan darah lengkap
Hemoglobin dapat ditemukan turun akibat anemia penyakit kronis yang terjadi
pada penyakit gagal ginjal kronis.
2. Kadar kreatinin darah
Kadar kreatinin darah bermanfaat untuk mengestimasi laju filtrasi glomerulus
pada pasien.
3. Elektrolit dan analisa gas darah
Penyakit ginjal kronis dapat menyebabkan komplikasi berupa hiperkalemia
dan metabolik asidosis. Untuk itu diperlukan pemeriksaan elektrolit dan analisa gas
darah. Pada analisa gas darah, perhatikan kadar HCO3 dan pH untuk melihat ada
tidaknya metabolik asidosis.
4. Urinalisis
Pada urinalisis, dapat ditemukan hematuria dan/atau proteinuria. Dapat juga
ditemukan mikroalbuminuria (30 – 300 mg/24 jam). Pencitraan juga bermanfaat
untuk diagnosis penyakit ginjal kronis, terutama untuk menentukan penyebab
penyakit ginjal kronis.
5. Ultrasonografi ginjal
Pada pemeriksaan USG, dapat ditemukan ukuran ginjal yang mengecil,
adanya obstruksi atau hidronefrosis dan batu ginjal.
6. X-ray dengan Kontras
Foto polos intravenous pyelography dapat bermanfaat pada penyakit ginjal
kronik yang dicurigai terjadi akibat batu ginjal. Namun, dokter harus
mempertimbangkan potensi toksisitas ginjal akibat penggunaan kontras intravena
tersebut. Kontras dikontraindikasikan pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus
<60 mL/min/1.73 m2. Foto polos abdomen dapat bermanfaat untuk melihat batu
ginjal radioopak tetapi pemeriksaan ini bersifat tidak spesifik.
7. CT Scan dan MRI Abdomen
CT-scan abdomen dapat melihat batu saluran kemih, massa atau kista ginjal.
Kontras intravena dikontraindikasikan pada pasien dengan LFG < 60 mL/min/1.73
m2. MRI dapat melihat massa ginjal dengan lebih jelas, misalnya pada karsinoma
sel renal. Kontras dengan gadolinium tidak direkomendasikan pada laju filtrasi
glomerulus < 30 mL/min/1.73 m2.
8. Biopsi Renal
Biopsi renal umumnya diindikasikan jika diagnosis etiologi penyakit ginjal
kronis tidak jelas. Biopsi juga bermanfaat untuk memandu tata laksana penyakit
ginjal kronis yang diakibatkan oleh etiologi tertentu, misalnya lupus.

H. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan


Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu
sebagai berikut:
a) Konservatif
- Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
- Observasi balance cairan
- Observasi adanya edema
- Batasi cairan yang masuk
b) Dialysis
- Peritoneal dialysis
Peritoneal dyalisis biasanya dilakukan pada kasus-kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut
adalah CAPD (Continues Ambulatori Peritonial Dialysis).
- Hemodialisa
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan
menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah
femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan :
- AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
- Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke
- jantung)
c) Operasi
- Pengambilan batu
- Transplantasi ginjal
I. Diagnosa Banding
Diagnosa banding penyakit Chronic Kidney Desease yaitu sebagai berikut :
1. Sindrom alport
2. Antiglomerular basement membrane disease
3. Glomerulonefritis
4. Glomerulonefritis
5. Glomerulonefritis
6. Batu ginjal
7. Nefroklerosis

J. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang
muncul pada pasien CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Perubahan nutrisi
4. Perubahan pola nafas
5. Gangguan perfusi jaringan
6. Intoleransi aktivitas
7. Kurang pengetahuan tindakan tentang tindakan medis
8. Risiko tinggi terjadinya infeksi

K. Intervensi
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
Tujuan :
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil : mempertahankan
curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas
normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler.
Intervensi :
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-
angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema


sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O).
Tujuan :
Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil:
tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output Mempertahankan berat
tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada edema,
keseimbangan antara input dan output.
Intervensi :
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan
haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon
terhadap terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama
pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual,


muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil:
menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah
atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Berikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam
mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi


melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
e. R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis


Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit

Intervensi:

a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan


kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi
sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk
menurunkan iskemia

L. Evidance Based Practice


Intervensi keperawatan dengan pendekatan spritual untuk mengatasi cemas.
Telah banyak dilakukan penelitian terkait hal tersebut, salah satunya dengan Spiritual
Emotional Freedom Technique (SEFT). Sayangnya hal ini belum banyak diketahui
dan dilakukan ditatanan klinik. Perawat khususnya di ruang HD sendiri kebanyakan
melakukan tindakan yang bukan jati diri keperawatan yang holistik. Untuk itu,
penting diketahui tindakan ini agar diketahui perawat untuk direkomendasikan
penggunaan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) sebagai intervensi
keperawatan untuk mengatasi kecemasan pasien.

Anda mungkin juga menyukai