Anda di halaman 1dari 31

PEMBEDAH TKV DENGAN TINDAKAN AV SHUNT PADA

PASIEN GAGAL GINJAL

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah


Keperawatan Perioperatif 3
Yang Dibina oleh Bapak Rudi hamarno, S.Kep., Ns., M.Kep.

Oleh:
Kelas 4A / Kelompok 03

Reny Try K. P17211191001 Agustina B.A P17211191025


Shervin A. P17211191002 Rachmad Satriya I. P17211193038
Ida Shiva A. P17211191003 Bharanida R.A.J P17211193040
Indah Dwi K. W. P17211191008 Fadhila Cahya E.F. P17211193049
Putri Naila F. H. P17211191022 Iswandi P17211193054

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN MALANG
TAHUN AJARAN 2022/2023
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan salah satu penyakit pada ginjal
yang disebabkan oleh infeksi pada ginjal dan juga penyumbatan yang
disebabkan oleh batu ginjal (Fadilla, 2018). Gagal ginjal kronis merupakan
salah satu penyakit katastropik yang prevalensinya semakin meningkat setiap
tahun. Penyakit ini bersifat ireversibel artinya tidak bisa menjadi normal
kembali, sehingga intervensi yang dilakukan pada penderita hanyalah
mempertahankan fungsi ginjal yang ada dan melakukan hemodialisa untuk
menggantikan fungsi ginjal melakukan eliminasi metabolisme tubuh (Juwita
& Kartika, 2019). Menurut (IRR, 2014 dalam (Juwita & Kartika, 2019))
penderita Gagal Ginjal terbanyak berada pada kelopok usia 45 - 54 tahun yaitu
sebanyak 31 % dan usia 55 - 64 tahun sebanyak 31% dengan jenis kelamin
terbanyak yaitu laki - laki. Sedangkan peluang hidup pasien satu bulan orang
hemodialisa adalah 87,3% lebih tinggi dibandingkan dengan peluang hidup 1
tahun yaitu sebesar 46,7%.
Angka kejadian insiden penyakit gagal ginjal kronik meningkat setiap
tahunnya. Prevelensi pasien gagal ginjal kronik semakin meningkat,
diperkirakan tahun 2025 di Asia Tenggara, Timur Tengah serta Afrika
mencapai lebih dari 380 juta orang, hal ini dipengaruhi oleh faktor
pertumbuhan penduduk, peningkatan proses penuaan, obesitas dan gaya hidup
tidak sehat (Robinson, 2006 dalam (Marianna & Astutik, 2018)). Menurut
Indonesian Renal Registry, pada tahun 2014 pasien penyakit gagal ginjal di
Indonesia mencapai 12.770 jiwa, dan yang terbanyak disebabkan karena
hipertensi (Azizul Hanifah Hadi, Dian Eka Ratnawati, 2018).
Arteriovenous Shunt (AV Shunt) merupakan tindakan operasi
menyambungkan (anastomosis) arteri dan vena pada lengan atau bagian
tubuh lain dengan tujuan menjadikan sambungan tersebut sebagai akses
hemodialisis. AV shunt adalah gold standart dengan menciptakan akses
vaskuler untuk hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronik (Sebayang
& Hidayat, 2020).
Ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki peranan yang sangat
vital bagi tubuh manusia dalam beraktivitas sehari-hari. Bila hanya tersisa
10% kemampuan fungsi ginjal yang dapat bekerja, maka pasien dapat
dikatakan sudah berada pada end-stage renal disease (ESRD) atau penyakit
ginjal tahap akhir. Pada penyakit gagal ginjal terminal, penanganannya yaitu
dengan terapi dialisis (hemodialisis dan peritoneal) atau transplantasi.
hemodialisa paling banyak dipilih oleh penderita Cronic Kidney Disease
(CKD) sebagai alternatif terapi pengganti ginjal. Proses kerja terapi
hemodialisa membutuhkkan akses atau pintu masuk agar darah dapat keluar
dari tubuh yang selanjutnya akan disaring oleh dialyzer dan dialirkan kembali
ke dalam tubuh. Terdapat 3 jenis akses vaskular untuk hemodialisa yaitu
arteriovenous (AV) fistula atau AV-shunt, AV graft dan central venous
catheter. Akses vaskular yang paling direkomendasikan adalah AV-shunt,
karena AV-shunt cenderung lebih aman dan lebih nyaman untuk pasien. AV-
shunt juga memungkinkan pembuluh darah vena untuk bertumbuh lebih tebal
sehingga memungkinkan dilakukannya insersi jarum yang berulang-ulang
yang diperlukan pada saat hemodialisa atau cuci darah.

1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui manfaat bedah TKV pemasangan AV-Shunt pada
pasien Chronic Kidney Disease (CKD).
1.2.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian dari Chronic Kidney Disease (CKD)
b. Untuk mengetahui patofisiologis dari Chronic Kidney Disease
(CKD)
c. Untuk mengetahui etiologi dari Chronic Kidney Disease (CKD)
d. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari Chronic Kidney Disease
(CKD)
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Chronic Kidney Disease
(CKD)
f. Untuk mengetahui pengertian dari bedah TKV
g. Untuk mengetahui ruang lingkup dari pembedahan TKV
pemasangan AV-Shunt
h. Untuk mengetahui indikasi bedah TKV pemasangan AV-Shunt
i. Untuk mengetahui kontraindikasi bedah TKV pemasangan AV-
Shunt
j. Untuk mengetahui tinjauan jurnal dari bedah TKV pemasangan
AV-Shunt pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD)
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Chronic Kidney Disease (CKD)


Gagal ginjal kronik adalah ginjal kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan
makanan normal. Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi dua kategori yaitu
kronik dan akut. Gagal ginjal kronik merupakan suatu kondisi dimana organ
ginjal sudah tidak mampu mengangkut sampah sisa metabolik tubuh berupa
bahan yang biasanya dieliminasi melalui urin dan menumpuk dalam cairan
tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi
endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit, serta asam basa (Widiari, 2021).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif
dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara
metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang
berakibat pada peningkatan ureum (Safitri, 2022). Pada pasien gagal ginjal
kronis mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan dan
memerlukan pengobatan berupa, transplantasi ginjal, dialisis 11 peritoneal,
hemodialisis dan rawat jalan dalam waktu yang lama.

2.2 Patofisiologis Chronic Kidney Disease (CKD)


Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti gangguan
metabolik (DM), infeksi (pielonefritis), obstruksi traktus urinarius, gangguan
imunologis, hipertensi, gangguan tubulus primer (nefrotoksin) dan gangguan
kongenital yang menyebabkan GFR menurun. Pada waktu terjadi kegagalan
ginjal sebagai nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh
sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh
hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorbsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya saring.
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari
nefron-nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar
daripada yang bisa direabsorbsi berakibat dieresis osmotik disertai poliuri dan
haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak timbul
disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien
menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas
dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal
telah hilang 80%-90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian lebih
rendah itu. (Barbara C Long). Fungsi renal menurun, produk akhir
metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun
dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin
banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat.

2.3 Etiologi Chronic Kidney Disease (CKD)


Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan laju
filtrasi glomerulus atau yang disebut juga penurunan glomerulus filtration
rate (GFR). Penyebab gagal ginjal kronik menurut Andra & Yessie, 2013:
1. Gangguan pembuluh darah
Berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabkan iskemik ginjal dan
kematian jaringan ginajl. Lesi yang paling sering adalah aterosklerosis
pada arteri renalis yang besar, dengan konstriksi skleratik progresif pada
pembuluh darah. Hiperplasia fibromaskular pada satu atau lebih arteri
besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh darah. Nefrosklerosis
yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak di
obati, dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya elastistisitas sistem,
perubahan darah ginjal mengakibatkan penurunan aliran darah dan
akhirnya gagal ginjal.
2. Gangguan imunologis seperti glomerulonephritis
3. Infeksi
Dapat dijelaskan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang
berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini
mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara
ascenden dari traktus urinarius bagian bawah lewat ureter ke ginjal
sehingga dapat menimbulkan kerusakan irreversible ginjal yang disebut
pielonefritis.
4. Gangguan metabolik
Seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak meningkat sehingga
terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan berlanjut dengan
disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati amiloidosis 29 yang
disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada dinding
pembuluh darah secara serius merusak membrane glomerulus.
5. Gangguan tubulus primer
Terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau logam berat.
6. Obstruksi traktus urinarius
Obstruksi oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan kontstriksi uretra.
7. Kelainan kongenital dan herediter
Penyakit polikistik sama dengan kondisi keturunan yang dikarakteristik
oleh terjadinya kista atau kantong berisi cairan di dalam ginjal dan organ
lain, serta tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat konginetal
(hypoplasia renalis) serta adanya asidosis.

2.4 Tanda dan Gejala Chronic Kidney Disease (CKD)


Menurut perjalanan klinisnya (Corwin, E (2009):
a) Menurunnya cadangan ginjal pasien asimtomatik, namun GFR dapat
menurun hingga 25% dari normal.
b) Insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami polyuria dan
nokturia, GFR 10% hingga 25% dari normal, kadar kreatinin serum dan
BUN sedikit meningkat diatas normal.
c) Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik (lemah,
letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan,
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang
sampai koma) yang ditandai dengan GFR kurang dari 5-10 ml/menit,
kadar serum kreatinin dan BUN meningkat tajam, dan terjadi perubahan
biokimia dan gejala yang komplek.
2.5 Penatalaksanaan Chronic Kidney Disease (CKD)
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan elektrolit
dan mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut (Dewi, 2021):
1. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan dengan mencegah komplikasi gagal
ginjal yang serius, seperti hyperkalemia, pericarditis, dan kejang.
Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan,
protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas, menghilangkan
kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka.
Dialisis atau dikenal dengan nama cuci darah adalah suatu metode
terpi yang bertujuan untuk menggantikan fungsi/ kerja ginjal yaitu
membuang zat-zat sisa dan kelebihan cairan dari tubuh. Terapi ini
dilakukan apabila fungsi kerja ginjal sudah sangat menurun (lebih
dari 90%) sehingga tidak lagi mampu untuk menjaga kelangsungan
hidup individu, maka perlu dilakukan terapi. Selama ini dikenal ada
2 jenis dialisis.
a) Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)
Hemodialisis atau HD adalah jenis dialisis dengan
menggunakan mesin dialiser yang berfungsi sebagai ginjal buatan.
Pada proses ini, darah dipompa keluar dari tubuh, masuk kedalam
mesin dialiser. Didalam mesin dialiser, darah dibersihkan dari zat-zat
racun melalui proses difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu cairan
khusus untuk dialisis), lalu setelah darah selesai di bersihkan, darah
dimasukkan ke mesin yang khusus untuk mencuci darah kemudian
selang av-fistula akan mengalirkan darah ke seluruh tubuh dengan
bantuan alat yang sudah dirancang sedemikian rupa sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan (Hasanuddin, 2022).
b) Dialisis peritoneal (cuci darah melalui perut)
Terapi kedua adalah dialisis peritoneal untuk metode cuci
darah dengan bantuan membran peritoneum (selaput rongga perut).
Jadi, darah tidak perlu dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan dan
disaring oleh mesin dialisis.
2. Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena
hiperkalemi dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal pertama
yang harus diingat adalah jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain
dengan pemeriksaan darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis
dengan EEG dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia, maka
pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium, pemberian
Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
3. Koreksi anemia
Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi faktor
defisiensi, kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin
dapat diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat
meninggikan Hb. Tranfusi darah hanya dapat diberikan bila ada
indikasi yang kuat, misalnya ada infusiensi coroner.
4. Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus
dihindari. Natrium Bikarbonat dapat diberikan peroral atau
parenteral. Pada permulaan 100 mEq natrium bikarbonat diberi
intravena perlahan-lahan, jika diperlukan dapat diulang.
Hemodialisis dan dialisis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
5. Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa dan vasodilatator
dilakukan. Mengurangi intake garam dalam mengendalikan
hipertensi harus hati-hati karena tidak semua gagal ginjal disertai
retensi natrium.
6. Transplantasi ginjal
Dengan pencakokan ginjal yang sehat ke pasien gagal ginjal
kronik, maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.

2.6 Pengertian Bedah TKV


Bedah TKV (operasi thorax & kardiovaskular) adalah cabang ilmu
kedokteran yang mempelajari diagnosis dan tindakan operasi untuk gangguan
kesehatan yang disebabkan oleh penyakit atau cedera pada kerongkongan,
paru-paru, dan organ tubuh lain yang ada di dada. Bedah TKV atau operasi
pemasangan AV-Shunt adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara
mengubungkan arteri radialis dengan vena cephaliga sehingga fistula
arteriovena sebagai akses dialisis (Kurniyati et al., 2022).

2.7 Ruang Lingkup Pembedahan TKV Pemasangan AV-Shunt


Operasi AV-Shunt yang dilakukan merupakan implementasi dari
panduan Dialysis Outcomes Quality Initiative (DOQI) pada manajemen
penatalaksanaan akses vascular tahun 1997. Pada penerapannya,
melibatkan berbagai disiplin ilmu antara lain ahli nefrologi, ahli bedah dan
ahli radiologi intervensi. Operasi AV shunt dilakukan secara side to side
anastomosis atau side to end anastomosis atau end to end anastomosis
antara arteri radialis dan vena sevalika pada lengan non dominan terlebih
dahulu (Amalia, 2021).
Operasi dilakukan pada lokasi paling distal sehingga
memungkinkan dilakukan operasi lebih proksimal jika gagal. Dapat
dilakukan pada ekstremitas bawah jika operasi gagal atau tidak dapat
dilakukan pada ekstremitas atas. Persyaratan pada pembuluh darah arteri
(Widani & Suryandari, 2021) :
a) Perbedaan tekanan antara kedua lengan < 20 mmHg
b) Cabang arteri daerah palmar pasien dalam kondisi baik dengan
melakukan tes Allen
c) Diameter lumen pembuluh arteri ≥ 2.0 mm pada lokasi dimana akan
dilakukan anastomosis
Persyaratan pada pembuluh darah vena :
a) Diameter lumen pembuluh vena ≥ 2.0 mm pada lokasi dimana akan
dilakukan anastomosis
b) Tidak ada obstruksi atau stenosis
c) Kanulasi dilakukan pada segmen yang lurus

2.8 Indikasi Bedah TKV Pemasangan AV-Shunt


Indikasi bedah TKV untuk pemasangan AV-Shunt dilakukan pada
pasien dengan Chronic Kidney Disease (CKD) atau pada pasien dengan
End Stage Renal Disease (ESRD) yang memerlukan akses vaskular untuk
dilakukan dialisis berulang dan dalam jangka waktu yang panjang
(Limanto et al., 2021).

2.9 Kontraindikasi Bedah TKV Pemasangan AV-Shunt


Kontraindikasi dari tindakan bedah TKV dengan pemasangan AV Shunt
sebagai berikut:
a) Lokasi pada vena yang telah dilakukan penusukan untuk akses cairan
intravena, vena seksi atau trauma.
b) Pada vena yang telah mengalami kalsifikasi atau terdapat atheroma.
c) Tes Allen menunjukkan aliran pembuluh arteri yang abnormal.

2.10 Jurnal
2.10.1. Jurnal 1
The Arteriovenous Fistula and Progression of Kidney Disease Thomas
A. Golper KIDNEY360 2: 4–6, 2021. doi:
https://doi.org/10.34067/KID.0006262020
In 1978, Bill Bennett hired me to “do academic dialysis.” As part
of the first National Kidney Foundation Dialysis Outcome Quality
Initiative Clinical Practice Guideline leadership team, I became more
interested in hemodialysis vascular access. I designed and placed “save
the vessels” bracelets for our patients to wear protecting vessels. When I
considered hemodialysis to be likely within 12 months, I strongly
encouraged creation of arteriovenous fistulae (AVFs). I delayed
arteriovenous graft (AVG) placement until much closer to the expected
hemodialysis initiation date. Over 35 years I noticed that a significant
fraction of patients with functioning AVFs seemed to slow the decline in
their rate of eGFR. In a simple proof-of-concept retrospective
observational study, it appeared that eGFR decline did display a slowing
after AVF creation (1). Subsequent better-designed studies corroborated
our findings (2–5). Although fraught with methodological problems, one
study suggested that even placing a peritoneal dialysis catheter slowed
progression (4). This did not make physiologic sense to me. In this issue
of Kidney360, another study from Montreal dispels the notion that
placing of a peritoneal dialysis catheter affects eGFR decline (5).
Sumida et al. utilized a Veterans Administration database, which
included AVGs and AVFs with over 3000 patients, not limited by AVF
maturation, and used central venous catheter recipients as propensity-
matched controls (2). AVF and AVG recipients showed eGFR
deceleration after surgical creation, independent of maturation, whereas
our study only evaluated maturing AVFs. The first Montreal paper
precisely defined the cohort, its clinical characteristics, tried to adjust
for known confounders, and used maturation for inclusion (3).
Attenuation of eGFR decline over time was again noted after AVF
creation. At about the same time, Lundström et al. (4) were utilizing a
Swedish national database and used patients with peritoneal dialysis
catheters as comparators trying to equate eGFRs at the time of fistula
placement to matched patients with peritoneal dialysis catheters, looking
retroactively to when eGFRs were the same. Both the patients with
peritoneal dialysis catheters and AVFs showed decreases in eGFR
trajectories after the surgeries. These findings raised two important
issues, namely that the observations are merely a regression toward the
mean and/or that some behavioral change affected both groups and
similarly altered subsequent eGFR declines. A second study by Annie-
Claire Nadeau-Fredette’s Montreal group published in this issue of
Kidney360 looks at AVF recipients and compares their outcomes with
peritoneal dialysis catheter recipients (5). Unlike the Swedish study, the
“time zero” for the peritoneal dialysis catheter cohort was defined by
the eGFR of the propensity-matched recipients with AVF. This strategy
provides a better comparison. The AVF cohort had a slower decline in
postaccess eGFR and the peritoneal dialysis cohort did not. These
findings reinforce my initial concerns about the Swedish study peritoneal
dialysis results.

Possible Mechanisms
The study designs of the Veterans Administration and Montreal
papers argue against regression toward the mean. To that end,
Francesca Tentori and I designed database input parameters for a
prospective observational study to be conducted by Chronic Kidney
Disease Outcome and Practice Patterns. Another mechanism is that
some compliance/adherence or other behavioral changes accompany the
access creation and consequently slow progression. I cannot identify
what this could be, considering that my patients who agree to timely
access creation are already overall highly adherent. I am open-minded
as to a behavioral change explanation, but not seeking a basic
physiologic explanation misses an opportunity to identify factors that
might protect kidney function for all patients with CKD. This is part of
the basis for the editorial comments by Locatelli and Zoccali (6) that
accompanied our 2015 paper (1). Locatelli and Zoccali suggested
several potential physiologic mechanisms as to how an AVF might affect
progression. Increased venous return to the heart through the fistula
increases pulmonary blood flow, which may recruit underperfused lung.
This would increase arterial oxygenation and oxygen delivery to the
kidney. If the kidney is underperfused due to resistant hypertension or a
chemoreflex driving central sympathetic overactivity, it might be
ameliorated by improved oxygenation. I will return to renal oxygenation
below. Whereas the macrovascular effects of AVF creation are well
known because they relate to general with the slowing could be applied
in many CKD settings and might delay or obviate hemodialysis. The
consequence of that on the quality of life of our patients is
immeasurable. Financial implications can be measured. There would be
a reduction in the financial burden in all components of latestage CKD.
First, preserved kidney function may slow comorbidities and lower
related drug expenditure and hospitalizations. Second would be the
delayed or avoided direct costs of hemodialysis treatments,
transportation, time away from work, and much more. Even if the
benefits just described are minimal, they help serve as an incentive for
timely creation of what most consider the best and safest hemodialysis
access. Clinicians understand the difficulty in persuading some patients
to agree to timely AVF creation. The possibility that this maneuver might
delay hemodialysis may be the persuasive tipover rationale for the
reluctant patient to have an AVF created in a timely manner. If we are
not ready to make this argument now, we are quite close to it.

Disclosures T.
Golper is course director for Home Dialysis University; Dialysis
Coeditor for Up To Date; is on the Medical Advisory Board for
NxStage; reports consultancy agreements with Akebia and NxStage;
honoraria from Akebia, Home Dialysis University, Mallinkrodt,
NxStage, Reata, the Renal Research Institute, and Up To Date; and
scientific advisor or membership of Akebia, Reata, Mallinkrodt, and
NxStage.

Funding
None.

Acknowledgments
The content of this article reflects the personal experience and
views of the author(s) and should not be considered medical advice or
recommendation. The content does not reflect the views or opinions of the
American Society of Nephrology (ASN) or Kidney360. Responsibility for
the information and views expressed herein lies entirely with the author(s).
Author Contributions
T. Golper was responsible for project administration, wrote the
original draft, and reviewed and edited the manuscript.
2.10.2. Jurnal 2
PERSENTASE KEBERHASILAN OPERASI CIMINO DAN AV-
SHUNT CUBITI PADA PASIEN HEMODIALISA DI RSUP PROF
KANDOU PERIODE JANUARI 2013 – DESEMBER 2013
Cliff W. Sulangi, Hilman Limpeleh, Alwin Monoarfa
Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado

Latar Belakang:
Lebih dari 10 % atau 20 juta orang berusia 20 tahun atau lebih di
US menderita penyakit ginjal kronik (Chronic Kidney Disease/ CKD).
Tahun 2007, sekitar 110.000 pasien di US dengan CKD berlanjut
menjadi gagal ginjal (End Stage Renal Disease/ ESRD). Pengobatan
pilihan untuk ERSD adalah hemodialisa atau transplantasi organ ginjal.
Lebih dari 300.000 individu di US mengandalkan akses vaskular untuk
menerima terapi hemodialisis. Akses vaskular terus menjadi penyebab
utama untuk rawat inap dan morbiditas pada pasien dengan gagal ginjal.
1 Akses vaskular yang ideal memberikan dosis optimal, terapi yang
adekuat, digunakan jangka panjang dan memiliki angka morbiditas serta
angka mortalitas yang rendah. Terdapat hubungan yang signifikan antara
tipe penggunaan akses dan tingkat morbiditas pada pasien. 2
Arteriovenous Fistula (AVF) merupakan salah satu teknik akses vaskular
yang paling sering digunakan dan memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan teknik yang lainnya. Dibutuhkan penempatan yang
tepat bagi akses AVF. 3 3,4 Fakta yang ada adalah masih tingginya
angka kegagalan pemasangan AVF. Komplikasi dari akses vaskular
merupakan penyebab tersering terjadinya kegagalan dan rawat inap pada
pasien dialisis. Terbatasnya data untuk memahami komplikasi AVF
terutama stenosis dan thrombosis juga menghambat keberhasilan teknik
AVF.. Berdasarkan penelitian, penggunaan AVF sebelum 14 hari dibuat,
meningkatkan resiko terjadinya kegagalan. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa menggunakan AVF setiap saat setelah 14 hari
dibuat, tidak menunjukkan peningkatan resiko yang signifikan. 3-5
Operasi cimino dan AV-shunt cubiti merupakan teknik operasi AV
fistula. Operasi cimino merupakan pilihan pertama pada teknik AVF
sedangkan AV shunt cubiti merupakan pilihan kedua. Namun angka
kegagalan dari kedua teknik ini masih tinggi. 6 Berdasarkan masalah
yang diuraikan di atas, maka peneliti ingin mengetahui prosentase
keberhasilan operasi Cimino dan AV-shunt cubiti pada pasien
hemodialisa di RSUP. Prof.Dr. R. D. Kandou tahun 2013.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif.
Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Desember 2013 sampai
Januari 2014 yan bertempat di bagian bedah RSUP Prof Kandou dan
Bagian Hemodialisa. Subyek penelitian ini adalah seluruh pasien gagal
ginjal yang menggunakan cimino dan AV-Shunt cubiti sebagai akses
vaskular untuk hemodialisa yang memiliki data dan variable lengkap.
Data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi
untuk mendapatkan prosentase keberhasilan cimino dan AV-Shunt
cubiti.

Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan secara retrospektif di
bagian Bedah dan Instalasi Tindakan Khusus Hemodialisa di RSUP Prof
Kandou Manado Periode Januari 2012 – Desember 2012, terkumpul 22
pasien yang menggunakan operasi Cimino sebagai akses vaskular dan 15
pasien yang menggunakan AV-Shunt Cubiti sebagai akses vaskular
untuk hemodialisa.
Dari tabel di atas diperoleh dari 14 orang pasien laki-laki, 10 orang
pasien berhasil dan 4 orang pasien mengalami kegagalan. Dari 8 orang
pasien perempuan, 4 orang pasien berhasil dan 4 orang pasien
mengalami kegagalan. Prosentase keberhasilan operasi cimino pada
pasien lakilaki sebesar 71,4 % dan prosentase keberhasilan pada pasien
perempuan sebesar 50 %.

Dari tabel di atas diperoleh dari 11 orang pasien laki-laki, 6 orang


pasien berhasil dan 5 orang pasien mengalami kegagalan. Dari 4 orang
pasien perempuan, 3 orang pasien berhasil dan 1 orang pasien
mengalami kegagalan. Prosentase keberhasilan operasi cimino pada
pasien lakilaki sebesar 54,5 % sedangkan prosentase keberhasilan pada
pasien perempuan sebesar 75 %.

Dari tabel di atas diperoleh prosentase keberhasilan operasi cimino


pada pasien umur 35 – 44 tahun sebesar 66,7 %, pasien umur 45 – 54
tahun sebesar 62,5 %, pasien umur 55 – 64 tahun sebesar 80 %, dan
pasien umur >65 tahun sebesar 50 %.

Dari tabel di atas diperoleh prosentase keberhasilan operasi cimino


pada pasien umur 65 tahun sebesar 100 %.
Dari tabel di atas diperoleh 1 pasien mengalami kegagalan pada
saat pertama kali digunakan (12,5%), 5 pasien mengalami kegagalan
pada pemakaian bulan pertama (62,5%) dan 2 pasien mengalami
kegagalan pada 3 bulan pertama pemakaian (25%).

Dari tabel di atas diperoleh tidak ada pasien mengalami kegagalan


pada saat pertama kali digunakan, 3 pasien mengalami kegagalan pada
pemakaian bulan pertama (60%) dan 2 pasien mengalami kegagalan
pada 3 bulan pertama pemakaian (40%).

Dari tabel di atas, 22 pasien yang menggunakan Cimino sebagai


akses vaskular ditemukan 14 pasien berhasil dan 8 pasien mengalami
kegagalan. dan 15 pasien yang menggunakan AV-shunt cubiti sebagai
akses vaskular ditemukan 10 pasien berhasil dan 5 pasien mengalami
kegagalan. Prosentase keberhasilan penggunaan Cimino sebesar 63,6 %
dan prosentase keberhasilan penggunaan AV-Shunt cubiti sebesar
66,7%.

Pembahasan
Terbatasnya data yang diperoleh, peneliti hanya menemukan 22
pasien yang menggunakan operasi Cimino dan 15 pasien menggunakan
AV-Shunt Cubiti sebagai akses vaskular untuk hemodialisa. Hal ini tidak
menunjukkan fakta bahwa di Manado penyakit gagal ginjal yang terjadi
hanya sedikit kasus. Namun kurangnya sampel yang ditemukan peneliti
disebabkan oleh kurangnya pasien yang memiliki variabel dan data
lengkap. Hal ini perlu diperhatikan karena penggunaan teknik operasi
Cimino dan AV-shunt cubiti merupakan akses vaskular yang paling
sering digunakan di RSUP Prof Kandou Manado. Prosentase
keberhasilan berdasarkan jenis kelamin berhubungan dengan penyakit
penyerta dari pasien. Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa pada teknik
Cimino prosentase keberhasilan laki-laki lebih tinggi dibandingkan
dengan perempuan. Hal yang sebaliknya ditunjukkan pada tabel 2, pada
penggunaan teknik AV-Shunt cubiti prosentase keberhasilan perempuan
lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Penulisan rekam medik yang tidak
lengkap dan hilangnya sebagian data mempersulit peneliti dalam
mengumpulkan informasi penyakit penyerta dari pasien. Sesuai
kepustakaan, pada umumnya pasien dengan ESRD memiliki penyakit
penyerta diabetes dan hipertensi. Perempuan lebih banyak menderita
diabetes dan hipertensi dibandingkan laki-laki . Hal ini bisa mendukung
penelitian bahwa akses vaskular dengan teknik AV-Shunt cubiti
memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik dibandingkan dengan
teknik cimino untuk pasien-pasien dengan penyakit penyerta diabetes
dan hipertensi adalah benar. Pada tabel 3 dan 4 menunjukkan prosentase
keberhasilan berdasarkan umur dari pasien. Prosentase keberhasilan
tertinggi pada pasien dengan umur 55-64 tahun pada opersi cimino dan
pada umur >65 tahun pada operasi AV-Shunt cubiti. Namun, kurangnya
sampel penelitian karena data yang tidak lengkap, peneliti tidak dapat
memastikan secara pasti hubungan umur dengan tingkat keberhasilan.
Faktor yang berkontribusi dengan umur pasien adalah penyakit penyerta
seperti diabetes dan hipertensi, histologi dan anatomi vena, komplikasi,
dll. Waktu terjadinya kegagalan yang paling sering adalah pada bulan
pertama pemakaian. Dari total 8 kasus yang gagal pada operasi Cimino,
5 diantaranya terjadi pada bulan pertama pemakaian dan dari total 5
kasus yang gagal pada operasi AV-Shunt cubiti, 3 diantaranya terjadi
pada bulan pertama pemakaian. Banyaknya kegagalan pada bulan
pertama digunakan dikaitkan dengan proses pematangan yang terjadi.
Berdasarkan kepustakaan, dibutuhkan waktu 4-6 minggu untuk
pematangan agar bisa digunakan. Kemungkinan kegagalan ini terjadi
adalah belum terjadi pematangan yang baik tapi akses sudah digunakan
untuk dilakukan kanulasi. Namun penulisan rekam medik yang tidak
lengkap mempersulit peneliti untuk memperoleh data ini. Dari hasil
peneletian yang diperoleh, prosentase keberhasilan Operasi Cimino dan
AVShunt Cubiti di RSUP Prof Kandou Manado adalah 63,6 % untuk
Operasi Cimino dan 66,7 % untuk AV-Shunt cubiti. Sama seperti
negara-negara lainnya prosentase keberhasilan dari kedua teknik ini
masih harus ditingkatkan. Masih rendahnya tingkat keberhasilan yang
ada disebabkan oleh beberapa faktor yang berkontribusi seperti
kepatuhan pasien dalam melakukan larangan dan konsultasi pasca bedah.
Terdapat beberapa pasien yang sering malas konsultasi pasca bedah,
adapun pasien yang tidak melakukan tindakan pasca bedah dengan
patuh. Untuk itu dibutuhkan kerjasama yang baik antara pasien serta
dokter dalam meningkatkan keberhasilan operasi cimino dan AV-Shunt
cubiti. Peneliti tidak dapat menemukan catatan komplikasi yang muncul
pada pasien di rekam medik. Namun berdasarkan observasi yang
dilakukan peneliti terhadap pasien secara langsung, terdapat beberapa
pasien yang memiliki komplikasi namun tidak ditulis dalam rekam
medik. Hal ini sangat perlu diperhatikan dalam pencatatan rekam medik
yang dilakukan di RSUP Prof Kandou, mengingat komplikasi yang
muncul pada penggunaan akses vaskular cimino dan avshunt cubiti
merupakan faktor yang sangat penting. Komplikasi seperti thrombosis,
stenosis vena, aneurysm, cardiac failure dan iskemia merupakan
penyebab tersering pada kegagalan akses vaskular.

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 22 pasien cimino dan
15 pasien AV-Shunt Cubiti di RSUP Prof Kandou ditemukan prosentase
keberhasilan penggunaan Cimino sebesar 63,6 % dan prosentase
keberhasilan penggunaan AV-Shunt cubiti sebesar 66,7%.

Abstract
Prosedur dari akses hemodialisa merupakan prosedur operasi
vaskular. Akses vaskular diindikasikan pada pasien dengan end stage
renal disease (ERSD) atau pasien dengan gagal ginjal kronik stadium
akhir dan harus menjalani proses hemodialisa. Operasi Cimino dan
AVShunt Cubiti merupakan dua teknik operasi akses vaskular.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosentase keberhasilan
operasi Cimino dan AV-shunt cubiti pada pasien hemodialisa di RSUP
Prof Kandou tahun 2013. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode
deskriptif retrospektif. Subyek penelitian Berjumlah 37 pasien. 22 pasien
operasi Cimino dan 15 pasien dengan AV-Shunt cubiti. Hasil penelitian
ini didapatkan Prosentase keberhasilan penggunaan Cimino sebesar 63,6
% dan prosentase keberhasilan penggunaan AV-Shunt cubiti sebesar
66,7%.
Keyword : Akses vaskular, Operasi Cimino, AV-shunt cubiti,
prosentase keberhasilan.

2.10.3. Jurnal 3
Fistula Arteriovenosa untuk Hemodialisis pada Penderita Gagal
Ginjal Kronik
Glenn J Sumadi, Paulus AA Pandelaki, Calysta N Wijaya, Marcel
Antoni, Yanto S Tjang
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
2Staf Pengajar Bagian Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Krida Wacana Alamat korespondensi: Yanto Sandy Tjang:
ystjang@hotmail.com.

Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu penyakit sistemik.
Sayangnya, masih banyak yang belum diketahui bagaimana awal
terjadinya ataupun faktor pencetus apa saja yang perlu diperhatikan
agar tidak terjadi PGK. Meskipun belum tersedia data epidemiologi
yang jelas tentang prevalensi PGK di Indonesia, jumlah penderitanya
tampak semakin meningkat. Angka pertumbuhannya diperkirakan
mencapai sekitar 20% setiap tahunnya.1 Laporan dari berbagai pusat
penanganan penyakit ginjal menunjukkan prevalensi penderita PGK
berkisar antara 100 - 150 di antara satu juta penduduk Indonesia.2
Kondisi ini menjadi masalah jika ditinjau dari segi ekonomi, karena
biaya pengobatan penyakit ini besar sekali.3 Ada beberapa pilihan
terapi yang tersedia untuk penderita PGK pada stadium terminal
yaitu hemodialisis (HD), peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal.
Terbatasnya jumlah donor ginjal untuk transplantasi dan tingginya
komplikasi yang mungkin terjadi akibat peritoneal dialisis membuat
HD cenderung menjadi pilihan yang utama.4 Menurut laporan dari
Indonesian Renal Registry, jumlah penderita HD baru pada tahun
2014 sebanyak 17.193 jiwa dan jumlah penderita aktif yang
dilaporkan sebanyak 11.689. Jumlah pasien baru ini meningkat dari
tahun ke tahun, akan tetapi penderita yang aktif tidak berubah seiring
dengan penambahan jumlah penderita baru.5 Hemodialisis rutin
dalam jangka panjang memerlukan pemasangan akses vaskular
permanen yang selain harus berfungsi dengan baik, juga relatif
nyaman, produktif, dan bisa diterima secara sosial oleh penderita.6,7
Pertama kali diperkenalkan oleh Brescia dan Cimino di tahun 1966,8
fistula arteriovenosa (FAV) atau yang lebih terkenal sebagai pirau
BresciaCimino (Brescia-Cimino shunt) masih dianggap sebagai
akses vaskular terbaik untuk HD, terutama karena angka patensinya
yang tinggi, lebih rendah insidensi infeksi dan komplikasinya
dibandingkan dengan kateter vena sentral atau graft arteriovenosa.
Data menunjukkan 80% penderita yang mengalami PGK
menggunakan FAV sebagai akses vaskuler untuk HD.9 Sejumlah
operasi FAV telah dilakukan di rumah sakit di seluruh dunia.
Namun, masalah yang masih menjadi perhatian adalah angka
kegagalan primer yang masih tinggi, yaitu berkisar antara 20 –
60%.10-12 Tulisan ini bertujuan membahas secara ringkas mengenai
PGK, HD, dan FAV dari bacaan literatur yang tersedia.

Kesimpulan
Jumlah penderita PGK di Indonesia terlihat semakin meningkat.
Angka pertumbuhannya diperkirakan mencapai sekitar 20% setiap
tahunnya. Beberapa faktor risiko yang menjadi penyebab PGK telah
diketahui seperti usia, gagal jantung, sirosis hepatis,
glomerulonefritis kronik, DM, SLE, polikistik, pielonefritis,
nefrolitiasis, nefrosklerosis, dan obstruksi traktus urinarius.
Terbatasnya jumlah donor ginjal untuk transplantasi dan tingginya
komplikasi yang mungkin terjadi akibat peritoneal dialisis membuat
HD cenderung menjadi pilihan yang utama apabila fungsi ginjal
penderita sudah sangat menurun. Akses vaskuler yang paling banyak
digunakan untuk HD rutin adalah pemasangan FAV. Kelebihan dan
kekurangannya telah dibahas di dalam berbagai penelitian. Secara
keseluruhan angka patensinya tampak sangat bervariasi antar
peneliti.

Abstrak
Jumlah penderita penyakit gagal ginjal kronik (PGK) di
Indonesia tampak semakin meningkat. Angka pertumbuhannya
diperkirakan sekitar 20% setiap tahunnya. Kondisi ini menjadi
masalah karena biaya pengobatannya besar sekali. Penyakit gagal
ginjal kronik adalah kerusakan atau gangguan fungsi dan struktur
ginjal selama tiga bulan atau lebih dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG) disertai manifestasi kelainan patologi
ginjal atau kerusakan ginjal meliputi komposisi darah atau urin dan
kelainan pada uji pencitraan ginjal. Penyakit gagal ginjal kronik
terjadi bila ginjal mengalami penurunan fungsi LFG di bawah 60
ml/menit/1.73m² dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Intervensi
berupa terapi pengganti ginjal dilakukan pada saat keadaan LFG
mencapai < 15 ml/menit/1,73 m2. Beberapa factor risiko penyebab
PGK telah diketahui seperti usia, gagal jantung, sirosis hepatis,
nefrolitisis, nefroklerosis, dan obstruksi traktus urinarius.
Terbatasnya jumlah donor ginjal untuk transplantasi dan tingginya
komplikasi yang mungkin terjadi akibat peritoneal dialysis membuat
hemodialisa (HD) cenderung menjadi pilihan yang utama
apabilafungsi ginjal penderita sudah sangat menurun. Prinsip dasar
(HD) adalah mengalirkan darah dari tubuh ke ginjal buatan untuk
dilakukan penyaringan darah melalui suatu membrane-permiabel
agar terjadi proses difusi dan ultrafiltrasi darah di dalamnya. Darah
yang sudah disaring kemudian dikembalikan ke dalam tubuh.
Hemodialisa rutin dalam jangka waktu panjang memerlukan akses
vascular permanen. Fistula Arteriovenosa (FAV) masih dianggap
sebagai akses vascular terbaik untuk HD, terutama karena angka
patensinya yang tinggi. Lebih rendah insidensi infeksi dan
komplikasinya dibandingkan dengan kateter vena sentral atau graft
arteriovenosa. Kelebihan dan kekurangan FAV telah dibahas dalam
berbagai penelitian. Angka patensinya tampak sangat bervariatif
antar peneliti.

Kata kunci : gagal ginjal kronik, hemodialisa, fistula


arteriovenosa, patensi
BAB III
RESUME JURNAL

3.1 RESUME : Jurnal 1


Ginjal merupakan organ tubuh manusia yang memiliki fungsi yang
penting, yaitu fungsi ekskresi dan sekresi. Pasien penyakit ginjal kronik
dengan etiologi apapun memerlukan terapi pengganti. Terapi pengganti
yang dibutuhkan oleh pasien penyakit ginjal kronik harus dapat
menggantikan fungsi ekskresi maupun fungsi endokrin dari ginjal. Lokasi
AV shunt (akses) yang digunakan dalam hemodialisis sangat beragam. Di
Indonesia sendiri, para ahli bedah menggunakan akses melalui femoral
yang digunakan sebanyak 2%, akses jugular digunakan sebanyak 1%
kasus hemodialisis dan akses subclavia digunakan sebanyak 3%.
Mayoritas akses yang digunakan adalah akses vaskuler.
Arteriovenous shunt (AV shunt) atau cimono merupakan tindakan
operasi menyambungkan (anastomosis) arteri dan vena pada lengan atau
bagian tubuh lain dengan tujuan menjadikan sambungan tersebut sebagai
akses hemodialisis. AV Shunt atau juga disebut cimino shunt menyebabkan
tekanan lebih tinggi mengalir ke pembuluh darah vena yang telah
disambung hingga timbul desiran (thrill) maupun bruit pada auskultasi.
Berdasarkan letaknya, pembuatan AV shunt memiliki prioritas yaitu pada
lengan bagian distal dan lengan yang tidak dominan. Jika tidak
memungkinkan, AV shunt dapat dilakukan pada proksimal lengan tidak
dominan dan terakhir pada bagian proksimal lengan yang dominan.
Pemilihan pembuatan AV shunt brachiocephalica biasanya dilakukan
apabila dari hasil pemeriksaan USG duplex tidak ditemukan vena
cephalica yang cocok di daerah pergelangan tangan.
Brachiocephalica fistula memiliki angka kegagalan sekitar 10%
dan memiliki tingkat patensi jangka panjang yang baik. Pemasangan AV
shunt dilakukan bukan pada saat pasien datang ke UGD. Maturasi primer
brachiocephalica fistula membutuhkan waktu 8-12 minggu. Sehingga
prosedur hemodialisis melalui akses belum dapat langsung dilakukan
pasca operasi sampai terjadi maturasi dari internal AV shunt tersebut.
Tahapan operasi pembuatan akses AV shunt adalah sebagai berikut:
1. Tahap pertama pada daerah operasi dilakukan desinfeksi steril dengan
larutan antiseptik, setelah itu daerah operasi dibatasi dengan
menggunakan linen/kain duk steril.
2. Tahap kedua pada pasien dilakukan anestesi lokal menggunakan
lidokain 1% dengan ditambahkan epinefrin untuk mengurangi
perdarahan. Selain itu, anestesi blok juga dapat dipertimbangkan
karena memiliki keuntungan penghambatan sistem saraf simpatis
sehingga tidak terjadi vasospasme.
3. Pada daerah operasi yang telah ditentukan dengan marker dilakukan
insisi longitudinal ataupun transversal dan diperdalam. Apabila
terjadi perdarahan pada bekas insisi, dilakukan pengendalian
perdarahan. Flap kulit tersebut diangkat pada bagian lateral sehingga
ditemukan vena cephalica. Vena cephalica tersebut kemudian
disisihkan sejauh 3-4 cm untuk menghindari terjadinya trauma nervus
radialis.
4. Selanjutnya lapisan fascia dalam pada lengan bawah kemudian
dibuka secara transversal untuk mencari arteri radialis pada sebelah
lateral musculus flexor carpi radialis. Arteri radialis tersebut
kemudian disisihkan untuk dilakukan anastomosis secara end to end,
end to side, ataupun side to side.
5. Benang diletakkan pada arteri yang disisihkan. Insisi arteri radialis
dengan menggunakan mata pisau no 11, kemudian dilakukan sesuai
dengan diameter dari vena cephalica yang telah dipotong.
6. Selanjutnya akan dilakukan anastomosis antara vena cephalica
dengan arteri radialis yang telah di insisi dengan menggunakan
benang monofilament 6-0 atau 7-0.
7. Setelah itu, dilakukan perawatan perdarahan kemudian luka
pembedahan ditutup dengan langsung menjahit kulit dan membebat
lengan sesuai dengan prosedur.
Komplikasi juga dapat terjadi pada operasi AV shunt, seperti gagal
pirau, stenosis pada kaki vena proksimal, thrombosis, aneurisma, gagal
jantung karena pirau terlalu besar), arterial steal syndrome dan iskemia
distal, hipertensi vena distal dari shunt pembengkakan, hiperpigmentasi,
indurasi kulit dan terkadang terjadi ulserasi. Untuk Angka kematian
setelah tindakan AV shunt adalah 0%. Kematian umumnya dikarenakan
penyakit penyebabnya yaitu end stage renal disease. Dengan tindakan
gold standart Arteriovenous Shunt (AV Shunt) bagi pasien penyakit
ginjal kronis dapat menjadikan sambungan tersebut sebagai akses
hemodialisis. Dengan adanya AV shunt vena akan dapat menahan
puncture jarum cuci darah berulang.

3.2 RESUME : Jurnal 2 (Fistula Arteriovenosa dan Perkembangan


Ginjal Penyakit)
Menurut studi penelitian "National Kidney Foundation Dialysis
Outcome Quality Initiative Clinical Practice Guideline" desain studi dari
Administrasi Veteran dan makalah Montreal menentang regresi terhadap
mean. Untuk itu, merancang parameter input database untuk studi
observasional prospektif yang akan dilakukan dengan pola hasil dan
praktik penyakit ginjal kronis. Mekanisme lain adalah bahwa beberapa
kepatuhan atau perubahan perilaku lainnya menyertai pembuatan akses
dan akibatnya memperlambat perkembangan. Penelitian ini belum dapat
mengindentifikasi secara ketepatan pembuatan akses secara keseluruhan.
Mekanisme fisiologis potensial tentang bagaimana AVF dapat
mempengaruhi perkembangan. Peningkatan aliran balik vena ke jantung
melalui fistula meningkatkan aliran darah pulmonal, yang dapat merekrut
paru-paru yang kurang perfusi. Hal ini akan meningkatkan oksigenasi
arteri dan pengiriman oksigen ke ginjal. Jika ginjal kurang perfusi karena
hipertensi resisten atau chemoreflex yang mendorong aktivitas simpatis
pusat yang berlebihan, mungkin dapat diperbaiki dengan peningkatan
oksigenasi. Sedangkan efek makrovaskular dari penciptaan AVF sudah
dikenal karena berhubungan dengan umum hemodinamik, efek ginjal
spesifik tidak diketahui. Para editor berspekulasi tentang hal ini, tetapi
berpusat pada argumen kekakuan arteri. Kekakuan arteri diketahui
berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal dan berkurang setelah
pembentukan AVF.
Asal-usul stimulus iskemik ada dua yaitu:
1) Prosedur pembedahan dengan menjepit arteri selamat beberapa menit
selama anatomosis dibuat.
2) Setelah pembuatan AVF, Kemungkinan besar ada iskemia subklinis
lengan distal yang Persisten.
Pasien dengan AVF yang berfungsi dibandingkan dengan pasien pasca
pembuatan AVF yang AVFnya tidak berfungsi. Perubahan mikrosirkulasi
lokal dan jarak jauh sebagian dikaitkan dengan substansi vasoreaktif yang
diturunkan dari endotel vaskular. Tekanan vaskular pada vena tomotik
post anas menginduksi arterisasi dan endotelium.
Selain itu, perubahan vaskular sistemik dapat mengubah endotel di
tempat lain. Hasil akhirnya adalah zat turunan endotel vasoaktif yang
dapat mempengaruhi pembuluh darah ginjal. Zat-zat ini mungkin
merupakan mekanisme penurunan kekakuan pembuluh darah yang
dijelaskan di atas tetapi mungkin juga berfungsi untuk merekrut cadangan
ginjal, seperti yang dijelaskan beberapa dekade lalu oleh Bosch et al.
Perubahan vaskular sistemik dapat mempengaruhi tempat tidur
vaskular otot rangka, yang dapat berinteraksi dengan fungsi ginjal.
Perlambatan penurunan fungsi ginjal setelah pembuatan AVF tampaknya
nyata dan mekanismenya harus dijelaskan. Penemuan zat tertentu yang
mungkin terkait dengan perlambatan dapat diterapkan dibanyak
pengaturan CKD dan mungkin menunda atau menghindari hemodialisis.
Konsekuensi dari itu pada kualitas hidup pasien yang tidak terukur akan
ada pengurangan beban disemua komponen CKD tahap akhir. Pertama,
fungsi ginjal yang dipertahankan dapat memperlambat komorbiditas dan
menurunkan pengeluaran obat terkait dan rawat inap. Kedua adalah
penundaan atau penghindaran biaya langsung dari perawatan
hemodialisis, transportasi, waktu tidak bekerja, dan banyak lagi.
Kemungkinan bahwa manuver ini dapat menunda hemodialisis mungkin
merupakan tip persuasif atas alasan bagi pasien yang enggan untuk
membuat AVF pada waktu yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Azizul Hanifah Hadi, Dian Eka Ratnawati, C. D. (2018). Identifikasi Penyakit


Gagal Ginjal Menggunakan Metode Neighbor Identifikasi Penyakit Gagal
Ginjal Menggunakan Metode Neighbor Weighted K-Nearest Neighbor
( NWKNN ). Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi Dan Ilmu
Komputer, 2(September), 2562–2569.
Fadilla, I. (2018). Klasifikasi Penyakit Chronic Kidney Disease (CKD) Dengan
Menggunakan Metode Extreme Learning Machine (ELM).
Juwita, L., & Kartika, I. R. (2019). Pengalaman Menjalani Hemodialisa Pada
Pasien Gagal Ginjal Kronis. Jurnal Endurance, 4(1), 97.
https://doi.org/10.22216/jen.v4i1.3707
Marianna, S., & Astutik, S. (2018). Hubungan Dampak Terapi Hemodialisa
Terhadap Kualitas Hidup Pasien Dengan Gagal Ginjal. Indonesian Journal of
Nursing Sciences and Practice, 41–52.
Sebayang, A. N. O., & Hidayat, N. A. (2020). Arteriovenous Shunt Sebagai Akses
Hemodialisis Pada Pasien Penyakit Gagal Ginjal Kronis. Jimki, 8(2), 112–
116.
Amalia, S. (2021). EVIDENCE BASED NURSING: EFEKTIVITAS KOMPRES
DINGIN TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI SAAT
INSERSI JARUM HEMODIALISIS PADA PASIEN END STAGE RENAL
DISEASE (ESRD).
Dewi, N. N. M. A. (2021). GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN PRA
HEMODIALISIS PADA PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
DENGAN MASALAH KEPERAWATAN NYERI AKUT DI RUANG
HEMODIALISIS RSUD SANJIWANI.
Hasanuddin, F. (2022). Adekuasi Hemodialisa Pasien Gagal Ginjal Kronik.
Penerbit NEM.
Kurniyati, S. D., Kamal, S., & Hidayah, N. (2022). Characteristics of Patients in
Receiving Informed Consent on Arteriovenous Shunt Vascular Access
Measures in the Hemodialysis Room of Temanggung Hospital. Jurnal Ilmiah
Keperawatan Indonesia (JIKI), 5(2), 83–105.
Limanto, D. H., Christian, D. H., Caesario, M., & Usman, U. (2021). Dasar-dasar
teknik pembedahan fistula arteriovenosa (Vol. 1). Airlangga University
Press.
Safitri, R. A. (2022). STUDI KASUS: MANAJEMEN NYERI DENGAN
TERAPI INHALASI MINYAK ESSENSIAL LAVENDER PADA PASIEN
CRHONIC KIDNEY DESEASES SAAT KANULASI AV-FISTULA.
Widani, N. L., & Suryandari, H. (2021). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Infeksi Cateter Double Lumen pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
dengan Hemodialisis di RS X Jakarta. Jurnal Penelitian Perawat Profesional,
3(3), 493–502.
Widiari, N. L. P. P. (2021). GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN
NAUSEA PADA PASIEN CKD YANG MENJALANI HEMODIALISA
DENGAN TERAPI INHALASI PEPPERMINT DI RUANG
HEMODIALISA RSUD SANJIWANI GIANYAR.
Sebayang, A.N.O., & Hidayat, N.A. (2020). ARTERIOVENOUS SHUNT
SEBAGAI AKSES HEMODIALISIS PADA PASIEN PENYAKIT GAGAL
GINJAL KRONIS. Volume 8, No. 2.
Golper, T.A. (2021). THE ARTERIOVENOUS FISTULA AND PROGRESSION
OF KIDNEY DOSEASE. Volume 2: 4-6. doi:
https://doi.org/10.34067/KID.0006262020

Anda mungkin juga menyukai