Anda di halaman 1dari 70

MK : Keperawatan Medikal Bedah Lanjut II

DOSEN : Dr. Yuliana Syam, S.Kep., Ns., M.Kes (Koordinator)

Kasus
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Pasien dengan
Sirosis Hepatis dan Ileus Obstruksi

OLEH:
KELOMPOK I

DIRGA DJAYA MULIADI R012211001


CHRISTIN R012211002
FELISIMA GANUT R012211004

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, atas segala rahmat dan
perkenananNya sehingga makalah dapat tersusun sampai selesai, sebagai salah satu tugas mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah Lanjut II pada Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Universitas Hasanuddin Makassar.
Makalah ini membahas asuhan keperawatan medikal bedah pada pasien dengan sirosis
hepatis dan ileus obstruksi. Kami mengharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa ilmu keperawatan. Makalah ini masih
banyak kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, oleh karena itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan makalah ini.
Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih

Makassar, Maret 2022

Penyusun
Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii
SIROSIS HEPATIS
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Tujuan ................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Sirosis Hepatis ……………………………………………………. 3
B. Klasifikasi ………………………………………………………………….. 4
C. Etiologi ……………………………………………………………………. 6
D. Tanda dan Gejala ……………………………………………………….….. 7
E. Anatomi dan Fisiologi Hati ………………………………………………... 11
F. Penatalaksanaan Medis …………………………………………………….. 13
G. Komplikasi …………………………………………………………………. 17
H. Tes Diagnostik ……………………………………………………………… 18
BAB III TINJAUAN KASUS

A. Penerapan Teori Keperawatan …………………………………………...… 20


B. Pengkajian Keperawatan ………………………………………………….... 21
C. Pengkajian 14 Kebutuhan Dasar Virgnia Henderson ……………………… 24
D. Terapi …………………………………………………………….………… 22
E. Analisa Data …………………………………………………………...…… 28
F. Diagnosis keperawatan …………………………………………………….. 29
G. Intervensi Keperawatan ……………………………………………………. 30
H. Web of caution (WoC) / pathoflow ………………………………………… 33

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 35

iii
ILEUS OBSTRUKSI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................... 36
B. Tujuan .......................................................................................................... 36
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Ileus Obstruksi ……………………………………………………. 38
B. Etiologi …………………………………………………………………..… 38

C. Manifestasi Klinis ………………………………………………………….. 41


D. Patofisiologi ………………………………………………………………... 42
E. Prognosis …………………………………………………………………… 43
F. Klasifikasi ………………………………………………………………….. 43
G. Komplikasi …………………………………………………………….…… 44
H. Pemeriksaan Diagnostik ……………………………………………………. 45
I. Penatalaksanaan ……………………………………………………………. 46

BAB III TINJAUAN KASUS

A. Pengambilan kasus nyata di Rumah Sakit …………………………………. 48


B. Penerapan teori keperawatan dalam Asuhan Keperawatan ………………... 49
C. Pengkajian Keperawatan …………………………………………………... 51
D. WOC/Pathoflow ………………………………………………………….... 54
E. Diagnosis keperawatan …………………………………………………….. 56
F. Intervensi keperawatan berdasarkan evidence based practice nursing ……. 57
G. Terapi modalitas dan komplementer terkait kasus ……………………….... 59
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................................ 62
B. Saran ..................................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 64

iv
v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit sirosis hati merupakan salah satu penyebab utama
masalah morbiditas dan mortalitas di berbagai negara dan berada pada
urutan ke-14 sebagai penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia serta
menyebabkan 1,03 juta kematian per tahun di seluruh dunia (Tsochatzis et
al., 2014). Penyakit ini juga menjadi salah satu masalah kesehatan di
Indonesia dengan prevalensi sirosis hati yang dirawat di ruang rawat
Penyakit Dalam adalah sekitar 3,6% - 8,4% di Jawa dan Sumatera, serta
47,4% dari berbagai penyakit hati yang dirawat (Abarca, 2021).
Prognosis sirosis bermacam-macam disebabkan oleh sejumlah
faktor yaitu penyebab beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit
penyerta yang lain (Abarca, 2021) Terapi yang dilakukan bertujuan untuk
mengurangi progresivitas penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang
dapat menambah kerusakan hati, pencegahan serta penanganan
komplikasi. Penanganan sirosis hati memerlukan kerjasama tim medis,
pasien, keluarga, serta lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini.
Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi
yang mungkin 2 terjadi akan sangat membantu memperbaiki hasil
pengobatan, serta diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup
penderita (Abarca, 2021)

B. Tujuan
Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah untuk dapat
memahami dan menganalisa, memaparkan pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pemberian asuhan keperawatan medikal bedah
pasien dengan sirosis hepatis
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran umum tentang penerapan proses
asuhan keperawatan.

1
2. Tujuan Khusus
a. Perawat mampu melaksanakan pengkajian terhadap pasien dengan
sirosis hepatis
b. Perawat mampu menyusun diagnosa keperawatan sesuai dengan
hasil pengkajian.
c. Perawat mampu menyusun perencanaan keperawatan terhadap
pasien dengan keluhan sirosis hepatis sesuai dengan kebutuhan
pasien.
d. Perawat mampu melakukan intervensi tindakan yang nyata sesuai
dengan perencanaan tindakan keperawatan dan prioritas masalah.
e. Perawat menilai hasil tindakan perawatan yang dilakukan terhadap
pasien.
3. Manfaat
a. Untuk melatih dan menambah pengetahuan tentang sirosis hepatis.
b. Dapat meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang sirosis
hepatis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Sirosis Hepatis


Sirosis hati adalah akhir dari proses difus fibrosis hati progresif
yang ditandai dengan adanya distorsi arsitektur hati serta terbentuknya
nodul regeneratif. Nodul-nodul regenerative ini dapat berukuran kecil
(mikronodular) atau besar (makronodular). Sirosis dapat mengganggu
sirkulasi darah intrahepatik, dan pada kasusu yang sangat lanjut
menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertahap (Price & Wilson,
2005).
Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai
dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.
Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang
retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vascular,
dan regenerasi nodularis parenkim hati (Nurdjanah, 2014)

Gambar.1 Perbandingan hepar sehat dengan sirosis

3
By BruceBlaus - Own work, CC BY-SA 4.0,

B. Klasifikasi
1. Secara konvensional sirosis hati dibagi menjadi:
a. Makronodular, dengan besar nodul lebih dari 3 mm
b. Mikronodular, dengan besar nodul kurang dari 3mm.
c. Campuran mikro dan makronodular
2. Secara klinis sirosis hati dibagi menjadi:
a. Sirosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis
yang nyata.
b. Sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda
klinik yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan
dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat
perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi
hati.
3. Secara morfologis dan etiologi terbagi atas : (Price & Wilson, 2005)
a. Sirosis Alkoholik
Sirosis alkoholik, atau secara historis disebut sirosis Laennec,
disebabkan oleh alkoholisme kronis. Perubahan pertama pada hati
yang ditimbulkan alkohol adalah akumulasi lemak secara bertahap
di dalam sel-sel hati (infiltrasi lemak) dan alkohol menimbulkan
efek toksik langsung terhadap hati. Akumulasi lemak
mencerminkan adanya sejumlah gangguan metabolik yang
mencakup pembentukan trigliserida secara berlebihan, menurunnya
pengeluaran trigliserida dari hati dan menurunnya oksidasi asam
lemak. Sirosis alkohol memiliki tiga stadium:
1) Perlemakan Hati Alkoholik
Stadium pertama dari sirosis alkohol yang relatif jinak,
ditandai oleh penimbunan trigliserida di hepatosit dan terjadi
pada 90% pecandu alkohol kronis. Alkohol dapat menyebabkan
penimbunan trigliserida di hati yang dapat meluas hingga
mengenai lobulus hati. Hati menjadi besar, lunak, berminyak
dan berwarna kuning.

4
2) Hepatitis Alkoholik
Stadium kedua sirosis alkohol dan diperkirakan diderita
oleh 20- 40% pecandu alkohol kronis. Kerusakan hepatosit
mungkin disebabkan oleh toksisitas produk akhir metabolisme
alkohol, terutama asetaldehida dan ion hidrogen.
3) Sirosis Alkoholik
Pada stadium ini, sel hati yang mati diganti oleh jaringan
parut. Pita-pita fibrosa terbentuk dari aktivasi respon
peradangan yang kronis dan mengelilingi serta melilit di antara
hepatosit yang masih ada. Peradangan kronis menyebabkan
timbulnya pembengkakan dan edema interstisium yang
membuat kolapsnya pembuluh darah kecil dan meningkatkan
resistensi terhadap aliran darah yang melalui hati yang
menyebabkan hipertensi portal dan asites.
b. Sirosis Pascanekrosis
Sirosis pascanekrosis terjadi setelah nekrosis berbercak
pada jaringan hati, sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut
yang terjadi sebelumnya. Hepatosit dikelilingi dan dipisahkan oleh
jaringan parut dengan kehilangan banyak sel hati dan di selingi
dengan parenkim hati normal, biasanya mengkerut dan berbentuk
tidak teratur dan banyak nodul.
c. Sirosis Biliaris
Penyebab tersering sirosis biliaris adalah obstruksi biliaris
pascahepatik. Statis empedu menyebabkan penumpukan empedu di
dalam massa hati dan kerusakan sel-sel hati. Terbentuk lembar
lembar fibrosa di tepi lobulus, hati membesar, keras, bergranula
halus dan berwarna kehijauan. Ikterus selalu menjadi bagian awal
dan utama dari sindrom ini. Terdapat dua jenis sirosis biliaris:
primer (statis cairan empedu pada duktus intrahepatikum dan
gangguan autoimun) dan sekunder (obstruksi duktus empedu di ulu
hati)

5
C. Etiologi
Berdasarkan Muttaqin & Sari, (2016), terdapat berbagai macam
penyebab yang dapat mengakibatkan sirosis hati, namun sampai saat ini
belum ada penyebab yang pasti. Hal – hal yang sering disebut
menyebabkan sirosis hati:
1. Virus hepatitis B, C, dan D.
Hepatitis B dan D akan mengalami kegagalan fungsi hati yang
mengakibatkan perubahan pada jaringan parenkim hati menjadi
jaringan fibrosis sehingga mengakibatkan nekrosis pada hati. Pada
beberapa kasus virus hepatitis C mampu memperlemah sistem imun
tubuh yang akibatnya dapat timbul infeksi kronis dengan kerusakan
hati yang memungkinan untuk berkembang menjadi sirosis (Price &
Wilson, 2005)
2. Alkohol
Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan menyebabkan infiltrasi
lemak di dalam sel-sel hati kemudian membentuk jaringan parut dan
nodul sehingga merubah bentuk struktur hati. Peneybab kerusakan hati
merupakan efek langsung alkohol pada sel hati. Sirosis hepatis yang
disebabkan oleh alkohol dikenal juga dengan sirosis laennec. Organ
hati sangat terganggu dengan masuknya zat alkohol (methanol dan
etanol) ke dalamnya. Karena alkohol yang masuk ke dalam tubuh akan
dieleminasi oleh organ hati, oleh karena itu banyak mengkonsumsi
alkohol dapat memperberat kerja hati dan merusak fungsi hati secara
terus menerus dan perlahan (Thaha et al., 2021).
3. Obat-obatan atau toksin
Penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu lama seperti INH dan
metildopa
4. Kelainan metabolik
Hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi α1- antitripsin,
diabetes melitus, glikogenosis tipe IV, galaktosemia, tirosinemia,

6
fruktosa intoleran. Pada hemochromatosis, pasien-pasien mewarisi
suatu kecenderungan untuk menyerap suatu jumlah besi yang
berlebihan dari makanan. Melalui waktu, akumulasi besi pada organ-
organ yang berbeda diseluruh tubuh menyebabkan sirosis, arthritis,
kerusakkan otot jantung yang menjurus pada gagal jantung, dan
disfungsi (kelainan fungsi) buah pelir yang menyebabkan kehilangan
rangsangan seksual. Perawatan ditujukan pada pencegahan kerusakkan
pada organ-organ dengan mengeluarkan besi dari tubuh melaui
pengeluaran darah. Pada penyakit Wilson, ada suatu kelainan yang
diwariskan pada satu dari protein-protein yang mengontrol tembaga
dalam tubuh. Melalui waktu, tembaga berakumulasi dalam hati, mata-
mata, dan otak.
5. Kolestasis intra dan ekstra hepatik.
6. Gagal jantung dan obstruksi aliran vena hepatika.
7. Gangguan imunitas.
Penyakit hati yang disebabkan oleh suatu kelainan sistim imun
yang ditemukan lebih umum pada wanita-wanita. Aktivitas imun yang
abnromal pada hepatitis autoimun menyebabkan peradangan dan
penghancuran sel-sel hati (hepatocytes) yang progresif, menjurus
akhirnya pada sirosis.
8. Sirosis biliaris primer dan sekunder
9. Idiopatik atau kriptogenik
Cryptogenic cirrhosis (sirosis yang disebabkan oleh penyebab-
penyebab yang tidak teridentifikasi) adalah suatu sebab yang umum
untuk pencangkokan hati. sirosis kriptogenik disebabkan oleh NASH
(nonalcoholic steatohepatitis) yang disebabkan oleh kegemukan,
diabetes tipe 2, dan resistensi insulin yang tetap bertahan lama. Lemak
dalam hati dari pasien-pasien dengan NASH diperkirakan menghilang
dengan timbulnya sirosis, dan ini telah membuatnya sulit untuk dokter-
dokter untuk membuat hubungan antara NASH dan sirosis kriptogenik
untuk suatu waktu yang lama
D. Tanda dan Gejala

7
Gejala awal sirosis sering asimtomatis sehingga kadang ditemukan
pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena
kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan
mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung,
mual, berat badan menurun, pada laki – laki dapat timbul impotensi, testis
mengecil, buah dada membesar, serta hilangnya gairah seksualitas. Bila
sudah lanjut (dekompensata), gejala – gejala lebih menojol terutama bila
timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya
rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin
disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis,
gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih seperti teh pekat, muntah
darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa,
sukar berkonsentrasi, bingung, agitasi, hingga koma (Nurdjanah, 2014).
Sesuai dengan consensus Braveno III, Sirosis hati dapat
diklasifikasikan menjadi empat stadium klinis berdasarkan ada tidaknya
varises, asites, dan pendarahan varises:
1. Stadium 1 : Tidak ada varises, tidak ada asites
2. Stadium II : Varises, tanpa asites
3. Stadium 3 Asites, dengan atau tanpa varises Stadium
4. Perdarahan dengan atau tanpa asites
Stadium 1 dan 2 dimasukkan dalam kelompok sirosis kompensata,
sementara staiudm 3 dan 4 dimasukkan dalam kelompok sirosis
dekompensata.
Menurut Price & Wilson, (2005), manifestasi utama dan lanjut dari
sirosis terjadi akibat dua tipe gangguan fisiologi yaitu :
1. Gagal Hepatoseluler
a. Ikterik
Penderita dapat menjadi ikterik selama fase dekompensasi
disertai gangguan reversible fungsi hati. Pada kulit dan membrane
mukosa terjadi akibat hiperbilirubinemia.
b. Edema perifer

8
Edema terjadi umumnya setelah terjadi asites dan sebagai
akibat hipoalbunemia dan retensi garam dan air. Kegagalan sel hati
untuk menginaktifkan aldosterone dan hormone anti diuretic
merupakan penyebab retensi natrium dan air.
c. Gangguan endokrin
Hormon korteks adrenal, testis dan ovarium dimetabolisme
dan diinaktifkan oleh hati nomal sehingga terjadi kelebihan
estrogen dalam sirkulasi.
1) Angioma laba-laba (Spider navi) terlihat pada kulit terutama
disekitar leher, bahu dan dada. Angioma terdiri atas arteriola
sentral tempat memancarkan banyak pembuluh halus
2) Atrofi testis: hipogonadisme menyebabkan impotensi dan
infertil. Tanda ini menonjol pada sirosis alkoholik dan
hemokromatosis
3) Ginekomastia: secara histologis berupa proliferasi benigna
jaringan glandula mammae pada laki – laki, kemungkinan
akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga
hilangnya rambut dada dan aksila pada laki – laki, sehingga
megalami perubahan kea rah feminisme. Kebalikannya, pada
perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga dikira fase
menopause.
4) Eritema palmaris, yaitu warna merah saga pada thenar dan
hipothenar telapak tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan
perubahan metabolisme hormone estrogen
5) Peningkatan pigmentasi kulit diduga akibat aktivitas hormon
peransang melanosit (melanocyte stimulating hormone) MSH
yang bekerja secara berlebihan.
d. Gangguan hematologic
Terjadinya pendarahan, anemia, leukopenia dan
trombositopenia. Penderita sering mengakami pendarahan hidung,
gusi, menstruasi berat dan mudah memar. Hal ini terjadi akibat
berkurangnya pembentukan factor-faktor pembekuan oleh hati dan

9
terjadi akibat hipersplenisme yaitu  limpa menjadi terlalu aktif
overeaktif sehingga menghancurkan sel darah dengan cepat dan
premature. Mekanisme lain yang menimbulkan anemia adalah
defisiensi folat, vitamin B12 dan besi sekunder akibat kehilangan
darah dan peningkatan hemolisis eritrosit.
e. Fetor hepatikum
adalah bau apek manis yang terdeteksi dari napas penderita
(terutama pada koma hepatikum) dan diyakini terjadi akibat
ketidakmampuan hati dalam memetabolisme metionin.
f. Ensefalopati Hepatik
Suatu bentuk intoksikasi otak yang disebabkan oleh
kelainan matabolisme amonia dan isi usus yang tidak mengalami
metabolisme dalam hati.
2. Hipertensi portal
Hipertensi portal terjadi karena peningkatan vena porta yang
menetap diatas nilai normal yaitu 6 sampai 12 cm H20.
a. Hepatomegali: Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan
nodular
b. Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis dengan
penyebab nonalkoholik. Pembesaran ini dikaitkan dengan kongesti
pulpa merah lien karena hipertensi porta
c. Asites: Penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat
hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Hipertens porta
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dalam pembuluh
darah jaringan intestinal. Hipoalbumenia terjadi karena
menurunnya sintesis-sintesis yang dihasilkan sel-sel hati yang
terganggu. Hal ini menyebabkan menurunnya tekanan osmotic
koloid. Kombinasi antara tekanan hidrostatik yang meningkat dan
tekanan osmotic yang menurun dalm pembuluh darah jaringan
intestinal menyebabkan terjadinya transudasi cairan dari ruang
intravaskuler ke ruang interstisial sesuai dengan hukum gaya
starling.

10
d. Varises Esofagus:
Disebabkan karena terjadinya perubahan hemodinamik dan
hipertensi porta terhadap esofagus bagian bawah. Pirau darah
melalui saluran ini ke vena kava menyebabkan dilatasi vena.
e. Hemoroid Interna
Sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superfisial dinding
abdomen dan timbulnya sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena-
vena sekatar umbilicus (kaput medusa). System vena rektal
membantu dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena
berlidatasi dan dapat menyebabkan berkembangnya hemoroid
interna.

E. Anatomi dan Fisiologi Hati


1. Anatomi

11
Gambar Sirosis Hepatis (Widya, 2018)

Hati merupakan organ kelenjar paling berat dalam tubuh dengan


berat sekitar 1,4 kg pada orang dewasa, diperkirakan 1/50 dari berat
badannya, sedangkan pada bayi diperkirakan 1/8 berat badan bayi.
Dari semua organ dalam tubuh, hati merupakan organ dengan ukuran
terbesar kedua setelah kulit. Sebagian besar hati berada pada regio
hipokondrium kanan dan epigastrium rongga abdomen, serta bisa
mencapai regio hipokondrium kiri (Price & Wilson, 2005)
Permukaan atas hati terletak bersentuhan dibawah diafragma,
permukaan bawah terletak bersentuhan diatas organ-organ abdomen.
Batas atas hepar sejajar dengan ruang interkosta V kanan dan batas
bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri
(Amirudin, 2009)
Terdapat dua lobus hati yaitu lobus kiri dan lobus kanan. Pada
orang dewasa lobus kanan 6 kali lebih besar daripada lobus kiri. Lobus
kanan dan lobus kiri dipisahkan oleh ligamentum falsiformis. Pada
bagian inferior terdapat fisura untuk ligamentum teres dan pada bagian
posterior terdapat fisura untuk ligamentum venosum. Hati dikelilingi
oleh kapsula fibrosa yang dinamakan kapsul glisson dan dibungkus
peritorium pada sebagian besar keseluruhan permukaanya.
2. Fungsi Hati
Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh.
Organ ini penting bagi sistem pencernaan untuk sekresi empedu. Hati
menghasilkan empedu sekitar satu liter per hari, yang diekskresi
melalui duktus hepatikus kanan dan kiri yang kemudian bergabung
membentuk duktus hepatikus komunis. Selain sekresi empedu, hati
juga melakukan berbagai fungsi lain, mencakup hal-hal berikut :
a. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat,
lemak, protein) setelah penyerapan mereka dari saluran cerna.
b. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat
dan senyawa asing lainnya.

12
c. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein yang
penting untuk pembekuan darah serta untuk mengangkut hormon
tiroid, steroid dan kolesterol dalam darah.
d. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin.
e. Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati bersama
dengan ginjal.
f. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang.
g. Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang merupakan produk
penguraian yang berasal dari pemecahan sel darah merah yang
sudah usang.
Hati merupakan komponen sentral sistem imun. Tiap-tiap
sel hati atau hepatosit mampu melaksanakan berbagai tugas
metabolik diatas, kecuali aktivitas fagositik yang dilaksanakan
oleh makrofag residen atau yang lebih dikenal sebagai sel
Kupffer. Sel Kupffer, yang meliputi 15% dari massa hati serta
80% dari total populasi fagosit tubuh, merupakan sel yang sangat
penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari luar
tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosi
(Nurdjanah, 2014)

F. Penatalaksanaan Medis

13
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi
ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan – bahan
yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan
komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik, diberikan diet yang
mengandung protein 1g/kgBB dan kalori sebanyak 2.000 – 3.000
kkal/hari.
Terdapat 3 jenis diet khusus penyakit hati. Hal ini didasarkan pada
gejala dan keadaan penyakit pasien. Jenis diet penyakit hati tersebut adalah
diet hati I (DH I), diet hati II (DH II), diet hati III (DH III). Selain itu pada
diet penyakit hati ini juga menyertakan diet garam rendah I (Rashati &
Eryani, 2019).
1. Diet garam rendah I (DGR I)
Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites
dan atau atau hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak
menambahkan garam dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi

14
kadar natriumnya. Kadar Natrium pada Diet garam rendah I ini adalah
200-400 mg Na.
2. Diet hati I (DH I)
Diet Hati I diberikan bila pasien dala keadaan akut atau bila
prekoma sudah dapat diatasi dan pasien sudah mulai mempunyai nafsu
makan. Melihat keadaan pasien, makanan diberikan dalam bentuk
cincang atau lunak. Pemberian protein dibatasi (30 g/hari) dan lemak
diberikan dalam bentuk mudah dicerna. Formula enteral dengan asam
amino rantai cabang (Branched Chain Amino Acid /BCAA) yaitu
leusin, 17 isoleusin, dan valin dapat digunakan. Bila ada asites dan
diuresis belum sempurna, pemberian cairan maksimal 1 L/hari.
3. Diet hati II (DH II)
Diet hati II diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet hati II
kepada pasien dengan nafsu makannya cukup. Menurut keadaan
pasien, makanan diberikan dalam bentuk lunak / biasa. Protein
diberikan 1 g/Kg berat badan dan lemak sedang (20-25% dari
kebutuhan energi total) dalam bentuk yang mudah dicerna. Makanan
ini cukup mengandung energi, zat besi, vitamin A & C, tetapi kurang
kalsium dan tiamin. Menurut beratnya retensi garam atau air, makanan
diberikan sebagai diet hati II rendah garam. Bila asites hebat dan
diuresis belum baik, diet mengikuti pola Diet Rendah garam I.
4. Diet hati III (DH III)
Diet hati III diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati
II atau kepada pasien hepatitis akut (hepatitis Infeksiosa/A dan
hepatitis serum/B) dan sirosis hati yang nafsu makannya telah baik,
telah dapat menerima protein, lemak, mineral dan vitamin tapi tinggi
karbohidrat.
Berdasarkan Nurdjanah, (2014), Tatalaksana pasien sirosis yang
kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati.
Terapi pasien ditujuan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya:
1. Alkohol dan bahan – bahan lain yang toksik dan dapat mencederai
hati dihentikan penggunaannya.

15
2. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa
menghambat kolagenik.
3. Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif.
4. Pada hemokromatosis flebotomi, setiap minggu sampai konsentrasi
besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
5. Pada penyakit hati nonalkoholik, menurunkan berat badan dapat
mencegah terjadinya sirosis.
6. Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida)
merupakan terapi utama.
a. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara
oral setiap hari selama 1 tahun, namun pemberian lamivudine
setelah 9 – 12 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga
terjadi resistensi obat.
b. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, 3
kali seminggu selama 4 – 6 bulan.
7. Pada hepatitis C kronis, kombinasi interferon dengan ribavirin
merupakan terapi standar.
a. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5
MIU 3 kali seminggu.
b. Ribavirin 800 – 1.000 mg/hari selama 6 bulan.
8. Pada pengobatan fibrosis hati, pengobatan antifibrotik pada saat ini
lebih mengarah pada peradangan dan tidak terhadap fibrosis.
Pengobatan untuk mengurangi aktivasi dari sel stelata bisa
merupakan salah satu pilihan.
a. Interferon mempunyai aktivitas antifibrotik yang dihubungkan
dengan pengurangan aktivasi sel stelata.
b. Kolkisin memiliki efek antiperadangan dan mencegah
pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam penelitian
sebagai antifibrosis dan sirosis.
c. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagai antifibrosis.
d. Obat – obatan herbal juga sedang dalam penelitian.

16
Menurut Gani et al.,( 2012) Interferon tidak boleh diberikan pada
pasien dengan karakteristik:
1. Pasien sirosis dekompensata.
2. Pasien dengan gangguan psikiatri.
3. Pasien yang sedang hamil.
4. Pasien dengan penyakit autoimun aktif
Pengobatan sirosis hati dekompensata (Nurdjanah, 2014):
1. Asites
a. Tirah baring.
b. Diet rendah garam.
1) Konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari.
2) Diet rendah garam dikombinasi dengan obat – obatan diuretik.
c. Diuretik
1) Spironolakton dengan dosis 100 – 200 mg 1 kali sehari.
2) Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan
0,5 kg/hari tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan
adanya edema kaki.
3) Bila tidak adekuat, bisa dikombinasi dengan furosemide 20 –
40 mg/hari. Pemberian furosemide bisa ditambah dosisnya bisa
tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari.
d. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites
bisa 4 – 6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
2. Ensefalopati hepatic
a. Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia.
b. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil
ammonia.
c. Diet protein dikurangi sampai 0,5 g/kgBB/hari, terutama diberikan
yang kaya asam amino rantai cabang.
3. Varises esophagus
a. Sebelum berdarah dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat beta
blocker (propranolol).

17
b. Waktu perdarahan akut bisa diberikan preparat somatostatin atau
okreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligase
endoskopi.
4. Peritonitis bakterial spontan
a. Antibiotika seperti cefotaxim IV, amoksisilin, atau aminoglikosida.
5. Sindrom hepatorenal
a. Mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur
keseimbangan garam dan air.
6. Transplantasi hati
Terapi definitif pada pasien sirosis dekompensata.
G. Komplikasi
Menurut Angeli et al., (2018), ada beberapa omplikasi yang dapat
terjadi pada penderita sirosis hati :
1. Perdarahan varises esofagus
Perdarahan varises esofagus merupakan komplikasi serius yang
sering terjadi akibat hipertensi portal. Dua puluh sampai 40% pasien
sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan.
Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan
meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk
menanggulangi varises ini dengan beberapa cara.
2. Ensefalopati hepatikum
Disebut juga koma hepatikum Merupakan kelainan neuropsikiatrik
akibat disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan
hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang 22
berlanjut sampai koma. Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal
hati yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan
fungsinya sama sekali.
3. Peritonitis bakterialis spontan
Peritonitis bakterialis spontan yaitu infeksi cairan asites oleh satu
jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal.
Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri
abdomen

18
4. Sindrom hepatorenal
Keadaan ini terjadi pada penderita penyakit hati kronik lanjut,
ditandai oleh kerusakan fungsi ginjal dan abnormalitas sirkulasi arteri
menyebabkan vasokonstriksi ginjal yang nyata dan penurunan GFR.
Dan dapat terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri,
peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
5. Karsinoma hepatoseluler
Karsinoma hepatoseluler berhubungan erat dengan 3 faktor yang
dianggap merupakan faktor predisposisinya yaitu infeksi virus
hepatitis B kronik, sirosis hati dan hepatokarsinogen dalam makanan.
Meskipun prevalensi dan etiologi dari sirosis berbeda beda di seluruh
dunia, namun jelas bahwa di seluruh negara, karsinoma hepatoseluler
sering ditemukan bersama sirosis, terutama tipe makronoduler.

H. Tes Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik menurut (Price & Wilson, 2005) :


1. Radiologi
a. Foto polos abdomen
Tujuannya : untuk dapat memperlihatkan densitas
klasifikasi pada hati, kandung empedu, cabang saluran-saluran
empedu dan pankreas juga dapat memperlihatkan adanya
hepatomegaly atau asites nyata.
b. Ultrasonografi (USG)
Metode yang disukai untuk mendeteksi hepatomegali atau kistik
didalam hati.
c. CT-scan
Pencitraan beresolusi tinggi pada hati, kandung empedu,
pankreas, dan limpa; menunjukan adanya batu, massa padat, kista,
abses dan kelainan struktur: sering dipakai dengan bahan kontras.
d. Magnetik Resonance Imaging (MRI)
Pemakaian sama dengan CT scan tetapi memiliki kepekaan
lebih tinggi, juga dapat mendeteksi aliran darah dan sumbatan

19
pembuluh darah
e. Biopsi Hati
Untuk mengidentifikasi fibrosis dan jaringan parut. Biopsi
merupakan tes diagnostik yang paling dipercaya dalam
menegakkan diagnosis sirosis hepatis.
2. Laboratorium
a. Hematologi
Hasil pemeriksaan darah biasanya dijumpai anemia,
leukopenia, trombositopenia dan waktu protombin memanjang
b. Uji faal Hepar
Tes faal hati bertujuan untuk mengetahui fungsi hati
normal atau tidak. Temuan laboratorium bisa normal dalam
sirosis
1) Bilirubin meningkat (> 1.3 mg/dL)

2) SGOT meningkat (> 3-45 u/L)

3) SGPT meningkat (> 0-35 u/L)

4) Protein total menurun (< 6.1- 8.2 gr %)

5) Albumin menurun (< 3.5-5.2 mg/L)

c. Massa Protrombin (Nilai normalnya : 11-15 detik)

Meningkat pada penurunan sintesis protrombin akibat


kerusakan sel hati atau berkurangnya absorpsi vitamin K pada
obstruksi empedu

BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Penerapan Teori Keperawatan


1. Model Konsep Keperawatan Virginia Henderson
Teori keperawatan Virginia Henderson mencakup seluruh

20
kebutuhan dasar seorang manusia. Henderson mendefinisikan
keperawatan sebagai membantu individu yang sakit dan yang sehat
dalam melaksanakan aktivitas yang memiliki kontribusi terhadap
kesehatan dan penyembuhannya, dimana individu tersebut akan
mampu mengerjakanya tanpa bantuan bila ia memiliki kekuatan,
kemauan, dan pengetahuan yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan dengan
cara membantu mendapatkan kembali kemandiriannya secepat
mungkin (Alligood, 2017)
2. Kebutuhan Dasar Manusia Menurut Virginia Henderson
Berdasarkan Alligood, (2017), kebutusan dasar manusia terdiri 14,
diantaranya :
a. Bernafas secara normal.
b. Makan dan minum dengan cukup.
c. Membuang kotoran tubuh.
d. Bergerak dan menjaga posisi yang diinginkan.
e. Tidur dan istirahat.
f. Memilih pakaian yang sesuai
g. Menjaga suhu tubuh tetap dalam batas normal dengan
menyesuaikan pakaian dan mengubah lingkungan.
h. Menjaga tubuh tetap bersih dan terawat serta melindungi
integumen.
i. Menghindari bahaya lingkungan yang bisa melukai.
j. Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengungkapkan emosi,
kebutuhan, rasa takut atau pendapat.
k. Beribadah sesuai dengan keyakinan.
l. Bekerja dengan tata cara yang mengandung unsur prestasi.
m. Bermain atau terlibat dalam berbagai kegiatan rekreasi.
n. Belajar mengetahui atau memuaskan rasa penasaran yang
menuntun pada perkembangan normal dan kesehatan serta
menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia.

B. Pengkajian Keperawatan

21
1. Identifikasi
a. Pasien
Nama initial : Tn. M
Umur : 56 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Menikah
Jumlah anak :1
Agama/ suku : Islam/Bugis
Warga negara : Indonesia
Bahasa yang digunakan : Bahasa Indonesia \
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pedagang
Alamat rumah : Dusun tarawe
b. Penanggung Jawab
Nama : Ny. F
Umur : 44 Tahun
Alamat : Mamuju
Hubungan dengan pasien : Istri

2. Data Medik
a. Diagnosa medik
Saat Masuk : Susp. Sirosis Hepatis
Saat pengkajian : Sirosis Hepatis
b. Pemeriksaan Penunjang
 05 Maret 2022 : Pemeriksaan Laboratorium

Parameter Result Unit Ref Range

22
RBC 4.11 x10^6/uL 4.00- 5.50
HGB 10 g/dL 12.0 – 16.0
HCT 38.8 % 40.0 – 54.0
RDW-SD 59.4 fL 46 35.0-56.0
PLT x10^3/uL 150 – 450
WBC 5.09 x10^3/uL 4.0 –
NLR 2.37 10.00
LED 54*

Parameter Hasil Rujukan Satuan Ket


Glukosa Sewaktu 134 70-140 mg/dL
H
Bilirubin Total 1.95 0.1-1.1 mg/dL
Bilirubin Direk 1.18 0.1-0.25 mg/dL
H
Bilirubin Indirek 0.77 0.1-1 mg/dL
Albumin 2.6 3.5-5.5 g/gl
L
SGOT 70 < 37 U/L
SGPT 104 < 42 U/L
H
Ureum 62 10-50 mg/dL

H
H

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


pemeriksaan
AA.
IMMUNOSEROLOGI
HBs.Ag Reaktif Non reaktif

Anti HCV Non reaktif Non reaktif

 Senin, 06 Maret 2022: Pemeriksaan CT SCAN


 Kesan :
 Cholecytitis Chronis
 Splenomegaly
 Ascites

23
 Olleural effusion bilateral
3. Keadaan Umum Pasien
a. Kesadaran(kualitatif): Compos Mentis
Skala Koma Glasgow (Kuantitatif):
1) Respon motorik 6
2) Respon bicara 5
3) Respon membuka mata 4_+
Jumlah 15
Kesimpulan: Pasien sadar penuh
b. Tanda-Tanda Vital
1) Tekanan darah :170/90mmHg

2) Suhu: 36 0C
3) Pernapasan: 24 x/menit
4) Nadi :98 x/menit
c. Pengukuran
1) Lingkar lengan atas : 30 cm
2) Lingkar perut : 107 cm
3) Tinggi badan : 160 cm
4) Berat badan : 67 kg
5) IMT : 26,1 kg/m3
d. Riwayat Penyakit Saat Ini:
a. Keluhan Utama : Perut membesar
b. Riwayat Keluhan Utama :
Pasien mengatakan merasa perutnya semakin hari semakin
membesar dan terasa tegang yang dialami ± 1 minggu yang
lalu, disertai dengan nyeri ulu hati yang dirasakan seperti
tertusuk-tusuk. Pasien juga mengatakan ada mual tetapi tidak
sampai muntah. Keluhan mual ini membuat pasien jadi malas
makan atau tidak ada nafsu makan. Pasien juga mengeluh
lemas sejak ± 1 bulan yang lalu dan dirasakan terus- menerus
meskipun sudah beristirahat dan bulu ketiak rontok kurang
lebih sejak 3 minggu yang lalu sehingga keluarga memutuskan

24
untuk membawa pasien ke Rumah Sakit Stella Maris Makassar.
c. Riwayat Penyakit
Pasien mengatakan pernah mengalami riwayat sakit kuning
± 20 tahun yang lalu.

C. Pengkajian 14 Kebutuhan Dasar Virgnia Henderson


1. Pernapasan
Pasien mengatakan kadang terasa sesak nafas saat melakukan aktivitas.
Hasil pemeriksaan Fisik:
a. Inspeksi:
1) Bentuk thorax : Simetris kiri dan kanan
2) Retraksi interkostal : tidak ada
3) Sianosis : tidak ada
4) Stridor : Tidak ada
b. Palpasi:
1) Vocal premitus: Getaran pada dinding kanan & kiri lemah
2) Krepitasi : Tidak ada
c. Perkusi : Redup
d. Auskultasi :
1) Suara napas : Suara nafas vesikular menurun
2) Suara tambahan : Tidak ada

2. Makan dan minum dengan cukup


Pasien mengatakan nafsu makan pasien menurun karena setiap kali
pasien makan selalu merasa mual. Meskipun dalam keadaan seperti ini,
pasien tetap berusaha untuk makan dan menghabiskan 3-4 sendok
makan bubur saring yang disediakan oleh rumah sakit. Pasien
mengatakan minum air hangat sebanyak ± 2-3 gelas per hari.
Observasi: Tampak pasien menghabiskan 3-4 sendok makan bubur
saring.
Pemeriksaan Fisik:
a. Sclera : Tampak Ikterik

25
b. Conjungtiva : Tampak Anemis
c. Abdomen
1) Inspeksi : Tampak perut asites
2) Auskultasi : peristaltik usus 15 x/ menit
3) Palpasi : Ada nyeri tekan pada perut kiri kuadran
atas dan teraba pembesaran pada lien pasien
4) Perkusi : Redup
d. Kulit
1) Edema : Positif
2) Ikterik : Positif

3. Eliminasi
Pasien mengatakan BAB pasien hanya 1 kali dalam dua hari
dengan konsistensi padat dan berwarna hijau kehitaman sedangkan
BAK 3-4 kali sehari, urine berwarna teh tua dengan jumlah ±200 cc.
Keluarga pasien mengatakan jika ingin BAB & BAK maka keluarga
membantu pasien BAK & BAB diatas tempat tidur menggunakan
urinal & pispot.
Observasi:
Tampak urin berwarna teh tua. Tampak urine ± 100 cc. Pasien tidak
menggunakan kateter.

4. Bergerak dan menjaga posisi yang diinginkan


Pasien mengatakan tidak dapat melakukan aktivitas sendiri karena
perut terasa berat dan pasien selalu merasa lemas, serta kurang
bertenaga.
Rasa lemas dirasakan sejak ± 1 bulan yang lalu dan dirasakan terus-
menerus, meskipun pasien sudah beristirahat. Pasien juga mengeluh
nyeri pada perut kanan atas sampai pinggang sebelah kanan, nyeri
dirasakan semenjak perut membesar, nyeri dirasakan seperti tertusuk-
tusuk dan hilang timbul, skala 6.
Observasi:

26
Pasien tampak berbaring di tempat tidur dan dibantu keluarga dalam
beraktivitas, tampak pasien lesu, tampak tidak mampu
mempertahankan aktivitas rutin.
5. Tidur dan istirahat
Pasien mengatakan sulit tidur karena nyeri perut yang dirasakan,
pasien juga sering terbangun karena lingkungan yang ribut dan
pencahayaan yang terang. Pasien juga mengeluh istirahatnya tidak
cukup karena merasa gelisah dan cemas menunggu penjelasan dokter
tentang penyakitnya. Tampak pasien gelisah.
Observasi:
Ekspresi wajah tampak mengantuk, banyak menguap dan Palpebra
inferior berwarna gelap

6. Memilih pakaian yang sesuai


Pasien mengatakan selama sakit keluarga yang selalu memilih
pakaian yang digunakan pasien. Pasien mengatakan tidak nyaman
menggunakan baju yang ketat.

7. Menjaga suhu tubuh tetap dalam batas normal dengan


menyesuaikan pakaian dan mengubah lingkungan
Pasien berada dalam ruangan yang hangat dan tampak suhu tubuh
pasien 36.6 C

8. Menjaga tubuh tetap bersih dan terawat serta melindungi


integument
Pasien mengatakan mandi dan berhias dibantu oleh keluarga dan
perawat

9. Mencegah bahaya di lingkungan dan mencegah dari aktivtas


membahayakan orang lain
Pasien mengatakan lingkungan sekitar dan ruangan terasa nyaman.
Tampak kamar pasien bersih dan pencahayaan bagus

27
10. Berkomunikasi dengan orang lain
Pasien mengatakan hubungannya dengan anak, istri, dan keluarga
berjalan dengan baik seperti biasanya dan selalu berkomunikasi
dengan keluarga saat perasaannya tidak enak dan mendapat bantuan
serta dukungan dari keluarganya dan juga teman-temannya

11. Beribadah sesuai keyakinan dirinya


Pasien mengatakan beragama Islam dan selalu beribadah tepat
waktu mesikpun hanya diatas tempat tidur dan berharap agar kesehatan
cepat pulih kembali.

12. Bekerja dengan tata cara yang mengandung unsur prestasi


Pasien berharap penyakitnya ini segera diatasi, dengan harapan
mampu beraktivitas kembali seperti sedia kala dan bisa membantu
mengatasi ekonomi keluarga.

13. Bermain atau berpartisipasi dalam berbagai pilihan kegiatan


rekereasi
Pasien mengatakan hanya berbaring diatas tempat tidur dan tidak
bisa berpatisipasi dalam kegatan rekereasi karena badan terasa lemas
dan perut membesar. Pasien mengatakan kadang-kadang sesak nafas.

14. Belajar menemukan atau memuaskan rasa ingin tahu


Pasien mengatakan merasa banyak perubahan yang terjadi pada
dirinya, pasien sering cemas karena penyakitnya dan selalu bertanya
kepada dokter dan perawat tentang kondisinya.

D. TERAPI
1. Spinorolacton 1 tab (100 mg)/ 24 jam/ oral
2. Furosemide 1 tab (40 mg) /24 jam/ oral
3. Amlodipine 1 tab (10 mg)/24 jam/ oral

28
4. Candesartan 1 tab (16 mg)/ 24 jam/ oral
5. Lactulose syr 15 mg/ 24 jam/ oral
6. Curcuma 1 tab (20 mg)/ 12 jam/ oral

29
E. Analisa Data

NO DATA ETIOLOGI MASALAH


1. DS: Gangguan aliran Hipervolemia
- Pasien mengatakan perutnya balik vena
semakin hari semakin membesar
dan tegang yang dialami ± 1 minggu
yang lalu
- Pasien mengatakan kadang sesak
nafas
DO:
- Tampak perut asites
- Tampak kaki kanan dan kiri pasien
bengkak
- Tampak pitting edema
derajat 2 dengan
kedalaman 3-4 mm
- JVP 5+ 4 cmH2O
- Berat badan berlebih (67 kg,
IMT=26,1 kg/m)
- Albumin : 2,6 g/dl
- Bilirubin Direk : 1,18 mg/dl

2. DS: Kondisi fisiologis Keletihan


- Pasien mengatakan hanya
berbaring di tempat tidur akibat
lemas yang dirasakan.
- Pasien mengeluh lelah
- Pasien mengatakan semenjak sakit
pasien merasa kurang tenaga
- Pasien mengatakan merasa lemas
terus menerus meskipun sudah
beristirahat
DO :
- Tampak pasien terbaring di tempat
tidur
- Tampak pasien lesu
- Tampak pasien tidak mampu
mempertahankan aktivitas rutin
dan harus dibantu oleh keluarga.
- HB : 10 g/dL

30
3 DS : Agen pencedera Nyeri akut
fisiologis
P : Pasien mengeluh nyeri pada perut
kanan atas sampai pinggang
sebelah kanan semenjak perut
pasien membesar
Q : Pasien mengatakan nyeri seperti
tertusuk-tusuk
R : Nyeri pada perut kanan atas sampai
pinggang
S : Skala nyeri 6
T : Nyeri dirasakan hilang timbul

DO :
- Tampak pasien meringis
- Tampak gelisah

F. DIAGNOSIS KEPERAWATAN

Nama/ Umur : Tn. M/ 56 Th


Ruang/ Kamar : Bernadeth II

No Diagnosis Keperawatan
1 Hipervolemia berhubungan dengan gangguan aliran balik vena
2 Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis
3 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis

31
G. Intervensi Keperawatan

Nama/ umur : Tn. M / 56 Thn

Ruang/ kamar : Bernadeth


No Diagnosis SLKI SIKI
1. Hipervolemia berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipervolemia
dengan gangguan aliran balik keperawatan diharapkan Observasi :
vena dibuktikan dengan: keseimbangan cairan meningkat 1) Periksa tanda dan gejala hipervolemia ( mis. Ortopnea,
DS: dengan kriteria hasil : dispnea, edema, JVP/CVP meningkat)
- Pasien mengatakan 1. Asupan cairan cukup 2) Identifikasi penyebab hipervolemia
perutnya semakin hari menurun
3) Monitor status hemodinamik (mis. frekuensi jantung,
semakin membesar dan 2. Edema cukup menurun
tekanan darah, MAP)
tegang yang dialami ± 1 3. Asites cukup menurun 4) Monitor intake dan output cairan
minggu yang lalu
Terapeutik :
- Pasien mengatakan
1) Batasi asupan cairan dan garam
kadang sesak nafas
DO: 2) Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama
- Tampak perut asites Edukasi :
- Tampak kaki kanan dan 1) Ajarkan cara membatasi cairan
kiri pasien bengkak 2) Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluaran
- Tampak pitting cairan
edema derajat Kolaborasi :
2 dengan 1) Kolaborasi pemberian diuretik
kedalaman 3-4 mm
- JVP 5+ 4 cmH2O
- Berat badan berlebih (67
kg, IMT=26,1 kg/m)
- Albumin : 2,6 g/dl
Bilirubin Direk : 1,18
mg/dl
2.Keletihan berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Energi :
2. dengan kondisi fisiologis keperawatan diharapkan
yang ditandai dengan : tingkat keletihan menurun Observasi :
DS: dengan kriteria hasil 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
- Pasien mengatakan : kelelahan
hanya berbaring di 1. Kemampuan melakukan 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
tempat tidur akibat aktivitas rutin cukup 3. Monitor pola dan jam tidur
lemas yang dirasakan. meningkat
- Pasien mengeluh lelah 2. Verbalisasi lelah cukup Terapeutik :
- Pasien mengatakan menurun
1) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus ( mis.
semenjak sakit pasien 3. Lesu cukup menurun
Cahaya, suara, kunjungan)
merasa kurang tenaga 4. Gelisah cukup menurun 2) Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
- Pasien mengatakan 5. Pola istirahat cukup membaik berpindah atau berjalan
merasa lemas terus
menerus meskipun
sudah beristirahat Edukasi :
DO : 1) Anjurkan tirah baring
- Tampak pasien 2) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
terbaring di tempat 3) Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala
tidur kelelahan tidak berkurang
- Tampak pasien lesu
- Tampak pasien tidak Kolaborasi :
mampu 1) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara menigkatkan
mempertahankan asupan makanan
aktivitas rutin dan
harus dibantu oleh
keluarga.
- HB : 10 g/dL
3. Nyeri Akut berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri
3. dengan agen pencedera keperawatan diharapkan tingkat Observasi :
fisiologis dibuktikan dengan : nyeri menurun dengan kriteria 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
DS : hasil: intensitas nyeri
- P : Pasien mengeluh nyeri 1. Keluhan nyeri cukup 2) Identifikasi skala nyeri
pada perut kanan atas menurun
3) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
sampai pinggang sebelah 2. Meringis cukup menurun
4) Identifilasi respon nyeri non verbal
kanan semenjak perut 3. Gelisah cukup menurun
pasien membesar 4. Kesulitan tidur Terapeutik :
- Q : Pasien mengatakan cukup menurun 1) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
nyeri seperti tertusuk- 2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
tusuk ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- R : Nyeri pada perut kanan 3) Fasilitiasi istirahat dan tidur
atas sampai pinggang
- S : Skala nyeri 6 Edukasi :
- T : Nyeri dirasakan hilang 1) Jelaskan strategi manajemen nyeri
timbul
2) Anjurkan memonitoring nyeri secara mandiri
DO :
- Tampak pasien meringis 3) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
- Tampak gelisah
Kolaborasi :
1) Kolaborasi pemberian analgetik
H. Web of caution (WoC) / pathoflow
DAFTAR PUSTAKA

Abarca, R. M. (2021). Sirosis hepatis. Nuevos Sistemas de Comunicación e


Información, 2013–2015.
Alligood, M. R. (2017). Pakar teori keperawatan dan karya mereka edisi 8 (8th
ed., Vol. 2). Elsevier.
Amirudin, R. (2009). Fisiologi dan kimia hati. Buku ajar ilmu penyakit dalam (Ke
5). Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Angeli, P., Bernardi, M., Villanueva, C., Francoz, C., Mookerjee, R. P., Trebicka,
J., Krag, A., Laleman, W., & Gines, P. (2018). EASL Clinical Practice
Guidelines for the management of patients with decompensated cirrhosis.
Journal of Hepatology, 69(2), 406–460.
https://doi.org/10.1016/j.jhep.2018.03.024
Dewi, K. F. P. (2020). Karakteristik ileus obstruktif di rsup dr. wahidin
sudirohusodo makassar tahun 2018. Universitas Hasanuddin, 151–156.
Gani, R. ., Hasan, I., Djumhana, Al., & Setiawan, P. B. (2012). Konsensus
Nasional penatalaksanaan hepatitis B di Indonesia. In S.-K. Prof. dr. Nurul
Akbar (Ed.), Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952.
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia.
Kolcaba, K., & DiMarco, M. A. (2005). Comfort theory and its application to
pediatric nursing. Pediatric Nursing, 31(3), 187–194.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2016). Gangguan gastrointestinal : Aplikasi asuhan
keperawatan medikal bedah. Salemba Medika.
Nurdjanah, S. (2014). Sirosis hati. Dalam buku ajar iilmu penyakit dalam (Ke-6).
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK. UI.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
penyakit (Edisi 6, V).
Rashati, D., & Eryani, M. . (2019). Gambaran Asuhan Gizi Pada Pasien Sirosis
Hepatis Dengan Hematemesis Melena Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Saiful Anwar Malang. Jurnal Informasi Kesehatan Indonesia, 5(2), 79–101.
Thaha, R., Yunita, E., & Sabir, M. (2021). Sirosis Hepatis. Nuevos Sistemas de
Comunicación e Información, 2(3), 2013–2015.
Tsochatzis, E. A., Bosch, J., & Burroughs, A. K. (2014). Liver cirrhosis. The
Lancet, 383(9930), 1749–1761. https://doi.org/10.1016/S0140-
6736(14)60121-5
Wahyudi, A., Siswandi, A., Purwaningrum, R., & Dewi, B. C. (2020). Obstructive
ileus incidence rate in examination of BNO 3 position in Abdul Moeloek
Hospital. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 11(1), 145–151.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i2.233

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ileus obstruktif merupakan suatu keadaan adanya sumbatan atau
hambatan mekanik yang mengakibatkan isi usus tidak bisa melewati lumen
usus. Hal ini disebabkan oleh kelainan di dalam lumen usus, dinding usus,
atau benda asing di luar usus yang menekan, serta kelainan vaskularisasi pada
suatu segmen usus yang dapat menyebabkan nekrosis segmen usus. Ileus
obstruktif merupakan suatu keadaan yang darurat sehingga memerlukan
penanganan segera (Wahyudi et al., 2020)
Obstruksi usus halus menempati sekitar 20% dari seluruh pembedahan
darurat, apabila tidak ditangani maka tingkat kematian mendekati 100%. Bila
operasi dilakukan dalam 24-48 jam dapat menurunkan angka kematian hingga
kurang dari 10%. Faktor-faktor yang menentukan morbiditas meliputi usia
pasien, komorbiditas, dan keterlambatan dalam perawatan. Data yang
diperoleh, mortalitas obstruksi usus secara keseluruhan masih sekitar 5-8%
(Dewi, 2020)
Ketika obstruksi usus dikelola dengan cepat, dapat diperoleh hasil
yang baik. Secara umum, ketika obstruksi usus dikelola tanpa pembedahan,
tingkat kekambuhan jauh lebih tinggi daripada yang dirawat dengan
pembedahan (Dewi, 2020).
B. Tujuan
Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah untuk dapat
memahami dan menganalisa, memaparkan pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pemberian asuhan keperawatanasuhan
keperawatan medikal bedah pasien dengan sirosis hepatis dan ileus
obstruksi
a. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran umum tentang penerapan proses
asuhan keperawatan.
b. Tujuan Khusus
a. Perawat mampu melaksanakan pengkajian terhadap pasien dengan
ileus obstruksi.
b. Perawat mampu menyusun diagnosa kepercayaan sesuai dengan
hasil pengkajian.
c. Perawat mampu menyusun perencanaan keperawatan terhadap
pasien dengan keluhan ileus obstruksi sesuai dengan kebutuhan
pasien.
d. Perawat mampu melakukan intervensi tindakan yang nyata sesuai
dengan perencanaan tindakan keperawatan dan prioritas
masalah.Perawat menilai hasil tindakan perawatan yang dilakukan
terhadap pasien.
c. Manfaat
a. Untuk melatih dan menambah pengetahuan tentang ileus
obstruksi.
b. Dapat meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang ileus
obstruksi.
BAB II
KONSEP MEDIS

A. Definisi

Ileus atau obstruksi usus adalah suatu gangguan (apapun penyebabnya)

aliran normal isi usus sepanjang saluran isi usus. Obstruksi usus dapat akut

dengan kronik, partial atau total.Intestinal obstruction terjadi ketika isi usus

tidak dapat melewati saluran gastrointestinal (Nurarif & Kusuma, 2015).

Ileus adalah gangguan/hambatan pasase isi usus yang merupakan tanda

adanya obstruksi usus akut yang segera membutuhkan pertolongan atau

tindakan (Indrayani, 2013).

Obstruksi usus mekanis adalah Suatu penyebab fisik menyumbat usus

dan tidak dapat diatasi oleh peristaltik. Ileus obstruktif ini dapat akut seperti

pada hernia stragulata atau kronis akibat karsinoma yang melingkari. Misalnya

intususepsi, tumor polipoid dan neoplasma stenosis, obstruksi batu empedu,

striktura, perlengketan, hernia dan abses (Nurarif& Kusuma, 2015).

B. Etiologi

Penyebab terjadinya ileus obstruksi pada usus halus antara lain

1. Hernia inkarserata :

Hernia inkarserata timbul karena usus yang masuk ke dalam kantung

hernia terjepit oleh cincin hernia sehingga timbul gejala obstruksi


(penyempitan)dan strangulasi usus (sumbatan usus menyebabkan

terhentinya aliran darah ke usus). Pada anak dapatdikelola secara

konservatif dengan posisi tidur Trendelenburg. Namun, jikapercobaan

reduksi gaya berat ini tidak berhasil dalam waktu 8 jam, harus

diadakanherniotomi segera (Indrayani, 2013)

2. Non hernia inkarserata, antara lain :

a. Adhesi atau perlekatan usus

Adhesi bisa disebabkan oleh riwayat operasi intraabdominal

sebelumnya atau proses inflamasi intraabdominal. Dapat berupa

perlengketanmungkin dalam bentuk tunggal maupun multiple, bisa

setempat atau luas. Umunya berasal dari rangsangan peritoneum akibat

peritonitis setempat atau umum.Ileus karena adhesi biasanya tidak

disertai strangulasi. Obstruksi yang disebabkan oleh adhesi

berkembang sekitar 5% dari pasien yang mengalami operasi abdomen

dalam hidupnya. Perlengketan kongenital juga dapat menimbulkan

ileus obstruktif di dalam masa anak-anak (Indrayani, 2013).

b. Invaginasi (intususepsi)

Disebut juga intususepsi, sering ditemukan pada anak dan agak

jarang pada orang muda dan dewasa. Invaginasi pada anak sering

bersifat idiopatikkarena tidak diketahui penyebabnya. Invaginasi

umumnya berupa intususepsi ileosekal yang masuk naik kekolon

ascendens dan mungkin terus sampai keluar dari rektum. Hal ini dapat

mengakibatkan nekrosis iskemik pada bagian usus yang masuk

dengankomplikasi perforasi dan peritonitis. Diagnosis invaginasi dapat


diduga atas pemeriksaan fisik, dandipastikan dengan pemeriksaan

Rontgen dengan pemberian enema barium (Indrayani,2013).

c. Askariasis

Cacing askaris hidup di usus halus bagian yeyunum, biasanya

jumlahnya puluhan hingga ratusan ekor. Obstruksi bisa terjadi di

mana-mana di usus halus, tetapi biasanya di ileum terminal yang

merupakan tempat lumen paling sempit. Obstruksi umumnya

disebabkan oleh suatu gumpalan padat terdiri atas sisa makanan dan

puluhan ekor cacing yang mati atau hampir mati akibat pemberian obat

cacing. Segmen usus yang penuh dengan cacing berisiko tinggi untuk

mengalami volvulus, strangulasi, dan perforasi (Indrayani,2013).

d. Volvulus

Merupakan suatu keadaan di mana terjadi pemuntiran usus yang

abnormal dari segmen usus sepanjang aksis usus sendiri, maupun

pemuntiran terhadap aksis sehingga pasase (gangguan perjalanan

makanan) terganggu. Pada usus halus agak jarang ditemukan kasusnya.

Kebanyakan volvulus didapat di bagian ileum dan mudah mengalami

strangulasi (Indrayani,2013).

e. Batu empedu yang masuk ke ileus.

Inflamasi yang berat dari kantong empedu menyebabkan fistul

(koneksi abnormal antara pembuluh darah, usus, organ, atau struktur

lainnya) dari saluran empedu keduodenum atau usus halus yang

menyebabkan batu empedu masuk ke raktus gastrointestinal. Batu

empedu yang besar dapat terjepit di usus halus, umumnya pada bagian
ileum terminal atau katup ileocaecal yang menyebabkan obstruksi.

Penyebab obstruksi kolon yang paling sering ialah karsinoma (anker

yang dimulai di kulit atau jaringan yang melapisi atau menutupi organ-

organ tubuh) , terutama pada daerah rektosigmoid dan kolon kiri distal

(Indrayani,2013).

C. Manifestasi Klinis

a. Mekanik sederhana – usus halus atas

Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke atas, distensi, muntah,

peningkatan bising usus, nyeri tekan abdomen.

b. Mekanik sederhana – usus halus bawah

Kolik (kram) signifikan midabdomen, distensi berat, bising usus

meningkat, nyeri tekan abdomen.

c. Mekanik sederhana – kolon

Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang muncul terakhir,

kemudian terjadi muntah (fekulen), peningkatan bising usus, nyeri tekan

abdomen.

d. Obstruksi mekanik parsial

Dapat terjadi bersama granulomatosa usus pada penyakit Crohn. Gejalanya

kram nyeri abdomen, distensi ringan.

e. Strangulasi

Gejala berkembang dengan cepat: nyeri hebat, terus menerus dan

terlokalisir, distensi sedang, muntah persisten, biasanya bising usus

menurun dan nyeri tekan terlokalisir hebat. Feses atau vomitus menjadi
berwarna gelap atau berdarah atau mengandung darah samar. (Price

&Wilson, 2007)
D. Patofisiologi Hernia inkarserata, adhesi, intususepsi, askariasis, volvulus, tumor, batu
empedu

ILEUS OBSTRUKTIF

Akumulasi gas dan cairan intra lumen disebelah paroksimal dari letak
obstruktif

Distensi abdomen Gelombang peristaltic berbalik arah, Kerja usus Klien rawat
isi usus terdorong ke lambung melemah inap
kemudian mulut
Gangguan
Poliferasi Tekanan peristaltic usus Reaksi
bakteri cepat intralumen ↑ Asam hospitalisasi
lambung ↑
Kimus sulit
pelepasan Tekanan vena dicerna usus cemas
bakteri dan & arteri ↓ Mual muntah mual
toksin dari usus ansietas
yang infark Kehilangan Sulit
bakteri Iskemia cairan menuju dehidrasi BAB
dinding usus ruang peritonium
melepas konstipasi
endotoksin, Intake cairan ↓
melepaska Metabolism Pelepasan bakteri
n zat anaerob & toksin dr usus Cairan intrasel ↓
pirogen yg nekrotik ke
Merangsang dlm peritonium
Impuls Resiko syok
pengeluaran (hipovolemia)
hipotalamus mediator Resiko infeksi
bagian kimia
termoregulato
r melalui Merangsang reseptor Merangsang Saraf simpatis
ductus nyeri REM Pasien terjaga
susunan saraf terangsang utk
thoracicus mengaktivasi RAS ↓
otonom,
Suhu tubuh ↑ Nyeri mengaktivasi mengaktifkan kerja Gangguan
akut organ tubuh pola tidur
norepinephrine
hipertermi
E. Prognosis

Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti umur,

etiologi,tempatdan lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat muda

ataupun tua maka toleransinyaterhadap penyakit maupun tindakan operatif

yang dilakukan sangat rendah sehingga meningkatkan mortalitas. Pada

obstruksi kolon mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan obstruksi usus halus

(Indrayani,2013).

F. Klasifikasi

1. Menurut sifat sumbatannya

Menurut sifat sumbatannya, ileus obstruktif dibagi atas 2 tingkatan :

a) Obstruksi biasa (simple obstruction) yaitu penyumbatan mekanis di

dalam lumen usus tanpa gangguan pembuluh darah, antara lain karena

atresia usus dan neoplasma

b) Obstruksi strangulasi yaitu penyumbatan di dalam lumen usus disertai

oklusi pembuluh darah seperti hernia strangulasi, intususepsi, adhesi,

dan volvulus (Pasaribu, 2012).

2. Menurut letak sumbatannya

Menurut letak sumbatannya, maka ileus obstruktif dibagi menjadi 2 :

a) Obstruksi tinggi, bila mengenai usus halus

b) Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar (Pasaribu, 2012).

3. Menurut etiologinya

Menurut etiologinya, maka ileus obstruktif dibagi menjadi 3:


a) Lesi ekstrinsik (ekstraluminal) yaitu yang disebabkan oleh adhesi (posto

perative), hernia (inguinal, femoral, umbilical), neoplasma (karsinoma),

dan abses intraabdominal.

b) Lesi intrinsik yaitu di dalam dinding usus, biasanya terjadi karena

kelainan kongenital (malrotasi), inflamasi (Chron’s disease,

diverticulitis), neoplasma, traumatik, dan intususepsi.

c) Obstruksi menutup (intaluminal) yaitu penyebabnya dapat berada di

dalam usus, misalnya benda asing, batu empedu (Pasaribu, 2012).

4. Menurut stadiumnya

ileus obstruktif dapat dibedakan menjadi 3 berdasarkan stadiumnya,

antaralain :

a) Obstruksi sebagian (partial obstruction) : obstruksi terjadi sebagian

sehingga makanan masih bisa sedikit lewat, dapat flatus dan defekasi

sedikit.

b) Obstruksi sederhana (simple obstruction) : obstruksi / sumbatan yang

tidak disertai terjepitnya pembuluh darah (tidak disertai gangguan

aliran darah).

c) Obstruksi strangulasi (strangulated obstruction) : obstruksi disertai

dengan terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan

berakhir dengan nekrosis atau gangren (Indrayani, 2013).

G. Komplikasi

a) Peritonitis septicemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peradangan

pada selaput rongga perut (peritonium) yang disebabkan oleh terdapatnya

bakteri dalam dalah (bakteremia).


b) Syok hypovolemia terjadi abikat terjadi dehidrasi dan kekurangan

volume cairan.

c) Perforasiusus adalah suatu kondisi yang ditandai dengan terbentuknya

suatu lubang usus yang menyebabkan kebocoran isi usus ke dalam

rongga perut. Kebocoran ini dapat menyebabkan peritonitis

d) Nekrosisusus adalah adanya kematian jaringan pada usus

e) Sepsis adalah infeksi berat di dalam darah karena adanya bakteri.

f) Abses adalah kondisi medis dimana terkumpulnya nanah didaerah anus

oleh bakteri atau kelenjar yang tersumbat pada anus.

g) Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi adalah suatu

keadaan dimana tubuh sudah tidak bisa mengabsorpsi nutrisi karena

pembedahan.

h) Gangguan elektrolit: terjadi karena hipovolemik

H. Pemeriksaan Diagnostik

1. HB (hemoglobin), PCV (volume sel yang ditempati sel darah merah) :

meningkat akibat dehidrasi

2. Leukosit : normal atau sedikit meningkat ureum + elektrolit, ureum

meningkat, Na+ dan Cl- rendah.

3. Rontgen toraks : diafragma meninggi akibat distensi abdomen

a. Usus halus (lengkung sentral, distribusi nonanatomis, bayangan valvula

connives melintasi seluruh lebar usus) atau obstruksi besar (distribusi

perifer/bayangan haustra tidak terlihat di seluruh lebar usus)

b. Mencari penyebab (pola khas dari volvulus, hernia, dll)


4. Enema kontras tunggal (pemeriksaan radiografi menggunakan suspensi

barium sulfat sebagai media kontras pada usus besar) : untuk melihat

tempat dan penyebab.

5. CT Scan pada usus halus : mencari tempat dan penyebab, sigmoidoskopi

untuk menunjukkan tempat obstruksi (Pasaribu, 2012).

I. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami

obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu

diperlukan. Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-

kadang suatu penyumbatan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan,

terutama jika disebabkan oleh perlengketan. Penderita penyumbatan usus

harus di rawat dirumah sakit (Nurarif & Kusuma, 2015).

1. Persiapan

Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah

aspirasi danmengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan,

kemudiandilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan

keadaan umum.Setelah keadaanoptimum tercapai barulah dilakukan

laparatomi. Pada obstruksiparsial atau karsinomatosis abdomen dengan

pemantauan dan konservatif (Nurarif& Kusuma, 2015).

2. Operasi

Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-

organvital berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering

dilakukan adalah pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah

dilakukan bila :-Strangulasi-Obstruksi lengkap-Hernia inkarserata-Tidak


ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan pemasangan NGT,

infus,oksigen dan kateter) (Nurarif& Kusuma, 2015).

3. Pasca Bedah

Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan

elektrolit. Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus

memberikan kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah usus

pasien masih dalam keadaan paralitik(Nurarif& Kusuma, 2015).


BAB III

TINJAUAN KASUS

Asuhan Keperawatan Medikal Bedah

A. Pengambilan kasus nyata di Rumah Sakit

Asuhan Keperawatan

Unit : Ruang Walet

Kamar : K.6.2

Tanggal masuk : 28 Agustus 2021

I. DENTIFIKASI

Nama Pasien : Ny. J

Umur : 39 Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Status Perkawinan : Menikah

Jumlah anak : 2 (dua)

Agama/suku : Islam / Bugis

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Pendamping Desa

Alamat rumah : Kec. Mallasoro, Kel. Bangkala, Kab. Jeneponto

II. DATA MEDIK

Keluhan masuk RS : nyeri pada abdomen

Diagnosa medis : Ileus obstruktif


III. KEADAAN UMUM

a. Keadaan sakit : pasien nampak lemah, terpasang cairan RL

500cc/iv dengan 20 TPM, pasien terpasang NGT

b. Tanda-tanda vital

- Kesadaran composmentis, GCS 15 (E4 M6 V5)

- Tekanan darah : 130/80 mmHg

- Suhu : 36,7 C

- Nadi : 88 x/i

- Pernafasan : 22 x/i

B. Penerapan teori keperawatan dalam Asuhan Keperawatan

Aplikasi teori kenyamanan di area keperawatan menggunakan metode


pendekatan proses keperawatan. Proses keperawatan mencakup pengkajian,
penegakan diagnose keperawatan, menyusun intervensi keperawatan,
implementasi dan evaluasi. (Kolcaba & DiMarco, 2005)

1. Pengkajian
Pengkajian ditujukan untuk menggali kebutuhan rasa nyaman
klien dan keluarga pada empat konteks pengalaman fisik, psikospiritual,
sosialkultural dan lingkungan. Kenyamanan fisik terdiri dari sensasi tubuh
dan mekanisme homeostasis. Kenyamanan psikospiritual mencakup
kesadaran diri dan hubungan manusia pada tatanan yang lebih tinggi.
Kenyamanan lingkungan terdiri dari lampu, bising, lingkungan sekeliling,
cahaya, dan suhu
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan didapatkan dari masalah klien, baik
kenyamanan fisik, psikospiritual dan kenyamanan lingkungan.
3. Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan bertujuan meningkatkan rasa nyaman.
Intervensi kenyamanan memiliki tiga kategori :
a. ntervensi kenyamanan standar untuk mempertahankan homoestasis
dan mengontrol rasa sakit
b. Latihan untuk meredakan kecemasan, memberikan jaminan dan
informasi, menanamkan harapan, mendengarkan dan membantu
merencanakan pemulihan
c. Tindakan yang menenangkan bagi jiwa
4. Implementasi keperawatan
Kebutuhan kenyamanan fisik termasuk deficit dalam mekanisme
fisiologis yang terganggu atau beresiko karena sakit atau prosedur
invasive. Kebutuhan fisik yang tidak jelas terlihat dan yang mungkin
tidak disadari seperti kebutuhan cairan atau keseimbangan elektrolit,
oksigenasi atau termoregulasi. Kebutuhan fisik yang terlihat seperti sakit,
mual, muntah, menggigil atau gatal lebih mudah ditangani dengan
maupun tanpa obat. Standar kenyamanan intervensi di arahkan untuk
mendapatkan kembali dan mempertahankan homoestasis.
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan setelah implementasi. Beberapa
instrument telah dikembangkan untuk mengukur pencapaian tingkat
kenyamanan seperti behaviors ceklist ataupun children comfort disiases
sesuai dengan usia klien.

Tipe perawatan dalam teori comfort Kolkaba (2003) dalam Hasanah


(2013) meliputi: technical, coaching dan comforting. Technical adalah tindakan
technical yang dirancang untuk mempertahankan homeostatis dan mengelolah
rasa sakit, seperti monitoring tanda-tanda vital dan kimia darah. Itu juga
mencakup pemberian obat nyeri. Coaching adalah tindakan yang dirancang untuk
mengurangi kecemasan, memberikan jaminan dan informasi, menumbuhnkan
harapan, mendengarkan dan membantu merencanakan realistis untuk pemulihan,
integrase atau kematian dalam budaya. Comforting adalah tindakan yang meliputi
sikap dan pemberian dukungan.
C. Pengkajian Keperawatan

1. Keadaan sebelum sakit:

Pasien mengatakan bila sakit pergi ke pelayanan kesehatan seperti Rumah

Sakit. Pasien mengatakan bekerja sehari – hari sebagai pendamping desa.

Pasien mengatakan sebelumnya pernah di operasi Appendisitis.

2. Riwayat penyakit saat ini:

a. Keluhan utama :

Pasien mengatakan nyeri pada Abdomen

b. Riwayat keluhan utama :

Pasien mengatakan sudah ± 2 minggu nyeri pada abdomen menjalar ke

perut bagian bawah, nyerinya seperti ditusuk-tusuk dengan skala 5/10

NRS, nyeri yang dia rasakan hilang timbul (2-3 menit), nyeri akan

semakin bertambah bila banyak bergerak.

c. Riwayat penyakit yang pernah dialami :

Pasien mengatakan memiliki riwayat operasi appendisitis pada saat

duduk di bangku SMA

d. Riwayat Kesehatan keluarga :

Pasien mengatakan keluarganya tidak memiliki riwayat penyakit

keturunan

3. Pola Nutrisi dan Metabolik

a. Keadaan sebelum sakit :


Pasien mengatakan sebelumnya pola makannya teratur yaitu 3 x sehari

dengan menu nasi putih, tempe/tahu, ayam, kadang daging merah dan

pasien mengatakan tidak suka makan sayur.

b. Keadaan sejak sakit :

Pasien mengatakan sejak sakit dan dirawat di Rumah Sakit di anjurkan

untuk puasa, nafsu makannya menurun dan tidak pernah makan nasi,

pasien hanya minum sedikit-sedikit. Pasien juga tampak dipasang NGT,

pasien mengatakan bahwa dia mengalami mual, muntah. Pasien

mengatakan berat badannya berkurang 8 kg dalam sebulan.

c. Observasi

Tampak pasien hanya minum air putih sedikit – sedikit (± 5 sendok)

dan tampak terpasang selang NGT untuk pengeluaran cairan lambung,

tampak pasien mual muntah

4. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan rambut : tampak rambut berwarna hitam, besih dan terdapat

uban serta rambut pasien rontok

b. Hidrasi kulit : kulit terhidrasi normal

c. Palpebrae/conjungtiva : tampak palpebrae tidak edema dan tampak

konjungtiva tidak anemis

d. Sclera : tampak tidak ikterik

e. Hidung : tampak tidak ada secret maupun perdarahan

f. Rongga mulut : tampak mukosa bibir kering dan pucat

g. Gigi : tampak gigi bewarna kuning


h. Kemampuan berkunyah : teraba pasien lemah saat menguyah

i. Lidah : tampak lidah kering

j. Pharing : tampak tidak meradang

k. Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

l. Kelenjar parotis : tidak ada pembesaran

m. Abdomen:

 Inspeksi : Tampak perut pasien membuncit

 Auskultasi : Terdengar peristaltic usus pasien 4x/ menit

 Palpasi : Pasien mengatakan nyeri tekan pada abdomen

 Perkusi : Tidak di kaji (pasien menolak untuk dilakukan perkusi)

n. Kulit

 Edema : Tidak ada

 Ikterik : Tidak ada

o. lesi

Tidak Nampak adanya lesi


D. WOC/Pathoflow Manifestasi Klinis

ILEUS
OBSTRUKTIF 1) Nyeri abdomen 1) Lokasi obstruksi
2) Muntah 2) Lamanya obstruksi
3) Distensi 3) Penyebabnya
Pengertian:
4) Kegagalan buang air besar 4) Ada atau tidaknya iskemia
gangguan pada aliran normal isi
usus sepanjang traktus intestinal atau gas (konstipasi). usus

Patofisiologi
Akumulasi gas
Pemeriksaan Diagnostik dan cairan
Etiologi
 Foto polos abdomen Komplikasi dalam lumen
a. Intususepsi Perlengketan, intususepsi,
letak obstruksi
b. Tumor dan neoplasma  Pemeriksaan radiologi dengan volvulus, hernia dan tumor
 Peritonitis
barium enema
c. Stenosis  Perforasi
 CT Scan Distensi
 Sepsis
d. Striktur  USG abdomen
 Syok Hipovolemik abdomen,spingter
e. Perlekatan (adhesi)  MRI, Angiografi ani eksterna tidak
f. Hernia  Pemeriksaan Laboratorium relaksasi
leukositosis Ekspalasi
g. Abses isi lambung
ke esofagus
Tekanan intra
Penatalaksanaan Medis lumen meningkat
Mual muntah
 Resusitasi
 Farmakologis
Tidak nafsu Merangsang Kontraksi otot
 Operatif
makan reseptor abdomen ke
nyeri diafragma
Relaksasi otot
diafragma
Tinja tertahan di Hospitalisasi
terganggu
usus dan sulit
keluar
Kehilangan H2O Intake kurang
dan elektrolit Intervensi pembedahan Ekspansi paru menurun

Resiko kekurangan Ketidakseimbangan Nyeri


Konstipasi Ansietas Pola nafas tidak efektif
volume cairan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

1. Kaji nyeri secara


1. Pertahankan intake dan 1. Monitor turgor kulit komprehensif
2. Berikan pijatan lembut 1. Identifikasi tingkat kecemasan keluarga
output yang akurat 2. Dorong nutrisi (Asi) Ibu
dipunggung jika bayi 2. Gunakan pendekatan yang
2. Observasi tingkat kesadaran 3. Pertahankan intake cairan
menangis menenangkan kepada keluarga
dan tanda-tanda syok 4. Auskultasi bising usus,
3. Kontrol lingkungan yang 3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
3. Observasi vital sign palpasi abdomen
dapat mempengaruhi nyeri dirasakan selama prosedur
4. Beri penjelasan kepada 5. Monitor kulit kering, pucat,
seperti suhu ruangan dan 4. Dengarkan respon keluarga dengan
keluarga pasien tentang dan perubahan pigmentasi.
pencahayaan. penuh perhatian
tindakan yang dilakukan :
pemasangan NGT dan puasa
5. Kolaborasi dengan medik
1. Observasi tanda-tanda vital
pemberian terapi intravena 1. Kaji dan catat frekuensi, warna dan
2. Observasi adanya tanda-tanda hipoksia
konsistensi feses 3. Monitor hasil AGD
2. Auskultasi bising usus 4. Beri posisi yang nyaman
3. Kaji adanya flatus dan distensi abdomen 5. Laksanakan program medik pemberian
4. Catat perkembangan baik maupun buruk terapi oksigen
5. Observasi tanda-tanda vital 6. Kaji status pernafasan
6. Kolaborasi dalam pemberian terapi pencahar 7. Beri posisi yang nyaman
E. Diagnosis keperawatan

Nama/umur : Ny. J. / 39 Tahun

Ruang : Walet / K6.2

No DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1 Nyeri akut b/d Agen pencedera fisiologis (D.0077) d/d mengeluh

nyeri, tampak meringis, tekanan darah meningkat, nafsu makan

2 berubah

Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien

(D.0019) d/d berat badan menurun, nafsu maka menurun, otot


3
penguyah lemah, membran mukosa pucat, rambut rontok

berlebihan, nyeri abdomen

Konstipasi b/d ketidak cukupan asupan serat (D.0049) d/d

defekasi kurang dari 2 kali seminggu, pengeluaran feses lama dan

sulit, peristaltik usus menurun, distensi abdomen dan kelemahan

umum
F. Intervensi keperawatan berdasarkan evidence based practice nursing

Diagnosis Keperawatan Hasil yang diharapkan Rencana Tindakan

Nyeri akut b/d Agen Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri

pencedera fisiologis d/d selama 3 x 24 jam maka: a. Observasi :

mengeluh nyeri, tampak 1.Keluhan nyeri cukup  Identifikasi local, karakteristik,

meringis, tekanan darah menurun durasi, frekuensi, kualitas dan

meningkat, nafsu makan 2.Meringis cukup menurun intensitas nyeri

berubah 3.Tekanan darah membaik  Identifikasi skala nyeri

4.Nafsu makan cukup  Identifikasi factor yang

membaik memperberat dan meringankan

nyeri

 Monitor efek samping

penggunaan Analgetik

b. Teraputik

 Berikan Teknik

nonfarmakologis untuk

mengurangi rasa nyeri

 Kontrol lingkungan

c. Edukasi

 Anjurkan memonitor nyeri

secara mandiri

Defisit nutrisi b/d Setelah dilakukan tindakan a. Observasi


ketidakmampuan selama 3 x 24 jam maka: - Identifikasi status nutrsi

mengabsorbsi nutrien d/d 1. Porsi makan di habiskan - Monitor asupan makanan

berat badan menurun, 2. Berat badan membaik - Monitor berat badan

nafsu maka menurun, 3. Pengetahuan tentang b. Terapeutik

otot penguyah lemah, standart asupan nutria yang - Lakukan oral hygiene sebelum

membran mukosa pucat, sehat meningkat makan

rambut rontok - Berikan suplemen makanan

berlebihan, nyeri c. Edukasi

abdomen - Edukasi makan makanan yang

sehat

Konstipasi b/d Setelah dilakukan tindakan a. Observasi

ketidakcukupan asupan selama 3 x 24 jam maka: - Monitor tanda konstipasi

serat d/d defekasi kurang 1. Kontrol pengeluaran fases b. Terapeutik

dari 2 kali seminggu, sedang - Berikan air hangat setelah

pengeluaran feses lama 2. Keluhan defekasi lama dan makan

dan sulit, peristaltik usus sulit sedang c. Edukasi

menurun, distensi 3. Peristaltic usus cukup - Jelaskan jenis makanan yang

abdomen dan kelemahan membaik membantu meningkatkan

umum 4. Distensi abdomen sedang peristaltic usus menjadi normal

5. - Anjurkan mengkomsumsi

makanan yang mengandung

tinggi serat
G. Terapi modalitas dan komplementer terkait kasus

a. Terapi Farmakologis

- Ondansetron 4 mg/iv/8 jam

- Neurobion 1 amp/iv//12 jam

- Ceftriaxone 1 gr/iv/12 jam

- Santagesik 1 amp/iv/8 jam

b. Terapi cairan

- Cairan RL 500 cc / IV
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ileus atau obstruksi usus adalah suatu gangguan (apapun
penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran isi usus. Obstruksi
usus dapat akut dengan kronik, partial atau total.Intestinal obstruction terjadi
ketika isi usus tidak dapat melewati saluran gastrointestinal. Faktor-faktor
yang menentukan morbiditas meliputi usia pasien, komorbiditas, dan
keterlambatan dalam perawatan. Data yang diperoleh, mortalitas obstruksi
usus secara keseluruhan masih sekitar 5-8%. Ketika obstruksi usus dikelola
dengan cepat, dapat diperoleh hasil yang baik. Secara umum, ketika obstruksi
usus dikelola tanpa pembedahan, tingkat kekambuhan jauh lebih tinggi
daripada yang dirawat dengan pembedahan.
Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai
dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.
Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang
retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vascular, dan
regenerasi nodularis parenkim hati. Gejala awal sirosis sering asimtomatis
sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan
kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain. Etiologi sirosis
mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi progresi
penyakit, menghindarkan bahan – bahan yang bisa menambah kerusakan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi.

B. Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan institut mampu meningkatkan kualitas pendidikan sehingga
menghasilkan mahasiswa keperawatan yang professional dan inovatif
terutama dalam memberikan asuhan keperawatan medikal bedah pada
pasien dengan sirosis hepatis dan ileus obstruksi.
2. Bagi Mahasiswa
Diharapkan bagi mahasiswa agar dapat mencari informasi dan memperluas
wawasan mengenai asuhan keperawatan medikal bedah pada pasien
dengan sirosis hepatis dan ileus obstruksi.
3. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan Rumah Sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
baik serta menyediakan fasilitas yang memadai untuk kesembuhan dan
pemulihan pasien dengan sirosis hepatis dan ileus obstruksi.
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, Amin Huda. Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnose Medis Dan Nanda Nic – Noc Edisi Revisi Jilid 2.
Media Action : Yogjakarta.

Price &Wilson, (2007). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Edisi  6, Volume1. EGC: Jakarta.

Indrayani, M Novi. 2013. Diagnosis Dan Tata Laksana Ileus Obstruktif.


Universitas Udayana : Denpasar (jurnal)

Pasaribu,Nelly. 2012. Karakteristik Penderita Ileus Obstruktif Yang Dirawat Inap


Di Rsud Dr. Pirngadi Medan Tahun 2007-2010.Universitas Sumatera
Utara : Sumatera Utara (jurnal)

Anda mungkin juga menyukai