Anda di halaman 1dari 58

Tugas MK : KMB Lanjut 1 (Kasus)

Dosen Fasilitator : Syahrul Ningrat, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.Kep.MB

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN


DENGAN GAGAL JANTUNG KONGESTIF

KELOMPOK 1
NURCAYA--- R012211006
KHUMAIRAH---- R012211023
LAILATUL BADRIA---- R012211026
I GEDE RESTAWAN----R012211041

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur selalu kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
pada Pasien dengan Gagal Jantung Kongestif ” dapat selesai tepat pada waktunya.
Makalah ini dapat terselesaikan oleh karena kerja sama dalam kelompok. Kami
menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, karena itu kami
sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Fasilitator yang telah
memberikan arahan serta masukan-masukan, sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Semoga makalah ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi atau bahan
bacaan bagi para pembaca dan juga untuk kita semua. Terima kasih

Makassar, Maret 2022


Tim Penyusun

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 2
C. Tujuan Makalah ....................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN TEORI KONSEP MEDIS GAGAL JANTUNG KONGESTIF
A. Definisi .......................................................................................................................
B. Etiologi........................................................................................................................
C. Tanda & Gejala...........................................................................................................
D. Anatomi Fisiologi......................................................................................................
E. Penatalaksanaan Medis............................................................................................
F. Komplikasi..................................................................................................................
G. Prognosis ....................................................................................................................
H. Test Diagnostik .........................................................................................................
BAB III TINJAUAN KASUS
A. Penerapan Teori Keperawatan................................................................................
B. Pengkajian Keperawatan..........................................................................................
C. Analisa Data dan WOC.............................................................................................
D. Diagnosis Keperawatan ...........................................................................................
E. Intervensi Keperawatan (SIKI) ...............................................................................
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................................
B. Saran ...........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama


dan berkembang di seluruh dunia. Namun, diagnosis dini dan pengobatan yang
efektif dapat mengurangi morbiditas, mortalitas, dan biaya. Diagnosis yang tepat
dari masalah jantung yang mendasari adalah dasar untuk pengobatan optimal
pasien dengan dugaan gagal jantung. Oleh karena itu, WHO dan Dewan
Kardiologi Geriatri baru-baru ini menerbitkan buklet setebal 25 halaman yang
berisi pedoman tentang pendekatan diagnostik dan terapeutik modern untuk
menangani pasien yang diduga gagal jantung (Greenberg et al., 2010).
Gagal Jantung merupakan ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi ke jaringan
(Smeltzer et al., 2010). Gagal Jantung seringkali merupakan tahap akhir dari
banyak kondisi jantung lainnya (White, L., Duncan, G., & Baumle, 2013).
Beberapa hal yang menjadi penyebab meningkatnya masalah gagal jantung
antara lain keberhasilan penanganan terhadap serangan akut miokard yang
berhasil menyelamatkan jiwa tetapi menimbulkan kecacatan yang menyebabkan
gagal jantung disamping karena dipengaruhi oleh pertambahan usia dan semakin
tingginya kejadian infeksi di indonesia yang mengakibatkan penyakit jantung
rematik pasca infeksi streptokokous beta hemolitikus yang menyebabkan
endokarditis serta tuberkolisis (Siswanto, 2012).
Penanganan masalah keperawatan pada pasien gagal jantung, dilakukan
dengan Penerapan proses keperawatan dalam pengelolaan pasien yang baik
dalam gangguan sistem kardiovaskuler yaitu dengan menggunakan pendekatan
teori self care menurut Dorothea E. Orem. Teori Self Care merupakan teori model
keperawatan yang menguraikan tentang bagaimana perawat dapat menerapkan
dan memberikan perawatan langsung kepada orang-orang yang benar-benar
memiliki kebutuhan perawatan langsung akibat gangguan kesehatan mereka atau

4
secara alamiah mereka yang membutuhkan perawatan kesehatan (Alligood,
2014).

B. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum
Untuk memberikan gambaran dalam menerapkan proses asuhan
keperawatan pada klien dengan Gagal Jantung dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan menurut Teori Self Care Orem.

2. Tujuan Khusus

a) Untuk memahami Konsep dasar penyakit gagal jantung


b) Untuk memahami Konsep keperawatan gagal jantung
c) Untuk Memahami asuhan keperawatan penyakit gagal jantung dengan
pendekatan teori Self Care menurut Orem.

5
BAB II
KONSEP DASAR PENYAKIT GAGAL JANTUNG

A. DEFINISI GAGAL JANTUNG KONGESTIF


Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung menurut Smeltzer &
Bare (2013) adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam
jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi
jaringan. Sedangkan menurut LeMone (2012) gagal jantung merupakan suatu
sindrom kompleks yang terjadi akibat gangguan jantung yang merusak
kemampuan ventrikel untuk mengisi dan memompa darah secara efektif.
Sementara itu menurut (Marulam M, 2014) gagal jantung adalah sindrom
klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai dengan sesak nafas saat
istirahat ataupun saat aktifitas yang disebabkan oleh kelainan struktur atau
fungsi jantung.
Istilah gagal jantung menunjukkan penyakit miokard yang memiliki
masalah dengan kontraksi jantung (disfungsi sistolik) atau pengisian jantung
(disfungsi diastolik ventrikel kiri) yang mungkin atau mungkin tidak
menyebabkan paru-paru atau sistemik bendungan (Smeltzer et al., 2010;
Black & Hawks, 2009). Kelemahan Dinding otot akibat infark miokard atau
beban jantung yang meningkat selama periode waktu tertentu untuk
memenuhi kebutuhan metabolik tubuh menyebabkan gagal jantung (White,
L., Duncan, G., & Baumle, 2013).

B. ETIOLOGI
Apapun Penyebabnya, kegagalan jantung dalam memompa
menyebabkan hipoperfusi jaringan diikuti kongesti pulmonal dan vena
sistemik, oleh gagal jantung menyebabkan kongesti vaskular, sering disebut
juga sebagai gagal jantung kongesif, walaupun kebanyakan ahli jantung
tidak lagi menggunakan istilah ini (Black & Hawks, 2009). Gagal jantung
merupakan suatu kondisi progresif dan sebagian besar tidak dapat
diprediksi. Sebagai konsekuensinya, pasien gagal jantung mengalami

6
perubahan signifikan yang mempengaruhi kualitas hidup mereka (Moser
dan Dracup, 2001 dalam Humphreys, 2013). Studi epidemiologi Menurut
data WHO (2016), 17,5 juta jiwa (31%) dari 58 juta angka kematian di dunia
disebabkan oleh penyakit jantung dan lebih dari 23 juta orang meninggal
setiap tahun dengan gangguan kadiovaskular. Data prevalensi penyakit
ditentukan berdasarkan karakteristik umur, jenis kelamin, geografis tempat
tinggal, pekerjaan, serta tingkat pendidikan. Prevalensi gagal jantung di
Indonesia pada tahun 2018 yaitu sebanyak 1,5%. Klien terbanyak dengan
gagal jantung terdapat di Kalimantan Utara yaitu dengan prevalensi
sebanyak 2,2 %, sedangkan Nusa Tenggara Timur menjadi yang paling
sedikit klien yang mnederita gagal jantung yaitu dengan prevalensi sebanyak
0,7 % (Riskesdas, 2018). Prevalensi CHF diprovinsi Jawa Tengah pada tahun
2018 sekitar 1,83% (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Menurut Black & Hawks (2014) penyebab CHF terbagi menjadi dua,
yaitu: faktor intrinsik yang diakibatkan oleh penyakit Arteri Koroner (PAK).
PAK mengurangi aliran darah melalui arteri sehingga mengurangi
penghantaran oksigen ke miokardium. Penyebab lain yang cukup sering
adalah infark miokardium. Selama infark miokardium, miokardium
kekurangan darah dan jaringan mengalami kematian sehingga tidak dapat
berkontraksi, miokardium yang tersisa harus melakukan kompensasi untuk
kehilangan jaringan tersebut. Penyebab lainnya adalah penyakit katup,
kardiomiopati, dan distritmia. Sedangkan, pada faktor ekstrinsik disebabkan
oleh peningkatan afterload (misalnya hipertensi), peningkatan volume
sekuncup jantung dan hypovolemia atau peningkatan preload, dan
peningkatan kebutuhan tubuh (kegagalan keluaran yang tinggi, misalnya
tiritoksitosis, kematian).
C. MANIFESTASI KLINIS.
Gagal jantung bergantung pada ventrikel yang terlibat, penyebab yang
mencetuskan kegagalan, derajat kerusakan, laju penyakit, durasi kegagalan,
dan syarat klien pada kondisi yang mencetuskan gagal jantung. Manifestasi
kongesti pulmonal dan edema mendominasi gambaran klinis LVF,RVF pula
bekerjasama dengan manifestasi di pembesaran organ abdominal dan edema

7
perifer. Gagal jantung diklasifikasikan dalam beberapa termin sesuai
kemampuan klien secara fungsional dan manifestasi klinis (Black & Hawks,
2009). Teori LVF dan RVF berdasarkan pada fakta bahwa cairan
terakumulasi di belakang ruangan yang gagal terlebih dulu. Oleh karena
sistem sirkulasi merupakan sirkiut tertutup, gangguan pada salah satu
ventrikel akan berlanjut menjadi kegagalan pada ventrikel yang lain. Hal ini
disebut sebagai interdependensi ventrikel. Gagal ventrikel kiri. Gagal
ventrikel kiri menyebabkan kongesti pulmonal dan gangguan mekanisme
pengendaian pernafasan.

Kondisi yang mencetuskan gagal jantung :

1. Distritmia , terutama takikardia


2. Infeksi sistemik (sepsis)
3. Anemia
4. Gangguan tiroid
5. Emboli pulmonal
6. Defisiensi tiamin
7. Penyakit paru kronis
8. Perubahan dosis obat
9. Stress fisik maupun emosional
10. Endocarditis, miokarditis ,dan pericarditis
11. Retensi cairan akibat obat ata asupan garam
12. Kondisi jantung yang baru

Dispnea (sesak napas/sulit bernapas) merupakan masalah subjektif,


dan tidak selalu berhubungan dengan keluasan gagal jantung. Oleh karena
pernapasan pada waktu istirahat biasanya tidak memerlukan usaha/upaya,
perasaan sesak napas dapat berarti gejala apa saja dari kesadaran bernapas
hingga distres yang ekstrem. Seorang klien yang khawatir dengan gagal
jantung sedang dapat menjadi lebih siaga terhadap dispnea dari pada klien
dengan penyakit lanjut. Pada beberapa derajat, dispnea saat aktivitas terjadi
pada semua klien, sehingga perlu digali deskripsi klien mengenai derajat
aktivitas yang menyebabkan perasaan sulit bernapas. Mekanisme dispnea
dapat berkaitan dengan penurunan volume udara paru (kapasitas vital) saat
udara digantikan oleh darah atau cairan interstisial. Kongesti pulmonal

8
dapat akhirnya mengurangi kapasitas vital paru sampai kurang dari 1.500
ml.

Ortopnea merupakan tahap lanjut dari dispnea. Klien sering


mengeluhkan sebagai posisi tiga titik, duduk dengan kedua tangan di lutut
dan condong ke depan. Ortopnea terjadi karena posisi telentamg (supine)
meningkatkan jumlah darah yang kembali ke jantung dan paru dari
ekstremitas inferior (preload). Klien berusaha untuk mengindari distres
pernapasan di malam hari dengan menyokong kepala dan dada dengan
bantal. Pada gagal jantung yang berat, klien dapat beristirahat dengan posisi
duduk di kursi.

Dispnea noktural paroksimal (paroxyismal nokturnal dispnea


(PND) mencerminkan situasi sensasi kesulitan bernapas yang menakutkan.
Klien tiba-tiba bangun dengan perasaan sesak napas yang berat dan mereda
dengan duduk tegak atau membuka jendela untuk mencari "udara segar".
Pernapasan dapat bersifat berat dan disertai mengi (wheezing) (asma
kardial). PND mencerminkan eksaserbasi/perburukan akut kongesti jantung.
Hal ini berasal dari kombinasi peningkatan aliran darah balik vena ke paru
sama berbaring dan penekanan pusat pernapasan terhadap input sensorik
pada paru selama tidur. Ketika klien tegak, pengurangan serangan PND
tidak akan terjadi sampai 30 menit atau lebih.

Pernapasan Cheyne-Stokes kadang terjadi pada klien dengan bentuk


lanjut gagal jantung. Pernapasan Cheyne-Stokes mungkin terjadi akibat
waktu sirkulasi yang memanjang antara sirkulasi pulmonal dan sistem saraf
pusat. Batuk merupakan manifestasi yang sering pada LVF. Batuk yang kasar
dapat menghasilkan sputum berbusa kental dan bercampur darah. Klien
batuk karena sejumlah cairan yang banyak terperangkap dalam saluran
pernapasan dan mengiritasi mukosa paru. Pada auskultasi, dapat terdapat
ronki bilateral.

Manifestasi kardiovaskular juga terjadi pada LVE. Inspeksi dan


palpasi prekordium dapat menunjukkan adanya pembesaran atau

9
pergeseran pulsasi apikal ke lateral kiri. Hal ini terjadi karena ventrikel kiri
berdilatasi sebagai usaha tambahan untuk mengurangi kontraksi dan
pengosongan ventrikel. Suara gallop jantung (S3 dan S4) dapat merupakan
temuan awal pada gagal jantung saat ventrikel kiri menjadi kurang regang
(compliance) dan dinding ventrikel mengalami vibrasi sebagai respons
terhadap pengisian selama diastolik. Adanya pulsus alternans (denyut
jantung yang kuat dan lemah secara bergantian) juga menunjukkan adanya
LVF.

Hipoksia serebri dapat terjadi sebagai hasil penurunan kelauaran


jantung, yang akan menyebabkan perfusi otak yang tidak adekuat. Fungsi
serebral terdepresi dan dapat menyebabkan kecemasan, iritabilitas, gelisah,
konfusi, gangguan memori, mimpi buruk dan insomnia, Ventilasi yang
terganggu dengan hiperkapnia juga dapat menjadi suatu pencetus.

Keletihan dan kelemahan otot sering dihubungkan dengan LVF.


Curah jantung yang tidak adekuat akan ja menyebabkan jaringan yang
hipoksia dan memperlambat lo pembuangan sampah metabolik yang
akhirnya akan menuebabkan kien mudah lelah. Gangguan tidur dan pola
istirahat dapat memperburuk keletihan.

Perubahan ginjal dapat terjadi pada RVF dan LVF tetapi lebih sering
pada LVF. Nokturia terjadi pada tahap awal gagal jantung. Selama siang
hari, klien dapat duduk tegak, aliran darah jauh dari ginjal dan pembentukan
urine berkurang. Pada malam hari, pembentukan urine meningkat karena
aliran darah ke ginjal membaik. Nokturia dapat mengganggu pola tidur,
yang dapat berkontribusi pada keletihan. Seiring dengan penurunan curah
jantung, penurunan aliran darah ke ginjal dapat menyebabkan oliguria,
suatu manifestasi gagal jantung.

The New York Heart Association (NYHA) Functional Classification (AHA,


2017).

Kelas Gejala Pasien

10
I Tidak ada batasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak
menyebabkan kelelahan yang tidak semestinya, palpitasi,
dyspnea (sesak napas).

II Sedikit keterbatasan aktivitas fisik. Nyaman


beristirahat. Aktivitas fisik yang biasa menyebabkan kelelahan,
palpitasi, dyspnea (sesak napas).

III Ditandai membatasi aktivitas fisik. Nyaman


beristirahat. Kurang dari aktivitas biasa menyebabkan
kelelahan, palpitasi, atau dyspnea.

IV Tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun tanpa rasa tidak


nyaman. Gejala gagal jantung saat istirahat. Jika aktivitas fisik
dilakukan, ketidaknyamanan meningkat.

D. ANATOMI FISIOLOGI.
Sistem kardiovaskular terdiri dari jantung, pembuluh darah utama yang
masuk atau keluar langsung dari jantung, dan jaringan pembuluh darah perifer
yang lebih luas. Jantung manusia adalah organ berotot, berukuran kepalan tangan
seseorang (Ignatavicius & Workman, 2013). Berat Jantung sekitar 300 gram
dan terletak di bawah dan sedikit di sebelah kiri garis tengah sternum di
mediastinum, sebagian rongga dada yang juga terdapat trakea dan
pembuluh darah utama. Bagian atas jantung adalah dasarnya, dan
ujungnya adalah puncaknya (Black & Hawks, 2009).
Setiap denyut jantung memompa sekitar 60 mL darah. Saat
istirahat jantung memompa 5.000 ml atau 5 L / menit (curah jantung).
Selama aktivitas fisik yang berat, ia dapat melipatgandakan jumlah darah yang
dipompa untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi tubuh yang meningkat.
Jantung dilindungi oleh lapisan jaringan endokardium (jaringan endotel),
miokardium (otot jantung), dan epikardium/perikardium (fibrosa & serosa)
(Tao & Kendall, 2013) . Dinding muskular (septum) memisahkan jantung
11
menjadi dua bagian: kanan dan kiri (Ignatavicius & Workman, 2013). Yang
terbagi menjadi empat ruang untuk memudahkan pergerakan darah selama
siklus jantung. Di sisi kanan jantung, darah terdeoksigenasi dari sirkulasi
vena kembali melalui inferior dan superior vena cava langsung ke atrium
kanan. Dari situ mengalir melalui katup trikuspid ke ventrikel kanan.
Kemudian darah dipompa dari ventrikel kanan melalui katup pulmonal ke
pulmonary trunk dan pulmonary arteri ke kapiler paru-paru, dimana karbon
dioksida dan oksigen dipertukarkan. Pada saat bersamaan, di sisi kiri
jantung, darah beroksigen kembali dari paru-paru melalui vena pulmonalis
ke atrium kiri. Kemudian mengalir ke ventrikel kiri melalui katup mitral dan
dipompa dari ventrikel kiri melalui katup aorta ke aorta asendens dan
sirkulasi sistemik (Nicholson, 2007).
Darah bergerak dari aorta ke seluruh sirkulasi sistemik ke berbagai
jaringan tubuh. Tekanan darah di aorta pada orang dewasa muda rata-rata
sekitar 100 sampai 120 mmHg, sedangkan tekanan darah di atrium kanan
rata-rata sekitar 0 sampai 5 mmHg. Perbedaan tekanan ini menghasilkan
gradien tekanan, dengan darah mengalir dari area tekanan tinggi hingga area
tekanan rendah. Struktur jantung dan vaskular bertanggung jawab untuk
mempertahankan tekanan ini (Ignatavicius & Workman, 2013).
Otot jantung menerima darah untuk memenuhi kebutuhan
metaboliknya melalui sistem Arteri koroner. Arteri koroner berasal dari
daerah di aorta tepat di luar katup aorta. Semua arteri koroner yang memberi
makan jantung kiri berasal dari arteri koroner utama kiri (LCA). Cabang
koroner kanan (RCA) bercabang dari aorta untuk menyempurnakan jantung
kanan dan dinding inferior jantung kiri (Ignatavicius & Workman, 2013).
Aliran darah arteri koroner ke miokardium terjadi terutama selama diastol,
ketika resistensi vaskular koroner diminimalkan. Untuk menjaga aliran
darah yang adekuat melalui arteri koroner, tekanan arteri rata-rata (MAP
[Mean Arteri Pressure]) harus minimal 60 mmHg. MAP antara 60 dan 70
mmHg diperlukan untuk mempertahankan perfusi organ tubuh utama,
seperti ginjal dan otak (Ignatavicius & Workman, 2013).

12
Sistem Kardiovaskuler dapat di gambarkan sebagai Model pompa
(jantung) dan Perangkat pipa (pembulu darah mendistribusikan oksigen,
nutrien dan substansi lainnya ke jaringan tubuh seraya menghilangkan
produk-sampingan metabolik dari dalam jaringan tubuh (Tao & Kendall,
2013). Sifat elektrofisiologis otot jantung bertanggung jawab untuk mengatur
denyut jantung (HR [heart rate]) dan irama. Sel otot jantung memiliki
karakteristik otomatisitas, rangsangan (eksitabilitas), konduktivitas,
kontraktilitas, dan refraktori (masa refaker) (Black & Hawks, 2009;
Ignatavicius & Workman, 2013). Sistem konduksi adalah jaringan saraf
khusus yang bertanggung jawab untuk menciptakan dan mengangkut
impuls listrik, atau potensial aksi (Lewis et al., 2014).
Ketika jantung berkontraksi (sistol ventrikel) dan relaksasi (diastole
ventrikel), kedua sisi jantung biasanya terkoordinasi untuk berkontraksi
secara bersamaan. Dua bilik atas (atria) berkontraksi sedikit sebelum dua
bilik bawah (ventrikel) untuk memudahkan mengisi ventrikel dengan darah
sebelum kontraksi mereka. Proses pergerakan darah melalui jantung dikenal
sebagai siklus jantung dan setiap siklus biasanya memakan waktu kurang
dari satu detik sampai selesai (Nicholson, 2007). Siklus jantung secara normal
dimulai dengan depolarisari spontan oleh sel peacemaker nodus SA dan
diakhiri pengisian ventrikel yang terelaksasi (Black & Hawks, 2009).
Hasil dari siklus jantung adalah dikeluarkannya darah ke dalam
sirkulasi paru dan sistemik. Ini berakhir dengan repolarisasi ketika sel serat
kontraktil dan sel-sel jalur konduksi mendapatkan kembali kondisi
terpolarisasi mereka. Sel otot jantung memiliki mekanisme kompensasi yang
membuat mereka tidak responsif atau refrakter terhadap restimulasi selama
potensi aksi. Selama kontraksi ventrikel, ada periode refraktori absolut
dimana otot jantung tidak merespons rangsangan apapun. Setelah periode
ini, otot jantung secara bertahap memulihkan rangsangannya, dan periode
refrakter relatif terjadi pada diastol awal (Lewis et al., 2014).
Sistem Mekanik. Depolarisasi memicu aktivitas mekanis. Sistol,
kontraksi miokardium, menyebabkan dikeluarkannya darah dari ventrikel.
Relaksasi miokardium, diastole, memungkinkan pengisian ventrikel (Lewis

13
et al., 2014). Curah jantung (CO; Cardiac Output) adalah volume darah yang
dipompa oleh masing-masing ventrikel dalam 1 menit. Pada akhir diastolik
ventrikel, masing-masing ventrikel berisi sekitar 140 ml (end diastolic velume
[EVD]). Normalnya selama sistolik, jantung mengeluarkan sekitas setengah
dari jumlah tersebut. Jumlah yang dikeluarkan oleh ventrikel pada satu kali
kontraksi (deyut jantung) disebut volume sekuncup (SV [stroke volume])
(Black & Hawks, 2009; Lewis et al., 2014).
Hal ini dihitung dengan mengalikan jumlah darah yang dikeluarkan
dari ventrikel dengan setiap detak jantung - volume stroke (SV/stroke volume)
dan denyut jantung (HR/heart rate) per menit:

CO = SV X HR
Untuk orang dewasa normal saat istirahat, CO dipertahankan pada
kisaran 4 sampai 8 L / menit dan meningkat sebanyak lima hingga enam
kali lipat saaat exercise (Tao & Kendall, 2013). Para klinisi menggunakan
Indeks jantung (CI [Cardiac indeks]) untuk mengetahui curah jantung pada
individu yang berbrdah ukuran tubuhnya. Indeks jantung adalah CO dibagi
oleh luas permukaan tubuh (BSA). CI menyesuaikan CO dengan ukuran
tubuh. CI normal adalah 2,8 sampai 4,2 L per menit per meter kuadrat (L /
menit / m2) (Black & Hawks, 2009; Lewis et al., 2014). Isi sekuncup
bervariasi secara langsung dengan fungsi kontraktilitas serta preload dan
bervariasi terbalik dengan afterload. Faktor-faktor yang meningkatkan
komsumsi O2 : peningkatan afterload, peningkatan kontraktilitas,
peningkatan frekuensi jantung (HR), peningkatan ukuran jantung (Tao &
Kendall, 2013).

E. PENATALAKSANAAN MEDIS.
Pilihan pengobatan bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan kondisi pasien
dan mungkin termasuk pengobatan oral dan IV, perubahan gaya hidup utama,
oksigen tambahan, implantasi alat bantu, dan pendekatan bedah, termasuk
transplantasi jantung (Smeltzer et al., 2010). Mengelola pasien dengan gagal
jantung termasuk menyediakan komprehensif pendidikan dan konseling kepada
pasien dan keluarga. Penting agar pasien dan keluarga memahami sifat gagal

14
jantung dan pentingnya partisipasi mereka dalam rezimen pengobatan.
Rekomendasi gaya hidup termasuk pembatasan natrium diet; menghindari
asupan cairan yang berlebihan, alkohol, dan merokok; pengurangan berat badan
bila diindikasikan; dan olahraga teratur. Pasien harus mengetahui bagaimana
mengenali tanda dan gejala yang perlu dilaporkan ke profesional perawatan
kesehatan (Smeltzer et al., 2010).
Terapi Melalui Obat-Obatan atau Farmakologis
Beberapa obat diresepkan secara rutin untuk gagal jantung sistolik, termasuk
penghambat ACE, beta-blocker, diuretik, dan digitalis. Dosis target untuk obat
ini diidentifikasi dalam pedoman AHA / ACC, dan perawat dan dokter bekerja
sama untuk mendapatkan dosis obat yang efektif ini (Albert, 2006 dalam
Smeltzer et al., 2010).
1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE Inhibitor)
ACE inhibitor memainkan peran penting dalam pengelolaan gagal jantung
sistolik. Hal ini untuk meringankan tanda dan gejala gagal jantung dan
secara signifikan menurunkan angka kematian dan morbiditas. ACE
Inhibitor (misalnya lisinopril [Prinivil, Zestril]) memperlambat
perkembangan gagal jantung, memperbaiki toleransi olahraga, dan
mengurangi jumlah rawat inap untuk gagal jantung (Institute for Clinical
Systems Improvement [ICSI], 2006 dalam Smeltzer et al., 2010). Tersedia
sebagai obat oral dan IV, ACE inhibitor mempromosikan vasodilatasi dan
diuresis dengan menurunkan afterload dan preload. Dengan melakukannya,
mereka mengurangi beban kerja jantung. Vasodilatasi mengurangi resistansi
terhadap pengeluaran darah ventrikel kiri, mengurangi beban kerja jantung
dan memperbaiki pengosongan ventrikel. Dalam mempromosikan diuresis,
ACE inhibitor menurunkan sekresi aldosteron, hormon yang menyebabkan
ginjal mempertahankan sodium dan air. Penghambat ACE merangsang
ginjal untuk mengeluarkan natrium dan cairan (sambil mempertahankan
kalium), sehingga mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri dan
mengurangi kongesti paru. Penghambat ACE mungkin merupakan obat
pertama yang diresepkan untuk pasien pada gagal ringan-pasien dengan
kelelahan atau DOE tapi tanpa tanda kelebihan cairan dan kongesti paru.

15
Agen ini juga direkomendasikan untuk pencegahan gagal jantung pada
pasien yang berisiko (Hunt, et al., 2005 dalam Smeltzer et al., 2010).
Penghambat ACE dimulai dengan dosis rendah yang meningkat setiap 2
minggu sampai dosis optimal tercapai dan pasien stabil secara
hemodinamik. Dosis pemeliharaan terakhir tergantung pada tekanan darah
pasien, status cairan, dan status ginjal, serta tingkat keparahan gagal jantung
(Smeltzer et al., 2010).
Pasien yang menerima inhibitor ACE dipantau untuk hipotensi,
hipovolemia, hiperkalemia, dan perubahan fungsi ginjal, terutama jika
mereka juga menerima diuretik. Hipotensi kemungkinan besar akan
berkembang dari terapi ACE inhibitor pada pasien yang berusia lebih dari 75
tahun dan pada mereka dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg atau
kurang, kadar natrium serum lebih rendah dari 135 mEq / L, atau gagal
jantung berat. Menyesuaikan dosis atau jenis diuretik sebagai respons
terhadap tekanan darah pasien dan fungsi ginjal dapat berlanjut peningkatan
dosis inhibitor ACE (Smeltzer et al., 2010). Karena ACE inhibitor
menyebabkan ginjal mempertahankan kalium, pasien yang juga menerima
diuretik mungkin tidak perlu mengkonsumsi suplemen potassium oral.
Namun, pasien yang menerima diuretik potasium hemat (yang tidak
menyebabkan kehilangan potassium dengan diuresis) harus dipantau secara
hati-hati untuk hiperkalemia, peningkatan kadar potassium dalam darah.
Sebelum inisiasi inhibitor ACE, keadaan hiperkalemik dan hipovolemik
harus diperbaiki. Penghambat ACE dapat dihentikan jika kadar potasium
tetap lebih besar dari 5,5 mEq / L atau jika kreatinin serum meningkat
(Smeltzer et al., 2010).
Efek samping lain dari ACE inhibitor termasuk batuk kering dan
persisten yang mungkin tidak merespons supresan batuk. Namun, batuk
juga bisa mengindikasikan memburuknya fungsi ventrikel dan kegagalan.
Jarang, batuk mengindikasikan angioedema. Jika angioedema
mempengaruhi daerah oropharyngeal dan mengganggu pernapasan, ACE
inhibitor harus segera dihentikan (Smeltzer et al., 2010). Jika pasien tidak
dapat terus menggunakan inhibitor ACE karena perkembangan batuk,

16
tingkat kreatinin yang meningkat, atau hiperkalemia, penghambat reseptor
angiotensin II (ARB) atau kombinasi hydralazine dan isosorbide dinitrate
ditentukan (Smeltzer et al., 2010).
2. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Meskipun tindakan ARB berbeda dengan inhibitor ACE, ARB
(misalnya valsartan [Diovan], losartan) memiliki efek hemodinamik yang
serupa: penurunan tekanan darah, penurunan tahanan vaskular sistemik,
dan peningkatan curah jantung (ICSI, 2006 dalam Smeltzer et al., 2010).
Sedangkan ACE inhibitor memblokir konversi angiotensin I menjadi
angiotensin II, ARB memblokir efek angiotensin II pada reseptor angiotensin
II. Penghambat ACE dan ARBs juga memiliki efek samping yang serupa:
hiperkalemia, hipotensi, dan disfungsi ginjal. ARB diresepkan sebagai
alternatif penghambat ACE, terutama bila pasien tidak dapat mentolerir
inhibitor ACE karena batuk (Smeltzer et al., 2010).
3. Hydralazine and Isosorbide Dinitrate
Kombinasi hydralazine dan isosorbide dinitrate dapat menjadi alternatif lain
bagi pasien yang tidak dapat menggunakan inhibitor ACE (Hunt, et al., 2005
dalam Smeltzer et al., 2010). Nitrat (misalnya, isosorbid dinitrat)
menyebabkan pelebaran vena, yang mengurangi jumlah darah yang kembali
ke jantung dan menurunkan preload. Hydralazine menurunkan resistensi
vaskular sistemik dan afterload ventrikel kiri. Kombinasi obat ini juga
dianjurkan dalam panduan gagal jantung (Smeltzer et al., 2010).

4. β- Blockers
Beta-blocker, seperti carvedilol (Coreg) dan metoprolol (Lopressor, Toprol),
bisoprorol (zabetaditemukan mengurangi mortalitas dan morbiditas pada
pasien HF dengan mengurangi efek samping dari stimulasi konstan sistem
saraf simpatik (mis; peningkatan HR) (Lewis et al., 2014). Beta-blocker secara
rutin diresepkan selain inhibitor ACE, diuretik, dan digitalis (ICSI, 2006
dalam Smeltzer et al., 2010). Selain itu, mereka telah direkomendasikan
untuk pasien dengan disfungsi sistolik asimtomatik, seperti yang mengalami

17
penurunan fraksi injeksi, untuk mencegah timbulnya gejala gagal jantung
(Smeltzer et al., 2010).
Beta-blocker dapat menghasilkan sejumlah efek samping dan
berpotensi memperburuk gejala gagal jantung. Efek sampingnya paling
umum terjadi pada beberapa minggu awal pengobatan. Efek samping yang
paling sering terjadi adalah pusing, hipotensi, dan bradikardia. Karena efek
samping ini, beta-blocker dimulai pada dosis rendah dan hanya setelah
pasien stabil dan euvolemik (yaitu, keadaan volume normal). Dosisnya
dititrasi perlahan (setiap 2 minggu), dengan pemantauan ketat setelah setiap
kenaikan dosis. Jika gejala gagal jantung meningkat selama fase titrasi,
pilihan pengobatan meliputi peningkatan dosis diuretik, mengurangi dosis
inhibitor ACE, atau menurunkan dosis beta-blocker (Smeltzer et al., 2010).
Tiga β-blocker disetujui untuk digunakan pada pasien HF: carvedilol
(Coreg), bisoprolol (Zebeta), dan metoprolol CR / XL (Toprol XL) (Lewis et
al., 2014). Pemakaian obat ini mungking berbahaya pada pasien diabetes
yang mendapatkan terapi insulin (Tao & Kendall, 2013).
5. Diuretics
Diuretik diresepkan untuk menghilangkan kelebihan cairan ekstraselular
dengan meningkatkan kadar urine yang dihasilkan pada pasien dengan
tanda dan gejala kelebihan cairan (Smeltzer et al., 2010). Jika kelebihan cairan
ekstraselular dikeluarkan, volume darah yang kembali ke jantung bisa
berkurang dan fungsi jantung meningkat (Lewis et al., 2014). Dari jenis
diuretik yang diresepkan untuk pasien dengan edema dari gagal jantung,
tiga paling umum terjadi: penguraian loop, thiazide, dan potassium-sparing
diuretik (diuretik hemat kalium) (Tao & Kendall, 2013). Obat-obat ini
diklasifikasikan menurut situs tindakan mereka di ginjal dan pengaruhnya
terhadap ekskresi dan reabsorpsi elektrolit ginjal (Smeltzer et al., 2010).
Loop diuretik, seperti furosemid (Lasix), menghambat reabsorpsi
natrium dan klorida terutama pada lingkaran ascending ansa Henle. Pasien
umumnya diobati dengan diuretik loop pertama (HFSA, 2006) (Smeltzer et
al., 2010). Diuretik thiazide, seperti metolazone (Zaroxolyn), menghambat
reabsorpsi natrium dan klorida pada tubulus distal awal sehingga

18
meningkatkan ekskresi natrium dan air (Lewis et al., 2014). Kedua kelas
diuretik ini meningkatkan ekskresi potasium; Oleh karena itu, pasien yang
diobati dengan obat ini harus memiliki kadar potassium serum yang diteliti
dengan cermat. Obat dari masing-masing kelas ini dapat digunakan untuk
pasien dengan gagal jantung berat yang tidak responsif terhadap diuretik
tunggal (Smeltzer et al., 2010).
Diuretik mungkin paling efektif jika pasien mengasumsikan posisi
telentang selama 1 atau 2 jam setelah meminumnya. Kebutuhan akan
diuretik dapat dikurangi jika pasien menghindari asupan cairan yang
berlebihan (misalnya lebih dari 2 qt / hari) dan mematuhi diet rendah
sodium (misalnya kurang dari 2 g / hari) (Smeltzer et al., 2010). Diuretik
efektif dalam menghilangkan gejala gagal jantung kongestif. Namun,
penggunaannya memang mengaktifkan sistem saraf simpatik dan RAAS,
yang bisa memperburuk sindrom gagal jantung. Pada gagal jantung kronis
dosis efektif diuretik terendah harus digunakan (Lewis et al., 2014).
Spironolakton (Aldactone) dan eplerenone (Inspra) adalah antagonis
aldosteron (Lewis et al., 2014). Spironolakton (Aldactone) adalah diuretik
hemat kalium yang menghalangi (memblokir efek neurohormonal
berbahaya) efek aldosteron di tubulus distal akhir (Tubulus koligents) dan
duktus pengumpul (duktus koligens). Telah ditemukan efektif dalam
mengurangi angka kematian dan morbiditas pada pasien dengan gagal
jantung sedang sampai berat (ICSI, 2006) (Smeltzer et al., 2010). Tingkat
kreatinin dan kalium serum sering dipantau (misalnya, dalam minggu
pertama dan kemudian setiap 4 minggu) saat obat ini pertama kali diberikan.
Efek samping diuretik meliputi ketidakseimbangan elektrolit,
hipotensi simtomatik (terutama dengan overdiuresis), hiperurisemia
(menyebabkan asam urat), dan ototoxicity. Tipe dan dosis diuretik yang
ditentukan tergantung pada tanda dan gejala klinis dan fungsi ginjal.
Pemantauan pasien yang cermat dan penyesuaian dosis diperlukan untuk
menyeimbangkan keefektifan obat ini dengan efek samping. Diuretik
diberikan IV untuk eksaserbasi gagal jantung bila diperlukan diuresis cepat.
Diuretik memperbaiki gejala pasien, asalkan fungsi ginjal memadai (ICSI,

19
2006). Seiring perkembangan gagal jantung, mungkin ada penurunan fungsi
ginjal yang dikenal sebagai sindrom kardiorenal. Pasien dengan sindrom ini
resisten terhadap diuretik dan mungkin memerlukan intervensi lain untuk
mengatasi gejala dan gejala kongestif (Varughese, 2007) (Smeltzer et al.,
2010).
6. Digitalis
Bentuk digitalis yang paling umum diresepkan untuk pasien dengan gagal
jantung adalah digoxin (Lanoxin). Sampai saat ini, obat ini dianggap sebagai
agen penting untuk pengobatan gagal jantung, namun dengan munculnya
obat baru, obat ini mungkin atau mungkin tidak diresepkan. Digoksin
meningkatkan kekuatan kontraksi miokard (tindakan inotropik) dan
memperlambat konduksi melalui nodus atrioventrikular (Tao & Kendall,
2013). Ini meningkatkan kontraktilitas, memungkinkan pengosongan
ventrikel lebih lengkap mengurangi volume yang tersisa di ventrikel selama
diastol, yang juga meningkatkan diuresis (Smeltzer et al., 2010; Lewis et al.,
2014). Meskipun penggunaan digitalis tidak mengakibatkan penurunan
tingkat kematian di antara pasien gagal jantung, hal ini efektif dalam
mengurangi gejala gagal jantung sistolik dan dapat membantu mencegah
rawat inap (ICSI, 2006). (Smeltzer et al., 2010).
Perhatian utama yang terkait dengan terapi digitalis adalah toksisitas
digitalis (meningkat pada keadaan hipokalemia) (Tao & Kendall, 2013).
Pasien diamati untuk indikasi bahwa terapi digitalis efektif: mengurangi
dyspnea dan ortopnea, penurunan cracles paru pada auskultasi, pereda
edema perifer, penurunan berat badan, dan peningkatan toleransi aktivitas.
Tingkat potassium serum diukur pada interval karena efek digoksin
ditingkatkan dengan adanya hipokalemia dan toksisitas digoksin dapat
terjadi. Tingkat digoksin serum diperoleh jika ada perubahan pada fungsi
ginjal atau gejala pasien (Smeltzer et al., 2010).
7. Calcium Channel Blockers
Penghambat saluran kalsium generasi pertama, seperti verapamil (Calan),
nifedipin (Procardia), dan diltiazem (Cardizem), dikontraindikasikan pada
pasien dengan gagal jantung sistolik karena mekanisme kerjanya

20
menyebabkan dilatasi arteriola dan penurunan resistensi vaskular sistemik
(Tao & Kendall, 2013). Walaupun dapat digunakan pada pasien dengan
gagal jantung diastolic (ICSI, 2006). Amlodipin (Norvasc) dan felodipin
(Plendil), yang merupakan penghambat saluran kalsium dihydropyridine,
menyebabkan vasodilatasi, mengurangi resistensi vaskular sistemik. Mereka
dapat digunakan untuk memperbaiki gejala, terutama pada pasien dengan
kardiomiopati non-iskemik (Smeltzer et al., 2010).
8. Intravenous Infusions
Nesiritide. Nesiritide (Natrecor), BNP yang dibuat dengan menggunakan
teknologi rekombinan, diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung
dekompensasi akut. BNP diproduksi oleh myocardium yang gagal untuk
memasang respons kompensasi dengan adanya tuntutan miokard, termasuk
peningkatan tekanan diastolik ventrikel akhir, tekanan dinding miokard, dan
peningkatan pelepasan neurohormon (misalnya norepinephrine, renin,
aldosteron) yang terjadi pada gagal jantung. Secara khusus, BNP mengikat
otot polos pembuluh darah dan sel endotel, menyebabkan pelebaran arteri
dan vena. Ini juga menekan hormon neurohormon yang bertanggung jawab
untuk retensi cairan, sehingga mendorong diuresis. Hasilnya dikurangi
preload dan afterload dan ditingkatkan SV (Fontana, 2006). Nesiritide
menyebabkan peningkatan cepat pada gejala gagal jantung. Ini dapat
digunakan untuk merawat pasien rawat inap dengan eksaserbasi akut atau
untuk mencegah eksaserbasi pada pasien rawat jalan bila diberikan sebagai
serangkaian infus IV intermiten. Efek samping yang paling umum adalah
hipotensi terkait dosis (Smeltzer et al., 2010).
Milrinone Milrinone (Primacor) adalah inhibitor phosphodiesterase
yang menunda pelepasan kalsium dari waduk intraselular dan mencegah
pengambilan kalsium ekstraselular oleh sel. Hal ini mendorong vasodilatasi,
sehingga terjadi penurunan preload dan afterload dan mengurangi beban
kerja jantung. Milrinone diberikan secara intravena jika pasien belum
menanggapi terapi lainnya. Efek samping utamanya adalah hipotensi,
disfungsi gastrointestinal, peningkatan disritmia ventrikel, dan jarang terjadi

21
penurunan jumlah trombosit. Tekanan darah dipantau secara ketat selama
dan setelah infus milrinone (Smeltzer et al., 2010).
Dobutamin merupakan obat yang sangat bermanfaat pada gagal
jantung karena pengasilan efek pemicu beta yang kuat didalam
miokardium, meningkatkan denyut jantung, konduksi antrivenrtikuler dan
kontraktilitas miokardium (Black & Hawks, 2009). Dobutamin (Dobutrex)
adalah obat IV yang diberikan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri
dan hipoperfusi yang signifikan. Katekolamin, dobutamin merangsang
reseptor beta-1-adrenergik. Tindakan utamanya adalah untuk meningkatkan
kontraktilitas jantung (Smeltzer et al., 2010).
Dopamin adalak ketokolamin alami dengan aktivitas alfa adrenergik,
beta adrenergik dan dopaminegik (Black & Hawks, 2009). Dopamin
diberikan pada dosis kecil ( <1 mcg/kg/menit). Namun, pada dosis tinggi,
ini juga meningkatkan denyut jantung dan dapat memicu denyut ektopik dan
takiprhythmias. Karena itu juga meningkatkan konduksi atrioventrikular,
perawatan harus dilakukan pada pasien yang memiliki fibrilasi atrium yang
mendasari. IV inotropes seperti dobutamine dan milrinone dicadangkan
untuk pasien dengan disfungsi ventrikel berat, yang harus dipantau terus
menerus melalui EKG (Smeltzer et al., 2010) Vasodilatasi pada ginjal
bermanfaat karena akan memperbaiki laju filtrasi glomelurus, keluarag urine
dan ekskresi natrium. Jika dopamin diberikan dalam dosis yang lebuh besar,
akan menghasilkan takikardia dan disitrimia sehingga tidak lazim digubakan
pada gagal jantung dekompensasi (Black & Hawks, 2009).
Obat lain untuk Gagal Jantung
Antikoagulan mungkin diresepkan, terutama jika pasien memiliki riwayat
atrial fibrillation atau tromboembolic event. Obat yang mengelola
hiperlipidemia (misalnya statin) juga secara rutin ditentukan untuk populasi
gagal jantung (Albert, 2006). Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) seperti
ibuprofen (Motrin) harus dihindari karena mengurangi perfusi ginjal,
terutama pada orang tua (Smeltzer et al., 2010).
Terapi Gizi

22
Diet rendah sodium (2 sampai 3 g / hari) dan menghindari minum cairan
dalam jumlah berlebihan biasanya dianjurkan. Pembatasan diet natrium
mengurangi retensi cairan dan gejala kemacetan perifer dan paru-paru.
Tujuan pembatasan natrium adalah untuk mengurangi jumlah volume darah
yang beredar, yang menurunkan kerja miokard. Keseimbangan perlu dicapai
antara kemampuan pasien untuk mematuhi diet dan pembatasan diet yang
dianjurkan. Setiap perubahan dalam diet perlu dilakukan dengan
mempertimbangkan nutrisi yang baik serta pola kesukaan, ketidaksukaan,
dan budaya konsumen. Kepatuhan pasien penting karena ketidakadekuatan
makanan dapat menyebabkan eksaserbasi parah pada gagal jantung yang
memerlukan rawat inap (Albert, 2005). Namun, perubahan perilaku di daerah
ini sulit bagi banyak pasien (Smeltzer et al., 2010).
Terapi Tambahan :
Oksigen Tambahan
Terapi oksigen membantu memasok kebutuhan oksigen pada jaringan. Pada
gagal jantung ringan, oksigen bisa dikirim melalui kanula atau masker
diberikan untuk mengurangi hipoksia dan dispnea dan untuk memperbaiki
pertukaran oksigen dan karbondioksida (Black & Hawks, 2009). Untuk kasus
yang lebih parah, nilai gas darah arterial mengarahkan pengiriman oksigen,
baik melalui masker yang memberikan konsentrasi oksigen tinggi atau
dengan ventilasi mekanis (Williams, 2007). Kebutuhan didasarkan pada
tingkat kongesti paru dan hipoksia yang dihasilkan (Smeltzer et al., 2010).
Untuk hipoksemia, masker pernapasan ulang parsial dengan laju aliran 8 –
10 L/M dapat digunakan unutk menghantar konsentrasi 40%-70% (Black &
Hawks, 2009). Beberapa pasien memerlukan oksigen tambahan hanya selama
periode aktivitas (Smeltzer et al., 2010). Jika metode ini tidak meningkatkan
tekanan arterial oksigen (PaO2) di atas 60 mmhg, klien dapat membutuhkan
intubasi dan manajemen ventilasi (Black & Hawks, 2009).
Intervensi Lainnya
Sejumlah prosedur dan pendekatan bedah dapat bermanfaat bagi pasien
dengan gagal jantung. Jika pasien memiliki penyakit arteri koroner yang
mendasari, revaskularisasi arteri koroner dengan intervensi koroner perkutan

23
atau operasi bypass arteri koroner dapat dipertimbangkan. Fungsi ventrikel
bisa membaik pada beberapa pasien saat aliran koroner meningkat (Smeltzer
et al., 2010).
Pasien dengan gagal jantung berisiko tinggi mengalami disritmia. Kematian
jantung mendadak adalah penyebab umum kematian di antara pasien dengan
gagal jantung lanjut (Jensen, Galvin, Thompson, et al., 2007). Pada pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri berat dan kemungkinan disritmia yang
mengancam jiwa, penempatan defibrilator cardioverter implan (ICD) dapat
mencegah kematian jantung mendadak dan memperpanjang kelangsungan
hidup (Ezekowitz, Rowe, Dryden, et al., 2007 dalam Smeltzer et al., 2010).
Pada pasien dengan gagal jantung yang tidak membaik dengan terapi
standar, terapi sinkronisasi jantung (CRT) adalah pengobatan lain yang
mungkin bermanfaat. CRT melibatkan penggunaan alat pacu jantung
biventrikular untuk mengobati cacat konduksi listrik. Cabang kiri blok
bundel, jenis konduksi tertunda yang sering terlihat pada pasien dengan
gagal jantung, menghasilkan konduksi dan kontraksi dyssynchronous dari
ventrikel kanan dan kiri, yang selanjutnya dapat menurunkan EF (Jensen, et
al., 2007). Penggunaan alat pacu dengan mengarah ke atrium kanan, ventrikel
kanan, dan vena jantung ventrikel kiri dapat menyinkronkan kontraksi
ventrikel kanan dan kiri. Intervensi ini telah terbukti memperbaiki curah
jantung, mengoptimalkan konsumsi energi miokard, mengurangi regurgitasi
mitral, dan memperlambat proses remodeling ventrikel. Untuk pasien
terpilih, ini menghasilkan lebih sedikit gejala dan status fungsional meningkat
(Saul, 2007 dalam Smeltzer et al., 2010).
Ultrafiltrasi merupakan intervensi alternatif untuk pasien dengan
kelebihan cairan yang parah. Kateter sentral IV lumen tengah digunakan,
yang bisa berupa kateter sentral yang disisipkan secara perifer atau kateter
tengah atau tengah, dan darah pasien disebarkan melalui mesin di samping
tempat tidur kecil. Liter cairan berlebih dan plasma dikeluarkan perlahan dari
volume beredar intravaskular pasien selama beberapa jam. Cairan ini
kemudian dibuang, dan produk darah yang disaring dikembalikan ke pasien

24
(Constanzo, Saltzberg, O'Sullivan, et al., 2005; Soat, 2008; Walsh &
Wagemester, 2007 dalam Smeltzer et al., 2010).
F. KOMPLIKASI.
1. Komplikasi Gagal Ventrikel Kiri.
Edema paru akut suatu keadaan darurat, biasanya terjadi akibat LVE Pada
klien dengan dekompensasi jantung berat, tekanan kapiler di dalam paru
menjadi sangat meningkat karena cairan didorong dari darah sirkulasi ke
interstitium dan kemudian ke alveoli, bronkiolus, dan bronkus. Hasil dari
edema paru jika tidak diterapi adalah kematian karena sulit bernapas. Klien
dengan edema paru mengalami kekurangan cairan. Manifestasi yang
dramatis edema paru akut yang ditampilkan pada Pemantauan Kritis akan
menakutkan klien dan keluarganya.
2. Gagal Ventrikel Kanan
Eedema perifer dan kongesti vena pada organ akan terjadi Jika terjadi
penurunan fungsi ventrikel kanan. Pembesaran hati (hepatomegali) dan
nyeri abdomen dapat terjadi ketika hati mengalami kongesti terbendung
dengan darah vena. Jika hal ini terjadi dengan cepat, peregangan kapsul hati
dapat menyebabkan rasa tidak nyaman yang parah. Klien dapat mengalami
rasa sakit yang menetap atau nyeri tajam di kuadran kanan atas. Pada gagal
jantung kronis, sakit perut biasanya menghilang. Pada RVF berat, lobulus
hati dapat menjadi sangat terbendung oleh darah vena sehingga menjadi
anoksik. Anoksia akan menyebabkan nekrosis lobulus. Pada gagal jantung
jangka panjang, area nekrotik ini menjadi fibrotik dan sklerotik. Sebagai
hasilnya, terjadi suatu kondisi yang disebut sirosis kardiak, ditandai dengan
asites dan ikterus.
Pada gagal jantung kronis, peningkatan beban jantung dan kerja ekstrem
pernapasan meningkatkan kebutuhan metabolik tubuh. Anoreksia, nausea,
dan perut kembung terjadi sekunder karena kongesti saluran
gastrointestinal.
G. PROGNOSIS
Menurut Black dan Hawks (2014), komplikasi gagal jantung dibedakan
menjadi dua pada gagal jantung ventrikel kiri dapat berdampak nyata pada

25
paru akibat, bendungan progresif darah dalam sirkulasi paru. Terjadinya
penebalan dinding alveoli akibat penimbunan cairan, menyebabkan 12
cairan yang berlimpah masuk kedalam rongga alveoli sehingga dapat terjadi
edema paru. Lalu dapat berdampak pada ginjal akibat pengurangan curah
jantung dan volume darah arteri berakibat perubahan aliran darah ginjal.
Sedangkan pada otak dapat menyebabkan terjadinya hipoksia serebral dapat
menimbulkan berbagai gejala penyakit seperti tidak tenang, hilang ingatan,
bahkan dapat berlanjut menjadi koma. Pada gagal jantung ventrikel kanan
akan dibebani oleh peningkatan tahanan dalam sirkulasi paru, dilatasi
jantung mengenai ventrikel dan atrium kanan. Jika terjadi penurunan fungsi
ventrikel kanan, akan menyebabkan edema perifer dan kongesti vena pada
organ.
H. TEST DIAGNOSTIK.

Gagal Jantung mungkin tidak terdeteksi sampai pasien menunjukkan tanda


dan gejala edema paru dan perifer. Namun, tanda fisik yang mengarah ke
gagal jantung juga bisa terjadi pada penyakit lain, seperti gagal ginjal dan
COPD. Penilaian fungsi ventrikel merupakan bagian penting dari
pemeriksaan diagnostik awal (Smeltzer et al., 2010).
Elektrokardiogram (EKG) untuk menilai ritme jantung dan pembesaran di
atrium akibat gagal jantung ditunjukkan oleh perubahan gelombang P,
gelombang Q, ST Segment abnormal, left bundle branch block (LBBB), left
ventricular hypertrophy dan peningkatan tegangan pada ventrikel kiri oleh
gelombang S yang lebih dalam pada beberapa lead V (Smeltzer et al., 2010;
Humphreys, 2013).
1. Ekokardiografi Doppler transthoracic adalah tes standar emas untuk
diagnosis gagal jantung: deskripsi fungsi sistolik ventrikel kiri
keseluruhan bersamaan dengan kelainan gerak dinding, penilaian fungsi
diastolik, pengukuran ketebalan dinding ventrikel kiri, Penilaian doppler
terhadap penyakit katup yang signifikan, perkiraan tekanan sistolik arteri
pulmonalis, jika memungkinkan (Smeltzer et al., 2010).

26
2. Spirometri, Penilaian dan evaluasi fungsi paru berguna untuk
menyingkirkan penyakit paru-paru sebagai penyebab sesak napas
(Smeltzer et al., 2010).
3. X-ray dada, menunjukkan ukuran, bentuk, pembesaran jantung
(kardiomegali) dan kongesti di pembuluh darah paru, oedem pulmonal
dan dapat mengidentifikasi penyebab noncardiac dari gejala pasien
(Smeltzer et al., 2010; Humphreys, 2013). Pada gagal ventrikel kiri
menunjukan adanya siluet jantung yang melebar. Efusi pleura dapat
terjadi dan secara umum dapat mencerminkan gagal ventrikel
biventrikuler (Black & Hawks, 2009).
4. Latihan stress testing dan studi pencitraan nuklir memberikan informasi
tentang toleransi aktivitas, yang biasanya terbatas pada gagal jantung
(Smeltzer et al., 2010).
5. Pemeriksaan laboratorium yang biasanya dilakukan selama pemeriksaan
awal meliputi elektrolit serum, Blood nitrogen urea (BUN), kreatinin,
hormon perangsang tiroid, jumlah sel darah lengkap, glucosa, HDL, LDL
dan urinalisis rutin (Smeltzer et al., 2010; Humphreys, 2013). Analisa Gas
darah dapat dilakukan pada gagal jantung awal dengan edema paru yang
menyebabkan alkalosis respiratorik akibat hiperventilasi. Seiring dengan
perkembangan penyakit, dan oksigenasi menjadi lebih terganggu terjadi
asidosis (Black & Hawks, 2009).
6. Pemeriksaan Biomarker. peptida natriuretik serum (tipe-B natriuretik
peptida [BNP] atau peptida natriuretik N-terminal ntomateptik
[NTproBNP]) adalah indikator diagnostik utama gagal jantung; tingkat
tinggi adalah tanda tekanan pengisian jantung yang tinggi dan dapat
membantu diagnosis gagal jantung (Gagal Jantung Masyarakat Amerika
[HFSA], 2006). Hasil penelitian laboratorium ini membantu dalam
menentukan penyebab utamanya dan juga dapat digunakan untuk
menetapkan garis dasar untuk menilai efek pengobatan (Smeltzer et al.,
2010). Namun, penting untuk mengenali bahwa tingkat peptida
natriuretik meningkat seiring bertambahnya usia dan kerusakan ginjal,
lebih tinggi pada wanita, dan dapat meningkat pada gagal jantung yang

27
tepat dari penyebab apapun. Tingkat dapat sangat rendah pada pasien
obesitas dan dapat menormalkan beberapa pasien setelah perawatan
yang tepat. Saat ini, pengukuran serial BNP adalah tidak
direkomendasikan sebagai panduan terapi gagal jantung (Harrison, 2013).
Rekomendasi Biomarker untuk Pencegahan: Data baru menunjukkan
bahwa skrining biomarker peptida natriuretik dan Intervensi awal dapat
mencegah terjadinya gagal jantung (Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B,
Butler J, Casey DE Jr, Colvin MM, Drazner MH, Filippatos GS, Fonarow
GC, Givertz MM, Hollenberg SM, Lindenfeld J, Masoudi FA, McBride PE,
Peterson PN, Stevenson LW, 2017). Tes tekanan jantung atau kateterisasi
jantung dapat dilakukan untuk menentukan apakah penyakit arteri
koroner dan iskemia jantung menyebabkan gagal jantung (Smeltzer et al.,
2010).

BAB III

TINJAUAN KASUS

A. PENERAPAN TEORI KEPERAWATAN SELF CARE (Dorothea E. Orem)

28
Gambar 1. Konsep Teori Orem (Risnah & Irwan, 2021)

“Keperawatan merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang


diselenggarakan untuk memberikan perawatan langsung kepada orang-
orang yang benar-benar memiliki kebutuhan perawatan langsung akibat
gangguan kesehatan mereka atau secara alamiah mereka yang membutuhkan
perawatan kesehatan (Orem,2001) sebagaimana dikutip dalam (Alligood,
2017). Pengalaman dalam bidang Keperawatan dengan mengidentifikasi
objek atau fokus yang tepat merupakan sumber utama untuk ide-ide konsep
Orem tentang keperawatan dimana merangsang pemikiranya yaitu “kondisi
seperti apa yang ada dalam diri seseorang ketika dibutuhkan seorang
perawat dalam situasi tersebut? (Orem,2001) sebagaimana dikutip dalam
(Alligood, 2017). Orang atau individu akan menunjukan kondisi dimana
perlunya bantuan keperawatan adalah ketika orang tersebut tidak mampu
memberikan perawatan diri sendiri yang diperlukan karena situasi kesehatan
pribadi mereka (Alligood, 2017).
Teori Keperawatan defisit perawatan diri terdiri atas empat teori yang
saling terkait (Alligood, 2017), yaitu :
1. Teori perawatan diri.

29
Teori perawatan diri menjelaskan bahwa setiap individu melakukan
perawatan secara mandiri yaitu mengapa dan bagaimana perawatan
itu dilakukan. Perawatan diri merupakan tindakan yang dilakukan
oleh seseorang dengan tujuan mempertahankan hidup, memfungsikan
kesehatan, melanjutkan pengembangan pribadi dan kesejahteraan
dengan syarat pemenuhan yang dikenal untuk pengaturan fungsional
dan perkembangan guna mendewasakan diri dalam kerangka waktu
dan atas nama mereka sendiri.
2. Teori ketergantungan perawatan
Teori ketergantungan perawatan menjelaskan bahwa orang-orang
yang mengalami ketergantungan secara sosial dapat diberikan
perawatan oleh anggota keluarga dan/atau teman-teman dari orang
tersebut. Ketergantungan perawatan merupakan bantuan perawatan
yang diberikan kepada seseorang untuk mempertahankan hidup,
memfungsikan kesehatan, melanjutkan pengembangan pribadi dan
kesejahteraan orang tersebut yang dikarenakan ketidakmampuannya
dalam melakukan perawatan diri oleh karena usia atau faktor yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
3. Teori defisit perawatan diri
Teori defisit perawatan diri menjelaskan dimana keperawatan dapat
membantu perawatan diri bagi orang-orang yang mengalami
ketidakmampuan dalam pemenuhannya. Defisit perawatan diri
merupakan hubungan antara agen perawatan diri dengan tuntutan
perawatan diri teraputik dari individual, dimana individu tersebut
dinyatakan dalam sebuah konsep abstrak seperti keterbatasan
tindakan, panduan dalam memilih metode bantuan yang diberikan,
dan peran pasien dalam memahami perawatan diri.
4. Teori sistem keperawatan
Teori sistem keperawatan menjelaskan dan menggambarkan bahwa
untuk menghasilkan keperawatan harus membentuk dan memelihara
suatu hubungan didalamnya.
a. Sistem yang mengkompensasi sepenuhnya (Total).

30
Dalam pemberian perawatan pada defisit perawatan diri untuk
sistem yang mengkompensasi sepenuhnya dapat dilihat dalam
bagan berikut :

Membantu Menyelesaikan perawatan


diri yg dibutuhkan

Tiindakan
Memberikan kompensasi terhadap
perawat
ketidakmampuan pasien dalam
keterlibatan perawatan diri

Melakukan dukungan dan juga


melindungi pasien

b. Sistem yang mengkompensasi sebagaian (parsial).


Dalam pemberian perawatan pada defisit perawatan diri
untuk sistem yang mengkompensasi sebagian dapat dilihat
dalam bagan berikut :

Perawatan diri untuk


Keterbatasan perawatan diri
pasien dilakukkan
pasien dikompensasi.
beberapa langkah
Membantu kebutuhan pasien
sesuai yg diperlukan

Tiindakan
perawat Melakukan bebarapa
langkah perawatan diri
Tiindakan
Mengatur agen perawatan pasien
31
Menerima perawatan dan
bantuan dari perawat

c. Sistem mendukung-edukatif (mandiri)


Dalam pemberian perawatan pada defisit perawatan diri
untuk sistem yang mendukung-edukatif dapat dilihat dalam
bagan berikut :

Menyelesaikan
perawatan diri
Tiindakan
Tiindakan pasien
perawat
Mengatur latihan dan
pengembangan agen
perawatan diri

Syarat Perawatan Diri


Syarat perawatan diri merupakan wawasan yang dinyatakan dan
dirumuskan dimana tindakan harus dilakukan dan juga diketahui karena
diperlukan untuk fungsi dan aspek pengembangan dalam kondisi tertentu
dan secara terus menerus. Ada tiga syarat perawatan diri (Alligood, 2017)
yaitu :

1. Syarat perawatan diri Universal.


Berikut syarat umum perawatan diri bagi pria, wanita, dan anak-anak
yang disarankan agar diketahui dan divalidasi dalam tahap lingkaran
kehidupan :
a. Udara yang cukup.
b. Makanan yang cukup.
c. Air yang cukup.
d. Eliminasi dan kotoran.

32
e. Keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
f. Keseimbangan antara kesendirian dan interaksi sosial.
g. Pencegahan bahaya untuk kehidupan manusia, fungsi manusia, dan
kesejahteraan umat manusia.
h. Promosi perkembangan dan fungsi manusia dalam kelompok-
kelompok sosial yang sesuai dengan potensi manusia, keinginan
manusia dan keterbatasan manusia untuk menjadi normal. Normal
yang dimaksud adalah kondisi dalam arti sesuai dengan
konstitusional dan karakteristik bakat-bakat individu.
2. Syarat perawatan diri Perkembangan.
Syarat pereawatan diri perkembangan berbeda dengan syarat perawatan
diri universal yang teridentifikasi menjadi 3 hal yaitu :
a. Mempromosikan perkembangan.
b. Keterlibatan dalam perkembangan diri.
c. Penanggulangan atau pencegahan efek-efek dari kondisi manusia dan
situasi kehidupan yang bisa memengaruhi perkembangan manusia
secara negatif.
3. Syarat perawatan diri Penyimpangan Kesehatan.
Syarat perawatan diri Penyimpangan kesehatan ditujukan bagi orang-
orang atau individu yang mengalami sakit atau terluka, kondisi khusu
atau gangguan secara patologis, termasuk juga disabilitas dan defek, dan
berada dibawah diagnosis atau pengobatan medis.

Hubungan Penerapan Teori Self Care Orem pada Pasien dengan Gagal
Jantung Kongestif.
Berdasarkan teori perawatan diri Dorothea E. Orem, supportive
educative system adalah sistem yang membantu pasien dimana dalam
kaitannya dengan pengambilan keputusan, kontrol perilaku, dan
pengetahuan serta memperoleh keterampilan. Namun, tingkat dan jenis
bantuan atau perawatan yang diperlukan dapat bervariasi. Beberapa
pasien mampu melaksanakan perilaku perawatan diri akan tetapi
membutuhkan bimbingan dan dukungan, sementara yang lain hanya

33
membutuhkan pendidikan. Pasien gagal jantung mampu melakukan
perawatan diri tetapi mereka membutuhkan pendidikan tentang aspek
yang berbeda dari prilaku perawatan diri yang lebih terapeutik
dibandingkan pasien-pasien lainnya. Pasien dengan gagal jantung yang
telah menerima pendidikan management diri dan dukungan keluarga
(social support) menjadi lebih patuh dalam melakukan diet rendah
sodium, dibandingkan dengan mereka yang hanya menerima pendidkan
managemen diri. Berdasarkan hasil penelitian bahwa intervensi
kelompok supportive educative system yang diberikan pada keluarga atau
pendamping pasien dengan gagal jantung efektif secara signifikan dalam
mengurangi beban perawatan, serta dapat meningkatkan kemampuan
dan kepercayaan diri bagi keluarga atau pendamping pasien dan pada
akhirnya dapat mengurangi kekambuhan dan lamanya perawatan di
rumah sakit.
Kemampuan self care pasien gagal jantung mempunyai peranan
sangat penting dalam mempengaruhi kualitas hidup penderita.
Perubahan self care akan searah dengan perubahan kualitas hidup. Faktor-
faktor yang mempengaruhi self care tidak hanya faktor fisiologis
(penurunan kapasitas fungsional) tetapi juga faktor lain seperti faktor
pengetahuan, kondisi psikologis (kecemasan), dukungan sosial, peran
penderita dalam keluarga dan sosial ekonomi. Self care mempengaruhi
kualitas hidup melalui proses belajar (learning proccess) dan perbaikan
respon fisiologis. Responden yang memiliki kemampuan self care yang
baik, lebih memahami cara perawatan dan hal yang harus dilakukan
untuk mengatasi stress fisik dan psikologis yang dihadapi (Laksmi, 2020).

B. PENGKAJIAN
1. Pemeriksaan Fisik.
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan gagal jantung akan didapatkan gejala
klinis sebagai berikut:
a. Kriteria major
- Paroksismal nocturnal dyspnea

34
- Distensi vena leher
- Ronki Paru
- Kardio Megali
- Edema paru akut
- Gallop S3
- Peninggian vena jugularis
- Refluks hepatojugular
b. Kriteria minor
- Edema ekstremitas
- Batuk malam hari
- Dispnea d'effort
- Hepatomegali
- Efusi pleura
- Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
- Takikardia (>120/menit)
c. Major atau minor
- Penurunan BB > 45 kg dalam 5 hari pengobatan
- Diagnose gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2
kriteria minor
(Sudoyo Aru, dkk 2009)
Pada anak dan bayi:
a. Takikardi (denyut jantung >160 kali menit pada anak umur dibawah 12
bulan, dan >120 kali/menit pada umur 12 bulan-5 tahun
b. Hepatomnegali, peningkatan tekanan vena jugularis dan edema perifer
{tanda kongesti)
c. Irama derap dengan crakles/ronki pada basal paru
d. Pada bayi napas cepat atau berkeringat, terutama saat diberi makanan; pada
anak yang lebih tua edema kedua tungkai, tangan atau muka, atau
pelebaran vena leher
e. Telapak tangan sangat pucat terjadi bila gagal jantung disebabkan oleh
anemia
(BS pelayanan kesehatan anak di RS)

35
Klasifikasi fungsional gagal jantung menurut New York Heart Association
(NYHA)
Kelas I : Tidak ada keterbatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak
menyebabkan keletihan atau dispnea.
Kelas II : Sedikit keterbatasan fisik. Merasa nyaman saat istirahat, tetapi
aktivitas fisik biasa menyebabkan keletihan atau dyspnea
Kelas III : Keterbatasan nyata aktivitas fisik tanpa gejala. Gejala terjadi
bahkan saat istirahat. Jika aktivitas fisik dilakukan; gejala
meningkat.
Kelas IV : Tidak mampu melaksanakan aktivitas fisik tanpa gejala. Gejala
terjadi bahkan pada saat istirahat, jika aktivitas fisik dilakukan
gejala meningkat.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektro kardioigram (EKG)
Hipertropi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia.
takikardi, fibrilasi atrial.
b. Uji stress
Merupakan pemeriksaan non invasif yang bertujuan untuk menentukan
kemungkinan iskemia atau infark yang terjadi sebelumnya.
c. Ekokardiografi
- Ekokardiografirmodel M (berguna untuk mengevaluasi volume balik dan
kelainan regional, model M paling sering dipakai dan ditayangkan
bersama EKG)
- Ekokardiografi dua dimensi (CT-scan)
- Ekokardiografi Doppler (memberikan pencitraan dan pendekatan
transesofageal terhadap jantung)
d. Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal
lantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katup atau insufisiensi.
e. Radiografi dada
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi
atau hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal

36
f. Elektrolit
Mungkin berubah karena perpindahan cairan / penurunan fungsi ginjal,
terapi diuretic
g. Oksimetri nadi
Saturasi oksigen mungkin rendah, terutama jika gagal jantung kongestif
akut menjadi kronis.
h. Analisa gas darah (AGD)
Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkaliosis respiratori ringan (dini) atau
hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir)
i. Blood Ureum Nitrogen (BUN) dan Kreatinin
Peningkatan BUN menunjukkan penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik
BUN dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal
j. Pemeriksaan tiroid
Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid sebagai pre
pencetus gagal jantung

37
Hipertensi Peradangan dan
sistemik/pulmonal aterosklerosis penyakit
miokardium
Penyakit jantung lain
seperti stenosis katup
semiluner
WOC
Terganggunya

Peningkatan tahanan
aliran darah Gagal Jantung
vaskuler Merusak Kongestif
sistemik/pulmonal Suplai O2 ke serabut otot Pengosongan
jantung jantung atrium
menurun terhambat
Peningkatan
afterload Kontraktilias
Hipoksia Penurunan preload
miokardium
jantung
abnormal
Aktivasi renin
Peningkatan beban Metabolisme
kerja jantung COP menurun
anaerob

Angiotensin 1
Hipertrofi serabut Timbunan asam Kompensasi
otot jantung laktat Keb. O2 ↑ pada
tubuh
sel Angiotensin 2

asidosis
Beban kerja Respon sistem saraf simpatis dan Vasokonstriksi Sekresi
jantung ↑ peningkatan katekolamin vaskuler aldosteron
Abnormalitas
elektrolit
Jantung bekerja
lebih keras HR ↑
Reabsorbsi
cairan ↑
Memperpendek waktu pengisian
ventrikel dan arteri coroner

TD meningkat ↑

Injuri Miokard
Kegagalan mekanisme pemompaan

38
Iskemik miokard >30 menit

GAGAL JANTUNG KONGESTIF Infark mikard


Curah jantung ↓ GFR ↓ Kongesti pulmonalis

Ekskresi Na+ dan H2O ↓


Hipertrofi ventrikel Tekanan hidrostatik ↑

Pemendekan miokard Urine output dan volume


Tekanan osmotik ↑
plasma ↓ dan tekanan
hidrostatik ↑
Pemendekan miokard

Cairan merembes ke
Hipervolemi
alveoli
Pengisian ventrikel kiri ↓

Preload/ aliran tidak Penumpukan cairan di


Dan otak
adekuat ke jantung alveoli paru

Resti tingkat
Penurunan curah hujan kesadaran
Gangguan pertukaran
gas

Resti tingkat ggg


Penurunan suplai O2 perfusi jaringa
ke miokardium
Edema paru

Hipoksia jaringan
miokard ↑ Perubahan Pengembangan paru
metabolisme tidak optimal
miokardium
Iskemia miokardium

Pola napas tidak efektif


infark miokardium Nyeri Dada
39
Nyeri
Syok kardiogenik
kematian
C. KASUS NYATA
Seorang pasien Tn. F berumur 67 tahun datang ke UGD RSUD Pangkep pada
tanggal 14 Februari 2022 jam 11.20. Pasien datang dengan keluhan sesak napas
yang dialami sejak 1 minggu yang lalu. Riwayat Kesehatan: stroke iskemik,
Hipertensi, dan Diabetes Melitus. Keluhan lain yang menyertai dapat dijabarkan
sebagai berikut :
Data subjektif

 Klien mengeluh sesak


 Klien mengeluh batuk
 Klien mengeluh sesak bertambah jika berbaring
 Klien mengeluh cepat lelah bahkan pada saat istirahat

Data objektif

 Pasien tampak pucat


 Tampak bibir agak kebiruan
 Tampak pasien gelisah
 Tampak napas cuping hidung
 Teraba akral dingin
 TD: 110/70 mmhg
 Nadi: 64 x/i
 Sesak Rr: 32 x/i
 Suhu : 36,3◦
 SPO2 : 88%
 CRT > detik
 Diaforesis
 Udem pada tungkai bawah
 Distensi vena jugularis

Pemeriksaan rontgen

cardiomegaly, edema paru


40
Hasil laboratorium

Ureum : 69 mg/dL

Creatinin : 1,6 mg/dL

SGOT : 61 mg/dL

SGPT : 17 mg/dL

WBC : 11,8 mg/dL

Elektrolit :

 Natrium :147 mmol/L


 Kalium : 3,1 mmol/L
 Chloride : 105 mmol/L

Penatalaksanaan Medis

- Infus Nacl 0,9% 1000cc/ 24 jam/iv


- Inj. Lansoprazole 30g/24 jam/ iv
- Ceftriaxone 1gr/ 12jam/ iv
- Furosemide 20mg/ 12jam/ iv
- Oral : Spirinolacton 25mg/ 24 jam/ oral
Digoxin 0,25mg/ 24 jam/oral
Notisil 2 mg/24 jam/ oral

ANALISA DATA

N DATA ETIOLOGI PROBLE

41
O. M
Data subjektif
1. Perubahan Penurun
 Klien mengeluh sesak preload an curah
 Klien mengeluh batuk jantung
 Klien mengeluh sesak
bertambah jika berbaring
 Klien mengeluh cepat
lelah bahkan pada saat
istirahat
Data objektif
 Pasien tampak pucat
 Teraba akral dingin
 TD: 110/70 mmhg
 Nadi: 64 x/i
 Sesak Rr:32 x/i
 Suhu : 36,3◦
 SPO2 : 88%
 CRT > detik
 Udem pada tungkai
bawah
 Distensi vena jugularis
 Rontgent : cardiomegaly,
edema paru
Data subjektif
2. Ketidakseim Ganggua
 Klien mengeluh sesak bangan n
 Klien mengeluh batuk ventilasi- pertukar
 Klien mengeluh sesak perfusi an gas
bertambah jika berbaring
 Klien mengeluh cepat
lelah bahkan pada saat

42
istirahat
Data objektif
 Pasien tampak pucat
 Tampak bibir agak
kebiruan
 Tampak pasien gelisah
 Tampak napas cuping
hidung
 Teraba akral dingin
 TD: 110/70 mmhg
 Nadi: 64 x/i
 Sesak Rr: 32 x/i
 Suhu : 36,3◦
 SPO2 : 88%
 CRT > detik

Diaforesis
Data subjektif
3. Ketidakseim Intoleran
 Klien mengeluh sesak bangan si
 Klien mengeluh cepat antara suplai aktifitas
lelah bahkan pada saat dan
istirahat kebutuhan
Data objektif oksigen.
 Pasien tampak pucat
 Tampak bibir agak
kebiruan
 Tampak pasien gelisah
 Tampak napas cuping
hidung
 Teraba akral dingin
 TD: 110/70 mmhg

43
 Nadi: 64 x/i
 Sesak Rr: 32 x/i
 Suhu : 36,3◦
 SPO2 : 88%
 CRT > detik
 Diaforesis
 Udem pada tungkai
bawah

44
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN CHF

No Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


Penurunan curah jantung b/d PERAWATAN JANTUNG (I.02075)
1 Curah jantung (L.02008)
perubahan preload
Yaitu keadekuatan jantung Yaitu mengidentifikasi, merawat dan membatasi
(D.0008)
memompa darah untuk memenuhi komplikasi akibat ketidak seimbangan antara suplai
Yaitu Ketidakadekuatan
kebutuhan metabolisme tubuh. dan komsumsi oksigen miocard.
jantung memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan Setelah dilakukan intervensi Observasi
metabolisme tubuh selama 3 x 24 jam, maka curah
jantung diharapkan meningkat,.  Identifikasi tanda/gejala primer Penurunan
Dibuktikan dengan :
curah jantung (meliputi dispenea, kelelahan,
Data subjektif Di tandai dengan:
adema ortopnea paroxysmal nocturnal dyspenea,
 Klien mengeluh sesak 1. Pasien mengatakan sesak
peningkatan CPV)
 Klien mengeluh batuk menurun jika berbaring dan
 Identifikasi tanda /gejala sekunder penurunan
 Klien mengeluh sesak aktivitas duduk
curah jantung (meliputi peningkatan berat
bertambah jika 2. Pasien mengatakan rasa
badan, hepatomegali ditensi vena jugularis,
berbaring lelahnya mulai menurun
palpitasi, ronkhi basah, oliguria, batuk, kulit
 Klien mengeluh cepat 3. Kekuatan nadi perifer
pucat)
lelah bahkan pada saat meningkat
 Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah
istirahat 4. Tidak terjadi distensi vena
45
Data objektif jugularis ortostatik, jika perlu)
 Pasien tampak pucat  Monitor intake dan output cairan
5. Pasien tidak pucat/sianosis
 Teraba akral dingin  Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang
6. Akral hangat sama
 TD: 110/70 mmhg
 Nadi: 64 x/i 7. Tidak edema  Monitor saturasi oksigen
 Monitor keluhan nyeri dada (mis. Intensitas,
 Sesak Rr:32 x/i 8. TTV batas normal
lokasi, radiasi, durasi, presivitasi yang
 Suhu : 36,3◦
 TD mengurangi nyeri)
 SPO2 : 88%
 RR  Monitor EKG 12 sadapoan
 CRT > detik
 Monitor aritmia (kelainan irama dan frekwensi)
 Udem pada tungkai  Saturasi
 Monitor nilai laboratorium jantung (mis.
bawah  Suhu Elektrolit, enzim jantung, BNP, Ntpro-BNP)
 Distensi vena jugularis
9. CRT < 3 detik  Monitor fungsi alat pacu jantung
 Rontgent :
 Periksa tekanan darah dan frekwensi nadi
cardiomegaly, edema
sebelum dan sesudah aktifitas
paru
 Periksa tekanan darah dan frekwensi nadi
sebelum pemberian obat (mis. Betablocker,
ACEinhibitor, calcium channel blocker, digoksin)

Terapeutik

46
 Posisikan pasien semi-fowler atau fowler
dengan kaki kebawah atau posisi nyaman
 Berikan diet jantung yang sesuai (mis. Batasi
asupan kafein, natrium, kolestrol, dan makanan
tinggi lemak)
 Gunakan stocking elastis atau pneumatik
intermiten, sesuai indikasi
 Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi
hidup sehat
 Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stres,
jika perlu
 Berikan dukungan emosional dan spiritual
 Berikan oksigen untuk memepertahankan
saturasi oksigen >94%

Edukasi

 Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi


 Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
 Anjurkan berhenti merokok
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat
47
badan harian
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake
dan output cairan harian

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu


 Rujuk ke program rehabilitasi jantung.

2 Gangguan pertukaran gas Pertukaran gas (L.01003) Pemantauan Respirasi (1.01014)


b/d Ketidakseminbangan
Yaitu oksigenasi atau eliminasi Yaitu Mengumpulkan dan menganalisis data untuk
ventilai-perfusi. (D.0003)
karbondiksida pada membran memastikan kepatenan jalan napas dan keefektifan
Yaitu kelebihan atau alveolus-kapiler dalam batas pertukaran gas
kekurangan oksugenasi normal.
Observasi
dan eliminasi
Setelah dilakukan intervensi
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
karbondiksida pada
keperawatan selama 3x 24 jam,
upaya napas.
membran alveolus-kapiler.
maka status kenyamanan
 Monitor pola napas (seperti bradipnea,
meningkat dengan kriteria hasil :
takipnea, hiperventilasi, Kussmaul,
Dibuktikan dengan : 1. Tingkat kesadaran
CheyneStokes, Biot, ataksik).
Data subjektif meningkat
 Monitor kemampuan batuk efektif - Monitor

48
 Klien mengeluh sesak 2. Dyspnea menurun adanya sumbatan jalan napas.
 Klien mengeluh batuk
3. Bunyi napas tambahan  Palpasi kesimetrisan ekspansi paru.
 Klien mengeluh sesak
menurun
bertambah jika  Auskultasi bunyi napas.

berbaring 4. Pusing menurun .


 Monitor saturasi oksigen.
 Klien mengeluh cepat 5. Penglihatan kabur
 Monitor nilai AGD
lelah bahkan pada saat menurun
 Monitor hasil x-ray toraks
istirahat
6. Diaphoresis menurun
Data objektif Terapeutik
7. Gelisah menurun
 Pasien tampak pucat  Atur interval pemantauan respirasi sesuai
 Tampak bibir agak 8. Napas cuping hidung
kondisi pasien.
kebiruan menurun
 Dokumtasikan hasil pemantauan
 Tampak pasien gelisah 9. PCO2 membaik
Edukasi.
 Tampak napas cuping
10. PO2 membaik
hidung  Jelaskan tujuan dan prosedur pemantaun.
11. Takikardia membaik
 Teraba akral dingin  Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.
 TD: 110/70 mmhg 12. pH arteri membaik
TERAPI OKSIGEN (1.01026)
 Nadi: 64 x/i 13. Sianosis membaik
Yaitu Memberikan tambahan oksigen untuk
 Sesak Rr: 32 x/i 14. Pola napas membaik
mencegah dan mengatasi kondisi kekurangan
 Suhu : 36,3◦

49
 SPO2 : 88% 15. Warna kulit membaik oksigen jaringan.
 CRT > detik
Observasi
 Diaforesis
 Monitor kecepatam aliran oksigen.

 Monitor posisi alat terapi oksigen.

 Monitor aliran oksigen secara periodic dan


pastikan fraksi yang diberikan cukup.

 Monitor efektifitas terapi oksigen (mis.


oksimetri, analisa gas darah), jika perlu

 Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat


makan.

 Monitor tanda-tanda hipoventilasi.

 Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen


dan atelectasis.

 Monitor tingkat kecemasan akibat terapi


oksigen.

 Monitor integritas mukosa hidung akibat


pemasangan oksigen

50
Terapeutik

 Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan


trakea, jika perlu - Pertahankan keptenan jalan
napas.

 Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen.

 Berikan oksigen tambahan, jika perlu.

 Tetap erikan oksigen saat pasien ditransportasi

 Gunakan perangkat oksigen yang sesuai


dengan tingkat mobilitas pasien

Edukasi

 Ajarkan pasien dan keluarga cara


menggunakan oksigen di rumah.

Kolaborasi.

 Kolaborasi penentuan dosis oksigen.

 Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas


dan/atau tidur

3 Intoleransi aktifitas bd/ Toleransi aktivitas (L.05047) Menajement energi (I.05178)

51
ketidakseimbangan antara Yaitu: Respon fiologis terhadap Yaitu mengidentifikasi dan mengelola penggunaan
suplai dan kebutuhan aktivitas yang membutuhkan energi untuk mengatasi atau mencegah kelelahan
oksigen. tenaga. dan mengoptimalkan proses pemulihan

( D.0056) Setelah dilakukan intervensi


Observasi
selama 3 x 24 jam, maka toleransi
Yaitu ketidakcukupan
aktivitas meningkat,  Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
energi untuk melakukan
kelelahan
aktivitas sehari-hari. Kriteria hasil:
 Pantau kelelahan fisik dan emosional
Dibuktikan dengan : a. Kemidahan melakukan
 Monitor pola dan jam tidur
Data subjektif aktifitas sehari-hari
 Monitor lokasi dan selama melakukan aktivitas
 Klien mengeluh sesak meningkat

 Klien mengeluh cepat Terapeutik


b. Kekuatan tubuh bagian
lelah bahkan pada saat atas meningkat
 Sediakan lingkungan nyaman dan rendah
istirahat
c. Kekuatan tubuh bagian stimulus (mis. cahaya, suara, kunjungan)
Data objektif
bawah menungkat  lakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif
 Pasien tampak pucat
d. Keluhan lelah menurun.  Berikan gangguan aktivitas yang menyenangkan
 Tampak bibir agak
 Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak
kebiruan e. Dispnea saat aktivitas
dapat berpindah atau berjalan
 Tampak pasien gelisah menurun.

 Tampak napas cuping f. Dispnea setelah aktifitas

52
hidung
menurun
Edukasi
 Teraba akral dingin
g. Perasaan lemah menurun.
 TD: 110/70 mmhg  Anjurkan tirah baring
 Nadi: 64 x/i h. Aritmia saat aktivitas
 Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
menurun.
 Sesak Rr: 32 x/i  Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan
 Suhu : 36,3◦ i. Aritmia setelah aktivitas gejala kelelahan tidak berkurang
 SPO2 : 88% menurun.  Ajarkan strategi koping untuk mengurangi

 CRT > detik j. Sianosis menurun. kelelahan

 Diaforesis
k. Saturasi oksigen menurun Kolaborasi
 Udem pada tungkai
l. Tekanan darah membaik.
bawah  Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
m. Frekuensi respirasi dalam meningkatkan asupan makanan
batas normal
Rehabilitasi Jantung (I:02081)
n. EKG iskemia membaik.
Yaitu mengelola periode pemulihan fungsi jantung
setelah mengalami gangguan yang berakibat pada
ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen
miokard, serta meminimalkan kejadian serangan,
perilaku beresiko dan dampak psikososial.

53
Observasi :

 Monitor tingkat toleransi aktivitas.

 .Periksa kontraindikasi latihan


(takikardi>120x/menit, TDS>180 mmHg,
TTD>110 mmHg.angina, dispnea, gambaran
EKG iskemic, blok atrioventikuler, takikardia
ventrikel).

 Lakukan screning ansietas dan depresi, jika


perlu

Teraupetik

 Fasilitas pasien menjalani latihan fase 1


(inpatient)

 Fasilitas pasien menjalani latihan fase 2


(outpatient)

 Fasilitas pasien menjalani latihan fase 3


(maintanace)

 Fasilitas pasien menjalani latihan fase 4 (long


54
Term)

Edukasi

 Jelaskan rangkaian fase-fase rehabilitasi


jantung

 Anjurkan menjalani latihan sesuai toleransi.

 Anjurkan pasien dan keluarga untuk


modifikasi faktor resiko (mis latihan, diet,
berhenti merokok, menurunkan berat badan)

 Anjurkan pasien dan keluarga mematuhi


jadwal kontrol kesehatan

55
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Gagal Jantung merupakan ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi ke jaringan.
Gagal Jantung seringkali merupakan tahap akhir dari banyak kondisi jantung
lainnya Beberapa hal yang menjadi penyebab meningkatnya masalah gagal
jantung antara lain keberhasilan penanganan terhadap serangan akut miokard
yang berhasil menyelamatkan jiwa tetapi menimbulkan kecacatan yang
menyebabkan gagal jantung disamping karena dipengaruhi oleh pertambahan
usia dan semakin tingginya kejadian infeksi di indonesia yang mengakibatkan
penyakit jantung rematik pasca infeksi streptokokous beta hemolitikus yang
menyebabkan endokarditis serta tuberkolisis.
Penanganan masalah keperawatan pada pasien gagal jantung,
dilakukan dengan Penerapan proses keperawatan dalam pengelolaan pasien
yang baik dalam gangguan sistem kardiovaskuler yaitu dengan menggunakan
pendekatan teori self care menurut Dorothea E. Orem. Teori Self Care
mempengaruhi kualitas hidup pada pasien dengan gagal jantung melalui proses
belajar (learning proccess) dan perbaikan respon fisiologis. Responden yang
memiliki kemampuan self care yang baik, lebih memahami cara perawatan dan
hal yang harus dilakukan untuk mengatasi stress fisik dan psikologis yang
dihadapi.
B. Saran
Sebagai perawat profesional, sudah seharusnya kita dapat memberikan
pelayanan keperawatan yang berkualitas. Karena, perawatan pada pasien gagal
jantung tidak hanya secara fisik/fisiologis saja tetapi perlu memperhatikan
kebutuhan lain agar kualitas hidup pasien dengan gagal jantung menjadi
meningkat. Itu sebabanya, kita selalu diingatkan bahwa setiap tindakan
dilayanan kesehatan selalu menerapkan teori keperawatan berdasarkan para
ahli salah satunya yang dapat diterapkan pada pasien dengan gagal jantung
adalah teori Self Care menurut Dorothea E. Orem.

56
DAFTAR PUSTAKA

AHA. (2017). Classes of Heart Failure.

Alligood, M. R. (2014). Nursing Theorists and Their Work. In Elsevier Mosby (Eighth
edi). Mosby, an imprint of Elsevier Inc.

Alligood, M. R. (2017). Pakar teori keperawatan dan karya mereka edisi 8 (8th ed., Vol. 2).
Elsevier.

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2009). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis
untuk Hasil yand diharapkan (Edisi 8). Elsevier Ltd.

Greenberg, B. H., Barnard, D. D., Narayan, S. M., & Teerlink, J. R. (2010).


Management of Heart Failure. Management of Heart Failure, 741996, 110–111.
https://doi.org/10.1002/9780470669402

Harrison, S. (2013). Cardiovascular Medicine (J. Loscalzo (ed.); 2nd Editio). McGraw-
Hill Education.

Humphreys, M. (2013). Nursing the Cardiac Patient. In Nursing the Cardiac Patient.
https://doi.org/10.1002/9781118785331

Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2013). Medical Surgical Nursing Patient


Centered Collaborative Care Single Volume 7e. Elsevier Ltd.

Lewis, S. L., Ruff, S., Dirksen, Heitkemper, M. M., & Bucher, L. (2014). Medical-
surgical nursing : assessment and management of clinical problems. Elsevier Mosby.

Nicholson, C. (2007). Heart failure : a clinical nursing handbook.

Rahma, H. (2014). Aplikasi teori adaptasi ROY pada pasien dengan ginjal akhir.

Risnah, & Irwan, M. (2021). Falsafah Dan Teori Keperawatan Dalam Integrasi Keilmuan.
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/17880/1/Buku_FALSAFAH DAN TEORI
KEPERAWATAN DALAM INTEGRASI KEILMUAN OK.pdf

Salbiah. (2006). Konsep holistik dalam keperawatan melalui pendekatan model adaptasi
57
sister callista roy. 2, 34–38.

Shives, L. R. (2012). Basic Concepts in Psychiatric-Mental Health Nursing. In


Gastroenterology Nursing (Philadelph, Vol. 18). Wolters Kluwer Health |
Lippincott Williams & Wilkins. https://doi.org/10.1097/00001610-199509000-
00013

Siswanto, B. B. (2012). Accurate diagnoses , evidence based drugs , and new devices ( 3 Ds )
in heart failure. 52–58.

Smeltzer, S. C., Hinkle, J. L., Bare, B. G., & Cheever, K. H. (2010). BRUNNER &
SUDDATH’S Textbook of Medical-Surgical Nursing (Twelfth Ed). Wolters Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins.

Tao, L., & Kendall, K. (2013). Sinopsi Organ Sistem Kardiovaskuler (R. Lefrandt (ed.)).
KARISMA Publising Group.

White, L., Duncan, G., & Baumle, W. (2013). Medical-Surgical Nursing: An Integrated
Approach Third Edition. Delmar, Cengage Learning.

Williams, L. S. (2007). Understanding medical-surgical nursing (THIRD EDIT). F. A.


Davis Company.

Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE Jr, Colvin MM, Drazner MH,
Filippatos GS, Fonarow GC, Givertz MM, Hollenberg SM, Lindenfeld J,
Masoudi FA, McBride PE, Peterson PN, Stevenson LW, W. C. (2017). 2017
ACC / AHA / HFSA Focused Update of the 2013 ACCF / AHA Guideline for
the Management of Heart Failure: a report of the American College of
Cardiology / American Heart Association Task Force on Clinical Practice
Guidelines and the Heart Failure Society. In Circulation (Issue April).
https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000509.

58

Anda mungkin juga menyukai