Anda di halaman 1dari 71

HUBUNGAN KADAR ENZIM SGOT DAN SGPT PADA PENGOBATAN

FASE LANJUT PENDERITA TUBERKULOSIS


DI RSUD BUDHI ASIH

KARYA TULIS ILMIAH


Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar
Ahli Madya Analis Kesehatan

Oleh :
KRESNA BAYU ERLANGGA
1010161054

PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MOHAMMAD HUSNI THAMRIN
JAKARTA
2019
3
ABSTRAK

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang diderita hampir


sepertiga populasi manusia di dunia. Untuk menanggulanginya, WHO
merekomendasikan strategi DOTS yaitu salah satunya pengobatan.
Pengobatan Tuberkulosis diberikan dalam bentuk paket berupa Obat Anti
Tuberkulosis kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Pengobatan TB dalam
jangka panjang dikhawatirkan menimbulkan efek samping pada hati
karena OAT bersifat hepatotoksik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar enzim
SGOT dan SGPT pada pengobatan fase lanjut menggunakan data
sekunder yang didapatkan dari hasil pemeriksaan SGOT dan SGPT pada
penderita Tuberkulosis paru yang mengkonsumsi OAT pada fase lanjut di
RSUD Budhi Asih periode Februari-Juli 2019 sebanyak 150 orang dengan
metode Cross Sectional.
Berdasarkan hasil pemeriksaan pada penderita TB yang
mengkonsumsi OAT pada fase lanjut ditemukan sebanyak 42,7%
penderita TB mengalami peningkatan kadar SGOT dan sebanyak 38%
penderita TB yang mengalami peningkatan SGPT. Hasil menunjukkan
nilai signifikasi sebesar 0,00 (p<0.05), dengan nilai r sebesar 0,428, maka
dapat disimpulkan terdapat hubungan antara kadar SGOT dan SGPT
pada pasien TB yang mengkonsumsi OAT fase lanjut dengan kekuatan
hubungan cukup dan searah.
Hasil pemeriksaan SGOT dan SGPT dapat dijadikan penanda
terhadap efek pengobatan TB selama mengkonsumsi OAT karena sifat
OAT yang hepatotoksik.

Kata kunci : Fase Lanjut, OAT, SGOT, SGPT, Tuberkulosis


Kepustakaan : 23
Tahun : 2010-2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan

karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya tulis ilmiah

yang berjudul “Hubungan Kadar Enzim SGOT dan SGPT Pada

Pengobatan Fase Lanjut Penderita Tuberkulosis Di RSUD Budhi Asih”.

Karya tulis ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan

dalam menyelesaikan program studi Diploma III Analis Kesehatan

Fakultas Kesehatan Universitas MH. Thamrin Jakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyususan Karya Tulis ini telah

banyak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Sediarso, M.Farm, Apt. Selaku Ketua Program Studi DIII

Akademi Analis Kesehatan Fakultas Kesehatan Universitas MH

Thamrin Jakarta.

2. Ibu Dr. Dra. Ellis Susanti, M.M., M.Pd., M.Si., Apt selaku pembimbing

materi yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan dan

arahannya selama bimbingan yang bermanfaat sampai

terselesaikannya penulisan karya tulis ilmiah ini.

3. Bapak Erie Aditia, S.Si selaku dosen pembimbing teknis yang telah

banyak membantu memberikan materi bimbingan, petunjuk dan saran

serta semangat dalam penulisan karya tulis ilmiah ini sehingga Karya

Tulis Ilimah ini dapat selesai dengan baik.

i
4. Pihak Diklat, Rekam medis dan Laboratorium klinik RSUD Budhi Asih

yang telah membantu dalam pengambilan data.

5. Ucapan yang sangat khusus kepada orang tua tercinta Bapak

Budiyanto dan Ibu Indah Karyawati, serta seluruh keluargaku yang

telah memberikan doa, semangat yang tak pernah putus dan

membantu baik secara moral maupun materi sehingga karya tulis ini

dapat terselesaikan.

6. Semua teman-teman mahasiswa Analis Kesehatan angkatan 2016,

khususnya Ankes Kelas A yang selalu mendampingi, berjuang dan

memotivasi selama proses penelitian sampai penyusunan karya tulis

ilmiah ini serta teman seperjuangan saya Amaylia Puspita Hudha yang

telah bersama-sama melewati semua proses perkuliahan yang sangat

berkesan dan takkan terlupakan.

7. Semua pihak pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun

Karya Tulis Ilmiah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh

dari sempurna. Namun penulis berharap semoga Karya Tulis Ilmiah

yang sederhana ini bermanfaat bagi pembaca dan semua pijak .

Jakarta, Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR .......................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................... 4
C. Pembatasan Masalah .................................................... 5
D. Perumusan Masalah ...................................................... 5
E. Tujuan Penelitian ........................................................... 5
F. Manfaat Penelitian ......................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Tuberkulosis ................................................................. 7
1. Definisi ..................................................................... 7
2. Epidemiologi ............................................................ 8
3. Klasifikasi dan Tipe Tuberkulosis ............................ 9
4. Patogenesis ............................................................. 11
5. Faktor Resiko .......................................................... 12
6. Pengendalian TB di Indonesia ................................. 14
7. Diagnosis TB ........................................................... 16
8. Tahapan Pengobatan Tuberkulosis dan
Obat Anti Tuberkulosis ............................................ 21

iii
B. Hati ............................................................................... 24
1. Anatomi ................................................................... 24
2. Enzim Hati ............................................................... 28
3. Pemeriksaan Laboratorium SGOT dan SGPT ......... 31
C. Kerangka Berpikir ......................................................... 32

BAB III METODE PENELITIAN


A. Definisi Operasional...................................................... 33
B. Waktu dan Tempat Penelitian ...................................... 34
C. Populasi dan Sampel ................................................... 34
D. Teknik Pengumpulan Data .......................................... 34
E. Teknik Analisa Data. ..................................................... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil ............................................................................. 37
B. Pembahasan ................................................................ 39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan .................................................................. 42
B. Saran ........................................................................... 43

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 44


LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................................... 47

iv
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
Naskah
1. Jenis, sifat dan dosis OAT ............................................................ 24
2. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan Kadar SGOT Dan SGPT
Pada Penderita Tuberkulosis Di RSUD Budhi Asih
Berdasarkan Nilai Normal dan Abnormal ....................................... 37
3. Distribusi Frekuensi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan
Lamanya Mengkonsumsi OAT Di RSUD Budhi ASIH ................... 38
4. Hubungan Kadar SGOT Dan SGPT Pada Penderita TB Yang
Mengkonsumsi OAT Pada Fase Lanjut ......................................... 38

Lampiran
5. Hasil Pemeriksaan Kadar SGOT dan SGPT Dengan Lamanya
Mengkonsumsi OAT Pada Fase Lanjut Di RSUD Budhi Asih ........ 47
6. Uji Normalitas ................................................................................ 53
7. Uji Korelasi SGOT dan SGPT Dengan Lamanya Mengkonsumsi
OAT ............................................................................................... 53

v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman

Naskah
1. Anatomi Hati ................................................................................. 26

Lampiran
2. Instrumentasi alat ABX Pentra 400 ................................................ 51
3. Surat Tugas Bimbingan KTI ........................................................... 54
4. Surat Izin Pengambilan Data Penelitian di RSUD Budhi Asih ....... 55
5. Surat Balasan Izin Pengambilan Data Rekam Medik Di RSUD
Budhi Asih ..................................................................................... 57
6. Kartu Konsultasi Bimbingan KTI Pembimbing 1 dan 2 .................. 58
7. Kartu Konsultasi Perbaikan Karya Tulis Ilmiah ............................... 59

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang diderita hampir

sepertiga populasi manusia di dunia. Insiden keterjangkitan Tuberkulosis

merupakan permasalahan kesehatan dunia yang cukup serius. Situasi

Tuberkulosis Paru di dunia semakin memburuk dengan jumlah kasus yang

terus meningkat serta banyak yang tidak berhasil disembuhkan (Sari,

Yuniar and Syaripuddin, 2017).

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh

penyakit tersebut. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB

baru dan 3 juta kematian yang disebabkan oleh TB diseluruh dunia.

Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi

di Negara-Negara berkembang (Kemenkes RI, 2011).

Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ketiga

di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan jumlah pasien TB di

Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. TB merupakan

pembunuh nomor satu penyakit menular dan menduduki urutan ketiga dari

10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia (Nurjana, 2015).

Sumber penularan TB adalah pasien BTA positif yang ditularkan

pasien dengan cara batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke

udara dengan bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali dibatukkan

1
2

menghasilkan 3000 percikan dahak. Daya penularan seorang pasien

ditentukan dari banyaknya kuman yang dikeluarkan dari dalam paru.

Makin tinggi derajat kepositifan maka makin besar juga resiko tertular TB

(Kemenkes RI, 2011).

Morbiditas dan mortalitas akibat Tuberkulosis merupakan

permasalahan yang sangat serius terutama akibat permasalahan

timbulnya efek samping akibat penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

(Sari, Yuniar and Syaripuddin, 2017). Saat ini, pengobatan Tuberkulosis

diberikan dalam bentuk paket berupa Obat Anti Tuberkulosis kombinasi

dosis tetap (OAT-KDT) secara umum Isoniazid (H), Etambutol (E),

Rifampisin (R) dan Pirazinamid (P). Efek samping yang paling sering

ditemukan antara lain gangguan pencernaan, neuritis, gangguan

penglihatan, serta gangguan fungsi hati dan fungsi ginjal. Salah satu

resiko hepatotoksik akibat pemberian Obat Anti Tuberkulosis

berhubungan dengan kejadian drug induced hepatitis (Aminah, 2013).

Obat Tuberkulosis isoniazid lebih banyak dilaporkan mempunyai

efek samping hepatotoksisitas, yang kejadiannya bervariasi yaitu antara 1-

30%. Hepatotoksisitas ini ditandai dengan peningkatan baik ringan

maupun berat dari kadar Alanine Transferase (ALT). Pemberian kombinasi

Isoniazid dan Rifampisin juga akan memperbesar risiko hepatotoksisitas

(Aminah, 2013).

Dua macam enzim yang sering dihubungkan dengan kerusakan sel

hati termasuk dalam golongan aminotransferase yakni enzim yang


3

mengkatalisis pemindahan gugus amino secara reversible antara asam

amino dan asam alfa-keto. Aspartat Aminotransferase (AST) atau Serum

Glutamate Oksaloasetat Transaminase (SGOT) menghasilkan reaksi

antara aspartat dan alfaketoglutamat. Alanin aminotransfersase (ALT)

atau Serum Glutamate Piruvat Transaminase (SGPT) menghasilkan

reaksi serupa antara alanin dan asam alfa ketoglutamat. Selain kerusakan

sel hati efek samping obat Tuberkulosis terhadap sistem peredaran darah

dan ginjal yaitu rifampisin, reaksi hipersensitivitasnya dapat berupa

demam, pruritus, urtikaria, berbagai macam kelainan kulit, rasa sakit pada

mulut dan lidah, eosinophilia, hemolisis, hemoglobinuria, hematuria,

insufisiensi ginjal dan gagal ginjal akut. Efek samping dari Isoniazid dan

pyrazinamide yang paling banyak ditemui adalah meningkatnya aktivitas

enzim SGOT daan SGPT, karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan

fungsi hati sebelum pengobatan dengan OAT dimulai dan pemantauan

terhadap transaminase serum dilakukan secara berkala selama

pengobatan berlangsung (Aminah, 2013).

Penelitian tentang SGOT dan SGPT pada pasien TB sebelumnya

telah dilakukan oleh Revi Ariefiani pada periode Januari-Mei 2017 di

RSUD Budhi Asih dengan hasil yang didapatkan untuk hasil Abnormal

SGOT 49% dan SGOT 47%. Pada penelitian ini akan dilakukan penelitian

khusus untuk pasien TB di fase lanjut.

Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa efek samping dari

mengkonsumsi OAT sama dengan efek samping hepatotoksik sehingga


4

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kadar enzim SGOT

dan SGPT pada pasien Tubekulosis yang sudah mendapat terapi obat

anti Tuberkulosis fase lanjut di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Budhi

Asih.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dapat

diidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang diderita hampir

sepertiga populasi manusia di dunia. Insiden keterjangkitan

Tuberkulosis merupakan permasalahan kesehatan dunia yang cukup

serius.

2. Efek samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan prinsip OAT-KDT

dengan waktu yang lama sering menimbulkan berbagai efek samping.

3. Dua macam enzim yang sering dihubungkan dengan kerusakan sel

hati termasuk dalam golongan aminotransferase yakni Enzim SGOT

dan SGPT.
5

C. Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini penulis membatasi masalah pada pemeriksaan

hubungan kadar enzim SGOT dan SGPT pada penderita tuberkulosis

paru yang telah mendapat terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) fase lanjut.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan masalah tersebut, maka rumusan masalah penelitian

adalah Bagaimana hubungan kadar enzim SGOT dan SGPT pada pasien

tuberkulosis paru yang sudah mendapat terapi obat anti tuberkulosis fase

lanjut di RSUD Budhi Asih?

E. Tujuan Penelitian

1.Tujuan Umum

Mengetahui hubungan kadar enzim SGOT dan SGPT pada pasien

tuberkulosis paru yang sudah mendapat terapi obat anti tuberkulosis fase

lanjut di RSUD Budhi Asih.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui persentase kadar SGOT dan SGPT pada penderita TB

yang mengkonsumsi OAT berdasarkan nilai normal dan nilai

normal.

b. Mengetahui persentase kadar SGOT dan SGPT pada penderita TB

berdasarkan nilai normal terhadap lamanya mengkonsumsi OAT.


6

F. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan ilmu dan edukasi serta

manfaat bagi peneliti dalam bidang analis kesehatan di dunia kerja.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap

perkembangan teori kesehatan di Indonesia, khususnya di bidang

analis kesehatan yang membahas kadar SGOT dan SGPT pada

penderita Tuberkulosis paru setelah mendapatkan terapi Obat Anti

Tuberkulosis terutama dalam institusi pendidikan yang dapat

digunakan sebagai bahan referensi.

3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi pengetahuan,

bahan diskusi, dan bahan kajian lanjutan bagi pembaca dan peneliti

selanjutnya.

4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kadar

SGOT dan SGPT pada penderita tuberkulosis paru setelah

mendapatkan terapi Obat Anti Tuberkulosis.

5. Sebagai bahan informasi untuk masyarakat dalam mengkonsumsi

Obat Anti Tuberkulosis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis

1. Definisi

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Karim,

2013).

Mycobacterium tuberculosis

a. Klasifikasi Mycobacterium tuberculosis (Butuan, 2014)

Kingdom : Bacteria

Phylum : Actinobacteria

Ordo : Actinomycetales

Sub Ordo : Corynebacterineae

Family : Mycobactericeae

Genus : Mycobacterium

Spesies : Mycobacterium tuberculosis

b. Morfologi

Morfologi Mycobaterium tuberculosis berbentuk batang halus

berukuran panjang 1-4 µ dan lebar 0,3-0,6 µ, pada pembenihan berbentuk

kokoid, berfilamen, tidak berspora dan tidak bersimpai. Kuman ini tahan

terhadap asam etil alcohol 95% mengandung 3% asam hidroklorat (asam-

7
8

alkohol) dengan cepat dapat menghilangkan warna semua bakteri kecuali

Mycobacterium tuberculosis

Tuberkulosis disebarkan oleh kuman, maka Tuberkulosis dapat

ditularkan dari seseorang ke orang lain. Bila seseorang suspek

Tuberkulosis batuk, maka kuman Tuberkulosis yang ada dalam paru-paru

ikut di batukan keluar dan bila terhisap orang lain maka kuman

Tuberkulosis itu akan ikut pula terhisap dan mungkin akan menimbulkan

penyakit (Utami Ema, 2010).

2. Epidemiologi

Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan penderita

TB tertinggi di dunia setelah India dan China. Indonesia juga menjadi

salah satu negara dengan penularan yang tinggi. Laporan WHO tentang

angka kejadian TB evaluasi selama 3 tahun terakhir ini menunjukan

bahwa kejadian TB Indonesia mencapai 189 per 100.000 penduduk.

Secara global angka kejadian kasus kejadian TB 128 per 100.000

penduduk (Loihala, 2015).

Setiap tahun sekitar 4 juta penderita baru tertular Tuberkulosis.

Artinya setiap tahun di dunia ini akan ada sekitar 8 juta penderita TB paru,

dan akan ada sekitar 3 juta orang meninggal oleh karena penyakit ini.

Ditahun 1990 tercatat ada lebih dari 45 juta kematian di dunia karena

berbagai sebab, dimana 3 juta (7%) terjadi karena kasus TB. Selain itu

25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah terjadi akibat

Tuberkulosis. Tahun 1990 dikawasan Asia Tenggara telah muncul 3,1 juta
9

penderita baru Tuberkulosis dan terjadi lebih dari satu juta kematian akibat

penyakit ini. Pada tahun 2005 di Asia Tenggara ada lebih dari 8,8 juta

penderita baru Tuberkulosis dan lebih dari 1,6 juta kematian (Bakri, 2016).

Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia

merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di

wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB

untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada

tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah

ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213

diantaranya terdeteksi Bakteri Tahan Asam (BTA) positif. Dengan

demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA positif adalah 73 per

100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka

keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan

pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut

merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang

utama (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

3. Klasifikasi dan Tipe Tuberkulosis

a. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru

1) Tuberkulosis Paru Bakteri Tahan Asam (BTA) positif :

Spesimen dahak Sewaktu-Pagi/Pagi-Sewaktu (SP) hasilnya

BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran

Tuberkulosis aktif.
10

2) Tuberkulosis Paru BTA negatif

Pemeriksaan spesimen dahak (SP) hasilnya BTA negatif dan

foto rontgen dada menunjukkan gambaran Tuberkulosis aktif.

Tuberkulosis Paru BTA negatif rontgen positif dibagi

berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu berat dan

ringan. Gambaran bentuk berat bila foto rontgen dada

memperlihatkan kerusakan paru yang luas dan keadaan umum

penderita buruk. Gambaran bentuk ringan bila foto rontgen dada

memperlihatkan sedikit kerusakan paru dan keadaan penderita

baik (Ruswanto, 2010).

3) Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya selaput jantung, selaput otak, selaput jantung, kelenjar

limfe, tulang, pleura, persendian, ginjal, kulit, usus dan lain-lain.

b. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru

Riwayat pengobatan sebelumnya ditentukan berdasarkan tipe

penderita. Ada beberapa tipe penderita yaitu:

1) Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah diobati

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu

bulan (30 dosis harian).

2) Kambuh (Relaps) Adalah penderita Tuberkulosis Paru

sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan Tuberkulosis


11

Paru dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi

berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

3) Pindahan (Tranfer In) Adalah penderita yang sedang mendapat

pengobatan di suatu kota lain, kemudian pindah berobat ke kota

ini.

4) Pengobatan setelah lalai (Default/Drop-out) Adalah penderita

yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan

atau lebih, kemudian datang kembali berobat.

5) Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau

kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan

setelah pengobatan) atau lebih.

6) Kasus kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan

sputum masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang

kategori 2 (Ruswanto, 2010).

4. Patogenesis

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan

kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat

melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan

sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat

kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di

paru, yang mengakibatkan radang di dalam paru. Aliran getah bening

akan membawa kuman TB ke kelenjar getah bening di sekitar hilus paru

yang disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi


12

sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Infeksi

dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari

negatif menjadi positif.

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman

yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler).

Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan

perkembangan kuman Mycobacterium tuberculosis. Meskipun demikian,

beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant

(tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan

perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang

bersangkutan akan menjadi sakit TB. Masa inkubasi yaitu waktu sejak

terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Dari

Tuberkulosis primer ini akan muncul Tuberkulosis post primer, biasanya

pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang

bermacam-macam yaitu Tuberkulosis bentuk dewasa, localized

Tuberculosis, Tuberkulosis menahun dan sebagainya. Bentuk

Tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat,

karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberculosis post primer dimulai

dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus

superior maupun lobus inferior (Muftiani, 2012).

5. Faktor Resiko

Menurut Hiswani dalam Sahat (2010) mengatakan pada

penelitiannya bahwa keterpaparan penyakit TB pada seseorang


13

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti status sosial ekonomi, status gizi,

umur, jenis kelamin dan faktor sosial lainnya.

a. Faktor Sosial Ekonomi

Faktor ini sangat erat kaitannya dengan keadaan rumah, kepadatan

hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat

kerja yang buruk dapat memudahkan penularan TB. Pendapatan

keluarga sangat erat juga dengan penularan TB, karena

pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat memenuhi

syarat-syarat kesehatan.

b. Status Gizi

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat

Besi dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh

seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru.

Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara

miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.

c. Umur

Penyakit TB paling sering ditemukan pada usia muda atau usia

produktif 15-50 tahun. Terjadinya transisi demografi saat ini

menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Usia

lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun,

sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk

penyakit TB.
14

d. Jenis Kelamin

Penderita TB cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan

perempuan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi

karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat

menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah

terpapar dengan agent penyebab TB paru (Desy Maulida, 2014).

6. Pengendalian TB di Indonesia

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan

mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) (Kemenkes RI, 2011).

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an

(World Health Organization) WHO dan Internatioal Union Against

Tuberculosis and Lung Diseases IUATLD mengembangkan strategi

pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed

Treatment Shortcourse) (Kemenkes RI, 2011).

Sejak dilaporkannya kasus TB pertama kali di Indonesia berbagai

upaya telah dilakukan pemerintah melalui kementrian kesehatan. Upaya

tersebut dimulai dari penjaringan suspek, deteksi dan pencatatan kasus,

pengobatan dan tatalaksana Multi Drug Resistence (MDR) (Kemenkes RI,

2016).

Terduga TB yang telah dijaring oleh pelayanan kesehatan

menjalani pemeriksaan Laboratorium. Pada tahap ini ditetapkan indikator


15

proporsi pasien baru TB terkonfirmasi bakteriologis di antara terduga TB.

Indikator ini merupakan persentase pasien baru TB Paru terkonfirmasi

bakteriologis (BTA positif dan MTB positif) yang ditemukan di antara

seluruh terduga yang telah diperiksa spesimen dahak. Kasus TB yang

telah ditemukan, selanjutnya akan mendapatkan layanan pengobatan

selama enam bulan. Pada fase ini, terdapat indikator utama untuk

mengevaluasi keberhasilan pengobatan yaitu angka kesembuhan dan

angka keberhasilan (Kemenkes RI, 2016).

Angka keberhasilan (succes rate) adalah jumlah semua kasus TB

yang sembuh dan pengobatan lengkap di antara semua kasus TB yang

diobati dan dilaporkan yang angka ini merupakan penjumlahan dari angka

kesembuhan semua kasus dan angka pengobatan lengkap semua kasus

(Kemenkes RI, 2018).

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukan persentase

baru TB terkonfirmasi bakteriologis yang sembuh setelah selesai masa

pengobatan, di antara pasien baru TB Paru terkonfirmasi bakteriologis

yang tercatat. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka

kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan. Walaupun

angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya perlu

diperhatikan yaitu beberapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap,

meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow-up) dan tidak dievaluasi

(Kemenkes RI, 2016).


16

7. Diagnosis TB

Diagnosis teberkulosis paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiografi dan penunjang

yang lain (Safithri, 2018).

a. Diagnosis gejala klinis

Diagnosis gejala klinis adalah diagnosis yang ditegakkan

berdasarkan ada atau tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien

TB paru gejala klinis utama yang timbul yaitu :

1) Respiratorik : batuk >3 minggu, berdahak, batuk darah, Nyeri

dada, sesak nafas.

2) Sistemik : demam, keringat malam, malaise, nafsu makan

menurun, berat badan turun (Safithri, 2018).

b. Pemeriksaan Laboratorium

1) Pemeriksaan Mikroskopis

Pemeriksaan bakteriologis dengan meggunakan sputum.

Sampel diambil dari orang yang memiliki batuk persisten dan

produktif. Pemerikasaan ini dilakukan selama tiga hari berturut-

turut agar diperoleh hasil yang valid. Hasil pemeriksaan ini

dapat mengidentifikasi adanya Mycobacterium tuberculosis.

Dengan demikian hasil yang positif dari uji ini dapat

memberikan jaminan bahwa seseorang pasti terinfeksi oleh

bakteri TBC (Bakri, 2016).


17

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan

diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan

potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan

diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak

yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan

berupa Sewaktu-Pagi/Pagi-Sewaktu (SP)(Kemenkes RI, 2011).

Pelaporan hasil pemeriksaan mikroskopis dengan

mengacu kepada skala Internatioal Union Against Tuberculosis

and Lung Diseases (IUATLD) memiliki 5 kriteria yang terdiri dari

a) Negatif, yaitu tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang

pandang.

b) Scanty(+n), yaitu ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang

pandang.

c) +/(1+), yaitu ditemukan 10- 99 BTA dalam 100 lapang

pandang.

d) ++/(2+), yaitu ditemukan 1-10 BTA setiap 1 lapang pandang

(pemeriksaan minimal 50 lapang pandang).

e) +++/(3+), yaitu ditemukan lebih dari atau sama dengan 10

BTA dalam 1 lapang pandang (pemeriksaan minimal 20

lapang pandang).

Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa

ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada

program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan


18

dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan

lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat

digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai

dengan indikasinya (Sukraningsih, Darmawati and Wilson,

2014).

2) Mantoux Tubercullin Skin Test

Pada uji ini digunakan tuberculin yang terbuat dari

protein yang berasal dari Mycobacterium tuberculosis. Injeksi

tuberculin ini dilakukan diantara lapisan kulit lengan bawah dan

diamati dalam waktu 48-72 jam. Adanya indurasi

(pembengkakan) pada situs injeksi diukur dalam satuan mm.

nilai indurasi <5 mm memberikan hasil yang positif untuk orang

yang terinfeksi Human Imunodeficiency Virus (HIV), orang yang

baru berhubungan/kontak dengan pasien TB, orang yang telah

mendapatkan transplantasi organ, orang yang hasil rontgen

dada menunjukkan adanya riwayat penyakit TB dan pasien

yang memilki penyakit yang berkaitan dengan sistem imun.

Nilai indurasi ≥10 mm memberikan hasi positif untuk orang

yang berkerja di daerah yang memiliki risiko tinggi terhadap

infeksi TB, orang dengan kondisi medis yang beresiko tinggi

terhadap terkenanya TB, anak-anak kurang dari 4 tahun dan

bayi/anak-anak yang telah terpapar oleh orang dewasa yang

terkena infeksi TB. Nilai indurasi 15 mm memberikan hasil yang


19

positif untuk orang yang tidak memiliki faktor resiko terhadap

TB (Bakri, 2016).

3) Pemeriksaan GeneXpert

GeneXpert (Mycobacterium tuberculosis/Rifampisin)

MTB/RIF adalah suatu alat uji yang menggunakan catridge

berdasarkan Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) secara

automatis untuk mendeteksi kasus TB dan resistensi rifampisin.

Alat ini cocok untuk negara endemis, dan dapat dilakukan

walaupun sampel sputum hanya 1 ml.

World Health Organization (WHO) merekomendasikan

pemakaian GeneXpert (Cepheid) untuk mengevaluasi pasien

tersangka TB MDR (Multi Drug Resistance) dan pasien dengan

BTA negatif. Tuberkulosis paru BTA negatif dihubungkan

dengan rendahnya hasil pengobatan, termasuk kematian yang

disebabkan lamanya diagnosa atau tidak terdiagnosa.

GeneXpert dinilai mampu memberikan keuntungan untuk

diagnosa awal TB dan penggunaan sistem diagnostik ini dapat

meningkatkan kepastian diagnosa secara cepat untuk semua

pasien (Sukraningsih, Darmawati and Wilson, 2014).

c. Pemeriksaan Radiologis / rontgen dada.

Pemeriksaan radiologik standar pada foto thoraks postero-

anterior (PA) dengan atau tanpa lateral. Beberapa karakteristik

radiologi yang menunjang diagnosis TB paru antara lain:


20

1) Bayangan lesi yang terletak di lapangan atas paru atau segmen

posterior lobus superior.

2) Bayangan berawan (patchy) atau bercak (noduler).

3) Adanya kavitas tunggal atau ganda.

4) Bayangan milier.

5) Bayangan menetap atau relatif menetap setelah pada foto

ulang setelah beberapa minggu.

d. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium hematologi rutin yang menunjang

untuk menegakkan diagnosis TB paru dan penting sebagai

indikator kestabilan penyakit sehingga dapat di gunakan untuk

evaluasi penyembuhan yaitu LED (Laju Endap Darah).

Pemeriksaan serologi dilakukan dengan metode Elisa

(Enzyme-Linked Immunosorbent Assay), myocodot, PAP

(Peroksidase Anti Peroksidase). Teknik lain untuk mengidentifikasi

Mycobacterium tuberculosis dengan PCR (Polymerase Chain

Reaction), RALF (Restrictive Fragment Length Polymorphims),

LPM (Light Producing Maycobacterophage).

Pemeriksaan Histopatologi jaringan, diperoleh melalui

transbronchial lung biopsi, transthoracal biopsi, biopsi paru

terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar dan organ lain diluar paru.

Diagnosis TB ditegakkan bila jaringan menunjukkan adanya

granuloma dengan perkejuan.


21

8. Tahapan Pengobatan Tuberkulosis dan Obat Anti Tuberkulosis

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS (Directly Observed

Treatment Shortcourse) sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak

tahun 1995. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara

nasional diseluruh unit pelayanan kesehatan terutama puskesmas yang

diintergrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Kemenkes RI, 2011).

Directly Observed Treatment Shortcourse dilaksanakan untuk

mengatasi tingginya angka kesakitan TB. Panduan Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) yang dilaksanakan dengan strategi DOTS ini mempunyai efektivitas

yang tinggi dalam pengobatan TB paru tetapi angka kesembuhan yang di

hasilkan masih rendah. Ketidakberhasilan tersebut diduga akibat

kepatuhan yang rendah untuk berobat secara teratur oleh karena itu

dibuat sediaan obat baru yang berisi 2 atau lebih OAT yang di sebut

dengan kombinasi dosis tetap (KDT). Penggunaan KDT dapat

menurunkan risiko penggunaan obat tunggal yang salah sehingga

menyebabkan timbulnya Multiple Drug Resistant Tuberculosis (MDR TB)

(Ayu R. Pribadini. Stella Palar. Julia, 2014).

a. Tahapan Pengobatan TB

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu :

1) Tahap Awal (Intensif)

Pada tahap intensif awal pasien mendapat obat setiap hari dan

perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya

resistensi obat. Bila pengobatan diberikan secara tepat,


22

biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun

waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi

BTA negatif dalam 2 bulan.

2) Tahap Lanjutan (Intermiten)

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan

penting untuk membunuh kuman, sehingga mencegah

terjadinya kekambuhan (Nugroho, 2013).

b. Obat Anti Tuberkulosis

1) Isoniazid

Derivat asam isonikotinat ini berkhasiat tuberkulostasis paling

kuat terhadap Mycobacterium tuberculosis dan bersifat

bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat.

Mekanisme kerjanya berdasarkan terganggunya sintesa asam

mikolat dan asam nukleat pada Mycobacterium tuberculosis

dengan perombakan menjadi asam isonikotinat di sel bakteri

dan menyisip di dalam (Nikotinamida Adenosin Dinukleotida)

NAD+ sebagai ganti dari asam nikotinat. Efek sampingnya

adalah ruam, demam dan ikterus (Dwi Atmoko, 2012).

2) Rifampisin

Rifampisin secara in vitro menghambat pertumbuhan

Mycobacterium tuberculosis. Mekanisme kerja rifampisin

adalah menghambat (Deoxyribonucleic Acid) DNA-dependent


23

(Ribonucleic Acid) RNA polymerase dari bakteri. Sama halnya

seperti isoniazid, rifampisin aktif pada bakteri yang sedang aktif

membelah, Efek sampingnya pasien tuberkulosis adalah ruam,

demam, mual dan muntah dan penyakit kuning (jika pasien

sebelumnya riwayat penyakit hati (Dwi Atmoko, 2012).

3) Etambutol

Etambutol merupakan pilihan pertama antituberkulotik, dengan

tipe efek bakterisid. Mekanisme kerjanya berdasarkan

penghambatan sintesa (Ribonucleic Acid) RNA dengan

mengeblok sintesis (Deoxyribonucleic Acid) DNA dan protein

sel. Efek sampingnya yang terpenting adalah pengurangan

ketajaman penglihatan, ruam, demam. Etambutol juga

meningkatkan kadar asam urat dalam plasma akibat penurunan

ekskresinya oleh ginjal (Dwi Atmoko, 2012).

4) Pirazinamide

Mekanisme kerjanya berdasarkan pengubahannya menjadi

asam pirazinat oleh enzim pyrazinamidase yang berasal dari

basil TB. Begitu pH dalam makrofag diturunkan, maka kuman

yang ada di sarang infeksi yang menjadi asam akan mati.

Khasiatnya diperkuat oleh isoniasid. Obat ini khusus digunakan

pada fase intensif, pada fase pemeliharaan hanya bila terdapat

multiresistensi. Efek sampingnya yang sering kali terjadi dan

berbahaya adalah kerusakan hati dengan ikterus (hepatotoksis)


24

disertai dengan ikterus. Efek lain dari pirazinamid adalah

terhambatnya ekskresi garam urat, mual, muntah, anoreksia,

disuria, lesu dan demam (Dwi Atmoko, 2012).

5) Streptomisin

Secara in vitro streptomisin bersifat bakteriostatik dan bakterisid

terhadap kuman Tuberkulosis, mekanisme kerjanya

berdasarkan penghambatan sintesa protein. Efek samping

obat, pasien mengalami gangguan pendengaran dan

keseimbangan dengan jalan pengikatan pada RNA ribosomal.

efek lain adalah ruam dan demam (Dwi Atmoko, 2012).

Tabel 1.
Jenis, sifat dan dosis OAT

Dosis yang direkomendasikan


Jenis OAT Sifat (mg/kg)
Harian 3 x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisidal 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Baktrerisidal 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyazinamide (Z) Bakterisidal 25 (20-30) 35 (30-40)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-15)
Bakterisidal dan
Streptomisin 15 (12-18)
Bakteriostatik
(Kemenkes RI, 2011).

B. Hati

1. Anatomi

Hati adalah organ istestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg

atau lebih 25% berat badan orang dewasa dan merupakan pusat

metabolisme tubuh dengan fungsi sangat kompleks yang menempati


25

sebagian kuadran kanan atas abdomen. Batas hati berada sejajar dengan

ruangan interkostal V kanan dan batas menyerang keatas dari iga IX

kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan

terdapat celah transversal sepanjang 5cm dari sistem porta hepatitis.

Ornentum minor terdapat mulai dari sistem porta yang mengandung arteri

hepatica, vena porta dan ductus koledokus. Sistem porta terletak di depan

vena cava dan dibalik kandung empedu. Permukaan anterior yang

cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan ligamentum

falciform yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang berukuran kira-kira 2 kali

lobus kiri. Hati terbagi 8 segmen dengan fungsi yang berbeda. Pada

dasarnya garis cantlie yang terdapat mulai dari vena cava sampai

kandung empedu telah membagi hati menjadi 2 lobus fungsional dan

dengan adanya daerah vaskularisasi relatif sedikit, kadang-kadang

dijadikan batas reseksi.

Secara mikroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000-100.000

lobuli, setiap lobules berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati

berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena centralis.


26

Gambar 1.
Anatomi Hati
Sumber : Buku Anatomi Tubuh Manusia
(Setiadi, 2011).

Hati adalah organ terbesar yang terpenting di dalam tubuh. Organ

ini berfungsi untuk sekresi empedu, namun juga memiliki fungsi antara lain

a. Metabolisme karbohidrat, lemak dan protein setelah penyerapan

dari saluran pencernaan.

b. Detoksifikasi atau degradasi zat sisa dan hormon serta obat dan

senyawa asing lainnya.

c. Sintesis berbagai macam protein plasma mencakup untuk

pembekuan darah dan untuk mengangkut hormon tiroid, steroid

dan kolesterol.

d. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin.

e. Pengaktifan vitamin D yang dilaksanakan oleh hati dan ginjal.

f. Pengeluaran bakteri dari sel darah merah yang sudah rusak .

g. Ekskresi kolesterol dan bilirubin.


27

Hati tersusun menjadi unit-unit fungsional yang dikenal sebagai

lobus yaitu susunan heksagonal jaringan yang mengelilingi sebuah vena

sentral. Hati memiliki bagian terkecil yang melakukan tugas diatas disebut

sel hati (hepatosit), sel epithelial system empedu dalam jumlah yang

bermakna dan sel-sel parenkimal yang termasuk di dalam endothelium,

sel kupffer dan sel stellata yang berbentuk seperti bintang. Tugas aktivitas

fagositik dilakukan oleh makrofag residen yang disebut sel kupffer. Setiap

hepatosit berkontak langsung dengan dari darah dari 2 (dua) sumber.

Darah vena yang langsung datang dari saluran pencernaan dan darah

arteri yang dating dari aorta. Darah dari cabang-cabang arteri hepatica

dan vena porta mengalir dari perifer lobules kedalam ruang kapiler yang

melebar disebut sinusoid.

Darah vena memasuki hati melalui hubungan vaskuler yang khas

dan kompleks yang dikenal sebagai sistem porat hati. Vena yang mengalir

dari saluran cerna tidak secara langsung menyatu dengan vena cava

inferior akan tetapi vena-vena dari lambung dan usus terlebih dahulu

memasuki sistem vena porta. Pada sistem ini produk-produk yang diserap

dari saluran cerna untuk diolah, disimpan, dan didetoksifikasi sebelum

produk-produk tersebut kembali ke sirkulasi besar.


28

2. Enzim Hati

a. Alanine aminotransferase (ALT) atau SGPT (Serum Glutamic

Pyruvate Transaminase).

1) Nilai normal : 5-35 IU/L.

2) Deskripsi : konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat dalam

hati. ALT lebih banyak terdapat dalam hati dibandingkan

jaringan otot jantung dan lebih spesifik menunjukkan fungsi

hati daripada AST. ALT berguna untuk diagnosa penyakit hati

dan memantau lamanya pengobatan penyakit hepatik, sirosis

postneurotik, dan efek hepatotoksik obat.

3) Implikasi klinik :

a) Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada penyakit

hepatoseluler, sirosisaktif, obstruksibilier dan hepatitis.

b) Banyak obat dapat meningkatkan kadar ALT.

c) Nilai peningkatan yang signifikan adalah 2 kali lipat dari

nilai normal.

b. Aspartate aminotransferase (AST) atau SGOT (Serum Glutamic

Oxaloacetic Transaminase)

1) Nilai normal : 5-35 IU/L.

2) Deskripsi : AST adalah enzim yang memiliki aktivitas

metabolisma tinggi. Ditemukan di jantung, hati, otot rangka,

limfa, ginjal, otak, pankreas dan paru-paru penyakit yang

menyebabkan perubahan, kerusakan atau kematian sel


29

jaringan tersebut akan menyebabkan terlepasnya enzim ini ke

sirkulasi.

3) Implikasi Klinik :

Peningkatan kadar AST dapat terjadi pada MI (Miokard

Infark), penyakit hati, pankreatitis akut dan penggunaan berbagai

obat, misalnya isoniazid, eritromisin, kontrasepsi oral.

Penurunan kadar AST dapat terjadi pada pasien asidosis dengan

diabetes mellitus.

c. Alkaline Fosfatase (ALP)

1) Nilai normal : 30-130 U/L.

2) Deskripsi : Enzim ini berasal terutama dari tulang, hati dan

plasenta. Konsentrasi tinggi dapat ditemukan dalam kanakuli

bilier, ginjal dan usus halus. Pelepasan enzim ini seperti juga

indeks penyakit tulang, terkait dengan produksi sel tulang dan

deposisi kalsium pada tulang. Pada penyakit hati kadar alkalin

fosfatase darah akan meningkat karena ekskresinya terganggu

akibat obstruksi saluran bilier.

3) Implikasi Klinik :

a) Peningkatan ALP terjadi karena faktor hati atau non-hati.

Peningkatan ALP karena faktor hati terjadi pada kondisi

obstruksi saluran empedu, kolangitis, sirosis, hepatitis

metastase, hepatitis, kolestasis, infiltrating hati disease.


30

b) Peningkatan ALP karena faktor non-hati terjadi pada

kondisi penyakit tulang, kehamilan, penyakit ginjal kronik,

limfoma, beberapa malignancy, penyakit infl amasi/infeksi,

pertumbuhan tulang, penyakit jantung kongestif.

d. Gamma Glutamil transferase (GGT)

1) Nilai normal : Laki-laki ≤94 U/L, Perempuan ≤70 U/L

2) Deskripsi : GGT terutama terdapat pada hati dan ginjal.

Terdapat dalam jumlah yang lebih rendah pada prostat, limfa

dan jantung. Hati dianggap sebagai sumber enzim GGT

meskipun kenyataannya kadar enzim tertinggi terdapat di

ginjal. Enzim ini merupakan marker (penanda) spesifik untuk

fungsi hati dan kerusakan kolestatis dibandingkan ALP. Laki-

laki memiliki kadar yang lebih tinggi daripada perempuan

karena juga ditemukan pada prostat. Monitoring GGT berguna

untuk mendeteksi pecandu alkohol akut atau kronik, obstruksi

jaundice, kolangitis dan kolesistitis.

3) Implikasi klinik : Kenaikan kadar GGT dapat terjadi pada

kolesistitis, koletiasis, sirosis, obat-obat hepatotoksik

(khususnya yang menginduksi sistem P450). GGT sangat

sensitif tetapi tidak spesifik. Jika terjadi peningkatan hanya

kadar GGT (bukan AST, ALT) bukan menjadi indikasi

kerusakan hati (Depkes RI, 2011).


31

3. Pemeriksaan Laboratorium SGOT dan SGPT

a. Prinsip Pemeriksaan SGOT

Aspartate aminotransferase (AST) mengkatalisis transfer

gugus amino dari L-Aspartate ke α-Ketoglutarate menjadi

Oxaloacetate dari L-Glutamate. Oxaloacetate selanjutnya

mengalami reduksi dan terjadi oksidasi Nicotinamide Adenine

Dinucleotide (NADH) menjadi NAD+ dengan bantuan enzim Malate

Dehydrogenase (MDH). Dengan penambahan Lactate

Dehydrogenase (LDH) mencegah gangguan dari piruvat endogen

yang berasal dari serum. Banyaknya NAD yang teroksidasi

sebanding dengan aktivitas AST dan diukur secara fotometrik (Kit

Insert Indo Reagen).

b. Prinsip Pemeriksaan SGPT

ALT mengkatalisis transfer gugus amino dari L-Alanine ke α-

Ketoglutarate menjadi Pyruvate selanjutnya mengalami reduksi dan

terjadi oksidasi NADH menjadi NAD+ dengan bantuan enzim

Lactate Dehidrogenase. Banyaknya NAD teroksidasi sebanding

dengan aktivitas ALT dan diukur secara fotometrik (Kit Insert Indo

Reagen).
32

C. Kerangka Berfikir

Penderita
Tuberkulosis
Penderita

Pengobatan Anti
Tuberkulosis
Pengobatan Anti

Terapi Fase Terapi Fase


IntensifTerapi Fase LanjutanTerapi
Intensif Fase Lanjutan

Pemeriksaan
LaboratoriumPemer
iksaan

Hematologi Kimia Klinik Resiko Pengobatan


Hematologi Kimia Klinik Gangguan Selesai
Hati Pengobatan
Resiko Selesai
SGOT

Keterangan : SGPT Kematian


Kematian
Variabel yang
diteliti

Variabel yang tidak


diteliti
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Definisi Operasional

1. Penderita TB Paru adalah pasien yang telah di diagnosis suspek

pasien TB Paru berdasarkan hasil rekam medik dan melakukan

pemeriksaan Laboratorium Klinik SGOT dan SGPT.

2. Kepatuhan mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis meliputi penderita

TB Paru yang melalui pengobatan tahap lajut minimal 4 bulan

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

3. Kadar SGOT adalah kadar enzim SGOT dari sampel serum yang

diperiksa dengan metode Kinetik–IFCC dinyatakan dengan satuan

Unit per liter(U/L). Nilai normal <31 IU/L.

4. Kadar SGPT adalah kadar enzim SGPT dari sampel serum yang

diperiksa dengan metode Kinetik–IFCC dinyatakan dalam satuan Unit

per liter(U/l). Nilai normal <34 IU/L.

33
34

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada Juni-Juli 2019.

2. Tempat Penelitian

Data yang dikumpulkan dari Laboratorium Klinik dan Rekam Medik

Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Seluruh data penderita TB paru yang sudah menjalani Terapi Obat

Anti Tuberkulosis fase lanjut dan yang melakukan pemeriksaan

Laboratorium di RSUD Budhi Asih.

2. Sampel

Data hasil pemeriksaan SGOT dan SGPT pada penderita TB yang

sudah menjalani terapi Obat Anti Tuberkulosis sebanyak 150 sampel di

RSUD Budhi Asih.

D. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data-data sekunder,

dengan tahapan :

1. Meminta surat izin untuk pengambilan data dari institusi Universitas

MH. Thamrin.
35

2. Melakukan perizinan untuk pengambilan data kepada direktur RSUD

Budhi Asih.

3. Penelusuran data rekam medis.

4. Melihat data pasien penderita Tuberkulosis paru yang telah

mengkonsumsi OAT.

5. Melihat dan mencatat pasien Tuberkulosis yang mengkonsumsi OAT

yang telah melakukan pemeriksaan SGOT, SGPT pada periode

Februari-Juli 2019.

6. Mencatat hasil Pemeriksaan Laboratorium SGOT, SGPT dan data

penghubung meliputi Usia dan jenis kelamin.

7. Rekapitulasi data.

E. Teknik Analisa Data

1. Hitung Sampel

Data yang terkumpul dikelompokkan dan diolah menggunakan

Software Statistik.
𝑁
n = 1+𝑁.𝑒²

205
= 1+205.(0,05)²

205
= 1,5125

= 136 + (10% x 136)

n = 150
36

Keterangan :

n = Jumlah sampel minimal.

N = Populasi.

e = Batas toleransi kesalahan (error tolerance).

2. Pengolahan Data

a. Uji Normalitas

Uji normalitas adalah uji yang bertujuan untuk menilai sebaran data

pada sebuah kelompok data atau variabel,yaitu :

1) Nilai p>0,05 dinyatakan distribusi frekuensi

normal/Parametric (Menggunakan Uji p Pearson).

2) Nilai p<0,05 dinyatakan distribusi frekuensi abnormal/Non

Parametric (Menggunakan Uji p Spearman).

b. Uji Korelasi/Hubungan

Uji korelasi/hubungan adalah Uji yang bertujuan untuk menilai

Batasan nilai kekuatan hubungan dua variabel. Menurut Colton

dibagi dalam 4 area, yaitu :

1) r = 0,00-0,25 (Tidak ada hubungan/hubungan lemah).

2) r = 0,26-0,50 (Hubungan cukup/sedang).

3) r = 0,51-0,75 (Hubungan kuat).

4) r = 0,76-1,00 (Hubungan sangat kuat/sempurna).


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Berdasarkan data hasil pemeriksaan Laboratorium SGOT dan

SGPT pada penderita Tuberkulosis Paru RSUD Budhi Asih terdapat 150

pasien dari bulan Februari hingga Juli tahun 2019 di dapatkan hasil

sebagai berikut yang dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2.
Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan Kadar SGOT dan SGPT
Pada Penderita Tuberkulosis di RSUD Budhi Asih Berdasarkan Nilai
Normal dan Abnormal.

Kadar SGOT(%) SGPT(%)


Normal 86 (57,3%) 93 (62%)
Abnormal 64 (42,7%) 57 (38%)
Jumlah 150 (100%) 150 (100%)

Berdasarkan Tabel 2, menunjukan persentase SGOT dan SPGT

pada penderita tuberkulosis paru, terdapat 86 orang (57,3%) dengan hasil

pemeriksaan kadar SGOT sesuai dengan nilai normal dan sebanyak 64

orang (42,7%) dengan hasil melebihi nilai normal. Kemudian hasil

pemeriksaan kadar SGPT terdapat 93 orang (62%) sesuai dengan nilai

normal dan sebanyak 57 orang (38%) melebihi nilai normal.

37
38

Tabel 3.
Distribusi Frekuensi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Nilai
Normal dan Abnormal Terhadap Lamanya Mengkonsumsi OAT di
RSUD Budhi Asih.

Lamanya SGOT SGOT SGPT SGPT


Mengkonsumsi Normal Abnormal Normal Abnormal
OAT F % F % F % F %
4-6 Bulan 62 72.1 35 54,7 67 72 30 52,6
7-9 Bulan 19 22,1 20 31.3 18 19,4 21 36,8
10-12 Bulan 5 5,8 9 14,1 8 10,5 6 9,3
Jumlah 86 100 64 100 93 100 57 100

Berdasarkan Tabel 3. menunjukkan bahwa dari 150 orang

penderita Tuberkulosis Paru paling banyak memiliki kadar SGOT sesuai

dengan nilai normal sebanyak 72,1% dengan lama mengkonsumsi OAT

selama 4-6 bulan dan 54,7% kadar SGOT melebihi nilai normal dengan

lama mengkonsumsi OAT selama 4-6 bulan. Kadar SGPT yang sesuai

dengan nilai normal sebanyak 72% dengan lama konsumsi OAT selama

4-6 bulan sedangkan kadar SGPT yang melebihi nilai normal sebanyak

52,6% dengan lama konsumsi OAT selama 4-6 bulan.

Tabel 4.
Hubungan Kadar SGOT dan SGPT Pada Penderita TB Yang
Mengkonsumsi OAT Pada Fase Lanjut.

Parameter P value Nilai r


SGOT 0.005 0,428
SGPT 0.005 0,428

Berdasarkan Tabel 4, didapatkan hasil adanya hubungan antara

kadar SGOT dan SGPT pada penderita TB paru yang mengkonsumsi

OAT fase lanjut dengan nilai Signifikasi 0,005 (p<0,05) dan nilai r (0,428)

yang dapat disimpulkan adanya hubungan yang cukup dan searah.


39

B. Pembahasan.

Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan persentase SGOT dan SGPT

pada penderita tuberkulosis, kadar SGOT sebanyak 64 orang (42,7%)

dengan hasil melebihi nilai normal, kemudian hasil pemeriksaan SGPT

sebanyak 57 orang (38%) melebihi nilai normal. Hal ini mungkin dapat

disebabkan oleh efek obat yaitu hepatotoksik dari OAT itu sendiri, salah

satu tandanya adalah meningkatnya kadar SGOT dan SGPT.

Hal ini dikarenakan hepar menggunakan enzim-enzim ini untuk

metabolisme asam amino dan membuat protein, ketika sel-sel hepar rusak

atau mati, Enzim SGOT dan SGPT bocor ke aliran darah sehingga

menyebabkan kadar SGOT dan SGPT meningkat didalam darah (Yee et

al., 2010). Hal ini didukung oleh peneliti sebelumnya oleh Risdianto pada

tahun 2015, didapatkan kadar SGOT sebanyak 50% yang abnormal dan

kadar SGPT sebanyak 20% yang abnormal. Dikatakan bahwa nilai SGOT

dan SGPT yang abnormal ini dimungkinkan karena kepatuhan

pengobatan pasien dan sirosis hati.

Berdasarkan Tabel 3, menunjukkan bahwa dari 150 orang

penderita tuberkulosis paru paling banyak memiliki kadar SGOT sebanyak

54,7% melebihi nilai normal dengan lama mengkonsumsi OAT selama 4-6

bulan, sedangkan kadar SGPT yang melebihi nilai normal sebanyak

52,6%, hal ini menunjukan bahwa diperlukan waktu agar penumpukan

metabolit hepatotoksik untuk sampai taraf yang memungkinkan terjadinya


40

kerusakan hati. Dijelaskan bahwa obat yang dikonsumsi dalam jangka

waktu yang lama maka obat tersebut dapat mengakibatkan nekrosis

multilobular sehingga terjadi peningkatan enzim transaminase yang

merupakan penanda kerusakan hati. Kebanyakan obat dimetabolisme

dihati, sedangkan Obat anti tuberkulosis itu sendiri dimetabolisme dihati.

Hal ini menambah beban kerja dari organ hati karena harus

memetabolisme berbagai macam obat dalam kurun waktu yang lama. Jika

hal ini berlangsung akan menyebabkan hati lebih rentan untuk mengalami

peradangan sehingga menyebabkan hepatitis imbas OAT, tetapi tidak

semua obat menimbulkan efek toksik pada hati, hal ini tergantung dari

jenis obat dan dosis obat (Aminah, 2013). Hal ini didukung penelitian

sebelumnya oleh Siti Aminah pada tahun 2013, didapatkan hasil kadar

SGOT sebanyak 54,7% melebihi nilai normal dan kadar SGPT 49.3%

melebihi nilai normal setelah pengobatan selama 6 bulan.

Berdasarkan Tabel 4, didapatkan hasil adanya hubungan antara

kadar SGOT dan SGPT pada penderita TB paru yang mengkonsumsi

OAT fase lanjut dengan nilai Signifikasi 0,005 (p<0,05) dan nilai r (0,428)

yang dapat disimpulkan adanya hubungan yang cukup dan searah. Hal ini

ditunjukkan dengan kenaikan kadar SGOT selalu bersamaan dengan

kenaikan kadar SGPT. Pada penyakit hati kadar enzim SGOT dan SGPT

dalam serum cenderung mengalami peningkatan, hal tersebut karena

enzim-enzim itu yang dalam keadaan normal terdapat didalam sel hati

masuk ke peredaran darah. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Ike


41

(2011) menyatakan bahwa kadar enzim transaminase pada penderita TB

yang mengkonsumsi OAT mengalami peningkatan secara signifikan.

Mekanisme kenaikan kadar enzim transaminase berasal dari metabolit

toksik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang menyebabkan luka

hepatoseluler (Primastuti, 2011).


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada 150 orang Penderita

Tuberkulosis Paru yang melakukan pemeriksaan Laboratorium SGOT dan

SGPT di RSUD Budhi Asih. Peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar enzim SGOT dan

SGPT pada pengobatan fase lanjut penderita Tuberkulosis. Hal ini

dilihat dari nilai signifikasi sebesar 0,005 (p<0,05) dan kekuatan

hubungan dinilai sebesar 0,428 serta nilai signifikasi SGPT sebesar

0,005 (p=<0,05) dengan nilai kekuatan hubungan 0,428 dan dihasilkan

hubungan cukup dan searah.

2. Persentase SGOT dan SGPT pada penderita Tuberkulosis

berdasarkan nilai normal, kadar SGOT sebanyak 64 orang (42,7%)

dengan hasil melebihi nilai normal. Kemudian hasil pemeriksaan SGPT

sebanyak 57 orang (38%) melebihi nilai normal.

3. Persentase berdasarkan nilai normal terhadap lamanya mengkonsumsi

OAT memiliki kadar SGOT paling banyak sebanyak 54,7% melebihi

nilai normal dengan lama mengkonsumsi OAT selama 4-6 bulan.

Sedangkan kadar SGPT yang melebihi nilai normal sebanyak 52,6%

dengan lama konsumsi OAT selama 4-6 bulan.

42
43

B. Saran

1. Untuk penderita dianjurkan memperhatikan kepatuhan dalam

meminum obat untuk mencegah resistensi dan melakukan

pemeriksaan Laboratorium apabila ada keluhan selama

mengkonsumsi OAT agar jika terjadi peningkatan kadar enzim SGOT

dan SGPT dapat segera diketahui dan mendapat penanganan untuk

dilakukan pengendalian.

2. Untuk keluarga disarankan memberikan motivasi dan dukungan pada

penderita Tuberkulosis dalam kepatuhan mengkonsumsi OAT.

3. Untuk peneliti selanjutnya, dilakukan penelitian tentang parameter lain

yang dapat dihubungkan dengan lamanya mengkonsumsi OAT dan

dapat memperluas tentang hal penyebab terjadinya hepatotoksik

dengan sampel yang lebih banyak.

4. Disarankan bagi penderita Tuberkulosis untuk membaca atau

membuka majalah/situs kesehatan yang berhubungan dengan

Tuberkulosis.

5. Untuk Dinas Unit Pelayanan Kesehatan untuk lebih aktif dalam

memberikan penyuluhan agar lingkup penyebaran Tuberkulosis

semakin menyempit.
44

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, Siti. (2013) ‘Perbedaan Kadar SGOT , SGPT , Ureum , dan


Kreatinin Pada Penderita TB Paru Setelah Enam Bulan Pengobatan
Different Levels SGOT , SGPT , urea , and creatinine Pulmonary TB
In Six Months After Treatment’, perbedaan kadar SGOT, SGPT,
Ureum, dan kreatinin pada penderita TB paru setelah enam bulan
pengobatan, 2(1), pp. 260–269.

Ayu, Pribadini. Stella Palar, Julia. (2014) ‘Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 2,
Nomor 3, November 2014’, 2(November).

Bakri, Megawati. (2016) ‘Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis


(OAT) Pada Pasien Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Jumpandang
Baru Makassar’, IOSR Journal of Economics and Finance, 3(1), p.
56. doi: https://doi.org/10.3929/ethz-b-000238666.

Butuan, Velma. (2014) ‘Gambaran Basil Tahan Asam (BTA) Positif Pada
Penderita Diagnosa Klinis Tuberkulosis Paru Di Rumah Sakit Islam
Sitti Maryam Manado Periode Januari 2014 S/D Juni 2014’, Jurnal e-
Biomedik, 2(2).

Depkes RI (2011) ‘Pedoman Interprestasi Data Klinik’.

Desy Maulida, Fitri. (2014) ‘Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita


Tuberkulosis Oleh : Desy Fitri Maulidia Universitas Negeri Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta 1435 H / 2014 M’.

Dwi Atmoko, Nugroho. (2012) ‘Hubungan Antara Status Gizi dengan Efek
Samping Obat Anti Tuberkulosis pada Pasien Dewasa di BKPM Pati
tahun 2011’, pp. 1–14.

Karim, Karmila. (2013) ‘Hubungan Manifestasi Klinis dan Hasil


Pemeriksaan Foto Toraks dalam Mendiagnosa TB di RSU Kota
Tanggerang Selatan pada Tahun 2013’.

Kemenkes RI (2011) Pedoman Nasional Penanggulangan TB.

Kemenkes RI (2016) ‘Tuberkulosis (Temukan Obat Sampai Sembuh)’,


Pusat Data dan Inforasi Kementerian Kesehatan RI, pp. 2–10. doi:
24442-7659.

Kemenkes RI (2018) ‘Pusat Data dan Informasi Tuberkulosis’, InfoDATIN.


doi: 2442-7659.
45

Kementerian Kesehatan RI (2011) ‘Peraturan Menteri Kesehatan RI No


565/MENKES/PER/III/2011 tentang Strategi Nasional Pengendalian
Tuberkulosis’.

Loihala, Maria. (2015) ‘Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Kejadian TB Paru Pada Pasien Rawat Jalan Di Poli RSUD Schollo
Keyen Kabupaten Sorong Selatan Tahun 2015’, Jurnal Kesehatan
Prima, 10, No.2,(ISSN Online : 2460 – 8661 FAKTOR-FAKTOR), pp.
1665–1671.

Muftiani, Isfalia. (2012) ‘Perbedaan Kualitas Tidur Antara Pasien Asma


Dan Pasien TB Paru’, 10(9), p. 32.

Nugroho, Randy Adi. (2013) Studi Kualitatif Faktor yang melatarbelakangi


Dropout Pengobatan Tuberkulosis Paru Di Balai Pengobatan
Penyakit Paru-Paru (BP4) TEGAL.

Nurjana, Made Agus. (2015) ‘Risk Factors of Pulmonary Tuberculosis on


Productive Age 15-49 Years’, Media Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, pp. 163–170. doi: 10.22435/MPK.V25I3.4387.163-170.

Primastuti, Ike. (2011) ‘Hubungan antara pemberian OAT dengan kadar


enzim transaminase pada pasien Tuberkulosis kasus baru Di RSUD
Temanggung’.

Ruswanto, Bambang. (2010) ‘Analisis Spasial Sebaran Kasus


Tuberkulosis Paru Ditinjau dariFaktor Dalam Dan Luar Rumah di
Kabupaten Pekalongan’. Available at:
http://eprints.undip.ac.id/23875/1/BAMBANG_RUSWANTO.pdf.

Safithri, Fathiyah. (2018) ‘Diagnosis TB Dewasa dan Anak Berdasarkan


ISTC (International Srandard for TB Care)’, Saintika Medika, 7(2).
doi: 10.22219/sm.v7i2.4078.

Sari, Ida Diana., Yuniar, Yuni. and Syaripuddin, Muhammad. (2017) ‘Studi
Monitoring Efek Samping Obat Antituberkulosis Fdc Kategori 1 Di
Provinsi Banten Dan Provinsi Jawa Barat’, Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 24(1), pp. 28–35. doi:
10.22435/mpk.v24i1.3484.28-35.

Sukraningsih, Dwi Rahayu., Darmawati, S. and Wilson, W. (2014)


‘Perbedaan Hasil Pemeriksaan Basil Tahan Asam Metode Ziehl
Neelsen dan GeneXpert’, pp. 7–28. Available at:
http://repository.unimus.ac.id/1278/.
46

Utami Ema, Farida (2010) ‘Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis


Pada Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta Periode
Januari-Juni 2009 Skripsi Farida Ema Utami Fakultas Farmasi’, pp.
0–18.

Yee, D. et al. (2010) ‘Incidence of Serious Side Effects from First-Line


Antituberculosis Drugs among Patients Treated for Active
Tuberculosis’, 167, pp. 1472–1477. doi: 10.1164/rccm.200206-
626OC.
47

Lampiran 1
Hasil Pemeriksaan
Tabel 5.
Hasil Pemeriksaan Kadar SGOT Dan SGPT Dengan Lamanya
Mengkonsumsi OAT Pada Fase Lanjut Di RSUD Budhi Asih

Lama
Nama Usia Jenis SGOT SGPT
No. Pengobatan
(Inisial) (Tahun) Kelamin (<31 IU/L) (<34 IU/L)
(Bulan)
1. S 36 L 24 30 4 Bulan
2. M 68 P 14 7 4 Bulan
3. S 32 L 21 10 4 Bulan
4. A 40 L 15 14 4 Bulan
5. E 29 L 27 31 4 Bulan
6. E 57 L 15 23 4 Bulan
7. R 49 L 27 61 4 Bulan
8. F 51 L 18 18 4 Bulan
9. D 24 L 12 20 4 Bulan
10. A 22 P 19 24 4 Bulan
11. A 24 P 13 8 4 Bulan
12. B 38 L 24 32 4 Bulan
13. R 39 L 15 10 4 Bulan
14. S 50 P 34 14 4 Bulan
15. I 24 P 65 58 4 Bulan
16. G 22 P 22 11 4 Bulan
17. R 32 L 32 47 4 Bulan
18. A 25 L 25 22 4 Bulan
19. R 23 L 23 79 4 Bulan
20. Y 27 P 22 31 4 Bulan
21. H 40 L 40 29 4 Bulan
22. N 41 P 41 19 4 Bulan
23. R 32 L 32 37 4 Bulan
24. U 31 L 31 21 4 Bulan
25. R 45 L 45 47 4 Bulan
26. N 28 P 28 29 4 Bulan
27. C 33 L 33 18 4 Bulan
28. A 37 L 37 45 4 Bulan
29. M 40 L 40 48 4 Bulan
30. E 31 P 31 20 4 Bulan
31. D 42 L 42 25 4 Bulan
32. H 49 L 49 40 4 Bulan
33. S 41 L 41 30 4 Bulan
34. M 29 P 29 29 4 Bulan
48

Lama
Nama Usia Jenis SGOT SGPT
No. Pengobatan
(Inisial) (Tahun) Kelamin (<31 IU/L) (<34 IU/L)
(Bulan)
35. M 35 P 35 30 4 Bulan
36. S 41 P 41 30 4 Bulan
37. M 24 P 23 24 4 Bulan
38. E 61 L 42 17 5 Bulan
39. T 65 L 16 17 5 Bulan
40. R 31 P 30 38 5 Bulan
41. K 61 L 14 13 5 Bulan
42. R 40 P 18 9 5 Bulan
43 C 44 L 23 49 5 Bulan
44. N 58 L 16 49 5 Bulan
45. S 54 L 24 13 5 Bulan
46. A 28 L 96 54 5 Bulan
47. R 37 L 13 43 5 Bulan
48. S 54 L 20 66 5 Bulan
49. Z 44 P 44 31 5 Bulan
50. K 65 P 8 13 5 Bulan
51. Y 40 L 32 40 5 Bulan
52. K 51 L 8 13 5 Bulan
53. R 44 P 27 17 5 Bulan
54. T 70 P 12 9 5 Bulan
55. K 69 P 32 41 5 Bulan
56. H 42 L 40 48 5 Bulan
57. D 23 P 18 17 5 Bulan
58. S 45 L 32 27 5 Bulan
59. L 55 L 10 15 5 Bulan
60. R 46 L 20 30 5 Bulan
61. R 44 P 24 10 5 Bulan
62. E 43 P 34 36 6 Bulan
63. W 59 P 18 17 6 Bulan
64. T 58 L 34 28 6 Bulan
65. D 57 L 45 46 6 Bulan
66. R 46 L 33 13 6 Bulan
67. A 64 P 18 15 6 Bulan
68. M 64 L 27 28 6 Bulan
69. H 49 L 36 40 6 Bulan
70. M 48 P 39 40 6 Bulan
71. B 69 L 17 40 6 Bulan
72. I 57 P 13 26 6 Bulan
73. S 37 P 45 48 6 Bulan
74. P 67 P 20 38 6 Bulan
75. E 27 L 14 18 6 Bulan
76. A 48 L 21 22 6 Bulan
49

Lama
Nama Usia Jenis SGOT SGPT
No. Pengobatan
(Inisial) (Tahun) Kelamin (<31 IU/L) (<34 IU/L)
(Bulan)
77. S 44 P 12 9 6 Bulan
78. S 56 P 23 11 6 Bulan
79. S 35 L 17 9 6 Bulan
80. R 33 L 24 19 6 Bulan
81. M 61 P 21 39 6 Bulan
82. A 66 L 26 10 6 Bulan
83. M 45 L 48 30 6 Bulan
84. N 54 L 20 17 6 Bulan
85. U 53 L 63 42 6 Bulan
86. D 28 P 14 8 6 Bulan
87. M 57 L 18 31 6 Bulan
88. S 58 L 68 71 6 Bulan
89. F 39 L 18 24 6 Bulan
90. H 25 L 21 11 6 Bulan
91. S 50 L 19 7 6 Bulan
92. I 39 L 36 45 6 Bulan
93. H 30 L 13 30 6 Bulan
94. A 45 P 20 31 6 Bulan
95. I 40 L 39 28 6 Bulan
96. S 50 L 28 40 6 Bulan
97. W 41 P 45 11 6 Bulan
98. A 68 P 33 10 7 Bulan
99. N 48 P 45 20 7 Bulan
100. I 60 L 18 35 7 Bulan
101. M 65 P 20 13 7 Bulan
102. A 48 L 33 26 7 Bulan
103. S 57 P 26 21 7 Bulan
104. Y 55 P 42 10 7 Bulan
105. B 31 L 10 36 7 Bulan
106. H 45 L 32 36 7 Bulan
107. R 45 P 9 5 7 Bulan
108. Y 21 L 21 73 7 Bulan
109. D 50 L 27 16 7 Bulan
110. E 52 P 44 43 7 Bulan
111. N 21 P 9 14 7 Bulan
112. A 54 P 37 98 7 Bulan
113. J 24 L 40 50 7 Bulan
114. R 36 L 35 30 7 Bulan
115. Y 60 P 31 46 7 Bulan
116. B 60 L 5 37 7 Bulan
117. A 50 L 46 37 7 Bulan
118. M 40 L 22 45 8 Bulan
50

Lama
Nama Usia Jenis SGOT SGPT
No. Pengobatan
(Inisial) (Tahun) Kelamin (<31 IU/L) (<34 IU/L)
(Bulan)
119. A 54 L 39 73 8 Bulan
120. R 35 L 40 39 8 Bulan
121. S 64 L 29 36 8 Bulan
122. T 20 L 24 46 8 Bulan
123. I 60 L 46 44 8 Bulan
124. S 31 P 35 20 8 Bulan
125. L 47 P 69 80 8 Bulan
126. N 42 P 56 60 8 Bulan
127. H 40 L 25 30 8 Bulan
128. T 55 P 30 48 8 Bulan
129. N 51 L 35 20 8 bulan
130. T 51 L 28 21 9 Bulan
131. A 71 L 34 21 9 Bulan
132. I 64 L 33 31 9 Bulan
133. Y 36 L 15 11 9 Bulan
134. S 64 L 31 25 9 Bulan
135. S 63 L 27 38 9 Bulan
136. N 48 P 39 40 9 Bulan
137. P 59 P 56 42 10 Bulan
138. H 72 P 39 26 10 Bulan
139. H 66 P 15 113 10 Bulan
140. S 57 L 22 55 10 Bulan
141. H 59 P 39 20 10 Bulan
142. S 47 P 54 28 11 Bulan
143. S 47 P 35 42 11 Bulan
144. N 42 P 24 18 11 Bulan
145. P 50 L 40 15 11 Bulan
146. K 44 P 18 24 12 Bulan
147. A 28 P 41 32 12 Bulan
148. D 57 P 18 29 12 Bulan
149. N 54 P 34 42 12 Bulan
150. S 45 P 41 53 12 Bulan
51

Lampiran 2
Instrumentasi Penelitian

Gambar 2.
ABX PENTRA 400

1. Prinsip : Sinar dari lampu hologen dikumpulkan dari lensa kedua,


sorotan sinar itu melewati kuvet pengantar tempat berinteraksi dengan
campuran sinar reaksi. Sinar yang dari kuvet melewati lensa menjadi
sinar monokromik dan diteruskan ke detector.
2. Bahan pemeriksaaan : Serum/Plasma.
3. Prosedur :
a) Alat tersambung oleh listrik.
b) Tombol hitam ( I ) ditekan yang berada dibagian sebelah kanan dari
alat. Setelah alat menunjukkan ready, nama operator dan password
dimasukkan. New Worklist dipilih untuk memulai dengan worklist
baru kemudian, tekan OK.
c) Proses Start Up ditunggu sampai dilayar monitor menunjukkan
Ready.
d) Control dan kalibrator dilakukan terhadap parameter yang akan
diperiksa. Alat siap digunakan untuk pemeriksaan sampel.
e) Peletakkan sampel harus sesuai agar Barcode mudah terbacaoleh
alat yang telah disambungkan dengan sistem LIS, tetapi jika hasil
tak kunjung terbaca oleh alat yang harus dilakukan adalah
pengerjaan manual, seperti :
52

1) Menu utama, Worklist dipilih kemudian Add New dipiih untuk


menambah pemeriksaan.
2) Data pasien diisi pada bagian Patient Demographic dan diisi
Sample Characteristics. Jenis parameter ditentukan sesuai surat
pengantar pasien. Sampel diletakkan pada sample rack sesuai
dengan nomor pada Sample Characteristics. Kemudian tombol
Run ditekan untuk memulai pemeriksaan.
f) Hasil keluar berupa 2 buahprint out (satu buah untuk arsip dan satu
lagi untuk hasil)
4. Hal-hal yang perlu diperhatikan :
a) Air aquabidest pada reservoir bottle, ditambahkan jika air kurang.
b) Waste container dikosongkan jika sudah penuh.
c) Kuvet baru ditambahkan jika kurang.
d) Kuvet bekas dikosongkan (dibuang pada tempat limbah).
e) Ketersediaan kertas printer.
f) Jika ada pesan HIGH_ABS pada sampel maka pemeriksaan
sampel akan diulang jika post dilution telah deprogram
sebelumnnya, jika belum deprogram, maka dilakukan pengenceran
secara manual.
g) Jika ada pesan SAMPLE_LIMIT pada sampel diperiksa secara
visual, kemungkinan ikterik, hemolitik atau lipemik, maka dilakukan
pengenceran secara manual.
h) Jika ada pesan REAG_RANGE_HIGH atau REAG_RANGE_LOW
pada blank menandakan nilai absorbansi reagent blank untuk
pengukuran diperiksa agar tidak melebihi nilai yang sudah
diprogram, maka dilakukan pemeriksaan ulang dengan reagent
baru.
53

Lampiran 3
Perhitungan Statistik

Tabel 6.
Uji Normalitas

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.
SGOT ,084 150 ,011 ,932 150 ,000
SGPT ,107 150 ,000 ,907 150 ,000
a. Lilliefors Significance Correction

Tabel 7.
Uji Korelasi SGOT dan SGPT Dengan Lamanya Mengkonsumsi OAT

SGOT SGPT
Spearman's rho SGOT Correlation
1,000 ,428**
Coefficient
Sig. (2-tailed) . ,000
N 150 150
SGPT Correlation
,428** 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) ,000 .
N 150 150
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
54

Lampiran 4
Surat Tugas Bimbingan KTI

Gambar 3.
Surat Tugas Pembimbing 1 dan 2
55

Lampiran 8

Surat Izin Pengambilan Data

Gambar 4.
Surat Izin Pengambilan Data Rekam Medik
56
57

Lampiran 9
Surat Balasan Izin Pengambilan Data Rekam Medik
di RSUD Budhi Asih

Gambar 5.
Surat Balasan Izin Pengambilan Data Rekam Medik
di RSUD Budhi Asih
58

Lampiran 10

Kartu Konsultasi Bimbingan

Gambar 6.
Kartu Konsultasi Bimbingan KTI Pembimbing 1 dan 2
59

Lampiran 11
Kartu Konsultasi Perbaikan Karya Tulis Ilmiah

Gambar 7.
Kartu Konsultasi Perbaikan
60

BIODATA

Nama : Kresna Bayu Erlangga


NIM : 1010161054
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 30 Desember 1997
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Gg. Musola RT.03/RW.07 No. 101
Kelurahan Sukatani, Kecamatan Tapos,
Kota Depok, Jawa Barat
Email : kresnabayu307@gmail.com
No. Telp : 085702028418
Judul : Hubungan Kadar Enzim SGOT Dan SGPT Pada
Pengobatan Fase Lanjut Penderita Tuberkulosis
Di RSUD Budhi Asih
61

Anda mungkin juga menyukai