Anda di halaman 1dari 50

ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL KRONIK

PADA TN. U DI RSUP M. DJAMIL PADANG


(CHRONIC KIDNEY DISEASE)

Disusun Oleh :
Wahyuni Pamuja Amd. Kep

TAHUN 2021

DAFTAR ISI

Halaman Judul ………………………………………………….. i

Kata Pengantar ………………………………………………….. ii

Daftar Isi …………………………………………………... iii

BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang …………………………………………………… 1
1.2 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum………………………………………………………… 1
1.3.2 Tujuan Khusus ……………………………………………………. 2
1.4 Manfaat …………………………………………………….. 2

BAB 2 Tinjauan Pustaka


2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal ……………………………………. 3
2.2 Definisi Gagal Ginjal Kronik ……………………………………. 5
2.3 Tahap Perkembangan Gagal Ginjal Kronik …………………… 6
2.4 Etiologi Gagal Ginjal Kronik …………………………….. 6
2.5 Stadium Gagal Ginjal Kronik ……………………………… 7
2.6 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik ……………………………… 9
2.7 Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik ……………………………… 9
2.8 Pemeriksaan Diagnostik Gagal Ginjal Kronik……………………….. 11
2.9 Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik ……………………. 13
2.10 Komplikasi Gagal Ginjal Kronik ……………………………... 21
2.11 Prognosis Gagal Ginjal Kronik ……………………………… 22
2.12 Web of Cautation ………………………………………. 25

BAB 3 Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gagal Ginjal Kronik


3.1 Pengkajian ……………………………………………………….. 27
3.2 Diagnosa Keperawatan ……………………………………………. 29
3.3 Intervensi keperawatan …………………………………… 30

BAB 4 Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gagal Ginjal Kronik


4.1 Pengkajian ……………………………………………. 39
4.2 Analisa Data ……………………………………………. 43
4.3 Diagnosa Keperawatan……………………………………………… 45
4.4 Intervensi Keperawatan …………………………………… 46

BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan ……………………………………………… 53
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 54
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi
glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan
atau lebih yang irreversible dan didasari oleh banyak faktor (NKF K/DOQI 2000; Kallenbach
et al. 2005). Apabila kerusakan ini mengakibatkan laju filtrasi glomelurus/GFR berkurang
hingga di bawah 15 ml/min/1,73 m2 dan disertai kondisi uremia, maka pasien mengalami
gagal ginjal tahap akhir atau disebut dengan End Stage Renal Disease (ESRD).
Saat ini penderita gagal ginjal kronik di dunia mengalami peningkatan sebesar 20-
25% setiap tahunnya (USRDS 2008 dalam Harwood. Lori et al. 2009). Menurut data
PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia)mencapai 70.000, namun yang terdeteksi
menjalani gagal ginjal kronis dan menjalani cuci darah/haemodialysis hanya sekitar 4000
sampai dengan 5000 saja. Angka mortalitas pasien gagal ginjal kronik semakin meningkat
seiring meningkatnya angka kejadian penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit
jantung sebagai penyebabnya dan komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.
Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2006, gagal ginjal kronik menempati urutan
ke 6 penyebab kematian yang dirawat di rumah sakit di Indonesia. Berdasarkan hasil studi
pendahuluan yang dilakukan di RSUP Fatmawati, menurut data Instalasi Rekam Medik
RSUP Fatmawati Jakarta jumlah penderita penyakit ginjal kronik pada tahun 2011 sebanyak
1629 orang.
Penatalaksanaan untuk mengatasi masalah GGK terdapat dua pilihan (Markum 2009)
yaitu pertama, penatalaksanaan konservatif meliputi diet protein, diet kalium, diet natrium,
dan pembatasan cairan yang masuk. Kedua, dialisis dan transplantasi ginjal merupakan terapi
pengganti pada pasien. Terapi pengganti yang sering dilakukan pada pasien GGK adalah
dialisis.
Oleh karena permasalahan tersebut, makalah ini disusun agar perawat mampu
memahami dengan baik mengenai gagal ginjal kronik serta mampu menerapkan asuhan
keperawatan yang tepat bagi penderita gagal ginjal kronik.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Makalah ini menjabarkan secara rinci tentang teori konseptual mengenai gagal ginjal
kronik dan bagaimana cara memberikan penatalaksaan yang cepat dan tepat, serta pembaca
diharapkan memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada kasus gagal ginjal kronik
secara komprehensif.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi ginjal
2. Menjelaskan definisi dari gagal ginjal kronik
3. Menjelaskan tahap perkembangan dari gagal ginjal kronik
4. Menjelaskan etiologi dari gagal ginjal kronik
5. Menjelaskan stadium dari gagal ginjal kronik
6. Menjelaskan patofisiologi dari gagal ginjal kronik
7. Menjelaskan manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik
8. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik dari gagal ginjal kronik
9. Menjelaskan penatalaksanaan dari gagal ginjal kronik
10. Menjelaskan komplikasi dari gagal ginjal kronik
11. Menjelaskan prognosis dari gagal ginjal kronik
12. Menjelaskan Web of Cautation dari gagal ginjal kronik
13. Menjelaskan Asuhan keperawatan dari gagal ginjal kronik

1.3 Manfaat
Mahasiswa mampu mengetahui tentang gagal ginjal kronik sehingga perawat akan
lebih peka dan teliti dalam mengumpulkan data pengkajian awal dan menganalisa suatu
respon tubuh pasien terhadap penyakit, sehingga gagal ginjal kronik tidak semakin berat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi


Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga peritoneal bagian
atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi
ini, terdapat hilus ginjal, yaitu tempat struktur-sturuktur pembuluh darah, sistem limfatik,
sistem saraf, dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal. Besar dan berat ginjal sangat
bervariasi tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi lain.
Ukuran ginjal rata-rata adalah 11,5 cm (panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal). Beratnya
bervariasi sekitar 120-170 gram (Aziz dkk.2008).
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan berkilau yang disebut true capsule
(kapsul fibrosa) ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak peri renal. Di sebelah
kranial terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal/suprarenal yang berwarna kuning.
Kelenjar adrenal bersama-sama ginjal dan jaringan lemak perineal dibungkus oleh fasia
gerota. Fasia ini berfungsi sebagai barier yang menghambat meluasnya perdarahan dari
parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi urin pada saat terjadi trauma ginjal. Selain itu,
fasia gerota dapat pula berfungsi sebagai barier dalam menghambat metastasis tumor ginjal
ke organ sekitarnya. Di luar fasia gerota terdapat jaringan lemak retroperitoneal atau disebut
jarinagn lemak pararenal (Aziz dkk. 2008).

Gambar 1. Anatomi Ginjal (Aziz dkk. 2008)

Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal serta tulang
rusuk ke XI dan XII, sedangkan di sebelah anterior dilindungi oleh organ-organ
intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan duodenum, sedangkan ginjal
kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejunum, dan kolon (Aziz dkk. 2008). Ginjal
kanan tingginya sekitar 1 cm di atas ginjal kiri (Faiz &Moffat 2004).
Secara anatomik ginjal terbagi dalam dua bagian, yaitu korteks dan medula ginjal. Di
dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron, sedangkan di dalam medula banyak terdapat
duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas glomeruli
dan tubuli ginjal. Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam
glomeruli kemudian di tubuli ginjal beberapa zat yang masih diperlukan tubuh mengalami
reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme tubuh disekresi bersama air dalam bentuk urin
(Aziz dkk. 2008).

Gambar 2. Sistem Nefron Ginjal (Aziz dkk. 2008)


Urin yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem
pelvikalises ginjal untuk disalurkan ke dalam ureter. Sistem pelvikalises ginjal terdiri
atas kaliks minor, infundibulum, kaliks mayor, dan pielum/pelvis renalis. Mukosa
sistem pelvikalises terdiri atas epitel transisional dan dindingnya terdiri otot polos
yang mampu berkontraksi untuk mengalirkan urin sampai ureter (Aziz dkk. 2008).
Ginjal bekerja untuk menyaring darah sebanyak kurang lebih 200 liter tiap
harinya dan juga membuang sisa-sisa metabolisme serta kelebihan cairan tubuh
melalui urin. Selain membuang sisa-sisa metabolisme tubuh melalui urin, ginjal
berfungsi juga dalam:
1. Melakukan kontrol terhadap sekresi hormon-hormon aldostreon dan Anti
Diuretik Hormon (ADH)
2. Mengatur metbolisme ion kalsium dan vitamin D
3. Menghasilkan hormon, antara lain: eritropoetin yang berperan dalam
pembentukan sel darah merah, renin yang berperan dalam pengaturan
tekanan darah, kalsitriol atau vitamin D3 yaitu bentuk aktif dari vitam D yang
berfungsi mengatur tekanan darah dengan cara mengatur keseimbangan kadar
kalsium, dan hormon prostaglandin (Aziz dkk. 2008).

2.2 Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan
ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer 2008). Gagal ginjal kronik merupakan
kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration
Rate/GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama lebih dari 3 bulan (Kallenbach
et al. 2005). Menurut KDIGO (2013) Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan
abnormalitas dari struktur atau ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan yang
mempengaruhi kesehatan, dengan kriteria sebagai berikut:
1. Adanya kerusakan ginjal (satu atau lebih):
a. Albuminuria (AER ≥30 mg/24 jam; ACR ≥30 mg/g [≥3 mg/mmol])
b. Abnormalitas sedimen urin
c. Abnormalitas elektrolit dan lainnya akibat dari kerusakan pada tubulus ginjal
d. Adanya abnormalitas yang diketahui dari histologi
e. Abnormalitas struktural yang diketahui dari pencitraan
f. Mempunyai riwayat transplantasi ginjal
2. Penurunan GFR
GFR 60 ml/min/1,73 m2 (Kategori GFR G3a-G5)
Kondisi ginjal yang gagal melaksanakan fungsi utamanya akan terjadi
gangguan pembuluh darah dan penyakit lebih mudah merusak pembuluh darah
tersebut. Akibatnya, darah yang diterima unit penyaring menjadi lebih sedikit, dan
tekanan darah di dalam ginjal tidak bisa dikendalikan. Bila unit penyaring yang
terganggu, maka suplai darah kurang dan gangguan tekanan darah akan membuat
ginjal tidak mampu membuang zat-zat tidak terpakai lagi. Selain itu ginjal juga tidak
bisa mempertahankan keseimbangan cairan dan zat-zat kimia di dalam tubuh,
sehingga zat buangan bisa masuk kembali ke dalam darah. Juga mungkin terjadi, zat
kimia yang dibutuhkan tubuh dan protein akan ikut keluar bersama urin (Syamsir &
Iwan 2007).
Pada gagal ginjal kronik penderita hanya dapat berusaha menghambat laju
tingkat kegagalan fungsi ginjal tersebut, agar tidak menjadi gagal ginjal terminal
(GGT), suatu kondisi dimana ginjal sudah tidak dapat berfungsi lagi. Kondisi gagal
ginjal kronik ini biasanya timbul secara perlahan dan sifatnya menahun, dengan
sedikit gejala pada awalnya, bahkan lebih sering penderita tidak merasakan adanya
gejala dan diketahui fungsi ginjal sudah menurun 25% dari normal. Beberapa
penyakit yang memicu terjadinya penyakit aggal ginjal kronik, antara lain diabetes,
hipertensi, dan batu ginjal (Syamsir & Iwan 2007).

2.3 Tahapan Perkembangan Gagal Ginjal Kronik


Tahapan perkembangan gagal ginjal kronik, yaitu (Baradero dkk. 2005):
1. Penurunan cadangan ginjal
a. Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal
c. BUN dan kreatinin serum masih normal
d. Pasien asimtomatik
2. Gagal ginjal
a. 75-80% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal
c. BUN dan kreatinin serum mulai meningkat
d. Anemia ringan dan azotemia ringan
e. Nokturia dan poliuria
3. Gagal ginjal
a. Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal
b. BUN dan kreatinin serum meningkat
c. Anemia, azotemia, asidosis metabolik
d. Berat jenis urin
e. Poliuria dan nokturia
f. Gejala gagal ginjal
4. End-stage renal disease (ESRD)
a. Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal
c. BUN dan kreatinin tinggi
d. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
e. Berat jenis urin tetap 1,010
f. Oliguria
g. Gejala gagal ginjal

2.4 Etiologi
Penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik adalah diabetes mellitus (tipe 1 atau
tipe 2) dan hipertensi, sedangkan penyebab End-stage Renal Failure (ERFD) di seluruh dunia
adalah IgA nephropathy (penyakit inflamasi ginjal). Komplikasi dari diabetes dan hipertensi
adalah rusaknya pembuluh darah kecil di dalam tubuh, pembuluh darah di ginjal juga
mengalami dampak terjadi kerusakan sehingga mengakibatkan gagal ginjal kronik.
Etiologi gagal ginjal kronik bervariasi antara negara yang satu dengan yang negara
lain. Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi penyebab paling banyak terjadi gagal ginjal
kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti oleh hipertensi sebanyak 27% Dan
glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas 2008). Di Indonesia penyebab gagal ginjal kronik
sering terjadi karena glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi, dan infeksi pada ginjal,
hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al. 2009).

Penyebab dari gagal ginjal kronis yang tersering dibagi menjadi 8 kelas, antara lain
(Price & Wilson 2003):
Tabel 1.
Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik (Price & Wilson 2003):
- Klasifikasi Penyakit Penyakit
- Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronis/refluks nefropati
- Penyakit peradangan Glomerulonefritis
- Penyakit vascular hipertensif Nefrosklerosis benigna
- Nefrosklerosis maligna
- Stenosis arteri renalis
- Gangguan jaringan ikat SLE
- Poliarteritis nodosa
- Sklerosis sistemik progresif
- Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik
- Asidosis tubulus ginjal
- Penyakit metabolik DM
- Gout, hiperparatiroidisme
- Amilodosis
- Nefropati toksikPenyalahgunaan analgesik, obat TBC
- Nefropati timah
- Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas: batu, neoplasma, fibrosis
retroperitoneal
Traktus urinarius bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital leher
vesika urinaria dan uretra

2.5 Stadium
Chronic Kidney Disease (CKD) diklasifikasikan berdasarkan CGA sistem yaitu Cause, GFR
category, dan Albuminuria category. Gagal ginjal kronik merupakan stadium 5 dari CKD atau biasa
disebut dengan End-stage Renal Disease (ESRD). Dikatakan gagal ginjal kronik apabila dari hasil tes
nilai eGFR < 15 mL/min/1.73 m2.
Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD) dalam Kidney Disease: Improving Global
Outcomes (KDIGO) CKD Work Group (2013) KDIGO 2 clinical practice guideline for the evaluation
and management of chronic kidney disease:
Tabel 2. Kategori GFR (KDIGO 2013)
GFR category GFR (ml/min/1.73 m2) Terms
G1 >90 Normal or high
G2 60–89 Mildly decreased*
G3a 45–59 Mildly to moderately decreased
G3b 30–44 Moderately to severely decreased
G4 15–29 Severely decreased
G5 <15 Kidney failure
* Relatif pada level dewasa
Tabel 3. Kategori Albuminuria (KDIGO 2013)
ACR category AER (mg/24hrs) ACR
(mg/mmol) Terms
A1 < 30 <3 Normal to mildly increased
A2 30-300 3–30 Moderately increased*
A3 > 300 >30 Severely increased**
* Relatif pada level dewasa
** Termasuk sindrom nefrotik (ACR > 220 mg/mmol)
GFR = glomerular filtration rate
AER = albumin excretion rate
ACR = albumin-to-creatinine ratio
2.6 Patofisiologi
Ginjal merupakan salah satu organ ekskretori yang berfungsi untuk mengeluarkan
sisa metabolisme didalam tubuh diantaranya ureum, kreatinin, dan asam urat sehingga terjadi
keseimbangan dalam tubuh. Penyakit ini diawali dengan kerusakan dan penurunan fungsi
nefron secara progresif akibat adanya pengurangan masa ginjal. Pengurangan masa ginjal
menimbulkan mekanisme kompensasi yang mengakibatkan terjadinya hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa. Perubahan ini mengakibatkan hiperfiltrasi yang
diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Selanjutnya penurunan
fungsi ini akan disertai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan peningkatan sisa
metabolisme dalam tubuh.
Perjalanan umum ginjal kronik dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium satu
dinamakan penurunan cadangan ginjal . Pada stadium ini kreatin serum dan BUN dalam
keadaan normal dan penderita asimtomatik (tanpa gejala). Gangguan fungsi ginjal akan dapat
diketahui dengan tes GFR.
Stadium dua dinamakan insufisiensi ginjal , dimana lebih dari 75% jaringan yang
berfungsi telah rusak dan GFR 25% dari normal. Pada tahap ini BUN baru mulai stadium
insufisiensi ginjal gejala nokturia dan poliuria diakibatkan kegagalan pemekatan. Nokturia
(berkemih pada malam hari) sebanyak 700 ml atau berkemih lebih dari beberapa kali.
Pengeluaran urin normal sekitar 1500 ml perhari atau sesuai dengan jumlah cairan yang
diminum.
Stadium ke tiga dinamakan gagal ginjal stadium akhir uremia . sekitar 90% dari
massa nefron telah hancur atau sekitar 200.000 yang masih utuh. Nilai GFR nya hanya 10%
dari keadaan normal dan bersihakan kreatin sebesar 5-10 ml/menit. Penderita biasanya oliguri
(pengeluaran urien kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomelurus uremik. Fungsi
ginjal menurun, produk akhir metabolisme protein. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap
sistem tubuh.
Menurut Sudoyo et al. (2009) stadium paling dini dari penyakit gagal ginjal kronis,
akan menyebabkan penurunan fungsi yang progresif ditandai dengan peningkatan kadar
ureum dan kreatinin serum. Pasien dengan GFR 60% belum merasakan keluhan, tetapi sudah
ada peningkatan kadar ureum dan kreatinin, sampai GFR 30% keluhan nokturia, badan lemas,
mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan mulai terjadi.

2.7 Manifestasi Klinis


Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal kronis adalah penurunan secara lambat dan
progresif dari fungsi ginjal. Biasanya terjadi akibat komplikasi dari kondisi medis lain yang
serius. Tidak seperti gagal ginjal akut yang terjadi dengan cepat dan tiba-tiba, gagal ginjal
kronis terjadi secara bertahap. Gagal ginjal kronis terjadi dalam hitungan minggu, berbulan-
bulan, atau bahkan bertahun-tahun sampai ginjal perlahan berhenti bekerja, mengantarkan
pada stadium akhir penyakit ginjal (ESRD). Perkembangan yang sangat lambat inilah yang
mengakibatkan gejala tidak muncul sampai adanya kerusakan besar.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Long 1996):
1. Gejala dini: lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung, depresi.
2. Gejala yang lebih lanjut: anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak
nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis
mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.

Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Smeltzer & Bare 2001):


1. Kardiovaskuler
a. Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
b. Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
c. Edema periorbital
d. Friction rub pericardial
e. Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
a. Warna kulit abu-abu mengkilat
b. Kulit kering bersisik
c. Pruritus
d. Ekimosis
e. Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
a. Krekels
b. Sputum kental dan liat
c. Nafas dangkal
d. Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
a. Anoreksia, mual, muntah, cegukan
b. Nafas berbau ammonia
c. Ulserasi dan perdarahan mulut
d. Konstipasi dan diare
e. Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
a. Tidak mampu konsentrasi
b. Kelemahan dan keletihan
c. Konfusi/perubahan tingkat kesadaran
d. Disorientasi
e. Kejang
f. Rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Kelemahan pada tungkai
d. Fraktur tulang
e. Foot drop
7. Reproduktif
a. Amenore
b. Atrofi testekuler

2.8 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK adalah:
1. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi dalam (24
jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
2. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
3. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan memekatkan :
menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
4. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan rasio urin/
serum saring (1 : 1).
5. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan ginjal.
6. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal tidak
mampu mengabsorpsi natrium.
7. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
8. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan warna merah
diduga nefritis glomerulus.

Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik, antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus, urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus,
Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan, (Volume Overload) neuropati perifer,
proritus, uremic, frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal
yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
2.9 Penatalaksanaan
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya menurut Suwitra
(2007) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
Derajat LFG (ml/mn/1,73m2) Rencana Tatalaksana
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi perburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkecil risiko kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂15 Terapi pengganti ginjal

Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit ginjal kronik


berdasarkan tabel diatas adalah:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang
masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun
sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors)
yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas
penyakit dasarnya.
3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik, hipertensi berat, gangguan
elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:
a. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra 2007).

LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hr Fosfat g/kg/hr


˃60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr nilai biologi tinggi ≤ 10 g
5-25 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr protein nilai biologis tinggi /tambahan
0,3 g asam amino esensial / asam keton ≤ 10 g
˂60 (SN) 0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria atau 0,3 g / kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton ≤9g
Pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah
penting lain adalah asupan protein berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan
hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hyperfiltration), yang akan meningkattkan progresifitas pemburuan fungsi ginjal. Pembatasan asupan
protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi, memperkecil
risiko gangguan kardiovaskuler juga memperlambat pemburukan kerusakan nefron.
Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angiotensin
(Angiotensin Converting Enzym/ ACE inhibitor dapat memperlambat proses
perburukan fungsi ginjal.
4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskuler
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyaki kardiovaskuler adalah
pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian
anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit.
5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya
sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada
penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoitin.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab
lain bila ditemukan. Pemberian eritropoipin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Dalam pemberian EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO
memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit
ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal
sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.
b. Osteodistrofi renal
Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering
terjadi. Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormone Kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan
tujuan absorbsi fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan
gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
1. Manajemen Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal
kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena
fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan
telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu
ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi
b. Pemberian pengikat fosfat
Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, alumnium
hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk
menghambat absorbsi fofat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak
dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium acetate. Memperlihatkan cara
dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan efek sampingnya.
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent)
Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor
Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut
juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik
serta efek samping yang minimal.
2. Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3))
Pemberian Kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi
pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium
disaluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan barang calcium
carbonate dijaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Disamping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu
pemakainnya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormone
paratiroid (PTH)>2,5 kali normal.
3. Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan.
Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya odem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang
masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun
insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insible water antara
500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-
800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan
natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritnia
jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan
makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi kadar kalium darah
dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi
dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan
darah derajat edema yang terjadi.
6. Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal
dialisis atau transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Hemodialisa adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut
(Raharjo, et al. 2009). Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan sisa metabolisme
dalam tubuh serta menjaga keseimbangan elektrolit dan produk kimiawi dalam tubuh
(Ignatavicius & Workman 2006). Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat
nitrogen yang toksik dari dalam darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen
dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara
cairan dialisat bersikulasi di sekitarnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat
akan terjadi membran semipermeabel tubulus (Rosdiana 2011). Proses hemodialis dilakukan
1-3 kali dalam seminggu di rumah sakit dengan memerlukan waktu sekitar 2-45 jam setiap
kali hemodialisis (Syamsir&Hadibroto 2007).Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis
berdasarkan parameter laboratorium bila LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l .73 m2.

Gambar 3. Proses Hemodialisis (Joyce, dkk. 2008)


Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan
cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi ke cairan dialisat dengan
konsentrasi yang lebih rendah (Rosidana 2011).

Gambar 4. Proses Difusi (http://www.baxter.com)


Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, yaitu air bergerak
dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke daerah dengan tekanan yang
lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan
negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis (Rosdiana 2011).

Gambar 5. Proses Ultrafiltrasi (http://www.lhsc.on.ca/)


Indikasi inisiasi terapi dialisis:
1. Indikasi absolut
a. Periecarditis
b. Ensefalopati / neuropati azotemik
c. Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik
d. Hipertensi refrakter
e. Muntah persisten
f. BUN > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg %
2. Indikasi elektip
a. LFG (formula Cockcroft dan Gault) antara 5 dan 8 ml/m/1,73 m2
b. Mual, anoreksia,muntah, dan astenia berat
Persiapan untuk program dialisis regular, antara lain:
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus mendapatinformasi
yang harus dipahami sendiri dan keluarganya.
Beberapa persiapan (preparasi) dialisis regular:
1. Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
2. Psikoligis yang stabil
3. Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu tidak terbatas
sebelum transplantasi ginjal
4. Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menjamin kualitas hidup optimal
5. Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :
a. Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan
b. Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis
6. Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/% terutama pasien
wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.

Komplikasi yang dapat terjadi akibat hemodialisis, antara lain:


1. Hipotensi
Dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan.
2. Emboli udara
Jarang terjadi, namun bisa terjadi akibat udara yang memasuki sistem vaskular
pasien.
3. Nyeri dada
Terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sikulasi di luar tubuh.
4. Pruritus
Selama terapi adanya produk akhir metabolisme yang tersisa di dalam kulit
5. Gangguan keseimbangan dialisis
Akibat perpindahan cairan cerebral dan muncul sebagai serangan kejang, berpotensi
besar jika terdapat uremia yang berat.
6. Malnutrisi
Akibat kontrol diet dan kehilangan nutrient selama hemodialisa.
7. Fatigue dan kram
Pasien dapat mengalami kecapean akibat hipoksia yang disebabkan edema pulmoner.
Hipoksia pulmoner terjadi akibat retensi cairan dan sodium.

b. Peritoneal Dialisis
Pada dialisis ini membran dialisis menggunakan membran peritoneal pasien sendiri.
Cairan dialisis diletakkan pada rongga peritoneal menggunakan kateter yang dimasukkan dan
dibiarkan selama 4-6 jam untuk mencapai kesetimbangan. Dialisat kemudian dibuang dan
digantikan dengan fluida dialisis yang baru. Perubahan konsentrasi glukosa pada dialisat akan
mengubah osmolaritas dan hal ini mengatur perpindahan air secara osmosis dari darah ke
dialisat. Proses ini dapat dilakukan sendiri oleh pasien di rumah. Komplikasi yang sering
terjadi adalah peritonitis.

Gambar 6. Pasien yang mendapat dialisis peritoneal (Baradero 2005)


c. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal:
1. Ginjal cangkok (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70 - 80% faal ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
Kontraindikasi relatif terhadap transplantasi ginjal:
1. Usia lebih dari 70 th
2. HIV positif
3. Infeksi bakteri
4. Keganasan yang baru terjadi atau sedang diderita
5. Penyakit jantung berat
6. Sensitasi tinggi
7. Penyakit ginjal dengan risikp rekurensi yang tinggi
Persiapan program transplantasi ginjal, antara lain:
1. Pemeriksaan imunologi
a. Golongan darah ABO
1. Ketidak serasian golongan darah ABO antara resipien dan donor
menyebabkan reaksi penolakan hiperakut (hyperacute immediate
rejection)
2. Antigen Rhesus tidak berperan untuk reaksi penolakan.
b. Tipe jaringan HLA ( human leucocyte antigen )
Klasifikasi HLA berdasarkan (major histocompatibility gene complex):
1. Kelas (I) antigen :
* HLA – A
* HLA – B
* HLA-C
2. Kelas (II) antigen : * HLA - D (DR)
3. Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga

2.10 Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare (2002) yaitu:
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan
diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin-
angiostensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar alumunium.

Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2009) yaitu:


1. Komplikasi Hematologis
Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi eritropoietin
yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian eritropoietin subkutan
atau intravena. Hal ini hanya bekerja bila kadar besi, folat, dan vitamin B12 adekuat
dan pasien dalam keadaan baik. Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk
melawan eritropoietin yang diberikan sehingga terjadi anemia aplastik.
2. Penyakit vascular dan hipertensi
Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal
kronik. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi mungkin merupakan
faktor risiko yang paling penting. Sebagaian besar hipertensi pada penyakit ginjal
kronik disebabkan hipervolemia akibat retensi natrium dan air. Keadaan ini biasanya
tidak cukup parah untuk bisa menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme
jantung tripel. Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi
natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika fungsi ginjal memadai,
pemberian furosemid dapat bermanfaat.
3. Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan air akibat
hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap mempertahankan sebagian filtrasi,
namun kehilangan fungsi tubulus, sehingga mengekskresi urin yang sangat encer,
yang dapat menyebabkan dehidrsi.
4. Kulit
Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi. Keluhan
ini sering timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau tersier serta dapat disebabkab
oleh deposit kalsium fosfat apda jaringan. Gatal dapat dikurangi dengan mengontrol
kadar fosfat dan dengan krim yang mencegah kulit kering. Bekuan uremik merupakan
presipitat kristal ureum pada kulit dan timbul hanya pada uremia berat. Pigmentasi
kulit dapat timbul dan anemia dapat menyebabkan pucat.
5. Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering terjadi
pada pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal. Namun gejala mual,
muntah, anoreksia, dan dada terbakar sering terjadi. Insidensi esofagitis serta
angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat menyebabkan perdarahan. Insidensi
pankreatitis juga lebih tinggi. Gangguan pengecap dapat berkaitan dengan bau napas
yang menyerupai urin.
6. Endokrin
Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido,
impotensi, dan penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada wanita, sering terjadi
kehilangan libido, berkurangnya ovulasi, dan infertilitas. Siklus hormon pertumbuhan
yang abnormal dapat turut berkontribusi dalam menyebabkan retardasi pertumbuhan
pada anak dan kehilangan massa otot pada orang dewasa.
7. Neurologis dan psikiatrik
Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan, kehilangan
kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi neurologis (mencakup
tremor, asteriksis, agitasi, meningismus, peningkatan tonus otot dengan mioklonus,
klonus pergelangan kaki, hiperefleksia, plantar ekstensor, dan yang paling berat
kejang). Aktifitas Na+/K+ ATPase terganggu pada uremia dan terjadi perubahan yang
tergantung hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) pada transport kalsium
membran yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi yang
abnormal. Gangguan tidur seringterjadi. Kaki yang tidak biasa diam (restless leg) atau
kram otot dapat juga terjadi dan kadang merespons terhadap pemberian kuinin sulfat.
Gangguan psikiatrik seperti depresi dan ansietas sering terjadi dan terdapat
peningkatan risiko bunuh diri.
8. Imunologis
Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi sering
terjadi. Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun dan dialysis dapat
mengaktivasi efektor imun, seperti komplemen, dengan tidak tepat.
9. Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat penurunan
katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis
peritoneal daripada pasien yang menjalani hemodialisis, mungkin akibat hilangnya
protein plasma regulator seperti apolipoprotein A-1 di sepanjang membran peritoneal.
10. Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika kadar
ureum atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder yang berat.
Kelebihan cairan dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau
kardiomiopati dilatasi. Fistula dialysis arteriovena yang besara dapat menggunakan
proporsi curah jantung dalam jumlah besar sehingga mengurangi curah jantung yang
dapat digunakan oleh bagian tubuh yang tersisa.

2.11 Prognosis
Prognosis GGT dengan program HD kronik tergantung dari banyak faktor terutama
seleksi pasien dan saat rujukan.
1. Umur
Umur < 40 tahun mulai program HD kronik mempunyai masa hidup lebih
panjang, mencapai 20 tahun. Sebaliknya umur lanjut > 55 tahun kemungkinan
terdapat komplikasi sistem kardiovaskuler lebih besar.
2. Saat rujukan
Rujukan terlambat memberi kesempatan timbul gambaran klinik berat seperti
koma, perikarditis, yang sulit dikendalikan dengan tindakan HD.
3. Etiologi GGT
Beberapa penyakit dasar seperti lupus, amiloid, diabetes mellitus; dapat
mempengaruhi masa hidup. Hal ini berhubungan dengan penyakit dasarnya sudah
berat maupun kemungkinan timbul komplikasi akut atau kronik selama HD.
4. Hipertensi
Hipertensi berat dan sulit dikendalikan sering merupakan faktos risiko
vaskuler (kardiovaskuler dan serebral)
5. Penyakit sistem kardiovaskuler
Penyakit sistem kardiovaskuler (infark, iskemia, aritmia) merupakan faktor
risiko tindakan HD. Program CAPD merupakan faktor pilihan / alternatif yang paling
aman.
6. Kepribadian dan personalitas
Faktor ini penting untuk menunjang kelangsungan hidup pasien GGT dengan
program HD kronik.
7. Kepatuhan (complience)
Banyak faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan program HD kronik,
misalnya kepribadian, finansial dan lain-lain.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Anamnesa
Anamnesa adalah mengetahui kondisi klien dengan cara wawancara atau
interview. Mengetahui kondisi klien untuk saat ini dan masa lalu. Anamnesa
mencakup identitas klien, keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat
kesehatan dahulu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat imunisasi, riwayat kesehatan
lingkungan dantempat tinggal.
a. Identitas
Meliputi identitas klien yaitu: nama lengkap, tempat tanggal lahir,
jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, suku/bangsa,
golongan darah, tangggal MRS, tanggal pengkajian, no.RM, diagnose medis,
alamat.
b. Keluhan utama
Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya, apakah
secara tiba-tiba atau berangsur-angsur, apa tindakan yang dilakukan untuk
mengurangi keluhan, obat apa yang digunakan.
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output sedikit sampai tidak
ada BAK, glisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual, muntah, mulut
terasa kering, rasa lelah, napas berbau (ureum), dan gatal pada kulit.
c. Riwayat kesehatan sekarang (PQRST)
Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan klien pada saat di
anamnesa meliputi palliative, provocative, quality, quantity, region, radiation,
severity scala dan time.
Untuk kasus gagal ginjal kronis, kaji onset penurunan urine output, penurunan kesadaran,
perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, dan pemenuhan nutrisi. Kaji pula
sudah kemana saja klien meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya dan mendapat
pengobatan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hiperplasia, dan
prostektomi. Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi system
perkemihan yang berulang. Penyakit diabetes mellitus, dan penyakit
hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab.
Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan
adanya riwayat alergi terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami
penyakit yang sama. Baaimana pola hidup yang biasa diterapkan dalam
keluarga, ada atau tidaknya riwayat infeksi sistem perkemihan yang berulang
dan riwayat alergi, penyait hereditas dan penyakit menular pada keluarga.
f. Riwayat psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan
dialysis akan menyebabkan enderita mengalami gangguan pada gambaran
diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan
menyebabkan klien mengalami kecemasan, gangguan konsep diri (gambaran
diri) dan gangguan peran pada keluarga.
g. Lingkungan dan tempat tinggal
Mengkaji lingkungan tmpat tinggal klien, mengenai kebersihan
lingkungan tempat tinggal, area lingkungan rumah.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
Tingkat kesadaran: menurun esuai dengan tingkat uremia dimana dapat
mempengaruhi system saraf pusat
TTV: sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat, tekanan darah terjadi
perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.
b. Sistem pernapasan
Klien bernapas dengan bau uremia didapatkan adanya pernapasa kusmaul.
Pola napas cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan pembuangan karbon
dioksida yang menumpuk di sirkulasi.
c. Sitem hematologi
Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan menemukan adanya
friction rub yang merupakan tanda khas efusi pericardial. Didapatkan tanda dan
gejala gagal jantung kongestif. TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi,
nyeri dada dan sesak napas, gangguan irama jantung, edem penurunan perfusi perifer
sekunder dari penurunan curah jantung akibat hiperkalemi, dan gangguan kondisi
elektrikal otot ventrikel.
Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai
akibat dari penurunan produksi eritropoitin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan
usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran GI, kecenderungan
mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia.
d. Sistem neuromuskuler
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti
perubahan proses berfikir dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya kejang,
adanya neuropati perifer, burning feet syndrome, retless leg syndrome, kram otot, dan
nyeri otot.
e. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktivitas
system rennin angiostensin aldosteron. Nyeri dada dan sesak napas akibat
perikarditis, efusi pericardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang
timbul dini, dan gagal jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
f. Sistem Endokrin
Gangguan seksual : libido, fertilisasi dan ereksi menurun pada laki-laki akibat
produksi testosterone dan spermatogenesis yang menurun. Sebab lain juga
dihubungkan dengan metabolic tertentu. Pada wanita timbul gangguan menstruasi,
gangguan ovulasi sampaiamenorea.
Gangguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin < 15 ml/menit) terjadi
penuruna klirens metabolic insulin menyebabkan waktu paruh hormon aktif
memanjang. Keadaan ini dapat menyebabkan kebutuhan obat penurunan glukosa
darah akan berkurang. Gangguan metabolic lemak, dan gangguan metabolism vitamin
D.
g. Sistem Perkemihan
Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi penurunan libido berat
h. Sistem pencernaan
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder dari bau
mulut ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga sering
di dapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
i. Sistem Muskuloskeletal
Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
(memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi, pruritus, demam
( sepsis, dehidrasi ), petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat
kalsium pada kulit jaringan lunak dan sendi, keterbatasan gerak sendi. Didapatkan
adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia dan penurunan perfusi
perifer dari hipertensi.

3.2 Diganosa keperawatan


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi renal
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler paru
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
6. Mual berhubungan dengan paparan toksin
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan suplay
oksigen

3.3 Intervensi keperawatan


No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah
NOC:
Fluid balance
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kelebihan volume cairan teratasi
dengan kriteria:
1. Tekanan darah (4)
2. Nilai nadi radial dan perifer (4)
3. MAP (4)
4. CVP (4)
5. Keseimbangan intake dan output dalam 24 jam (4)
6. Kestabilan berat badan (4)
7. Serum elektrolit (4)
8. Hematokrit (4)
9. Asites (4)
10.Edema perifer (4)
NIC:
Fluid Management:
1. Pertahankan intake dan output secara akurat
2. Kolaborasi dalam pemberian diuretik
3. Batasi intake cairan pada hiponatremi dilusi dengan serum Na dengan jumlah kurang dari 130
mEq/L
4. Atur dalam pemberian produk darah (platelets dan fresh frozen plasma)
5. Monitor status hidrasi (kelembaban membrane mukosa, TD ortostatik, dan keadekuatan dinding
nadi)
6. Monitor hasil laboratorium yang berhubungan dengan retensi cairan (peningkatan kegawatan
spesifik, peningkatan BUN, penurunan hematokrit, dan peningkatan osmolalitas urin)
7. Monitor status hemodinamik (CVP, MAP, PAP, dan PCWP) jika tersedia
8. Monitor tanda vital
Hemodialysis Therapy:
1. Timbang BB sebelum dan sesudah prosedur
2. Observasi terhadap dehidrasi, kram otot dan aktivitas kejang
3. Observasi reaksi tranfusi
4. Monitor TD
5. Monitor BUN,Creat, HMT danelektrolit
6. Monitor CT
Peritoneal Dialysis Therapy:
1. Jelaskan prosedur dan tujuan
2. Hangatkan cairan dialisis sebelum instilasi
3. Kaji kepatenan kateter
4. Pelihara catatan volume inflow/outflow dan keseimbangan cairan
5. Kosongkan bladder sebelum insersi peritoneal kateter
6. Hindari peningkatan stres mekanik pada kateter dialisis peritoneal (batuk)
7. Pastikan penanganan aseptik pada kateter dan penghubung peritoneal
8. Ambil sampel laboratorium dan periksa kimia darah (jumlah BUN, serum kreatinin, serum Na, K,
dan PO4)
9. Cek alat dan cairan sesuai protokol
10. Kelola perubahan dialysis (inflow, dwell, dan outflow) sesuai protokol
11. Ajarkan pasien untuk memonitor tanda dan gejala yang mebutuhkan penatalaksanaan medis
(demam, perdarahan, stres resipratori, nadi irreguler, dan nyeri abdomen)
12. Ajarkan prosedur kepada pasien untuk diterapkan dialisis di rumah.
13. Monitor TD, nadi, RR, suhu, dan respon klien selama dialisis
14. Monitor tanda infeksi (peritonitis)

2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi renal


NOC:
Electrolyte Balance
Tujuan:
Setelah dilakukan asuhan selama 3x24 jam ketidakseimbangan elektrolit teratasi dengan kriteria hasil:
1. Peningkatan sodium (4)
2. Peningkatan potassium (4)
3. Peningkatan klorida (4)
NIC:
Electrolyte Management
1. Berikan cairan sesuai resep, jika diperlukan
2. Pertahankan keakuratan intake dan output
3. Berikan elektrolit tambahan sesuai resep jika diperlukan
4. Konsultasikan dengan dokter tentang pemberian obat elektrolit-sparing (misalnya spiranolakton),
yang sesuai
5. Berikan diet yang tepat untuk ketidakseimbangan elektrolit pasien
6. Anjurkan pasien dan / atau keluarga pada modifikasi diet tertentu, sesuai
7. Pantau tingkat serum potassium dari pasien yang memakai digitalis dan diuretik
8. Atasi aritmia jantung
9. Siapkan pasien untuk dialisis
10. Pantau elektrolit serum normal
11. Pantau adanya manifestasi dari ketidakseimbangan elektrolit

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler paru


NOC:
Respiration status: Gas Exchange
Tujuan:
Setelah dilakukan keperawatan selama 2x24 jam klien Gangguan pertukaran gas teratasi dengan
kriteria hasil:
1. Tekanan oksigen di darah arteri (PaO2) (4)
2. Tekan karbondioksida di darah arteri (PaCO2) (4)
3. PH arterial (4)
4. Saturasi oksigen (4)
5. Keseimbangan perfusi ventilasi (4)
6. Sianosis (4)
NIC:
Oxygen Therapy
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
2. Kelola pemberian oksigen tambahan sesuai resep
3. Anjurkan pasien untuk mendapatkan resep oksigen tambahan sebelum perjalanan udara atau
perjalanan ke dataran tinggi yang sesuai
4. Konsultasi dengan tenaga kesehatan lain mengenai penggunaan oksigen tambahan saat aktivitas
dan/atau tidur
5. Pantau efektivitas terapi oksigen (pulse oximetry, BGA)
6. Observasi tanda pada oksigen yang disebabkan hipoventilasi
7. Monitor aliran oksigen liter
8. Monitor posisi dalam oksigenasi
9. Monitor tanda-tanda keracunan oksigen dan atelektasis
10. Monitor peralatan oksigen untuk memastikan bahwa tidak mengganggu pasien dalam bernapas

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi


NOC:
Tissue Integrity : Skin and Mucous membrane
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kerusakan integritas klien teratasi dengan
criteria hasil :
1. Elastisitas (4)
2. Hidrasi (4)
3. Perfusi jaringan (4)
4. Integritas kulit (4)
5. Abnormal pigmentasi (4)
6. Lesi pada kulit (4)
7. Lesi membran mukosa (4)
NIC:
Pressure Management
Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian yang longgar.
1. Hindari kerutan pada tempat tidur
2. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
3. Mobilisasi klien akan adanya kemerahan
4. Oleskan lotion atau minyak baby oil pada daerah yang tertekan
5. Memandikan klien dengan sabun dan air hangat
6. Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka
7. Kolaborasi ahli gizi pemberian diet TKTP, vitamin
8. Cegah kontaminasi feses dan urin
9. Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka.
10. Observasi luka: lokasi, dimensi, kedalaman luka, karakteristik warna cairan, granulasi, jaringan
nekrotik, tanda-tanda infeksi local, formasi traktus
11. Monitor aktivitas dan mobilitas klien
12. Monitor status nutrisi klien
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
NOC :
Pain Control
Setelah dilakukan asuhan selama 2x24, nyeri teratasi dengan kriteria hasil:
1. Kenali awitan nyeri (2)
2. Jelaskan faktor penyebab nyeri (2)
3. Gunakan obat analgesik dan non analgesik (2)
4. Laporkan nyeri yang terkontrol
NIC :
Pain Management
1. Tentukan dampak nyeri terhadap kualitas hidup klien (misalnya tidur, nafsu makan, aktivitas,
kognitif, suasana hati, hubungan, kinerja kerja, dan tanggung jawab peran).
2. Kontrol faktor lingkungan yang mungkin menyebabkan respon ketidaknyamanan klien (misalnya
temperature ruangan, pencahayaan, suara).
3. Pilih dan terapkan berbagai cara (farmakologi, nonfarmakologi, interpersonal) untuk meringankan
nyeri.
4. Observasi tanda-tanda non verbal dari ketidaknyamanan, terutama pada klien yang mengalami
kesulitan berkomunikasi.

6. Mual berhubungan dengan paparan toksin


NOC:
Nausea and Vomitting Control
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam mual teratasi dengan kriteria hasil:
1. Mengenali awitan mual (4)
2. Menjelaskan faktor penyebab (4)
3. Penggunaan anti emetik (4)
NIC:
Nausea Management
1. Dorong pasien untuk memantau mual secara sendiri
2. Dorong pasien untuk mempelajari strategi untuk mengelola mual sendiri
3. Lakukan penilaian lengkap mual, termasuk frekuensi, durasi, tingkat keparahan, dengan
menggunakan alat-alat seperti jurnal perawatan, skala analog visual, skala deskriptif duke dan
indeks rhodes mual dan muntah (INV) bentuk 2.
4. Identifikasi pengobatan awal yang pernah dilakukan
5. Evaluasi dampak mual pada kualitas hidup.
6. Pastikan bahwa obat antiemetik yang efektif diberikan untuk mencegah mual bila memungkinkan.
7. Identifikasi strategi yang telah berhasil menghilangkan mual
8. Dorong pasien untuk tidak mentolerir mual tapi bersikap tegas dengan penyedia layanan kesehatan
dalam memperoleh bantuan farmakologis dan nonfarmakologi
9. Promosikan istirahat yang cukup dan tidur untuk memfasilitasi bantuan mual
10. Dorong makan sejumlah kecil makanan yang menarik bagi orang mual
11. Bantu untuk mencari dan memberikan suport emosional

7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan suplay oksigen


NOC:
Activity Tolerance
Tujuan
Setelah dilakukan keperawatan selama 3x24 jam pasien bertoleransi terhadap aktivitas
Kriteria hasil:
1. Saturasi Oksigen saat aktivitas (4)
2. Nadi saat aktivitas (4)
3. RR saat aktivitas (4)
4. Tekanan darah sistol dan diastol saat istirahat (4)
5. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri (4)
NIC:
Activity Therapy
1. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalam merencanakan program terapi yang
tepat.
2. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
3. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan
social
4. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
5. Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek.
6. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
7. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas
8. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
9. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
10. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas.
11. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
12. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
13. Monitor respon kardiovaskular terhadap aktivitas (takikardia, disritmia, sesak nafas, diaphoresis,
pucat, perubahan hemodinamik)
14. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
15. Monitor responfisik, emosi, social dan spiritual.
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

Tn. U berumur 55 tahun, datang ke RSUD RASIDIN PADANG dengan keluhan nyeri, lemas,
sesak tanpa aktifitas, disertai batuk. Lalu klien juga mengeluh mual dan badannya terasa sangat
lemah, dan merasa sering gelisah. Dari pemeriksaan perawat ditemukan adanya edema pada
ekstremitas bawah (kedalamannya 6 mm, waktu kembali 7 detik). Tanda tanda vital ketika masuk
rumah sakit yaitu tekanan darah : 170/100, Nadi : 88x/menit, RR: 28 x/menit, S: 36,7 °C. klien pernah
masuk ke rumah sakit dengan keluhan hipertensi. Dari diagnosa medis yaitu Gagal Ginjal stadium IV.
Pada pemeriksaan BGA ditemukan: PH: 7.15, pCO2 40, HCO3 18, SaO2 90%
BB pre edema : 65kg
BB post edema : 69kg
TB: 175 cm

4.1 Pengkajian
1. Anamnesis
a. Identitas
Nama : Tn. U
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : Lubuk Minturun
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Minang
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : PNS
Sumber informasi : Klien dan keluarga
Tgl pengkajian : 22 Maret 2000
b. Keluhan utama
Klien mengeluhkan nyeri
c. Riwayat penyakit sekarang
Klien masuk rumah sakit melalui IGD pada tanggal 22 maret 2000 dengan keluhan
sesak tanpa aktifitas, mual, badan terasa lemah, terdapat pitting edema pada ekstremitas
bawah. Tanda-tanda vital ketika masuk rumah sakit yaitu tekanan darah : 170/100, Nadi :
88x/i, RR : 28 x/i, S : 36,7 °C.
d. Riwayat penyakit dahulu
Keluarga klien mengatakan klien pernah masuk rumah sakit sebelumnya dengan
keluhan sakit hipertensi. Klien mengkonsumsi nifedipin 20mg 3x1, tapi sudah berhenti 2
minggu sebelum MRS
e. Diagnosa medis
Gagal ginjal stadium IV
f. Persepsi dan pemeliharan kesehatan
Menurut penuturan keluarga, Pasien memandang kesehatan sangat penting untuk
dijaga. Jika klien merasakan sakit, demam, atau sekedar flu biasanya klien memeriksakan diri
ke Puskesmas atau ke pelayanan kesehatan terdekat
g. Pola nutrisi Intake makanan: klien makan 3x sehari.
Intake Cairan: Klien minum 4 gelas/hari, air putih dan teh.
h. Pola eliminasi:
Sebelum sakit keluarga klien mengatakan bahwa klien biasa BAB 1x/hari pagi hari.
Pengeluaran urin 300 cc per 24 jam.
i. Pola aktivitas dan latihan
Keterangan:
0 : mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain 3: tergantung total
j. Pola tidur dan istirahat
Sebelum sakit keluarga klien mengatakan bahwa klien mulai tidur malam sekitar jam
21.00 kemudian subuh jam 04.30 bangun untuk melaksanakan solat subuh. Saat ini klien
hanya terbaring ditempat tidur, klien mengatakan badannya lemah.
k. Pola perceptual
Klien mengatakan nyeri tanpa beraktifitas, nafasnya sesak, batuk tetapi tidak
berdahak, badan terasa lemah, klien mengatakan sesak nafas jika O2 dilepas, klien hanya
mampu berbaring ditempat tidur, semua kegiatan dilakukan di tempat tidur, termasuk
toileting. penglihatan tidak ada masalah, lapang pandang normal, pupil reaktif terhadap
cahaya. Pendengaran tidak ada masalah, klien masih bisa merasakan rasa asin, manis, pahit,
asam. Pengecapan klien masih normal
l. Pola persepsi diri
Klien mengatakan dirinya sangat ingin cepat sembuh, kembali kerumah dengan
keadaan sehat, dan ingin kembali melakukan aktifitas seperti biasa seperti sebelum masuk
rumah sakit. Klien berorientasi dan berhubungan baik dengan keluarga, petugas kesehatan dan
pengunjung. Klien tidak menunjukkan adanya menarik diri atau minder.
m. Pola seksulitas dan reproduksi
Klien sudah menikah dan mempunyai 3 anak dan saat ini istri klien sudah
menopouse.

n. Pola peran dan hubungan


Saat ini klien tinggal bersama istri, klien mengatakan selama ini tidak ada masalah
dalam keluarga baik kepada istri maupun mertuanya. Klien juga mengatakan selama ini
berhubungan baik dengan semua anggota keluarga dan tetangga. Saat klien dirawatpun
keluarga terutama istri dan anaknya senantiasa mendampingi beliau.
o. Pola managemen koping stress
Dari penuturan keluarga pasien dalam memanagement stress keluarga membiasakan
berekreasi bersama atau hanya sekedar menonton TV.
p. Sistem nilai dan keyakinan
Klien dan keluarga beragama islam. Klien melakukan berbagai ikhtiar untuk keadaan
nya sekarang.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keluhan yang dirasakan saat ini:
Kesadarannya compos mentis, GCS 14. Klien merasakan badannya lemas
TD : 170/100mmHg
RR : 28x/menit
HR : 88x/menit
S :36,7°C
BB pre edema : 65kg
BB post edema : 69kg
TB: 175 cm
b. B1 (Breathing)
RR : 28x/ menit, klien mengeluh sesak tanpa melakukan aktifitas
c. B2 (blood)
Wajah pucat, tekanan darah tinggi : 170/100mmhg, nadi :88x/menit
d. B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis
e. B4 (Baldder)
Nyeri tekan vesika urinaria (-). Urin per 24 jam 300 cc, warna kuning pekat.
f. B5 (Bowel)
Klien mengeluh mual, nyeri tekan ulu hati (+). Pola BAB 1 kali per hari, bising usus (+)

g. B6 (Bone and Integumen)


Terdapat pitting oedema pada ekstremitas grade 3, kekuatan otot
5 5
5 5

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah
Parameter Nilai normal
Hb 8,5 mg/dl 12-16 Rendah
Urea197 mg/dl 10-50 Tinggi
Kreatinin 12 mg/dl 0,5-1,2 Tinggi
BUN 132 mg/dl 5-25 Tinggi
K 6.2 mmol/dl 3,4-5,4 Tinggi
Na 176 mmol/dl 135-155 Tinggi
Cl 120 mmol/dl 95-108 Tinggi
Uric Acid 7,8 mg/dl 3,4-7 Tinggi
HCT 29,3% 35-50 % Rendah
Pada pemeriksaan BGA ditemukan: PH: 7.15, pCO2 40, HCO3 18, SaO2 90% (Asidosis
Metabolis)

4.2 Analisa Data


Data EtiologiMasalah keperawatan
DS: -
DO:
 Pasien tampak cemas dan gelisah
 Perubahan Tekanan Darah (170/100 mmHg)
 Penurunan Hb (8,5 mg/dl) dan Ht (29,3%)
 Edema pada tungkai (derajat 3)
 Sesak tanpa aktifitas
 Ketidakseimbangan elektrolit
Hipernatremia (176 mmol/dl)
Hiperkalemia (6,2 mmol/dl)
Hiperkloremia (120 mmol/dl)
 Penambahan berat badan secara drastis
BB pre edema : 65kg
BB post edema : 69kg
 Oliguria (300 cc/24 jam)
CKD

Retensi Na

Payah jantung kiri

COP turun

Aliran darah ginjal turun

Gangguan RAA

Retensi H2O dan Na naik

Kelebihan volume cairan Kelebihan volume cairan
DS : -
DO:
 Ketidakseimbangan elektrolit
Hipernatremia (176 mmol/dl)
Hiperkalemia (6,2 mmol/dl)
Hiperkloremia (120 mmol/dl) CKD

Gangguan aldosteron

Sekresi kalium dan absorpsi natrium terganggu

Reabsorpsi air

Kembali ke dalam darah

Resiko ketidakseimbangan elektrolit
Resiko ketidakseimbangan eletrolit
DS :
Klien mengatakan dadanya sesak saat beraktifitas
DO:
- BGA pasien:
PH: 7.15
pCO2 40
HCO3 18
SaO2 90%
(Asidosis Metabolis)
- Takipnea (RR: 28x/menit)
- Takikardi (TD: 170/100mmHg)
- Hb rendah (8,5 mg/dl)
- Ht rendah (29,3%) CKD

Retensi Na

Payah jantung kiri

Bendungan atrium kiri naik

Tekanan vena pulmonalis

Kapiler paru naik

Edema paru

Gangguan pertukaran gas

Gangguan Pertukaran Gas


DS:
Klien mengeluh mual
DO:
 Klien tidak nafsu terhadap makanan
 Klien mual CKD

Gg.sekresi protein

Sindroma uremia

Gg.asam basa

As.lambung naik

Mual Mual
DS :
Klien mengatakan nyeri di punggung kanan
DO:
 Perubahan tonus otot (badan terasa lemah)
 Perubahan Tekanan Darah 170/100 mmHg
 Ekspresi klien gelisah CKD

Retensi Na

Payah jantung kiri

COP turun

Suplai O2 jaringan turun

Metabolisme anaerob

Timbunan as.laktat naik

Fatigue,nyeri sendi

Nyeri akut Nyeri akut
DS:
 Klien mengeluh sesak tanpa melakukan aktifitas
 Klien mengatakan tubuhnya merasa lemah
DO:
 Peningkatan Tekanan darah 170/100 mmHg
 Sesak tanpa melakukan aktifitas CKD

Retensi Na

Payah jantung kiri

COP turun

Suplai O2 jaringan turun

Metabolisme anaerob

Timbunan as.laktat naik

Fatigue,nyeri sendi

Intoleransi aktivitas
Intoleransi aktivitas

4.3 Diagnosa Keperawatan


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi renal
3. Gangguan Pertukaran gas nerhubungan dengan perubahan membran kapiler paru.
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
5. Mual berhubungan dengan paparan toksin
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan suplay oksigen

4.4 Intervensi

No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah
NOC:
Fluid balance
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kelebihan volume cairan teratasi dengan
kriteria:
1. Tekanan darah (4)
2. Nilai nadi radial dan perifer (4)
3. MAP (4)
4. CVP (4)
5. Keseimbangan intake dan output dalam 24 jam (4)
6. Kestabilan berat badan (4)
7. Serum elektrolit (4)
8. Hematokrit (4)
9. Asites (4)
10. Edema perifer (4)
NIC:
Fluid Management:
1. Pertahankan intake dan output secara akurat
2. Kolaborasi dalam pemberian diuretik
3. Batasi intake cairan pada hiponatremi dilusi dengan serum Na dengan jumlah kurang dari 130
mEq/L
4. Atur dalam pemberian produk darah (platelets dan fresh frozen plasma)
5. Monitor status hidrasi (kelembaban membrane mukosa, TD ortostatik, dan keadekuatan dinding
nadi)
6. Monitor hasil laboratorium yang berhubungan dengan retensi cairan (peningkatan kegawatan
spesifik, peningkatan BUN, penurunan hematokrit, dan peningkatan osmolalitas urin)
7. Monitor status hemodinamik (CVP, MAP, PAP, dan PCWP) jika tersedia
8. Monitor tanda vital
Hemodialysis Therapy:
1. Timbang BB sebelum dan sesudah prosedur
2. Observasi terhadap dehidrasi, kram otot dan aktivitas kejang
3. Observasi reaksi tranfusi
4. Monitor TD
5. Monitor BUN,Creat, HMT danelektrolit
6. Monitor CT
Peritoneal Dialysis Therapy:
1. Jelaskan prosedur dan tujuan
2. Hangatkan cairan dialisis sebelum instilasi
3. Kaji kepatenan kateter
4. Pelihara catatan volume inflow/outflow dan keseimbangan cairan
5. Kosongkan bladder sebelum insersi peritoneal kateter
6. Hindari peningkatan stres mekanik pada kateter dialisis peritoneal (batuk)
7. Pastikan penanganan aseptik pada kateter dan penghubung peritoneal
8. Ambil sampel laboratorium dan periksa kimia darah (jumlah BUN, serum kreatinin, serum Na, K,
dan PO4)
9. Cek alat dan cairan sesuai protokol
10. Kelola perubahan dialysis (inflow, dwell, dan outflow) sesuai protokol
11. Ajarkan pasien untuk memonitor tanda dan gejala yang mebutuhkan penatalaksanaan medis
(demam, perdarahan, stres resipratori, nadi irreguler, dan nyeri abdomen)
12. Ajarkan prosedur kepada pasien untuk diterapkan dialisis di rumah.
13. Monitor TD, nadi, RR, suhu, dan respon klien selama dialisis
14. Monitor tanda infeksi (peritonitis)

2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi renal


NOC:
Electrolyte Balance
Tujuan:
Setelah dilakukan asuhan selama 3x24 jam ketidakseimbangan elektrolit teratasi dengan kriteria hasil:
1. Peningkatan sodium (4)
2. Peningkatan potassium (4)
3. Peningkatan klorida (4)
NIC:
Electrolyte Management
1. Berikan cairan sesuai resep, jika diperlukan
2. Pertahankan keakuratan intake dan output
3. Berikan elektrolit tambahan sesuai resep jika diperlukan
4. Konsultasikan dengan dokter tentang pemberian obat elektrolit-sparing (misalnya spiranolakton),
yang sesuai
5. Berikan diet yang tepat untuk ketidakseimbangan elektrolit pasien
6. Anjurkan pasien dan / atau keluarga pada modifikasi diet tertentu, sesuai
7. Pantau tingkat serum potassium dari pasien yang memakai digitalis dan diuretik
8. Atasi aritmia jantung
9. Siapkan pasien untuk dialisis
10. Pantau elektrolit serum normal
11. Pantau adanya manifestasi dari ketidakseimbangan elektrolit
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler paru
NOC:
Respiration status: Gas Exchange
Tujuan:
Setelah dilakukan keperawatan selama 2x24 jam klien Gangguan pertukaran gas teratasi dengan
kriteria hasil:
1. Tekanan oksigen di darah arteri (PaO2) (4)
2. Tekan karbondioksida di darah arteri (PaCO2) (4)
3. PH arterial (4)
4. Saturasi oksigen (4)
5. Keseimbangan perfusi ventilasi (4)
6. Sianosis (4)
NIC:
Oxygen Therapy
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
2. Kelola pemberian oksigen tambahan sesuai resep
3. Anjurkan pasien untuk mendapatkan resep oksigen tambahan sebelum perjalanan udara atau
perjalanan ke dataran tinggi yang sesuai
4. Konsultasi dengan tenaga kesehatan lain mengenai penggunaan oksigen tambahan saat aktivitas
dan/atau tidur
5. Pantau efektivitas terapi oksigen (pulse oximetry, BGA)
6. Observasi tanda pada oksigen yang disebabkan hipoventilasi
7. Monitor aliran oksigen liter
8. Monitor posisi dalam oksigenasi
9. Monitor tanda-tanda keracunan oksigen dan atelektasis
10. Monitor peralatan oksigen untuk memastikan bahwa tidak mengganggu pasien dalam bernapas

3. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury


NOC :
Pain Control
Setelah dilakukan asuhan selama 2x24, nyeri teratasi dengan kriteria hasil:
1. Kenali awitan nyeri (2)
2. Jelaskan faktor penyebab nyeri (2)
3. Gunakan obat analgesik dan non analgesik (2)
4. Laporkan nyeri yang terkontrol
NIC :
Pain Management
1. Tentukan dampak nyeri terhadap kualitas hidup klien (misalnya tidur, nafsu makan, aktivitas,
kognitif, suasana hati, hubungan, kinerja kerja, dan tanggung jawab peran).
2. Kontrol faktor lingkungan yang mungkin menyebabkan respon ketidaknyamanan klien (misalnya
temperature ruangan, pencahayaan, suara).
3. Pilih dan terapkan berbagai cara (farmakologi, nonfarmakologi, interpersonal) untuk meringankan
nyeri.
4. Observasi tanda-tanda non verbal dari ketidaknyamanan, terutama pada klien yang mengalami
kesulitan berkomunikasi.
5. Mual berhubungan dengan paparan toksin
NOC:
Nausea and Vomitting Control
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam mual teratasi dengan kriteria hasil:
1. Mengenali awitan mual (4)
2. Menjelaskan faktor penyebab (4)
3. Penggunaan anti emetik (4)
NIC:
Nausea Management
1. Dorong pasien untuk memantau mual secara sendiri
2. Dorong pasien untuk mempelajari strategi untuk mengelola mual sendiri
3. Lakukan penilaian lengkap mual, termasuk frekuensi, durasi, tingkat keparahan, dengan
menggunakan alat-alat seperti jurnal perawatan, skala analog visual, skala deskriptif duke dan
indeks rhodes mual dan muntah (INV) bentuk 2.
4. Identifikasi pengobatan awal yang pernah dilakukan
5. Evaluasi dampak mual pada kualitas hidup.
6. Pastikan bahwa obat antiemetik yang efektif diberikan untuk mencegah mual bila memungkinkan.
7. Identifikasi strategi yang telah berhasil menghilangkan mual
8. Dorong pasien untuk tidak mentolerir mual tapi bersikap tegas dengan penyedia layanan kesehatan
dalam memperoleh bantuan farmakologis dan nonfarmakologi
9. Promosikan istirahat yang cukup dan tidur untuk memfasilitasi bantuan mual
10. Dorong makan sejumlah kecil makanan yang menarik bagi orang mual
11. Bantu untuk mencari dan memberikan suport emosional

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan suplay oksigen


NOC:
Activity Tolerance
Tujuan
Setelah dilakukan keperawatan selama 3x24 jam pasien bertoleransi terhadap aktivitas
Kriteria hasil:
1. Saturasi Oksigen saat aktivitas (4)
2. Nadi saat aktivitas (4)
3. RR saat aktivitas (4)
4. Tekanan darah sistol dan diastol saat istirahat (4)
5. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri (4)
NIC:
Activity Therapy
1. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalam merencanakan program terapi yang
tepat.
2. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
3. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan
social
4. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
5. Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek.
6. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
7. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas
8. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
9. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
10. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas.
11. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
12. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
13. Monitor respon kardiovaskular terhadap aktivitas (takikardia, disritmia, sesak nafas, diaphoresis,
pucat, perubahan hemodinamik)
14. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
15. Monitor responfisik, emosi, social dan spiritual.

BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi
glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan
atau lebih yang irreversible dan didasari oleh banyak faktor (NKF K/DOQI 2000; Kallenbach,
Gutch, Stoner dan Corca 2005). Etiologi gagal ginjal kronik bercvariasi antara negara yang
satu dengan yang negara lain. Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi penyebaba paling
abnyak terjadi gagal ginjal kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti oleh hipertensi
sebanyak 27% Dan glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas 2008). Di Indonesia penyebab
gagal ginjal kronik sering terjadi karena glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi, dan
infeksi pada ginjal, hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009). Terapi pengganti ginjal
dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15ml/mnt.
Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi
ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

Alam, Syamsir dan Hadibroto, Iwan. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama
Aziz, M. Farid, dkk. 2008. Panduan Pelayanan Medik: Model Interdisiplin Penatalaksanaan kanker
Serviks dengan Gangguan Ginjal.
Baradero, Mary, dkk. 2005. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan; Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Faiz, Omar dan Moffat, David. 2004. Anatomy at a Glance. Jakarta: Penerbit Erlangga
Ignatavicius, DD,. & Workman. L,. (2006). Medical surgical nursing, critical thinking for
collaborative care. Elsevier Saunders.
James, Joyce, dkk. 2008. Prinsip-prinsip Sains untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Erlangga
O’Callaghan, Chris. 2009. At A Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Smeltzer, S.S.B. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B,.Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (Ed). (2009). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. (Edisi 4). Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Penyakit Dalam FKUI
Suwitra, Ketut. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI.

Anda mungkin juga menyukai