Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN RESUME KEPERAWATAN

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN


PADA TN. R DENGAN DIAGNOSA MEDIS ESRD+ALO+HT
DI RUANG HEMODIALISA UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MALANG

DEPARTMEN
Keperawatan Gawat Darurat

Disusun Oleh:
Andriana Dwi Yunita
202210461011074

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2023
LEMBAR PENGESAHAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. S
DENGAN DIAGNOSA MEDIS STEMI+DM DI RUANG RAWAT INAP ICCU
RSUD KANJURUHAN MALANG

DEPARTEMEN
Keperawatan Medikal Bedah

KELOMPOK 1
Nama : Andriana Dwi Yunita
NIM : 202210461011074
Periode Praktek 20 February – 27 February 2023
Keperawatan Medikal Bedah

Malang, 27 Feb. 23 February 2023

Mahasiswa,

(Andriana Dwi Yunita)

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan


BAB I
1. Konsep Ginjal
1.1. Definisi
Ginjal merupakan salah satu organ vital dalam tubuh manusia yang
memiliki peranan yang sangat penting dalam metabolisme tubuh. Jika terjadi
gangguan fungsi ginjal akibat penyakit kronis, maka akan mempengaruhi
fungsi organ tubuh lainnya (multi-organ disorders). ginjal berfungsi
menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan membuangnya bersama
dengan air dalam bentuk urin, (Dewi et al., 2019).
Secara keseluruhan ginjal berfungsi menyaring sekitar 200 liter cairan
sehari dari aliran darah ginjal yang memungkinkan toksin, produk sisa
metabolisme, dan ion berlebih dikeluarkan sambil menjaga zat penting
dalam darah. Ginjal mengatur osmolaritas plasma dengan mengatur jumlah
air, zat terlarut, dan elektrolit di dalam darah. Hal tersebut untuk menjaga
keseimbangan asam-basa dalam jangka panjang dan juga memproduksi
eritropoietin yang merangsang produksi sel darah merah. Ini juga
menghasilkan renin untuk pengaturan tekanan darah dan melakukan
konversi vitamin D menjadi bentuk aktifnya, (Ogobuiro & Tuma, 2021).
1.2. Anatomi ginjal
Ginjal terletak di belakang rongga perut atau di belakang peritoneum
di kedua sisi vertebra lumbalis ketiga, dan melekat langsung ke dinding
perut. Ginjal berbentuk seperti kacang merah. Bagian dalam atau hilus
menghadap ke tulang belakang sedangkan bagian luarnya berbentuk
cembung. Jumlah ginjal ada dua yang meliputi ginjal kanan dan ginjal kiri.
Adapun panjang ginjal +12 cm, lebar +6-8 cm, tebal 2,5 cm, dan berat +200
gram, (Purwanto, 2016).
Secara anatomi ginjal dibagi menjadi bagian korteks dan medulla.
Korteks tersusun atas semua kapiler glomerulus, sebagian segmen tubulus
kontortus, tubulus lurus, tubulus kolektivus, duktus kolektivus. Sedangkan
pada Medula meliputi tubulus lurus dan duktus pengumpul yang memanjang
ke korteks dari medulla. Gabungan dari glomerulus, tubulus, duktus
kolektivus disebut dengan nefron, yang mana pada setiap ginjal memiliki 1

4
juta nefron, (Purwanto, 2016; Soriano et al., 2021)

2. Konsep Chronic Kidney Disease (CKD)


2.1. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis
merupakan suatu kondisi terjadinya penurunan fungsi ginjal yang
progresif dan irreversibel, untuk menilai fungsi ginjal dapat diperkirakan
dengan laju filtrasi glomerulus atau estimated Glomerular Filtration Rate
(eGFR) <60 ml/menit/1.72 m², serta adanya manifestasi yang terus
menerus menunjukan kerusakan ginjal yang berlangsung lebih dari 3
bulan, (Yan et al., 2021).
Penyakit ginjal kronis (PGK) atau biasa disebut gagal ginjal
kronis merupakan penurunan progresif fungsi ginjal dalam beberapa
bulan atau tahun. Hal tersebut didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
dan penurunan eGFR selama minimal 3 bulan, (Kemenkes RI, 2017).
Berdasarakan definisi diatas dapat disimpulkan, CKD atau PGK
merupakan suatu keadaan hilangnya fungsi ginjal secara progresif dan
irreversibel yang terjadi lebih dari 3 bulan, salah satunya ditandai
dengan terjadinya penurunan eGFR.
Menurut KDIGO terdapat 5 tahap CKD berdasarkan eGFR yang
diuraikan sebagai berikut, (Kidney Disease: Improving Global
Outcomes (KDIGO), 2020):

5
Grade eGFR Deskripsi
1 >90 eGFR normal dengan proteinuria
2 60-89 Sedikit penurunan eGFR disertai dengan
proteinuria,
hal tersebut dikaitakan dengan usia
3a 45-59 Penurunan eGFR skala ringan hingga sedang
3b 30-44 Penurunan eGFR skala sedang hingga berat
4 15-29 Penurunan eGFR skala berat
5 <15 Gagal ginjal
2.2. Etiologi CKD
Penyebab yang sering terjadi pada pasien CKD yaitu sebagai berikut,
(Charles & Ferris, 2020):
a. Usia
Secara fisiologis di usia >50 tahun, ginjal akan mengalami penurunan
fungsi yang cukup signifikan hal tersebut mengakibatkan
berkurangnya jumlah nefron sebanyak
+20%, (Ariyanto et al., 2018). Hal tersebut terjadi karena arteri
kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, kemudian darah dipompa
dan dipaksa melalui pembuluh darah yang sempit yang menyebabkan
tekanan darah, bila berlangsung dalam jangka waktu lama dapat
menyebabkan sklerosis pada pembuluh darah ginjal dan mengakibatkan
Pembuluh darah mengalami vasokonstriksi dan obstruksi sehingga
terjadi kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, kemudian nefron ginjal
rusak dan terjadi gagal ginjal, (Cahyo et al., 2019).
b. Diabetes melitus
Gagal ginjal akibat diabetes melitus disebut sebagai nefropati
diabetika. Tahapan nefrotik diabetik pada penderita diabetes melitus
yaitu dari normo-albuminuria menjadi mikro-albuminuria dan makro-
albuminuria kemudian dapat mengakibatkan abnormalitas fungsi ginjal
yang ditunjukan dengan terjadinya peningkatan serum kreatinin, hal
tersebut dapat dihitung menggunakan laju filtrasi glomelurus,

6
(Naeem et al., 2018).
c. Dislipidemia
Dislipidemia dapat mempercepat proses penyakit ginjal melalui
berbagai mekanisme. Pertama, reabsorpsi asam lemak, fosfolipid, dan
kolesterol yang terkandung dalam protein yang disaring oleh sel epitel
tubulus. Kedua, akumulasi lipoprotein di mesangium glomerulus,
(Ahmad et al., 2018).
d. Merokok
Stimulus ujung saraf simpatis postganglionik oleh nikotin menghasilkan
peningkatan kadar epinefrin dan norepinefrin dengan begitu dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah tinggi, aktivasi Renin-
Angiotensin-Aldosterone System (RAAS), peningkatan GFR serta
tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan progresifitas
pemburukan dungsi ginjal, (Vallianou et al., 2018)
e. Konsusmsi alcohol berat
Minuman alkohol merupakan minuman yang mengandung etanol atau
etil alkohol (C2H5OH). Konsumsi Alkohol secara berlebihan sangat
berbahaya bagi tubuh. Alkohol bisa mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada organ tubuh salah satunya yaitu kerusakan pada ginjal,
hal tersebut meningkatkan risiko albuminuria serta penurunan laju
filtrasi glomerulus dalam 5 tahun follow up, (Nurul Azizah et al., 2018).
f. Obat obatan
Konsumsi obat-obatan yang bersifat nefrotoksik dapat berpengaruh
terhadap kerusakan ginjal, obat-obatn yang bersifat nefrotoksik salah
satunya yaitu obat analgetik. Obat analgetik bersifat dose dependant
yang artinya semakin sering konsumsi maka semakin banyak dosisnya,
akibatnya hal tersebut dapat merusak jaringan ginjal. Apabila
mengkonsumsi analgetik setiap hari dalam jangka panjang dapat
menyebabkan nefropati analgetik atau penyakit ginjal yang disebabkan
oleh obat-obatan, (Agustianingsih et al., 2018).
g. Hipertensi
Seseorang dikatakan hipertensi apabila tekanan darah sistol >140 mmhg

7
dan diastole
>90 mmhg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit
dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Manifestasi klinis hipertensi
meliputi sakiit kepala, terdapat rasa berat di tengkuk, vertigo, jantung
berdebar, mudah lelah, penurunan kemampuan penglihatan, tinnitus,
serta mimisan. adapun faktor risiko hipertensi yaitu usia, jenis kelamin,
genetik, merokok, konsumsi garam dan lemak jenuh, konsumsi alkohol,
obesitas, kurang akyifitas 8 fisik, stress, dan penggunaan estrogen,
(Kemenkes RI, 2014). Peningkatan tekanan darah dengan jangka waktu
lama dapat mengakibatkan terjadinya sklerosis pada pembuluh darah
yang apabila terjadi pada arteriol dan glomeruli dapat menyebabkan
nefrosklerosis. Obstruksi yang terjadi pada arteriol akan menyebabkan
kerusakan glomerulus hingga atrofi tubulus, sehingga hal tersebut
membuat nefron mengalami kerusakan yang menyebabkan terjadinya
gagal ginjal kronik, (Cahyo et al., 2019).
2.3. Manifestasi Klinik CKD
CKD dapat diidentifikasi melalu skrining rutin, adapun gejala
yang dapat terjadi pada pasien CKD yaitu meliputi gross hematuria,
keluhan urine berbusa sebagai tanda albuminuria, nokturia, nyeri
pinggang, atau terjadi penurunan produksi urine. Pada pasien dengan
diagnosa CKD lanjut dapat menimbulkan kelelahan, nafsu makan yang
buruk, mual, munth, mulut terasa logam, penurunan berat badan,
pruritis, perubahan status mental atau edema perifer, selain itu juga
terdapat gejala tambahan yang menunjukan penyebab yang sistemik
misalnya hemoptisis, limfadenopati, gangguan pendengaran, neuropati,
atau obstruksi kemih seperti keraguan berkemih, urgensi, frekuensi atau
pengosongan kandung kemih tidak lengkap), (Chen et al., 2019).
2.4. Patofisiologi CKD
Setiap hari ginjal menyaring sekitar 120 – 150 liter darah dan
menghasilkan 1- 2 liter urin. Penyaring pada ginjal disebut sebagai
nefron. Setiap nefron di ginjal normal berkontribusi terhadap estimated
Glomerular Filtration Rate (eGFR), nefron terdiri dari glomerulus dan

8
tubulus. Glomerulus bertugas untuk menyaring cairan serta limbah
untuk dikeluarkan, selain itu juga mencegah keluarnya sel darah dan
molekul besar yang sebagaian besar merupakan protein, kemudian
melewati tubulus untuk mengambil kembali mineral yang dibutuhkan
tubuh dan membuang limbahnya. Penurunan fungsi ginjal secara
bertahap dan awalnya dapat muncul tanpa gejala. Riwayat alami gagal
ginjal tergantung pada etiologi penyakit tetapi pada akhirnya melibatkan
mekanisme homeostatis awal yang melibatkan hiperfiltrasi nefron, yang
mana terjadi pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron masih tersisa (surviving nephrons)
sebagai upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokin growth factors g injal, hal tersebut menyebabkan
terjadinya hiperfiltrasi yang disertai dengan peningkatan tekanan kapiler
dan aliran dalam glomerulus. meskipun kerusakan nefron progresif
karena nefron normal yang tersisa mengalami hiperfiltrasi dan hipertrofi
kompensasi mengakibatkan pasien dengan gangguan ginjal ringan dapat
menunjukkan nilai kreatinin normal dan penyakit ini dapat tidak
terdeteksi untuk beberapa waktu. Kemampuan beradaptasi nefron ini
memungkinkan pembersihan normal zat terlarut plasma yang
berkelanjutan. Mekanisme adaptif ini akan berjalan dengan sendirinya
dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan pada glomerulus dari nefron
yang tersisa berupa sclerosis nefron. Pada titik ini, antihipertensi seperti
ACE atau ARB mungkin bermanfaat dalam memperlambat
perkembangan penyakit dan menjaga fungsi ginjal. Kadar plasma zat
seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan yang terukur
hanya setelah total GFR menurun 50%. Misalnya, peningkatan kreatinin
plasma dari 0,6 mg/dL menjadi 1,2 mg/dL pada pasien, meskipun dalam
kisaran normal, sebenarnya menunjukkan hilangnya 50% massa nefron
yang berfungsi. Meskipun hiperfiltrasi dan hipertrofi sisa nefron
bermanfaat untuk pemeliharaan GFR, hal ini ditemukan sebagai
penyebab utama disfungsi ginjal progresif. Peningkatan tekanan kapiler
glomerulus dapat merusak kapiler yang menyebabkan

9
glomerulosklerosis fokal dan segmental dan akhirnya menjadi
glomerulosklerosis global, (Benjamin & Lappin, 2021; Gliselda, 2021).

10
11
2.5. Pemeriksaan Penunjang
CKD didefinisikan sebagai penurunan GFR selama lebih dari 3
bulan atau adanya tanda kerusakan ginjal seperti albuminuria, kelainan
sedimen urin, kelainan struktural ginjal yang terdeteksi oleh
pemeriksaan histologis atau pencitraan (USG). Maka untuk
membedakan penyakit ginjal akut dan kronis memerlukan penilaian
GFR dan biomarker kerusakan ginjal, yang pada umumnya dilakukan
pengukuran kreiatinin serum dan albumin urin. Pasien tanpa penurunan
GFR dan tanpa biomarker kerusakan ginjal dapat digambarkan memiliki
penyakit ginjal yang tidak diketahui. Tes diagnostik tambahan
diperlukan untuk menentukan penyebab penyakit ginjal kronis dan
untuk memandu pengobatan, (Susanti, 2019).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien CKD
meliputi pemeriksaan Laboratorium dan pemeriksaan Radiologis.
Adapun gambaran laboratorium pada pasien CKD yaitu terdapat
penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum, serta terdapat penurunan eGFR yang dihitung
menggunakan rumus Kockcrift-Gault. Namun, untuk memperkirakan
fungsi ginjal tidak hanya menggunakan kadar kreatinin saja. Selain itu,
terdapat kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar
haemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiperkalemia atau
hipokalemia, hiponatremia, hiperkloremia atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic. Kelainan urinalis
berupa proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isosteinuria. Sedangkan
gambaran radiologis pada pasien CKD mencakup foto polos abdomen
yang bias tampak batu radio opak, USG ginjal bias memperlihatkan
ukuran ginjal yang mngecil, korteks menipis, adanya hidronefrosis atau
batu ginjal, kista, massa, serta kalsifikasi, (Lubis et al., 2018).
2.6. Penatalaksanaan
Terapkan gaya hidup sehat pasien dengan CKD yaitu sebagai
berikut, (Kidney Health Australia, 2020):
1. Pasien diharapkan untuk berhenti merokok (bagi perokok)

12
2. Mengkonsumsi sayur-sayuran, buah-buahan, sereal gandum, daging
tanpa lemak, ikan, unggas, telur, kacang-kacangan, dan biji-bijian,
serta susu rendah lemak. Batasi garam hinga <6 gr/hari atau <100
mmol/hari, batasi asupan makan yang mengandung lemak jenuh dan
tak jenuh serta asupan makanan yang mengandung gula tambahan.
3. Berhenti konsumsi alkohol
4. Melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang 150-300 menit
(2-5 jam), aktivitas fisik dengan intensitas berat dengan durasi 75-
150 menit (1-2 jam), atau melakukan kombinasi aktivitas fisik
dengan intensitas sedang dan berat yang dilakukan setiap minggu,
selain itu juga lakukan aktivtas penguatan otot minimal 2 hari dalam
seminggu.
5. Batasi asupan energi untuk menjaga berat badan yang ideal (IMT <25
kg/m²)
Penatalaksanaan Keperawatan yang dapat diberikan pada pasien CKD
dibagi menjadi tiga yaitu sebagai berikut, (Nuari & Widayati, 2017):
a. Konservatif
Melakukan observasi balance cairan, mengobservasi adanya edema,
serta membatasi cairan masuk
b. Dialysis
1. Peritoneal dialysis, dilakukan pada pasien dengan kasus
emergency. Sedangkan, dialysis yang dapat dilakukan dimana
saja atau yang tidak bersifat akut yaitu Continues Ambulatori
Peritonial Dialysis (CAPD).
2. Hemodialisis, dialysis merupakan suatu proses ketika zat darah
difiltrasi melalui membrane semipermeable. Dialysis yang
dilakukan melalui tindakan invasive pada vena. Pada awalnya
hemodialisis dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk
mempermudah maka dilakukan pada AV vistula yaitu
menggabungkan vena dan arterim, serta Double lumen yaitu
langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke jantung).

13
c. Medikasi
Pemberian obat dilakukan berdasarkan penyebab dan gejala yang
muncul. Pasien dengan hipovolemi dapat diberikan larutan hipotonik
seperti saline 0.45%. Bila hipovolemia disebabkan oleh perdarahan atau
hilangnya banyak plasma, maka diberikan packed red cell dan salin
isotonic, untuk menghasil diuresis yang adekuat dapat diberikan
furosemide 320 mg/hari. Sedangkan, gagal ginjal yang diakibatkan
nefrotoksin atau iskemia dapat diberikan obat yang meningkatkan sirkulasi
ginjal seperti dopamine, mannitol, dan dierutik ansa Henle. Serta,
glomerulonephritis dapat diatasi dengan menggunakan glukokortikod.
2.7. Komplikasi CKD
Komplikasi CKD dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hipertensi
CKD dihubungkan peningkatan aktivitas Renin Angiotensi
Aldosteron System (RAAS). Terdapat penurunan aliran darah di
kapiler peritubular di bagian hilir glomerulus yang mengalami
sklerosis. Akibat penurunan aliran darah, glomerulus di daerah ini
menghipersekresi renin sehingga meningkatkan kadar angiotensin II
yang bersirkulasi. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriktor
langsung yang meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan
tekanan darah. Karena glomerulus yang berfungsi lebih sedikit pada
CKD, setiap glomerulus yang tersisa harus meningkatkan laju filtrasi
glomerulus (GFR), meningkatkan tekanan arteri sistemik serta
membantu meningkatkan tekanan perfusi. Angiotensin II juga
meningkatkan reabsorpsi natrium di tubulus proksimal dan duktus
pengumpul atau duktus kolektivus. Selain itu, kehilangan bersih
GFR secara keseluruhan mengganggu ekskresi natrium, yang juga
menyebabkan retensi natrium. Retensi natrium menyebabkan
hipertensi melalui mekanisme volume-dependent dan volume-
independent. Kelebihan volume ekstraseluler menyebabkan
peningkatan perfusi jaringan perifer yang merangsang
vasokonstriksi, meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan
karena itu meningkatkan tekanan darah, (Ku et al., 2019).

14
2. Cardiovascular disease (CVD)
CVD merupakan penyebab utama kematian pada pasien CKD,
prevalensi serta beban komplikasi ini meningkat dengan
menurunnya fungsi ginjal. Risiko kematian akibat CVD lebih besar
pada pasien dengan CKD stadium G5 A3 (eGFR 300 mg/g)
dibandingkan dengan pasien CVD tanpa penyakit ginjal. Sementara
risiko kejadian kardiovaskular aterosklerotik konvensional
meningkat dengan CKD, sebagian besar peningkatan risiko
disebabkan oleh patologi non-aterosklerotik, seperti hipertrofi
ventrikel kiri dengan disfungsi diastolik dan sistolik, penyakit katup,
dan kalsifikasi arteri. Patologi ini dapat bermanifestasi sebagai
disritmia atrium dan ventrikel, gagal jantung, dan kematian
mendadak. Terdapat faktor risiko tambahan yang perlu
dipertimbangkan pada pasien CKD, yang sebagian besar dianggap
sebagai komplikasi CKD. Misalnya, gangguan mineral dan endokrin
yang mencerminkan gangguan tulang mineral CKD, seperti retensi
fosfat, peningkatan kadar faktor pertumbuhan fibroblas, dan
gangguan dalam metabolisme Klotho, dapat berkontribusi pada
kardiomiopati dan vaskulopati,
(Bello et al., 2017).
3. Anemia
Besi juga didaur ulang di dalam tubuh karena sel darah merah tua
difagositosis oleh makrofag retikuloendotelial dan kandungan
besinya digunakan untuk hematopoiesis jika diperlukan atau
disimpan untuk digunakan lebih lanjut. Regulasi metabolisme besi
dimediasi, terutama oleh hepcidin, suatu hormon peptida kecil (25
asam amino) yang disintesis dan disekresikan oleh hati. Hepcidin
mencegah transpor besi dengan cara berikatan dengan ferroportin
pengangkut besi yang terletak pada membran basal enterosit, sel
retikuloendotelial, dan hepatosit. Pengikatan hepcidin menyebabkan
internalisasi ferroportin dari membran plasma ke dalam sel dan
degradasi utamanya, hipoksia, inflamasi, dan eritropoiesis Karena

15
hepcidin adalah peptida hormon kecil, maka hepcidin disaring dan
didegradasi oleh ginjal. Kadar hepcidin meningkat pada penyakit
ginjal kronis (CKD) dan berkorelasi negatif dengan laju filtrasi
glomerulus (GFR). Mekanisme yang bertanggung jawab untuk
fenomena ini pada CKD termasuk penurunan bersihan ginjal,
peningkatan sitokin inflamasi, dan penurunan kadar eritropoietin,
(Batchelor et al., 2020).
4. Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder (CKD-MBD)
Sebelum ditemukannya faktor pertumbuhan fibroblas 23 (FGF23),
retensi fosfat akibat penurunan fungsi ginjal telah dianggap sebagai
pemicu utama hiperparatiroidisme sekunder. Retensi fosfat
menyebabkan triad hiperfosfatemia, rendahnya [1,25 (OH)2D3 dan
hipokalsemia merupakan rangsangan untuk sekresi PTH yang pada
gilirannya meningkatkan ekskresi fosfat dan perkembangan
hiperparatiroidisme sekunder pada CKD lanjut, (Waziri et al., 2019).
5. Retensi garam dan air
Pada CKD stadium 4 sampai 5 dan mungkin pada CKD stadium 3,
terjadi kehilangan pertahanan terhadap kelebihan natrium dan
deplesi natrium. Kelebihan natrium dengan retensi cairan sejauh ini
adalah yang paling umum terjadi. Sementara volume cairan
ekstraseluler mungkin meningkat, keseimbangan natrium tampaknya
relatif terpelihara dengan baik sampai penyakit ginjal stadium akhir.
Kelebihan natrium dan cairan tidak hanya berkontribusi pada edema
yang dapat berdampak negatif pada kualitas hidup, tetapi juga
hipertensi dan dengan demikian CVD (khususnya hipertrofi
ventrikel kiri konsentris, yang dapat menyebabkan disfungsi
diastolik), (Mitsides et al., 2019).

16
BAB 2
3. Konsep Asuhan Keperawatan
3.1. Diagnosis Keperawatan
1. (D.0005) Pola napas tidak efektif
2. (D.0022) Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi
3. (D.0016) risiko perfusi renal tidak efektif dibuktikan dengan disfungsi
ginjal
4. (D.0142) risiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasive
5. (D.0077) nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
6. (D.0014) risiko perfusi miokkard tidak efektif dibuktikan dengan
hipertensi
7. (D.0037) Risiko ketidakseimbangan elektrolit
3.2. Intervensi keperawatan
Table 1.2 Rencana keperawatan pada kasus CKD
NO Diagnosa Keperawatan Intervensi Keperawatan
1. (D.0005) Pola napas tidak (I.01002) Dukungan ventilasi
efektif Observasi
1. Identifikasi adanya kelelahan otot
bantu nafas
2. Identifikasi efek perubahan
posisi terhadap ststus pernafasan
3. Monitor status respirasi dan
oksigenasi Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan nafas
2. Berikan posisi semi fowler atau fowler
3. Fasilitasi mengubah posisi
senyaman mungkin
4. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
5. Gunakan bag- valve mask, jika
perlu Edukasi
1. Ajarkan melakukan tehnik
relaksasi nafas dalam
2. Ajarkan mengubah posisi
secara mandiri
3. Ajarkan tehnik batuk
efektif Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronchodilator,
jika perlu

17
2. Hipervolemia Pemantauan Cairan
berhubungan dengan (I.03121) Observasi:
gangguan mekanisme 1. Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
regulasi 2. Monitor frekuensi nafas
(D.0022) 3. Monitor tekanan darah
4. Monitor berat badan
5. Monitor waktu pengisian kapiler
6. Monitor elastisitas atau turgor kulit
7. Monitor jumlah, waktu dan berat
jenis urine
8. Monitor kadar albumin dan protein total
9. Monitor hasil pemeriksaan serum (mis.
Osmolaritas serum, hematocrit,
natrium, kalium, BUN)
10. Identifikasi tanda-tanda hipovolemia
(mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi
teraba lemah, tekanan darah menurun,
tekanan nadi menyempit, turgor kulit
menurun, membrane mukosa kering,
volume urine menurun, hematocrit
meningkat, haus, lemah, konsentrasi
urine meningkat, berat badan
menurun dalam waktu singkat)
11. Identifikasi tanda-tanda
hypervolemia 9mis. Dyspnea, edema
perifer, edema anasarka, JVP
meningkat, CVP meningkat, refleks
hepatojogular positif, berat badan
menurun dalam waktu singkat)
12. Identifikasi factor resiko
ketidakseimbangan cairan (mis.
Prosedur pembedahan mayor,
trauma/perdarahan, luka bakar,
apheresis, obstruksi intestinal,
peradangan pankreas, penyakit
ginjal dan kelenjar, disfungsi
intestinal)
Terapeutik:
1. Atur interval waktu pemantauan
sesuai dengan kondisi pasien
2. Dokumentasi hasil
pemantauan Edukasi:
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
Pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika
Perlu.

18
3. Risiko perfusi renal Pencegahan syok
tidak efektif dibuktikan (I.02068) Observasi
dengan disfungsi ginjal 1. Monitor status oksigenasi
(D.0016) (oksimetri nadi, AGD)
2. Monitor status cairan (masukan
dan haluaran, turgor kulit, CRT)
3. Monitor tingkat kesadaran dan
respon pupil
4. Periksa riwayat
alergi Terapeutik
1. Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen
>94%
2. Pasang jalur IV
3. Pasang kateter urine untuk
menilai produksi urin, jika perlu
4. Lakukan skinen skine test
untuk mencegah reaksi alergi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika
perlu
3. Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika
perlu
4. Risiko infeksi (I.14539) Pencegahan
dibuktikan dengan efek Infeksi Observasi
prosedur invasive 1. Monitor tanda dan gejala infeksi local
(D.0142) atau sistemik
Terapeutik
6. Batasi jumlah pengunjung
7. Berikan perawatan kulit pada
area edema
8. Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
9. Pertahankan teknik aseptic pada
pasien berisiko tinggi
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Ajarkan cara mencuci tangan dengan
benar
3. Ajarkan etika batuk
4. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
atau luka operasi
5. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
6. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian imunisasi,

19
jika perlu

20
5. Nyeri akut (I. 08238) Manajemen
berhubungan dengan Nyeri Observasi
agen pencedera fisik 1. Lokasi, karakteristik, durasi,
(D.0077) frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang
memperberat dan memperingan
nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas hidup
7. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
8. Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
2. Control lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan)
6. Risiko perfusi Pemantauan tanda vital
miokkard tidak efektif (I.02060)
dibuktikan dengan Observasi:
hipertensi 1. Monitor tekanan darah
(D.0014 2. Monitor nadi (frekuensi,
kekuatan, irama)
3. Monitor pernapasan
(frekuensi, kedalaman)
4. Monitor suhu tubuh
5. Monitor oksimetri nadi/ SaO2
6. Monitor tekanan nadi/MAP
(selisish TDS dan TDD)
Terapeutik:
1. Atur interval pemantauan sesuai
kondisi pasien
2. Dokumentasi hasil
pemantauan Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan

21
prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan

22
7. Risiko ketidakseimbangan Pemantauan Elektrolit
elektrolit Observasi
(D.0037) 1. Identifkasi kemungkinan
penyebab ketidakseimbangan
elektrolit
2. Monitor kadar eletrolit serum
3. Monitor mual, muntah dan diare
4. Monitor kehilangan cairan, jika perlu
5. Monitor tanda dan gejala hypokalemia
(mis. Kelemahan otot, interval QT
memanjang, gelombang T datar atau
terbalik, depresi segmen ST,
gelombang U, kelelahan, parestesia,
penurunan refleks, anoreksia,
konstipasi, motilitas usus menurun,
pusing, depresi pernapasan)
6. Monitor tanda dan gejala
hyperkalemia (mis. Peka rangsang,
gelisah, mual, munta, takikardia
mengarah ke bradikardia,
fibrilasi/takikardia ventrikel,
gelombang T tinggi, gelombang P
datar, kompleks QRS tumpul, blok
jantung mengarah asistol)
7. Monitor tanda dan gejala hipontremia
(mis. Disorientasi, otot berkedut,
sakit kepala, membrane mukosa
kering, hipotensi postural, kejang,
letargi,
8. penurunan kesadaran) Monitor tanda
dan gejala hypernatremia (mis. Haus,
demam, mual, muntah, gelisah, peka
rangsang, membrane mukosa kering,
takikardia, hipotensi, letargi, konfusi,
kejang)
9. Monitor tanda dan gejala hipokalsemia
(mis. Peka rangsang, tanda IChvostekI
[spasme otot wajah], tanda Trousseau
[spasme karpal], kram otot, interval
QT memanjang)
10. Monitor tanda dan gejala hiperkalsemia

23
DAFTAR PUSTAKA
Agustianingsih, T. srinuria, Padoli, & Anugrahini, H. N. (2018). penyebab
gagal ginjal kronik (GGK) di Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Islam
Jemursari Surabaya. X(3).
Ahmad, N., Bandur, N., & Artha, D. E. (2018). Gambaran Dislipidemia Pada
Penderita Gagal Ginjal Kronik Di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar. Jurnal Media Laboran, 8, 44–50.
Benjamin, O., & Lappin, S. L. (2021). End-Stage Renal Disease.
Cahyo, V. D., Nursanto, D., Risanti, E. D., & Dewi, L. M. (2019). The
Relationship of Hypertension and Age Against the Chronic Kidney Failure
in. 105–113.
Chen, T. K., Knicely, D. H., & Grams, M. E. (2019). Chronic Kidney Disease
Diagnosis and
Dewi, G. A. M. L., Margiani, N. N., & Ayusta, I. M. D. (2019). Rerata ukuran
ginjal dewasa normal dengan computed tomography di RSUP sanglah
tahun 2017. Jurnal Medika Udayana, 8(11), 1–6. issn: 2597-
8012%0Ahttps://ojs.unud.ac.id
Kemenkes RI. (2014). Pusdatin Hipertensi. Infodatin, Hipertensi, 1–7.
https://doi.org/10.1177/109019817400200403
Kidney Health Australia. (2020). Chronic kidney disease management in primary
care (4 (ed.)).
Ku, E., Lee, B. J., Wei, J., & Weir, M. R. (2019). Hypertension in CKD: Core
Curriculum 2019. American Journal of Kidney Diseases, 74(1), 120–131.
https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2018.12.044
Ogobuiro, I., & Tuma, F. (2021). Physiology Renal. Statpearls.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538339/#:~:text=The kidney
regulates plasma osmolarity, production of red blood cell.
Purwanto, H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. In Modul Bahan
Ajar Cetak Keperawatan.
KEMENKES RI
Vallianou, N. G., Mitesh, S., Gkogkou, A., & Geladari, E. (2018). Chronic
Kidney Disease and Cardiovascular Disease: Is there Any Relationship?

24
Current Cardiology Reviews, 15 (1), 55–63.
https://doi.org/10.2174/1573403x14666180711124825

25

Anda mungkin juga menyukai