Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KMB II PADA NY. A DENGAN TUMOR NASAL


DI RUANG PATTIMURA RSUD KANJURUHAN
KAB. MALANG

Disusun Oleh:
Arif Surya
NIM 20.1.154

PRODI DIII KEPERAWATAN


INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN
RS DR. SOEPRAOEN MALANG
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Ny.A Dengan Tumor Nasal di
Ruang Pattimura
RSUD Kanjuruhan Kab. Malang

Nama Mahasiswa : Arif Surya


NIM : 20.1.154
Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini telah disetujui dan disahkan
pada:
Hari :
Tanggal :

Mahasiswa

Arif Surya

Mengetahui
Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

(……………..………………………..) (……………………………………..)
NIP………………………………… NIP…………………………………
LAPORAN PENDAHULUAN
TUMOR SINONASAL

A. Pengertian tumor sinonasal


Tumor sinonasal adalah pertumbuhan jaringan abnormal di sinus
paranasal dan jaringan sekitar hidung. Tumor hidung adalah pertumbuhan ke
arah ganas yang mengenai hidung dan lesi yang menyerupai tumor pada
rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan vestibulum nasi. Tumor
ini merupakan penyebab kesakitan dan kematian di bidang otorinolaringologi
di seluruh dunia. Kebanyakan tumor ini berkembang dari sinus maksilaris dan
tipe histologi yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa.

B. Etiologi
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi
diduga beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara
lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropl dan lain-
lain. Pekerja di bidang ini mengalami peningkatan risiko untuk terjadinya
keganasan sinonasal. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasinkan atau
diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya
buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan. Jenis
histologis yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili
sekitar 70% kasus. Gejala klinis yang paling sering adalah obstruksi hidung
dan epistaksis (Goel, 2012; Sukri, 2012; Roezin, 2007).
Selain akibat pekerjaan, ada yang menganggap bahwa sinusitis kronis
dapat menyebabkan metaplasia yang kemudian menjadi karsinoma sel
skuamosa pada sinonasal (Mangunkusumo, 1989).
C. Klasifikasi
1. Tumor Jinak
Makroskopis mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak
mengkilap. Ada 2 jenis papiloma, pertama eksofitik atau fungiform dan
yang kedua endofitik disebut papiloma inverted.
2. Tumor Ganas
Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%).
Sinus maksila tersering terkena (65-80%), sinus etmoid (15-25%), hidung
sendiri (24%).
3. Invasi Sekunder
Antara lain pituitary adenomas, chordomas, karsinoma nasofaring,
meningioma, tumor odontogenik, neoplasma skeleton kraniofasial jinak
dan ganas, tumor orbital.

D. Manifestasi klinik
Menurut Roezin (2007) gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah
dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala.
Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus
dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau
intrakranial.
1. Gejala nasal
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya
sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar
dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung.
Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan
nekrotik (Roezin, 2007).
2. Gejala orbital
Pada gejala orbital ada perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan
gejala diplopia, proptosis (penonjolan bola mata), oftalmoplegia,
gangguan visus, dan epifora (Roezin, 2007).
3. Gejala oral
Pada gejala oral dapat disertai perluasan tumor ke rongga
mulutmenyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus
alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak tepat melekat atau gigi
geligi goyang. Sering kali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di
gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut
(Roezin, 2007).
4. Gejala fasial
Pada pasien dengan gejala fasial adanya perluasan tumor ke area
wajah dimana akan menyebabkan penonjolan pipi. Gejala dapat
disertai nyeri, hilang sensasi (anesthesia atau parastesia) jika mengenai
nervus trigeminus (Roezin, 2007).
5. Gejala intracranial.
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia, dan gangguan visus, yang dapat disertai likuorea, yaitu
cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa
kranii media maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas
ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus
disertai anestesia danparestesia daerah yang dipersarafi nervus
maksilaris dan mandibularis (Roezin, 2007).
E. Patofisiologi

Berbagai jenis tipe tumor berbeda telah dijelaskan terdapat pada rahang atas.
Jenis histologis yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar
80% kasus. Lokasi primer tidak selalu mudah untuk ditentukan dengan sejumlah sinus
berbeda yang secara umum terlibat seiring waktu munculnya pasien. Mayoritas 60%
tumor tampaknya berasal dari antrum, 30% muncul dalam rongga hidung, dan sisa
10% muncul dari etmoid. Tumor primer frontal dan sfenoid sangat jarang.

Limfadenopati servikal teraba muncul pada sekitar 15% pasien pada


presentasi. Gambaran kecil ini disebabkan drainase limfatik sinus paranasal ke nodus
retrofaring dan dari sana ke rantai servikal dalam bawah. Sebagai akibatnya, nodus
yang terlibat diawal tidak mudah dipalpasi di bagian leher manapun.

Faktor resiko terjadinya tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti


bahan kimia inhalan, debu industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan
kerusakan ataupun mutasi pada gen yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen
proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses diferensiasi ada dua kelompok gen yang
memegang peranan penting, yaitu gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan
yang menghambat diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari
satu sel normal menjadi sel kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu
fase inisiasi dan fase promosi serta progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan
dalam bahan genetik sel yang memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen,
sedangkan pada fase promosi sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi
ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel yang tidak melewati tahap inisiasi tidak
akan terpengaruh promosi sehingga tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan
promosi dapat dilakukan oleh karsinogen yang sama atau diperlukan karsinogen yang
berbeda.9,10
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker
memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase
induksi ini belum timbul kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti
displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai
timbul namun pertumbuhannya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan
belum menembus membran basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun.
Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis dan
masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan
fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi (penyebaran)
sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional dan atau ke
organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun.9,10

Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan
kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal
sekitarnya, mengadakan infiltrasi, invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak
dini dan di berikan terapi.10
F. Penatalaksanaan

1. Drainage/ debridement

Drainage adekuat(seperti nasoantral window) seharusnya


dilakukan pada pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang
mendapat terapi radiasi sebagai pengobatan primes (Bailler, 2006).

2. Resection

Menurut Bailey (2006) surgical resection selalu direkomendasikan


dengan tujuan kuratif. Palliative excision dipertimbangkan untuk
mengurangi nyeri yang parah, untuk dekompresi cepat dari struktur-
struktur vital, atau untuk memperkecil lesi massif, atau estetika.
Pembedahan merupakan penatalaksanaan tunggal untuk tumor maligna
traktus sinonasal dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 19%
hingga 86%.

Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam preoperative imaging,


intraoperative image-guidance system, endoscopic instrumentation dan
material untuk hemostasis, teknik sinonasal untuk mengangkat tumor
nasal dan sinus paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat
dilakukan untuk traditional open technique. Pendekatan endoskopik dapat
dipakai untuk melihat tumor dalam rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial
frontal dan sinus maksilaris medial. Frozen section harus digunakan untuk
melihat batas bebas tumor (Bailey, 2006).
3. Rehabilitasi

Tujuan utama rehabilitasi pasca operasi adalah penyembuhan luka


primer, memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan
oronasal yang terpisah kemudian memperlancar proses bicara dan
menelan. Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan dapat dicapai dengan
dental prosthesis atau reconstructive flap seperti flap otot temporalis
dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau microvascular free
myocutaneous dan cutaneous flap (Bailey, 2006).

4. Terapi Radiasi

Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu


pembedahan atau sebagai terapi paliatif. Radiasi pasca operasi dapat
mengontrol secara lokal tetapi tidak mempengaruhi kelangsungan hidup
spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang sedikit dapat dibunuh, pinggir
tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang pembedahan dan penyembuhan
luka pasca operasi lebih dapat diperkirakan (Bailey, 2006).

5. Kemoterapi
Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal
biasanya paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa
nyeri dan penyumbatan, atau untuk mengecilkan lesi eksternal massif.
Penggunaan cisplatin intrarterial dosis tinggi dapat digunakan secara
bersamaan dengan radiasi pada pasien dengan karsinoma sinus paranasal.
Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 53%. Pasien yang menunjukkan
resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak untuk dilakukan operasi
dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan kemoterapi
(Bailey, 2006).
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
a. Endoskopik, dimana terdapat polip atau sekret mukopurulen yang
berasal dari meatus medius dan atau udem mukosa primer pada meatus
medius
b. CT – scan : perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau
sinus paranasal. Pemeriksaan CT scan memberikan gambaran yang
baik mengenai lokasi dan perluasan tumor, CT scan dapat menentukan
adanya erosi atau dekstruksi tulang. CT scan dengan kontras
memberikan gambaran perluasan tumor ke organ sekitarnya.
c. MRI
2. Biopsi
Apabila lokasi tumor telah diidentifikasi selanjutnya dibutuhkan
pemeriksaan histopatologi jaringan. Biopsi jaringan dilakukan dengan
teknik yang paling tidak invasif tetapi mendapatkan jaringan yang cukup
representatif untuk diperiksa. Menghindari biopsi terbuka dengan alasan
sebagai berikut:
a. Akan menyebabkan gangguan keutuhan struktur anatomi dan batas
tumor
b. Kemungkinan sel tumor mengkontaminasi jaringan normal.
c. Menyebabkan lokalisasi tumor dan batas batas tumor terganggu
yang menyulitkan pada saat operasi.
Pendekatan endoskopi melalui hidung (nasoendoskopi) merupakan
teknik yang optimal untuk biopsi tumor sinonasal. Kelebihan teknik ini
adalah visualisasi yang lebih baik. Morbiditas yang minimal,perubahan
pada jaringan tumor dan organ sekitar minimal. Tumor kecil didinding
lateral sinus maksila dapat dicapai dengan melakukan antrostomi meatus
medius dan visualisasi dengan endoskop 30o atau 70o, biopsy dilakukan
dengan forceps jerapah.
3. Hispatologi
Karsinoma sel skuamosa merupakan gambaran hispatologi yang paling
sering pada keganasan sinonasal. Disamping karsinoma sel skuomosa,
keganasan sinonasal juga dapat berupa adenokarsinoma,adenoid sistik
karsinoma, melanoma maligna neuroblastoma olfaktori, karsinoma tidak
berdiferiensi dan limfoma serta sarcoma.
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik :
Gejala-gejala khas tergantung ukuran tumor, kegansan dan stadium
penyakit, antara lain:
1) Gejala hidung :
 Buntu hidung unilateral dan progresif.

 Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.

 Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada


infeksi.

 Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis


menunjukkan kemungkinan keganasan.

 Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh


gangguan ventilasi sinus, sedangkan rasa nyeri terus-
menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi tumor
ganas.
2) Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang
tumor seperti:

 Pembengkakan pipi
 Pembengkakan palatum durum
 Geraham atas goyah, maloklusi gigi
 Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.
3) Pada tumor ganas didapati gejala sistemik:

 Penurunan berat badan lebih dari 10 %


 Kelelahan/malaise umum
 Napsu makan berkurang (anoreksia)
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
 Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, geraham dan palatum,

didapatkan pembengkakan sesuai lokasi pertumbuhan


tumor

 Palpasi, teraba tumor dan pembesaran kelenjar leher

 Rinoskopi anterior untuk menilai tumor dalam rongga


hidung

 Rinoskopi posterior untuk melihat ekstensi ke nasofaring

 Foto sinar X

b. Pengkajian Diagnostik
 WATER (untuk melihat perluasan tumor di dalam sinus
maksilaris dan sinus frontal)
 Tengkorak lateral ( untuk melihat ekstensi ke fosa kranii
anterior/medial)
 RHEZZE (untuk melihat foramen optikum dan dinding
orbita)
 CT Scan (bila diperlukan dan fasilitas tersedia)

 Biopsi : Biopsi dengan forsep (Blakesley) dilakukan pada


tumor yang tampak. Tumor dalam sinus maksilaris dibiopsi
dngan pungsi melalui meatus nasi inferior. Bila perlu dapat
dilakukan biopsi dengan pendekatan Caldwell-Luc. Tumor
yang tidak mungkin/sulit dibiopsi langsung dilakukan
operasi. Untuk kecurigaan terhadap keganasan bila perlu
dilakukan potong beku untuk diperiksa lebih lanjut.
2. Diagnosa keperawatan
a. Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan
status kesehatan-sosial-ekonomik, perubahan fungsi-peran,
perubahan interaksi sosial, ancaman kematian, perpisahan dari
keluarga.
b. Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat
keganasan, efek-efek radioterapi/kemoterapi.
c. Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan
status metabolik akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi dan
distres emosional.
e. Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek
imunosupresi radioterapi/kemoterapi

Anda mungkin juga menyukai