Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN PADA Ny “D” DENGAN DIAGNOSA

CARSINOMA SINONASAL DI RUANG THT (L2AD)


RSUP Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR

OLEH :

ABD. DANDIYANSA

17033

CI LAHAN CI INSTITUSI

____________________ _____________________

YAYASAN PENDIDIKAN MAKASSAR (YAPMA)


AKADEMI KEPERAWATAN MAKASSAR
MAKASSAR
2020
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn “S” DENGAN DIAGNOSA
TUMOR SINONASAL DI RUANG THT (L2AD)
RSUP Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR

OLEH :

ABD. DANDIYANSA

17033

CI LAHAN CI INSTITUSI

____________________ _____________________

YAYASAN PENDIDIKAN MAKASSAR (YAPMA)


AKADEMI KEPERAWATAN MAKASSAR
MAKASSAR
2020

A. KONSEP MEDIS
1. Definisi

Tumor rongga hidung dan sinus paranasal disebut juga sebagai tumor sinonasal.
Tumor ini berasal dari dalam rongga hidung tumor atau sinus paranasal di sekitar hidung.
Tumor sinonasal terbagi atas jinak dan tumor ganas (Rangkuti, 2013). Tumor jinak
sinonasal adalah penyakit usia tua yang dikenal manusia sejak zaman Mesir kuno. Tumor
ini cenderung tumbuh secara lambat dan dapat timbul dari salah satu daerah di dalam
hidung atau sinus, termasuk lapisan pembuluh darah, saraf, tulang, dan tulang rawan
(Yale, 2013).

2. Etiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak faktor
(multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap orang. Faktor-faktor
yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasal antara lain :
1. Penggunaan tembakau
Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu, rokok pipa,
mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah faktor resiko terbesar
penyebab kanker pada kepala dan leher.
2. Alkohol
Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan faktor resiko kanker
kepala dan leher.7
3. Inhalan spesifik
Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, mungkin dapat
meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal,
termasuk diantaranya adalah :
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit sintetis,
dan tepung.
b. Debu logam berat : kromium, asbes
c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium
d. Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dan sepatu.
4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV
5. Virus : Virus HPV, Virus Epstein-barr
6. Usia
Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45 tahun hingga
85 tahun.
7. Jenis Kelamin
Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali lebih
sering pada pria dibandingkan pada wanita.
Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali
terpapar dan menetap setelahnya. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras
radioaktif juga menjadi faktor resiko tambahan.

3. Tanda dan Gejala


Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di
dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga
mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi,
orbita atau intrakranial (Efiaty, 2007).
Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Gejala nasal.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Jika ada Sekret,
sering sekret yang timbul bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang
besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas
pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
2. Gejala orbital
Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis atau
penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3. Gejala oral
Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di
palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi
atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di
gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4. Gejala fasial
Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi,disertai nyeri, anesthesia
atau parestesia muka jika sudah mengenai nervus trigeminus.
5. Gejala intrakranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak
yang keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah menginvasi atau
menembus basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf
otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat
terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang
dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.

4. Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor seperti
yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko terjadinya tumor
sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan, debu industri, sinar
ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen yang
mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses
diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang peranan penting, yaitu gen yang
memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat diferensiasi (anti-onkogen).
Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal menjadi sel kanker oleh karsinogen
harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan fase promosi serta progresi. Pada fase
inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang memancing sel menjadi ganas
akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi sel yang telah mengalami inisiasi
akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel yang tidak melewati
tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga tidak berubah menjadi sel kanker.
Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen yang sama atau diperlukan
karsinogen yang berbeda.
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker
memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase induksi
ini belum timbul kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti displasia. Fase
selanjutnya adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun
pertumbuhannya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan belum menembus
membran basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun. Sel kanker yang
bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis dan masuk ke jaringan atau
organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan fase invasif yang berlangsung
sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi (penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ
lain seperti kelenjar limfe regional dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5
tahun.
Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan kelainan
dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya,
mengadakan infiltrasi, invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di
berikan terapi.

5. Manifestasi klinik

Menurut Roezin (2007) gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan
perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah
tumor besar, sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga
hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau intrakranial.

1. Gejala nasal

Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya


sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak
tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas
ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik (Roezin, 2007).

2. Gejala orbital

Pada gejala orbital ada perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala
diplopia, proptosis (penonjolan bola mata), oftalmoplegia, gangguan visus, dan
epifora (Roezin, 2007).

3. Gejala oral
Pada gejala oral dapat disertai perluasan tumor ke rongga
mulutmenyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris.
Pasien mengeluh gigi palsunya tidak tepat melekat atau gigi geligi goyang. Sering
kali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh
meskipun gigi yang sakit telah dicabut (Roezin, 2007).

4. Gejala fasial

Pada pasien dengan gejala fasial adanya perluasan tumor ke area wajah
dimana akan menyebabkan penonjolan pipi. Gejala dapat disertai nyeri, hilang
sensasi (anesthesia atau parastesia) jika mengenai nervus trigeminus (Roezin,
2007).

5. Gejala intracranial.

Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,


oftalmoplegia, dan gangguan visus, yang dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak
yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka
saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus
akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia danparestesia daerah
yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis (Roezin, 2007)

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan dibawah
mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk mengevaluasi sel, jaringan, dan organ
untuk mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu cara untuk mengkonfirmasi
diagnosis apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Untuk yang ukuran kecil, tumor
dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar maka tumor hanya diambil
sebagian untuk contoh pemeriksaan tumor yang sudah diangkat.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah yang dijadikan
gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila hasilnya jinak, maka selesailah
pengobatan tumor tersebut, namun bila ganas atau kanker, maka ada tindakan
pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali atau diberikan kemoterapi
atau radioterapi.
b. Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi menggunakan alat endoskop yaitu berupa pipa fleksibel
yang ramping dan memiliki penerangan pada ujungnya sehingga dapat membantu
untuk melihat area sinonasal yang tidak dapat terjangkau dan terevaluasi dengan baik
melalui pemeriksaan rhinoskopi. Pemeriksaan endoskopi dapat merupakan
pemeriksaan penunjang sekaligus dapat berfungsi sebagai media biopsi dan juga
terapi bedah pada tumor sinonasal yang jinak.
c. Pemeriksaan X-ray
Normal sinus x-ray dapat menunjukkan sinus dipenuhi dengan gambaran seperti
udara.. Tanda-tanda kanker pada pemeriksaan x-ray sebaiknya dikonfirmasi dengan
pemeriksaan CT scan.
d. CT - Scan
CT scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur tulang sinus
paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten
yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan
gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan
pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras. CT scan merupakan
pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang
tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan
hubungannya dengan arteri karotis.
e. Pemeriksaan MRI
MRI menggunakan medan magnet. Dipergunakan untuk membedakan daerah
sekitar tumor dengan jaringan lunak, membedakan sekret di dalam nasal yang
tersumbat yang menempati rongga nasal, menunjukkan penyebaran perineural,
membuktikan temuan imaging pada sagital plane, dan tidak melibatkan paparan
terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image terdepan untuk mengevaluasi foramen
rotundum, vidian canal, foramen ovale dan kanalis optik. Sagital image berguna
untuk menunjukkan replacement signal berintensitas rendah yang normal dari
Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam fossa pterygopalatine
oleh signal tumor yang mirip dengan otak.
f. Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)
PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan jaringan dalam tubuh.
Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke tubuh pasien. Zat ini diserap terutama
oleh organ dan jaringan yang menggunakan lebih banyak energi. Karena kanker
cenderung menggunakan energi secara aktif, sehingga menyerap lebih banyak zat
radioaktif. Scanner kemudian mendeteksi zat ini untuk menghasilkan gambar bagian
dalam tubuh. Sering digunakan untuk keganasan kepala dan leher untuk staging dan
surveillance.

7. Komplikasi
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan rekonstruksi.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
1. Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior dan posterior
dan arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi.
2. Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis cranii. Tanda
dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih, rasa asin dimulut, dan
tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah baring dan drainase lumbal dapat
dilakukan selama 5 hari bersama antibiotik. Jika gagal, harus dilakukan
intervensi pembedahan.
3. Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh obstruksi pada
aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan tindakan dakriosisto
rhinostomi mungkin perlu dilakukan.
4. Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci untuk menghindari
komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan kacamata prisma merupakan
terapi yang paling sederhana.
8. Penatalaksanaan
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima rencana
pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya. Pilihan pengobatan utama
untuk tumor sinus paranasal meliputi:
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi
bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masing-
masing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini
(T1-T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat
dilakukan karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada
daerah kepala, serta batas tumor yang tidak jelas. Radiasi post operatif sangat
dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus
eksisi paliatif ataupun debulking perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang
hebat, ataupun untuk membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita,
serta untuk drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. Jenis reseksi
dan pendekatan bedah yang akan dilakukan bergantung pada ukuran tumor dan
letaknya/ekstensinya.
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai pendekatan bedah
seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial, sinus paranasalis, lateral
rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi dan bedah terbuka (open
surgery). Tumor tahap lanjut mungkin membutuhkan tindakan eksenterasi orbita,
total ataupun parsial maksilektomi ataupun reseksi anterior cranial base, dan
kraniotomi. Maksilektomi kadang-kadang direkomendasikan untuk tatalaksana
kanker sinus paranasal, dan umumnya dapat menyelamatkan organ vital seperti
mata yang berada dekat dengan kanker sedangkan reseksi kraniofasial atau skull
base surgery sering direkomendasikan untuk keganasan pada sinus paranasal.
Terapi ini mengharuskan untuk membebaskan beberapa jaringan tambahan
disamping dilakukannya maksilektomi.
Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasien dengan gangguan
nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas ke fascia prevertebral, ke
sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri karotis pada pasien-pasien dengan
resiko tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke nervus optik dan chiasma
optikum. Keuntungan dari pendekatan bedah endoskopik adalah mencegah insisi
pada daerah wajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya perawatan di rumah
sakit lebih singkat.
Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat menyebabkan
kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicara dan kesulit an menelan.
Tujuan utama dari rehabilitasi post pembedahan adalah penyembuhan luka,
penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi dari bentuk wajah, restorasi
pemisahan oronasal, hingga memfasilitasi kemampuan berbicara, menelan, dan
pemisahan kavum nasi dan kavum cranii.
2. Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri pada
stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap
penyakit sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan setelah
dilakukannya terapi utama seperti pembedahan). Pada tahap awal kanker sinus
paranasal, radioterapi dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi.
Radioterapi melibatkan penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk
menghancurkan sel-sel kanker di zona yang akan diobati. Terapi radiasi juga
digunakan untuk terapi paliatif pada pasien dengan kanker tingkat lanjut. Jenis
terapi radiasi yang diberikan dapat berupa teleterapi (radiasi eksternal) maupun
brachyterapi (radiasi internal).
3. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium lanjut. Selain
terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam
tubuh adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi
seluruh tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini
disebut kemoterapi dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-
obatan biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi
untuk terapi tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai
adjuvant maupun neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi (concomitant),
ataupun sebagai terapi paliatif. Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat
tumor, mengurangi obstruksi, ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif
eksternal. Pemberian kemoterapi dengan radiasi diberikan pada pasien-pasien
dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti pasien dengan hasil PA margin
tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran perineural, ataupun
penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik :
Gejala-gejala khas tergantung ukuran tumor, kegansan dan stadium penyakit,
antara lain:

1) Gejala hidung :
 Buntu hidung unilateral dan progresif.

 Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.

 Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.

 Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan


kemungkinan keganasan.

 Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi


sinus, sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan progresif umumnya
akibat infiltrasi tumor ganas.
2) Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor
seperti:
 Pembengkakan pipi
 Pembengkakan palatum durum
 Geraham atas goyah, maloklusi gigi
 Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.
3) Pada tumor ganas didapati gejala sistemik:

 Penurunan berat badan lebih dari 10 %


 Kelelahan/malaise umum
 Napsu makan berkurang (anoreksia)
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
 Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, geraham dan palatum, didapatkan
pembengkakan sesuai lokasi pertumbuhan tumor

 Palpasi, teraba tumor dan pembesaran kelenjar leher

 Rinoskopi anterior untuk menilai tumor dalam rongga hidung

 Rinoskopi posterior untuk melihat ekstensi ke nasofaring

 Foto sinar X

b. Pengkajian Diagnostik
 WATER (untuk melihat perluasan tumor di dalam sinus maksilaris dan
sinus frontal)

 Tengkorak lateral ( untuk melihat ekstensi ke fosa kranii


anterior/medial)

 RHEZZE (untuk melihat foramen optikum dan dinding orbita)

 CT Scan (bila diperlukan dan fasilitas tersedia)

 Biopsi : Biopsi dengan forsep (Blakesley) dilakukan pada tumor yang


tampak. Tumor dalam sinus maksilaris dibiopsi dngan pungsi melalui
meatus nasi inferior. Bila perlu dapat dilakukan biopsi dengan
pendekatan Caldwell-Luc. Tumor yang tidak mungkin/sulit dibiopsi
langsung dilakukan operasi. Untuk kecurigaan terhadap keganasan bila
perlu dilakukan potong beku untuk diperiksa lebih lanjut.

2. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI)


a. Ansietas b/d penyakit krosnis progresif, ancaman terhadap kematian, kurang
terpapar informasi, kekhawatiran mengalami kegagalan, disfungsi system
keluarga. (D.0080) [ CITATION Tim171 \l 1033 ]
b. Harga diri rendah situasional b/d perubahan pada citta tubuh, perubahan peran
social, ketidak adekuatan pemahaman, kegagalan hidup berulan. (D.0087)
[ CITATION Tim171 \l 1033 ]
c. Nyeri kronis b/d infiltrasi tumor, peningkatan ideks massa tubuh, kondisi
pasca trauma. (D.0078) [ CITATION Tim171 \l 1033 ]
d. Risiko infeksi b/d penyakit kronis, efek prosedur inpasif, malnutrisi. (D.0142)
[ CITATION Tim171 \l 1033 ]

3. Standar Intervensi Keparawatan Indonesia (SIKI)

1. Ansietas b/d penyakit krosnis progresif, ancaman terhadap kematian, kurang


terpapar informasi, kekhawatiran mengalami kegagalan, disfungsi system
keluarga. (D.0080) [ CITATION Tim171 \l 1033 ]
Ekspektasi : Menurun
Kriteria hasil : prilaku gelisah menurun, perilaku tegang menurun,konsentrasi
poka tidur membaik, perasaan keberdayaan membaik, orientasi membaik.
(L.09093)[ CITATION Tim191 \l 1033 ]
Intervensi :
 Monitor tanda-tanda ansietas
 Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis. Kondisi, waktu,
stressor)
 Ciptakan suasana terapik untuk menumbuhkan kep[ercayaan
 Temani pasien untuk mengurangi kecemasan jika memungkinkan
 Pahami situasi yang membuat ansietas
 Dengarkan dengan penuh perhatian
 Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
 Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin akan dirasakan
 Informasikan secara factual mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
 Latih teknik relaksasi
 Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu. (I. 09314)
[ CITATION Tim181 \l 1033 ]
2. Harga diri rendah situasional b/d perubahan pada citta tubuh, perubahan peran
social, ketidak adekuatan pemahaman, kegagalan hidup berulan. (D.0087)
[ CITATION Tim171 \l 1033 ]
Ekspektasi : meningkat
Kriteria hasil : penilaian diri positif meningkat, perasaan memiliki kelebihan
atau kemampuan positif meningkat, penerimaan penilaian positif terhadap diri
sendiri meningkat, perasaan malu menurun, perasaan tidak mampu melkukan
apapun menurun. (L. 09069)[ CITATION Tim191 \l 1033 ]
Intervensi:
 Identifikasi budaya, agama, ras, jenis kelamin, dan usia terhadap harga
diri
 Monitor verbalisasi positif untuk diri sendiri
 Motivasi menerima tantangan atau hal baru
 Diskusikan kepercayaan terhadap diri sendiri
 Diskusikan pengalaman yang meningkatkan harga diri
 Diskusikan persepsi negative diri
 Anjurkan memprtahankan kontak mata saat berkomunikasi dengan
orang lain
 Latih cara berfikir dan berprilaku positif. (I.09308)[ CITATION
Tim181 \l 1033 ]
3. Nyeri kronis b/d infiltrasi tumor, peningkatan ideks massa tubuh, kondisi pasca
trauma. (D.0078) [ CITATION Tim171 \l 1033 ]
Ekspektasi : Menurun
Kriteria hasil: keluhan nyeri menurun, meringismenurun, sikap rotektif
menurun, gelisa menurun, kesulitan tidur menurun, kemampuan menuntaskan
aktivitas menurun. (L.08066)[ CITATION Tim191 \l 1033 ]
Intervensi :
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intentitas
nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respons nyeri nonverbal
 Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
 Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
 Fasilitasi istrahat tidur
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Ajarkan teknin nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
 Kolaborasi pemberian analgetik jika peru.( I. 14518)[ CITATION
Tim181 \l 1033 ]
4. Risiko infeksi b/d penyakit kronis, efek prosedur inpasif, malnutrisi. (D.0142)
[ CITATION Tim171 \l 1033 ]
Ekspektasi : menurun
Kriteria hasil : kebersihan tangan meningkat, kebersihan badan meningkat,
nafsu makan meningkat, demam menurun, kemerahan menurun, nyeri menurun,
bengkak menurun,kadar sel darah putih membaik. (L.14137)[ CITATION
Tim191 \l 1033 ]
Intervensi :
 Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
 Batasi jumlah pengunjung
 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkunan
pasien
 Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan
 Kolaborasi pemberian imunisasi jika perlu.(I. 14539)[ CITATION
Tim181 \l 1033 ]
DAFTAR PUSTAKA

PPNI, T. P. (2017). standar diagnosis keperawatan indonesia ;definisi dan indikator diagnostik. jakarta:
DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: definisi da tindakan Keperawatan. jakarta
: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan indonesia. jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (agustus 2017). Standar diagnosis keperawatan Indonesia. jakarta: DPP PPNI.

Doenges et al .(2013). Rencana Asuhan Keperawatan Ed.3. Jakarta : EGC


Hilger PA, Adam GL. Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6. Jakarta : EGC.
Roezin A, Armiyanto. (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala &
Leher: edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Salim, Agus. (2006). Tumor Sinonasal. Universitas Sumatera Utara. Termuat
dalam:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24571/.../Chapter%20II.pdf
Walkinson, Judith M. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan: diagnosis NANDA, intervensi
NIC, kriteria hasil NOC. Ed.9. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai