Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

TUMOR SINONASAL

I. KONSEP MEDIS
A. Pengertian Tumor Sinonasal
Tumor sinonasal adalah pertumbuhan jaringan abnormal di sinus
paranasal dan jaringan sekitar hidung. Tumor hidung adalah
pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung dan lesi yang
menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar
dan vestibulum nasi. Tumor ini merupakan penyebab kesakitan dan
kematian di bidang otorinolaringologi di seluruh dunia. Kebanyakan
tumor ini berkembang dari sinus maksilaris dan tipe histologi yang
paling sering ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa.

B. Etiologi
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti,
tetapi diduga beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan
penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium,
minyak isopropl dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mengalami
peningkatan risiko untuk terjadinya keganasan sinonasal. Alkohol, asap
rokok, makanan yang diasinkan atau diasap diduga meningkatkan
kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran
mengurangi kemungkinan terjadi keganasan. Jenis histologis yang
paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar 70%
kasus. Gejala klinis yang paling sering adalah obstruksi hidung dan
epistaksis (Goel, 2012; Sukri, 2012; Roezin, 2007).
Selain akibat pekerjaan, ada yang menganggap bahwa sinusitis
kronis dapat menyebabkan metaplasia yang kemudian menjadi
karsinoma sel skuamosa pada sinonasal (Mangunkusumo, 1989).
C. Klasifikasi
1. Tumor Jinak
Makroskopis mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat
dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis papiloma, pertama eksofitik atau
fungiform dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted.
2. Tumor Ganas
Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa
(70%). Sinus maksila tersering terkena (65-80%), sinus etmoid
(15-25%), hidung sendiri (24%).
3. Invasi Sekunder
Antara lain pituitary adenomas, chordomas, karsinoma
nasofaring, meningioma, tumor odontogenik, neoplasma skeleton
kraniofasial jinak dan ganas, tumor orbital.

D. Manifestasi klinik
Menurut Roezin (2007) gejala tergantung dari asal primer tumor
serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya
tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak
atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut,
pipi, orbita atau intrakranial.
1. Gejala nasal
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea.
Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor
yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi
deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena
mengandung jaringan nekrotik (Roezin, 2007).
2. Gejala orbital
Pada gejala orbital ada perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan
gejala diplopia, proptosis (penonjolan bola mata), oftalmoplegia,
gangguan visus, dan epifora (Roezin, 2007).
3. Gejala oral
Pada gejala oral dapat disertai perluasan tumor ke rongga
mulutmenyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di
prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak tepat
melekat atau gigi geligi goyang. Sering kali pasien datang ke dokter
gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang
sakit telah dicabut (Roezin, 2007).
4. Gejala fasial
Pada pasien dengan gejala fasial adanya perluasan tumor ke area
wajah dimana akan menyebabkan penonjolan pipi. Gejala dapat
disertai nyeri, hilang sensasi (anesthesia atau parastesia) jika
mengenai nervus trigeminus (Roezin, 2007).
5. Gejala intracranial.
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala
hebat, oftalmoplegia, dan gangguan visus, yang dapat disertai
likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika
perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya bisa
terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat
terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia danparestesia
daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis (Roezin,
2007).

Berbagai jenis tipe tumor berbeda telah dijelaskan terdapat pada


rahang atas. Jenis histologis yang paling umum adalah karsinoma sel
skuamosa, mewakili sekitar 80% kasus. Lokasi primer tidak selalu
mudah untuk ditentukan dengan sejumlah sinus berbeda yang secara
umum terlibat seiring waktu munculnya pasien. Mayoritas 60% tumor
tampaknya berasal dari antrum, 30% muncul dalam rongga hidung, dan
sisa 10% muncul dari etmoid. Tumor primer frontal dan sfenoid sangat
jarang.

Limfadenopati servikal teraba muncul pada sekitar 15% pasien


pada presentasi. Gambaran kecil ini disebabkan drainase limfatik sinus
paranasal ke nodus retrofaring dan dari sana ke rantai servikal dalam
bawah. Sebagai akibatnya, nodus yang terlibat diawal tidak mudah
dipalpasi di bagian leher manapun.

E. Penatalaksanaan

1. Drainage/ debridement

Drainage adekuat(seperti nasoantral window) seharusnya


dilakukan pada pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien
yang mendapat terapi radiasi sebagai pengobatan primes (Bailler,
2006).

2. Resection

Menurut Bailey (2006) surgical resection selalu


direkomendasikan dengan tujuan kuratif. Palliative excision
dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah, untuk
dekompresi cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk
memperkecil lesi massif, atau estetika. Pembedahan merupakan
penatalaksanaan tunggal untuk tumor maligna traktus sinonasal
dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 19% hingga 86%.

Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam preoperative


imaging, intraoperative image-guidance system, endoscopic
instrumentation dan material untuk hemostasis, teknik sinonasal
untuk mengangkat tumor nasal dan sinus paranasal mungkin
merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk traditional open
technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk melihat
tumor dalam rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial frontal dan
sinus maksilaris medial. Frozen section harus digunakan untuk
melihat batas bebas tumor (Bailey, 2006).

3. Rehabilitasi

Tujuan utama rehabilitasi pasca operasi adalah penyembuhan


luka primer, memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan
pemulihan oronasal yang terpisah kemudian memperlancar proses
bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan dapat
dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap seperti
flap otot temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial,
pedicled atau microvascular free myocutaneous dan cutaneous flap
(Bailey, 2006).

4. Terapi Radiasi

Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu


pembedahan atau sebagai terapi paliatif. Radiasi pasca operasi
dapat mengontrol secara lokal tetapi tidak mempengaruhi
kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang
sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi
sepanjang pembedahan dan penyembuhan luka pasca operasi lebih
dapat diperkirakan (Bailey, 2006).

5. Kemoterapi
Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal
biasanya paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk
mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau untuk mengecilkan
lesi eksternal massif. Penggunaan cisplatin intrarterial dosis tinggi
dapat digunakan secara bersamaan dengan radiasi pada pasien
dengan karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun
sebesar 53%. Pasien yang menunjukkan resiko pembedahan yang
buruk dan yang menolak untuk dilakukan operasi dipertimbangkan
untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan kemoterapi (Bailey,
2006).

6. Prognosis

Menurut Roezin (2007) pada umumnya prognosis kurang


baik. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi prognosis
keganasan nasal dan sinus paranasal. Faktor-faktor tersebut seperti
perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor,
pengobatan yang diberikan sebelumnya, batas sayatan, terapi
adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan
banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap
agresivitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya
berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun
demikian, pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan
memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer
dan akan meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar
75% untuk seluruh stadium tumor.

F. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
a. Endoskopik, dimana terdapat polip atau sekret mukopurulen
yang berasal dari meatus medius dan atau udem mukosa
primer pada meatus medius
b. CT – scan : perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan
atau sinus paranasal. Pemeriksaan CT scan memberikan
gambaran yang baik mengenai lokasi dan perluasan tumor, CT
scan dapat menentukan adanya erosi atau dekstruksi tulang.
CT scan dengan kontras memberikan gambaran perluasan
tumor ke organ sekitarnya.
c. MRI

b. Biopsi
Apabila lokasi tumor telah diidentifikasi selanjutnya
dibutuhkan pemeriksaan histopatologi jaringan. Biopsi jaringan
dilakukan dengan teknik yang paling tidak invasif tetapi
mendapatkan jaringan yang cukup representatif untuk diperiksa.
Menghindari biopsi terbuka dengan alasan sebagai berikut:
a. Akan menyebabkan gangguan keutuhan struktur anatomi dan
batas tumor
b. Kemungkinan sel tumor mengkontaminasi jaringan normal.
c. Menyebabkan lokalisasi tumor dan batas batas tumor
terganggu yang menyulitkan pada saat operasi.

Pendekatan endoskopi melalui hidung (nasoendoskopi)


merupakan teknik yang optimal untuk biopsi tumor sinonasal.
Kelebihan teknik ini adalah visualisasi yang lebih baik. Morbiditas
yang minimal,perubahan pada jaringan tumor dan organ sekitar
minimal. Tumor kecil didinding lateral sinus maksila dapat dicapai
dengan melakukan antrostomi meatus medius dan visualisasi
dengan endoskop 30o atau 70o, biopsy dilakukan dengan forceps
jerapah.

c. Hispatologi

Karsinoma sel skuamosa merupakan gambaran hispatologi


yang paling sering pada keganasan sinonasal. Disamping
karsinoma sel skuomosa, keganasan sinonasal juga dapat berupa
adenokarsinoma,adenoid sistik karsinoma, melanoma maligna
neuroblastoma olfaktori, karsinoma tidak berdiferiensi dan
limfoma serta sarcoma.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik :
Gejala-gejala khas tergantung ukuran tumor, kegansan dan
stadium penyakit, antara lain:
a. Gejala hidung :
 Buntu hidung unilateral dan progresif.

 Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.

 Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada


infeksi.

 Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis


menunjukkan kemungkinan keganasan.

 Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh


gangguan ventilasi sinus, sedangkan rasa nyeri terus-
menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi tumor
ganas.
b. Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang
tumor seperti:

 Pembengkakan pipi
 Pembengkakan palatum durum
 Geraham atas goyah, maloklusi gigi
 Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.
c. Pada tumor ganas didapati gejala sistemik:

 Penurunan berat badan lebih dari 10 %


 Kelelahan/malaise umum
 Napsu makan berkurang (anoreksia)
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
 Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, geraham dan

palatum, didapatkan pembengkakan sesuai lokasi


pertumbuhan tumor

 Palpasi, teraba tumor dan pembesaran kelenjar leher

 Rinoskopi anterior untuk menilai tumor dalam rongga


hidung

 Rinoskopi posterior untuk melihat ekstensi ke nasofaring

 Foto sinar X

2. Pengkajian Diagnostik
 WATER (untuk melihat perluasan tumor di dalam sinus
maksilaris dan sinus frontal)
 Tengkorak lateral ( untuk melihat ekstensi ke fosa kranii
anterior/medial)
 RHEZZE (untuk melihat foramen optikum dan dinding
orbita)
 CT Scan (bila diperlukan dan fasilitas tersedia)

 Biopsi : Biopsi dengan forsep (Blakesley) dilakukan pada


tumor yang tampak. Tumor dalam sinus maksilaris dibiopsi
dngan pungsi melalui meatus nasi inferior. Bila perlu dapat
dilakukan biopsi dengan pendekatan Caldwell-Luc. Tumor
yang tidak mungkin/sulit dibiopsi langsung dilakukan
operasi. Untuk kecurigaan terhadap keganasan bila perlu
dilakukan potong beku untuk diperiksa lebih lanjut.
B. Diagnosa keperawatan
a. Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan
status kesehatan-sosial-ekonomik, perubahan fungsi-peran,
perubahan interaksi sosial, ancaman kematian, perpisahan dari
keluarga.
b. Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat
keganasan, efek-efek radioterapi/kemoterapi.
c. Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan
status metabolik akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi dan
distres emosional.
e. Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek
imunosupresi radioterapi/kemoterapi

C. Intervensi keperawatan
1. Dx 1 :
 Orientasikan klien dan orang terdekat terhadap prosedur rutin
dan aktivitas yang diharapkan.
 Eksplorasi kecemasan klien dan berikan umpan balik.
 Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang lazim
dialami oleh banyak orang dalam situasi klien saat ini.
 Ijinkan klien ditemani keluarga (significant others) selama fase
kecemasan dan pertahankan ketenangan lingkungan.
 Kolaborasi pemberian obat sedatif.

2. Dx 2 :
 Diskusikan dengan klien dan keluarga pengaruh diagnosis dan
terapi terhadap kehidupan pribadi klien dan aktiviats kerja.

 Jelaskan efek samping dari pembedahan, radiasi dan


kemoterapi yang perlu diantisipasi klien
 Diskusikan tentang upaya pemecahan masalah perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat berkaitan dengan
penyakitnya.

3. Dx 3 :
 Lakukan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, masase
punggung) dan pertahankan aktivitas hiburan (koran, radio)

 Ajarkan kepada klien manajemen penatalaksanaan nyeri


(teknik relaksasi, napas dalam, visualisasi, bimbingan
imajinasi)

 Berikan analgetik sesuai program terapi.

 Evaluasi keluhan nyeri (skala, lokasi, frekuensi, durasi)

4. Dx 4 :
 Dorong klien untuk meningkatkan asupan nutrisi (tinggi kalori
tinggi protein) dan asupan cairan yang adekuat.

 Kolaborasi dengan tim gizi untuk menetapkan program diet


pemulihan bagi klien.

 Berikan obat anti emetik dan roborans sesuai program terapi.

 Dampingi klien pada saat makan, identifikasi keluhan klien


tentang makan yang disajikan.

 Timbang berat badan dan ketebalan lipatan kulit trisep (ukuran


antropometrik lainnya) sekali seminggu

 Kaji hasil pemeriksaan laboratorium (Hb, limfosit total,


transferin serum, albumin serum)
5. Dx 5 :
 Tekankan penting oral hygiene.

 Ajarkan teknik mencuci tangan kepada klien dan keluarga,


tekankan untuk menghindari mengorek/me-nyentuh area luka
pada rongga hidung (area operasi).

 Kaji hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan


penurunana fungsi pertahanan tubuh (lekosit, eritrosit,
trombosit, Hb, albumin plasma)

 Berikan antibiotik sesuai dengan program terapi.

 Tekankan pentingnya asupan nutrisi kaya protein sehubungan


dengan penurunan daya tahan tubuh.

 Kaji tanda-tanda vital dan gejala/tanda infeksi pada seluruh


sistem tubuh.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3 EGC, Jakarta.

Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process


Approach 2 nd Edition : WB Sauders.

Lab. UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan tenggorokan FK Unair,


Pedoman Diagnosis Dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom FK
Unair, Surabaya.

Makalah Kuliah THT. Tidak dipublikasikan

Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta

Rothrock, C. J. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawata

Perioperatif. EGC : Jakarta.`

Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC :
Jakarta.

Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (1998). Buku Ajar Ilmu
penyakit THT. FKUI : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai