Anda di halaman 1dari 12

BAHASA INDONESIA

TUGAS MEMBUAT CERPEN

DI SUSUN OLEH : NAMA : ULFA SYAHRANI


KELAS : XI IPS 4
NO URUT : 29
Assalamua’alaikum wr.wb.......

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa. Berkat limpahan karunia-Nya, saya

dapat menyelesaikan tugas membuat cerpen ini. Dalam penyusunan tugas cerpen ini penulis telah

berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan penulis. Namun sebagai manusia biasa, penulis

tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi tekhnik penulisan maupun bahasa.

Saya menyadari tanpa arahan dari guru pembimbing serta masukan-masukan dari berbagai pihak

tidak mungkin saya bisa menyelesaikan tugas membuat cerpen ini. Tugas cerpen ini dibuat sedemikian

rupa semata-mata untuk membangkitkan kembali minat baca siswa/siswi dan sebagai motivasi dalam

berkarya khususnya karya tulis. Untuk itu penulis hanya bisa menyampaikan ucapan terima kasih kepada

semua pihak yang terlibat, sehingga saya bisa menyelesaikan tugas membuat cerpen ini.

Demikian semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca

pada umumnya.
PERJALANAN HIJRAHKU

Kata siapa hijrah itu mudah.

Tidak....hijrah itu sulit...belum lagi harus mendapatkan ridho dari orangtua kita. Tidak sedikit terkadang
banyak orangtua yang justru heran bahkan melarang anaknya berubah. Ada sebagian orangtua yang
senang, ada pula yang masih banyak pertimbangan.

Seperti aku.....

Aku Zhafira az-zahra

Terkadang teman-teman memanggilku zahra. Kata sahabatku nama itu lebih baik untukku.
Karena nama adalah do’a, begitu katanya.

Aku hanyalah gadis remaja yang jauh dari kata sempurna. Memang aku berparas cantik dan imut,
lahir dari keluarga yang berada, semua serba kecukupan bahkan berlebihan.

Aku anak kedua dari dua bersaudara. Sebenarnya aku mempunyai seorang adik perempuan tapi
dia telah meninggal dunia pada saat umurnya masih satu tahun.

Aku gadis yang cukup jenius dan mahir bermain basket. Tak heran..aku menjadi primadona
disekolahku.

Tapi ada yang kurang dariku.....

Oiyah...sahabatku yang aku bilang tadi...dia adalah sahabat terbaikku, kemana mana kita selalu
bersama,suka duka kita lewati. Kita memang bersahabat, akan tetapi...disaat mengerjakan pelajaran dia
adalah musuh terberatku. sungguh dia juga tidak kalah pintar dariku.

Namanya adalah Fitria sari. Biasa aku memanggilnya sari...kita itu bukan seperti sahabat lagi tapi
sudah seperti saudara kandung. Akan tetapi dia lebih dewasa dari pada aku.
Dia...

Dia...

Bisa dikatakan sempurna. Beda denganku, seperti bumi dan langit.

“dooorrr...” ucapku mengagetkannya yang sedang asyik membaca buku ditaman sekolah.

“astagfirullah...zahra...” ujarnya melotot kearahku.

“hehe...serius banget sih.” kataku sembari duduk disampingnya.

“ra inikan lagi paandemi covid-19 sekolahkan nganjurin kita buat jaga jarak. iihh kamu nggak ngerti
aturan sihh. Lagian kamu itu bau matahari tau...ganti baju gihh sana.” perintahnya sembari menutup
hidung, karena aku baru saja selesai latihan basket.

“iya dehh maaf-maaf. Lagian nanggung ri...sebentar lagi juga pulang sekolah.”

“hmmm iyaa dehh...setelah ini kamu masih latihan lagi apa udah selesai?”

“kurang tau sih, seharusnya udah. Kenapa?”

“nggak...kalau kamu latihan aku nunggu kamu diperpus.”

“dasar kutu buku.” ketusku sambil mengejeknya, ia hanya tersenyum manis.

Hari terus berlalu aktivitasku tidak lain hanyalah bermain basket, apalagi sekarang lagi pandemi
covid-19 jadinya kami harus latihan mandiri dan cuman latihan bersama sekali seminggu saja. aku terus
melatih diri untuk pertandingan basket wanita antar sekolah. Pertandingan kali ini agak berbeda dari
pertandingan-pertandinganku sebelumnya karena, kali ini yang menonton hanya orang-orang terdekat
pemain. Sari selalu setia menemaniku setiap waktu. Dia benar-benar sahabat sejatiku. Canda tawanya,
persaingan ketat disekolah namun tidak membuat kami saling membenci.

Suatu hari...aku baru saja selesai latihan basket. Saat itu semua murid sudah pulang. Aku berfikir
mungkin aku akan pulang sendiri.

Akan tetapi tidak!!!

Saat aku berjalan baru sampai dipintu gerbang sekolah seseorang berteriak memanggiku.

“ra...zahra...” aku menoleh kebelakang dan ternyata itu sari.


“zahra...assalamu’alaikum..kok kamu ninggalin aku?”

“eh...hehe aku pikir kamu udah pulang ri.”

“yehh...jawab dulu salamku ra...’ ucapnya sembari mencubit kedua pipiku.

“wa’alaikumsalam.” ketusku dengan cemberut karena ia mencubit pipiku.

“aku nunggu kamu diperpus, pas kembali lihat lapangan kosong..hmm...,”

“iya maaf...ya udah ayo pulang, kita mau naik apa?”

“jalan kaki saja.” potongnya mendahuluiku.

“ri...tapi ini panas...” ujarku mengikutinya.

“panas tapi banyak angin, lagian inikan sudah pukul 3 siang panas juga tidak akan membakar kulitmu.”
ujarnya.

Aku hanya mengikutinya saja...ya terserah dia saja...lagi pula jalan berdua dengan sahabat seru
juga sih, lelah juga nggak akan terasa.

Jarak rumahku dan rumah sari tidak terlalu jauh dari sekolah tapi lumayan butuh waktu 1 jam
lebih untuk berjalan kaki. Bersendau gurau...saling meledek...kejar-kejaran, itulah yang kami lakukan di
jalan raya. Sampai-sampai tidak sadar aku sedikit ketengah jalan sampai sari berkali-kali meneriakiku.

Suara adzan terdengar merdu dari sebuah masjid dipinggir jalan raya itu. Sari mengajakku masuk
ke area masjid tersebut.

“aduh...ri...kita mau ngapain?”

“ya sholatlah...masa iya kita makan.”

“ee...mmm...kamu aja deh...aku nunggu diluar aja.”

“kamu lagi dapet?”

“nggak sih...Cuman keadaan lagi seperti inikan. Lagi ngejaga jarak, aku sholatnya dirumah aja yahh.”

“oke...tunngu bentar yahhh.”


Aku hanya memperhatikan mereka yang sedang beribadah. Ntahlah...aku hanya canggung untuk
sholat disana. Terakhir aku mengerjakan sholat saat aku masih duduk dibangku sd. Itupun pada saat
praktek sholat. Aku sudah lupa bacaan sholat, gerakan sholat, bahkan aku juga sudah lupa cara berwudhu.

Itu sebabnya aku mengatakan sari jauh lebih baik. Aku berbeda dengan sari, dia yang taat dalam
beribadah walaupun keadaan masih dalam pandemi dia masih sering kemasjid. sedangkan aku jauh dari
itu semua bahkan aku membuat pandemi ini menjadi alasan untuk menghindari ajakan sari. Aku juga
tidak pernah menutup auratku.

“ra...zahra...”

“eh...hehe. maaf, kamu udah selesai?”

“udah dari tadi...kamunya aja yang ngelamun, ayo pulang.”

Malam itu aku merebahkan diri dikasurku. Ntah apa yang sedang ku pikirkan.

*ting*

Sebuah pesan masuk diponselku.

*putri*

Assalamu’alaikum zahra..

*aku*

Wa’alaikumsalam put...kenapa?

*putri*

Kata pak kelvin besok datangnya sedikit lebih awal yahh...soalnya pertandingan basket dimulai
pukul 9 pagi, kalau bisa kita latihan sebentar sebelum lawannya datang.

*aku*
Oke...oiyah put aku mau nanya.

*putri*

Nanya apa?

*aku*

Gimana sih hukumnya kalo kita sering ninggalin sholat?

*putri*

Kayaknya kamu lebih baik tanya sari aja deh.

Sejenak aku terdiam tidak membalas pesannya lagi. Aku tidak terbuka pada sari akan hal ini. Aku
teringat akan ainun teman sekolahku namun beda kelas. Dia salah satu murid yang bersekolah sambil
pesantren didekat rumahnya. Aku tanpa ragu untuk menelpon ainun.

“assalamu’alaikum...” ucapku dengan gugup

“wa’alaikumsalam zahra...ada apa?

“kamu sibuk nggak?”

“nggak sih...emangnya kenapa?”

“aku mau nanya dikit boleh nggak?”

“boleh.”

“bagaimana cara menebus dosa jika kita telah meninggalkan sholat?”

“bertaubat, sholat taubat minta ampun sama Allah.”

“apa Allah akan mengampuni dan menerima taubatku?’

“zahra...Allah itu maha pengampun.”

Aku sedikit terdiam meratapi apa yang telah kulewati sepanjang hari, bertemu dengan orang
banyak, namun tidak pernahku menemui mu ya rabb..
“zahra...”

“ehmm...iya...makasih yahh...tapi boleh nggak aku meminta kamu utuk mengajarkanku sholat?”

“apa kau tidak pernah sholat?”

“pernah...tapi, aku sudah lupa.”

“hmm...baiklah.”

Pagi itu...aku memang datang lebih awal. Aku sudah melihat sudah ada beberapa orang yang
datang dengan menggunakan maskernya masing-masing. Sari tersenyum kearahku sembari mengangkat
tangannya menandakan semangat. Aku kembali senyum ke arahnya lalu ia mengacungkan jempolnya.

Saat pertandingan dimulai, aku sedikit tidak konsentrasi dikarenakan aku terus memikirkan soal
ibadah itu. Bola melayang dan mengenai kepalaku.

“aww...”ucapku terjatuh sembari memegang kepalaku

“zahra...ra...kamu nggak apa-apa?” ucap putri teman mainku. Aku hanya menggelengkan kepala dan
diberi waktu istirahat sejenak.

Ainun berlari menghampiriku, ia seakan tau aku sedang memikirkan sesuatu.

“ra...kamu nggak kenapa-kenapa kan?”

“nggak kok...”

“jangan dipikirin ayo semangat.” aku tersenyum kearahnya, sejenak ku lihat sari dari kejauhan seakan
cemburu akan kehadiran ainun dilapangan basket ini.

Aku bangkit dan melanjutkan pertandingan sampai selesai. Berhasil!

Sekolahku berhasil memenangkan pertandingan antar sekolah itu.

“kita berhasil ra...” ucap putri dan teman-teman yang lain. Tak lupa juga sari mengucapkan selamat atas
keberhasilan kami.

*
Sore itu aku pulang bersama sari. Ia jalan mendahuluiku, ku tatap ia dari jauh betapa sempurnanya dia
dengan balutan hijab yang sangat rapih berbeda denganku.

“ri...”

“iya...”

“kenapa kau berjalan mendahuluiku?” ia berhenti dan membalikkan badannya kearahku

“kenapa kau jalan lambat sekali?” ucapnya. Aku berjalan menghampirinya.

“ri...kau tidak risih memakai hijab sepanjang hari apalagi pandemi ini mengajurkan kita memakai
masker?”

“nggak ra. Karena wanita itu wajib berhijab, toh pandemi nggak bisa dijadiin alasan agar tidak memakai
hijab, karena rambut adalah aurat yang harus ditutupi.”

“dirumah kau pakai juga?” tanyaku heran.

“iya.”

“kenapa?” tanyaku lagi.

“karena...setan itu itu ada dimana-mana.”

“lalu bagaimana denganku yang tidak memakai hijab?”

“setan leluasa menikmati dirimu, lalu secara perlahan juga tiap langkahmu menyeret orangtuamu
keneraka, jika kau sudah menikah dan tetap tidak menutup aurat maka perlahan juga kau menarik
suamimu keneraka.”ucapnya.

“sari...jangan nakutin aku dong.”

“aku nggak bermaksud nakutin kamu tapi emang seperti itu ra.” ucapan sari membuatku berfikir dan terus
berfikir untuk memantapkan diri untuk memakai hijab.

Bismillah

Suatu hari...ia memberiku hijab, ini sudah yang ketiga kalinya ia memberiku hijab namun aku tidak
pernah memakainya.

Tetapi ia ingin sekali aku memakai hijab itu.

*
*

Esok harinya...aku datang kesekolah memakai hijayang sari berikan padaku. Semua mata memandang
kagum.

‘zahra...” ucap putri yang merasa heran.

“Masya Allah...cantik banget...” ucapnya senang.

“makasih.” kataku tersipu malu.

“zahra...” ainun memandangku dengan rasa kagum.

Aku malu karena ia terus memandangku dengan senyuman.

Sari sangat senang dengan perubahanku ini. Ia memintaku untuk tetap istiqamah meskipun aku sedikit
merasa gerah. Tapi ntah mengapa hari ini sari terlihat berbeda. Dia terus saja menatapku dengan
senyuman yang begitu tulus sampai aku dibuat malu karenanya. Siang itu memang sangat panas dengan
masker yang kami gunakan menambah gerahnya hari ini. Aku, sari dan putri kita pulang sekolah
bersama-sama. Tak kusangka hari ini adalah hari terakhir aku bersama sahabatku padahal ini adalah hari
dimana keinginan sari yang selama ini belum bisa kupenuhi kucoba untuk kujalani tapi ternyata tuhan
berkehendak lain. Mungkin sikap sari ini adalah pertanda bahwa tugasnya telah selesai.

Pada saat itu aku sedang asyik berbincang-bincang bersama sari sambil menunggu angkutan
umum. Kami hanya tinngal berdua karena putri kembali mengambil bukunya yang ketinggalan dikelas.
Tiba-tiba sebuah truk pengangkut batu besar dan kerikil itu menghindari sebuah mobil angkutan umum
didepannya. Elakan itu membuat truk hilang keseimbangan karena beban yang ia bawa dan truk itu
terjatuh kesisi badan kiri tepat dimana aku dan sari berdiri. Kami tidak dapat melarikan diri. Kaki ku
terjepit diantara bebatuan itu. Sedangkan posisi sari amat sangat mengerikan ia tidak hanya terjepit tapi
perutnya tertimpa batu-batu itu aku hanya sekilas melihat keadaan sari setelah itu aku sudah tidak
sadarkan diri.

Saat aku membuka mata...aku sudah berada dirumah sakit.

“putri...katakanlah apa yang telah terjadi?”

“maaf...kita menutupi semua ini karena kondisimu belum stabil. Sari saat dilarikan kerumah sakit dia
sudah tidak tertolong lagi” ujar ainun menjelaskan.

Air mataku seketika jatuh begitu deras. Aku tidak dapat menahannya.

Saat kondisiku sedikit memulih. aku pergi dengan diantar oleh supirku kepemakaman sari. Aku tak kuasa
melihatnya mungkin memang ini adalah jawaban dari semuanya. Allah telah memberi sari kesempatan
untuk melaksanakan tugasnya sebagai sahabat yang baik. Dan aku bersyukur sekaligus berterima kasih
kepada Allah. Karena, Allah sudah memberiku sahabat yang begitu baik sepertinya padahal sebenarnya
ia bisa mendapatkan sahabat yang jauh lebih baik dari pada aku. sungguh aku tidak mampu
kehilangannya. “terima kasih ri, kamu sudah menjadi sahabat yang baik untukku. Terima kasih juga ri
kamu sudah membuatku menjadi setidaknya orang yang lebih baik dari kemarin aku tidak akan pernah
melupakan jasa-jasamu ri dan aku juga akan mencoba menjalani semuanya bukan karenamu tapi karena
allah sepeti katamu. Jangan berubah hanya karena seseorang tapi berubahlah karena ingin mendapat ridho
dari Allah.” ucapku dan tanpa sengaja air mataku jatuh. Cepat-cepat aku menghapusnya karena aku tidak
ingin sari disana sedih melihatku seperti ini.

Tak terasa masa SMA ku telah berakhir. Melanjutkan kuliah dan mengambil jurusan agama.

Hari ini aku terlihat murung. Karena, malam itu mamaku mengomentari penampilanku. Seakan mama
tidak setuju dengan perubahanku. Ucapan mama masih mengiang ditelingaku pagi itu. Masih menyimpan
dimemori ingatan ku.

“zahra bukankah sebaiknya kamu melepas hijabmu ketika didalam rumah?”

“Kenapa mah?”

“nanti rambut kamu rusak jika dibungkus seperti itu terus”

“tapi rambut zahra baik-baik saja mah”

“zahra...jangan sok suci kamu”

“mah...zahra bukannya mau sok suci, tapi bukankah wanita itu wajib menutup auratnya walaupun dia
berada di rumah?, seharusnya mama senang lihat perubahan zahra dan seharusnya juga mama menutup
aurat?”

“kamu ngerti apa soal aurat? Sudahlah...semenjak kamu kuliah kamu jadi sering ceramahin mama, tau
begitu kemarin tidak mama izinkan kamu ambil jurusan agama” ucapnya

Tak patah semangatku, karena banyak dukungan yang aku dapat untuk mempertahankan hijrahku ini.
Terutama janjiku pada sari dan kujalani semua ini karena Allah semata. Apalagi semenjak aku berniat
untuk istiqamah Allah terus saja mendatangkan orang-orang yang baik kepadaku.

Setelah beberapa bulan kemudian mamahku jatuh sakit dan tidak sadarkan diri selama tiga hari. Akhirnya
mamahku terbangun dari siumannya. Aku mulai membuka pembicaraan pada mamahku.

“mah...maafin zahra yahh...”

“maafin mama atas sikap mama, mama janji tidak akan memaksa zahra atas kemauan mama”

“mama serius?”

“iya nak...”

“dan...zahra pengen...mama ikut hijrah bersama zahra”

Mama hanya tersenyum dan mengangguk. Aku tidak percaya mama mau mengabulkan keinginanku.
Alhamdulillah...hijrahku diikuti oleh mamahku.
Hijrah memang sulit dan banyak rintangan tapi, kuncinya adalah sabar, semangat, berdo’a, dan selalu
istiqamah. yakinlah jika kita sudah berniat menjadi orang yang lebih baik Allah akan mendatangkan
orang-orang baik yang akan membantu kita untuk menjalani perjalanan hijrah kita.

Inilah perjalanan hijrahku. Berawal dari keinginan teman untuk melihatku jadi lebih baik, sehingga rasa
nyaman itu ada. Rintangan menerpa namun itulah kekuatan kita serta dorongan dari orang lain.

Buat kamu yang lagi hijrah bertahanlah walaupun sulit...

Stay safe and stay healthy.

--selesai--

Anda mungkin juga menyukai